Anastesi BAB II

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sisi Anestesi Anestesi Umum 2.1.1 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien di bedah dalam keadaan bugar. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tahap penilaian dan persiapan anestesi (penilaian prabedah) terdiri dari: 1. Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting, untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak 9

description

Anastesi, Tanda Anastesi, Jenis Anastesi, SAB, General Anastesi

Transcript of Anastesi BAB II

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sisi Anestesi

Anestesi Umum

2.1.1 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi

Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien di bedah dalam keadaan bugar. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tahap penilaian dan persiapan anestesi (penilaian prabedah) terdiri dari:1. AnamnesisRiwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting, untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah di masa lampau sebaiknya janga digunakan ulang.Kebiasaan merokok dan minum alcohol juga harus dihentikan 1-2 hari sebelumnya.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan keadaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar, Leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Selain itu pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tidak boleh terlewatkan.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai, mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.

4. Kebugaran untuk anestesi

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

5. Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan resiko anestesi, karena dampak samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.Kelas I

: Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatri, biokimia.

Kelas II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas.

Kelas IV: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman

kehidupannya setiap saat.

Kelas V: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

6. Masukan oralPuasa sebelum operasi bertujuan untuk meminimalkan regurgitasi isi lambung dan kotoran dalam jalan nafas selama operasi akibat pengaruh anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.7. Premedikasi

Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan:

a. Meredakan kecemasan dan ketakutan

b. Memperlancar induksi anestesi

c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

d. Meminimalkan jumlah obat anestesi

e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah

f. Menciptakan amnesia

g. Mengurangi isi cairan lambung

h. Mengurangi refleks yang membahayakan

Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskuler. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkannya dapat diberikan antagonis reseptor H2 misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine 150 mg 1-2 jam sebelum operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg.

Obat-obat yang sering digunakan antara lain :

Narkotika : Morfin, dosis dewasa biasa 8 10 mg IM. Obat ini digunakan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang pembedahan. Morfin adalah depresan susunan syaraf pusat. Kerugian penggunaan morfin, pulih pasca bedah lebih lama. Penyempitan bronkus dapat timbul pada pasien asma.

Pethidin : Dosis 1 mg/KgBB (dewasa) sering digunakan sebagai premedikasi seperti morfin dan menekan tekanan darah dan pernapasan dan juga merangsang otot polos.

Barbiturat : Pentobarbital dan sekobarbital sering digunakan untuk menimbulkan sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau IM, pada dewasa dosis 100-200 mg dan pada bayi dan anak dosis 2 mg/KgBB. Obat ini mempunyai kerja depresan yang lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.

Antikolinergik : Atropin diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg IM. Bekerja setelah 10-15 menit.

Obat penenang : Diazepam dosis premdikasi dewasa 10 mg IM atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/KgBB). Dosis sedasi pada anestesi regional 5-10 mg IV. Midazolam mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek. Dosis 50 % dari dosis diazepam.

2.1.2 Pemilihan Jenis Anestesi

Anestesi Umum

Metode anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat

I. Parenteral

Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intra muskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesia. Obat yang umum dipakai adalah tiopental. Kecuali untuk kasus-kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama biasanya dikombinasi dengan obat anestetika lain

II. Perektal

Anestesia umum yang diberikan melalui rektal kebanyakan dipakai pada anak, terutama untuk induksi anestesia atau tindakan singkat

III. Perinhalasi

Anestesia inhalasi ialah anestesia dengan menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui udara pernafasan. Zat anestetika yang dipergunakan berupa suatu campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak menentukan kekuatan daya anestesia, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial rendah sudah mampu memberi anestesia yang adekuat.

Anestesia inhalasi masuk dengan inhalasi/inspirasi melalui peredaran darah sampai jaringan otak. Faktor faktor lain seperti respirasi, sirkulasi, dan sifat sifat fisik zat anestetika mempengaruhi kekuatan maupun kecepatan anestesia.

