Anemia Word
-
Upload
anna-listyana-dewi -
Category
Documents
-
view
46 -
download
4
Transcript of Anemia Word
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anemia merupakan masalah medis yang paling sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat,
terutama dinegagara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan social dan
ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering,
anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan
dilewati oleh para dokter di praktek klinik (Bhakta, 2003)
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan hemoglobin, hematrokit atau hitung eritrosit.
Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin kemudian
hemarokit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana
ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan masa eritrosit, seperti pada
dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah
beberapa kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,
jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu
misalnya kehamilan. (Bhakta, 2007)
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
patogenesis dan patofisiologi anemia serta ketrampilan dalam memilih,
menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya (Bhakta, 2003)
1
B. Tujuan penulisan
Tinjauan kepustakaan tentang Anemia bertujuan untuk :
1. Memahami lebih dalam tentang patofisiologi Anemia dan dapat
memahami tanda – tanda, gejala, etiologi, faktor risiko, klasifikasinya.
2. Memahami cara mendiagnosis Anemia, sehingga dapat mengetahui
penatalaksanaan dan pencegahannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai
baik di klinik maupun di lapangan. Untuk mendapatkan pengertian tentang
anemia maka kita perlu menetapkan definisi anemia
1. Anemia merupakan Sebuah kondisi dimana jumlah sel darah merah
dibawah angka normal (Garrison, 2009).
2. keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh (Bhakta, 2003).
3. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar
hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell) (Bhakta,
2007).
B. Kriteria Anemia
Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan
batas hemoglobin atau hematokrit yang kita anggap sudah terjadi anemia.
Batas ini disebut cut off point, yang sangat dipengaruhi oleh: umur, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut dan lain-lain (Bhakta,
2003).
Cut off point yang umum dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968.
Dinyatakan anemia bila:
Laki-laki dewasa : hemoglobin < 13g/dl
Perempuan dewasa tak hamil : hemoglobin < 12g/dl
Perempuan hamil : hemoglobin < 11g/dl
3
Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 12g/dl
Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11g/dl
Kriteria Klinik
Alasan praktis kriteria anemia di klinik (di rumah sakit atau praktik klinik)
intuk Indonesia pada umumnya adalah: (Bhakta, 2003)
1. Hemoglobin < 10g/dl
2. Hematrokit < 30%
3. Eritrosit <2,8% juta/mm3
Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinisi melakukan work up
anemia jika kita memakai kriteria WHO.
Drajat Anemia
Derajat Anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia
perlu disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus anemia. Klasifikasi derajat
anemia yang umum dipakai adalah sebagai berikut:
1. Ringan sekali : Hb 10g/dl-cut off point
2. Ringan : Hb 8g/dl-Hb. 9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6g/dl – Hb 7,9 g/dl
4. Berat : Hb<6 g/dl (Bhakta, 2003)
C. Prevalensi Anemia
Meskipun anemia dianggap kelainan yang sangat sering dijumpai di
Indonesia, angka prevalensi yang resmi belum pernah diterbitkan. Angka-
angka yang ada merupakan hasil penelitian-penelitian terpisah yang dilakukan
di berbagai tempat di Indonesia.
4
Kelompok populasi Angka prevalensi1. Anak prasekolah (balita)2. Anak usia sekolah3. Dewasa tidak hamil4. Hamil 5. Laki-laki dewasa6. Pekerja berpenghasilan rendah
30-40%25-35%30-40%50-70%20-30%30-40%
Angka prevalensi anemia didunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah
satu faktor determinan utama adalah taraf social ekonomi masyarakat (Bhakta, 2007)
D. Klasifikasi Anemia
Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari
sudut mana kita melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut.
Klasifikasi yang paling sering adalah:
1. Klasifikasi morfologik: yang berdasarkan morfologi eritrosit pada
pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit.
Dengan pemakaian alat hitung hematologi automik. Yang semakin luas
maka validitas klasifikasi morfologik ini menjadi lebih baik. Berikut
klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit : (Bhakta IM. 2003)
a. Anemia hipokromik mikrositer (MCV <80 fl; MCH < 27 pg)
1) Anemia defisiensi besi
2) Thalasemia
3) Anemia akibat penyakit kronik
4) Anemia sideroblastik
b. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg).
