Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

download Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

of 20

Transcript of Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    1/20

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    2/20

    10

    dialirkan ke dalam duodenum, disimpan di dalam kandung empedu melalui

    duktus sistikus. Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung

    empedu, duktus hepatikus komunis menjadi duktus biliaris komunis (common bile

    duct) atau disebut juga duktus koledokus. Dalam keadaan normal, kandung

    empedu dapat menampung 50 ml cairan empedu (Amirudin 2006). Pada bagian

    distalduktus koledokus sebelum mencapai muaranya di duodenum terdapat muara

    duktus pankreatikus. Kedua saluran ini bermuara di duodenum melalui papilla

    Vateri. Pada keadaan ikterus dapat terjadi berbagai perubahan biokimiawi,

    fisiologi bahkan perubahan struktur jaringan hati, baik yang bersifat reversible

    maupun yang irreversible. Tergantung penyebabnya, ikterus dapat diikuti dengan

    berbagai perubahan/kerusakan pada berbagai bagian organ tubuh lain seperti

    pankreas, usus, ginjal bahkan otak (Sulaiman 2006).

    Hati mempunyai fungsi yang beraneka ragam yang meliputi fungsi

    metabolisme, fungsi sintesis, fungsi ekskresi, fungsi endokrin, fungsi imunologi

    dan lain-lain. Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati

    mengekskresikan sebanyak 1 liter empedu perhari ke dalam usus halus melalui

    muara saluran empedu di duodenum. Empedu terdiri dari asam empedu (asam

    kolat, asam kenodeoksikolat, asam deoksikolat dan dalam jumlah kecil asam

    ursodeoksikolat), bilirubin, kolesterol, trace metal, serta metabolit obat, dengan

    air sebagai unsur utama (97%). Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus

    diubah menjadi glikogen untuk kemudian disimpan di hati (glikogenesis). Dari

    depot glikogen ini disuplai glukosa secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis)

    untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme di

    dalam jaringan untuk menghasilkan energi dan sisanya diubah menjadi glikogen

    yang disimpan dalam otot atau lemak yang disimpan dalam jaringan subkutan.

    Fungsi metabolisme protein dari hati terutama menghasilkan protein plasma

    berupa albumin, protrombin, fibrinogen serta faktor-faktor pembekuan lainnya.

    Adapun fungsi metabolisme lemak dari hati terutama dalam pembentukan

    lipoprotein, kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat (Sherlock 1993; Amirudin

    2006).

    Empedu sangat berperan dalam membantu pencernaan dan absorpsi lemak,

    ekskresi metabolit hati dan produk sisa seperti kolesterol, bilirubin dan logam

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    3/20

    11

    berat. Asam empedu dibentuk dari kolesterol di dalam sel-sel hati (hepatosit),

    bersifat larut dalam air akibat konyugasi dengan glisin, taurin dan sulfat. Asam

    empedu berfungsi sebagai deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja

    enzim-enzim pankreas serta berperan utama dalam absorpsi lemak intraluminal.

    Bilirubin, suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur tetrapirol yang tidak larut

    dalam air, sebagian besar berasal dari sel-sel darah yang telah hancur dan sebagian

    lagi berasal dari katabolisme protein-protein heme lainnya (Talley 1996;

    Amirudin 2006).

    Patofisiologi Ikterus

    Setiap hari tubuh manusia membentuk sekitar 250 sampai 350 mg

    bilirubin atau sekitar 4 mg/kg bobot badan. 70-80% berasal dari pemecahan sel

    darah merah yang matang, sedangkan 20-30% sisanya berasal dari protein heme

    lainnya di sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi

    besi dan bilirubin (produk antara) dengan perantaraan enzim hemeoksigenase.

    Sementara itu enzim biliverdin reduktase akan mengubah biliverdin menjadi

    bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi di dalam sel sistem retikuloendotelial.

    Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konyugasi dengan

    asam glukuronat membentuk bilirubin diglukuronida (disebut juga bilirubin

    terkonyugasi atau bilirubin direk) yang larut dalam air. Reaksi ini dikatalisis oleh

    enzim mikrosomal glukuronil transferase. Dalam beberapa keadaan reaksi ini

    hanya menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronat

    kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui enzim yang berbeda, namun

    ini tidak fisiologis. Bilirubin terkonyugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus hati

    bersama zat-zat lainnya, sampai ke duodenum. Di dalam usus, flora bakterimendekonyugasi bilirubin menjadi sterkobilinogen, dan mengeluarkannya

    sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan

    dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai urin

    sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bisa

    mengeluarkan bilirubin terkonyugasi. Hal ini dapat menerangkan warna urin yang

    lebih gelap pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik (Sherlock

    1993; Talley 1996).

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    4/20

    12

    Bilirubin tak terkonyugasi (disebut juga bilirubin indirek) bersifat tidak

    larut dalam air namun larut dalam lemak, sehingga bisa melalui sawar darah otak

    serta dapat melewati plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonyugasi

    mengalami proses konyugasi dengan gula melalui enzim glukuronil transferase

    dan larut dalam empedu.

    Pendapat yang lain menambahkan lagi proses metabolisme bilirubin

    dengan 2 tahap lagi yaitu tahap transpor plasma dan tahap liver uptake (Amirudin

    2006).

