anestesi
-
Upload
bram-babam-sesario-rendi -
Category
Documents
-
view
29 -
download
4
description
Transcript of anestesi
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Cairan intravena
Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme
tubuh dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang
berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan
pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna.
Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran.
Air tubuh terdapat didalam sel (intrasel) dan diluar sel (ekstrasel).Cairan
extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi yang
sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah
klorida dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan
magnesium sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat.
Biasanya perubahan komposisi plasma darah mencerminkan perubahan yang terjadi
dalam semua cairan tubuh.
Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat
dibagi menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta
kehilangan cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal
yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan masukkan cairan
atau peningkatan pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan
cairan akibat penyakit dan kehilangan yang tetap berlangsung secara normal.
Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan
secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan
diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula
diberikan secara intravena.D alam pelaksanaannya pemberian cairan secara intravena
pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis
cairan, jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan
gejala klinik lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat
kematangan sistem pengaturan air dan elektrolit.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang
tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah
yang cepat (syok haemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang
akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada
organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat
merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh
syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis
refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari referat ini adalah syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya.
Referat ini dianjurkan untuk mendiskusikan tentang patofisiologi dan penanganan
syok hipovolemik akibat kehilangan cairan dibandingkan darah.
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun
1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi
syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda
resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan.
Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan
pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam
menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting
pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain
membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik
traumatik. Namun, peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang,
muncul kontraversi seputar penangan minimal pada syok haemoragik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SYOK
II. 1 Definisi dan Penyebab Syok
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland
tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya
pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan
terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi
intensif.
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:
1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial
rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.
2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian
kapiler yang jelek.
Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok
anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat
disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar
tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah
yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan
atau fraktur femur menampung 1000–1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pancreatitis, dan gastroenteritis
b. Renal: terapi diuretic, krisis penyakit Addison.
c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah
dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke,
1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian
syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki
serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan.
Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliuan menejemen dapat berakibat fatal.
Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk
mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi
cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa
dengan menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyababkan gangguan pada
fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan akibat lanjutan dari
gangguan fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan
umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan
elektrolit, plasma, atau darah. Untuk memperbaiki sirkulasi langkah utamanya adalah
mengupayakan aliran vena yang memadai.
II. 2 Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi
sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan
sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber
perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya
menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu
sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi
bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh
baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru
dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan
menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab
pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air
dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis
sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi.
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi
perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan
darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung
akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
II. 3 Gejala dan Tanda Klinis
Sistem Kardiovaskuler
a. Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian
vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
b. Nadi cepat dan halus
c. Hipotensi, karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah
sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg. Hal ini
kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai
terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.
d. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
e. CVP rendah.
Sistem Respirasi
Pernapasan cepat dan dangkal.
Sistem Saraf Pusat
Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah
sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar.
Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya
pasien memang karena kesakitan.
Sistem Saluran Cerna
Bisa terjadi mual dan muntah.
Sistem Saluran Kencing
Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60
ml/jam (1/5--1 ml/kg/jam).
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan; (2)
Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola
mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan
oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan
celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga
berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi,
uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada
dehidrasi berat.
Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal.
Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal
melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis
ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0–7,15 dapat
digunakan 50 ml NaHCO3 8,4% selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0
digunakan rumus 2/2 x berat badan x kelebihan basa.
II. 4 Pemeriksaan Laboratorium dan Hematologi
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda
menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin
rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok.Jika pasien mengalami
perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah.
Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah
merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan
intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai
hematokrit menjadi tinggi.
II.5 Diagnosa Differensial
Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada
hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma
cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena
penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang dirawat
di Unit Gawat Darurat.Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput,
oligurik, dan takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya
mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk
membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula
darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena atau 40 ml larutan
dextrose 40% intravena.
II. 6 Penanggulangan Syok
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan
suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus
segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC.
Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa
endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan
memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran
darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok
septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan
fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang
hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis
harus dicari dan ditanggulangi.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam
menghadapi syok:
Posisi Tubuh
1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke
organ-organ vital.
2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita
tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk
memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan
jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah
meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya
asfiksia.
4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala
agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh
lainnya.
5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan
dengan posisi telentang datar.
6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan
kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan
tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar
bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
Pertahankan Respirasi
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
3. Berikan oksigen 6 liter/menit
4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup
(Ambu bag) atau ETT.
Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).
Cari dan Atasi Penyebab
Syok Hipovolemik
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien
trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak
terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak
lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna,
seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis,
dan patah tulang besar atau majemuk.
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang
hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan
kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul
beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat
terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga
dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons
tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan.
Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk
mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan
perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan
hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf
simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk
mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma
protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.
Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah
menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume
intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi
defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan
produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya
mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan
cairan garam seimbang.
Penanggulangan
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat
larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v.
jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil
contoh darah dan mintakan darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan
tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru,
terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan
cairan.
Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:
Nadi:
nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan
darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya
transfusi cairan.
Produksi urin.
Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin
harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya
hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila
volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa
diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2--5
µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12
cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus,
sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.
BAB III
RESUSITASI CAIRAN
III. 1 Manajemen Resusitasi cairan
Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus
sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit.
Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi
penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada
fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut.
Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang
terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk
perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang
memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis.
Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan
darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang
membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik
adalah tranfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok
hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat
segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup
untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang
umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh
lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan
pankreatitis akut.
III. 2 Macam- Macam Jenis Cairan
Umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan
koloid atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung
air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik,
hipotonik, dan hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu
cairan yang BM nya tinggi 7,8.
Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid terdiri dari:
1. Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu
penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada
dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada
keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes
insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada
kegawatan. Contohnya dextrosa 5%
2. Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan
plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler
yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya.
Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukanpun
relatif lebih pendek dibanding dengan cairan koloid.
3. Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh
karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke
dalam ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu
cairan natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain
mevasodilatasi pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk
luka bakar karena dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan
mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%
Beberapa contoh cairan kristaloid :
a. Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4
mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada
larutan ini dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga
terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang
menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat
kemudian dikonversi menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat
dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua
proses ini akan membentuk HCO3.
Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi
elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan
untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan
pada dehidrasi berat karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada
keadaan syok, dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.
b. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4
mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi
keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat
dimetabolisir di dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme
asetat 250 – 400 mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan
dimetabolisme menjadi bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim
A untuk membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase
dan mengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti
pemakaian Ringer Laktat.
c. Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9
Glukosa 5% digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan
20% digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan
gagal ginjal akut dengan oliguria .
d. NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L
Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal
untuk penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia,
hipokloremia atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam
berdarah dengue dan renjatan kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan
dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal
dan luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl biasanya
dikombinasikan dengan cairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa 5 %.
Cairan Koloid
Jenis-jenis cairan koloid adalah :
a. Albumin
Terdiri dari 2 jenis yaitu:
1. Albumin endogen.
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di
hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam
amino. Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap
tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan
tekanan onkotik plasmanya 1/3nya.
2. Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin
eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen
yang dimurnikan (Purified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yang
dimurnikan.
Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam
fisiologis. Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi
intravaskuler mendekati 5x jumlah yang diberikan.Hal ini disebabkan karena
peningkatan tekanan onkotik plasma. Peningkatan ini menyebabkan
translokasi cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan
intersisial mencukupi.
Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi
fungsi miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi
protein yang dimurnikan. Hal ini karena faktor aktivator prekalkrein yang
cukup tinggi dan disamping itu harganya pun lebih mahal dibanding dengan
kristaloid.8 Larutan ini digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok
sindrom
3. HES (Hidroxy Ethyl Starch)
Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Cairan ini
mengandung partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran yang
sangat heterogen.Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam fisiologis.
Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES
dibentuk dari hidroksilasi aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa.8
Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander
yang cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam.
Pengikatan cairan intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh
karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai
adalah adanya gangguan mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila
dosisnya melebihi 20 ml/ kgBB/ hari.
4. Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan
berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang
dikembang biakkan di media sucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu
sampai jutaan Dalton.
Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. dextran 70 mempunyai BM
70.000 (25.000-125.000). sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam
garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran
40. Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan
merupakan pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40.
Dextran 40 mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10%
dalam garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh
ginjal dan dapat memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil dapat
menembus membran kapiler dan masuk ke ruang intersisial dan sebagian lagi
melalui sistim limfatik kembali ke intravaskuler.
Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan kegawatan
menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan transpor oksigen.
Cairan ini digunakan pad penyakit sindroma nefrotik dan dengue syok
sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan
gangguan pembekuan darah.
5. Gelatin
Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada
orang dewasa dan pada bencana alam. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:
1.Modified Fluid Gelatin (MFG)
2. Urea Bridged Gelatin (UBG)
Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume
expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah
reaksi anafilaksis.
Cairan Kombinasi
1. KaEn 1 B (GZ 3 : 1)
Larutan yang mengandung Natrium 38,5 mEq/L, Klorida 38,5 mEq/L.
Dextrose 37,5 gr/L. Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit
bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.
2. Cairan 2a
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan NaCl 0,9 % dengan
perbandingan 1 : 1 yang terdiri dari dextrosa monohidrat 55gr/L, dextrosa anhidrat
50 gr/L, Natrium 150 mmol/L dan klorida 150 mmol/L. Cairan ini digunakan pada
diare dengan komplikasi dan bronkopneumoni dengan komplikasi. Sedangkan
campuran glukosa 10% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1:1 digunakan pada
bronkopneumoni dengan dehidrasi oleh karena intake kurang.
3. Cairan G:B 4:1
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan Natrium Bikarbonat 1,5 % yang
merupakan campuran dari 500 cc Glukosa 5% dan 25 cc Natriun Bikarbonat
8,4%. Cairan ini digunakan pada neonatus yang sakit
4. Cairan DG
Cairan ini terdiri dari Natriun 61 mEq/L, Kalium 18mEq/L serta Laktat 27
mEq/L dan Klorida 52 mEq/L serta Dextrosa 25 g/L.9 Cairan ini digunakan pada
diare dengan komplikasi.
5. Cairan Natrium Bicarbonat (Meylon)
Cairan ini mengandung natrium 25 mEq/25ml dan bicarbonat 25
mEq/25ml. Cairan ini digunakan pada keadaan asidosis akibat defisit bicarbonat.9
Sediaan dalam bentuk flakon sebanyak 25 ml dengan konsentrasi 8,4% ( 84
mg/ml)
6. Cairan RLD
Cairan yang terdiri dari I bagian Ringer laktat dan 1 bagian Glikosa 5%
yang bisa digunakan pada demam berdarah dengue .
7. Cairan G:Z 4:1
Cairan yang terdiri dari 4 bagian glukosa 5-10% dan 1 bagian NaCL 0,9%
yang bisa digunakan pada dehidrasi berat karena diare murni.
Prinsip Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien.
Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan
dibagi atas resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut
dan rumatan untuk mengganti kehilangan harian.
Kebutuhan air dan elektrolot sebagai terapi dapat dibagi atas 3 kategori:
1. Terapi pemeliharaan atau rumatan
Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja (
Normal Water Losses = NWL). Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit
disebut Insesible Water Losses (IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini
dihitung berdasarkan kg BB. Kebutuhan cairan untuk terapi rumatan dipengaruhi
oleh suhu lingkungan dan C diatasaktifitas terutama IWL oleh karena itu setiap
kenaikan suhu 1 C kebutuhan cairan ditambah 12%. Sebaliknya IWL akansuhu
tubuh 37 menurun pada keadaan menurunnya aktivitas seperti dalam keadaan
koma dan keadaan hipotermi maka kebutuhan cairan rumatan harus dikurangi 12%
C dibawah suhu tubuh normal. Cairanpada setiap penurunan suhu 1 intravena
untuk terapi rumatan ini biasanya campuran Dextrosa 5% atau 10% dengan larutan
NaCl 0,9% 4:1 , 3:1, atau 1:1 yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan
menambahkan larutan KCl 2 mEq/kgBB.