2.1.3 Pemilihan Obat-Obat Induksi Anestesi Umum

a. Anestesi Parenteral

1. Tiopenthal (Thiopentone sodium, pentothal)

Merupakan golongan barbiturat yang waktu kerjanya sangat singkat

Induksi IV berjalan cepat dalam 30-60 detik pasien sudah tidak sadar.

Pemberian IV harus secara perlahan sambil melihat respon pasien sampai mata tertutup dan reflek bulu mata hilang.

Dosis 3-5 mg/kgBB

Dosis yang lebih banyak terjadi depresi pusat pernafasan di medulla oblongata

Pasien cepat kembali sadar dalam 3-5 menit akibat adanya redistribusi dari otak ke jaringan lain bukan karena cepatnya metabolisme di hati atau ekskresi di ginjal.

Sangat sesuai untuk tindakan singkat.

Efek analgesi dan relaksasi otot lurik kurang.

2. Ketamine (Ketalar)

Dosis IM untuk permulaan 8-10 mg/kgBB dengan dosis ulang separuhnya.

Dosis IV untuk permulaan 1-2 mg/kgBB dengan dosis ulang 1 mg/kgBB

Tidak boleh digunakan untuk operasi mata dan pasien dengan trauma kepala atau dicurigai adanya peningkatan TIK atau pasien dengan hipertensi.

3. Propofol (Diprivan, recopol, tresofol, safol)

Merupakan obat induksi anestesi yang cepat, didistribusi secara cepat dan eliminasi yang cepat.

Hipotensi sering terjasi akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik.

Tidak mempunyai sifat analgesi

Pemberian IV diberikan pada vena besar dengan menambah lidokain 0,1 mg/kgBB/IV

Hati-hati pada pasien dengan riwayat epilepsi atau kejang

Tidak digunakan pada pasien dengan peningktan TIK

Efek samping :

a. Sistem pernafasan adanya depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme.

b. Sistem kardiovaskular berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi

c. SSP : adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerak klonik mioklonik, opistotonus, kejang, mual, muntah.

b. Anestesi Inhalasi

1. Halothane.

MAC 0,75 %

Cairan tidak berwarna, tidak mudah terbakar dan meledak, harus diawetkan dengan timol 0,01%

Efek anestesi cukup kuat, tapi efek analgetik kurang baik, tidak merelaksasi otot lurik krcuali otot masseter.

Induksi cepat dengan dosis 2-3 vol % pemeliharaan 0,5-2 vol %

Terjadi hipotensi karena kontraktilitas miokard menurun dan adanya vasodilatasi perifer Pada seksio sesarea dosis maksimal 1 vol %

Pengguanaan berulang minimal 12 minggu kemudian karena bersifat hepatotoksik.

2. Enflurane

MAC 1,68 % di dalam oksigen

Hindari penggunaan pada pasien dengan riwayat epilepsi

Efek depresi nafas lebih kuat daripada halothane dan lebih iritatif

Efek relaksasi otot lurik lebih baik daripada halothane.

3. Isoflurane (Forane, Aerrane)

MAC 1,15-1,2 %

Meningkatkan cerebral blood flow dan TIK

Efek terhadap jantung dan curah jantung minimal

4. Desflurane (Suprane)

MAC 6 %

Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi

Efek depresi nafas seperti enflurane dan isoflurane

Merangsang jalan nafas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi

5. Sevoflurane

MAC 1,8-2 %

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat daripada isoflurane

Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.

Dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime)

c. Obat Pelumpuh Otot

1. Succinyl Choline

Pelumpuh otot depolarisasi jangka pendek, mula kerja cepat dan lama kerja singkat.

Untuk mempermudah intubasi trachea.

Mula kerja 1-2 menit dengan lama 3-5 menit.

Dosis intubasi 1-2 mg/KgBB IV.

2. Tubokurarin Klorida (Kurarin)

Pelumpuh otot non depolarisasi yang klasik, sangat cepat ditimbun di reseptor membran otot.

Dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardi.

Dosis sangat besar bersifat inotropik negatif, berikatan kuat dengan globulin plasma.

