anestesi

76
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cairan intravena Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran. Air tubuh terdapat didalam sel (intrasel) dan diluar sel (ekstrasel).Cairan extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi yang sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah klorida dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan magnesium sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat. Biasanya perubahan komposisi plasma darah mencerminkan perubahan yang terjadi dalam semua cairan tubuh. Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal yang disebabkan oleh berbagai

description

cxcxc

Transcript of anestesi

Page 1: anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Cairan intravena

Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme

tubuh dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang

berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan

pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna.

Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran.

Air tubuh terdapat didalam sel (intrasel) dan diluar sel (ekstrasel).Cairan

extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi yang

sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah

klorida dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan

magnesium sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat.

Biasanya perubahan komposisi plasma darah mencerminkan perubahan yang terjadi

dalam semua cairan tubuh.

Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat

dibagi menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta

kehilangan cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal

yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan masukkan cairan

atau peningkatan pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan

cairan akibat penyakit dan kehilangan yang tetap berlangsung secara normal.

Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan

secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan

diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula

diberikan secara intravena.D alam pelaksanaannya pemberian cairan secara intravena

pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis

cairan, jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan

gejala klinik lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat

kematangan sistem pengaturan air dan elektrolit.

Page 2: anestesi

Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi

kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,

disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang

tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah

yang cepat (syok haemoragik).

Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan

gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok

hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang

akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.

Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada

organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat

merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh

syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis

refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari referat ini adalah syok

hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya.

Referat ini dianjurkan untuk mendiskusikan tentang patofisiologi dan penanganan

syok hipovolemik akibat kehilangan cairan dibandingkan darah.

Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun

1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi

syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda

resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan.

Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan

pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam

menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting

pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain

membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik

traumatik. Namun, peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang,

muncul kontraversi seputar penangan minimal pada syok haemoragik.

Page 3: anestesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SYOK

II. 1 Definisi dan Penyebab Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang

menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat

gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland

tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya

pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan

terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi

intensif.

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:

1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial

rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.

2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.

3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian

kapiler yang jelek.

Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok

anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat

disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:

1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar

tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.

2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah

yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan

atau fraktur femur menampung 1000–1500 ml perdarahan.

3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein

plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:

a. Gastrointestinal: peritonitis, pancreatitis, dan gastroenteritis

Page 4: anestesi

b. Renal: terapi diuretic, krisis penyakit Addison.

c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran

darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam

jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan

metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah

dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke,

1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian

syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki

serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan.

Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

Manajemen cairan adalah penting dan kekeliuan menejemen dapat berakibat fatal.

Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk

mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi

cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa

dengan menurunkan angka mortalitas.

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyababkan gangguan pada

fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan akibat lanjutan dari

gangguan fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan

umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan

elektrolit, plasma, atau darah. Untuk memperbaiki sirkulasi langkah utamanya adalah

mengupayakan aliran vena yang memadai.

II. 2 Patofisiologi

Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi

sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan

sistem neuroendokrin.

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut

dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui

pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui

pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber

perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya

Page 5: anestesi

menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu

sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi

bentuk yang sempurna.

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik

dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan

vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan

pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh

baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah

pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,

jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.

Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi

renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi

angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru

dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu

perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan

menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab

pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan

Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari

posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh

baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh

osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air

dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.

Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis

sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi.

Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi

perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan

darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung

akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.

II. 3 Gejala dan Tanda Klinis

Sistem Kardiovaskuler

Page 6: anestesi

a. Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian

vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.

b. Nadi cepat dan halus

c. Hipotensi, karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah

sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial

dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat

dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg. Hal ini

kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai

terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.

d. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.

e. CVP rendah.

Sistem Respirasi

Pernapasan cepat dan dangkal.

Sistem Saraf Pusat

Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah

sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar.

Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya

pasien memang karena kesakitan.

Sistem Saluran Cerna

Bisa terjadi mual dan muntah.

Sistem Saluran Kencing

Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60

ml/jam (1/5--1 ml/kg/jam).

Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan

menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan; (2)

Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola

mata cekung.

Page 7: anestesi

Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan

oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan

celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga

berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi,

uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada

dehidrasi berat.

Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal.

Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal

melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis

ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0–7,15 dapat

digunakan 50 ml NaHCO3 8,4% selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0

digunakan rumus 2/2 x berat badan x kelebihan basa.

II. 4 Pemeriksaan Laboratorium dan Hematologi

Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar

hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda

menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin

rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok.Jika pasien mengalami

perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah.

Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah

merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan

intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai

hematokrit menjadi tinggi.

II.5 Diagnosa Differensial

Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada

hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma

cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena

penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang dirawat

di Unit Gawat Darurat.Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput,

oligurik, dan takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya

Page 8: anestesi

mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk

membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula

darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena atau 40 ml larutan

dextrose 40% intravena.

II. 6 Penanggulangan Syok

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk

memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan

suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus

segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.

Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC.

Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa

endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan

memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran

darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok

septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan

intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan

fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.

Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang

hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis

harus dicari dan ditanggulangi.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam

menghadapi syok:

Posisi Tubuh

1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi

penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke

organ-organ vital.

2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan

digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari

Page 9: anestesi

terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama

seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.

3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita

tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk

memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan

jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah

meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya

asfiksia.

4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala

agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh

lainnya.

5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan

dengan posisi telentang datar.

6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan

kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan

tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar

bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

Pertahankan Respirasi

1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.

2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas

(Gudel/oropharingeal airway).

3. Berikan oksigen 6 liter/menit

4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup

(Ambu bag) atau ETT.

Pertahankan Sirkulasi

Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan

darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).

Cari dan Atasi Penyebab

Page 10: anestesi

Syok Hipovolemik

Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien

trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak

terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak

lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna,

seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis,

dan patah tulang besar atau majemuk.

Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.

Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang

hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan

kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul

beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat

terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga

dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika

miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons

tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan.

Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk

mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan

perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan

hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf

simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk

mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma

protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.

Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah

menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume

intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi

defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan

produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya

mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan

cairan garam seimbang.

Page 11: anestesi

Penanggulangan

Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat

larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v.

jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil

contoh darah dan mintakan darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan

tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru,

terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan

cairan.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:

Nadi:

nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.

Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan

darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya

transfusi cairan.

Produksi urin.

Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin

harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya

hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila

volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa

diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2--5

µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12

cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus,

sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

Page 12: anestesi

BAB III

RESUSITASI CAIRAN

III. 1 Manajemen Resusitasi cairan

Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat

berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus

sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit.

Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi

penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada

fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut.

Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang

terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk

perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang

memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis.

Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan

darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang

membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik

adalah tranfusi darah.

Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok

hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat

segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup

untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang

umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh

lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan

pankreatitis akut.

Page 13: anestesi

III. 2 Macam- Macam Jenis Cairan

Umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan

koloid atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung

air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik,

hipotonik, dan hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu

cairan yang BM nya tinggi 7,8.

Cairan Kristaloid

Cairan kristaloid terdiri dari:

1. Cairan Hipotonik

Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu

penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada

dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada

keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes

insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada

kegawatan. Contohnya dextrosa 5%

2. Cairan Isotonik

Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan

plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler

yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya.

Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukanpun

relatif lebih pendek dibanding dengan cairan koloid.

3. Cairan Hipertonik

Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh

karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke

dalam ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu

cairan natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain

mevasodilatasi pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk

Page 14: anestesi

luka bakar karena dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan

mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%

Beberapa contoh cairan kristaloid :

a. Ringer Laktat (RL)

Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4

mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada

larutan ini dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga

terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang

menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat

kemudian dikonversi menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat

dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua

proses ini akan membentuk HCO3.

Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi

elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan

untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan

pada dehidrasi berat karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada

keadaan syok, dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.

b. Ringer Asetat

Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4

mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi

keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat

dimetabolisir di dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme

asetat 250 – 400 mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan

dimetabolisme menjadi bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim

A untuk membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase

dan mengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti

pemakaian Ringer Laktat.

Page 15: anestesi

c. Glukosa 5%, 10% dan 20%

Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9

Glukosa 5% digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan

20% digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan

gagal ginjal akut dengan oliguria .

d. NaCl 0,9%

Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L

Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal

untuk penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia,

hipokloremia atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam

berdarah dengue dan renjatan kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan

dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal

dan luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl biasanya

dikombinasikan dengan cairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa 5 %.

Cairan Koloid

Jenis-jenis cairan koloid adalah :

a. Albumin

Terdiri dari 2 jenis yaitu:

1. Albumin endogen.

Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di

hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam

amino. Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap

tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan

tekanan onkotik plasmanya 1/3nya.

Page 16: anestesi

2. Albumin eksogen.

Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin

eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen

yang dimurnikan (Purified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yang

dimurnikan.

Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam

fisiologis. Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi

intravaskuler mendekati 5x jumlah yang diberikan.Hal ini disebabkan karena

peningkatan tekanan onkotik plasma. Peningkatan ini menyebabkan

translokasi cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan

intersisial mencukupi.

Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi

fungsi miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi

protein yang dimurnikan. Hal ini karena faktor aktivator prekalkrein yang

cukup tinggi dan disamping itu harganya pun lebih mahal dibanding dengan

kristaloid.8 Larutan ini digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok

sindrom

3. HES (Hidroxy Ethyl Starch)

Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Cairan ini

mengandung partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran yang

sangat heterogen.Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam fisiologis.

Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES

dibentuk dari hidroksilasi aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa.8

Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander

yang cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam.

Pengikatan cairan intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh

karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai

adalah adanya gangguan mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila

dosisnya melebihi 20 ml/ kgBB/ hari.

Page 17: anestesi

4. Dextran

Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan

berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang

dikembang biakkan di media sucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu

sampai jutaan Dalton.

Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. dextran 70 mempunyai BM

70.000 (25.000-125.000). sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam

garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran

40. Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan

merupakan pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40.

Dextran 40 mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10%

dalam garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh

ginjal dan dapat memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil dapat

menembus membran kapiler dan masuk ke ruang intersisial dan sebagian lagi

melalui sistim limfatik kembali ke intravaskuler.

Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan kegawatan

menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan transpor oksigen.

Cairan ini digunakan pad penyakit sindroma nefrotik dan dengue syok

sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan

gangguan pembekuan darah.

5. Gelatin

Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada

orang dewasa dan pada bencana alam. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:

1.Modified Fluid Gelatin (MFG)

2. Urea Bridged Gelatin (UBG)

Page 18: anestesi

Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume

expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah

reaksi anafilaksis.

Cairan Kombinasi

1. KaEn 1 B (GZ 3 : 1)

Larutan yang mengandung Natrium 38,5 mEq/L, Klorida 38,5 mEq/L.

Dextrose 37,5 gr/L. Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit

bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.

2. Cairan 2a

Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan NaCl 0,9 % dengan

perbandingan 1 : 1 yang terdiri dari dextrosa monohidrat 55gr/L, dextrosa anhidrat

50 gr/L, Natrium 150 mmol/L dan klorida 150 mmol/L. Cairan ini digunakan pada

diare dengan komplikasi dan bronkopneumoni dengan komplikasi. Sedangkan

campuran glukosa 10% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1:1 digunakan pada

bronkopneumoni dengan dehidrasi oleh karena intake kurang.

3. Cairan G:B 4:1

Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan Natrium Bikarbonat 1,5 % yang

merupakan campuran dari 500 cc Glukosa 5% dan 25 cc Natriun Bikarbonat

8,4%. Cairan ini digunakan pada neonatus yang sakit

4. Cairan DG

Cairan ini terdiri dari Natriun 61 mEq/L, Kalium 18mEq/L serta Laktat 27

mEq/L dan Klorida 52 mEq/L serta Dextrosa 25 g/L.9 Cairan ini digunakan pada

diare dengan komplikasi.

5. Cairan Natrium Bicarbonat (Meylon)

Cairan ini mengandung natrium 25 mEq/25ml dan bicarbonat 25

mEq/25ml. Cairan ini digunakan pada keadaan asidosis akibat defisit bicarbonat.9

Page 19: anestesi

Sediaan dalam bentuk flakon sebanyak 25 ml dengan konsentrasi 8,4% ( 84

mg/ml)

6. Cairan RLD

Cairan yang terdiri dari I bagian Ringer laktat dan 1 bagian Glikosa 5%

yang bisa digunakan pada demam berdarah dengue .

7. Cairan G:Z 4:1

Cairan yang terdiri dari 4 bagian glukosa 5-10% dan 1 bagian NaCL 0,9%

yang bisa digunakan pada dehidrasi berat karena diare murni.

Prinsip Terapi Cairan

Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien.

Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi

elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan

dibagi atas resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut

dan rumatan untuk mengganti kehilangan harian.

