ANATOMI HIDUNG
-
Upload
nur-ajiyanti-anthi-sabirina -
Category
Documents
-
view
116 -
download
14
description
Transcript of ANATOMI HIDUNG
2.1 ANATOMI HIDUNG
Kedua rongga hidung adalah bagian teratas dari traktus respiratosrius dan mengandung
reseptor-reseptor penciuman. Rongga hidung adalah ruangan berbentuk baji yang melebar di
bagian inferior dan menyempit di bagian superior (apex)(1). Hidung terdiri dari hidung bagian
luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahannya serta persarafannya(2). Setiap
rongga hidung terdiri tiga regio umum, regio vestibulum nasal yaitu ruang kecil yang melebar
pada nares anterior yang memiliki folikel-folikel rambut yang disebut vibrissae, yang kedua
adalah regio pernafasan yang merupakan regio terbesar yang sangat kaya akan pembuluh darah
dan persarafan dan terdiri dari epitel pernafasan dan menjalankan fungsi-fungsi tertentu
berkenaan dengan proses respirasi. Regio terakhir adalah regio penciuman yang mengandung
reseptor penciuman yang terletak di atap hidung, konka superior dan 1/3 atas septum.(1)
2.1.1 Hidung Luar (2,4)
Gambar 1 Anatomi Hidung Luar
Diunduh dari http://www.uptodate.com/online/content/images/alle_pix/Nose_external_anatomy.jpg pada tanggal 21
Agustus 2009 pukul 23.30
Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas, yang berbentuk
piramid. struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, bagian paling atas, kubah tulang
yang tidak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Di sebelah
superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua
tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina
perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus
maksilaris medial embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian
dari hidung luar. Kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis
superior yang saling berfusi di garis tengah juga berfusi dengan tepi atas kartilago septum
kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh
kartilago lateralis inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh
kolumela, lateral oleh alae nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung.
2.1.2 Hidung Dalam(4)
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior,
yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di
garis tengah yang secara anatomi membagi organ menjadi dua rongga hidung. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan, bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Sedangkan di bagian tulang rawan
tersusun oleh kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, dan bagian luarnya
dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Gambar 2 Anatomi Hidung Dalam
Diunduh dari http://content.answers.com/main/content/img/elsevier/dental/f0098-01.jpg pada tanggal 21
agustus 2009 pukul 23.30
Dinding lateral dari rongga hidung sangat rumit dan terbentuk dari tulang, tulang rawan
dan jaringan lunak. Bagian depan dinding lateral hidung licin yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka. Terdapat empat buah konka, yang terbesar dan terletak
paling bawah adalah konka inferior yang merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid. Konka yang lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi
konka superior dan yang terkecil adalah konka suprema, ketiganya merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Bergantung letaknya meatus terdiri dari meatus inferior, media dan superior.
Duktus nasolakrimalis dan muara sinus paranasal terbuka ke dinding lateral dari rongga
hidung. Duktus nasolakrimalis bermuara pada dinding lateral hidung pada meatus inferior di
bawah ujung dari konka inferior, muara ini mengalirkan air mata. Sinus frontalis dan etmoidalis
anterior mengalirkan sekretnya melalui duktus frontonasal dan infundibulum etmoidalis menuju
ke bagian anterior dari hiatus semilunaris pada meatus media. Sinus etmoidalis anterior bermuara
pada meatus superior. Sinus maksilaris bermuara ke hiatus semilunaris, biasanya di bagian
bawah dari bulla etmoid.(1)
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Sedangkan dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.(2)
2.1.3 Pendarahan Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina, sedangkan bagian depan hidung
mendapatkan perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma sehingga menjadi sumber epistaksis anterior(2,5). Sedangkan pada
epistaksis posterior pleksus yang bertanggung jawab adalah pleksus Woodruff yang terbentuk
dari anastomosis a.maksilaris interna dari ujung a.sfenopalatina dan a.faringeal asenden. Pleksus
ini terletak di posterior dari konka media.(6)
Gambar 3 Pendarahan Hidung
Diunduh dari http://www.aafp.org/afp/20050115/305_f1.jpg pada tanggal 21 Agustus 2009 pukul 23.40
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.(1)
2.1.4 Persarafan Hidung (4)
Pada persarafan yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama yaitu n.olfaktorius
yang turun melalui lamina kribosa dan permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada
sel-sel reseptor penghidu. Divisi oftalmikus dan maksilaris dari n.trigeminus berfungsi untuk
impuls sensorik lainnya, n.fasialis untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar, dan
sistem saraf otonom. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor untuk mukosa hidung, menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis
dari n.petrosus profundus. Ganglion ini terletak di belakang dan sedikit di ujung posterior konka
media.
