Anemia Word

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah medis yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama dinegagara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan social dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik (Bhakta, 2003) Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan hemoglobin, hematrokit atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin kemudian hemarokit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan masa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan 1

Transcript of Anemia Word

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anemia merupakan masalah medis yang paling sering dijumpai di klinik di

seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat,

terutama dinegagara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas

kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan social dan

ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering,

anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan

dilewati oleh para dokter di praktek klinik (Bhakta, 2003)

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa

eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen

dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia

ditunjukkan oleh penurunan hemoglobin, hematrokit atau hitung eritrosit.

Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin kemudian

hemarokit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana

ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan masa eritrosit, seperti pada

dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah

beberapa kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,

jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu

misalnya kehamilan. (Bhakta, 2007)

Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang

patogenesis dan patofisiologi anemia serta ketrampilan dalam memilih,

menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya (Bhakta, 2003)

1

B. Tujuan penulisan

Tinjauan kepustakaan tentang Anemia bertujuan untuk :

1. Memahami lebih dalam tentang patofisiologi Anemia dan dapat

memahami tanda – tanda, gejala, etiologi, faktor risiko, klasifikasinya.

2. Memahami cara mendiagnosis Anemia, sehingga dapat mengetahui

penatalaksanaan dan pencegahannya.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai

baik di klinik maupun di lapangan. Untuk mendapatkan pengertian tentang

anemia maka kita perlu menetapkan definisi anemia

1. Anemia merupakan Sebuah kondisi dimana jumlah sel darah merah

dibawah angka normal (Garrison, 2009).

2. keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar

tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan

tubuh (Bhakta, 2003).

3. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar

hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell) (Bhakta,

2007).

B. Kriteria Anemia

Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan

batas hemoglobin atau hematokrit yang kita anggap sudah terjadi anemia.

Batas ini disebut cut off point, yang sangat dipengaruhi oleh: umur, jenis

kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut dan lain-lain (Bhakta,

2003).

Cut off point yang umum dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968.

Dinyatakan anemia bila:

Laki-laki dewasa : hemoglobin < 13g/dl

Perempuan dewasa tak hamil : hemoglobin < 12g/dl

Perempuan hamil : hemoglobin < 11g/dl

3

Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 12g/dl

Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11g/dl

Kriteria Klinik

Alasan praktis kriteria anemia di klinik (di rumah sakit atau praktik klinik)

intuk Indonesia pada umumnya adalah: (Bhakta, 2003)

1. Hemoglobin < 10g/dl

2. Hematrokit < 30%

3. Eritrosit <2,8% juta/mm3

Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinisi melakukan work up

anemia jika kita memakai kriteria WHO.

Drajat Anemia

Derajat Anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia

perlu disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus anemia. Klasifikasi derajat

anemia yang umum dipakai adalah sebagai berikut:

1. Ringan sekali : Hb 10g/dl-cut off point

2. Ringan : Hb 8g/dl-Hb. 9,9 g/dl

3. Sedang : Hb 6g/dl – Hb 7,9 g/dl

4. Berat : Hb<6 g/dl (Bhakta, 2003)

C. Prevalensi Anemia

Meskipun anemia dianggap kelainan yang sangat sering dijumpai di

Indonesia, angka prevalensi yang resmi belum pernah diterbitkan. Angka-

angka yang ada merupakan hasil penelitian-penelitian terpisah yang dilakukan

di berbagai tempat di Indonesia.

4

Kelompok populasi Angka prevalensi1. Anak prasekolah (balita)2. Anak usia sekolah3. Dewasa tidak hamil4. Hamil 5. Laki-laki dewasa6. Pekerja berpenghasilan rendah

30-40%25-35%30-40%50-70%20-30%30-40%

Angka prevalensi anemia didunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah

satu faktor determinan utama adalah taraf social ekonomi masyarakat (Bhakta, 2007)

D. Klasifikasi Anemia

Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari

sudut mana kita melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut.