Dosis intubasi trachea 10-15 mg IV.

3. Atrakurium Besilat (Tracrium)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi, metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hoffman.

Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.

Dosis intubasi 0,3-0,5 mg/KgBB.

Mula kerja pada dosis intubasi 2-3 menit dan lama kerja 15-35 menit.

Merupakan obat terpilih untuk pasien geriatrik atau dengan kelainan jantung, hati, ginjal yang berat.2.1.4 Manajemen Airway Selama Anestesi Umum

Intubasi Endotracheal

Klasifikasi tampaknya faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade :

1. Grade 1 : tampak pilar faring, pallatum molle, dan uvula

2. Grade 2 : tampak hanya pallatum mole dan uvula

3. Grade 3 : tampak hanya pallatum molle

4. Grade 4 : pallatum molle tidak tampak

Gambar 2.1 Klasifikasi Mallampati

Indikasi Intubasi Endotracheal :

1. Menjaga potensi jalan napas.

2. Mempermudah ventilasi positif.dan oksigenasi.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan reguirgitasi .

Teknik Intubasi :

1. Penderita telentang, oksiput diganjal bantal (Sniffing Position).2. Masukkan bilah laringoskopi ke dalam mulut (sudut mulut kanan) singkirkanlah lidah pasien ke kiri.sehingga nampak rima glottis.3. Pada rima glottis tampak pita suara berbentuk V.4. Pipa trachea (tube) dimasukkan dalm pita suara.5. Setelah pipa masuk trachea, kembangkan paru-paru dan periksa apakah suara paru kanan dan kiri sama.

Ekstubasi1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar :

-Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan.

-Pasca ekstubasi ada resiko aspirasi.2. Ekstubasi dokerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan

tidak akan terjadi spasme laring.3. Sebelum ekstubasi, bersihkan rongga mulut, laring, faring dan sekret cairan

lainnya.2.1.5 Tanda-Tanda Anestesia

Tabel stadium anestesia menurut Guedel

Stadia (St)RespirasiPupilDepresi-Reflek

RitmeVolumeUkuranLetak

I : analgesia sampai hilang kesadaranTidak teraturKecilKecilDivergenTidak ada

II : sampai pernapasan teratur, otomatisTidak teraturBesarLebarDivergenBulu mata

Kelopak mata

III :

P1: sampai hilang gerakan bola mataTeraturBesarKecilDivergenKulit konjungtiva

P2: sampai awal parese ototTeraturSedang lebarMenetap di tengahKornea

P3: sampai lumpuh otot pernapasanTeratur pause setelah ekspirasiSedang lebarMenetap di tengahFaring

peritoneum

P4: sampai lumpuh diafragmaTidak teratur, jerky, inspirasi cepat dan memanjangKecilMelebar maksimalMenetap di tengahSfingter ani

Karina

IV: henti napas sampai henti jantung

2.1.6 Monitoring Selama Anestesia

a. Tingkat kedalaman anestesi

Rangsang terhadap kulit/mukosa oleh alat atau operasi atau obat anestesia yang berbau tajam

Rangsangan SSP: airmata dan keringat tidak keluar, tidak terjadi vasonontriksi, kulit menjadi hangat

Rangsang terhadap pernapasan: tidak terjadi takipnu, nafas teratur

Rangsang kardiovaskuler: tidak terjadi takikarsi, hipertensi.

b. Suhu

Tergantung pada: jenis sirkuit anestesia (sirkuit tertutup produksi panas meningkat, tebal dan lebarnya kain penutup operasi, intensitas lampu operasi, suhu kamar operasi, luas permukaan tubuh yang terbuka selama operasi, anestesia dan pembedahan yang memakan waktu lama)

c. Kardiovaskular

Fungsi jantung dapat diperkirakan dari hasil observasi nadi, bunyi jantyung, pemeriksaan EKG, MAP, CVP, produksi urin, dan tekanan darah langsung intra-arteri.

d. Nadi

Anestesi yang terlalu dalam dapat bermanifestasi pada nadi yang lambat dan denyut jantung yang lemah.