2.1.5 Mukosa Hidung (2,4)
Gambar 4 Epitel Torak Berlapis Semu
Diunduh dari http://www.mhhe.com/biosci/ap/histology_mh/pseudo2.gif pada tanggal 22 Agustus 2009 pukul 23.55
Epitel organ pernafasan yang biasanya berupa epitel torak berlapis semu, dan berbeda-
beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan airan udara, demikian
pula suhu dan derajat kelembaban udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum
sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan dari
epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi torak, silia
pendek dan agak ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus
ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapih.
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel permukaan
epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 permikron persegi, atau sekitar 250 per sel pada saluran
pernafasan atas. Silia bekerja hampir otomatis. Misalnya, sel dapat terbelah menjadi pecahan-
pecahan kecil tanpa menghentikan gerakan silia, suatu silia tunggal akan terus bergerak selama
bagian kecil sitoplasma yang menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya. Masing-
masing silia pada saat melecut, bergerak secara metakronis dengan silia di sekitarnya. Bila
lecutan silia diamati, maka lajur silia akan membengkok serempak dan baris silia membengkok
berurutan. Lecutan tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut waktu, tapi juga menurut arahnya,
yang merupakan faktor penting dalam mengangkat mukus ke nasofaring. (2)
2.2 ANATOMI SINUS PARANASAL
Gambar 5 Anatomi Sinus
Diunduh dari http://www.larianmd.com/images/large-allergy-sinus-01.jpg pada tanggal 21 Agustus 2009 pukul
23.42
Terdapat empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Ada 2 golongan besar sinus paranasalis,
yaitu golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, dan
sinus maksilaris. Serta golongan posterior sinus paranasalis, yaitu sinus etmoidalis posterior dan
sinus sfenoidalis. (7,8,9)
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus memiliki muara atau ostium ke dalam rongga hidung.
Sinus-sinus udara paranasalis berkembang sebagai divertikula dinding lateral hidung dan
meluas ke dalam tulang maksila, tulang etmoid frontalis, dan tulang sfenoid. Sinus-sinus ikut
membentuk wajah yang tetap. (3,9)
2.2.1 Sinus Maksilaris (7,8)
Sinus maksilaris (Antrum of Highmore) adalah sinus yang pertaama berkembang.
Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah
bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun. Sepanjang pneumatisasi
kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat
mereka. Pneumatisasinya dapat sangat luas sampai akar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari
jaringan halus yang mencakup mereka.
Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai volume kira-kira 15
ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan puncak yang menunjuk
ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada
pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbital berjalan di atas atap sinus dan keluar melalui
foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fossa canina. Atap
dibentuk oleh dasar orbita dan di transeksi oleh n.infraorbita. dinding posterior tidak bisa
ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan a.maksilaris interna,
ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina mayor dan foramen rotundum. Dasar dari
sinus bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas
rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum sama dengan dasar nasal. Dasar
sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan dengan
penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitu premolar dan molar.
Cabang dari a.maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita, cabang
a.sfenopalatina, a.palatina mayor, v.aksilaris dan v.jugularis system dural sinus. Sedangkan
persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n.palatina mayor dan cabang dari
n.infraorbita.
Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal
biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau disamping 1/3 bawah
processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium
sinus maksilaris bersembunyi di belakang processus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara
endoskopi.
2.2.2 Sinus Etmoidalis (8)
Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama
masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara
berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidak dapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1
tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai
usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila
dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka bullosa.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14 mm).
Bentuk ethmoid seperti piramid dan diabgi menjadi sel multipel oleh sekat yang tipis. Atap dari
ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior posterior agak miring
(15o). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior
lebih tinggi sebelah lateral dan sebelah medial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis.
Perbedaan berat antara atap medial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.
Gambar 6 Struktur Terkait Sinus Ethmoidalis
Diunduh dari http://dic.academic.ru/pictures/enwiki/71/Gray856.png pada tanggal 22 Agustus pukul 18.40
Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana
a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti arterinya.
Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagian superior sedangkan sebelah
inferior oleh n V.2. persarafan parasimpatis melalui n.vidianus, sedangkan persarafan simpatis
melalui ganglion servikal.
Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus media melalui
infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus superior dan berbatasan dengan
sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya lebih sedikit dalam jumlah namun lebih besar
dalam ukuran dibandingkan dengan sel bagian anterior.
Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral inferiornya, dan tepi
superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior
yang terbesar. Infundibulum etmoid perkembanganya mendahului sinus. Dinding anterior
dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila dan
lamina papyracea.
2.2.3 Sinus Frontalis (7,8)
Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar sel-sel
etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saat kelahiran dan mulai mengeras
sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5 tahun dan berlanjut sampai usia belasan
tahun.
Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). anatomi sinus frontalis sangat
bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong. dinding posterior
sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium anterior lebih tipis dan dasar sinus ini
juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata.
Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbita dan
supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica superior menuju sinus kavernosus dan
melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir ke sinus dural. Sinus frontalis
dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan
supratrochlear.
2.2.4 Sinus Sfenoidalis (8)
Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong rongga hidung. Sinus
ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak berkembang sampai usia 3
tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada
usia 18 tahun.
Gambar 7 Struktur terkait Sinus Sfenoid
Diunduh dari http://www.nyee.edu/images/ent_rss_sts_008.jpg pada tanggal 22 Agustus pukul 18.42
Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml (23 x
20 x 17 mm). pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangat bervariasi. Secara umum
merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperior dari rongga hidung. Dinding sinus
sphenoid bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5
mm). dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya
tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke recessus
sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm) dan letaknya 10 mm di atas dasar sinus.
Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya
mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan
pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 dan V.2. n.nasociliaris berjalan
menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang n.sfenopalatina
mempersarafi dasar sinus.
2.2.5 Mukosa Sinus Paranasal (4,8)
Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang berkesinambunagn dengan
mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis dari epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar,
yaitu epitel torak bersilia, epitel torak tidak bersilia, sel basal dan sel goblet. Sel-sel bersilia
memiliki 50-200 silia per sel. Data penelitian menunjukan sel ini berdetak 700-800 kali per
menit, dan pergerakan mukosa pada suatu tingkat 9 mm per menit.
Sel tidak bersilia ditandai oleh mikrovili yang menutupi daerah apikal sel dan berfungsi
untuk meningkatkan area permukaan. Ini penting untuk meningkatkan konsentrasi dari ostium
sinus. Fungsi sel basal belum diketahui. Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat
bertindak sebagai suatu sel stem. Sel goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk
viskositas dan elastisitas mukosa. Sel goblet dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis
dimana rangsangan saraf parasimpatis menhasilkan mukus yang kental dan rangsangan saraf
simpatis bekerja sebaliknya. Lapisan epitel disokong oleh suatu dasar membran yang tipis,
lamina propia, dan periosteum.
2.3 FISIOLOGI HIDUNG
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning) ,
penyaring udara, indra penghidu (olfactory), untuk resonansi suara, refleks nasal dan turut
membantu proses bicara.(2)
2.3.1 Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan mengikuti jalan yang
sama seperti udara inspirasi, akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan
melalui nares anterior dan sebagian akan kembali ke belakang membentuk pusaran.(2)
Gambar 8 Perjalanan Udara dalam Rongga Hidung
Diunduh dari http://z.hubpages.com/u/933863_f248.jpg pada tanggal 21 Agustus 2009 pukul 23.35
Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup dari
jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara. Beberapa daerah
hidung dimana jalan nafas menyempit dapat diibratkan sebagai katup. Pada bagian vestibulum
hidung, terdapat dua penyempitan. Penyempitan yang lebih anterior terletak diantara aspek
posterior kartilago lateralis superior dan septum nasi. Tiap deviasi septum nasi pada daerah ini
seringkali makin menyempitkan jalan nafas. Penyempitan kedua terletak pada aperture piriformis
tulang. Kedua daerah ini dapat dianggap sangat bermakna secara klinis.(4)
2.3.2 Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara diperlukan untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk kedalam alveolus paru. Fungsi pengaturan kelembaban udara dilakukan oleh
palut lendir (mucous blanket). Sedangkan pengaturan suhu dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi tercipta optimal.(2)
Dalam waktu yang sangat singkat saat udara melintasi bagian horizontal hidung yaitu
sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan atau didinginkan mendekati suhu tubuh
dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen. Suhu ekstrim dan kekeringan udara
inspirasi dikompensasi dengan cara mengubah aliran udara.(4)
2.3.3 Penyaring dan Pelindung
Hidung berfungsi untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri yang
dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lender (mucous blanket)
dimana bakteri dan debu akan melekat, sedangkan untuk partikel yang lebih besar akan
dikeluarkan oleh refleks bersin. Selain itu pada hidung juga terdapat lysozyme dan
immunoglobulin A (IgA) yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri. (2,4)
Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing, dan bakteri
yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan
dihancurkan dalam lambung.