Kebutuhan air dan elektrolot sebagai terapi dapat dibagi atas 3 kategori:

1. Terapi pemeliharaan atau rumatan

Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja (

Normal Water Losses = NWL). Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit

disebut Insesible Water Losses (IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini

dihitung berdasarkan kg BB. Kebutuhan cairan untuk terapi rumatan dipengaruhi

oleh suhu lingkungan dan C diatasaktifitas terutama IWL oleh karena itu setiap

kenaikan suhu 1 C kebutuhan cairan ditambah 12%. Sebaliknya IWL akansuhu

tubuh 37 menurun pada keadaan menurunnya aktivitas seperti dalam keadaan

koma dan keadaan hipotermi maka kebutuhan cairan rumatan harus dikurangi 12%

C dibawah suhu tubuh normal. Cairanpada setiap penurunan suhu 1 intravena

Page 20: anestesi

untuk terapi rumatan ini biasanya campuran Dextrosa 5% atau 10% dengan larutan

NaCl 0,9% 4:1 , 3:1, atau 1:1 yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan

menambahkan larutan KCl 2 mEq/kgBB.

2. Terapi deficit

Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal

(Previous Water Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya

berkisar antara 5-15% BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan

dehidrasi ini disebabkan oleh diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus,

kesulitan pemasukan oral dan asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini

derajat dehidrasi dibagi atas ringan yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB,

dehidrasi sedang kehilangan cairan sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat

kehilangan cairan berkisar 10% atau lebih BB.

3. Terapi pengganti kehilangan cairan yang masih tetap berlangsung

( Concomitant water losses=CWL).

Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih

tetap berlangsung, pengisapan lendir, parasentesis dan lainnya. Jumlah

kehilangan CWL ini diperkirakan 25 ml/kgBB/24 jam untuk semua umur.

Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan. Bila pemberian

cairan peroral tidak memungkinkan, maka dicoba dengan pemberian cairan

personde atau gastrostomi, tapi bila juga tidak memungkinkan, tidak

mencukupi atau membahayakan keadan penderita, terapi cairan secara intra

vena dapat diberikan

III. 3 Pemilihan Cairan Intravena

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi

elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah

dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan

intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam

penanganan dan perawatan pasien.

Page 21: anestesi

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter

larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan

terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan

tekanan darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera luka bakar.

Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan

kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok

hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah

dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan

kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga

pemakaian berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik

dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah

larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan

dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia

dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan

Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan

insensibel.

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat

metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan

asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat

terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada

pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat.

Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena

dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk

mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian

Page 22: anestesi

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI.

Jakarta.

2. Handaya, A yuda, 2010. Infus cairan intravena diambil dari

http://dokteryudabedah.com/infus-cairan-intravena-macam-macam-cairan-infus /

diakses tanggal 17 oktober 2011.

3. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru

Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14

Agustus 1999.

4. Sudoyo, Aru w. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV. FKUI.

Jakarta.

SYOK HIPOVOLEMIK

1.1 Latar Belakang

Syok merupakan kegagalan sirkulasi tepi menyeluruh yang mengakibatkan

hipotensi jaringan. Kematian karena syok terjadi bila kejadian ini menyebabkan

gangguan nutrisi dan metabolisme sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan

fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab. Ditandai oleh perfusi jaringan yang

tidak adekuat, Klasifikasi syok menurut etiologi :

1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar.

2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).

3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.

Page 23: anestesi

4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik atau

ekstrinsik. Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikard.

Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah

yang banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau

tersembunyi dalam organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah syok hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang terjadi

preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif. Pasien yang kehilangan darah akan

mengalami masa hipotensi sampai akhirnya pemberian infus cairan tidak dapat

menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut sebagai syok ireversibel.

Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi dengan pemberian

cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja masih

banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi

juga dari efek syok berat yang lama.

Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya

banyak pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat

ditangani. Hal ini terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien

dengan perdarahan kecil namun terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia.

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik mengenai bagaimana penanganan

syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan,

bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah diperlukan.

Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal

kehilangan darah akut. Penatalaksanaan syok hemoragik yang akan dibahas meliputi

penangana awal, pemberian resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian

perdarahan yang masih berlangsung.

2.1 Syok hipovolemik dapat terjadi karena Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah

Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang

sehat. Volume total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam

kilogram) pada pria, dan 50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume

darah berdasarkan berat badan ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah

Cairan Pria Wanita

Page 24: anestesi

Total cairan tubuh 600 mL/kg 500 mL/kg

Whole blood 66 mL/kg 60 mL/kg

Plasma 40 mL/kg 36 mL/kg

Eritrosit 26 mL/kg 24 mL/kg

Anatomi cairan, air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia,

persentasenya dapat berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas

seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan

dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan

pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-

angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita

dewasa 50 % berat badan.5 Hal ini terlihat pada tabel berikut

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada

perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun

perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan

tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka

resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh

didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan

kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular

dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.

Cairan intraselular Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan

intraselular. Pada orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya

terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat

badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya

merupakan cairan intraselular.

Cairan ekstraselular cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular.

Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,

sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1

tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total.

Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.

2.1.1 Respons Kompensasi

Page 25: anestesi

Hilangnya darah dan cairan elektrolit atau syok hipovolemik memicu respons

kompensasi tertentu yang membantu untuk mempertahankan volume darah dan

perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi perpindahan cairan interstisial

ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari

volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.

Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron

oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang dipertahankan

berdistribusi dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar

2/3 cairan ekstraseluler, natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan

kekurangan cairan interstisial yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler.

Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan cairan interstisial, bukan

volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa cairan kristaloid yang

mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan resusitasi

untuk perdarahan akut.

Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai

meningkatkan produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-

lahan, dan penggantian sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2

bulan. Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat

pada kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat

darah yang hilang melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian

volume darah.

2.1.2 Syok akibat Perdarahan Progresif

Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)

1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.

2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi napas.

3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding dengan

kehilangan volume 10%.

Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)

1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea, penurunan

tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit

cemas.

Page 26: anestesi

2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin yang

menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul dengan

peningkatan TD diastolik.

Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)

1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dan takikardia mencolok, TO

sistolik turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal bingung atau

gaduh gelisah.

2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah

jumlah terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan penurunan TD

sistolik.

3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan

memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberian

cairan.

Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)

1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok,

tekanan nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin sedikit

atau tidak ada, status mental depresi (atau kehilangan kesadaran), kulit dingin

dan pucat.