    Gambar 8. Skema metabolisme bilirubin

    (Dikutip dari Talley1996)

    (4)

    Kanalikulus empedu

    Duktus biliaris

    Duodenum

    (4)

    Sel darah merah matang Hemolisis (1)

    Heme (+ haptoglobin)Bilirubin tak terkonyugasi + albumin

    Bilirubin tak terkonyugasiUptake (3)

    Konyugasi (3)

    Ekskresi (3)

    Bilirubin tak terkonyugasi

    Bilirubin terkonyugasi

    Biliverdin reduktase

    Glukuronil transferase (2)

    (4)

    HEPATOSIT

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    5/20

    13

    Dengan memperhatikan proses metabolisme bilirubin di atas, maka ikterus

    dibagi atas 3 kelompok, yaitu ikterus prehepatik (ikterus hemolitik), ikterus

    hepatik (ikterus hepatoselular) dan ikterus kolestatik (ikterus obstruktif). Kadang-

    kadang terdapat overlap antara ikterus hepatoselular dengan ikterus kolestatik

    (Sherlock 1993; Sulaiman 2006).

    Pada keadaan ini terdapat peningkatan ringan kadar bilirubin total

    terutama bilirubin tak terkonyugasi, namun enzim SGOT (serum glutamic

    oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase)

    serta fosfatase alkali normal. Begitu pula fungsi hati dan ekskresi empedu normal.

    Keadaan ini dapat terjadi pada anemia hemolitik oleh berbagai sebab (misalnya

    pada keadaan autoimmune hemolytic anemia (AIHA), defisiensi enzim G6PD

    (Glucose-6-phosphate dehydrogenase), thalassemia, infeksi malaria, dan lain-

    lain) atau pada beberapa penyakit gangguan metabolisme bilirubin yang bersifat

    familial seperti Sindrom Gilbert dan Sindrom Crigler-Najjar (Sherlock 1993;

    Talley 1996).

    Ikterus prehepatik (ikterus hemolitik)

    Keadaan ini disebabkan proses inflamasi/kerusakan pada jaringan hati,

    misalnya pada hepatitis (karena virus, bakteri atau obat-obatan). Dalam keadaan

    ini, kadar bilirubin meningkat, baik bilirubin terkonyugasi maupun bilirubin tak

    terkonyugasi, disertai dengan peningkatan enzim transaminase. Pada keadaan ini,

    dapat pula terjadi kolestasis intrahepatik yang akan memperberat keadaan ikterus

    (Sherlock 1993; Sulaiman 2006). Tergantung penyebabnya keadaan ini bisa

    bermanifestasi akut maupun kronik dengan gambaran fungsi hati yang berbeda

    walaupun bisa memberikan gambaran sebagian fungsi hati yang hampir sama.Umumnya terdapat peningkatan enzim SGOT dan SGPT, dan pada keadaan yang

    kronik bisa terjadi penurunan kadar albumin sebagai manifestasi terganggunya

    fungsi sintesis hati (Sherlock 1993).

    Ikterus hepatoseluler

    Pada sindrom Dubin-Johnson dan sindrom Rotor yang merupakan

    penyakit herediter, terjadi keadaan ikterus ringan dan tanpa keluhan, yang

    disebabkan oleh gangguan berbagai anion organik termasuk bilirubin, namun

    ekskresi empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom Gilbert, pada kedua

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    6/20

    14

    keadaan ini hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin terkonyugasi dan

    empedu terdapat dalam urin.

    Gambaran Fungsi Hati pada Ikterus Obstruktif

    Ikterus Kolestatik

    Pada keadaan ini terjadi sumbatan (obstruksi) total atau parsial dari aliran

    empedu dan komponen-komponennya dari mulai sel hati (kanalikulus) sampai ke

    duodenum. Untuk kepentingan klinik, ikterus kolestatik dibagi menjadi dua yaitu

    kolestasis intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik bisa

    terjadi pada keadaan hepatitis, sirosis hati bilier primer atau pada karsinoma hati

    metastatik. Pada kolestasis ekstrahepatik terjadi sumbatan secara mekanis pada

    duktus biliaris ekstrahepatik mulai dari duktus hepatikus komunis sampai muara

    duktus koledokus (common bile duct) di duodenum. Keadaan ikterus kolestatik

    ekstrahepatik ini sering disebut sebagai ikterus obstruktif (obstructive jaundice).

    Ikterus obstruktif sering disebabkan oleh batu duktus koledokus, kanker kaput

    pankreas, tumor duktus koledokus, tumor papilla Vateri atau striktur CBD (Lu

    dan Kaplowitz 1995; Siddique et al. 2008; Pangestu et al. 2007). Pada keadaan ini

    terjadi peningkatan kadar bilirubin plasma terutama bilirubin terkonyugasi.

    Dalam menghadapi keadaan ikterus, harus segera dapat ditentukan bila ada

    ikterus prehepatik (hemolitik), ikterus hepatoselular atau ikterus obstruktif.

    Pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin (bilirubin total, bilirubin

    direk dan bilirubin indirek), SGOT/AST (Aspartate Aminotransferase),

    SGPT/ALT (Alanine Transaminase), dan fosfatase alkali dapat memberi petunjuk

    awal untuk membedakan ketiga kelompok ikterus di atas. Pada ikterus hemolitik

    yang menonjol adalah kadar bilirubin indirek lebih tinggi dibanding bilirubin

    direk, hal ini tidak terjadi pada ikterus obstruktif maupun ikterus hepatoselular,

    dengan fungsi enzimatik hati umumnya normal (Sherlock 1993; Hayat et al. 2005).