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia aplastik – hipoplastik
3) Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat
4) Anemia akibat penyakit kronik
5) Anemia mieloptisik
6) Anemia pada gagal ginjal kronik
5
7) Anemia pada mielofibrosis
8) Anemia pada sindrom mielodisblastik
9) Anemia pada leukemia akut
c. Anemia makrositer (MCV > 95 fl)
1) Megaloblastik
a) Anemia defisiensi asam folat
b) Anemia defisiensi vitamin B12
2) Non megaloblastik
a) Anemia pada penyakit hati kronik
b) Anemia pada hipotiroid
c) Anemia pada sindroma mielodisplastik
2. Klasifikasi etiopatogenesis (yang berdasarkan etiologi dan pathogenesis
terjadinya anemia) (Bhakta, 2007)
a. Produksi eritrosit menurun
1) Kekurangan bahan untuk eritrosit
a) Besi: anemia defisiensi
b) Vitamin B12 dan asam folat, disebut sebagai anemia
megaloblastik
2) Gangguan pemakaian besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3) Kerusakan jaringan sumsum tulang
a) Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak anemia
aplastik/hipoplastik
b) Penggantian oleh jaringan fibrotic/tumor: anemia
leukoeritroblastik/mieloptisik
4) Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui
a) Anemia diseritopoetik
6
b) Anemia pada sindrom mielodisplastik
b. Kehilangan eritrosit dari tubuh
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia pasca perdarahan kronik
c. Peningkatan penghacuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)
1) Faktor ekstrakorpuskular
a) Antibody terhadap eritrosit:
Autoantibody-AIHA (autoimmune hemolytic anemia)
Isoantibodi-HDN (hemolytic diseases of the newborn)
b) Hipersplenisme
c) Pemaparan terhadap bahan kimia
d) Akibat infeksi bakteri
e) Kerusakan mekanik
f) Faktor intrakorpuskular
2) Gangguan membrane
a) Hereditary spherocytosis
b) Hereditary elliptocytosis
3) Gangguan enzim
a) Defisiensi pyruvate kinase
b) Defisiensi G6PD (glucose-6 phosphate dehydrogenase)
4) Gangguan hemoglobin
a) Hemoglobinopati structural
b) Thalasemia
c) Bentuk campuran
d) Bentuk yang patogenesisnya belum jelas
E. Patofisiologi Anemia
7
Anemia berdasarkan etiopatogenesisnya dapat disebabkan oleh produksi
yang kurang baik dan pemecahan eritrosit yang terlalu cepat (Sibuea et al,
2005)
1. Anemia yang disebabkan produksi yang kurang baik
Hal ini ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. Tidak cukup tempat di dalam sumsum tulang untuk membentuk
eritrosit
Kadang-kadang rongga sumsum tulang diisi oleh sel-sel
karsinoma (terutama karsinoma mamma) atau oleh sel-sel leukemia
dari darah yang bersifat ganas. Produksi eritrosit akan berkurang.
Jaringan interstitial pada limpa dan hati mungkin akan mengambil alih
sebagian dari tugas produksi eritrosit, namun ini tidak pernah cukup.
Limpa biasanya membesar. Eritrosit yang dikirimkan ke aliran darah
biasanya belum matang, sering normoblas yang masih berinti
(pembentukan eritrosit di luar sumsum tulang = extramedullary
erythropoesis). (Sibuea, et al, 2005)
b. Kerusakan dari sumsum tulang
Hal ini dapat terjadi oleh karena terkena radiasi yang berat dari
sinar x atau radiasi bom atom. (Sibuea WH et al.2005)
c. Sel asal (stem cell) yang memproduksi eritrosit rusak karena infeksi.
(Sibuea et al, 2005)
d. Sel asal rusak oleh pengaruh obat-obat tertentu
Hal ini menyebabkan anemia aplastik. Tidak ada eritrosit dan
biasanya juga tidak ada leukosit atau trombosit yang dibentuk. Hal ini
sering disebut sebagai kepekaan yang berlebihan (hypersensitivity
reaction), namun hal ini jarang ditemukan. Biasanya penyakit ini
menimbulkan kematian. Salah satu obat yang dapat menyebabkan
ialah kloramfenikol, suatu obat yang sangat banyak digunakan pada
pengobatan tifus abdominalis. Kira-kira satu dari 2000 – 10000
8
penderita yang diobati dengan kloramfenikol akan mengalami anemia
aplastik (Sibue et al, 2005)
Produksi dari eritrosit tidak cuukup karena bahan-bahan yang
diperlukan untuk pembentukan eritrosit kurang yaitu:
e. Kekurangan protein pada malnutrisi yang berat dapat menimbulkan
anemia.(Sibuea, et al, 2005)
f. Zat besi (Fe)
Pada wanita, menstruasi yang berlebihan disertai persalinan
yang banyak dan pemasukan (intake) zat besi yang sangat kurang dari
makanan akan menyebabkan defisiensi zat besi. Makanan kita pada
umumnya mengandung 10mg fe setiap harinya. Dan kira-kira 1% akan
diabsorbsi (diserap) yang selebihnya akan terbuang ke dalam feses.