Klasifikasi yang paling sering adalah:

1. Klasifikasi morfologik: yang berdasarkan morfologi eritrosit pada

pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit.

Dengan pemakaian alat hitung hematologi automik. Yang semakin luas

maka validitas klasifikasi morfologik ini menjadi lebih baik. Berikut

klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit : (Bhakta IM. 2003)

a. Anemia hipokromik mikrositer (MCV <80 fl; MCH < 27 pg)

1) Anemia defisiensi besi

2) Thalasemia

3) Anemia akibat penyakit kronik

4) Anemia sideroblastik

b. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg).

1) Anemia pasca perdarahan akut

2) Anemia aplastik – hipoplastik

3) Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat

4) Anemia akibat penyakit kronik

5) Anemia mieloptisik

6) Anemia pada gagal ginjal kronik

5

7) Anemia pada mielofibrosis

8) Anemia pada sindrom mielodisblastik

9) Anemia pada leukemia akut

c. Anemia makrositer (MCV > 95 fl)

1) Megaloblastik

a) Anemia defisiensi asam folat

b) Anemia defisiensi vitamin B12

2) Non megaloblastik

a) Anemia pada penyakit hati kronik

b) Anemia pada hipotiroid

c) Anemia pada sindroma mielodisplastik

2. Klasifikasi etiopatogenesis (yang berdasarkan etiologi dan pathogenesis

terjadinya anemia) (Bhakta, 2007)

a. Produksi eritrosit menurun

1) Kekurangan bahan untuk eritrosit

a) Besi: anemia defisiensi

b) Vitamin B12 dan asam folat, disebut sebagai anemia

megaloblastik

2) Gangguan pemakaian besi

a) Anemia akibat penyakit kronik

b) Anemia sideroblastik

3) Kerusakan jaringan sumsum tulang

a) Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak anemia

aplastik/hipoplastik

b) Penggantian oleh jaringan fibrotic/tumor: anemia

leukoeritroblastik/mieloptisik

4) Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui

a) Anemia diseritopoetik

6

b) Anemia pada sindrom mielodisplastik

b. Kehilangan eritrosit dari tubuh

1) Anemia pasca perdarahan akut

2) Anemia pasca perdarahan kronik

c. Peningkatan penghacuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)

1) Faktor ekstrakorpuskular

a) Antibody terhadap eritrosit:

Autoantibody-AIHA (autoimmune hemolytic anemia)

Isoantibodi-HDN (hemolytic diseases of the newborn)

b) Hipersplenisme

c) Pemaparan terhadap bahan kimia

d) Akibat infeksi bakteri

e) Kerusakan mekanik

f) Faktor intrakorpuskular

2) Gangguan membrane

a) Hereditary spherocytosis

b) Hereditary elliptocytosis

3) Gangguan enzim

a) Defisiensi pyruvate kinase

b) Defisiensi G6PD (glucose-6 phosphate dehydrogenase)

4) Gangguan hemoglobin

a) Hemoglobinopati structural

b) Thalasemia

c) Bentuk campuran

d) Bentuk yang patogenesisnya belum jelas

E. Patofisiologi Anemia

7

Anemia berdasarkan etiopatogenesisnya dapat disebabkan oleh produksi

yang kurang baik dan pemecahan eritrosit yang terlalu cepat (Sibuea et al,

2005)

1. Anemia yang disebabkan produksi yang kurang baik

Hal ini ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut:

a. Tidak cukup tempat di dalam sumsum tulang untuk membentuk

eritrosit

Kadang-kadang rongga sumsum tulang diisi oleh sel-sel

karsinoma (terutama karsinoma mamma) atau oleh sel-sel leukemia

dari darah yang bersifat ganas. Produksi eritrosit akan berkurang.

Jaringan interstitial pada limpa dan hati mungkin akan mengambil alih

sebagian dari tugas produksi eritrosit, namun ini tidak pernah cukup.