2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.

3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab syok.

Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok lainnya, antara

lain:tamponade jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension

pneumothorax (deviasi trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan

trauma medulla spinalis (kulit hangat, takikardia tidak sebesar yang diduga,

defisit neurologis).

Page 27: anestesi
Page 28: anestesi

2.2 Evaluasi Klinis

Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk

menentukan seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap

aliran sirkulasi dan fungsi organ.

2.3 Hematokrit

Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan

luasnya perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya.

Perubahan kadar hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume

darah dan eritrosit pada perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan

whole blood, dengan penurunan yang proporsional pada volume plasma dan eritrosit.

Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah secara signifikan pada periode awal

setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak dilakukan, pada akhirnya

hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi system renin-

angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan

Page 29: anestesi

air dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah

perdarahan akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.

2.3 Penatalaksanaan Syok Hipovolemik karena Hemoragik

Penatalaksanaan pasien dengan syok karena hemoragik adalah resusitasi cairan.

Selain itu dicari sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan

yang terjadi. Seperti halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway

dan breathing) tetap diperhatikan. Kombinasi dari syok dan gagal napas

mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok

harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila pernapasan tidak

adekuat, intubasi secepatnya dilakukan. Perdarahan luar yang terlihat segera

dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha resusitasi menunjukkan kemungkinan

perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal yang sedang berlangsung.

Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha operasi definitif

secepatnya dilakukan.

2.4 Dasar Resusitasi Cairan

Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh

penggantian cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik

secara langsung berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah

ini dibahas mengenai resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.

2.5 Kanulasi Vena

Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian

cairan. Pada pasien dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena

diperlukan untuk mengembalikan cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi

akses vena adalah letak anatomis vena, beratnya cedera pada tubuh serta

kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses vena tidak boleh

diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh dibawah

difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior.

Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena

di atas dan satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya

yang pendek dengan diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk

melakukan kanulasi vena sentral untuk resusitasi karena vena yang lebih besar

Page 30: anestesi

memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak. Walaupun begitu laju volume

infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada panjang kateter vena. Kateter

yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa mencapai 15-2,5 20 cm

sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja. Dengan begitu untuk resusitasi cairan

pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding kanulasi vena

sentral yang panjang. Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih

cepat. Laju yang sangat cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer.

Panjang kateter ini adalah 12,5-15 cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter

introducer umumnya digunakan pada pemasangan kateter vena sentral tapi alat ini

dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang cepat. Dengan gaya gravitasi, laju

cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini mencapai 15 ml/detik, sedikit lebih

rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm yaitu 18 ml/detik. Menurut

acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan adalah

dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti

vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena.

Tempat lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis.

Vena subklavia dan jugular interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan

pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi dan keberhasilannya rendah karena

vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat menjadi sulit pada

pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema, kegemukan,

jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar.

Pada keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar

dapat dicoba pada vena femoral secara perkutan atau vena seksi. Akses vena

subklavia menyediakan akses cepat dan aman di tangan ahli. Komplikasi tersering

adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri karena secara anatomis

pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti perforasi vena atau

arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular jarang

digunakan karena kecurigaan trauma servikal.

2.6 Aliran Cairan Resusitasi

Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:

1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat

eritrosit/‘packed’ cells)

Page 31: anestesi

2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas

untuk keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)

3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-

molekul kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan

kristaloid).

Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada

viskositasnya. Cairan yang mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan

resusitasi yang memiliki viskositas lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini

adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau hematokrit. Dengan demikian laju aliran

whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5% sementara aliran packed RBCs

adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat ditingkatkan dengan

pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga ditambahkan

cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah.

Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih

rendah dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi

dari densitas sel sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.

2.5 Strategi Resusitasi

Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas

dua tahap yaitu resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late

resuscitation). Pembagian kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang

menyebabkan resusitasi tidak dapat dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi

syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan, akan terjadi dilusi dari sel darah

merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal tersebut akan

menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh yang

meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal

dari vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin

banyak sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus

kenaikan tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan

kembali ke hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam

dua tahap. Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung

pada pasien. Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol.

Page 32: anestesi

Karena dilakukan pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini

berbeda.

Tujuan dari resusitasi dini adalah:

1. Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.

2. Mempertahankan hematokrit 25-30%.

3. Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.

4. Mempertahankan trombosit > 50.000.

5. Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.

6. Mempertahankan suhu > 35°C.

7. Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.

8. Mencegah peningkatan serum laktat.

9. Mencegah perburukan asidosis.

Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.

Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah:

1. Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.

2. Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.

3. Normalisasi status koagulasi.

4. Normalisasi keseimbangan elektrolit.

5. Normalisasi temperatur tubuh.

6. Mengembalikan output urin ke batas normal.

7. Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.

8. Memperbaiki asidosis sistemik.

9. Menurunkan laktat ke batas normal.

Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap

dilakukan sampai diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat. Tujuan utama

penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan ambilan

oksigen (VO) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolism

aerobik.

Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang

mendekati. Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid

maupun koloid sebagai pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa

resusitasi menggunakan koloid lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara

pengguna kristaloid berpendapat bahwa kristaloid lebih tepat menangani syok

karena menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (karena pada syok

Page 33: anestesi

terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid lebih murah walaupun

dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan kristaloid agar

efek resusitasinya sama dengan koloid).

Cairan koloid memiliki efek alergi lebih sedikit. Walaupun begitu tidak

terdapat bukti yang mengharuskan seseorang menggunakan salah satu cairan.

Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan dalam klinis sehari-

hari. Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan

konsentrasi hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana

cara meningkatkan curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.

2.5.1 Salah satu akibat dari syok hipovolemik yaitu meningkatkan curah jantung

Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan

dari konsekuensi anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien

dengan perdarahan adalah meningkatkan curah jantung. Cairan resusitasi dan curah

jantung. Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai

dengan mengukur dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed

cells (2 unit = 500 ml), dextran-40 (500 ml).

Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam

meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer

laktat (1 L) adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume

maka cairan koloid adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding

whole blood, enam kali lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih

efektif dibanding cairan kristaloid (RL). Kemampuan darah yang terbatas untuk

meningkatkan curah jantung adalah karena efek viskositas darah.

Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam

penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai

terapi awal resusitasi cairan.

Cairan koloid dan kristaloid Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas

mendekati air karena keduanya tidak mengandung sel. Perbedaan keduanya adalah

pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun atas natrium yang

terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20% cairan

ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20%

cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial.