(Sibuea et al, 2005)
Gejala klinis hampir sama pada semua jenis anemia, tetapi
hasil laboratorium akan berbeda. Pada anemia defisiensi besi,
konsentrasi Hb dari darah rendah, jumlah eritrosit berkurang tapi tidak
terlalu berat. Oleh karena itu jumlah Hb dalam setiap eritrosit lebih
rendah dari normal. (Sibuea WH et al.2005)
g. Hidroksikobalamin (vit B12) dan atau asam folat
Kedua zat ini terdapat dalam jumlah kecil di dalam makanan.
Vit B12 terdapat di dalam hati, asam folat terdapat di dalam sayur-
sayuran dan yang berdaun hijau. Kedua bahan ini adalah vitamin.
Untuk absorbsi yang baik dari vit B12, lambung (sel parietal) dan
ileum distal harus berfungsi baik. Untuk absorbs yang baik dari asam
folat diperlukan mukosa jejunum yang sehat. Jika jumlah dari salah
satu zat ini berkurang, pembentukan badan sel eritrosit akan
berkurang. Pembentukan Hb lebih baik sedikit, tetapi agak lambat.
Dalam hal ini jumlah eritrosit akan sangat berkurang tetapi konsentrasi
Hb tidak banyak berkurang. Akibatnya sel eritrosit akan mengandung
9
Hb lebih banyak dan selnya lebih besar daripada yang normal. MCV
akan meningkat. Anemia ini disebut anemia megaloblastik dan arena
sumsum tulang dan kadang-kadang darah tepi mengandung perkusor
eritrosit yang besar dan belum matang maka disebut juga anemia
megaloblastik. Pada malnutrisi terutama yang bersamaan dengan
kehamilan, anemia defisiensi asam folat, megaloblastik akan timbul
karena plasenta memakai asam folat dengan cepat. Defisiensi ini
bersifat endemic pada daerah tertentu di india. Contoh lainnya anemia
pernisiosa yang mungki hanya terjadi di eropa utara (Sibuea, 2005)
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kekurangan
kobalamin, diantaranya: asupan yang sangat kurang, defisiensi faktor
intrinsik, persaingan untuk kobalamin dan pemecahan oleh bakteri,
kehilangan atau peradangan ileum terminalis yaitu tempat absorbs
kobalamin dan kelainan transkobalamin (Lang & sibernagl, 2007)
h. Eritropoetin
Untuk produksi eritrosit yang normal diperlukan hormon
eritropoetin. Hormon ini disekresi oleh ginjal bila tekanan oksigen
rendah (misalnya di daerah pegunungan, pada penyakit paru-paru,
penyakit jantung kongenital) Eritropoetin hanya dibentuk di ginjal.
Pada kegagalan ginjal yang berat (renal failure), anemia timbul akibat
tidak adanya pembentukan eritropoetin (Sibuea et al, 2005)
2. Pemecahan eritrosit yang terlalu cepat (anemia hemolitik)
Jika eritrosit terlalu cepat dirusak, sumsum tulang akan meninggikan
produksi eritrosit. Ini mungkin akibat langsung dari anemia terhadap
sumsum tulang tetapi mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.
Akibatnya pada anemia ini jumlah retikulosit dalam darah akan meninggi.
Jika jumlah jumlah retikulosit pada penderita anemia sangat tinggi berarti
ada proses hemolisis. (Sibuea et al, 2005)
10
Hitung retikulosit adalah kunci untuk mendiagnosis hemolisis.
Umumnya, pada semua jenis anemia hemolitik, eritrosit dipecah di dalam
limpa. Limpa akan membesar, kadang-kadang sangat besar. Rata-rata
masa hidup dari eritrosit sangat pendek yaitu 10 – 20 hari sedangkan yang
normal adalah 120 hari. (Sibuea WH et al.2005)
Pada saat yang sama banyak hemoglobin yang dirusak, sehingga di
dalam limpa banyak terbentuk bilirubin. Penghancuran eritrosit di limpa
mengakibatkan hati akan mendapat bilirubin yang berlebihan. Karena
kemampuan untuk mengekskresi bilirubin terbatas, maka kadar bilirubin
di dalam darah akan meninggi sehingga pasien tidak hanya pucat tapi juga
kuning (ikterik) bilirubin ini belum diproses oleh hati(belum mengalami
konjugasi dengan glukoronat) sehingga tidak dapat disekresi melalui ginja.