Limpa biasanya membesar. Eritrosit yang dikirimkan ke aliran darah

biasanya belum matang, sering normoblas yang masih berinti

(pembentukan eritrosit di luar sumsum tulang = extramedullary

erythropoesis). (Sibuea, et al, 2005)

b. Kerusakan dari sumsum tulang

Hal ini dapat terjadi oleh karena terkena radiasi yang berat dari

sinar x atau radiasi bom atom. (Sibuea WH et al.2005)

c. Sel asal (stem cell) yang memproduksi eritrosit rusak karena infeksi.

(Sibuea et al, 2005)

d. Sel asal rusak oleh pengaruh obat-obat tertentu

Hal ini menyebabkan anemia aplastik. Tidak ada eritrosit dan

biasanya juga tidak ada leukosit atau trombosit yang dibentuk. Hal ini

sering disebut sebagai kepekaan yang berlebihan (hypersensitivity

reaction), namun hal ini jarang ditemukan. Biasanya penyakit ini

menimbulkan kematian. Salah satu obat yang dapat menyebabkan

ialah kloramfenikol, suatu obat yang sangat banyak digunakan pada

pengobatan tifus abdominalis. Kira-kira satu dari 2000 – 10000

8

penderita yang diobati dengan kloramfenikol akan mengalami anemia

aplastik (Sibue et al, 2005)

Produksi dari eritrosit tidak cuukup karena bahan-bahan yang

diperlukan untuk pembentukan eritrosit kurang yaitu:

e. Kekurangan protein pada malnutrisi yang berat dapat menimbulkan

anemia.(Sibuea, et al, 2005)

f. Zat besi (Fe)

Pada wanita, menstruasi yang berlebihan disertai persalinan

yang banyak dan pemasukan (intake) zat besi yang sangat kurang dari

makanan akan menyebabkan defisiensi zat besi. Makanan kita pada

umumnya mengandung 10mg fe setiap harinya. Dan kira-kira 1% akan

diabsorbsi (diserap) yang selebihnya akan terbuang ke dalam feses.

(Sibuea et al, 2005)

Gejala klinis hampir sama pada semua jenis anemia, tetapi

hasil laboratorium akan berbeda. Pada anemia defisiensi besi,

konsentrasi Hb dari darah rendah, jumlah eritrosit berkurang tapi tidak

terlalu berat. Oleh karena itu jumlah Hb dalam setiap eritrosit lebih

rendah dari normal. (Sibuea WH et al.2005)

g. Hidroksikobalamin (vit B12) dan atau asam folat

Kedua zat ini terdapat dalam jumlah kecil di dalam makanan.

Vit B12 terdapat di dalam hati, asam folat terdapat di dalam sayur-

sayuran dan yang berdaun hijau. Kedua bahan ini adalah vitamin.

Untuk absorbsi yang baik dari vit B12, lambung (sel parietal) dan

ileum distal harus berfungsi baik. Untuk absorbs yang baik dari asam

folat diperlukan mukosa jejunum yang sehat. Jika jumlah dari salah

satu zat ini berkurang, pembentukan badan sel eritrosit akan

berkurang. Pembentukan Hb lebih baik sedikit, tetapi agak lambat.

Dalam hal ini jumlah eritrosit akan sangat berkurang tetapi konsentrasi

Hb tidak banyak berkurang. Akibatnya sel eritrosit akan mengandung

9

Hb lebih banyak dan selnya lebih besar daripada yang normal. MCV

akan meningkat. Anemia ini disebut anemia megaloblastik dan arena

sumsum tulang dan kadang-kadang darah tepi mengandung perkusor

eritrosit yang besar dan belum matang maka disebut juga anemia

megaloblastik. Pada malnutrisi terutama yang bersamaan dengan

kehamilan, anemia defisiensi asam folat, megaloblastik akan timbul

karena plasenta memakai asam folat dengan cepat. Defisiensi ini

bersifat endemic pada daerah tertentu di india. Contoh lainnya anemia

pernisiosa yang mungki hanya terjadi di eropa utara (Sibuea, 2005)

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kekurangan

kobalamin, diantaranya: asupan yang sangat kurang, defisiensi faktor

intrinsik, persaingan untuk kobalamin dan pemecahan oleh bakteri,

kehilangan atau peradangan ileum terminalis yaitu tempat absorbs

kobalamin dan kelainan transkobalamin (Lang & sibernagl, 2007)

h. Eritropoetin

Untuk produksi eritrosit yang normal diperlukan hormon

eritropoetin. Hormon ini disekresi oleh ginjal bila tekanan oksigen

rendah (misalnya di daerah pegunungan, pada penyakit paru-paru,

penyakit jantung kongenital) Eritropoetin hanya dibentuk di ginjal.