2. Terapi deficit
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal
(Previous Water Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya
berkisar antara 5-15% BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan
dehidrasi ini disebabkan oleh diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus,
kesulitan pemasukan oral dan asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini
derajat dehidrasi dibagi atas ringan yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB,
dehidrasi sedang kehilangan cairan sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat
kehilangan cairan berkisar 10% atau lebih BB.
3. Terapi pengganti kehilangan cairan yang masih tetap berlangsung
( Concomitant water losses=CWL).
Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih
tetap berlangsung, pengisapan lendir, parasentesis dan lainnya. Jumlah
kehilangan CWL ini diperkirakan 25 ml/kgBB/24 jam untuk semua umur.
Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan. Bila pemberian
cairan peroral tidak memungkinkan, maka dicoba dengan pemberian cairan
personde atau gastrostomi, tapi bila juga tidak memungkinkan, tidak
mencukupi atau membahayakan keadan penderita, terapi cairan secara intra
vena dapat diberikan
III. 3 Pemilihan Cairan Intravena
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter
larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan
terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan
tekanan darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera luka bakar.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan
kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok
hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah
dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan
kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga
pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah
larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan
dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia
dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan
Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan
insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat
metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan
asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat.
Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk
mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI.
Jakarta.
2. Handaya, A yuda, 2010. Infus cairan intravena diambil dari
http://dokteryudabedah.com/infus-cairan-intravena-macam-macam-cairan-infus /
diakses tanggal 17 oktober 2011.
3. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru
Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14
Agustus 1999.
4. Sudoyo, Aru w. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV. FKUI.
Jakarta.
SYOK HIPOVOLEMIK
1.1 Latar Belakang
Syok merupakan kegagalan sirkulasi tepi menyeluruh yang mengakibatkan
hipotensi jaringan. Kematian karena syok terjadi bila kejadian ini menyebabkan
gangguan nutrisi dan metabolisme sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan
fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab. Ditandai oleh perfusi jaringan yang
tidak adekuat, Klasifikasi syok menurut etiologi :
1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar.
2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).
3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.
4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik atau
ekstrinsik. Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikard.
Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah
yang banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau
tersembunyi dalam organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah syok hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang terjadi
preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif. Pasien yang kehilangan darah akan
mengalami masa hipotensi sampai akhirnya pemberian infus cairan tidak dapat
menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut sebagai syok ireversibel.
Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi dengan pemberian
cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja masih
banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi
juga dari efek syok berat yang lama.
Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya
banyak pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat
ditangani. Hal ini terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien
dengan perdarahan kecil namun terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik mengenai bagaimana penanganan
syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan,
bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah diperlukan.
Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal
kehilangan darah akut. Penatalaksanaan syok hemoragik yang akan dibahas meliputi
penangana awal, pemberian resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian
perdarahan yang masih berlangsung.
2.1 Syok hipovolemik dapat terjadi karena Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah
Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang
sehat. Volume total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam
kilogram) pada pria, dan 50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume
darah berdasarkan berat badan ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah
Cairan Pria Wanita
Total cairan tubuh 600 mL/kg 500 mL/kg
Whole blood 66 mL/kg 60 mL/kg
Plasma 40 mL/kg 36 mL/kg
Eritrosit 26 mL/kg 24 mL/kg
Anatomi cairan, air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia,
persentasenya dapat berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas
seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan
dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan
pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-
angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita
dewasa 50 % berat badan.5 Hal ini terlihat pada tabel berikut
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh
didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular
dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.
Cairan intraselular Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan
intraselular. Pada orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya
terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya
merupakan cairan intraselular.
Cairan ekstraselular cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular.
Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1
tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total.
Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.
2.1.1 Respons Kompensasi
Hilangnya darah dan cairan elektrolit atau syok hipovolemik memicu respons
kompensasi tertentu yang membantu untuk mempertahankan volume darah dan
perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi perpindahan cairan interstisial
ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari
volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang dipertahankan
berdistribusi dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar
2/3 cairan ekstraseluler, natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan
kekurangan cairan interstisial yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler.
Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan cairan interstisial, bukan
volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa cairan kristaloid yang
mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan resusitasi
untuk perdarahan akut.
Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai
meningkatkan produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-
lahan, dan penggantian sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2
bulan. Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat
pada kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat
darah yang hilang melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian
volume darah.
2.1.2 Syok akibat Perdarahan Progresif
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding dengan
kehilangan volume 10%.
Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)
1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea, penurunan
tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit
cemas.
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin yang
menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul dengan
peningkatan TD diastolik.
Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)
1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dan takikardia mencolok, TO
sistolik turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal bingung atau
gaduh gelisah.
2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah
jumlah terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan penurunan TD
sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan
memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberian
cairan.
Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)
1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok,
tekanan nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin sedikit
atau tidak ada, status mental depresi (atau kehilangan kesadaran), kulit dingin
dan pucat.
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.
3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab syok.
Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok lainnya, antara
lain:tamponade jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension
pneumothorax (deviasi trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan
trauma medulla spinalis (kulit hangat, takikardia tidak sebesar yang diduga,
defisit neurologis).
2.2 Evaluasi Klinis
Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk
menentukan seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap
aliran sirkulasi dan fungsi organ.
2.3 Hematokrit
Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan
luasnya perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya.
Perubahan kadar hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume
darah dan eritrosit pada perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan
whole blood, dengan penurunan yang proporsional pada volume plasma dan eritrosit.
Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah secara signifikan pada periode awal
setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak dilakukan, pada akhirnya
hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi system renin-
angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan
air dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah
perdarahan akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.
2.3 Penatalaksanaan Syok Hipovolemik karena Hemoragik
Penatalaksanaan pasien dengan syok karena hemoragik adalah resusitasi cairan.