Cairan koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid

Page 34: anestesi

yang besar tidak dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan

infus koloid akan tetap berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma

paling tidak pada jam-jam awal infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari

peningkatan preload (peningkatan volume darah) dan efek penurunan afterload (efek

dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting dalam resusitasi cairan:

1. Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan

kristaloid untuk meningkatkan curah jantung

2. Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung

sehingga sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi

3. Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid

menambah

4. volume interstisial

5. Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan

kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid

Memperkirakan volume cairan total Pendekatan yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan

menghitung berat badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).

2. Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah <

15% volume darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas

III bila kehilangan darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari

40% volume darah.

3. Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal

dikali % kehilangan darah

4. Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan

dengan anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume

infus whole blood, 5075% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume

infus cairan kristaloid. Volume resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit

volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh jika defisit volume 2 L

dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75% tertahan di intra

vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L

cairan koloid.

2.5.2 Tahapan Determinasi Jumlah Volume

Page 35: anestesi

1. Estimasi volume darah normal (BV) BV = 66mL/kg (♂)

= 60 mL/kg (♀)

2. Estimasi % volume darah yang hilang Kelas I: < 15%

Kelas II: 15-30%

Kelas III: 30-40%

Kelas IV: > 40%

3. Kalkulasi defisit volume (VD) VD = BV x % BV yang hilang

4. Determinasi volume resusitasi (RV) RV = VD x 1 (koloid) = VD x 3 (kristaloid)

Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung

berdasarkan kondisi klinis pasien.

2.5.3 Pemantauan Resusitasi

Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas,

urin yang keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk

memantau preload pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk

diantaranya gas darah, elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal,

gula darah, hematologi dan koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan

untuk mengetahui efektivitas dukungan kardiovaskular.

2.6 Transfusi Darah

Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh.

Dengan meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut

meningkat. Keadaan itu menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami

hipoksia.

2.6.1 Rekomendasi transfusi sel darah merah

1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl,

terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik

dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang

lebih rendah dapat diterima. (Rekomendasi A)

Page 36: anestesi

2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila

ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan

laboratorium. (Rekomendasi C)

3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb =10 g/dl, kecuali bila ada indikasi

tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih

tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung

iskemik berat). (Rekomendasi A)

4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb =11

g/dl; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dl (seperti pada

anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang

sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi

adalah Hb =13 g/dl. (Rekomendasi C)

2.6.2 Rekomendasi transfusi trombosit

1. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung

trombosit <50.000/µl, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya

menjadi <100.000/µl. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada

penatalaksanaan masingmasing. (Rekomendasi C)

2. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/µlpada pasien yang akan

menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.

(Rekomendasi C)

3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.

(RekomendasiC)

2.6.3 Rekomendasi transfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma)

1. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibisi koagulasi baik

yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau

kombinasi. (Rekomendasi C)

2. Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang

mengancam nyawa. (Rekomendasi C)

3. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfuse

massif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.

(Rekomendasi C)

Page 37: anestesi

2.6.4 Rekomendasi transfusi kriopresipitat

1. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani

prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.

(Rekomendasi C)

2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami

perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau

akan menjalani operasi. (Rekomendasi C)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah

uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal

plasenta terletak diatas uterus.

Plasenta yang ada di depan jalan lahir. (prae = di depan, vias = jalan), jadi yang di

maksud adalah plasenta implantasinya tidak normal sehingga menutupi seluruh atau

sebahagian jalan lahir (Ostium Uteri Internium).

Page 38: anestesi

2.2 KLASIFIKASI

Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan

fisiologik. Sehingga klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa

total pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa pada pembukaan

8 cm.

Beberapa klasifikasi plasenta previa:

2.2.1 Menurut de Snoo, berdasarkan pembukaan 4 -5 cm

1. Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm teraba plasenta

menutupi seluruh ostea.

2. Plasenta previa lateralis; bila mana pembukaan 4-5 cm sebagian pembukaan ditutupi

oleh plasenta, dibagi 2 :

2.1 Plasenta previa lateralis posterior; bila sebagian menutupi ostea bagian

belakang.

2.2 Plasenta previa lateralis anterior; bila sebagian menutupi ostea bagian

depan.

2.3 Plasenta previa marginalis; bila sebagian kecil atau hanya pinggir ostea

yang ditutupi plasenta.

2.2.2 Menurut penulis buku-buku Amerika Serikat :

1. Plasenta previa totalis ; seluruh ostea ditutupi uri.

2. Plasenta previa partialis ; sebagian ditutupi uri.

3. Plasenta letak rendah, pinggir plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir pembukaan

Pada periksa dalam tak teraba.

Page 39: anestesi

2.2.3 Menurut Browne:

1. Tingkat I, Lateral plasenta previa :

Pinggir bawah plasenta berinsersi sampai ke segmen bawah rahim, namun tidak

sampai ke pinggir pembukaan.

2. Tingkat II, Marginal plasenta previa: Plasenta mencapai pinggir pembukaan

(Ostea).

1. Gejala klinis

a. Gejala utama plasenta previa adalah pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri

dari biasanya berulang darah biasanya berwarna merah segar.

b. Bagian terdepan janin tinggi (floating). sering dijumpai kelainan letak janin.

c. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,

kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat

dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding)

biasanya lebih banyak.

d. Janin biasanya masih baik.

2. Pemeriksaan in spekulo

Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri

eksternum atau dari kelainan cervix dan vagina. Apabila perdarahan berasal dari

ostium uteri eksternum, adanya plasenta harus dicurigai.

3. Penentuan letak plasenta tidak langsung

Dapat dilakukan dengan radiografi, radio sotop dan ultrasonografi. Akan tetapi

pada pemerikasaan radiografi clan radiosotop, ibu dan janin dihadapkan pada

bahaya radiasi sehingga cara ini ditinggalkan. Sedangkan USG tidak

menimbulkan bahaya radiasi dan rasa nyeri dan cara ini dianggap sangat tepat

untuk menentukan letak plasenta.

4. Penentuan letak plasenta secara langsung

Pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan

banyak. Pemeriksaan harus dilakukan di meja operasi. Perabaan forniks. Mulai

dari forniks posterior, apa ada teraba tahanan lunak (bantalan) antara bagian

terdepan janin dan jari kita. Pemeriksaan melalui kanalis servikalis. Jari di

masukkan hati-hati kedalam OUI untuk meraba adanya jaringan plasenta.