Pada kegagalan ginjal yang berat (renal failure), anemia timbul akibat

tidak adanya pembentukan eritropoetin (Sibuea et al, 2005)

2. Pemecahan eritrosit yang terlalu cepat (anemia hemolitik)

Jika eritrosit terlalu cepat dirusak, sumsum tulang akan meninggikan

produksi eritrosit. Ini mungkin akibat langsung dari anemia terhadap

sumsum tulang tetapi mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

Akibatnya pada anemia ini jumlah retikulosit dalam darah akan meninggi.

Jika jumlah jumlah retikulosit pada penderita anemia sangat tinggi berarti

ada proses hemolisis. (Sibuea et al, 2005)

10

Hitung retikulosit adalah kunci untuk mendiagnosis hemolisis.

Umumnya, pada semua jenis anemia hemolitik, eritrosit dipecah di dalam

limpa. Limpa akan membesar, kadang-kadang sangat besar. Rata-rata

masa hidup dari eritrosit sangat pendek yaitu 10 – 20 hari sedangkan yang

normal adalah 120 hari. (Sibuea WH et al.2005)

Pada saat yang sama banyak hemoglobin yang dirusak, sehingga di

dalam limpa banyak terbentuk bilirubin. Penghancuran eritrosit di limpa

mengakibatkan hati akan mendapat bilirubin yang berlebihan. Karena

kemampuan untuk mengekskresi bilirubin terbatas, maka kadar bilirubin

di dalam darah akan meninggi sehingga pasien tidak hanya pucat tapi juga

kuning (ikterik) bilirubin ini belum diproses oleh hati(belum mengalami

konjugasi dengan glukoronat) sehingga tidak dapat disekresi melalui ginja.

(Sibuea, et al, 2005)

Selain itu rmpedu mengandung bilirubin dalam jumlah besar

sehingga dapat terbentuk batu bilirubin. Tinja akan kaya dengan bilirubin

sehingga warnanya berubah menjadi hitam. Urine akan mengandung

urobilin. (Sibuea, et al.2005)

Pada dasarnya gejala anemia timbul karena (Bhakta, 2003):

1. Anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang

dapat dibawa oleh darah ke jaringan.

2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.

Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang

disebut sebagai sindrom anemia.

Gejala anemia biasanya timbul apabila hemoglobin menurun kurang

dari 7 atau 8 g/dl. Berat ringannya gejala tergantung pada berikut:

1. Beratnya penurunan kadar hemoglobin

11

2. Kecepatan penurunan hemoglobin

3. Umur: adaptasi orang tua lebih jelek, gejala lebih cepat timbul;

4. Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya.

F. Gejala Anemia

Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3

golongan yaitu:

1. Gejala umum anemia

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, Gejala umum

anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis

anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di

bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan

mekanisme kompensasi terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala

tersebut bila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai

berikut (Bhakta, 2007):

a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi sesak waktu

kerja, angina pektoris dan gagal jantung.

b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-

kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.

c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun

d. Epitel: warna pucat pada kulit mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut

tipis dan halus.