Monitor nadi bermanfaat sekali untuk kasus-kasus: anak-anak dan bayi dimana pulsasi nadi sedikit lemah, selama pernapasan kontrol dimana monitoring napas tidak dikerjakan, observasi adanya ritme ektopik selama anestesia, sebagai indeks penurunan tekanan darah selama anestesi halotan.

e. EKG

Memonitor perubahan frekuensi dan ritme jantung serta sistem konduksi jantung

Indikasi: mendiagnosa adanya henti jantung, aritmia, iskemia miokard, perubahan elektrolit, dan observasi pacemaker.

f. Tekanan darah arteri (MAP)

g. Tekanan darah vena sentral (CVP)

Pemeriksaan ini menunjukkan hubungan antar kemampuan jantung dan volume darah yang diterima, terutama untuk evaluasi apakah pemberian cairan infus cukup atau tidak.

h. Produksi urin

Dalam anestesia produksi urin dipengaruhi oleh zat anestetika, tekanan darah, volume darah, hidrasi pasien dan faal ginjal. Jumlah urin normal 1 ml/kgBB/jam. Jaga sterilitas kateter.

i. Perdarahan selama pembedahan

Evaluasi jumlah perdarahan, warna.

j. Respirasi

Pernapasan dinilai dari jenis napasnya apakah torakal atau abdominal, apakah ada napas paradoksal, retraksi interkostal atau supraklavikula, spasme laring, ronki.

2.1.7 Terapi Cairan

1. Cairan pemeliharaan :

Tujuannya untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu :

Dewasa

1,5 2 ml/Kg/jam

Anak anak2 4 ml/Kg/jam

Bayi

4 6 ml/Kg/jam

Neonates

3 ml/Kg/jam

Mengingat cairan yang hilang dengan cara ini sedikit sekali mengandung elektrolit, maka sebagai cairan pengganti adalah yang hipotonik, dengan perhatian khusus untuk natrium

Cairan kristaloid untuk pemeliharaan misalnya dekstrosa 5% dalam NaCl 0,455 (D5NaCl 0,45)

Untuk mengganti cairan ini dapat juga digunakan cairan non elektrolit misalnya Dekstrosa 5% dalam air (D5W)

2. Cairan pengganti :

Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh sekuentrasi atau proses patologi yang lain.

Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan isotonis, dengan perhatian khusus untuk konsentrasi natrium, misalnya dekstrose 5% dalam ringer laktat (D5Rl), NaCl 0,9%. D5 NaCl

4. Cairan untuk tujuan khusus :

Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium bikarbonat 7,5 5, NaCl 3%, dll

Cairan non elektrolit :

Contoh dektrose 5%, 10%, digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dan kalori, dapat juga digunakan sebagai cairan pemeliharaan

Cairan koloid :

Disebut juga sebagai plasma ekspander, karena memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan volume intra-vaskuler. Contohnya Dekstran, haemacel, albumin, plasma, darah. Cairan koloid ini digunakan untuk mengganti kehilangan cairan intravaskuler. 2.1.8 Pulih sadar dan pemulangannya

Masa pulih sadar pada anastesi tidak hanya dinilai asal pasien telah sadar, tetapi ada hal-hal yang penting dan perlu diperhatikan, mengingat bahwa pasien ini akan lepas dari pengawasan dokter/perawat rumah sakit. Sementara itu efek dari obat anastesi tidak semuanya telah hilang.

Untuk menilai masa pulih sadar, Steward membagi dalam 3 tahap :

1. Immediate recovery : kembalinya kesadaran, kembalinya reflek-reflek protektif jalan nafas dan aktivitas motorik singkat. Tahap ini singkat dan dengan tepat diikuti dengan menggunakan skoring system

2. Intermediate recovery : kembalinya fungsi koordinasi, hilangnya perasaan pusing subyektif. Tahap ini kira-kira 1 jam setelah anstesi yang tidak terlalu lama. Dalam tahap ini mungkin pasien sudah dapat dipulangkan asal pendamping yang dapat dipertanggung jawabkan