    Peningkatan kadar SGOT dan SGPT merupakan indikator yang sensitif untuk

    ikterus hepatoselular (misalnya pada hepatitis virus akut maupun kronik, hepatitis

    autoimun, hemokromatosis, defisiensi 1-antitripsin serta penyakit Wilson),

    sedangkan pada ikterus obstruktif peningkatan kadar fosfatase alkali lebih tinggi

    dibanding peningkatan SGOT/SGPT.

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    7/20

    15

    Seiring dengan peningkatan kadar bilirubin darah, pada keadaan ikterus

    obstruktif terjadi peningkatan kadar fosfatase alkali lebih dari 3 kali nilai normal,

    sedangkan peningkatan enzim transminase (SGOT dan SGPT) umumnya kurang

    dari 3 kali nilai normal. Kadar enzim gamma glutamyl transpeptidase (GGT)

    umumnya meningkat pada keadaan ikterus obstruktif, namun peningkatan ini bisa

    juga terjadi pada keadaan-keadaan lain, misalnya pada keadaan fatty liver,

    hepatitis akibat obat-obatan serta penyakit-penyakit non-hepatik yang lain

    (Giannini et al. 2005).

    Keadaan ikterus obstruktif berkepanjangan dapat menimbulkan kerusakan

    struktur hati terutama hepatosit yang akan diikuti dengan menurunnya fungsi

    sintesis hati khususnya sintesis albumin. Kadar albumin plasma dapat menurun

    jika sudah terjadi keadaan kerusakan hati lanjut (sirosis bilier). Hal ini terjadi

    karena pada keadaan ikterus obstruktif lanjut akan terjadi kerusakan hati yaitu

    nekrosis hepatoselular, proliferasi sel-sel epitelial duktulus biliaris, aktivasi

    sel-sel stelat yang diikuti dengan fibrosis hati (Giannini et al. 2005; Hong et al.

    2007).

    Berbagai hasil penelitian telah dilaporkan mengenai mekanisme terjadinya

    kerusakan hati pada keadaan ikterus obstruktif. Wang et al. (2005) pada

    penelitiannya mengenai ikterus obstruktif dengan hewan model tikus melaporkan

    bahwa kerusakan hati yang terjadi pada keadaan ini, disebabkan akumulasi garam

    empedu di dalam sel-sel hati. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum

    diketahui, namun diduga hal ini disebabkan oleh karena terganggunya proses

    apoptosis selular oleh protein kinase C pada keadaan ikterus obstruktif.

    Mekanisme patogenesis lain tentang terjadinya kerusakan hati pada keadaan

    ikterus obstruktif dilaporkan juga oleh penelitian Hong et al. (2007) denganhewan model tikus, yang melaporkan adanya peranan bakteri intestinal, efek dari

    endotoksin plasma akibat translokasi bakteri melalui mukosa usus halus,

    meningkatnya kadar sitokin dan kadar imunoglobulin A (IgA) serta meningkatnya

    oxidative stress di dalam plasma. Mekanisme patogenesis lainnya disampaikan

    oleh Cindoruket al. (2007) yang melaporkan peranan peroxisome proliferators-

    activated receptor alpha(PPAR) dalam mengurangi derajat kerusakan hati pada

    tikus percobaan dengan ikterus obstruktif. Hal ini dihubungkan dengan pemberian

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    8/20

    16

    fenofibrat yang merupakan PPAR agonist yang ternyata dapat meningkatkan

    metabolisme kolesterol, serta menekan sintesis asam empedu yang pada akhirnya

    akan mempengaruhi sitokin proinflamasi, apoptosis, serta kerusakan hepatoselular

    lebih lanjut.

    Untuk mengetahui reversibilitas gangguan fungsi hati pada keadaan

    ikterus obstruktif, Fraser et al. (1989) melakukan penelitian dengan mengikat

    (ligasi) duktus koledokus pada 11 ekor anjing. Setelah 4 minggu, dilakukan

    dekompresi dengan melakukan anastomosis bilioenterik. Selama 2 bulan setelah

    dekompresi, dilakukan evaluasi berkala fungsi hati, perubahan mikroskopik dari

    biopsi hati serta pemeriksaan dynamic liver scintiscanning, dibandingkan dengan

    keadaan sebelum dilakukan dekompresi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

    bahwa perlu waktu yang lama (lebih dari 10 hari) untuk mengembalikan berbagai

    fungsi hati setelah dilakukan dekompresi.

    Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Kocher et al. (1997), untuk

    melihat perubahan histopatologi jaringan hati pada 14 ekor anjing mongrel yang

    mengalami pengikatan duktus koledokus. Dari penelitian ini diketahui bahwa

    perubahan histopatologi jaringan hati pada ikterus obstruktif dimulai dengan

    proses inflamasi akut, edema, fibrosis serta akhirnya terjadi distorsi arsitektur

    jaringan hati yang irreversible.

    Metabolisme Lemak pada Ikterus Obstruktif

    Ikterus obstruktif ditandai dengan akumulasi bilirubin, asam empedu dan

    kolesterol intraselular akibat terhambatnya sekresi empedu, yang diikuti dengan

    keadaan hiperbilirubinemia dan hiperlipidemia. Asam empedu yang merupakan

    produk utama dari metabolisme kolesterol di dalam hati, berfungsi sebagai

    deterjen fisiologis yang memfasilitasi absorpsi dan transpor lemak dan vitamin

    yang larut dalam lemak melalui mukosa usus halus.