Page 40: anestesi

Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui

pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu. Disebut plasenta previa totalis apabila seluruh

pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta; plasenta previa parsialis apabila sebagian

pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta; dan plasenta previa marginalis apabila pinggir

plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan. Plasenta yang letaknya abnormal pada

segmen bawah uterus, akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir, disebut

plasenta letak rendah. Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm di atas pinggir

pembukaan jalan lahir.

Karena klasifikasi ini tidak didasarkan pada keadaan anatomic melainkan fisiologik,

maka klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa totalis pada

pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa parsialis pembukaan 8 cm.

Tentu saja observasi seperti ini tidak akan terjadi dengan penanganan yang baik.

2.3 FREKUENSI

Kejadian plasenta previa sekitar 0,3% sampai 0,6% dari persalinan, sedangkan di rumah

sakit lebih tinggi, karena menerima rujukan dari luar.

2.4 ETIOLOGI

Mengapa plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu jelas dapat diterangkan.

Bahwasanya vaskularisasi yang berkurang, atau perubahan atropi pada desidua akibat

persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, tidaklah selalu benar, karena

tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita

dengan paritas tinggi.

Menurut Kloosterman (1973), Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang

berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida

yang berumur kurang dari 25 tahun; pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun

kira-kira 4 kali lebih sering dibandingkan dengan grande multipara yang berumur kurang dari

25 tahun.

Tabel

Hubungan frekuensi plasenta previa dengan umur ibu dan paritasnya di Rumah Sakit Dr.

Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Page 41: anestesi

(1971-1975)

Umur Primigravida (%) Multigravida (%)

15-19 1,7 1,6

20-24 2,3 6,9

25-29 2,9 7,9

30-34 1,7 9,7

35- 5,6 9,5

Jumlah 2,2 7,7

Angka-angka dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tabel diatas menunjukkan

bahwa frekuensi plasenta previa meningkat dengan meningkatnya paritas dan umur.

Berlainan dengan angka-angka yang dikemukakan oleh Kloosterman (1973), di Rumah

Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur

lebih dari 35 tahun kira-kira 2 kali lebih besar dibandingkan dengan primigravida yang

berunur kurang dari 25 tahun ; pada para 3 atau lebih yang berumur lebih dari 35 tahun kira-

kira 3 kali lebih besar dibandingkan dengan para 3 atau lebih yang berumur kurang dari 25

tahun.

Tabel

Hubungan frekuensi plasenta previa dengan paritas ibu

di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

(1971-1975)

Paritas Frekuensinya (%)

0 2,2

1-3 6,2

4-6 8,6

7- 10,3

Jumlah 5,9

2.4.1 Faktor Predisposisi :

1. Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).

2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan atrofik dan

inflamatorotik.

3. Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC, Kuret, dll).

4. Chorion leave persisten.

Page 42: anestesi

5. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil

konsepsi.

6. Konsepsi dan nidasi terlambat.

7. Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis

2.5 GAMBARAN KLINIK

Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari

plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa. Perdarahan

pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fataL. Akan tetapi perdarahan

berikutnya hampir selalu banyak daripada sebelumnya, apalagi jika sebelumnya telah

dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun perdarahan sering dikatakan terjadi dalam triwulan

ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak kehamilan 20 minggu karena sejak itu

segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah

tuanya kehamilan, Segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi dan serviks mulai

membuka.Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah

uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di situ tanpa

terlepasnya sebagian palsenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan.

Darahnya berwarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio

plasenta yang berwarna kehitam-hitaman. Sumber perdarahannya ialah sinus uterus yang

terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis

dari plasenta . Perdarahannya tak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot

segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak sebagaimana

serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala 3 dengan plasenta yang letaknya

normal. Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi.

2.6 DIAGNOSIS

Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya

ialah plasenta previa sampai ternyata dugaan itu salah. Penentuan jenis plasenta previa dapat

dilakukan dengan USG dan pemeriksaan dalam atau spekutum di kamar operasi

2.6.1 Anamnesis

Page 43: anestesi

Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri,

tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari

anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.

2.6.2 Pemeriksaan luar

Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul, apabila persentasi

kepala, biasanya kepalanya masih terapung di atas pintu atas panggul atau mengolak ke

samping, dan sukar di dorong ke dalam pintu atas panggul. Tidak jarang terdapat

kelainan letak janin, seprti letak lintang atau letak sungsang.

2.6.3 Pemeriksaan in spekulo

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perdarahan berasal dari

ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis

uteri, karsinoma porsionis uteri, polipus servisis uteri, varises vulva dan trauma. Apabila

perdarahan berasal dari ostiumuteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.

Penanganan letak plasenta secara langsung. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat

tentang adanya dan jens palenta previa ialah langsung meraba plasenta melalui kanalis

servikalis. Akan tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan

perdarahan banyak. Oleh karena itu pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya

dilakukan apabila penanganan pasif ditinggalkan, dan ditempuh penanganan aktif.

Pemeriksaan harus dilakukan dalam keadaan siap operasi. Pemeriksaan dalam di meja

operasi dilakukan sebagai berikut.

Perabaan formises. Pemeriksaan ini hanya bermakna apabila janin dalam presentasi

kepala. Sambil mendorong sedikit kepala janin ke arah pintu atas panggul, perlahan-

lahan seluruh fornises diraba dengan jari. Perabaannya terasa lunak apabila antara jari

dan kepala janin terdapat plasenta; dan akan terasa padat ( keras). Apabila antara jari dan

kepala janin tidak terdapat palsenta. Bekuan darah dapat dikelirukan dengan plasenta.

Plasenta. Plasenta yang tipis mungkin tidak terasa lunak. Pemeriksaan ini harus selalu

mendahului pemeriksaan melalui kanalis servikalis, untuk mendapat kesan pertama ada

tidaknya plasenta previa.

Pemeriksaan melalui kanalis servikalis. Apabila kanalis servikalis telah terbuka,

perlahan-lahan jari telunjuk dimasukkan ke dalam kanalis servikalis, dengan tujuan

Page 44: anestesi

kalau-kalau meraba kotiledon plasenta. Apabila kotiledon plasenta teraba, segera jari

telunjuk dikeluarkan dari kanalis servikalis. Jangan sekali-kali berusaha menyelusuri

pinggir plasenta seterusnya karena mungkin plasenta akan terlepas dari insersionya yang

dapat menimbulkan perdarahan banyak.

2.6.4 Pemeriksaan Ultrasonografi

Pada pertengahan trimester II, plasenta menutup ostium internum pada 30% kasus.

Dengan perkembangan segmen bawah rahim, sebagian besar implantasi yang rendah

tersebut terbawa ke lokasi yang lebih atas.