3. Longterm recovery : tahap ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan berhari-hari tergantung dari lamanya anastesi. Untuk pengukurannya perlu tes psikomotor, sehingga tidak praktis untuk dilakukan di klinis

Gambar 2.2 Ringkasan Anestesi Umum2.2 Sisi BedahFraktur Suprakondiler Humeri2.2.1 Definisi

Fraktur sepertiga distal humerus tepat proksimal troklea dan capitulum humeri. Garis fraktur berjalan melalui apeks coronoid dan fossa olecranon, biasanya fraktur transversal. Merupakan fraktur yang sering terjadi pada anak-anak. Pada orang dewasa, garis fraktur terletak sedikit lebih proksimal daripada fraktur suprakondiler pada anak dengan garis fraktur kominutif, spiral disertai angulasi.2.2.2 Klasifikasi

Terdapat dua jenis fraktur suprakondiler humerus, yaitu 1. Jenis ekstensi yang sering terjadi dan jenis fleksi yang jarang terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal humerus akan terdislokasi kearah posterior terhadap humerus. Klasifikasi fr suprakondiler humeri tipe ekstensi dibuat atas dasar derajat displacement:a. Tipe I undisplacedb. Tipe II partially displacedc. Tipe III completely displaced2. Jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Pada pemeriksaan klinis didapati siku yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan pada foto rontgen didapati fraktur humerus dengan fragmen distal yang terdislokasi ke posterior. Klasifikasi fr suprakondiler humeri tipe fleksi juga dibuat atas dasar derajat displacement:d. Tipe I undisplacede. Tipe II partially displacedf. Tipe III completely displacedGambar 2.3 Presentase Fraktur Supracondyler HumeriGambar 2.4 Patah Tulang Suprakondiler Humerus

2.2.3 Patofisiologi Fraktur Suprakondiler HumeriDaerah suprakondiler humeri merupakan daerah yang relatif lemah pada ekstremitas atas. Di daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan adanya fossa olecranon di bagian posterior dan fossa coronoid di bagian anterior. Maka mudah dimengerti daerah ini merupakan titik lemah bila ada trauma didaerah siku. Terlebih pada anak-anak sering dijumpai fraktur di daerah ini. Bila terjadi oklusi a. brachialis dapat menimbulkan komplikasi serius yang disebut dengan Volkmann s Ischemia. A brachialis terperangkap dan kingking pada daerah fraktur.2.2.4 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan klinis, sangat penting diperiksa ada atau tidaknya gangguan peredaran darah dan lesi pada saraf tepi. Jika penderita mengeluh tentang keempat gejala setempat dengan tanda P, yaitu pain (nyeri), parestesia, pucat (pale) dan paralisis. Harus dicurigai adanya sindroma kompartemen yang dapat menyebabkan terjadinya kontraktur miogen iskemia Volkmann. Sindroma ini ditemukan di ekstrimitas atas setelah cedera sekitar siku atau lengan bawah. Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan ekstensi jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan sensorik pada bagian dorsal sela metacarpus I. Pada lesi saraf ulnaris didapati ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari. Gangguan sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf medianus didapati ketidakmampuan untuk melakukan gerakan oposisi ibu jari dengan jari lain. Gangguan sensorik didapati pada bagian volar ibu jari. Sering didapati lesi pada pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada cabangnya yang disebut saraf interoseus anterior. Di sini didapati ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleksi.

Gambar 2.5 Perjalanan Nervus Medianus Dan Arteri Brachialis2.2.5 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang dengan radiologi proyeksi AP/LAT, jelas dapat dilihat tipe ekstensi atau fleksi.2.2.6 Metode Penanganan Konservatif Dan OperatifPenanggulangan konservatif fraktur suprakondiler humerus diindikasikan pada anak undisplaced/ minimally dispaced fractures atau pada fraktur sangat kominutif pada pasien dengan lebih tua dengan kapasitas fungsi yang terbatas. Pada prinsipnya adalah reposisi dan immobilisasi. Pada undisplaced fracture hanya dilakukan immobilisasi dengan elbow fleksi selama tiga minggu Kalau pembengkakan tidak hebat dapat dicoba dilakukan reposisi dalam narkose umum.