    Gangguan metabolisme lemak pada ikterus obstruktif telah banyak

    dilaporkan, baik pada manusia maupun hewan percobaan. Peningkatan kadar

    kolesterol plasma terjadi setelah pengikatan duktus koledokus pada tikus

    percobaan, tetapi perlu waktu yang lebih lama, untuk memastikan adanya

    peningkatan kadar kolesterol plasma ini berlanjut terus atau tidak. Eliminasi

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    9/20

    17

    kolesterol dari tubuh terutama melalui ekskresi kolesterol bebas/fosfolipid dan

    asam empedu melalui traktus biliaris. Dengan demikian, pada ikterus obstruktif

    akan terjadi gangguan homeostasis kolesterol. Penelitian Dueland et al. (1991)

    dengan mengikat duktus koledokus tikus Sprague-Dawley menunjukkan:

    1) penurunan kadar dan fungsi enzim sitokrom P-450 di hati,

    2) akumulasi asam empedu di hati,

    3) peningkatan aktivitas enzim kolesterol 7 hidroksilase,

    4) peningkatan aktivitas enzim HMG-CoA reduktase serta peningkatan kadar

    kolesterol plasma, dan

    5) peningkatan ekskresi asam empedu melalui urin.

    Dengan tidak adanya ekskresi cairan empedu ke dalam duodenum akibat

    ikterus obstruktif, akan terjadi gangguan pada absorbsi lemak enteral. Pengaruh

    pemberian fat emulsion enteral pada absorpsi lemak dilaporkan oleh Sato et al.

    (1991). Sato membagi hewan percobaannya (tikus) atas kelompok ikterus

    obstruktif dan non-ikterus obstruktif. Kepada kedua kelompok diberikan fat

    emulsion dan unemulsifiedfatyang dilabel dengan 14C. Dengan mengukur kadar

    14CO2

    melalui pernafasan dapat diukur penyerapan dari lemak melalui usus halus.

    Penelitian ini menyimpulkan bahwa absorpsi lemak (baik emulsified fatmaupun

    unemulsified fat) pada kelompok ikterus obstruktif lebih rendah dibanding

    kelompok non-ikterus obstruktif.

    Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Mukosa Lambung

    Kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus

    merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien-pasien dengan ikterus

    obstruktif. Berbagai mekanisme patogenesis mengenai hal ini telah banyak

    dilaporkan yang meliputi faktor-faktor lokal maupun sistemik. Faktor-faktor lokal

    meliputi keadaan hiperasiditas lambung, berkurangnya lapisan mukus,

    menurunnya kadar prostaglandin mukosa serta berkurangnya aliran darah mukosa.

    Adapun yang termasuk faktor sistemik meliputi berkurangnya asupan lemak,

    faktor infeksi serta peningkatan kadar bilirubin plasma (Mizumoto 1986).

    Dalam mempertahankan integritas mukosa lambung terhadap berbagai

    faktor agresif, baik yang berasal dari luar maupun yang berasal dari dalam, tubuh

    memiliki berbagai faktor defensif antara lain lapisan mukus mukosa lambung,

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    10/20

    18

    bikarbonat, prostaglandin serta sirkulasi darah mukosa lambung. Dalam keadaan

    normal terdapat keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Apabila

    faktor agresif lebih kuat daripada faktor defensif maka integritas mukosa lambung

    terganggu diikuti dengan pembentukan erosi, ulkus bahkan tidak jarang terjadi

    perdarahan dan perforasi (Makmun 2005).

    Secara anatomis, struktur dari saluran cerna termasuk lambung terdiri dari

    lapisan mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari

    sel-sel epitelial yang didasari oleh lamina propria yang terdiri dari sel-sel

    penunjang, pembuluh darah, pembuluh limfa, serat saraf enterik dan sel-sel sistem

    imun yang meliputi sel mast, leukosit dan makrofag. Di bawah lamina propria

    terdapat lapisan muskularis mukosa yang tipis. Lapisan submukosa terdiri dari

    jaringan ikat padat yang mengandung serat-serta saraf enterik, pembuluh darah

    dan pembuluh limfa, serta di bawahnya terdapat lapisan muskularis submukosa.

    Bagian luar dari struktur anatomis saluran cerna adalah lapisan serosa yang terdiri

    dari jaringan ikat yang longgar yang ditutupi oleh sel-sel skuamosa (Atuma 2000).

    Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan studi intensif mengenai

    mekanisme defensif dari saluran pencernaan. Pendapat terkini mengenai

    mekanisme defensif saluran pencernaan ini dikenal dengan the three levels of

    gastrointestinal mucosal defense (Atuma 2000), yang membagi mekanisme

    defensif ini menjadi 3 faktor yaitu faktor pre-epitelial, faktor epitelial dan faktor

    sub-epitelial (Gambar 9).

    Gambar 9. The three levels of gastrointestinal mucosal defense

    (Dikutip dari Atuma 2000)

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    11/20

    19

    Faktor-faktor pre-epitelial disekresikan kedalam lumen saluran cerna,

    terdiri dari mukus, bikarbonat, imunoglobulin dan laktoferin. Faktor-faktor

    epitelial terdiri dari membran sel, jaringan ikat intraselular, membran plasma serta

    restitusi yang merupakan proses perbaikan secara cepat dari sel-sel mukosa yang

    rusak dengan cara migrasi sel-sel epitel yang normal ke tempat sel-sel epitel yang

    rusak. Adapun faktor-faktor sub-epitelial terdiri dari aliran darah mukosa, sistem

    saraf, berbagai mediator inflamasi seperti nitric oxide, berbagai eikosanoid seperti

    prostaglandin, leukotrien dan tromboksan serta sel-sel sistem imun seperti

    makrofag dan sel mast (Atuma 2000; Makmun 2005).