Selain itu dicari sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan
yang terjadi. Seperti halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway
dan breathing) tetap diperhatikan. Kombinasi dari syok dan gagal napas
mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok
harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila pernapasan tidak
adekuat, intubasi secepatnya dilakukan. Perdarahan luar yang terlihat segera
dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha resusitasi menunjukkan kemungkinan
perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal yang sedang berlangsung.
Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha operasi definitif
secepatnya dilakukan.
2.4 Dasar Resusitasi Cairan
Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh
penggantian cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik
secara langsung berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah
ini dibahas mengenai resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.
2.5 Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian
cairan. Pada pasien dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena
diperlukan untuk mengembalikan cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi
akses vena adalah letak anatomis vena, beratnya cedera pada tubuh serta
kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses vena tidak boleh
diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh dibawah
difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior.
Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena
di atas dan satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya
yang pendek dengan diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk
melakukan kanulasi vena sentral untuk resusitasi karena vena yang lebih besar
memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak. Walaupun begitu laju volume
infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada panjang kateter vena. Kateter
yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa mencapai 15-2,5 20 cm
sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja. Dengan begitu untuk resusitasi cairan
pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding kanulasi vena
sentral yang panjang. Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih
cepat. Laju yang sangat cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer.
Panjang kateter ini adalah 12,5-15 cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter
introducer umumnya digunakan pada pemasangan kateter vena sentral tapi alat ini
dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang cepat. Dengan gaya gravitasi, laju
cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini mencapai 15 ml/detik, sedikit lebih
rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm yaitu 18 ml/detik. Menurut
acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan adalah
dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti
vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena.
Tempat lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis.
Vena subklavia dan jugular interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan
pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi dan keberhasilannya rendah karena
vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat menjadi sulit pada
pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema, kegemukan,
jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar.
Pada keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar
dapat dicoba pada vena femoral secara perkutan atau vena seksi. Akses vena
subklavia menyediakan akses cepat dan aman di tangan ahli. Komplikasi tersering
adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri karena secara anatomis
pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti perforasi vena atau
arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular jarang
digunakan karena kecurigaan trauma servikal.
2.6 Aliran Cairan Resusitasi
Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:
1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat
eritrosit/‘packed’ cells)
2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas
untuk keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)
3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-
molekul kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan
kristaloid).
Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada
viskositasnya. Cairan yang mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan
resusitasi yang memiliki viskositas lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini
adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau hematokrit. Dengan demikian laju aliran
whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5% sementara aliran packed RBCs
adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat ditingkatkan dengan
pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga ditambahkan
cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah.
Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih
rendah dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi
dari densitas sel sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.
2.5 Strategi Resusitasi
Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas
dua tahap yaitu resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late
resuscitation). Pembagian kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang
menyebabkan resusitasi tidak dapat dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi
syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan, akan terjadi dilusi dari sel darah
merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal tersebut akan
menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh yang
meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal
dari vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin
banyak sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus
kenaikan tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan
kembali ke hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam
dua tahap. Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung
pada pasien. Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol.
Karena dilakukan pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini
berbeda.
Tujuan dari resusitasi dini adalah:
1. Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.
2. Mempertahankan hematokrit 25-30%.
3. Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.
4. Mempertahankan trombosit > 50.000.
5. Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.
6. Mempertahankan suhu > 35°C.
7. Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.
8. Mencegah peningkatan serum laktat.
9. Mencegah perburukan asidosis.
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah:
1. Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.
2. Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.
3. Normalisasi status koagulasi.
4. Normalisasi keseimbangan elektrolit.
5. Normalisasi temperatur tubuh.
6. Mengembalikan output urin ke batas normal.
7. Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.
8. Memperbaiki asidosis sistemik.
9. Menurunkan laktat ke batas normal.
Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap
dilakukan sampai diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat. Tujuan utama
penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan ambilan
oksigen (VO) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolism
aerobik.
Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang
mendekati. Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid
maupun koloid sebagai pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa
resusitasi menggunakan koloid lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara
pengguna kristaloid berpendapat bahwa kristaloid lebih tepat menangani syok
karena menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (karena pada syok
terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid lebih murah walaupun
dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan kristaloid agar
efek resusitasinya sama dengan koloid).
Cairan koloid memiliki efek alergi lebih sedikit. Walaupun begitu tidak
terdapat bukti yang mengharuskan seseorang menggunakan salah satu cairan.
Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan dalam klinis sehari-
hari. Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan
konsentrasi hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana
cara meningkatkan curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.
2.5.1 Salah satu akibat dari syok hipovolemik yaitu meningkatkan curah jantung
Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan
dari konsekuensi anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien
dengan perdarahan adalah meningkatkan curah jantung. Cairan resusitasi dan curah
jantung. Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai
dengan mengukur dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed
cells (2 unit = 500 ml), dextran-40 (500 ml).
Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam
meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer
laktat (1 L) adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume
maka cairan koloid adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding
whole blood, enam kali lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih
efektif dibanding cairan kristaloid (RL). Kemampuan darah yang terbatas untuk
meningkatkan curah jantung adalah karena efek viskositas darah.
Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam
penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai
terapi awal resusitasi cairan.
Cairan koloid dan kristaloid Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas
mendekati air karena keduanya tidak mengandung sel. Perbedaan keduanya adalah
pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun atas natrium yang
terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20% cairan
ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20%
cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial.
Cairan koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid
yang besar tidak dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan
infus koloid akan tetap berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma
paling tidak pada jam-jam awal infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari
peningkatan preload (peningkatan volume darah) dan efek penurunan afterload (efek
dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting dalam resusitasi cairan:
1. Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan
kristaloid untuk meningkatkan curah jantung
2. Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung
sehingga sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi
3. Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid
menambah
4. volume interstisial
5. Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan
kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid
Memperkirakan volume cairan total Pendekatan yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan
menghitung berat badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).
2. Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah <
15% volume darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas
III bila kehilangan darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari
40% volume darah.
3. Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal
dikali % kehilangan darah
4. Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan
dengan anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume
infus whole blood, 5075% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume
infus cairan kristaloid. Volume resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit
volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh jika defisit volume 2 L
dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75% tertahan di intra
vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L
cairan koloid.