(Sibuea, et al, 2005)
Selain itu rmpedu mengandung bilirubin dalam jumlah besar
sehingga dapat terbentuk batu bilirubin. Tinja akan kaya dengan bilirubin
sehingga warnanya berubah menjadi hitam. Urine akan mengandung
urobilin. (Sibuea, et al.2005)
Pada dasarnya gejala anemia timbul karena (Bhakta, 2003):
1. Anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang
dapat dibawa oleh darah ke jaringan.
2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.
Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang
disebut sebagai sindrom anemia.
Gejala anemia biasanya timbul apabila hemoglobin menurun kurang
dari 7 atau 8 g/dl. Berat ringannya gejala tergantung pada berikut:
1. Beratnya penurunan kadar hemoglobin
11
2. Kecepatan penurunan hemoglobin
3. Umur: adaptasi orang tua lebih jelek, gejala lebih cepat timbul;
4. Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya.
F. Gejala Anemia
Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3
golongan yaitu:
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, Gejala umum
anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis
anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di
bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala
tersebut bila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai
berikut (Bhakta, 2007):
a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi sesak waktu
kerja, angina pektoris dan gagal jantung.
b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun
d. Epitel: warna pucat pada kulit mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut
tipis dan halus.
2. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia seperti;
a. Anemia defisiensi besi: stomatitis angularis, glositis atrofik, kuku menipis,
koilonychias, atrofi mukosa lambung (Child, 2010)
b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali
12
d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi
(Bhakta, 2003)
3. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul
karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya, anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan
menimbulkan gejala seperti: pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna
kuning seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulkan gejala berupa
perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses bercampur darah atau
lender (Bhakta, 2007)
G. Pendekatan Diagnostik untuk Penderita Anemia
Diagnosis anemia dapat sederhana, tetapi sering juga bersifat sangat
kompleks, oleh karena itu langkah-langkah diagnosis harus dilakukan secara
sistematik dan efisien. Untuk menegakkan diagnosis anemia perlu dikerjakan:
1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus
ditujukan untuk mengekplorasi
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat penyakit dahulu
c. Riwayat gizi
d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia dan fisik serta
riwayat pemakaian obat.
e. Riwayat keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada berikut:
a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning
seperti jerami
13
b. Purpura: petechie dan echymosisc
c. Kuku: koilonychias (kuku sendok)
d. Mata: ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah,
glossitis dan stomatitis angularis
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang
j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi
k. Pembengkakan testis
l. Pembengkakan parotis
m. Kelainan sistem saraf
3. Pemeriksaan laboratorium hematologik
Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara bertahap.
Pemeriksaan berikutnya dilakukan dengan memperlihatkan hasil pemeriksaan
terdahulu sehingga lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan-pemeriksaan yang
dilakukan meliputi (Bhakta, 2003):
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus
anemia. Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemia
dan bentuk morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi:
1) Kadar hemoglobin
2) Indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan
electronic counting di bidang hematologi maka hasil Hb, WBC
(darah putih) dan PLT (trombosit) serta indeks eritrosit dapat
diketahui sekaligus. Dengan pemeriksaan yang baru ini maka juga
diketahui RDW (red cell distribution width) yang menunjukkan
tingkat anisositosis sel darah merah.
3) Apusan darah tepi
14
b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus
anemia untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit.
Pemeriksaan yang harus dikerjakan adalah:
1) Laju endap darah
2) Hitung diferensial
3) Hitung retikulosit (Wells, 1962)
c. Pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan ini harus dikerjakan pada
sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitife
meskipun meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak
memerlukan pemeriksaan sumsum tulang.
d. Pemeriksaan atau indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika
kita telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah
untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut
antara lain:
1) Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan
feritin serum.
2) Anemia megaloblastik: asam folat darah/eritrosit, vitamin B12.
3) Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes coombs, elektroforesis Hb;
4) Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.
4. Pemeriksaan laboratorium non hematologik: pemeriksaan-pemeriksaan yang
perlu dikerjakan antara lain:
a. Faal ginjal
b. Faal endokrin
c. Asam urat
d. Faal hati
e. Biakan kuman
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti
gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hipotiroidisme
15
Disertai hiperurisemia, seperti mieloma multiple. Pada kasus anemia yang
disertai sepsis, seperti pada anemia aplastik diperlukan kultur darah.
5. Pemeriksaan penunjang lain
Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
b. Radiologi: torak, bone survey, USG, skening, limfangiografi.
c. Pemeriksaan sitogenetik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR= polymerase chain reaction,
FISH=fluorescence in situ hybridization, dan lain-lain.