    Lapisan mukus merupakan faktor defensif pertama dari saluran cerna

    mulai dari lambung sampai dengan usus besar, melindungi mukosa saluran cerna

    dari difusi zat-zat yang bersifat merusak, sebagai perangkap bagi mikroorganisme,

    berinteraksi dengan sistem imun saluran cerna serta sebagai lubrikan. Mukus

    merupakan senyawa yang kohesif yang terdiri dari air (merupakan bagian

    terbesar) dan glikoprotein. Fosfolipid merupakan unsur utama dalam

    pembentukan dan kekuatan lapisan mukus (Slomiany dan Slomiany 1991; Atuma

    2000) (Gambar 10). Keberadaan fosfolipid dalam lapisan mukus mukosa lambung

    ini dapat melindungi mukosa lambung terhadap berbagai faktor agresif termasuk

    obat-obatan golongan anti inflamasi nonsteroid seperti golongan coxib dan aspirin

    (Anand et al. 1999; Lichtenbergeret al. 2007).

    Gambar 10. Skematik mukosa gaster (Dikutip dari Slomiany dan Slomiany 1991)

    Prostaglandin merupakan salah satu eikosanoid, dibentuk dari asam

    arakhidonat melalui aktivitas enzim cyclooxygenase (COX). Terdapat dua isoform

    COX yaitu COX-1 dan COX-2. Peranan prostaglandin dalam ketahanan mukosa

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    12/20

    20

    lambung antara lain dengan merangsang sekresi mukus dan bikarbonat,

    mempertahankan aliran darah mukosa yang optimal, meningkatkan ketahanan sel-

    sel epitelial terhadap pengaruh buruk sitotoksin, serta menghambat inflitrasi

    leukosit pada saat terjadi proses inflamasi mukosa (Makmun 2005; Takeuchi et al.

    2010).

    PUFA merupakan sumber pembentukan fosfolipid dan prostaglandin,

    disamping sebagai sumber sebagian energi tubuh. PUFA tidak bisa disintesis

    dalam tubuh, sehingga satu-satunya sumber PUFA tubuh adalah diet sehari-hari.

    Pada keadaan ikterus obstruktif terjadi gangguan absorpsi lemak terutama asam

    lemak esensial, menyebabkan terganggunya absorpsi PUFA melalui usus. Jika

    keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi berbagai komplikasi terutama

    terganggunya integritas membran sel, menurunnya berbagai respon biologis tubuh,

    menurunnya pembentukan reseptor serta terganggunya pembentukan berbagai

    eikosanoid termasuk prostaglandin (Popovic et al. 2009).

    Pada Gambar 11 dijelaskan tentang peranan PUFA sebagai pembentuk

    fosfolipid (fungsi struktural) melalui bantuan enzim fosfolipase, sebagai sumber

    energi melalui katabolisme oksidatif, serta PUFA sebagai sumber pembentukan

    prostaglandin melalui jalur asam arakhidonat. PUFA (dalam hal ini asam linoleat)

    akan mengalami desaturasi menjadi asam linolenat, yang kemudian mengalami

    elongasi menjadi asam dihomo--linolenat, serta selanjutnya mengalami

    denaturasi menjadi asam arakhidonat. Prostaglandin dibentuk dari asam

    arakhidonat melalui bantuan enzim COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang

    dibentuk melalui jalur COX-1 berperan penting pada upaya tubuh untuk

    mempertahankan integritas mukosa saluran cerna, sementara itu prostaglandin

    yang dibentuk melalui jalur COX-2 berperan dalam timbulnya edema, demam dan

    rasa nyeri (Sessler dan Ntambi 1998; Makmun 2005; Coste et al. 2010; Takeuchi

    et al. 2010).

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    13/20

    21

    Gambar 11. Jalur metabolisme PUFA menjadi fosfolipid dan prostaglandin

    (Diadaptasi dari Sessler dan Ntambi 1998; Coste et al. 2010)

    Peranan prostaglandin dalam mekanisme patogenesis kerusakan mukosalambung akut pada keadaan ikterus obstruktif, dilaporkan oleh penelitian yang

    dilakukan oleh Nagahata et al. (1997) serta Aslan et al. (2007). Kedua penelitian

    ini melaporkan terjadinya penurunan kadar prostaglandin E2 jaringan mukosa

    lambung yang disertai dengan penurunan aliran darah mukosa lambung pada tikus

    percobaan dengan ikterus obstruktif. Keadaan ini diikuti dengan terjadinya erosi

    dan ulserasi pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif dibanding dengan

    tikus kontrol.

    Lauterbach et al. (1980) melakukan penelitian mengenai kerusakan

    mukosa lambung akut pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif melalui

    pengikatan duktus koledokus. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ulkus lambung

    lebih sering terjadi pada tikus yang mengalami ikterus obstruktif dibanding

    dengan tikus kontrol.

    Sasaki et al. (1997) melakukan penelitian pada 240 ekor tikus yang dibagi

    menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (dengan pengikatan

    Cyclooxygenase Lipoxygenase

    Prostaglandin Leukotrien

    Desaturase D5

    Asam dihomo--linolenat C20:3 -6

    Asam arakhidonat

    Elongase

    Asam linolenat C 18:3 -6

    Desaturase D6

    Asam linoleat 18:2 -6

    (Fungsi Struktural) (Sumber Energi)fosfolipase Katabolisme oksidatifPUFAFosfolipid

    Diet

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    14/20

    22

    duktus koledokus) dan kelompok kontrol (simple laparotomy). Dua minggu

    setelah operasi, dilakukan prosedur water immersion restraint stress (WIRS).