2.5.2 Tahapan Determinasi Jumlah Volume
1. Estimasi volume darah normal (BV) BV = 66mL/kg (♂)
= 60 mL/kg (♀)
2. Estimasi % volume darah yang hilang Kelas I: < 15%
Kelas II: 15-30%
Kelas III: 30-40%
Kelas IV: > 40%
3. Kalkulasi defisit volume (VD) VD = BV x % BV yang hilang
4. Determinasi volume resusitasi (RV) RV = VD x 1 (koloid) = VD x 3 (kristaloid)
Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung
berdasarkan kondisi klinis pasien.
2.5.3 Pemantauan Resusitasi
Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas,
urin yang keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk
memantau preload pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk
diantaranya gas darah, elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal,
gula darah, hematologi dan koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan
untuk mengetahui efektivitas dukungan kardiovaskular.
2.6 Transfusi Darah
Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh.
Dengan meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut
meningkat. Keadaan itu menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami
hipoksia.
2.6.1 Rekomendasi transfusi sel darah merah
1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl,
terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik
dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima. (Rekomendasi A)
2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila
ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium. (Rekomendasi C)
3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb =10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih
tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung
iskemik berat). (Rekomendasi A)
4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb =11
g/dl; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dl (seperti pada
anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang
sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi
adalah Hb =13 g/dl. (Rekomendasi C)
2.6.2 Rekomendasi transfusi trombosit
1. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung
trombosit <50.000/µl, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya
menjadi <100.000/µl. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada
penatalaksanaan masingmasing. (Rekomendasi C)
2. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/µlpada pasien yang akan
menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
(Rekomendasi C)
3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.
(RekomendasiC)
2.6.3 Rekomendasi transfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma)
1. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibisi koagulasi baik
yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau
kombinasi. (Rekomendasi C)
2. Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa. (Rekomendasi C)
3. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfuse
massif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.
(Rekomendasi C)
2.6.4 Rekomendasi transfusi kriopresipitat
1. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani
prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.
(Rekomendasi C)
2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami
perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau
akan menjalani operasi. (Rekomendasi C)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah
uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal
plasenta terletak diatas uterus.
Plasenta yang ada di depan jalan lahir. (prae = di depan, vias = jalan), jadi yang di
maksud adalah plasenta implantasinya tidak normal sehingga menutupi seluruh atau
sebahagian jalan lahir (Ostium Uteri Internium).
2.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan
fisiologik. Sehingga klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa
total pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa pada pembukaan
8 cm.
Beberapa klasifikasi plasenta previa:
2.2.1 Menurut de Snoo, berdasarkan pembukaan 4 -5 cm
1. Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm teraba plasenta
menutupi seluruh ostea.
2. Plasenta previa lateralis; bila mana pembukaan 4-5 cm sebagian pembukaan ditutupi
oleh plasenta, dibagi 2 :
2.1 Plasenta previa lateralis posterior; bila sebagian menutupi ostea bagian
belakang.
2.2 Plasenta previa lateralis anterior; bila sebagian menutupi ostea bagian
depan.
2.3 Plasenta previa marginalis; bila sebagian kecil atau hanya pinggir ostea
yang ditutupi plasenta.
2.2.2 Menurut penulis buku-buku Amerika Serikat :
1. Plasenta previa totalis ; seluruh ostea ditutupi uri.
2. Plasenta previa partialis ; sebagian ditutupi uri.
3. Plasenta letak rendah, pinggir plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir pembukaan
Pada periksa dalam tak teraba.
2.2.3 Menurut Browne:
1. Tingkat I, Lateral plasenta previa :
Pinggir bawah plasenta berinsersi sampai ke segmen bawah rahim, namun tidak
sampai ke pinggir pembukaan.
2. Tingkat II, Marginal plasenta previa: Plasenta mencapai pinggir pembukaan
(Ostea).
1. Gejala klinis
a. Gejala utama plasenta previa adalah pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri
dari biasanya berulang darah biasanya berwarna merah segar.
b. Bagian terdepan janin tinggi (floating). sering dijumpai kelainan letak janin.
c. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,
kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat
dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding)
biasanya lebih banyak.
d. Janin biasanya masih baik.
2. Pemeriksaan in spekulo
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum atau dari kelainan cervix dan vagina. Apabila perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta harus dicurigai.
3. Penentuan letak plasenta tidak langsung
Dapat dilakukan dengan radiografi, radio sotop dan ultrasonografi. Akan tetapi
pada pemerikasaan radiografi clan radiosotop, ibu dan janin dihadapkan pada
bahaya radiasi sehingga cara ini ditinggalkan. Sedangkan USG tidak
menimbulkan bahaya radiasi dan rasa nyeri dan cara ini dianggap sangat tepat
untuk menentukan letak plasenta.
4. Penentuan letak plasenta secara langsung
Pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan
banyak. Pemeriksaan harus dilakukan di meja operasi. Perabaan forniks. Mulai
dari forniks posterior, apa ada teraba tahanan lunak (bantalan) antara bagian
terdepan janin dan jari kita. Pemeriksaan melalui kanalis servikalis. Jari di
masukkan hati-hati kedalam OUI untuk meraba adanya jaringan plasenta.
Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu. Disebut plasenta previa totalis apabila seluruh
pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta; plasenta previa parsialis apabila sebagian
pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta; dan plasenta previa marginalis apabila pinggir
plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan. Plasenta yang letaknya abnormal pada
segmen bawah uterus, akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir, disebut
plasenta letak rendah. Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm di atas pinggir
pembukaan jalan lahir.
Karena klasifikasi ini tidak didasarkan pada keadaan anatomic melainkan fisiologik,
maka klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa totalis pada
pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa parsialis pembukaan 8 cm.
Tentu saja observasi seperti ini tidak akan terjadi dengan penanganan yang baik.
2.3 FREKUENSI
Kejadian plasenta previa sekitar 0,3% sampai 0,6% dari persalinan, sedangkan di rumah
sakit lebih tinggi, karena menerima rujukan dari luar.
2.4 ETIOLOGI
Mengapa plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu jelas dapat diterangkan.