2.3.4 Indera Penghidu (2)
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Lengkung aliran udara inspirasi
normalnya tidak cukup tinggi untuk mencapai celah tersebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila
bau tersebut sangat kuat atau kita mengendus yaitu menambah tekanan negatif guna menarik
aliran udara yang masuk ke area olfaktorius.
Gambar 9 Nervus Olfaktorius
Diunduh dari http://mlm89.files.wordpress.com/2009/07/olfactory_nerve1.jpg pada tanggal 22Agustus 2009 pukul
23.20
2.3.5 Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau atau rinolalia.(2)
2.3.6 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Ketika terjadi iritasi mukosa hidung maka akan terjadi refleks
bersin dan nafas tertentu, dan rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung
dan pankreas.(2)
2.3.7 Proses Bicara
Pembentukan bicara merupakan suatu proses yang rumit, melibatkan paru-paru sebagai
sumber tenaga, laring sebagai generator suara dan struktur kepala dan leher seperti bibir, lidah,
gigi, dan lain-lain. Sebagai artikulator untuk mengubah suara dasar dari laring menjadi
pembicaraan yang dapat dimengerti. Hidung dan sinus demikian pula nasofaring berperan pula
dalam artikulasi. Pada bunyi tertentu misalnya “m”, “n” dan “ng”, resonansi hidung sangatlah
penting. (4)
Secara umum, bicara yang abnormal akibat perubahan rongga-rongga hidung dapat
digolongkan sebagai hipernasal atau hiponasal. Hipernasal terjadi bila insufisiensi velofaringeal
menyebabkan terlalu banyak bunyi beresonansi dalam rongga hidung. Hiponasal timbul bila
bunyi-bunyi yang normalnya beresonansi dalam rongga hidung menjadi terhambat. Sumbatan
hidung dapat menimbulkan kelainan ini dengan berbagai penyebab seperti infeksi saluran
pernafasan atas, hipertrofi adenoid atau tumor hidung. (4)
2.4 FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan fungsi dari sinus paranasal. Teori
ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantu pengaturan tekanan intranasal dan
tekanan serum gas, mendukung pertahanan imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa,
meringankan volume tengkorak, membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan
mendukung pertumbuhan muka. (8)
2.4.1 Mengatur Kelebaban Udara Inspirasi (7,8)
Menurut beberapa teori walaupun mukosa hidung telah beradaptasi untuk melakukan
fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan mukosa dan kemampuannya untuk
menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa bernafas dengan mulut dapat
menurunkan volume akhir CO2 yang dapat meningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada
sleep apnea.
Meskipun sinus dianggap dapat berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan
dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori ini memiliki kelemahan karena tidak
didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran
udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu mukosa sinus juga
tidak memiliki vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2.4.2 Penyaringan Udara
Oleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan imun atau
penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa sinus terdiri dari sel silia
yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana. Penelitian yang paling terbaru pada fungsi
sinus berfokus pada molekul Nitrous Oxide (NO). studi menunjukkan bahwa produksi NO
intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah kita ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap
bakteri, jamur dan virus pada tingkatan sama rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat menjangkau
30.000 ppb dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang sterilisasi sinus. NO juga
meningkatkan pergerakan silia.(8)
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan
udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, merupakan tempat yang paling
strategis.
2.4.3 Fungsi Sinus Lainnya (7)
Sinus diyakini dapat membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka, namun bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebanyak 1% dari berat kepala, sehingga dianggap tidak bermakna. Sinus juga
dianggap berfungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara apabila ada perubahan tekanan
yang besar dan mendadak seperti pada saat bersin atau membuang ingus.
Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti mendukung opini
bahwa sinus juga berfungsi sebgai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari
etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Namun menurut penelitian lainnya,
etmokonka manusia telah menghilang selama proses evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai
rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang
menyatakan bahwa posisi sinus dan dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif.
DAPUS