    Aliran darah mukosa lambung diukur dengan teknik hydrogen clearance.

    Dilakukan juga pengukuran kadar lipid (fosfolipid) hidroperoksida (PCOOH)

    dengan teknik kromatografi dikombinasi dengan teknikchemiluminescence serta

    kadar glutation pada mukosa lambung dan hati dengan metode Akerboom. Hasil

    dari penelitian ini menunjukkan tingginya ulcer index dan penurunan aliran darah

    mukosa lambung pada kelompok ikterus obstruktif dibanding kontrol. Begitu pula

    pada kelompok ikterus obstruktif didapatkan kadar glutation yang rendah pada

    hati serta mukosa lambung dan kadar lipid hidroperoksida yang tinggi pada

    mukosa lambung dibanding kontrol. Pemberian glutation intraperitoneal dapat

    meningkatkan kadar glutation mukosa lambung serta menurunkan ulcer index dan

    kadar lipid hidroperoksida mukosa lambung. Penelitian ini menyimpulkan bahwa

    penurunan aliran darah mukosa lambung yang menyebabkan penurunan

    metabolisme energi dan lipid hidroperoksida mempunyai peranan penting dalam

    patogenesis terjadinya ulserasi gaster akut pada ikterus obstruktif.

    Penelitian yang senada dilakukan oleh Ito et al. (1993) pada tikus yang

    dibagi atas 4 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (pengikatan duktus

    koledokus), vagotomi, vagotomi dan ikterus obstruktif, dan kelompok kontrol.

    Hasil penelitian ini menunjukkan:

    1) pada kelompok ikterus obstruktif terdapat peningkatan ulcer index, penurunan

    aliran darah mukosa lambung tanpa perubahan pH intragastrik, peningkatan

    oxygen radical generating system (aktivitas XOD mukosa gaster dan asam

    tiobarbiturat) dan oxygen radical scavenging system dibanding kontrol;

    2) pada kelompok yang mengalami vagotomi terdapat peningkatan pH

    intragastric dibanding kontrol, tanpa perubahan aktivitas oxygen radical

    generating system dan oxygen radical scavenging system; dan

    3) pada kelompok ikterus obstruktif dengan vagotomi memperlihatkan

    penurunan ulcer index dan peningkatan aktivitas oxygen radical generating

    system dan oxygen radical scavenging system tanpa perubahan pH intragastric

    dibanding kelompok kontrol.

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    15/20

    23

    Penelitian ini menyimpulkan adanya peranan oxygen radical dalam patogenesis

    terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif.

    Hal yang sama dilaporkan juga oleh Ljubuncic et al. (2000) yang

    menemukan adanya penurunan kadar glutation dan peningkatan kadar peroksida

    lipid pada plasma, ginjal, otak dan jantung tikus yang mengalami ikterus

    obstruktif.

    Glutation berperan dalam respon tubuh terhadap berbagai oxidative stress

    pada mukosa lambung melalui pembentukan heat shock protein yang berperan

    sebagai pelindung sel-sel epitel. Berkurangnya kadar glutation intraselular 10%,

    dapat menghambat pembentukan heat shock protein tersebut yang bisa diikuti

    dengan kerusakan mukosa lambung akut (Terano 1998).

    Mizumoto et al. (1986) melaporkan mekanisme patogenesis lain terjadinya

    kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif. Pada penelitiannya

    dengan tikus percobaan yang mengalami pengikatan duktus koledokus, dilakukan

    pengukuran kadar bilirubin plasma, pengukuran lapisan mukus mukosa lambung

    secara biokimia maupun histokimia. Penelitian ini melaporkan bahwa peningkatan

    kadar asam empedu plasma terutama asam taurokholat menyebabkan terjadinya

    efek toksik langsung terhadap lapisan mukus mukosa lambung serta berkurangnya

    lapisan mukus mukosa lambung sehingga terjadi erosi dan ulserasi.

    Hal yang senada dilaporkan oleh Kameyama et al. (1984) melalui

    penelitiannya pada anjing dengan ikterus obstruktif. Penelitian ini menyimpulkan

    bahwa peningkatan kadar bilirubin plasma terutama asam taurokholat

    menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas mukosa yang dapat mendasari

    kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.

    Peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna pada keadaan ikterusobstruktif diduga juga disebabkan karena faktor-faktor oxidative stress, serta

    ketidakseimbangan pada proliferasi dan apoptosis sel-sel enterosit. Hal ini dapat

    diikuti dengan keadaan endotoksemia yang akan meningkatkan mortalitas pasien

    karena sepsis dan gangguan fungsi ginjal (Assimakopoulos et al. 2007).

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    16/20

    24

    Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Fungsi Ginjal

    Penelitian pada kelinci sebagai hewan model ikterus obstruktif yang

    dilakukan oleh Hishida et al. (1982) memperlihatkan adanya penurunan perfusi

    ginjal dan peningkatan kadar aldosteron plasma pada kelompok ikterus obstruktif

    dibanding kontrol tanpa adanya retensi natrium. Pada kelompok ikterus obstruktif

    juga tidak ditemukan adanya perubahan tekanan darah maupun perubahan laju

    filtrasi glomerulus.

    Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Kaler et al. (2004) pada tikus

    percobaan berdasarkan atas asumsi bahwa ekskresi asam empedu melalui urin

    akan meningkat pada ikterus obstruktif, sebagai bagian dari upaya tubuh untuk

    mempertahankan homeostasis kolesterol. Hal ini terjadi beberapa hari setelah

    obstruksi bilier. Hasil penelitian ini memperlihatkan peningkatan kadar asam

    empedu plasma, peningkatan kadar asam empedu urin, perubahan gambaran

    histologi ginjal serta penurunan fungsi ginjal 3-4 hari pasca pengikatan duktus

    koledokus. Semua peubah ini kembali menjadi normal setelah kadar asam empedu

    plasma dan urin menurun. Penelitian ini menunjukkan bahwa asam empedu

    bersifat nefrotoksik.

    Yuceyar et al. (1998) melaporkan bahwa pada ikterus obstruktif terjadi

    keadaan gagal ginjal akut. Dengan mengukur kadar ureum dan kreatinin plasma,

    kadar enzim xanthine oxidase (XOD), superoxide dismutase (SOD), catalase

    dan glutathione peroxidase (GSH-Px) plasma pada tikus percobaan dengan

    ikterus obstruktif dibanding dengan tikus kontrol dapat disimpulkan bahwa iskemi

    ginjal yang terjadi pada keadaan ikterus obstruktif disebabkan oleh karena

    terjadinya oxidant injury yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal.

    Adapun penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et al. (2002),

    Assimakopoulos dan Vagianos (2009) tentang penurunan fungsi ginjal pada tikus

    percobaan dengan ikterus obstruktif, keduanya melaporkan hasil penelitian yang

    hampir senada dengan laporan hasil penelitian Kaler et al. (2004). Gangguan

    fungsi ginjal akut pada keadaan ikterus obstruktif disebabkan peningkatan kadar

    empedu dalam sirkulasi darah yang bersifat nefrotoksik, disamping adanya

    peranan endotoksemia. Jika obstruksi berkelanjutan, dapat terjadi kerusakan hati

    lanjut (sirosis bilier) yang dapat mencetuskan terjadinya sindrom hepatorenal.

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    17/20

    25

    Sepsis pada Ikterus Obstruktif

    Obstruksi sistem bilier berkelanjutan dapat menimbulkan keadaan sepsis,

    serta dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya fibrosis hati dengan

    patogenesis yang belum sepenuhnya dimengerti. Salah satu faktor yang diduga

    berperan dalam hal tersebut adalah peranan kemotaksis netrofil yang diduga

    dirangsang oleh cairan empedu sendiri yang mengandung sitokin dan endotoksin.

    Beberapa penelitian mengenai hal ini antara lain dilakukan oleh Shibatani et al.

    (2002) yang melaporkan adanya peningkatan kemotaksis netrofil pada tikus yang

    mengalami pengikatan duktus koledokus, dengan mengukur kadar interleukin 8

    yang telah diketahui sebagai chemoattractant. Tindakan drainase bilier dapat

    menurunkan aktivitas netrofil, sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi

    sepsis.

    Di sisi lain, Saito dan Maher (2000) melaporkan adanya infiltrasi netrofil

    pada jaringan hati dari tikus yang mengalami ikterus obstruktif, serta menemukan

    adanya peningkatan kadar cytokine induced neutrophil chemoattractant (CIMC)

    dalam darah. Hal ini menunjukkan adanya peranan netrofil dalam patogenesis

    terjadinya kerusakan jaringan hati pada ikterus obstruktif.

    Penelitian yang sama mengenai kemotaksis netrofil pada tikus percobaan

    juga dilakukan oleh Tsuji et al. (1999) dengan hasil yang sama bahwa

    peningkatan aktivitas netrofil bertanggung jawab atas respons inflamasi pada

    ikterus obstruktif.

    Keadaan sepsis merupakan komplikasi yang sering bersifat fatal pada

    ikterus obstruktif. Hal ini diduga karena adanya gangguan homeostatic

    environment dari gut-liver-axis. Saluran cerna merupakan sumber dari banyak

    bakteri gram negatif dalam tubuh, sementara itu integritas dari barier mukosasaluran cerna dapat mencegah terjadinya translokasi dari bakteri tersebut. Dalam

    keadaan ikterus obstruktif (seperti halnya dalam keadaan obstruksi usus,

    perdarahan, infeksi, trauma dan luka bakar) terjadi kerusakan pada integritas

    mukosa saluran cerna, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya translokasi

    bakteri dan endotoksin. Pada tahun 1996, Clements et al. melakukan penelitian

    tentang endotoksemia pada ikterus obstruktif dengan mengukur kadar endotoksin

    plasma dan translokasi bakteri pada dinding usus (baik secara kuantitatif maupun

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    18/20

    26

    kualitatif) pada tikus percobaan. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan

    kadar endotoksin plasma serta translokasi bakteri secara bermakna pada dinding

    kolon dan ileum terminal. Dua tahun kemudian (1998), Clements et al.

    melaporkan adanya peningkatan endotoksin pada tikus yang mengalami ikterus

    obstruktif dengan mengukur anticore glycolipid antibody (ACGA) dengan

    menggunakan teknikenzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Hal senada

    dilaporkan oleh Abdeldayem et al. (2007) dan Assimakopoulos et al. (2007). Ada

    4 faktor yang diduga berperan dalam fenomena ini:

    1) penurunan sistem imun tubuh,

    2) disfungsi barier intestinal,

    3) overgrowth flora intestinal, dan

    4) endotoksemia.

