ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG...

99
i ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL (Studi Kasus di Ds. Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari’ah Oleh: SUBHAN NIM : 2105086 FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2009

Transcript of ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG...

i

ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG

PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA

DENGAN WALI ADHOL

(Studi Kasus di Ds. Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang)

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari’ah

Oleh: SUBHAN

NIM : 2105086

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2009

ii

Drs. H. A. Noer Ali Wonosari, Ngaliyan-Semarang Muhammad Shoim, S. Ag Beringin Asri, Ngaliyan-Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) Eks. Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. Subkhan

Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Di

- Semarang Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini

saya kirim naskah Skripsi saudara:

Nama : Subkhan

NIM : 2105086

Jurusan : Ahwal al-Syakhsiyah

Judul : ANALISIS TERHADAP PERNIKAHAN OLEH

WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI

ADHOL (studi Kasus di Desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang)

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqosahkan.

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 11 Desember 2009

Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. H. A. Noer Ali Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19450203 197702 1 001 NIP. 19711101 200604 1 003

iii

DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan Telp./Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

PENGESAHAN

Skripsi Saudara : Subkhan

NIM : 2105086

Judul : ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG

PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA

DENGAN WALI ADHOL (Studi Kasus di Desa Ujunggede

Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang)

Telah dimunaqosyahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama

Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat

cumlaude / baik / cukup, pada tanggal 23 Desember 2009.

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1

tahun akademik 2009/2010.

Semarang, Januari 2010

Ketua Sidang Sekretaris Sidang Drs. H. Musahadi, M. Ag Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19690709 199403 1 003 NIP. 19711101 200604 1 003

Penguji I, Penguji II, Drs. H. Eman Sulaeman, M.H Akhmad Arif Junaedi, M. Ag NIP. 19650605 199203 1 003 NIP. 19701208 199603 1 002

Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. H. Nur Ali, M. Ag. Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19450203 197702 1 001 NIP. 19711101 200604 1 003

iv

MOTO

جا لتسكنوا إليها وجعل اه ان خلق لكم من انفسكم ازوومن ايت

) ٢١: الروم( يف ذلك اليت لقوم يتفكرون نّإ .بينكم مودة ورمحة

“Dan diantara Tanda-tanda Kekuasaann-Nya ialah Dia

Menciptakan untukmu Isteri-isteri Dari Jenismu Sendiri,

Supaya Kamu Cenderung dan Merasa Tentram Kepadanya,

Dan dijadikannya Di antara Kamu Rasa Kasih Sayang.

Sesungguhnya Yang demikian itu Terdapat Tanda-tanda Bagi

Kaum yang Berfikir ” (QS. Ar-Rum: 21)

v

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, Penulis menyatakan bahwa skripsi

ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.

Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan dalam bahan rujukan.

Semarang, Desember 2009

Deklarator,

Subkhan NIM. 2105086

vi

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada-Mu tatkala cintamu menetes ke jiwa yang sendiri. Titik

cerah berlahan berenjak mengelayut mesra di puncak awal kebahagiaan. Nyanyian hati,

gejolak jiwa tak tertahankan muncul bersama kata tak terucap. Selalu tersimpan, terpahat

dalam sebuah kado kecil atas doa, perhatian dan perjuangan yang telah mengajariku tuk bias

tersenyum di kala asa tiba-tiba menghilang, selalu menemaniku, memapahku menjemput

impian tak terbatas, menggapai mendekap mahliga bahagia, buat yang tercinta, yang

tersayang:

1. Kedua orang tuaku, Bapak A. As’ari dan Ibu Rukiyah tercinta yang senantiasa

mendoakan dan memberiku bimbingan. Semoga beliau temukan istana kebahagiaan di

sisi Allah, dan selalu berada dalam pelukan kasih sayang-Nya. Ridhomu adalah

semangat hidupku.

2. Saudara-saudaraku, Agus Jawahir, Rohmatin, Slamet Miftah, Hamida, Bahrudin,

Husni Tamrin, serta keponakanku yang lucu-lucu, Ghina Salsabila, Wildan, dan Nafis.

Semoga kasih sayang Allah selalu bersama kita.

3. Teman-teman Pengurus di Pondok Pesantren Uswatun Hasanah serta para santri yang

selalu membantuku dan memberi semangat dalam pembuatan Skripsi ini.

4. Teman-teman jurusan Ahwal al-Syakhsiyah angkatan 2005 yang tak bisa kusebutkan

satu-persatu, mudah-mudahan kesuksesan menyertai kalian semua.

5. Yang terakhir buat seorang yang spesial di hatiku Reni Sulisetyoningrum yang

senantiasa menemaniku dalam suka maupun duka dalam pembuatan Skripsi ini.

vii

ABSTRAK

Skripsi dengn judul “Analisis Terhadap Persepsi Ulama Tentang Pernikahan Oleh wali Hakim Kaitannya Dengan Wali Adhol (Studi Kasus di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang)” ini merupakan penelitian lapangan (field research). Permasalahan: a). Bagaimana Persepsi Ulama terhadap Pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol yang terjadi di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang ? b). Bagaimana pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol ?

Tujuan penitian ini untuk: 1). Mengetahui Persepsi Ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang. 2). Mengetahui pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang.

Metode yang digunakan adalah dengan Metode Observasi, Interview, Dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode diskriptif.

Hasil penelitian: a). Praktek pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali adhol yang dilakukan pada posisi perempuan yang tidak direstui oleh walinya di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 bisa di bilang sesuatu yang tidak aneh lagi, artinya kejadian seperti ini bisa dikatakan hampir setiap tahunnya ada. Ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, berpendapat bahwa kasus pernikahan oleh wali Hakim terhadap perempuan yang tidak mempunyai wali dikarenakan enggan menikahkan merupakan sebuah proses untuk mencapai pada tahap pernikahan, jadi hal itu tidak berpengaruh terhadap sahnya pernikahan asalkan mereka sekufu dan ketika ijab qabul mereka sudah bisa menerima. Namun tentang kebolehan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol, para ulama sedikit berbeda pendapat, ada yang mengesahkan dan ada yang tidak mengesahkan, diantara pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut: K. Anwar As’ari dan K.H. Ihwan, beliau mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol dengan berbagai dalil yang mereka yakini kebenarannya. Sedangkan yang tidak mengesahkan adalah K. Arifin, beliau berpendapat bahwa wali Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah dibanding pilihan putrinya.

Berdasarkan pada dalil-dalil dalam al-Qur’an, Hadits, Kaidah fiqhiyah, KHI, UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 maupun PERMENAG RI no. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim dan juga pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang

viii

masih ada tetapi Adhol itu sah, di samping dalil-dalil yang menguatkan keabsahan tersebut, juga untuk memelihara martabat perempuan dalam masalah pernikahan.

Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang terjadi di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, penulis memandang berdasarkan dalil-dalil (al-Qur’an, al-Hadits, Kitab-kitab, KHI, PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 dan UU. Perkawinan) yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis menyatakan penyelesaian kasus tersebut sudah sesuai dengan teori.

ix

KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmanirrohim

Alhamdulillah Puji syukur senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah SWT

yang telah memberi rahmat, taufiq dan hidayah serta inayah-Nya kepada penulis,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam

semoga tetap tersanjung kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, beserta

keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejaknya.

Penulisan skripsi ini, dimaksudkan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

salah satu persyaratan guna memperoleh gelar dalam Ilmu Syari’ah di Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Semarang.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak

yang telah turut serta membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini.

Kepada yang terhormat:

1. Kedua orang tua dan saudara-saudaraku tercinta yang dengan kasih dan

sayangnya, serta doanya telah membantu dan memenuhi segala fasilitas

yang penulis perlukan demi selesainya skripsi ini.

2. Bapak Prof. H. Abdul Djamil, M.A selaku Rektor di IAIN Walisongo

Semarang.

3. Bapak Prof. Dr. H. Muhyiddin M.Ag selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang.

x

4. Bapak Drs. H. A. Noer Ali dan Bapak Muh. Soim M.Ag, selaku

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk serta

pengarahan kepada penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah yang dengan ikhlas memberikan

pengetahuan dan ilmunya kepada kami selaku mahasiswa.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Uswatun Hasanah Mangkangwetan

Tugu Semarang, Abah K.H. Mustaqim Husnan beserta ibu, Abah K.H.

Nur Asyikin Azis beserta ibu dan Abah K.H. Chumaidi Toha al-hafidz

beserta ibu. Terima kasih atas didikan dan doanya, semoga berkahnya

mengalir pada santri-santrinya.

7. Bapak Kepala Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten

Pemalang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan

penelitian, para tokoh masyarakat dan Ulama serta seluruh masyarakat

Desa Ujunggede yang membantu penulis selama penulisan berlangsung

guna mencari data-data akurat yang berkenaan dengan penulisan skripsi

ini.

8. Seluruh sahabat serta rekan-rekan dan tak lupa seluruh pihak yang

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Kepada mereaka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apa-apa,

hanya untaian rasa terima kasih yang tulus dan mendalam dengan iringa doa

semoga Allah SWT membalas semua amalkebaikan mereka, dan selalu

melimpahkan rahmat, taufiq dan inayah-Nya kepada semua dalam mengarungi

samudra kehidupan ini.

xi

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karenanya

penulis senantiasa mengharapkan masukan dan kritik yang konstruksi dari

pembaca. Meski di sadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, namun penulis

tetap berharap bahwa tulisan ini bermanfaat. Amin.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan

berserah diri, memohon ampunan dan rahmat-Nya.

Semarang, Desember 2009

Penulis,

Subkhan Nim: 2105086

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………….......... i

PERSETUJUAN PEMBIMBINNG …………………………………… ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………...... iii

HALAMAN MOTO ……………………………………………………. iv

HALAMAN DEKLARASI ……………………………………………... v

PERSEMBAHAN ……………………………………………………….. vi

HALAMAN ABSTRAK ………………………………………………... vii

KATA PENGANTAR …………………………………………………... ix

DAFTAR ISI……………………………………………………………. Xii

BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan......................................... 7

D. Telaah Pustaka .................................................................... 7

E. Metode Penelitian ............................................................... 10

F. Sistematika Penelitian ......................................................... 13

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN

WALI

A. PERNIKAHAN ............................................................ 15

1. Pengertian Pernikahan.............................................. 15

xiii

2. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan......................... 17

3. Syarat dan Rukun Pernikahan.................................... 19

B. WALI.......................................................................... 24

1. Pengertian Wali Nikah ............................................. 24

2. Wali Nikah Menurut Fiqh......................................... 25

3. Wali Nikah Menurut UU No. 1 Tahun 1974 ................ 31

4. Macam-macam Wali Nikah ...................................... 32

5. Syarat-syarat Wali Nikah.......................................... 35

6. Perpindahan Hak Wali Nikah .................................... 36

7. Wali Mujbir..................................................................... 37

8. Wali Adhol ...................................................................... 38

a. Pengertian Wali Adhol .............................................. 38

b. Penetapan Adholnya Wali.......................................... 38

c. Faktor Penyebab Terjadinya Wali Adhol................... 40

BAB III: PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH

WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL

DI DESA UJUNGGEDE KEC. AMPELGADING KAB.

PEMALANG .................................................................... 44

A. Gambaran umum desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading

Kabupaten Pemalang…………………………...……..44

B. Praktek Pernikahan oleh Wali Hakim karena Walinya adhol..48

C. Pendapat Masyarakat tentang Pernikahan oleh wali Hakim

xiv

kaitannya dengan wali Adhol…………………………..52

D. Pendapat Ulama tentang Pernikahan oleh Wali Hakim karena

Walinya Adhol………………………………………53

BAB IV: ANALISIS PERSEPSI ULAMA TENTANG

PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA

DENGAN WALI ADHOL......................................................... 58

A. Analisis terhadap Persepsi Ulama tentang Pernikahan

oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol ................. 58

B. Analisis terhadap pertimbangan hukum persepsi Ulama

terhadap Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya

dengan Wali Adhol ................................................................ 67

BAB V : PENUTUP .................................................................................. 75

A. Kesimpulan .................................................................. 75

B. Saran-Saran .................................................................. 77

C. Penutup........................................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan Sunnatu al-Allah yang umum dan berlaku pada

semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia

merupakan salah satu yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan pada

mahluk-Nya untuk berkembang biak serta melestarikan hidupnya. Akan tetapi

Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainya yang hidup

bebas mengikuti naluri dan hawa nafsunya serta berhubungan antara jantan

dan betina tanpa adanya aturan. Untuk menjaga kehormatan dan martabat

manusia, Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.

Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan

pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi,

sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga

kekekalan keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang

terpendam dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang

pernikahan.1

Upaya untuk melanjutkan proses regenerasi dalam Islam telah diatur

melalui suatu cara yang lazim disebut dengan pernikahan atau perkawinan.

Pernikahan dalam Islam merupakan pertalian yang sakral, tidak sekedar

pertalian antara seorang laki-laki dan perempuan yang sekedar menghalalkan

persetubuhan, Allah SWT menyebut pernikahan itu dengan “mitsaqon

1 Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuny, Az-Zawaju Islamil Mubakkrir : Sa’adah, Terj.

Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, Jakarta: Mustaqim, Cet. 1, 2001, hlm. 28.

2

gholizon” (janji yang erat), yaitu perjanjian antara suami istri untuk hidup

bersama sedemikian kukuh, sehingga bila mereka dipisahkan di dunia oleh

kematian, maka mereka yang taat melaksanakan pesan-pesan Ilahi, masih akan

digabung dan hidup bersama kelak di hari kemudian.2 Hal tersebut

dikarenakan pernikahan tidak semata-mata sebagai hubungan atau kontrak

keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.3

Pernikahan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur

kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu

dengan yang lain, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolong-

menolong.4 Selain itu, pernikahan merupakan institusi yang sangat penting

dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana awal untuk mewujudkan

sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong kehidupan

bermasyarakat.5

Penciptaan manusia sebagai hamba (agar beribadah kepada Allah

SWT) ini mengemban misi untuk meramaikan bumi dengan aturan-aturan

yang ditetapkan oleh Allah SWT sendiri. Para Nabi dan Rasul itulah orang-

orang yang dipilih oleh Allah SWT untuk menyampaikan firman-firman-Nya,

yang berisi aturan tatanan kehidupan yang luas dan benar sesuai dengan

kehendak sang pencipta. Pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia itu

hanya semata untuk beribadah kepada Allah SWT. Manusia juga diciptakan

2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, 2002, hlm. 387. 3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998,

hlm. 55. 4 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, Cet. Ke-25, 1992, hlm. 348. 5 Abdul Jalil (ed), Fiqh Rakyat (Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan), Yogyakarta: LKiS,

2000, hlm. 285.