Bahwasanya vaskularisasi yang berkurang, atau perubahan atropi pada desidua akibat
persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, tidaklah selalu benar, karena
tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita
dengan paritas tinggi.
Menurut Kloosterman (1973), Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang
berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida
yang berumur kurang dari 25 tahun; pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun
kira-kira 4 kali lebih sering dibandingkan dengan grande multipara yang berumur kurang dari
25 tahun.
Tabel
Hubungan frekuensi plasenta previa dengan umur ibu dan paritasnya di Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta
(1971-1975)
Umur Primigravida (%) Multigravida (%)
15-19 1,7 1,6
20-24 2,3 6,9
25-29 2,9 7,9
30-34 1,7 9,7
35- 5,6 9,5
Jumlah 2,2 7,7
Angka-angka dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tabel diatas menunjukkan
bahwa frekuensi plasenta previa meningkat dengan meningkatnya paritas dan umur.
Berlainan dengan angka-angka yang dikemukakan oleh Kloosterman (1973), di Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur
lebih dari 35 tahun kira-kira 2 kali lebih besar dibandingkan dengan primigravida yang
berunur kurang dari 25 tahun ; pada para 3 atau lebih yang berumur lebih dari 35 tahun kira-
kira 3 kali lebih besar dibandingkan dengan para 3 atau lebih yang berumur kurang dari 25
tahun.
Tabel
Hubungan frekuensi plasenta previa dengan paritas ibu
di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
(1971-1975)
Paritas Frekuensinya (%)
0 2,2
1-3 6,2
4-6 8,6
7- 10,3
Jumlah 5,9
2.4.1 Faktor Predisposisi :
1. Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).
2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan atrofik dan
inflamatorotik.
3. Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC, Kuret, dll).
4. Chorion leave persisten.
5. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil
konsepsi.
6. Konsepsi dan nidasi terlambat.
7. Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis
2.5 GAMBARAN KLINIK
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari
plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa. Perdarahan
pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fataL. Akan tetapi perdarahan
berikutnya hampir selalu banyak daripada sebelumnya, apalagi jika sebelumnya telah
dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun perdarahan sering dikatakan terjadi dalam triwulan
ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak kehamilan 20 minggu karena sejak itu
segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah
tuanya kehamilan, Segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi dan serviks mulai
membuka.Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah
uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di situ tanpa
terlepasnya sebagian palsenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan.
Darahnya berwarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio
plasenta yang berwarna kehitam-hitaman. Sumber perdarahannya ialah sinus uterus yang
terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis
dari plasenta . Perdarahannya tak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot
segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak sebagaimana
serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala 3 dengan plasenta yang letaknya
normal. Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi.
2.6 DIAGNOSIS
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya
ialah plasenta previa sampai ternyata dugaan itu salah. Penentuan jenis plasenta previa dapat
dilakukan dengan USG dan pemeriksaan dalam atau spekutum di kamar operasi
2.6.1 Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri,
tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari
anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.
2.6.2 Pemeriksaan luar
Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul, apabila persentasi
kepala, biasanya kepalanya masih terapung di atas pintu atas panggul atau mengolak ke
samping, dan sukar di dorong ke dalam pintu atas panggul. Tidak jarang terdapat
kelainan letak janin, seprti letak lintang atau letak sungsang.
2.6.3 Pemeriksaan in spekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis
uteri, karsinoma porsionis uteri, polipus servisis uteri, varises vulva dan trauma. Apabila
perdarahan berasal dari ostiumuteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
Penanganan letak plasenta secara langsung. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat
tentang adanya dan jens palenta previa ialah langsung meraba plasenta melalui kanalis
servikalis. Akan tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan
perdarahan banyak. Oleh karena itu pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya
dilakukan apabila penanganan pasif ditinggalkan, dan ditempuh penanganan aktif.
Pemeriksaan harus dilakukan dalam keadaan siap operasi. Pemeriksaan dalam di meja
operasi dilakukan sebagai berikut.
Perabaan formises. Pemeriksaan ini hanya bermakna apabila janin dalam presentasi
kepala. Sambil mendorong sedikit kepala janin ke arah pintu atas panggul, perlahan-
lahan seluruh fornises diraba dengan jari. Perabaannya terasa lunak apabila antara jari
dan kepala janin terdapat plasenta; dan akan terasa padat ( keras). Apabila antara jari dan
kepala janin tidak terdapat palsenta. Bekuan darah dapat dikelirukan dengan plasenta.
Plasenta. Plasenta yang tipis mungkin tidak terasa lunak. Pemeriksaan ini harus selalu
mendahului pemeriksaan melalui kanalis servikalis, untuk mendapat kesan pertama ada
tidaknya plasenta previa.
Pemeriksaan melalui kanalis servikalis. Apabila kanalis servikalis telah terbuka,
perlahan-lahan jari telunjuk dimasukkan ke dalam kanalis servikalis, dengan tujuan
kalau-kalau meraba kotiledon plasenta. Apabila kotiledon plasenta teraba, segera jari
telunjuk dikeluarkan dari kanalis servikalis. Jangan sekali-kali berusaha menyelusuri
pinggir plasenta seterusnya karena mungkin plasenta akan terlepas dari insersionya yang
dapat menimbulkan perdarahan banyak.
2.6.4 Pemeriksaan Ultrasonografi
Pada pertengahan trimester II, plasenta menutup ostium internum pada 30% kasus.
Dengan perkembangan segmen bawah rahim, sebagian besar implantasi yang rendah
tersebut terbawa ke lokasi yang lebih atas.
Penggunaan color Doppler dapat menyingkirkan kesalahan pemeriksaan.
USG transvaginal secara akurat dapat menentukan adanya plasenta letak rendah pada
segmen bawah uterus.
2.7 DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding plasenta previa antara lain solusio plasenta, vasa previa, laserasi serviks
atau vagina. Perdarahan karena laserasi serviks atau vagina dapat dilihat dengan inspekulo.