Strategi Diagnosis Kasus Anemia
Untuk menegakkan diagnosis anemia harus ditempuh 3 langkah yaitu(Bhakta, 2007):
1. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia
2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai
3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut
Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan
1. Pendekatan klinik
2. Pendekatan laboratorik
3. Pendekatan epidemiologik
Pendekatan klinik tergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang baik untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, anda-tanda khas
masing-masing anemia, serta gejala penyakit dasar. Sementara itu,
pendekatan laboratorik dilakukan dengan menganalisis hasil pemeriksaan
laboratorium menurut tahapan-tahapannya: pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pendekatan epidemiologik sangat
penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui pola etiologi
anemia di suatu daerah maka petunjuk munuju diagnosis etiologic mudah
dikerjakan. (Bhakta, 2007)
16
H. Prinsip Terapi
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan
2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
1. Terapi gawat-darurat
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung
maka harus segera diberikan terapi darurat dengan tranfusi sel sel darah merah
yang dimampatkan (packed red cell) untuk mencegah perburukan payah
jantung tersebut. Dalam keadaan demikian, specimen untuk pemeriksaan yang
dipengaruhi oleh tranfusi harus diambil lebih dahulu, seperti apusan darah
tepi, bahan untuk pemeriksaan besi serum, dan lain-lain (Bhakta, 2003)
Indikasi untuk tranfusi meliputi
a. Angina pectoris
b. Perubahan – perubahan EKG iskemik
c. Gagal jantung kongestif dengan curah jantung tinggi
d. Gejala – gejala serebral organic
e. Tidak dapat menahan penderita untuk beristirahat
(Waterbury, 2001)
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya,
preparat besi untuk anemia defisiensi besi, asam folat untuk defisiensi asam
folat, dan lain-lain. (Bhakta, 2007)
3. Terapi kausal
Eritropoesis normal membutuhkan besi, vitamin B12 dan asam folat.
Defisiensi salah satu unsure tersebut menyebabkan anemia. Aktifitas
eritropoesis diatur oleh eritropoetin, suatu hormone yang dilepaskan terutama
17
oleh ginjal. Pada gagal ginjal kronis, sering terjadi anemia karena kekurangan
eritropoeitin (Neal, 2006) Akan tetapi tidak semua penyebab anemia dapat
dikoreksi, seperti anemia yang bersifat familier/herediter. (Bhakta IM. 2003)
seperti yang terjadi pada
a. Hemoglobinopati atau hemoglobin subnormal yang diwariskan
seperti penyakit sel sabit.
b. Gangguan sintesis globin, seperti thalasemia.
c. Kelainan membrane sel darah mersh, seperti sferositosis herediter
dan eliptositosis.
d. Defisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase
(G6PD) dan defisiensi piruvat kinase.
(Price & Wilson, 2006)
4. Terapi ex juvantius
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan,
jika terapi ini ini berhasil bearti diagnosis dikuatkan. Terapi ini hanya
dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada
pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat
respon yang baik terapi diteruskan, tetapi jika tidak terdapat respon maka
harus dilakukan evaluasi kembali. (Bhakta IM. 2003)
18
BAB III
KESIMPULAN
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (Diseases entity), tetapi
merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying diseases) oleh karena
itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup sampai kepada label anemia tetapi harus
dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting
karena seringkali penyakit dasar tersebut bersembunyi.
Sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah
penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam
pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari
anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.
19
Daftar Pustaka
Bhakta IM. 2003. Hematologi Klinik Ringkas. EGC: Jakarta
Bhakta IM. . 2007. Ilmu Penyakit Dalam. FK UI: Jakarta
Child J.A., 2010. Buku Saku Hematologi Klinik. Binarupa aksara: tangerang. Halaman: 7-110
Garrison C.D., 2009. The Iron Disorders Institute Guide to Anemia. Cumberland House: Naperville halaman 23
Lang F & sibernagl S. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC: Jakarta
Price S.A & Wilson L.M., 2006. Patofisiologi dalam konsep klinis proses – proses penyakit. EGC: Jakarta. Halaman 155 – 166
Neal MJ, 2006, At a Glance Farmakologi Medis. Erlangga Medical Series, Jakarta. Halaman 48-49
Sibuea WH et al.2005. Ilmu Penyakit Dalam. Rineka Cipta: Jakarta
Waterbury L., 2001. Buku Saku Hematologi. EGC: Jakarta: halaman 163 - 173
Wells B.B., 1967. Clinical Pathology. Saunders: Philadelphia: halaman 297
20