3

saling berpasang-pasangan, antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan

pasangan dari umat manusia, bercampurnya pasangan umat manusia tersebut

biasa dalam agama Islam diucapkan dengan lafadz pernikahan atau

perkawinan. Pernikahan adalah sebuah proses awal di mana seseorang akan

melanjutkan kehidupan bersama pasangannya dalam ikatan suatu rumah

tangga, untuk menanamkan fondasi bagi terciptanya keluarga yang sakinah,

mawaddah, warohmah.6

Hidup berpasangan di kalangan manusia ini dalam realitanya, tidak

selamanya berjalan dengan tuntunan Allah SWT. Hal ini manakala tidak ada

atau belum mengetahui hukum agama dengan benar. Realita tersebut

mencemarkan agama dan tidak menghargai terhadap hukum-hukum agama

yang berlaku. Sebenarnya Islam telah mengatur hal-hal yang berkenaan

dengan nikah tersebut, namun terkadang kita sebagai manusia yang tidak mau

belajar tentang masalah yang sedang terjadi, sehingga berakibat terhadap

banyaknya penyimpangan hukum atau norma-norma yang telah ditentukan

oleh agama.

Sebagai agama yang menjujung tinggi nilai dan kehormatan manusia

sebagai mahluk beradab, Islam menganjurkan untuk hidup berpasang-

pasangan dengan cara yang terhormat dan mulia yaitu melalui sebuah

pernikahan terlebih dahulu. Namun pernikahan mempunyai arah, tugas dan

tujuan, maka hendaknya dalam melakukannya dipenuhi dan terpenuhi rukun-

rukun dan syarat-syarat yang mengikat, memelihara dan menjaga baik

6 Taufiq, Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Edisi 25, Semarang 2004, hlm. 7.

4

kelangsungannya maupun kelestariannya dan kewajiban untuk

menentramkannya sebagai satu lembaga yang penuh arti dalam hidup sejati.7

Pengawasan Islam dalam pernikahan ini merupakan daya tahan hidup dalam

rumah tangga dan keluarga yang sehat jasmani dan rohaninya. Di hindarkan

segala sesuatu dari mulanya yang mungkin membawa malapetaka dan lain

sebagainya yang mana akan menimbulkan penyesalan, perceraian dan lain

sebagainya. Maka dari itu, di dalam pernikahan disyaratkan adanya wali yang

bertanggung jawab dalam pernikahan seorang gadis, sebab ia masih buta dan

masih muda. Ia belum mengetahui arti hidup dan pergaulan dalam hidup itu.

Maka dianggap nikah itu hanya jalan keluarga dari keadaan yang dihadapi dan

rasa hidup mandiri.

Wali disyaratkan dari kalangan keluarga pria yang berdekatan darah

dengan sang ayah si wanita. Akan tetapi jika tidak ada wali yang demikian ini,

maka boleh berpindah kepada wali Hakim.8 Karena kedudukan Wali dalam

pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita

yang bertindak untuk menikahkannya. Akan tetapi pertanyaan yang muncul

adalah jika timbul suatu perselisihan antara si gadis dengan Walinya

mengenahi pernikahannya dikarenakan si wali sudah mempunyai pilihan

sendiri, begitu juga si gadis sudah mempunyai pilihan sendiri, walaupun

pilihan dari si wali dan si gadis sama-sama sekufu. Kemudian si gadis nekat

nikah dengan pilihannya menggunakan wali Hakim dengan alasan walinya

ghoib padahal Walinya berada ditempat yang dekat dan dapat diketahui.

7 Dr. Fuad Mohd Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, hlm. 26.

8 Ibid, hlm. 28.

5

Ternyata fenomena seperti itu berindikasi pada pemikiran para remaja

yang modern yakni gadis-gadis zaman sekarang tidak semudah itu mau di

jodohkan oleh orang tuanya dikarenakan sudah bisa mencari pendamping

hidup sendiri, sehingga mereka kadang-kadang terjadi perselisihan dengan

orang tuanya dalam masalah pernikahannya.

Kondisi seperti itu tentunya memicu pihak perempuan nekat

melangsungkan pernikahannya dengan tanpa adanya wali, sehingga jalan

pintas yang ditempuh adalah melangsungkan pernikahannya dengan

menggunakan wali Hakim meskipun walinya ada tetapi adhol. Hal seperti ini

sangat kontroversi dengan hukum Islam maupun hukum positif yang berlaku

di Indonesia.

Keadaan sebagaimana terurai di atas, ternyata masih terjadi di desa

Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, meskipun

kejadiannya tidak pasti dalam setiap tahun, namun dalam kurun waktu 8 tahun

ini penulis temukan 3 pasangan yang melakukan pernikahan oleh wali Hakim

walaupun walinya ada tetapi adhol.

Sebenarnya, desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten

Pemalang termasuk desa yang agamis serta kegiatan-kegiatan keagamaan dan

kemasyarakatan di desa tersebut sangat maju, di samping itu juga banyak para

ulama yang notabene lulusan pondok pesantren yang tinggal di sana, sehingga

untuk urusan keagamaan, desa tersebut tidak mau ketinggalan dengan desa

lainnya.

6

Masyarakat desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten

Pemalang mayoritas bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani,

meskipun ada sebagian kecil yang menjadi guru dan PNS. Untuk tingkat

pendidikan desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang

termasuk menengah sebab rata-rata dari mereka dari latar belakang lulusan

SMP dan SMA bahkan sampai perguruan tinggi. Karena mereka rata-rata

berpendidikan menengah kesadaran untuk memilih seorang pendamping hidup

tidak tergantung dari orang tuanya, sehingga terkadang terjadi perselisihan

antara anak dengan orang tuanya.

Berawal dari fenomena di atas, penulis yakin bahwa hal ini secara

spesifik belum ada yang mengkaji, maka penulis menganggap perlu untuk

mengkaji secara ilmiah terhadap permasalahan ini dengan kondisi-kondisi riil

dalam masyarakat, sehingga akhirnya penulis dapat menemukan kesimpulan

yang berarti demi kemaslahatan umat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat penulis rumuskan

permasalahan yang akan menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi

ini, yaitu:

1. Bagaimana persepsi ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim

kaitannya dengan wali Adhol yang terjadi di desa Ujunggede Kec.

Ampelgading Kab. Pemalang ?

7

2. Bagaimana pertimbangan hukum dari persepsi Ulama desa Ujunggede

Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim

kaitannya dengan wali Adhol?

C. Tujuan dan kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui Persepsi Ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim

kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading

Kab. Pemalang

b. Mengetahui pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede

Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali

Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec.

Ampelgading Kab. Pemalang

2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai kontribusi keilmuan bagi wacana yang berkembang saat ini

yaitu pernikahan dengan wali Hakim walaupun walinya Adhol

b. Sebagai kontribusi dalam rangka memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan dalam bidang studi hukum Perdata Islam.

D. Telaah Pustaka

Bertitik tolak dari permasalahan di atas, sepanjang pengetahuan

penulis, permasalahan tentang pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan

wali Adhol belum ada yang membahasnya secara spesifik dalam sebuah karya

ilmiah. Hanya saja penulis menemukan beberapa tulisan mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan masalah tersebut, di antaranya yaitu :

8

1. “Analisis Pendapat Ahmad Hasan tentang bolehnya Wanita Gadis

Menikah tanpa Wali” oleh Wirda Rosalin (2100105). Dalam penelitian ini

dijelaskan menurut Ahmad Hasan seorang tokoh Ulama di Indonesia,

beliau berpendapat bahwa Wanita Gadis boleh menikah tanpa Wali,

dengan alasan bertentangan dengan beberapa keterangan dari Al-Quran,

Hadits, dan riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya

keterangan-keterangan yang mewajibkan Wali, berarti Wali tidak perlu,

artinya tiap-tiap Wanita boleh menikah tanpa Wali. Jika sekiranya seorang

Wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada Wali, tentunya Al-Quran

menyebutkan hal itu.

Ahmad Hasan dalam mempertahankan pendapatnya menggunakan surat

Al-Baqarah ayat 323 dan Hadits dari Abu Hurairah. Setelah diadakan

analisis terhadap ayat yang dipergunakan Ahmad Hasan ternyata

penafsirannya keliru. Selanjutnya tentang hadits yang dipergunakan

sebagai dasar diperbolehkannya nikah tanpa Wali, maka disinipun Ahmad

Hasan keliru, karena hadits itu menunjukkan bahwa wanita menikah harus

oleh wali.

2. “Analisis Pendapat Asghar Ali Engineer tentang dibolehkannya

Perempuan Menikah Tanpa Wali” oleh Nur Rohmah (2100002)

Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa menurut pendapat Ali Asghar

Engineer (seorang tokoh feminis Muslim asal India), beliau berpendapat

bahwa perempuan boleh menikah tanpa wali. Bahwa Engineer dalam

memperbolehkan perempuan menikah tanpa Wali sebagai solusi dari

9

permasalahan yang dihadapi kaum tertindas di mana konteks yang

diuraikan adalah mereka para perempuan miskin yang mendapat kesulitan

dalam menghadirkan Wali dalam pernikahannya.

3. Di dalam bukunya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang

berjudul “Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab” dijelaskan,

menurut Ulama-ulama Malikiyah berpendapat bahwa : Apabila Wali

tempatnya jauh, jika dikhawatirkan terjadi kemudaratan karena tidak ada

yang menafkahi atau dikhawatirkan terjadi perzinaan, maka Hakim boleh

menikahkannya. Akan tetapi apabila jaraknya dekat dan tidak pula terjadi

kesulitan di dalam menanti kedatangannya, maka Hakim boleh terus

menikahkan jika di khawatirkan terjadi kemudaratan.9

4. Di dalam bukunya Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H. yang berjudul

Hukum Islam Dan Peradilan Agama dijelaskan bahwa menurut Hazairin

beliau adalah Guru Besar hukum Islam dan hukum Adat Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, beliau berpendpat bahwa Wali bukan merupakan

rukun nikah dalam pernikahan seorang wanita yang telah dewasa. Hanya

menurut rasa kesusilaan masyarakat di Indonesia, tidak hadirnya Wali

dalam pernikahan, dirasakan “kurang baik” dan rasanya memang tidak

pula “baik” kalau seorang wanita kendatipun ia sudah dewasa,

menawarkan dirinya sendiri kepada calon suaminya di hadapan dua orang

saksi dan orang-orang yang hadir di sekitarnya.10

9Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukun Fiqh Islam

Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 228. 10 Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H., Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 12.

10

Dilakukannya telaah pustaka terhadap skripsi, serta buku di atas untuk

membedakan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang

sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain, sehingga

menghindarkan dari adanya duplikasi. Karena itulah sekali lagi penelitian ini

akan menjelaskan beberapa hal yang tidak diungkapkan oleh keterangan di

atas, sehingga dari sini akan dapat diharapkan suatu penjelasan yang lebih

jelas, argumentatif dan obyektif, sesuai dengan realitas yang terjadi di

masyarakat, kaitannya dengan pernikahan oleh wali Hakim karena walinya

adhol.

E. Metode Penulisan

Pada dasarnya penulisan skripsi ini berdasarkan pada suatu penelitian

lapangan yang dilakukan di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab.

Pemalang, di samping itu juga meliputi studi kepustakaan yang ada

hubungannya dengan pernikahan. Adapun metode yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu

penelitian yang obyeknya mengenai gejala-gejala atau peristiwa-

peristiwa yang terjadi pada kelompok masyarakat11. Dalam hal ini adalah

mengenai persoalan yang berkaitan dengan Pernikahan oleh wali Hakim

karena walinya adhol.

11 Rusady Ruslan, Metodologi Penelitian: Public Relation dan Komunikasi, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 32

11

Sehingga penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus atau studi

kasus (case study) dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Adapun

lokasi yang menjadi obyek penelitian dalam skripsi ini adalah desa

Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang dengan pertimbangan

bahwa di daerah tersebut telah terjadi Pernikahan oleh wali Hakim

karena walinya adhol.

2. Sumber Data

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subyek

dari mana data diperoleh.12. Dilihat dari cara memperolehnya, sumber

data penelitian ini terdiri dari dua, yaitu: sumber data primer dan sumber

data sekunder13. Sumber data primer diperoleh dari informan khusus

melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang dapat berupa

wawancara. Dalam hal ini sebagai sumber data primernya yaitu data yang

diperoleh dari para ulama desa setempat, tokoh masyarakat dan pasangan

yang telah melakukan Pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol,

terutama di kalangan masyarakat desa Ujunggede Kec. Ampelgading

Kab. Pemalang. Dan data sekundernya yaitu berasal dari buku-buku,

kitab-kitab, arsip desa, dan informan umum yang berupa informasi-

informasi terkait dengan hal yang diteliti14.

12 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktik, Jakarta: Rineka

Cipta, 1998, hlm. 115 13 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Andi OffSet, 2000, hlm. 66 14 Riyanto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 57

12

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:

pertama, wawancara yaitu komunikasi langsung antara peneliti dengan

responden.15 Di sini peneliti akan mewawancarai para ulama khususnya

di wilayah desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang kaitannya

dengan kasus pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol. Kedua,

dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang

berupa catatan, buku, notulen rapat.16 Di sini peneliti menggunakan bukti

catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis, yaitu suatu teknik yang menggambarkan persoalan

yang terjadi dan menginterpretasikannya. Metode analisis ini bercirikan :

a) Pemusatan dari pada persoalan yang aktual dan berusaha

memecahkannya,

b) Data yang terkumpul mula-mula disusun, dan dijelaskan kemudian

dianalisis.17

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data

dan analisis data melalui langkah-langkah :

a) Menelaah data yang diperoleh dari informan dan literatur terkait.

b) Mengklasifikasi data dan menyusunnya

15 Alimudin Tuwu, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press, 1995, hlm. 72 16 Suharsini Arikunto, op. cit, hlm. 206 17 Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Arsito, 1994, hlm. 140

13

c) Setelah data tersusun kemudian langkah selanjutnya adalah

kesimpulan atau penarikan kesimpulan berdasarkan data yang ada

yang diperoleh peneliti.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi menjadi lima bab yang

sistematis dan logis yang dapat diuraikan dalam rangkaian sebagai berikut:

BAB I Berisi tentang pendahuluan sebagai penghantar secara keseluruhan,

sehingga dari bab ini akan diperoleh gambaran umum tentang

pembahasan skripsi ini. Bab pertama ini memuat latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka,

metode penelitian, dan sistematika.