Vasa previa, dimana tali pusat berkembang pada tempat abnormal selain di tengah plasenta,
yang menyebabkan pembuluh darah fetus menyilang servix. Vasa previa merupakan keadaan
dimana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi dengan vilamentosa yakni pada selaput
ketuban. Hal ini dapat menyebabkan ruptur pembuluh darah yang mengancam janin. Pada
pemeriksaan dalam vagina diraba pembuluh darah pada selaput ketuban. Pemeriksaan juga
dapat dilakukan dengan inspekulo atau amnioskopi. Bila sudah terjadi perdarahan maka akan
diikuti dengan denyut jantung janin yang tidak beraturan, deselerasi atau bradikardi,
khususnya bila perdahan terjadi ketika atau beberapa saat setelah selaput ketuban pecah.
2.8 PENATALAKSANAAN PLASENTA PREVIA
Semua pasien dengan perdarahan per vagina pada kehamilan trimester ketiga, dirawat di
rumah sakit tanpa periksa dalam. Bila pasien dalam keadaan syok karena pendarahan yang
banyak, harus segera diperbaiki keadaan umumnya dengan pemberian infus atau tranfusi
darah.
Selanjutnya penanganan plasenta previa bergantung kepada :
• Keadaan umum pasien, kadar hb.
• Jumlah perdarahan yang terjadi.
• Umur kehamilan/taksiran BB janin.
• Jenis plasenta previa.
• Paritas dan kemajuan persalinan
2.8.1 Penanganan Ekspektif
Kriteria : - Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
- Perdarahan sedikit
- Belum ada tanda-tanda persalinan
- Keadaan umum baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih.
Rencana Penanganan :
1. Rawat inap, tirah baring, dan berikan antibiotik profilaksis
2. Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia
kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin
3. Periksa Hb, HCT, COT, golongan darah.
4. Awasi tanda vital ibu, perdarahan, dan detak jantung janin.
5. Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam
Nifedipin 3 x 20 mg/hari
Betamethason 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin
1. Uji pematangan paru janin dengan test kocok dari hasil amniosentesis
2. Bila setelah usia kehamilan di atas 34 minggu, plasenta masih berada disekitar ostium
uteri internum, maka dugaan plasenta previa menjadi jelas, sehingga perlu dilakukan
observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan keadaan gawat darurat
3. Bila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien
dapat dipulangkan untuk rawat jalan (kecuali apabila rumah pasien di luar kota dan
jarak untuk mencapai rumah sakit lebih dari 2 jam)
4. Terapi aktif (tindakan segera)
Wanita hamil di atas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan banyak, harus
segera ditatalaksana secara aktif tanpa memandang maturitas janin. Cara menyelesaikan
persalinan dengan plasenta previa
2.8.2 Penanganan aktif
Kriteria :
• umur kehamilan >/ = 37 minggu, BB janin >/ = 2500 gram.
• Perdarahan banyak 500 cc atau lebih.
• Ada tanda-tanda persalinan.
• Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr%.
Untuk menentukan tindakan selanjutnya SC atau partus pervaginum, dilakukan
pemeriksaan dalam kamar operasi, infusi transfusi darah terpasang.
2.8.3 Indikasi Seksio Sesarea :
1. Plasenta previa totalis.
2. Plasenta previa pada primigravida.
3. Plasenta previa janin letak lintang atau letak sungsang
4. Anak berharga dan fetal distres
5. Plasenta previa lateralis jika :
• Pembukaan masih kecil dan perdarahan banyak.
• Sebagian besar OUI ditutupi plasenta.
• Plasenta terletak di sebelah belakang (posterior).
6. Profause bleeding, perdarahan sangat banyak dan mengalir dengan cepat.
2.8.4 Partus per vaginam.
Dilakukan pada plasenta previa marginalis atau lateralis pada multipara dan anak
sudah meninggal atau prematur.
1. Jika pembukaan serviks sudah agak besar (4-5 cm), ketuban dipecah (amniotomi)
jika hid lemah, diberikan oksitosin drips.
2. Bila perdarahan masih terus berlangsung, dilakukan SC.
3. Tindakan versi Braxton-Hicks dengan pemberat untuk menghentikan perdarahan
(kompresi atau tamponade bokong dan kepala janin terhadap plasenta) hanya
dilakukan pada keadaan darurat, anak masih kecil atau sudah mati, dan tidak ada
fasilitas untuk melakukan operasi.
Pengelolaan plasenta previa tergantung dari banyaknya perdarahan, umur kehamilan dan
derajat plasenta previa. Setiap ibu yang dicurigai plasenta previa hams dikirim ke rumah sakit
yang memiliki fasilitas untuk transfusi darah dan operasi. Sebe- lum penderita syok, pasang
infus NaCl/RL sebanyak 2 -3 kali jumlah darah yang hilang. Jangan melakukan pemeriksaan
dalam atau tampon vagina, karena akan memperbanyak perdarahan
dan menyebabkan infeksi
. Bila usia kehamilan kurang 37 minggu/TBF < 2500 g: Perdarahan sedikit keadaan ibu
dan anak baik maka biasanya penanganan konservatif sampai umur kehamilan aterm.
Penanganan berupa tirah baring, hematinik, antibiotika dan tokolitik bila ada his. Bila selama
3 hari tak ada perdarahan pasien mobilisasi bertahap. Bila setelah pasien berjalan tetap tak
ada perdarahan pasien boleh pulang. Pasien dianjurkan agar tidak coitus, tidak bekerja keras
dan segera ke rumah sakit jika terjadi perdarahan. Nasihat ini juga dianjurkan bagi pasien
yang didiagnosis plasenta previa dengan USG namun tidak mengalami perdarahan. Jika
perdarahan banyak dan diperkirakan membahayakan ibu dan janin maka dilakukan resusitasi
cairan dan penanganan secara aktif
Bila umur kehamilan 37 minggu/lebih dan TBF 2500 g maka dilakukan penanganan
secara aktif yaitu segera mengakhiri kehamilan, baik secara pervagina/perabdominal.