Penggunaan color Doppler dapat menyingkirkan kesalahan pemeriksaan.

USG transvaginal secara akurat dapat menentukan adanya plasenta letak rendah pada

segmen bawah uterus.

2.7 DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding plasenta previa antara lain solusio plasenta, vasa previa, laserasi serviks

atau vagina. Perdarahan karena laserasi serviks atau vagina dapat dilihat dengan inspekulo.

Vasa previa, dimana tali pusat berkembang pada tempat abnormal selain di tengah plasenta,

yang menyebabkan pembuluh darah fetus menyilang servix. Vasa previa merupakan keadaan

dimana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi dengan vilamentosa yakni pada selaput

ketuban. Hal ini dapat menyebabkan ruptur pembuluh darah yang mengancam janin. Pada

pemeriksaan dalam vagina diraba pembuluh darah pada selaput ketuban. Pemeriksaan juga

dapat dilakukan dengan inspekulo atau amnioskopi. Bila sudah terjadi perdarahan maka akan

diikuti dengan denyut jantung janin yang tidak beraturan, deselerasi atau bradikardi,

khususnya bila perdahan terjadi ketika atau beberapa saat setelah selaput ketuban pecah.

Page 45: anestesi

2.8 PENATALAKSANAAN PLASENTA PREVIA

Semua pasien dengan perdarahan per vagina pada kehamilan trimester ketiga, dirawat di

rumah sakit tanpa periksa dalam. Bila pasien dalam keadaan syok karena pendarahan yang

banyak, harus segera diperbaiki keadaan umumnya dengan pemberian infus atau tranfusi

darah.

Selanjutnya penanganan plasenta previa bergantung kepada :

• Keadaan umum pasien, kadar hb.

• Jumlah perdarahan yang terjadi.

• Umur kehamilan/taksiran BB janin.

• Jenis plasenta previa.

• Paritas dan kemajuan persalinan

2.8.1 Penanganan Ekspektif

Kriteria : - Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

- Perdarahan sedikit

- Belum ada tanda-tanda persalinan

- Keadaan umum baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih.

Rencana Penanganan :

1. Rawat inap, tirah baring, dan berikan antibiotik profilaksis

2. Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia

kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin

3. Periksa Hb, HCT, COT, golongan darah.

4. Awasi tanda vital ibu, perdarahan, dan detak jantung janin.

5. Berikan tokolitik bila ada kontraksi :

MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam

Nifedipin 3 x 20 mg/hari

Betamethason 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin

1. Uji pematangan paru janin dengan test kocok dari hasil amniosentesis

2. Bila setelah usia kehamilan di atas 34 minggu, plasenta masih berada disekitar ostium

uteri internum, maka dugaan plasenta previa menjadi jelas, sehingga perlu dilakukan

observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan keadaan gawat darurat

Page 46: anestesi

3. Bila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien

dapat dipulangkan untuk rawat jalan (kecuali apabila rumah pasien di luar kota dan

jarak untuk mencapai rumah sakit lebih dari 2 jam)

4. Terapi aktif (tindakan segera)

Wanita hamil di atas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan banyak, harus

segera ditatalaksana secara aktif tanpa memandang maturitas janin. Cara menyelesaikan

persalinan dengan plasenta previa

2.8.2 Penanganan aktif

Kriteria :

• umur kehamilan >/ = 37 minggu, BB janin >/ = 2500 gram.

• Perdarahan banyak 500 cc atau lebih.

• Ada tanda-tanda persalinan.

• Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr%.

Untuk menentukan tindakan selanjutnya SC atau partus pervaginum, dilakukan

pemeriksaan dalam kamar operasi, infusi transfusi darah terpasang.

2.8.3 Indikasi Seksio Sesarea :

1. Plasenta previa totalis.

2. Plasenta previa pada primigravida.

3. Plasenta previa janin letak lintang atau letak sungsang

4. Anak berharga dan fetal distres

5. Plasenta previa lateralis jika :

• Pembukaan masih kecil dan perdarahan banyak.

• Sebagian besar OUI ditutupi plasenta.

• Plasenta terletak di sebelah belakang (posterior).

6. Profause bleeding, perdarahan sangat banyak dan mengalir dengan cepat.

2.8.4 Partus per vaginam.

Dilakukan pada plasenta previa marginalis atau lateralis pada multipara dan anak

sudah meninggal atau prematur.

1. Jika pembukaan serviks sudah agak besar (4-5 cm), ketuban dipecah (amniotomi)

jika hid lemah, diberikan oksitosin drips.

2. Bila perdarahan masih terus berlangsung, dilakukan SC.

Page 47: anestesi

3. Tindakan versi Braxton-Hicks dengan pemberat untuk menghentikan perdarahan

(kompresi atau tamponade bokong dan kepala janin terhadap plasenta) hanya

dilakukan pada keadaan darurat, anak masih kecil atau sudah mati, dan tidak ada

fasilitas untuk melakukan operasi.

Pengelolaan plasenta previa tergantung dari banyaknya perdarahan, umur kehamilan dan

derajat plasenta previa. Setiap ibu yang dicurigai plasenta previa hams dikirim ke rumah sakit

yang memiliki fasilitas untuk transfusi darah dan operasi. Sebe- lum penderita syok, pasang

infus NaCl/RL sebanyak 2 -3 kali jumlah darah yang hilang. Jangan melakukan pemeriksaan

dalam atau tampon vagina, karena akan memperbanyak perdarahan

dan menyebabkan infeksi

. Bila usia kehamilan kurang 37 minggu/TBF < 2500 g: Perdarahan sedikit keadaan ibu

dan anak baik maka biasanya penanganan konservatif sampai umur kehamilan aterm.

Penanganan berupa tirah baring, hematinik, antibiotika dan tokolitik bila ada his. Bila selama

3 hari tak ada perdarahan pasien mobilisasi bertahap. Bila setelah pasien berjalan tetap tak

ada perdarahan pasien boleh pulang. Pasien dianjurkan agar tidak coitus, tidak bekerja keras

dan segera ke rumah sakit jika terjadi perdarahan. Nasihat ini juga dianjurkan bagi pasien

yang didiagnosis plasenta previa dengan USG namun tidak mengalami perdarahan. Jika

perdarahan banyak dan diperkirakan membahayakan ibu dan janin maka dilakukan resusitasi

cairan dan penanganan secara aktif

Bila umur kehamilan 37 minggu/lebih dan TBF 2500 g maka dilakukan penanganan

secara aktif yaitu segera mengakhiri kehamilan, baik secara pervagina/perabdominal.