BAB II Menjelaskan gambaran umum tentang persepsi, bab ini merupakan

landasan teori. Sesuai dengan judul skripsi ini maka pembahasan

akan terpusat pada tinjauan umum tentang pengertian dan teori

persepsi, pengertian dan dasar hukum Pernikahan, syarat dan rukun

nikah, tujuan pernikahan serta macam-macam wali, perpindahan hak

wali nikah, dan faktor penyebab terjadinya wali Adhol.

BAB III Menguraikan gambaran umum tentang pernikahan oleh wali Hakim

kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading

Kab. Pemalang. Adapun cakupan bab ini adalah keadaan Geografis di

desa Ujunggede, serta pendapat masyarakat dan Ulama desa

Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang.

14

BAB IV Merupakan analisis secara umum tentang persepsi ulama terhadap

pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa

Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang serta analisis terhadap

pertimbangan persepsi ulama mengenai pernikahan tersebut.

BAB V Merupakan bab terakhir sekaligus bab penutup. Bab ini terdiri dari

kesimpulan, saran-saran dan penutup.

15

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

PERNIKAHAN DAN WALI

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Nikah secara bahasa berarti الجمع (menghimpun) dan الضم

(mengumpulkan)1 dikatakan آحت األشجارانت (pohon-pohon itu saling

berhimpun antara satu dengan yang lain) jika suatu bagian pohon itu

saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya.2

Sebutan lain buat pernikahan ialah الزوج ,لزوجا dan الزجه, terambil

dari akar kata 3 زوجا- يزوج –زاج yang secara harfiah berarti menghasut,

menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yang

dimaksud dengan الزوج ,لزوجا disini ialah at-tazwij yang terambil dari kata

ة تزوج- يزوج –ج وز dalam bentuk wazan yang secara harfiah ةل تفع- يفعل - فعل

berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai

dan memperistri.4

Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya

mengupas tentang tentang pernikahan dan tentang wali. Pengarang kitab

tersebut menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan

melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau

1 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 208 2 Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Iqna’ juz II, Semarang: Maktabah wa Matba’ah

Toha Putra, hlm. 115. 3 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 591 4 Op. cit., hlm 591

16

mengawinkan.5 Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna

persetubuhan. Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad

bin Qasim al-Ghazzi,6 beliau menerangkan pula tentang masalah hukum-

hukum pernikahan di antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut

makna bahasanya yaitu kumpul, wati’, jimak dan akad. Dan diucapkan

menurut pengertian syara’ yaitu suatu akad yang mengandung beberapa

rukun dan syarat.

Menurut Zakiah Daradjat,7 bahwa pernikahan adalah suatu aqad

atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan

perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga

yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang di

ridhai Allah SWT.

Menurut Zahry Hamid, yang dinamakan nikah menurut Syara'

ialah: Akad atau ijab qabul antara wali calon isteri dan mempelai laki-laki

dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.8

Menurut UU. Perkawinan, Perkawinan ialah : Ikatan lahir batin,

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9

5 Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun,

Surabaya: Darul Abidin, hlm. 97. 6 Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Dar al-lhya al-Kutub

al-Arabiah, hlm. 43. 7 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 38. 8 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1. 9 Pasal 1Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974.

17

Menurut KHI Pernikahan yaitu suatu akad yang sangat kuat atau

mitsaqan gholizon untuk mentaati perintah Allah SWT dan

melaksanakannya merupakan ibadah.10

2. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan

Dasar hukum dan tujuan pernikahan menurut ajaran Islam yang

pertama adalah melaksanakan Sunnatu al-Allah. Pernikahan yang dinyatakan

sebagai sunnatu al-Allah ini merupakan kebutuhan yang diminati oleh setiap

naluri manusia dan dianggap oleh Islam sebagai ikatan yang sangat kokoh

atau mitsaqon ghalizon.11 Karena itu, pernikahan hendaknya dianggap sakral

dan dimaksudkan untuk membina rumah tangga yang abadi selamanya.12

seperti yang tercantum dalam Al Quran (Surat An-Nur :32)

(#θßsÅ3Ρ r& uρ 4‘ yϑ≈ tƒ F{ $# óΟ ä3Ζ ÏΒ t⎦⎫ ÅsÎ=≈ ¢Á9 $# uρ ô⎯ ÏΒ ö/ä. ÏŠ$t6 Ïã öΝ à6 Í←!$tΒÎ) uρ 4 βÎ) (#θçΡθä3 tƒ

u™!# t s) èù ãΝ ÎγÏΨ øóムª!$# ⎯ ÏΒ ⎯ Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$# uρ ìì Å™≡ uρ ÒΟŠ Î=tæ }٣٢ : النور{

Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Surat An-Nur: 32)13

Tujuan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunah Rasulullah

sebagaimana disebut dalam hadits Nabi SAW :

10 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam 11 Lihat, Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 21. 12 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003, hlm. 6. 13Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), Al-Qur’an

dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI. Proyek Pengadaan Kitab suci Al-Qur’an, 1989, hlm. 549.

18

نيت فليس مين لنكاح سنيت ومن رغب عن سا : قال عنهعن أنس بن مالك رضي اهللا 14)روه خباري و مسلم(

Artinya : Perkawinan adalah peraturanku barang siapa yang benci kepada

peraturanku bukanlah ia termasuk umatku. (Bukhori dan Muslim).

Tujuan dan dasar hukum yang ketiga adalah untuk menenangkan

pandangan mata dan menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan

dalam hadits Nabi SAW:

منكم استطاع من الشباب معشر يا :عن عبداهللا بن مسعود رضي اهللا عنه قال فانه بالصوم فعليه يستطع مل ومن للفرج واحصن للبصر اغض فانه فاليتزوج الباءة 15)روه خباري و مسلم( وجاء له

Artinya : Dari Abdulah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda : Hai sekalian

pemuda barang siapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa, karena itu perisai baginya. (HR. Bukhori dan Muslim).

Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim karena kata al-

ba’ah adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sebuah pernikahan di

lihat dari segi kemampuan jimak dan kemampuan ekonomi.16

Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang

mapan untuk segera melaksanakannya, karena dengan pernikahan dapat

mengurangi maksiat penglihatan dan memelihara diri dari perbuatan zina.

14 Al-Hafidz Ibn Hajar Al-asqolani, terj. Bulughul Maram, karya Machfuddin aladib, CV.

Toha putra, tth. hlm. 491. 15 Imam Muslim, Shohih Muslim Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992, hlm. 1018-

1019. 16 Taqiyuddin Abi Bakar bin Ahmad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Indonesia: Darul Ihya’

kutubil Arobiyah, hlm. 55.

19

Oleh karena itu, bagi mereka yang mempunyai keinginan untuk menikah,

sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, maka untuk

membentengi diri dari perbuatan tercela yang menuju perzinahan, caranya

yaitu dengan berpuasa.

Selain dari tiga hal tersebut di atas maka tujuan yang keempat untuk

mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman, kuat ilmu dan kuat amal

sehingga mereka itu dapat membangun masa depannya yang lebih baik, bagi

dirinya, keluarganya dan masyarakat serta bangsa dan negaranya.

Dengan demikian maka rumusan tentang tujuan perkawinan yang ada

di dalam undang-undang adalah sejalan dengan ajaran Islam yaitu untuk

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

3. Syarat dan Rukun Pernikahan

Pernikahan adalah pintu masuk menuju keluarga, karena itu di dalam

ajaran Islam pernikahan diatur dengan syarat dan rukun yang jelas dan rinci.

Pernikahan oleh Agama ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah

hukumnya disebut rukun, dan masing-masing rukun memerlukan syarat-

syarat.17

Syarat yang dimaksud dalam pernikahan adalah suatu hal yang pasti

ada dalam pernikahan, akan tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari

hakikat pernikahan. Dengan demikian rukun nikah itu wajib terpenuhi ketika

diadakan akad pernikahan, sebab tidak sah akadnya jika tidak terpenuhi

rukunnya.

17 Toto Suryana, Ibadah Praktis, Bandung: CV. Alafabeta, tth, hlm. 80.

20

Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian

banyak rukun dan syarat yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Qur’an

maupun hadits-hadits Nabi SAW.

Sebelum mengadakan pernikahan atau akad, sebaiknya kedua belah

pihak sudah saling mengetahui keadaan yang sebenarnya yang menimbulkan

hasrat untuk menikah, ketentuan semacam ini dapat kita baca dalam hadits

berikut :

اذاخطب: وسلم عليه اهللا صل اهللا رسول قال: قال عنه اهللا رضي جابر عن رواه (فليفعل نكاحها اىل يدعوه ما اىل منها ينظر ان استطاع فان ةأاملر احدكم

18)داود ابو Artinya :Dari jabir r.a dia berkata : Rasulullah saw bersabda : apabila

seseorang di antara kamu meminang seseorang wanita, lalu jika dia sanggup untuk melihat dari wanita itu sesuatu yang mendorong untuk menikahinya maka hendaklah dilakukan (HR. Abu Dawud).

Adapun rukun dan syarat-syarat pernikahan sebagaimana dalam

pedoman Pegawai Pencatat Nikah adalah sebagai berikut:19

a. Calon mempelai laki-laki, syarat-syaratnya :

a) Beragama Islam

b) Laki-laki

c) Jelas orangnya

d) Tidak beristri empat orang

e) Dapat memberikan persetujuan

18 Abu Dawud Sulaiman Ibn Asya’es Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub

Al Ilmiyah, 1996. hlm. 120. 19 Ahmad Rofiq, op. Cit., hlm.

21

b. Calon mempelai perempuan, syarat-syaratnya :

a) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani

b) Perempuan

c) Jelas orangnya

d) Dapat dimintai persetujuan

e) Tidak terdapat halangan pernikahan

c. Adanya Wali Nikah

Dari sekian banyak syarat dan rukun-rukun untuk sahnya

pernikahan menurut hukum Islam, wali adalah hal yang sangat penting

dan menentukan.

Adapun syarat-syarat wali adalah sebagai berikut:

1) Laki-laki

2) Dewasa

3) Mempunyai hak perwalian

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya.

Dalam soal pernikahan, yang pertama kali berhak menjadi

Wali adalah Wali Aqrab (bapak atau kakek), jadi selama Wali Aqrab

masih ada, hak menikahkan belum dapat dipindahkan kepada Wali yang

lain (Wali Ab’ad). Apabila Wali Aqrab masih ada dan memenuhi syarat

tetapi yang menikahkan Wali Ab’ad, maka nikahnya tidak sah.20

20 Taqiyuddin Abi Bakar bin Ahmad al-Husaini, op. cit., hlm. 52.

22

d. Adanya Saksi

Menurut jumhur ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi

itu tidak sah, jika ketika berlangsungnya ijab-qabul itu tidak ada saksi

yang menyaksikan sekalipun diumumkan kepada khalayak ramai dengan

menggunakan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah.21

Adapun syarat-syarat menjadi saksi adalah sebagai berikut:

1) Minimal dua orang laki-laki

2) Hadir dalam Ijab Qabul

3) Dapat mengerti maksud akad

4) Islam

5) Dewasa.

e. Ijab Qabul

Rukun yang mendasar dalam pernikahan adalah ridhanya

laki-laki dan perempuan, dan persetujuan keduanya untuk berkeluarga.

Perasaan ridha dan setuju itu bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat

dengan mata kepala. Karena itu harus ada tanda yang tegas untuk

menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami istri. Tanda itu

diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan

akad.22

Akad nikah terdiri dari dua bagian, yaitu ijab dan qabul. Ijab

ialah perkataan wali atau wakilnya dan qabul ialah penerimaan dari pihak

calon mempelai laki-laki atau wakilnya.

21 Sayyid Sabiq, fikhus Sunnah, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Fikr, hlm. 48-49 22 Ibid, hlm. 29.

23

Akad nikah itu tidak dapat dibenarkan dan tidak mempunyai

akibat hukum yang sah apabila belum memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

1) Adanya pernyataan menikahkan dari wali

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah

4) Antara ijab dan qabul bersambungan

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram

haji/umrah

7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu:

calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita

atau wakilnya, dan dua orang saksi.23

f. Mahar

Dalam bahasa Indonesia kata mahar dikenal dengan nama

mas kawin. Mahar atau mas kawin adalah harta pemberian dari calon

mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang merupakan

hak isteri dan sunnah disebutkakan ketika akad nikah berlangsung.24

Jadi pemberian mas kawin ini wajib, dan sunnah apabila

disebutkan pada waktu akad nikah25. Namun apabila mas kawin itu tidak

23 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 71-72. 24 Dirjen Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana

Sarana Perguruan Tinggi agama, 1985, cet. Ke-2, hlm. 109. 25 Ibid., hlm. 110.

24

disebutkan dalam akad nikah, maka wajib membayar mas kawin yang

pantas (mahar mitsil)26.

B. Wali

1. Pengertian Wali Nikah

Yang dikatakan wali adalah orang paling dekat dengan si wanita.

Dan orang yang berhak menikahkan wanita adalah ayahnya lalu kakeknya

dan seterusnya keatas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian

saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.27

Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya

berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Sedangkan

wali dalam pernikahan adalah seorang yang bertindak atas nama

mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.28 Dalam kamus besar

Bahasa Indonesia, Wali di artikan sebagai pengasuh pengantin perempuan

ketika menikah, yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki29

Begitu pula dalam Fiqh Sunnah di sebutkan bahwa Wali adalah suatu

ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain sesuai dengan

bidang hukumnya.30 Sehingga dapat di simpulkan, bahwa wali dalam

pernikahan adalah seorang yang mempunyai hak untuk menikahkan atau

orang yang melakukan janji nikah atas nama mempelai perempuan.

26 Ibid., hlm. 114. 27 Muhammad Khotib al-Sarbani, Al-Mughnil Muhtaj, juz 4, Beirut Libanon: Dar al-Kutubi

Ilmiah, hlm. 249 28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006,hlm. 96 29 Tim Penyusun Kamus Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 1007 30 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah 7, terj. Muhammad Tholib, Bandung: PT. Al-Ma’arif, cet.