Penderita tidur terlentang, dalam posisi ekstensi, operator menekuk bagian distal, menarik lengan bawah dengan siku pada posisi ekstensi, sedang asisten menahan bagian proksimal, memegang lengan atas pada ketiak pasien. Setelah tereposisi, perlahan-lahan sambil tetap menarik lengan bawah siku difleksikan ambil diraba a. Radialis. Gerakan fleksi diteruskan sampai a. radialis mulai tidak teraba, kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan a. radialis teraba lagi. Fleksi maksimal akan menyebabkan tegangnya otot triseps, dan ini akan mempertahankan reposisi lengan baik. Dalam posisi ini dilakukan immobilisasi dengan gips spalk (posterior splint). Pemasangan gips dilakukan dengan lengan bawah dalam posisi pronasi bila fragmen distal displaced ke medial dan dalam posisi supinasi bila fragmen distal displaced ke arah lateral.Bila reposisi berhasil biasanya dalam 1 minggu perlu dibuat foto rontgen kontrol, karena dalam 1 minggu bengkak akibat hematom dan oedem telah berkurang dan menyebabkan kendornya gips, yang selanjutnya dapat menyebabkan terlepasnya reposisi yang telah tercapai. Kalau dengan pengontrolan radiologi haslinya sangat baik, gips dapat dipertahankan dalam waktu 3 minggu. Setelah itu gips diganti dengan mitela dengan maksud agar pasien bisa melatih gerakan fleksi ekstensi dalam mitela. Umumnya penyembuhan fraktur suprakondiler ini berlangsung cepat dan tanpa gangguan.Bila reposisi gagal, atau bila terdapat gejala Volkmann Ischernia atau lesi saraf tepi, dapat dilakukan tindakan reposisi terbuka secara operatif dan dirujuk ke dokter spesialis orthopaedi. Volkmanns ischemia terjepitnya a. brachialis yang akan menyebabkan iskemi otot-otot dan saraf tepi pada regio antebrachii. Komplikasi ini terjadi akibat kompartemen sindrom yang tidak terdeteksi. Nekrosis akan terjadi mulai 6 jam terjadinya ischemik. Maka penanggulangannya sangat penting sebelum 6 jam arteri harus sudah bebas. Bila dilakukan perubahan posisi ekstensi a. radialis masih belum teraba dan release bandage/cast, arteriografi dulu, untuk menentukan lokasi sumbatannya, kemudian dilakukan operasi eksplorasi a. brachialis, dicari penyebabnya. Operasi dapat berupa repair/reseksi arteri yang robek, bila Volkmanns ischemia tidak tertolong segera akan menyebabkan Volkmanns kontraktur dimana otot-otot fleksor lengan bawah menjadi nekrosis dan akhirnya fibrosis, sehingga tak berfungsi lagi.

Malunion cubiti varus dimana siku berbentuk huruf 0, secara fungsi baik, namun secara kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi meluruskan siku dengan teknik French osteotomy. Indikasi Operasi: Displaced fracture

Fraktur disertai cedera vaskular

Fraktur terbuka Pada pendenta dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler sering kali menghasilkan fragmen distal yang komunitif dengan garis patahnya berbentuk T atau Y. Untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi yaitu reposisi terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan fiksasi yang rigid.

2.2.7 Follow-Up

Evaluasi union sekitar 3-4 minggu untuk anak usia 4 tahun dan sekitar 4-5 minggu untuk anak-anak usia 8 tahun dengan pemeriksaan klinis dan radiologi. Dengan meletakan jari di atas tendon biceps kemudian dilakukan fleksi dan ekstensi elbow. Adanya spasme m biceps menunjukkan elboe belum siap mobilisasi. Setelah melepas splints, dilakukan latihan aktif dalam sling selama beberapa bulan sampai range of motion tercapai sesuai dengan yang diharapkan.16