2. Gejala khas masing-masing anemia

Gejala yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia seperti;

a. Anemia defisiensi besi: stomatitis angularis, glositis atrofik, kuku menipis,

koilonychias, atrofi mukosa lambung (Child, 2010)

b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)

c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali

12

d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi

(Bhakta, 2003)

3. Gejala akibat penyakit dasar

Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul

karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya, anemia

defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan

menimbulkan gejala seperti: pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna

kuning seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulkan gejala berupa

perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses bercampur darah atau

lender (Bhakta, 2007)

G. Pendekatan Diagnostik untuk Penderita Anemia

Diagnosis anemia dapat sederhana, tetapi sering juga bersifat sangat

kompleks, oleh karena itu langkah-langkah diagnosis harus dilakukan secara

sistematik dan efisien. Untuk menegakkan diagnosis anemia perlu dikerjakan:

1. Anamnesis

Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus

ditujukan untuk mengekplorasi

a. Riwayat penyakit sekarang

b. Riwayat penyakit dahulu

c. Riwayat gizi

d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia dan fisik serta

riwayat pemakaian obat.

e. Riwayat keluarga.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.

Perhatian khusus diberikan pada berikut:

a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning

seperti jerami

13

b. Purpura: petechie dan echymosisc

c. Kuku: koilonychias (kuku sendok)

d. Mata: ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus

e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah,

glossitis dan stomatitis angularis

f. Limfadenopati

g. Hepatomegali

h. Splenomegali

i. Nyeri tulang

j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi

k. Pembengkakan testis

l. Pembengkakan parotis

m. Kelainan sistem saraf

3. Pemeriksaan laboratorium hematologik

Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara bertahap.

Pemeriksaan berikutnya dilakukan dengan memperlihatkan hasil pemeriksaan

terdahulu sehingga lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan-pemeriksaan yang

dilakukan meliputi (Bhakta, 2003):

a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus

anemia. Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemia

dan bentuk morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi:

1) Kadar hemoglobin

2) Indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan

electronic counting di bidang hematologi maka hasil Hb, WBC

(darah putih) dan PLT (trombosit) serta indeks eritrosit dapat

diketahui sekaligus. Dengan pemeriksaan yang baru ini maka juga

diketahui RDW (red cell distribution width) yang menunjukkan

tingkat anisositosis sel darah merah.

3) Apusan darah tepi

14

b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus

anemia untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit.

Pemeriksaan yang harus dikerjakan adalah:

1) Laju endap darah

2) Hitung diferensial

3) Hitung retikulosit (Wells, 1962)

c. Pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan ini harus dikerjakan pada

sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitife

meskipun meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak

memerlukan pemeriksaan sumsum tulang.

d. Pemeriksaan atau indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika

kita telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah

untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut

antara lain:

1) Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan

feritin serum.

2) Anemia megaloblastik: asam folat darah/eritrosit, vitamin B12.

3) Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes coombs, elektroforesis Hb;

4) Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.

4. Pemeriksaan laboratorium non hematologik: pemeriksaan-pemeriksaan yang

perlu dikerjakan antara lain:

a. Faal ginjal

b. Faal endokrin

c. Asam urat

d. Faal hati

e. Biakan kuman

Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti

gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hipotiroidisme

15

Disertai hiperurisemia, seperti mieloma multiple. Pada kasus anemia yang

disertai sepsis, seperti pada anemia aplastik diperlukan kultur darah.

5. Pemeriksaan penunjang lain

Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:

a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi

b. Radiologi: torak, bone survey, USG, skening, limfangiografi.

c. Pemeriksaan sitogenetik

d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR= polymerase chain reaction,

FISH=fluorescence in situ hybridization, dan lain-lain.

Strategi Diagnosis Kasus Anemia

Untuk menegakkan diagnosis anemia harus ditempuh 3 langkah yaitu(Bhakta, 2007):

1. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia

2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai

3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut

Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan

1. Pendekatan klinik

2. Pendekatan laboratorik

3. Pendekatan epidemiologik

Pendekatan klinik tergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang baik untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, anda-tanda khas

masing-masing anemia, serta gejala penyakit dasar. Sementara itu,

pendekatan laboratorik dilakukan dengan menganalisis hasil pemeriksaan

laboratorium menurut tahapan-tahapannya: pemeriksaan penyaring,

pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pendekatan epidemiologik sangat

penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui pola etiologi

anemia di suatu daerah maka petunjuk munuju diagnosis etiologic mudah

dikerjakan. (Bhakta, 2007)