2, 1982, hlm, 7

25

2. Wali menurut Fiqh

Adanya suatu pernikahan dianggap tidak sah apabila tidak ada

wali. Sebagai mana di sebutkan dalam pasal 19 KHI, Wali Nikah dalam

pernikahan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi mempelai wanita

yang bertindak untuk menikahkannya. Dalam hal ini ada perbedaan

pendapat tentang keharusan adanya Wali dalam pernikahan, sebagaimana

dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Ibnu Rusyd

menerangkan:

ليست ام النكاح صحة شروط من شرط الوالية هل ماءالعل اختلف ىف شرط اا و, بويل اال نكاح اليكون انه اىل مالك هبذف بشرط؟ 31عىالشاف قال وبه, عنه اشهب رواية ىف .ةالصح

Artyinya: Ulama berselisih pendapat apakah Wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi’i.

Menurut Hukum Islam, Wali Nikah adalah sangat penting dan

menentukan. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW yang diriwyatkan oleh

Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

رسول اهللا قال: قالعن أيب بردة بن أيب موس عن أبيه رضى اهللا تعاىل عنهما

32).روه امحد(دي عدل النكاح اال بويل وشاه: م .ص

Artinya: “Tidak sah Nikah melainkan dengan Wali dan 2(dua) orang saksi yang adil”

31 Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jill juz 2, 1409 H/1989M, hlm. 6

32 Abu Dawud Sulaiman Ibn Asy’as Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996. hlm. 229

26

Begitu juga menurut Imam Syafi’i bahwa tidak sah nikah tanpa

adanya Wali bagi pihak penganti perempuan.33

Di antara alasan yang paling jelas dari al-Quran tentang

disyaratkannya Wali adalah Firman Allah:

# sŒ Î) uρ ãΛä⎢ ø) ¯=sÛ u™!$|¡ÏiΨ9 $# z⎯ øón=t6 sù £⎯ ßγ n=y_r& Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&

Artinya: “Dan apabila diantara kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa Iddahnya, maka janganlah anda (para Wali) menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya.” (QS. Al- Baqarah: 232)34

Golongan Ulama yang mensyaratkan adanya Wali menyatakan

bahwa ayat ini ditunjukan kepada para Wali. Jika mereka tidak

mempunyai hak dalam perwalian, tentu tidak dilarang untuk

menghalanginya.

Ayat lainnya adalah:

Ÿωuρ (#θßsÅ3Ζ s? ÏM≈ x. Î ô³ ßϑø9 $# 4© ®L ym £⎯ÏΒ÷σ ムt ∩⊄⊄⊇∪

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.” (QS. al-Baqarah: 221)35

Wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat

Hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh, yang terdiri dari Wali Nasab

33Mohd Idris Ramulyo, SH., MH. (Hukum Perkawinan, Hukum Kewearisan, Hukum Acara

Peradilan Agama Dan Zakat), Jakarta: Sinar Grafika Cet pertama 1995, hlm. 34 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz,

Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56 35Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz,

Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 53

27

dan Wali Hakim.36 Jadi jika dilihat dari pengertian Wali bisa disimpulkan

bahwa Wali ada dua macam yaitu Wali Nasab dan Wali Hakim.

Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa

tidak ada nikah tanpa Wali, dan Wali menjadi syarat sahnya nikah.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.37

Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi, dan az-Zuhri berpendapat

apabila seorang perempuan melakukan melakukan akad nikahnya tanpa

Wali, sedang calon suaminya sebanding, maka nikahnya itu boleh.38

Dawud memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan

adanya Wali pada gadis, dan tidak tidak mensyaratkan pada janda.39

Berdasarkan riwayat Ibnul Qosim dari Malik dapat disimpulan adanya

pendapat keempat, yaitu bahwa persyaratan Wali itu sunah hukumnya,

dan bukan fardu. Demikian itu karena ia meriwayatkan dari Malik bahwa

ia berpendapat adanya waris mewarisi antara suami dengan istri yang

perkawinannya terjadi tanpa menggunakan Wali.40

Dengan demikian, seolah Malik menganggap Wali itu temasuk

syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan. Ini

bertolak belakang dengan pendapat fuqoha Maliki dari Baghdad yang

36DEPAG RI Direktorat Jendral Pembinaan Lembaga Agama Islam, Bahan Penyuluhan

Hukum, hal. 36 37Al- Faqih Abul Walid Muhammad Bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam Ghozali Said, MA, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, hlm. 409.

38Ibid 39Ibid, hlm. 410. 40Ibid

28

mengatakan bahwa Wali itu termasuk syarat sahnya perkawinan bukan

syarat kelengkapan.41

Golongan Ulama yang tidak mensyaratkan Wali dalam

pernikahan mengemukakan alasan dari firman Allah:

# sŒ Î* sù z⎯ øón= t/ £⎯ßγ n=y_r& Ÿξsù yy$ oΨ ã_ ö/ ä3 øŠ n=tæ $yϑŠ Ïù z⎯ ù=yèsù þ’ Îû £⎯ Îγ Å¡àΡr& Å∃ρâ ÷ê yϑø9 $$Î/ ∩⊄⊂⊆∪

Artinya: “(kemudian apabila telah habis iddahnya), maka tiada dosa bagimu membiarkan mereeka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqara: 243)42

Sedangkan dari hadis, mereka beralasan dari Hadits Ibnu Abbas

r.a. yang telah disepakai sahihnya, yaitu sabda Nabi SAW:

بنفسها احقاالمي :م. قال رسول اهللا ص,قال عنه اهللا رضى عباس ابنعن اخرجه ابو داود ( يف تفسيها واذا صماا تستأمروليها والبكر من

43)والترمديArtinya: “Wanita-wanita janda itu lebih berhak itu lebih berhak atas

dirinya daripada Walinya, dan gadis itu di mintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Dari beberapa perbedaaan pendapat para Ulama tentang Wali

menjadi syarat sahnya nikah atau tidak dapat digaris bawahi sebagai

berikut:

a. Wali Nikah menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki.

Imam Syafi’i beserta penganutnya berpendapat tentang Wali

Nikah ini bertitik tolak dari Hadits Rasulullah SAW yang

41 Ibid 42 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, op. cit.,

hlm. 57 43 Muhammad Ibn Ismail As-Sanani, Subul al-Salam, juz III, Kairo: Dar al-Turas al-Arabi,

1980, hlm. 231

29

diriwayatkan oleh Imam Ahamad dan Al Tirmidzi berasal dari Siti

Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ت بغري اذن امراة نكحاميا م.قال رسول اهللا ص : شة قالتئعن عا

44}متفق عليه {وليها فنكاحها باطل

Artinya: “Barang siapa diantaa perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal”.

Dalam Hadits Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa

seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai

Wali, berarti jika tanpa Wali maka nikahnya tidak sah.

Dari Hadits Rasulullah SAW yang lain yang diriwyatkan oleh

Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

قال : بن أيب موس عن أبيه رضى اهللا تعاىل عنهما قالعن أيب بردة

45).روه امحد(النكاح اال بويل وشاهدي عدل : م .رسول اهللا ص

Artinya: “Tidak sah Nikah melainkan dengan Wali dan 2(dua) orang saksi yang adil.

b. Wali Nikah menurut Mazhab Imam Hanafi

Menurut Hanafi, nikah (pernikahan) itu tidak merupakan

syarat harus pakai wali. Imam Abu Hanifah atau Mazhab Imam

Hanafi dan beberapa penganutnya nengatakan bahwa akibat ijab

(penawaran), akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasa

dan berakal (aqil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga

44 Op, cit., hlm. 204 45 Ibid

30

menurut Abu Yusuf, Imam Maliki dan riwayat Ibnu Qosim. Beliau itu

mengemukakan pendapat berdasarkan analisis dari Al-Qur’an surat al-

Baqarah ayat 230 dan 232 sebagai beikut dibawah ini:

βÎ* sù $yγ s) ¯=sÛ Ÿξsù ‘≅ Ït rB … ã&s! .⎯ ÏΒ ß‰÷è t/ 4© ®L ym yxÅ3Ψ s? % ¹` ÷ρy— … çν u ö xî 3

Artinya : “Apabila suami mentalaq isterinya (isteri-isteri) sesudah talaq yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya seningga dia (perempuan ) itu menikahi calon suami mereka yang baru”. (QS. Al-Baqarah:230)46

# sŒ Î) uρ ãΛ ä⎢ ø) ¯=sÛ u™!$|¡ÏiΨ9 $# z⎯ øón=t6 sù £⎯ ßγ n=y_r& Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&

Artinya : “Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganlaah kamu (para Wali) menghalanhg mereka Nikah lagi dengan calon suaminya”. (QS. Al-Baqarah:232)47

Jadi menurut Hanafi wali nikah itu tidak merupakan syarat

sah nikah, akan tetapi baik calon mempelai laki-laki atau calon

mempelai perempuan yang hendak menikah hendaknya meminta

restu atau izin terlebih dahulu dari walinya.

Ulama Hanafiyah juga berpendapat bahwa hadits tentang

disyaratkannya wali dalam pernikahan yang diriwayatkan oleh

Aisyah r.a. dianggap lemah. Sebab, hadits ini diriwayatkan oleh

sekelompok orang dari Ibnu Juraij dan az-Zuhri, sementara itu Ibnu

Ulayyah mengatakan dari Ibnu Juraij bahwa ia (Ibnu Juraij) pernah

46 Op. cit., hlm. 56 47 Op. cit., hlm. 56

31

menanyakan kepada az-Zuhri tentang Hadits tersebut, tetapi ia tidak

mengenalnya.48

Sebagai dalil atas kebenaran hal itu, mereka mengatakan

bahwa az-Zuhri sendiri tidak mensyaratkan adanya wali, dan

pensyaratan wali juga bukan merupakan pendapat Aisyah r.a.49

3. Wali menurut UU No. 1 tahun 1974

Dalam pasal 6 Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang

perkawinan diatur sebagai berikut :

a) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin dari kedua

orang tua. (Ps. 6 ayat 2)

b) Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka

izin dimaksud ayat 2 ini cukup diperoleh dari orang tua yang

mampu menyatakan kehendaknya. (Ps. 6 ayat 3)

c) Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka

izin diperoleh dari Wali orang yang memelihara atau keluarga

yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama

mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya. (Ps. 6 ayat 4)

48Drs. Imam Ghozali Said, op. cit., hlm. 416. 49Dalam hal ini masih terjadi kontraversi, apakah suatu ketetapan hukum berdasarkan

“fatwa sahabat” atau berdasarkan “subtansi hadits” yang diriwayatkan.

32

Oleh karena itu, Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang

perkawinan menganggap bahwa wali bukan merupakan syarat untuk

sahnya nikah, yang diperlukan hanyalah izin orang tua, itupun bila

calon mempelai laki-laki maupun wanita belum dewasa (di bawah

umur 21 tahun), bila telah dewasa (21 tahun keatas) tidak lagi di

perlukan izin dari orang tua.

4. Macam-macam Wali Nikah

Wali Nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat

hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh, yang terdiri dari wali

nasab dan wali Hakim.50 Jadi jika dilihat dari pengertian wali bisa

disimpulkan bahwa wali ada dua macam yaitu wali Nasab dan wali

Hakim.

Adapun di dalam hukum perkawinan Islam dikenal adanya

empat macam wali nikah, yaitu:

a) Wali Nasab

Wali Nasab yaitu wali nikah karena pertalian nasab atau

pertalian darah dengan calon mempelai perempuan atau orang-

orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai perempuan yang

berhak menjadi wali.51

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan

kedudukan susunan kekerabatan dengan calon mempelai

50DEPAG RI, ibid, hal. 36 51Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Edisi pertama, Jakarta: Akademika Pressindo,

2003, hlm. 110

33

perempuan. Adapun keempat kelompok tersebut adalah sebagai

berikut:

Kelompok pertama, adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus

ke atas, yakni: ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kelompok kedua, adalah kelompok kerabat dari saudara laki-laki

kandung atau saudara laki-laki se ayah dan keturunan laki-laki

mereka.

Kelompok ketiga, adalah kelompok dari paman, yakni saudara

laki-laki kandung ayah, saudara se ayah dan keturunan laki-laki

mereka.

Kelompok keempat, adalah kelompok dari saudara kandung laki-

laki kakek, saudara laki-laki se ayah kakek dan keturunan laki-

laki mereka.

Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut:52

1. Ayah.

2. Kakek (Bapak ayah).

3. Ayah Kakek (ayah tingkat tiga) dan seterusnya ke atas.

4. Saudara laki-laki se kandung.

5. Saudara laki-laki se ayah.

6. Anak laki-laki saudara laki-laki se kandung.

7. Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah.

8. Paman se kandung (Saudara laki-laki ayah se kandung).

52 Ahmad Roriq, op. Cit., hlm. 87

34

9. Paman se ayah (Saudara laki-laki ayah se ayah)

10. Anak laki-laki paman se kandung.

11. Anak laki-laki paman se ayah.

12. Saudara kakek se kandung (Bapak ayah se kandung).

13. Saudara kakek se ayah (Bapak ayah se ayah).

14. Anak laki-laki saudara kakek se kandung.

15. Anak laki-laki saudara kakek se ayah.

b) Wali Mu'tiq

Wali Mu’tiq yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan,

artinya seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seorang

perempuan, karena orang tersebut pernah memerdekakannya.

Untuk jenis kedua ini di Indonesia tidak pernah ada.

c) Wali Hakim

Wali Hakim yaitu Wali Nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan

wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah.53 Wali Hakim

baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak

ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui

tempat tinggalnya atau ghoib atau adhol (enggan).

Wali Hakim dapat bertindak menggantikan kedudukan

wali nasab apabila : 54

1. Wali Nasab tidak ada,

53DEPAG RI Direktorat Jendral Pembinaan Lembaga Agama Islam, op. cit., hal. 32 54DEPAG RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman Pegawai

Pencatatan Nikah, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1981, hlm. 53

35

2. Wali Nasab bepergian jauh atau tidak di tempat tapi tidak

memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada di

tempat,

3. Wali Nasab kehilangan hak perwaliannya,

4. Wali Nasab sedang berihram, haji atau umrah,

5. Wali Nasab menolak bertindak sebagai wali (wali Adhol).

d) Wali Muhakam

Wali Muhakam yaitu wali nikah yang terdiri dari seorang

laki-laki yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk

menikahkan mereka,55 dikarenakan tidak ada wali nasab, wali

mu'tiq, dan wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini di Indonesia

sedikit sekali kemungkinan terjadinya. Berdasarkan hal-hal

tersebut maka yang lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan

Wali Hakim saja.