    Peranan defisiensi arginin dalam patogenesis terjadinya penurunan sistem

    imun selular pada ikterus obstruktif dilaporkan oleh Houdijk et al. (1997).

    Dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan, penelitian ini

    menunjukkan adanya defisiensi arginin yang disebabkan karena peningkatan

    aktivitas enzim arginase plasma akibat peningkatan kadar endotoksin. Arginin

    adalah salah satu asam amino yang sangat berperan dalam fungsi limfosit. Pada

    penelitian ini juga dilaporkan bahwa kolestiramin dapat mencegah terjadinya

    defisiensi arginin dengan menurunkan aktivitas enzim arginase plasma melalui

    pengikatan terhadap endotoksin.

    Zhou et al. (1992) meneliti tentang peranan platelet activating factor

    (PAF) pada patogenesis terjadinya inflamasi dan endotoksemia pada tikus yang

    mengalami ikterus obstruktif.

    Penelitian ini menunjukkan:

    1) adanya hubungan antara endotoksemia dengan peningkatan kadar PAF plasma,

    dan

    2) adanya peranan PAF dalam kerusakan jaringan hati serta hubungan antara

    PAF dengan mediator inflamasi lainnya.

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    19/20

    27

    Gangguan Hemostasis pada Ikterus Obstruktif

    Sebagai bagian dari fungsi sintesis protein dari hati, berbagai faktor

    koagulasi (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X, XI, XII, XIII,

    prekalikrein), naturalanticoagulant(anti-trombin III, heparin, kofaktor II, Protein

    C dan Protein S) serta faktor fibrinolitik diproduksi di dalam hati. Oleh sebab itu

    pada penyakit hati yang berkepanjangan (karena obstruksi atau penyakit parenkim

    hati) akan terjadi gangguan hemostasis. Menurunnya faktor-faktor koagulasi

    akibat kerusakan hepatosit diperberat dengan adanya penurunan absorpsi vitamin

    K (yang larut dalam lemak) karena tidak adanya cairan empedu dalam usus pada

    keadaan ikterus obstruktif. Dalam keadaan ini terjadi penurunan sintesis faktor-

    faktor koagulasi yang vitamin Kdependentyaitu faktor II, VII. IX, X, protein C,

    protein S dan anti-trombin III), yang akan memperburuk sistem koagulasi. Faktor

    lain yang diduga turut berperan pada gangguan hemostasis dalam keadaan ikterus

    obstruktif adalah adanya translokasi bakteri. Dalam keadaan ini translokasi bakteri

    dan endotoksin melewati barier mukosa lambung akan mencapai kelenjar getah

    bening mesentrium atau jaringan tubuh yang lebih jauh yang menyebabkan

    timbulnya respons inflamasi sistemik yang pada akhirnya akan mengganggu

    sistem koagulasi melalui penurunan produksi tissue factor (Clarke et al. 2006;

    Papadopoulos et al. 2007). Gangguan hemostasis ini pada akhirnya akan

    memperberat terjadinya perdarahan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan

    mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.

    Hewan Model

    Penelitian mengenai ikterus obstruktif dengan menggunakan hewan model

    telah banyak dilakukan dengan menggunakan tikus, anjing atau kelinci. Keadaanikterus obstruktif pada hewan-hewan model ini terjadi setelah dilakukan

    pengikatan duktus koledokus. Pada hewan model tikus, umumnya dilakukan

    berbagai observasi yang bersifat jangka pendek, karena keadaan tikus akan segera

    memburuk jika tidak dilakukan drainase bilier. Observasi yang agak lama dalam

    keadaan ikterus obstruktif dilakukan pada kelinci dan anjing. Pada keadaan ini,

    selain dilakukan evaluasi fisik dan biokimiawi, dapat dilakukan juga evaluasi

    perubahan histopatologik jaringan seperti ginjal dan hati. Hal ini memungkinkan

  • 7/22/2019 Anatomi Kandung Empedu Dan Traktus Biliaris

    20/20

    28

    untuk dilakukan, karena kedua hewan model ini dapat bertahan lebih lama dalam

    keadaan ikterus obstruktif sebelum dilakukan drainase bilier (Hishida et al. 1982;

    Fraseret al. 1989).

    Penggunaan satwa primata dalam penelitian biomedis, khususnya ikterus

    obstruktif didasari atas kenyataan bahwa karakteristik fisiologi satwa primata

    hapir sama dengan manusia. Begitu pula anatomi tubuh khususnya saluran cerna

    hampir sama dengan saluran cerna manusia. Di sisi lain, pola nutrisi yang

    dibutuhkan satwa primata umumnya tak jauh berbeda dengan yang dibutuhkan

    manusia (Napier dan Napier 1985, Fleagle 1996; Nishizono dan Fuioka 2005).

    Keuntungan lain dari penggunaan satwa primata pada penelitian ini, bahwa hewan

    ini mudah diperoleh di negara kita (tidak harus diimpor dari luar negeri), mudah

    di handle (dikelola) dengan fasilitas yang kita sediakan, serta jumlah hewan

    model yang akan digunakan memungkinkan untuk dikelola oleh peneliti. Dengan

    menggunakan hewan model satwa primata pada penelitian ini diharapkan dapat

    dilakukan berbagai observasi, baik secara fisik, biokimiawi maupun

    histopatologik jaringan sehingga dapat menjawab tujuan penelitian.