16

H. Prinsip Terapi

Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan

2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien

Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:

1. Terapi gawat-darurat

Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung

maka harus segera diberikan terapi darurat dengan tranfusi sel sel darah merah

yang dimampatkan (packed red cell) untuk mencegah perburukan payah

jantung tersebut. Dalam keadaan demikian, specimen untuk pemeriksaan yang

dipengaruhi oleh tranfusi harus diambil lebih dahulu, seperti apusan darah

tepi, bahan untuk pemeriksaan besi serum, dan lain-lain (Bhakta, 2003)

Indikasi untuk tranfusi meliputi

a. Angina pectoris

b. Perubahan – perubahan EKG iskemik

c. Gagal jantung kongestif dengan curah jantung tinggi

d. Gejala – gejala serebral organic

e. Tidak dapat menahan penderita untuk beristirahat

(Waterbury, 2001)

2. Terapi khas untuk masing-masing anemia

Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya,

preparat besi untuk anemia defisiensi besi, asam folat untuk defisiensi asam

folat, dan lain-lain. (Bhakta, 2007)

3. Terapi kausal

Eritropoesis normal membutuhkan besi, vitamin B12 dan asam folat.

Defisiensi salah satu unsure tersebut menyebabkan anemia. Aktifitas

eritropoesis diatur oleh eritropoetin, suatu hormone yang dilepaskan terutama

17

oleh ginjal. Pada gagal ginjal kronis, sering terjadi anemia karena kekurangan

eritropoeitin (Neal, 2006) Akan tetapi tidak semua penyebab anemia dapat

dikoreksi, seperti anemia yang bersifat familier/herediter. (Bhakta IM. 2003)

seperti yang terjadi pada

a. Hemoglobinopati atau hemoglobin subnormal yang diwariskan

seperti penyakit sel sabit.

b. Gangguan sintesis globin, seperti thalasemia.

c. Kelainan membrane sel darah mersh, seperti sferositosis herediter

dan eliptositosis.

d. Defisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase

(G6PD) dan defisiensi piruvat kinase.

(Price & Wilson, 2006)

4. Terapi ex juvantius

Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan,

jika terapi ini ini berhasil bearti diagnosis dikuatkan. Terapi ini hanya

dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada

pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat

respon yang baik terapi diteruskan, tetapi jika tidak terdapat respon maka

harus dilakukan evaluasi kembali. (Bhakta IM. 2003)

18

BAB III

KESIMPULAN

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (Diseases entity), tetapi

merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying diseases) oleh karena

itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup sampai kepada label anemia tetapi harus

dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting

karena seringkali penyakit dasar tersebut bersembunyi.

Sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah

penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam

pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari

anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.

19

Daftar Pustaka

Bhakta IM. 2003. Hematologi Klinik Ringkas. EGC: Jakarta

Bhakta IM. . 2007. Ilmu Penyakit Dalam. FK UI: Jakarta

Child J.A., 2010. Buku Saku Hematologi Klinik. Binarupa aksara: tangerang. Halaman: 7-110

Garrison C.D., 2009. The Iron Disorders Institute Guide to Anemia. Cumberland House: Naperville halaman 23

Lang F & sibernagl S. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC: Jakarta

Price S.A & Wilson L.M., 2006. Patofisiologi dalam konsep klinis proses – proses penyakit. EGC: Jakarta. Halaman 155 – 166

Neal MJ, 2006, At a Glance Farmakologi Medis. Erlangga Medical Series, Jakarta. Halaman 48-49

Sibuea WH et al.2005. Ilmu Penyakit Dalam. Rineka Cipta: Jakarta

Waterbury L., 2001. Buku Saku Hematologi. EGC: Jakarta: halaman 163 - 173

Wells B.B., 1967. Clinical Pathology. Saunders: Philadelphia: halaman 297

20