5. Syarat-syarat Wali

Untuk menjadi Wali seseorang harus memenuhi syarat-ayarat

sebagai berikut: 56

a. Islam,

b. Baligh,

c. Merdeka,

d. Laki-laki,

e. Berakal sehat,

55 Op cit. hlm. 144 56 Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Op cit. hlm. 123

36

f. Adil (tidak fasik).

Namun demikian Sayyid Sabiq berpendapat bahwa seorang

wali tidak dikatakan adil. Jadi seorang durhaka tidak kehilangan hak

sebagai wali dalam pernikahan. Kecuali kalau kedurhakaannya itu

melampaui batas-batas kesopanan yang berat, karena jelas Wali

tersebut tidak jiwa orang yang diutusnya, oleh karena itu hak menjadi

Wali hilang.57

6. Perpindahan hak Wali Nikah

Hak menjadi Wali Nikah terhadap perempuan adalah

sedemikian berurutan, sehingga jika masih terdapat Wali Nikah yang

lebih dekat maka tidak dibenarkan Wali Nikah yang lebih jauh itu

menikahkannya, jika masih terdapat Wali Nasab maka Wali Hakim

tidak berhak menjadi Wali Nikah. Dalam urutan Wali Nasab, Wali

Nikah yang lebih dekat disebut Wali Aqrab, sedang yang lebih jauh

disebut Wali Ab'ad, misalnya ayah dan kakek, ayah disebut Wali

Aqrab sedang kakek disebut Wali Ab'ad. Demikian pula antara kakek

dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara laki-laki sekandung,

antara saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah dan

seterusnya.

Hak Wali Nikah dari Wali Aqrab berpindah kepada Wali

Ab'ad apabila: 58

57 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 7 58 Dedi Junaedi, op.cit., hlm. 111

37

a. Wali Aqrab tidak beragama Islam sedang calon mempelai

perempuan beragama Islam.

b. Wali Aqrab orang yang fasiq.

c. Wali Aqrab belum baligh.

d. Wali Aqrab tidak berakal (gila atau majnun).

e. Wali Aqrab rusak ingatannya sebab terlalu tua atau sebab lain.

7. Wali Mujbir

Wali Mujbir yaitu seseorang atau Wali yang berhak

mengakad nikahkan orang yang diwakilkan tanpa menanyakan

pendapat mereka terlebih dahulu, dan akadnya berlaku juga bagi

orang yang diwakilkan tanpa melihat ridho tidaknya.59

Ulama yang membolehkan Wali (ayah dan kakek)

menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-

syarat sebagai berikut: 60

a. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak,

b. Laki-laki pilihan Wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang

akan dinikahkan,

c. Calon suami harus mampu membayar mahar mitsil,

d. Antara gadis dan calon suami tidak ada permusuhan,

e. Laki-laki pilihan Wali akan dapat memenuhi kewajiban-

kewajibannya sebagai suami yang baik dan tidak terbayang akan

berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan isteri.

59 Ibid, hlm. 16 60 Sahal Mahfud, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat, Surabaya:

Ampel Suci, 2003, hlm. 10

38

Sekilas dilihat mungkin Wali Mujbir dapat dengan mudah

menggunakan hak ijbarnya, namun tidak boleh dikesampingkan

bahwa salah satu prinsip pernikahan dalam Islam adalah persetujuan

masing-masing pihak dan didasarkan atas perasaan suka rela.

8. Wali Adhol

a. Pengertian Wali Adhol

Wali Adhol adalah Wali yang enggan atau Wali yang

menolak. Maksudnya adalah seorang Wali yang enggan atau

menolak menjadi Wali dalam pernikahan anak perempuannya

dengan seorang laki-laki yang sudah menjadi pilihan anaknya.61

Apabila seorang perempuan telah meminta kepada

Walinya untuk dinikahkan dengan laki-laki seimbang (sekufu)

dan Walinya berkeberatan dengan tidak ada alasan, maka Hakim

berhak menikahkannya setelah ternyata bahwa keduanya sekufu

dan setelah memberi nasehat kepada Wali agar mencabut

keberatannya itu.62

b. Penetapan Adholnya Wali

Adapun penetapan Adholnya wali dalam Peraturan

Menteri Agama Republik Indonesia No. 2 tahun 1987 dijelaskan

dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:63

1. Pasal 2 a) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di

wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstratetorial Indonesia ternyata tidak mempunyai wali

61 Ahrun Khoeruddin, Pengadilan Agama, Bandung: Citra Aditia Bakti, 1999, hlm. 47 62 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, cet. 37, 2004, hlm. 38 63 Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987

39

Nasab yang berhak atau wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau Adhol, maka nikahnya dapat dillangsungkan dengan wali Hakim.

b) Untuk menyatakan Adholnya wali sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal colon mempelai wanita.

c) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan Adholnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.

2. Pasal 3

"Pemeriksaan dan penetapan Adholnya wali bagi calon mempelai wanita warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.

Dalam kenyataan di masyarakat sering terjadi bahwa

seorang wanita atau bakal calon mempelai wanita berhadapan

dengan kehendak orang tuanya atau walinya yang berbeda,

termasuk pilihan seorang laki-laki yang hendak dijadikan mantu

(suami) ada yang sama-sama setuju, mengizinkannya, atau

sebaliknya orang tua menolak kehadiran calon mantunya yang

telah menjadi pilihannya, mungkin karena orang tua telah

mempunyai pilihan lain atau karena alasan lain yang prinsip.

Perlu diketahui bahwa orang tua dan anak sama-sama

mempunyai tanggung jawab, bagaimana menentukan jodoh yang

sesuai dengan harapan dan cita-citanya, walaupun harus

berhadapan dengan kenyataan di mana orang tua dan anak

berbeda pandangan satu sama lain. Bahkan dalam kenyataan ada

seorang anak yang melarikan diri dengan laki-laki pilihannya

40

dengan tujuan hendak nikah tanpa prosedur yang berlaku. Hal

seperti ini bukan yang diinginkan hukum dan perlu dihindari,

pihak calon mempelai perempuan berhak mengajukan kepada

Pengadilan Agama agar pengadilan memeriksa dan menetapkan

adholnya.64 Jika ada wali Adhol maka wali Hakim baru dapat

bertindak melaksanakan tugas sebagai wali nikah setelah ada

penetapan Pengadilan Agama tentang adholnya wali.65

c. Faktor penyebab terjadinya Wali Adhol.

Setiap pernikahan disyaratkan adanya Wali bagi wanita,

maka jika pernikahan tidak dipenuhi adanya Wali bagi wanita,

maka pernikahannya adalah batal. Ini sebagai gambaran betapa

pentingnya kedudukan Wali sebagai wali nikah. Umumnya yang

menjadi Wali Nikah adalah orang tua kandung. Dan jika orang

tua berhalangan, maka bisa diwakilkan oleh paman, kakek,

saudara laki-laki sebagai Wali Nasab. Atau jika semuanya

berhalangan maka bisa diwakilkan Wali Hakim.66 Akan tetapi

bagaimana jika orang tua tapi tidak mau (enggan) menikahkan

anaknya? Jika hal ini terjadi, maka anak tersebut boleh

mengajukan permohonan wali Adhol di Pengadilan Agama.

Wali Adhol adalah wali yang menolak atau membangkang

menjadi wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya.

64 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 23 ayat 2 65 Ibid 66 Dr. Fuad Mohd Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya, 1996, hlm. 28.

41

Dalam hal wali Adlol (enggan), maka wali Hakim baru dapat

bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan

Agama tentang wali tersebut.

Adapun penyebab wali Adhol adalah sebagai berikut:

1. Status Sosial

Pada umumnya jika status sosial perempuan lebih

tinggi dari status sosial laki-laki, orang tua beranggapan kalau

anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang statusnya lebih

rendah, maka hanya akan membuat malu keluarga saja serta

merasa harkat dan martabatnya turun.

2. Berbeda agama atau bukan setaraf pengamalan agamanya

Sangat dipahami jika berbeda agama menjadi

penyebab seorang bapak menolak anak gadisnya menikah

dengan laki-laki yang berbeda keyakinan. Tapi pada

umumnya yang terjadi adalah seorang bapak melihat bahwa

calon suami anaknya pengalamannya kurang, dengan kata

lain, berbeda jauh pengamalan Agama yang dilakukan

bapaknya. Maka dengan hal tersebut dapat dipastikan si

bapak enggan menikahkan anaknya dengan calon suaminya

tadi.

3. Pernah mempunyai masalah Sosial

Sulit untuk merumuskan kata-kata yang tepat akan

tetapi sebagai gambaran ini, jika pernah terjadi masalah (baik

42

kecil atau besar) antara keluarga wanita dengan keluarga pria.

Maka sudah dapat dipastikan pasti muncul penolakan. Hanya

laki-laki tidak memerlukan Wali, maka laki-laki dapat

meminimalisir pertentangan dari keluarganya. Hal ini banyak

terjadi pada keluarga yang jarak rumahnya agak dekat (satu

lingkungan) yang menyebabkan dua keluarga tadi saling

mengetahui keadaan masing-masing, bahkan mungkin pernah

terjadi perselisihan antara tetangga. Jika hal ini terjadi, maka

sangat sulit untuk mengajak masing-masing orang tua

menurunkan gengsinya dan menerima keinginan anak-anak

mereka untuk menikah.

4. Status Duda

Tentu saja sebagai orang tua status anak menjadi

pertimbangan apakah jejaka atau duda, jika dudapun masih di

pertimbangkan lagi, apakah duda karena cerai atau duda

karena mati. Yang kerap menjadi masalah jika calon suami

anak tersebut akan menikah dengan duda cerai. Umumnya

orang tua masih sulit menerima jika calon menantunya adalah

duda cerai, apalagi jika anaknya masih gadis, pasti kecurigaan

dan kekawatiran apa penyebab perceraiannya, bagaimana jika

kelak anaknya juga menjadi korban perceraian. Walaupun

anak gadisnya berusaha meyakinkan bapaknya bahwa

suaminya adalah yang terbaik. Dan jika hati bapak tidak bisa

43

luluh, maka jalan yang harus ditempuh adalah mengajukan

permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan.67

5. Orang tua sudah mempunyai calon sendiri bagi anak

perempuannya.

Pada umumnya jika orang tua sudah mempunyai calon

sendiri buat anak perempuannya sedangkan anak tersebut

juga sudah mempunyai pilihan sendiri, maka kemugkinan

besar yang terjadi adalah perselisihan antara orang tua dengan

anaknya dikarenakan mereka sama-sama mempertahankan

pilihannya masing-masing.

67 Lily Ahmad, “Dispensasi Kawin vs Wali Adhol”, http://www.lilyahmad.com/13082009

44

44

BAB III

PERSEPSI ULAMA TERHADAP PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM

KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL

DI DESA UJUNGGEDE KEC. AMPELGADING KAB. PEMALANG

A. Gambaran Umum Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten

Pemalang.

1. Kondisi goegrafis

Desa Ujunggede ini letaknya di tengah dari desa-desa yang ada di

Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang. Dari desa-desa yang ada

di wilayah Kecamatan Ampelgading, desa tersebut letaknya sangat

strategis dibanding desa-esa yang lain di Kecamatan Ampelgading karena

dekat dengan jalur Pantura, di samping itu Desa Ujunggede juga dekat

dengan pusat perbelanjaan yang sering dikunjungi masyarakat Kecamatan

Ampelgading. Letak Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading

Kabupaten Pemalang adalah dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Jatirejo

Sebelah Selatan : Desa Losari

Sebelah Barat : Desa Cibiuk

Sebelah Timur : Desa Purwoharjo

45

2. Kondisi Demografi

Desa Ujunggede memiliki wilayah yang cukup luas kira-kira

mencapai 1,7 km², sedangkan jumlah penduduknya 2.701 orang dengan

perincian sebagai berikut:

a. Menurut jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

1108 1593

Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009

b. Menurut mata pencaharian (bagi umur 10 tahun ke atas)

Mata Pencaharian Jumlah Petani 400 Buruh tani 250 Pengusaha 5 Buruh Industri/bangunan 105 Pedagang 200 Angkutan 20 PNS / ABRI 10 Pensiun 5 Lain-lain 150

Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009

c. Menurut Pendidikan (bagi umur 5 tahun ke atas)

SD Tamat Tidak Sekolah Tidak

Tamat Belum Tamat

Tamat SLTP SLTA PT/Akademi

150 300 255 783 355 177 15 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009

46

d. Menurut Agama

Penduduk Desa Ujunggede mayoritas beragama Islam, adapun

rincian tempat ibadahnya adalah sebagai berikut:

1. Masjid : 3 buah

2. Musholla : 12 buah

Sedangkan perkembangan NTCR bisa dilihat pada tabel berikut ini:

Tahun Nikah Talak Cerai Rujuk Jumlah

2005 26 - 2 - 28

2006 30 3 1 1 35

2007 20 - - - 20

2008 24 2 - - 26

2009 15 - 3 1 19

Jumlah 115 5 6 2 128 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009

e. Keadaan atau Kondisi Pendidikan

Desa Ujunggede dalam pemerintahannya didukung oleh

berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang dapat menunjang

kegiatan belajar mengajar di desa tersebut. Adapun sarana pendidikan

dapat dilihat pada tabel berikut:

47

Sarana Pendidikan Formal

No Lembaga Pendidikan Jumlah

1. TK 3

2. SD 4

3. SMP 1

4 STM 1 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009

Sarana Pendidikan Non Formal

No Lembaga Pendidikan Jumlah

1. Majlis Ta’lim 4

2. TPQ 2

3. Madrasah Diniyah 4

Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009

f. Keadaan Sosial Keagamaan

Masyarakat Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading

Kabupaten Pemalang setelah melakukan aktifitas sehari-hari dalam

rangka untuk pemenuhan kebutuhan hidup untuk keluarga, juga

ternyata mereka aktif melakukan kegiatan keagamaan, ini terbukti

dengan banyak berdirinya Jam’iyah atau pengajian baik itu pengajian

ibu-ibu maupun bapak-bapak. Dalam rangka ikut menyemarakkan

kegiatan keagamaan para pemuda juga berperan aktif dengan

mendirikan perkumpulan pengajian khusus remaja.