Persalinan pervagina diindikasikan pada plasentaprevia marginalis, plasenta previa letak
rendah dan plasenta previa lateralis dengan pem- bukaan 4 cm/lebih. Pada kasus tersebut bila
tidak banyak perdarahan maka dapat dilakukan pemecahan kulit ketuban agar bagian bawah
anak dapat masuk pintu atas panggul menekan plasenta yang berdarah. Bila his tidak adekuat
dapat diberikan pitosin drip. Namun bila perdarahan tetap ada maka dilakukan seksio sesar.
Persalinan dengan seksio sesar diindikasikan untuk plasenta previa totalis baik janin mati atau
hidup, plasenta previa lateralis dimana perbukaan <4 cm atau servik belum matang, plasenta
previa dengan perdarahan yang banyak dan plasenta previa dengan gawat janin. Plasenta
previa dengan perdarahan merupakan keadaan darurat kebidanan yang memerlukan
penanganan yang baik. Bentuk pertolongan pada plasenta previa adalah:
1. Segera melakukan operasi persalinan untuk dapat menyelamatkan ibu dan anak atau
untuk mengurangi kesakitan dan kematian.
2. Memecahkan ketuban di atas meja operasi selanjutnya pengawasan untuk dapat
melukakan pertolongan lebih lanjut.
3. Bidan yang menghadapi perdarahan plasenta previa dapat mengambil sikap
melakukan rujukan ke tempat pertolongan yang mempunyai fasilitas yang cukup.
Dalam melakukan rujukan penderita plasenta previa sebaiknya dilengkapi dengan:
- Pemasangan infus untuk mengimbangi perdarahan
- Sedapat mungkin diantar oleh petugas
- Dipersiapkan donor darah untuk transfusi darah.
Pertolongan persalinan seksio sesaria merupakan bentuk pertolongan yang paling banyak
dilakukan. Bentuk operasi lainnya seperti:
a. Cunam Willet Gausz
- Menjepit kulit kepala bayi pada plasenta previa yang ketubannya telah dipecahkan
- Memberikan pemberat sehingga pembukaan dipercepat
- Diharapkan persalinan spontan
- Sebagian besar dilakukan pada janin telah meninggal.
b. Versi Braxton Hicks
- Dilakukan versi ke letak sungsang
- Satu kaki dikeluarkan sebagai tampon dan diberikan pemberat untuk mempercepat
pembukaan dan menghentikan perdarahan.
- Diharapkan persalinan spontan
- Janin sebagian besar akan meninggal
c. Pemasangan kantong karet metreurynter
- kantong karet dipasang untuk menghentikan perdarahan dan mempercepat
pembukaan sehingga persalinan dapat segera berlangsung.Dengan kemajuan dalam
operasi kebidanan, pemberiam transfusi, dan cairan maka tatalaksana pertolongan
perdarahan plasenta previa hanya dalam bentuk :
- memecahkan ketuban
- melakukan seksio sesaria
- untuk bidan segera melakukan rujukan sehingga mendapat pertolongan yang cepat
dan tepat.
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi ibu yang sering terjadi adalah perdarahan post partum dan syok karena kurang
kuatnya kontraksi segmen bawah rahim, infeksi dan trauma dan uterus/servik
1. Perdarahan dan syok.
2. Infeksi.
3. Laserasi serviks.
4. Plasenta akreta. Pada kondisi ini, plasenta berimplantasi terlalu dalam dan kuat pada
dinding uterin, yang menyebabkan sulitnya plasenta terlepas secara spontan saat
melahirkan. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan hebat dan perlu operasi histerektomi.
Keadaan ini jarang, tetapi sangat khas mempengaruhi wanita dengan plasenta previa atau
wanita dengan sesar sebelumnya atau operasi uterus lainnya
5. Prematuritas atau lahir mati
6. Prolaps tali pusar.
7. Prolaps plasenta
Komplikasi bayi yang sering terjadi adalah prematuritas dengan angka kematian ± 5%
2.10 PROGNOSIS
2.10.1 Maternal
Tanpa melakukan tindakan Double setup, langsung melakukan tindakan seksio
sesar dan pemberian anaestesi oleh tenaga kompeten, maka angka kematian dapat
diturunkan sampai < 1%
2.10.2 FETAL
Mortalitas perinatal yang berhubungan dengan plasenta previa kira-kira 10%
Meskipun persalinan prematur, solusio plasenta, cedera talipusat serta perdarahan
yang tak terkendali tak dapat dihindari, angka mortalitas dapat sangat diturunkan
melalui perawatan obstetrik dan neonatus yang ideal
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Antepartum Bleeding. Williams Obstetrics. 20th
ed. Norwalk: Appleton & Lange, 1997.
Chalik TMA. Plasenta Previa. Dalam: Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Ed.1.
Jakarta: Widya Medika, 1997. hal 129-143
Prawirohardjo. S, Ilmu Kebidanan, Ed. III, cet.II, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 1992,hal.365-376.
Mochtar. R, Sinopsis Obstetri I, Ed. II, Jakarta, EGG, 1989,hal.300-311.
Bagian Obstetri & Ginekologi Fak. Kedokteran Universitas Sumatera Utara/R.S Dr. Pringadi
Medan, Pedoman Diagnosis dan Therapi Obstetri-Ginekologi R.S. Dr. Pringadi
Medan, 1993, halo 6-10,
Bagian Obstetri & Ginekologi Fak.Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Obstetri
Patologi, Ed. 1984, Elstar Offset Bandung, halo 110-120
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999. hal 362-376. Perdarahan Antepartum
dalam: Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Bandung. Elstar Offset Bandung, 1982. hal. 110-120
pp. 755-60.
Tucker DE. Low Lying Placenta. 1998. Available from: http://www.womens.healt
co.uk/praevia.htm.
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung. Obstetri Patologi.
Bandung: Elstar offset, 1982; 110-27.
PB. POGl, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Bagian 1, Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 1991; 9-13.
Mochtar R. Sinopsis Obstetri 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1990; 296-322.
Heller L. Emergencies in Gynaecology and Obstetrics. diterjemahkan oleh Mochaznad
Martoprawiro dan Adji Dharma. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1988; 25-9.
Klapholz H. Placenta Previa.. In: Friedman EA, Acker DB, Sachs BP, Obstetrical Decision
Making,2 nd ed. Philadelphia: BC Decker mc, 1987; 88-9.