Persalinan pervagina diindikasikan pada plasentaprevia marginalis, plasenta previa letak

rendah dan plasenta previa lateralis dengan pem- bukaan 4 cm/lebih. Pada kasus tersebut bila

tidak banyak perdarahan maka dapat dilakukan pemecahan kulit ketuban agar bagian bawah

anak dapat masuk pintu atas panggul menekan plasenta yang berdarah. Bila his tidak adekuat

dapat diberikan pitosin drip. Namun bila perdarahan tetap ada maka dilakukan seksio sesar.

Persalinan dengan seksio sesar diindikasikan untuk plasenta previa totalis baik janin mati atau

hidup, plasenta previa lateralis dimana perbukaan <4 cm atau servik belum matang, plasenta

previa dengan perdarahan yang banyak dan plasenta previa dengan gawat janin. Plasenta

previa dengan perdarahan merupakan keadaan darurat kebidanan yang memerlukan

penanganan yang baik. Bentuk pertolongan pada plasenta previa adalah:

1. Segera melakukan operasi persalinan untuk dapat menyelamatkan ibu dan anak atau

untuk mengurangi kesakitan dan kematian.

Page 48: anestesi

2. Memecahkan ketuban di atas meja operasi selanjutnya pengawasan untuk dapat

melukakan pertolongan lebih lanjut.

3. Bidan yang menghadapi perdarahan plasenta previa dapat mengambil sikap

melakukan rujukan ke tempat pertolongan yang mempunyai fasilitas yang cukup.

Dalam melakukan rujukan penderita plasenta previa sebaiknya dilengkapi dengan:

- Pemasangan infus untuk mengimbangi perdarahan

- Sedapat mungkin diantar oleh petugas

- Dipersiapkan donor darah untuk transfusi darah.

Pertolongan persalinan seksio sesaria merupakan bentuk pertolongan yang paling banyak

dilakukan. Bentuk operasi lainnya seperti:

a. Cunam Willet Gausz

- Menjepit kulit kepala bayi pada plasenta previa yang ketubannya telah dipecahkan

- Memberikan pemberat sehingga pembukaan dipercepat

- Diharapkan persalinan spontan

- Sebagian besar dilakukan pada janin telah meninggal.

b. Versi Braxton Hicks

- Dilakukan versi ke letak sungsang

- Satu kaki dikeluarkan sebagai tampon dan diberikan pemberat untuk mempercepat

pembukaan dan menghentikan perdarahan.

- Diharapkan persalinan spontan

- Janin sebagian besar akan meninggal

c. Pemasangan kantong karet metreurynter

- kantong karet dipasang untuk menghentikan perdarahan dan mempercepat

pembukaan sehingga persalinan dapat segera berlangsung.Dengan kemajuan dalam

operasi kebidanan, pemberiam transfusi, dan cairan maka tatalaksana pertolongan

perdarahan plasenta previa hanya dalam bentuk :

- memecahkan ketuban

- melakukan seksio sesaria

- untuk bidan segera melakukan rujukan sehingga mendapat pertolongan yang cepat

dan tepat.

2.9 KOMPLIKASI

Page 49: anestesi

Komplikasi ibu yang sering terjadi adalah perdarahan post partum dan syok karena kurang

kuatnya kontraksi segmen bawah rahim, infeksi dan trauma dan uterus/servik

1. Perdarahan dan syok.

2. Infeksi.

3. Laserasi serviks.

4. Plasenta akreta. Pada kondisi ini, plasenta berimplantasi terlalu dalam dan kuat pada

dinding uterin, yang menyebabkan sulitnya plasenta terlepas secara spontan saat

melahirkan. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan hebat dan perlu operasi histerektomi.

Keadaan ini jarang, tetapi sangat khas mempengaruhi wanita dengan plasenta previa atau

wanita dengan sesar sebelumnya atau operasi uterus lainnya

5. Prematuritas atau lahir mati

6. Prolaps tali pusar.

7. Prolaps plasenta

Komplikasi bayi yang sering terjadi adalah prematuritas dengan angka kematian ± 5%

2.10 PROGNOSIS

2.10.1 Maternal

Tanpa melakukan tindakan Double setup, langsung melakukan tindakan seksio

sesar dan pemberian anaestesi oleh tenaga kompeten, maka angka kematian dapat

diturunkan sampai < 1%

2.10.2 FETAL

Mortalitas perinatal yang berhubungan dengan plasenta previa kira-kira 10%

Meskipun persalinan prematur, solusio plasenta, cedera talipusat serta perdarahan

yang tak terkendali tak dapat dihindari, angka mortalitas dapat sangat diturunkan

melalui perawatan obstetrik dan neonatus yang ideal

Page 50: anestesi

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Antepartum Bleeding. Williams Obstetrics. 20th

ed. Norwalk: Appleton & Lange, 1997.

Chalik TMA. Plasenta Previa. Dalam: Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Ed.1.

Jakarta: Widya Medika, 1997. hal 129-143

Prawirohardjo. S, Ilmu Kebidanan, Ed. III, cet.II, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, 1992,hal.365-376.

Mochtar. R, Sinopsis Obstetri I, Ed. II, Jakarta, EGG, 1989,hal.300-311.

Bagian Obstetri & Ginekologi Fak. Kedokteran Universitas Sumatera Utara/R.S Dr. Pringadi

Medan, Pedoman Diagnosis dan Therapi Obstetri-Ginekologi R.S. Dr. Pringadi

Medan, 1993, halo 6-10,

Bagian Obstetri & Ginekologi Fak.Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Obstetri

Patologi, Ed. 1984, Elstar Offset Bandung, halo 110-120

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999. hal 362-376. Perdarahan Antepartum

dalam: Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran Bandung. Elstar Offset Bandung, 1982. hal. 110-120

pp. 755-60.

Tucker DE. Low Lying Placenta. 1998. Available from: http://www.womens.healt

co.uk/praevia.htm.

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung. Obstetri Patologi.

Bandung: Elstar offset, 1982; 110-27.

PB. POGl, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Bagian 1, Jakarta: Balai

Penerbit FK UI, 1991; 9-13.

Mochtar R. Sinopsis Obstetri 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1990; 296-322.

Page 51: anestesi

Heller L. Emergencies in Gynaecology and Obstetrics. diterjemahkan oleh Mochaznad

Martoprawiro dan Adji Dharma. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1988; 25-9.

Klapholz H. Placenta Previa.. In: Friedman EA, Acker DB, Sachs BP, Obstetrical Decision

Making,2 nd ed. Philadelphia: BC Decker mc, 1987; 88-9.