48

Kegiatan seperti ini ditujukan untuk menyeimbangkan antara

kebutuhan jasmaniyah dengan rohaniyah karena pada kegiatan tersebut

selalu diiringi dengan ceramah keagamaan oleh para tokoh agama yang

sedikit banyak kegiatan semacam itu dijadikan sebagai sarana untuk

menambah pengetahuan ilmu agama. Dengan seimbangnya kebutuhan

jasmaniyah dengan rohaniyah diharapkan ketenangan dalam hidup

dapat tercapai.

Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, terdapat berbagai

macam kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa

Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang dan

biasanya setiap orang hanya mengikuti satu kelompok pengajian.

Berikut bentuk kegiatan keagamaan yang ada:

1) Barzanji

Kegiatan ini dilakukan oleh para bapak dan ibu serta

kelompok remaja yang masing-masing kelompok berasal dari

berbagi jenis majlis ta’lim. Kegiatan ini rutin dilakukan seminggu

sekali sesuai dengan hari yang telah ditentukan. Kegiatan ini di

lakukan di rumah anggota masing-masing sesuai dengan jadwal

yang telah ditentukan.

2) Pengajian tafsir Al-Qur’an

Kegiatan pengajian ini dilakukan seminggu dua kali yaitu

malam kamis dan malam minggu, kegiatan ini dilakukan secara

berjamaah artinya diikuti orang-oraang desa setempat di sebuah

49

masjid, jadi tiap orang masing-masing membawa al-Quran untuk

membaca dan menyimak keterangan dari pak kyai. Sebelum

kegiatan ini dimulai biasanya di awali dengan istighotsah terlebih

dahulu yang dipimpin oleh pak kyai sendiri.

3) Tahlil

Pembacaan tahlil ini umumnya dilakukan setiap malam

Jum’at, kemudian ketika ada syukuran, hajatan pernikahan,

khitanan dan kematian.

4) Istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani

serta pengajian pada malam Jum’at Kliwon

Istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir

al-Jaelani ini dilakukan setiap Jum’at Kliwon, kegiatan ini

merupakan program rutin masyarakat Desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang dalam rangka pengembangan

Dakwah Islamiyah. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran pada

setiap Masjid yang ada di Desa Ujunggede, kegiatannya berupa

istightosah dan pengajian umum yang diisi oleh ulama setempat,

setelah istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir

al-Jilani selesai maka dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh

ulama setempat.

B. Praktek Pernikahan oleh Wali Hakim karena Wali Adhol

Praktek pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan wali adhol

yang dilakukan pada posisi perempuan yang tidak direstui oleh walinya di

50

Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang sejak tahun

2005 hingga tahun 2009 bisa dibilang sesuatu yang tidak aneh lagi, artinya

kejadian seperti ini sudah pernah terjadi meskipun tidak pasti tiap tahunnya.

Dalam kurun waktu 5 tahun ini, penulis menemukan 6 pasangan yang

melakukan pernikahan tersebut, namun karena keterbatasan penulis hanya

mengambil 3 pasangan yang dianggap cukup mewakili dari enam pasangan

pernikahan tersebut, karena dari keseluruhan pasangan pernikahan tersebut

ulama desa setempat mengesahkan pernikahan semacam itu, walaupun ada

sebagian ulama dari desa tersebut tidak mengesahkannya.

Sebut saja SLM dan YL, pasangan tersebut mengakui bahwasanya

mereka telah melakukan pernikahan dengan wali Hakim walaupun sebenarnya

walinya masih ada, karena faktor tidak direstui oleh walinya, sehingga mereka

nekat nikah tanpa menggunakan walinya (ayahnya). Keadaan inilah yang

memaksa ke dua pasangan tersebut (SLM dan YL) untuk melangsungkan

pernikahannya karena mereka sudah saling mencintai bahkan YL pernah

mencoba melakukan bunuh diri karena dia akan dijodohkan oleh ayahnya

dengan laki-laki yang tidak disukainya. Awalnya SLM ragu untuk menikahi

YL dikarenakan tidak disetujui oleh ayahnya, di karenakan ayah YL sudah

mempunyai pilihan sendiri. Akan tetapi SLM mengaku dia sudah siap

menikah sebab di samping sudah bekerja, usia SLM juga sudah cukup untuk

melangsungkan pernikahan.

Pada waktu itu SLM sudah berusaha membujuk orang tua YL agar

mau menerima SLM, dan SLM sempat melamar YL, akan tetapi dengan

51

berbagai alasan, orang tua YL tetap tidak mau menerima lamaran dari SLM.

Waktu itu SLM hampir putus asa dengan ditolaknya lamaran dari orang tua

YL, kemudian SLM sempat melarikan diri ke Jakarta demi menghindar dari

YL. Justru dengan SLM pergi ke Jakarta untuk menghindari YL malah

memperkeruh masalah sebab YL malah sering kabur dari rumahnya untuk

mencari keberadaan SLM sehingga orang tua YL sering merasakan

kecemasan.

Dengan kepergian YL dari rumahnya maka orang tua YL sering

menelpon keluarga SLM untuk mengetahui keberadaan anaknya, sehingga

keluarga dari pihak SLM juga menghubungi SLM untuk menanyakan hal yang

sama. Setelah SLM mengetahui keadaan YL seperti itu, SLM merenung

beberapa hari di Jakarta, SLM mulai berpikir tentang masalah yang

dihadapinya. Pada akhirnya SLM pulang menemui YL untuk membicarakan

masalahnya.

Setelah mereka membicarakan masalah yang dihadapinya, akhirnya

mereka memutuskan untuk menikah dengan wali Hakim kepada seorang kyai

(Ulama Desa Ujunggede), akan tetapi sebelum mereka meminta Kyai tersebut

untuk menikahkan, SLM dan YL menceritakan semua keadaan yang mereka

hadapi kepada Kyai tersebut. Setelah mendengar cerita dari pasangan tersebut,

Kyai tersebut langsung membicarakan langsung kepada ulama-ulama lainnya

di Desa Ujunggede tentang masalah tersebut. Namun karena berbagai

pertimbangan kemaslahatan, akhirnya mereka (SLM dan YL) melaksanakan

pernikahan setelah ulama desa setempat memperbolehkan pernikahan tersebut.

52

Setelah SLM dan YL sudah melaksanakan pernikahan, kemudian mereka

mendaftarkan pernikahannya ke KUA agar tercatat sebagai pernikahan yang

resmi. Mereka (SLM dan YL) meminta Wali Hakim untuk menikahkannya

meskipun Walinya ada tetapi Adhol.1

Sedikit berbeda dengan yang diungkapkan oleh pasangan HMZ dan

SN, mereka justru memilih jalan nikah dengan wali Hakim sebab hubungan

mereka tidak direstui oleh orang tua pihak perempuan dikarenakan HMZ

duda.

Ketika dikonfirmasi mengenai penyebab terjadinya pernikahannya,

mereka menjawab dengan tenang, bahwa sebenarnya mereka sungguh ingin

menikah, HMZ sudah melamar SN akan tetapi lamarannya ditolak. Berhubung

kami (HMZ dan SN) sudah terlanjur saling mencintai dan masyarakatpun

sudah mengetahui hubungan kami (HMZ dan SN), hubungan kami tidak

direstui oleh orang tua dan keluarga SN, dikarenakan saya (HMZ) duda, maka

pihak keluarga SN meragukan keberadaan saya (HMZ) dan orang tua SN tidak

merestui hubungan kita. Dan dari pada menimbulkan fitnah, dan terjerumus ke

lembah perzinaan, maka akhirnya kami mengambil alternatif nikah dengan

menggunakan wali Hakim. HMZ dan SN sebelum melaksanakan

pernikahannya, mereka konsultasi terlebih dahulu kepada Ulama setempat,

apakah pernikahan mereka boleh dilaksanakan atau tidak. Akan tetapi dengan

berbagai pertimbangan-pertimbangan ulama setempat, maka pernikahannya

1 Data dari hasil wawancara dengan Saudara SLM, tanggal 21 Juli 2009

53

bisa dilaksanakan, dan pada saat Ijab-Qobul dilaksanakan, keluaraga HMZ

ikut menyaksikannya.2

Sedangkan pasangan yang ketiga yaitu DD dan ZN, pasangan ini

ketika dikonfirmasi mengenai penyebab terjadinya pernikahan tidak jauh beda

dengan pasangan HMZ dan SN bahkan pada proses Ijab-Qobulnya saja sama,

akan tetapi yang berbeda hanya faktor penyebab dari orang tua ZN tidak

merestui hubungan mereka (DD dan ZN) dikarenakan kedua keluarga dari

saudara DD dan ZN pernah terjadi perselisihan.3

C. Pendapat Masyarakat tentang pernikahan oleh wali Hakim kaitannya

dengan wali Adhol

Menanggapi kasus tersebut, Bapak Hambali mengatakan bahwa

penduduk Indonesia dalam hal pernikahan itu mengikuti 2 hukum, yaitu

hukum Negara dan hukum Agama. Masalah pernikahan dengan tidak

menggunakan wali memang masih khilafiyah, ada yang memperbolehkan dan

ada yang tidak memperbolehkan.4 Adanya hukum Negara adalah untuk

menjembatani masalah-masalah yang terjadi, sebab tanpa adanya hukum

Negara yang pasti negara akan kacau balau, karena masing-masing orang

mempunyai pendapat dan keyakinan yang berbeda-beda.

Ketika disinggung mengenai pernikahan perempuan oleh wali Hakim

kaitannya wali Adhol yang terjadi di Desa Ujunggede beliau menjelaskan

bahwa pernikahannya tetap sah, dikarenakan tingkat kemaslahatannya lebih

2 Data dari hasil wawancara dengan Saudara HMZ, tanggal 21Juli 2009 3 Data dari hasil wawancara dengan Saudara DD, tanggal 23 Juli 2009 4 Data dari hasil wawancara dengan bapak Hambali, beliau adalah mantan Desa

Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang pada tanggal 22 Juli 2009.

54

besar. Pada dasarnya nikah tanpa persetujuan wali, pernikahan tidak dapat di

laksanakan. Namun, jika terjadi perselisihan wali Nasab dengan wanita yang

akan menikah, izin wali Nasab itu dapat diganti dengan izin wali Hakim.

Dalam masyarakat kami biasanya ketika ada kasus semacam itu, kami tidak

langsung menghukumi haram pernikahan seperti itu, akan tetapi kita lihat

terlebih dahulu kronologisnya dari pernikahan itu, walaupun pernikahan

semacam itu bertentangan dengan Hukum Islam.

D. Pendapat Ulama tentang pernikahan oleh wali Hakim karena walinya

Adhol

Salah seorang Ulama Desa Ujunggede (Ky. Anwar ‘Asy’ari)

menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seorang gadis tanpa wali

(ayah dari calon mempelai perempuan) pada dasarnya tidak sah, akan tetapi

kalau pernikahannya itu ditempuh melalui wali Mujbir malah mengakibatkan

madhorot dan menimbulkan malapetaka bagi pasangan tersebut, maka

pernikahan seperti itu sah sah saja, dikarenakan tingkat kemaslahatannya lebih

besar. Beliau mengesahkan pernikahan ini antara lain berdasarkan kaidah

usuliyah yang berbunyi ”Menolak kerusakan harus di dahulukan dari pada

menarik kemaslahatan”. Beliau menjelaskan bahwa jika terjadi perlawanan

antara kerusakan dan kemaslahatan pada suatu perbuatan, dengan kata lain

jika satu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung

kerusakan dan ditinjau dari segi yang lain mengandung kemaslahatan, maka

segi larangannya yang harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah

meninggalkan larangan lebih besar dari pada perintah menjalankan kebaikan.

55

Beliau juga menambahkan syarat pernikahan mereka (pelaku

pernikahan) sudah terpenuhi dan tidak ada larangan syar’i untuk terjadi

pernikahan, namun hanya saja ayah kandung perempuan enggan menikahkan

mereka. Dan apabila wali nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali

Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh sekali-kali

pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali ab’ad.5

Kemudian beliau juga menambahkan bahwa masyarakat itu bersifat

majemuk dan masing-masing mempunyai ciri-ciri serta tradisi yang berbeda-

beda pada masing-masing daerah apalagi dalam satu desa. Dalam satu

keluargapun kemajemukan itu selalu ada dan selalu saja ada perbedaan

pendapat, karena perbedaan pendapat adalah rahmat dari Allah SWT. Jadi kita

tidak boleh menyalahkan pendapat ataupun keyakinan orang lain ketika terjadi

sebuah perbedaan.

Hal senada juga dikatakan oleh Bapak K.H. Ihwan, kemudian bahwa

pernikahan perempuan dengan wali Hakim karena walinya Adhol itu

hukumnya sah apabila alasan wali yang enggan menikahkan tersebut dengan

alasan yang tidak syar’i, akan tetapi kalau alasannya syar’i maka perwaliannya

tidak bisa pindah ke wali Hakim dan wali tersebut harus ditaati. Kemudian

beliau juga menjelaskan bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah

minta dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu

5 Wawancara dengan Bapak K. Anwar As’ari, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009.

56

wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. (lihat kitab

Muhadzab, juz. 3, hlm. 37)6

Beliau juga menambahkan bahwa pernikahan dengan tanpa Wali

masih khilafiyah (lihat kitab Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid). Di

samping itu beliau juga melihat tingkat kemaslahatannya lebih besar. Beliau

juga berpendapat mengenai wanita menikah tidak harus menggunakan wali,

hal ini didasarkan pada analisis QS. Al-Baqarah: 230 dan 232.

Hal tersebut di atas, berbeda dengan pendapat K. Arifin, beliau

berpendapat bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol

itu tidak sah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW yang menjelaskan

tentang larangan menikah dengan tidak menggunakan wali, beliau tidak

mengesahkan pernikahan tersebut karena seorang Hakim tidak boleh

menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya

dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah

sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-

laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah dibanding pilihan

putrinya.(lihat kitab I’anah at-Thalibin, juz 3).7

Demikianlah pendapat-pendapat ulama Desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang, mengenai pernikahan yang dilangsungkan

dengan tanpa wali, yang akhirnya dapat dibuat garis besar sebagai berikut:

6 Wawancara dengan Bapak K.H. Ihwan, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009. 7 Wawancara dengan Bapak K. Arifin, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading

Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009.

57

1. K. Anwar ‘Asy’ari berpendapat bahwa perempuan yang menikah dengan

tanpa menggunakan wali memang khilafiyah, akan tetapi jika

pernikahannya dilaksanakan dengan wali Mujbir malah bisa

mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah, karena di

pandang tingkat kemaslahatannya lebih besar. Beliau juga menambahkan

bahwa apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali

Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh

sekali-kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali Ab’ad.

2. K.H. Ihwan, beliau sependapat dengan K. Anwar ‘Asy’ari, dan masih

menurut beliau bahwa pernikahan perempuan dengan tanpa wali itu sah

akan tetapi masih khilafiyah. Beliau juga menambahkan apabila seorang

perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-laki yang

seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali

Hakim yang akan menikahkan.

3. K. Arifin, beliau tidak mengesahkan pernikahan tersebut, hal ini

didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW bahwa nikah tidak sah

kecuali dengan menggunakan wali, dan keterangan dalam kitab I’anah at-

Thalibin bahwa Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah)

tidak setuju menikahkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil

pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang

juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya

lebih rendah dibanding pilihan putrinya.

58

BAB IV

ANALISIS PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI

HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL

A. Analisis terhadap Persepsi Ulama tentang Pernikahan oleh Wali Hakim

kaitannya dengan Wali Adhol

Dalam ajaran Islam orang tua tidak boleh memaksa mengawinkan anak

putrinya yang sudah dewasa dengan laki-laki yang tidak disukainya.1 Orang

tua berkewajiban meminta pendapat anak putrinya mengenai laki-laki yang

akan dijodohkan, apakah ia mau menerima laki-laki itu atau menolaknya.

Apabila anak perempuannya itu janda, maka ia harus menyampaikan

persetujuannya secara terus terang. Tapi jika anak perempuannya gadis, maka

diamnya adalah tanda setuju karena diakuinya perasaan malu. Jika ia

mengatakan ”tidak” maka orang tua tidak berwenang untuk memaksakan ia

nikah dengan laki-laki yang tidak disukai. Kerena dengan orang tua memaksa

anak perempuannya nikah dengan laki-laki yang tidak disukai bisa

mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, bisa saja anak perempuannya

kabur dari rumahnya dan melakukan pernikahan yang tidak sesuai dengan

prosedur hukum, bahkan anak tersebut bisa bunuh diri karena akan dijodohkan

dengan laki-laki yang tidak disukainya.

Pada masa sekarang memang banyak terjadi perselisihan antara orang

tua dengan anak perempuannya mengenai hal pernikahan. Oleh sebab karena

1 Ghazali Mukri, Panduan Fiqh Perempuan, Jogjakarta: Salma Pustaka, 2000, hlm. 127

59

terjadi perselisihan antara oarang tua dengan anak perempuannya

kemungkinan besar orang tua tidak bersedia menikahkan anak perempuannya

atau enggan (Adhol) menjadi wali bagi anak perempuannya.

Salah satu prinsip pernikahan dalam Islam adalah persetujuan masing-

masing pihak dan didasarkan atas perasaan sukarela. Hal ini sebagaimana

hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda:

ال : سول اهللا صلى اهللا عليه و سلّمقال ر: ىب هرريرة رضى اهللا عنه قالأعن

كيفيا رسول اهللا: قالوا , ذن تستأالبكر حىت تنكح مر و الحىت تستأتنكح االيم

2)متفق عليه (أن تسكت: إذا ؟ قال Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata): Sesungguhnya Rasulullah

saw bersabda: Tidak boleh dinikahkan perempuan janda itu sehingga diperintah dan perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya, kemudian para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, Bagaimana izinnya perempuan gadis itu? Beliau menjawab: Diamnya (tanda izinnya). (Muttafaq ‘alaih)

Dari hadits di atas terlihat bahwa seorang perempuan mempunyai hak

untuk menolak dinikahkan, yaitu dengan tidak memberikan izin kepada

walinya untuk menikahkan. Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa Nabi

bersabda:

إن انشتجروا و : م .قال رسول اهللا ص, قالترضى اهللا عنها عن عائشة

3}متفق عليه{ طان وىل من ال وىل لهلفاالسArtinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw bersabda:

Jika mereka (para Wali) menolak menikahkan, maka sultanlah Wali bagi orang yang tidak mempunyai Wali. (Muttafaq ‘alaih)

2 Muhammad Bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, juz 3, Cairo: Syirkah

Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 118 3 Hafid Abi Abdillah Bin Yazid al-Qoswaini, Sunan Ibn Majah Juz 1, Beirut: Darul Fikri

Arabiyah, hlm. 605

60

Pernikahan dengan wali Hakim kaitannya kaitannya dengan wali yang

masih ada tetapi adhol, menurut para ulama desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang di antaranya K. Anwar As’ari dan K.H.

Ihwan, mereka berpendapat bahwa pernikahan perempuan dengan wali Hakim

kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah, karena di pandang

tingkat kemaslahatannya lebih besar, sebab apabila pernikahan tersebut

dilakukan dengan prosedur yang ada justru malah memberikan madhorot bagi

pelaku pernikahan tersebut. Bapak K.H. Ihwan berpendapat bahwa pernikahan

perempuan yang tidak menggunakan wali masih khilafiyah, di samping itu

apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-

laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka

wali Hakim yang akan menikahkan.

Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan pendapat imam mazhab

mengenai wali dalam pernikahan:

1. Menurut pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i beserta penganutnya berpendapat tentang wali Nikah ini

bertitik tolak dari Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam

Ahmad dan Al Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah SAW

bersabda:

اميا امراة نكحت : م .قال رسول اهللا ص, قالترضى اهللا عنها عن عائشة

4}متفق عليه {بغري اذن وليها فنكاحها باطل

4 Abu Dawud Sulaiman Ibn Asy’as Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub

Al Ilmiyah, 1996. hlm. 204

61

Artinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa diantara perempuan yang menikah dengan tidak seizin Walinya, maka nikahnya batal.(Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa seorang perempuan

yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti jika tanpa

wali maka nikahnya tidak sah.

Dari hadits Rasulullah SAW yang lain yang diriwayatkan oleh

Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

5).روه امحد(النكاح اال بويل وشاهدي عدل : م .قال رسول اهللا ص

Artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan Wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil.

2. Menurut pendapat Imam Hanafi

Menurut Hanafi, nikah (pernikahan) itu tidak merupakan syarat

harus memakai wali. Imam Abu Hanifah atau Mazhab Hanafi dan

beberapa penganutnya mengatakan bahwa akibat ijab (penawaran), akad

nikah yang diucapkan oleh perempuan yang dewasa dan berakal (aqil

baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga menurut Abu Yusuf,

Imam Maliki dan riwayat Ibnu Qosim. Beliau itu mengemukakan pendapat

berdasarkan analisis dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW sebagai

berikut di bawah ini:

βÎ* sù $yγ s) ¯=sÛ Ÿξsù ‘≅ Ït rB … ã&s! .⎯ ÏΒ ß‰÷è t/ 4© ®L ym yxÅ3Ψ s? % ¹` ÷ρy— … çν u ö xî 3

Artinya : “Apabila suami mentalaq isterinya (isteri-isteri) sesudah talaq yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya

5 Ibid. hlm. 229

62

seningga dia (perempuan ) itu menikahi calon suami mereka yang baru”. (QS. Al-Baqarah:230)6

# sŒ Î) uρ ãΛ ä⎢ ø) ¯=sÛ u™!$|¡ÏiΨ9 $# z⎯ øón=t6 sù £⎯ ßγ n=y_r& Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&

Artinya: “Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganlah kamu (para Wali) menghalangi mereka nikah lagi dengan calon suaminya”. (QS. Al-Baqarah:232)7

Jadi menurut Imam Hanafi, wali nikah itu tidak merupakan syarat sah

nikah, akan tetapi baik calon mempelai laki-laki atau calon mempelai

perempuan yang hendak menikah hendaknya meminta restu atau izin

terlebih dahulu dari Walinya.

Ulama Hanafiyah juga berpendapat bahwa hadits tentang

disyaratkannya Wali dalam pernikahan yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.

dianggap lemah. Sebab, hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok orang

dari Ibnu Juraij dan az-Zuhri, sementara itu Ibnu Ulayyah mengatakan dari

Ibnu Juraij bahwa ia (Ibnu Juraij) pernah menanyakan kepada az-Zuhri

tentang hadits tersebut, tetapi ia tidak mengenalnya.8 Sebagai dalil atas

kebenaran hal itu, mereka mengatakan bahwa az-Zuhri sendiri tidak

mensyaratkan adanya wali, dan pensyaratan wali juga bukan merupakan

pendapat Aisyah r.a.9

6 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56

7 Ibid 8 Al- Faqih Abul Walid Muhammad Bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam Ghozali Said, MA, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, hlm. 416.

9Dalam hal ini masih terjadi kontraversi, apakah suatu ketetapan hukum berdasarkan “fatwa sahabat” atau berdasarkan “subtansi hadits” yang diriwayatkan.

63

3. Menurut pendapat Imam Malik

Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa

tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.10 Akan tetapi Dawud

memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya wali pada

gadis, dan tidak tidak mensyaratkan pada janda.11

Berdasarkan pendapat imam mazhab dan hadits Nabi tersebut di atas,

pernikahan perempuan dengan wali Hakim kaitannya oleh wali yang masih

ada tetapi Adhol itu sah. Oleh karena itu para ulama desa Ujunggede

Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang juga berbeda-beda pendapat

mengenai hal tersebut.

Berikut ini adalah analisis penulis terhadap persepsi Ulama Desa

Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang terhadap

pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol:

1. Ulama yang mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan

wali Adhol

Apabila kita bandingkan pendapat-pendapat para ulama serta

sumber-sumber hukum mereka yang mengesahkan pernikahan dengan

tanpa wali dengan pendapat-pendapat imam mazhab seperti yang tersebut

di atas, maka dapat diketahui bahwasanya mereka mengikuti mazhab

Hanafi. Penulis memandang apapun dalilnya dan alasan pengambilan suatu

10Ibid. hlm. 409. 11Ibid, hlm. 410.

64

hukum, maka tidak dipandang suatu perbedaan, tetapi rahmat Allah yang

telah memberi akal pada manusia.

Penulis memandang dengan adanya perbedaan pendapat para

ulama, di samping rahmat dari Allah SWT, hal ini juga suatu wujud

dispensasi agama (al-Rukhsah fi al-Din) bagi para makhluk-Nya, hal ini

sesuai hadits Nabi SAW, bahwa agama itu mudah, hanya saja manusianya

yang mempersulit sendiri. Namun kaitannya dengan pernikahan oleh wali

Hakim kaitannya dengan yang masih ada tetapi Adhol, mereka (ulama desa

setempat) mengesahkan pernikahan tersebut berdasarkan aspek

kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut, sebab jika

pernikahannya dilaksanakan dengan menggunakan wali Mujbir bisa

mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah, karena di

pandang tingkat kemaslahatannya lebih besar tapi dengan syarat mereka

harus sekufu, tidak ada mawani’ nikah pada mereka, dan keengganan para

wali tidak berdasarkan alasan yang syar’i. Dalam hal ini penulis juga

sependapat dengan para ulama, juga menurut hemat penulis jika

pernikahan tersebut tidak dilaksanakan justru mereka bisa terjerumus ke

lembah perzinaan, di mana zina itu dalam agama jelas dilarang. Jadi

kesimpulannya wali yang enggan menikahkan anaknya itu tidak

berpengaruh pada sahnya suatu akad pernikahan.

65

2. Ulama yang tidak mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya

dengan wali Adhol

Ulama yang tidak mengesahkan pernikahan ini berdasarkan pada

hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa nikah tidak sah kecuali

dengan adanya wali. Menurut beliau bahwa Hakim tidak boleh

menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya

dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si

ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan).

Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah di

banding pilihan putrinya.

Menurut analisis penulis terhadap ulama yang tidak mengesahkan

pernikahan tersebut, apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas

mengacu pada hadits nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

.)امحدروه (النكاح اال بويل : م .قال رسول اهللا ص

Artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan Wali”

اميا امراة نكحت : م .قال رسول اهللا ص, قالترضى اهللا عنها عن عائشة

}متفق عليه{بغري اذن وليها فنكاحها باطل Artinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw

bersabda: Barang siapa diantara perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal.(Muttafaq ‘alaih)

Hal ini dikarenakan wali sangat penting dalam suatu pernikahan

dan keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakam syarat sahnya

sehingga tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang

66

melaksanakan akad nikah, ini adalah pendapat tiga imam madzhab yaitu

Malik, Syafi’i dan Ahmad serta Jumruh ulama. Sedangkan hadits yang

diriwayatkan oleh ’Aisah di atas sangat jelas sekali menyatakan bahwa

pernikahan itu batal tanpa adanya wali. Akad nikah merupakan sesuatu

yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at

pernikahan tersebut dan madorotnya, perlu pengamatan yang seksama dan

musyawarah terlebih dahulu. Sementara perempuan biasanya pendek

pandangannya dan singkat cara berpikirnya atau jarang ada yang berpikir

panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan

pertimbangan akan akad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi

hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘akad

berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.

Penulis memandang bahwa hukum Islam itu tidak sekejam

sebagaimana orang tua bisa memaksa anak perempuannya untuk menikah

dengan orang yang tidak disukainya, sebab hal ini bisa membawa

malapetaka bagi anak tersebut dan orang tuanya. Penulis memandang

bahwa orang tua yang menggunakan hak ijbarnya jelas bertentangan

dengan prinsip pernikahan dalam Islam, karena pada dasarnya prinsip

pernikahan adalah persetujuan masing-masing pihak dan didasarkan atas

perasaan suka rela. Jadi orang tua tidak boleh semaunya menjodohkan

anaknya sebab dia juga mempunyai hak untuk memilih jodohnya dan yang

akan menjalani kehidupannya dengan pasangannya.

67

Dalam membicarakan masalah ijtihadiyah, jangan berpikir itu

membawa perpecahan, berpikirlah secara positif bahwa perbedaan

pendapat itu menjadi arena untuk mencari dan menguji kebenaran kedua

belah yang saling adu argumentasi dan logika, sehingga pendapat apapun

yang disimpulkan adalah sesuai dengan bobot dari alasan masing-masing,

sebab dari cara berpikir seseorang dan kemampuan ilmu seseorang pasti

berbeda-beda sehingga wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan

para Ulama.

B. Analisis terhadap pertimbangan hukum persepsi Ulama terhadap

Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol

Wali merupakan unsur paling penting dalam suatu akad nikah,

sebagaimana pendapat ulama yang dianut oleh umat Islam di Indonesia,

bahwa pernikahan tanpa adanya wali maka nikahnya tidak sah. Kendati

demikian, dalam kenyataan kadang terjadi bahwa wali karena alasan tertentu

enggan menikahkan anak perempuannya, sedang anak perempuannya tersebut

sangat menginginkan untuk menikah dengan calon pilihannya, sehingga untuk

bisa tetap melangsungkan pernikahannya mereka harus menggunakan wali

Hakim.

Menurut para ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading

Kabupaten Pemalang di antaranya bapak K. Anwar Asy’ari dan Bapak K.H.

Ihwan, mereka berpendapat bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya

dengan wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah, mereka mengesahkan

pernikahan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang

68

menuju kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut, dengan

kata lain mereka mengutamakan aspek kemaslahatannya.

Hukum pernikahan perempuan yang tidak menggunakan wali itu

ikhtilaf, ada yang membolehkan dan ada pula yang menganggap tidak sah.

Para ulama saling berbeda pendapat satu dengan lainnya.

بشرط؟ ليست ام النكاح صحة شروط من شرط الوالية هل العلماء اختلف

رواية ىف. الصحة ىف شرط اا و, بويل اال نكاح اليكون انه اىل مالك هبذف

12الشافعى قال وبه, عنه اشهب Artinya: Ulama berselisih pendapat apakah Wali menjadi syarat sahnya

nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa Wali, dan Wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi’i.

Dengan adanya perselisihan pendapat antara ulama mengenai wali

dalam pernikahan, para ulama di Desa Ujunggede juga terjadi perselisihan

pendapat mengenai pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang

masih ada tetapi Adhol.

Berikut ini adalah analisis penulis terhadap pertimbangan hukum

Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang

terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol:

1. Pertimbangan berdasarkan Kemaslahatan

Syari’at Islam bersifat umum, tidak hanya untuk sesuatu keadaan

tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian ini dalam keadaan

tertentu dapat menimbulkan kesulitan dan kemadorotan pada sebagian

12 Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jill, juz 2, 1409 H/1989M, hlm. 6

69

manusia. Dalam keadaan demikian syari’at Islam memberikan kelapangan

untuk menolak kesulitan yang dia hadapi. Sebagaimana Allah SWT

berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 sebagai berikut:

߉ƒÌムª! $# ãΝ à6Î/ tó¡ ãŠø9$# Ÿωuρ ߉ƒ ÌムãΝ à6Î/ uô£ãè ø9$#

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu”

Ayat ini menjelaskan adanya keringanan dan kemudahan terhadap

sesuatu beban hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan karena

adanya udzur tertentu. Al-Quran dalam menetapkan hukum tidak

menyulitkan manusia dalam pelaksanaannya dan tidak menetapkan hukum

di luar kemampuan manusia. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa

kemudahan dan keringanan ini meerupakan rahmat dari Allah SWT

kepada hamba-Nya.

Dalam hal ini kaitannya dengan pernikahan oleh wali Hakim

kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol para Ulama Desa

Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang dalam

mengesahkan pernikahan tersebut itu berdasarkan pada aspek

kemaslahatan dari latar belakang para pelaku pernikahan tersebut,

pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi

Adhol adalah sebuah keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu beban

hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan karena adanya udzur

tertentu, hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

70

درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل

Artinya: Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan

Bahwa jika terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan

pada suatu perbuatan, dengan kata lain jika satu perbuatan ditinjau dari

satu segi terlarang karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi

yang lain mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya yang harus

didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan

lebih besar dari pada perintah menjalankan kebaikan.

Penulis juga memandang bahwa hukum asal pernikahan adalah

sunnah, akan tetapi pernikahan bisa menjadi wajib jika orang yang telah

mempunyai keinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan

untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam pernikahan

serta ada kekhawatiran, apabila tidak nikah, maka akan tergelincir untuk

berbuat zina. Sebab menjaga diri dari perbuatan zina hukumnya wajib,

apabila dari seseorang tertentu penjagaan diri itu akan terjamin jika

dengan jalan menikah, maka menurut penulis kaitannya dengan kasus

perempuan yang nikah dengan wali Hakim karena walinya Adhol

melakukan pernikahan, maka pernikahan itu hukumnya wajib. Hal ini

sesuai dengan kaidah fiqhiyah bahwa sesuatu yang mutlak diperlukan

untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib. Dengan kata

lain apabila suatu kewajiban tidak terpenuhi tanpa adanya suatu hal, maka

hal itu wajib pula hukumnya. Menurut penulis penerapan kaidah tersebut

71

dalam masalah pernikahan apabila seseorang hanya dapat menjaga diri

dari perbuatan zina dengan jalan pernikahan, maka baginya pernikahan itu

wajib hukumnya.

2. Pertimbangan berdasarkan sudah terpenuhinya syarat-syarat pernikahan

Bahwa menurut mereka (para Ulama Desa Ujunggede) syarat

pernikahan mereka (pelaku pernikahan) sudah terpenuhi semua dan tidak

ada larangan syar’i yang menghalangi pernikahan mereka, namun hanya

saja ayah kandung perempuan enggan menikahkan mereka. Adapun alasan

wali tidak mau menikahkan tidak berdasarkan alasan yang syar’i. Menurut

penulis pernikahan tersebut juga sudah sesuai dengan UU Perkawinan,

menurut UU Perkawinan Bab: 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan, bahwa

perkawinan sah apabila dilakukan hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya. Dan bagi umat Islam, pernikahan sah apabila dilakukan

menurut Hukum Perkawinan Islam, dengan kata lain bahwa ketentuan

hukum agama yang menjadi penentu utama sah dan tidaknya pernikahan.

3. Pertimbangan berdasarkan walinya Adhol

Dan apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali

Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh sekali-

kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali ab’ad. Hal ini

menurut pandangan penulis, bahwa pernikahan dengan wali Hakim itu

sudah sesuai dengan teori sebab di dalam KHI sudah dijelaskan pada pasal

23 ayat 1 dan 2, dan PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 tentang Wali

Hakim.

72

4. Menimbang berdasarkan pada kitab Muhadzab

Bahwa dalam keterangan kitab Muhadzab yang berbunyi:

13طانوىل زوجها السلالو إن دعت املنكحة على كفؤ فعضلها

Bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan

dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya

menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, bahwa Nabi

bersabda:

و إن انشتجروا :م .قال رسول اهللا ص , قالت رضى اهللا عنهاعائشةعن

14)متفق عليه( فاالسلطان وىل من ال وىل لهMenurut pandangan penulis, berdasarkan hadits ini bahwa jika wali

enggan menikahkan anaknya, maka wali Hakimlah yang akan

menikahkannya.

5. Pertimbangan berdasarkan analisis QS al-Baqarah ayat 230, 232 dan 234

Bahwa dalam QS al-Baqarah ayat 232, Allah berfirman:

Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&

Artinya: “Maka janganlah kamu (para Wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya” (al-Baqarah: 232)15 Demikian juga firman-Nya:

4© ®L ym yxÅ3Ψ s? % ¹` ÷ρy— … çν u ö xî

“Hingga dia kawin dengan suami yang lain” (al-Baqarah: 230)16

13 Syaikh Imam Abi Ishaq Ibrohim bin Ali, Muhadzab, juz 2, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha Putra, hlm. 37

14 Hafid Abi Abdillah Bin Yazid al-Qoswaini, Sunan Ibn Majah Juz 1, Beirut: Darul Fikri Arabiyah, hlm. 605

15 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56

73

Dan ayat yang terakhir

Ÿξsù yy$ oΨ ã_ ö/ ä3 øŠ n=tæ $yϑŠ Ïù z⎯ ù=yèsù þ’Îû £⎯ ÎγÅ¡àΡr& Å∃ρâ ÷ê yϑø9 $$Î/

“Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut” (al-Baqarah: 234)17

Menurut penulis ayat di atas dan lainnya, kata nikah selalu

disandarkan pada perempuan bukan kepada wali. Bahwa wali dilarang

oleh al-Qur’an menghalangi nikah dengan lelaki yang disukainya. Menurut

pandangan penulis bahwa pernikahan itu merupakan hak perempuan

sepenuhnya dan ia layak menangani pernikahannya secara langsung tanpa

izin terlebih dahulu kepada walinya. Oleh karena itu, pernikahan yang

dilakukan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi

Adhol itu sah. Hanya saja menurut rasa kesusilaan masyarakat di

Indonesia, tidak hadirnya wali dalam pernikahan, dirasakan “kurang baik”

dan rasanya memang tidak pula “baik” kalau seorang perempuan

kendatipun ia sudah dewasa, menawarkan dirinya sendiri kepada calon

suaminya di hadapan dua orang saksi dan orang-orang yang hadir di

sekitarnya.

Dari keterangan para ulama desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang dapat dianalisis bahwa para ulama

sebenarnya menganggap sah pernikahan perempuan dengan wali Hakim

kaitannya dengan wali Adhol. Sedangkan perbedaan pendapat terjadi

karena pengambilan hukum yang berbeda, di samping itu juga karena

16 Ibid 17 Ibid, hlm. 57

74

pemahaman atas suatu dalil yang berbeda-beda satu sama lainnya,

sehingga terjadilah perbedaan penafsiran antara ulama satu dengan ulama

lainnya.

Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang

terjadi di Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang,

penulis memandang berdasarkan dalil-dalil (al-Qur’an, al-Hadits, Kitab-

kitab, KHI, PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 dan UU. Perkawinan) yang

telah penulis uraikan di atas, maka penulis menyatakan penyelesaian kasus

tersebut sudah sesuai dengan teori.

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis uraikan dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis

simpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa persepsi ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten

Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali

Adhol adalah merupakan sebuah proses untuk mencapai pada tahap

pernikahan, jadi hal itu tidak berpengaruh terhadap sahnya pernikahan

asalkan mereka sekufu dan ketika ijab qabul mereka sudah bisa menerima.

Ulama desa setempat mengesahkan pernikahan tersebut, karena

berdasarkan kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut.

Sebab jika pernikahannya dilaksanakan dengan menggunakan wali Mujbir

malah bisa mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah,

karena dipandang tingkat kemaslahatannya lebih besar.

2. Bahwa pertimbangan hukum dari persepsi ulama desa Ujunggede

Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang terhadap pernikahan oleh wali

Hakim kaitannya dengan wali Adhol adalah sebagai berikut:

a. Pertimbangan berdasarkan Kemaslahatan

Dalam hal ini para ulama desa Ujunggede Kecamatan

Ampelgading Kabupaten Pemalang berdasarkan pada aspek

76

kemaslahatan dari latar belakang para pelaku pernikahan tersebut, hal

ini beliau dasarkan sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل

Artinya: Menolak kerusakan itu harus di dahuiukan dari pada menarik kemaslahatan

b. Pertimbangan berdasarkan sudah terpenuhinya syarat-syarat

perkawinan

Bahwa menurut mereka (para ulama desa Ujunggede) syarat

perkawinan mereka (pelaku pernikahan) sudah terpenuhi semua dan

tidak ada larangan syar’i yang menghalangi pernikahan mereka.

c. Pertimbangan berdasarkan Walinya Adhol

Dan apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke

wali Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak

boleh sekali-kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali

Ab’ad.

d. Pertimbangan berdasarkan analisis QS al-Baqarah ayat 230, 232 dan

ayat 234.

Bahwa dalam QS al-Baqarah ayat 232, 230 dan 234 kata nikah

selalu disandarkan kepada perempuan bukan kepada wali. Bahkan wali

dilarang menghalangi perempuan nikah dengan lelaki yang disukainya.

e. Menimbang berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:

Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata): Sesungguhnya

Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh dinikahkan perempuan janda

77

itu sehingga diperintah dan perempuan gadis tidak boleh dinikahkan

sehingga dimintai izinnya, kemudian para sahabat bertanya: Ya

Rasulullah, Bagaimana izinnya perempuan gadis itu? Beliau menjawab:

Diamnya (tanda izinnya). (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa Nabi bersabda jika mereka (para

wali) menolak menikahkan, maka sultanlah wali bagi orang yang tidak

mempunyai wali”

f. Menimbang berdasarkan pada kitab Muhadzab

Bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta

dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu

wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan.

Berdasarkan pada dalil-dalil dalam al-Qur’an, al-hadits, kaedah

fiqhiyah dan juga pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa

pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol itu sah, di samping

dari dalil-dalil yang menguatkan keabsahan tersebut, juga untuk memelihara

martabat perempuan dalam pernikahan dan agar mereka tidak terjerumus ke

lembah perzinaan.

Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang terjadi

di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, penulis

menyatakan penyelesaian kasus tersebut sudah sesuai dengan teori.

B. Saran-saran

Dari uraian di atas, maka penulis mengajukan saran-saran untuk

menjadi bahan pertimbangan sebagai berikut:

78

1. Orang tua dan pendidik seyogyanya menanamkan pengetahuan agama dan

jiwa moral terhadap anak-anaknya sebagai bekal dalam hidupnya agar

memahami terhadap ajaran Islam (dalam hal ini ajaran tentang hukum

pernikahan), dan nantinya diharapkan untuk tidak melakukan tindakan

yang bertentangan dengan syari’at Islam maupun hukum Positif.

2. Kepada mereka yang sudah menginginkan untuk menikah dan sudah

mempunyai pilihan sendiri hendaknya segera memberi tahu orang tua

sebelum hubungannya terlalu jauh, sebab kalau sudah terlanjur jauh tetapi

orang tua tidak merestuinya justru akan menghambat pernikahan mereka.

3. Para perangkat desa, ulama dan ormas Islam hendaknya memberikan

kebijakan-kebijakan yang dapat mencegah ataupun menghilangkan

praktek nikah yang penulis temukan, sehingga diharapkan untuk generasi

selanjutnya tidak terjadi lagi kasus yang serupa.

4. Kepada orang tua khususnya yang mempunyai anak perempuan

hendaknya jangan terlalu memaksa untuk menjodohkan kepada anaknya,

orang tua hendaknya memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk

mencari pilihan sendiri dalam masalah pernikahannya, karena merekalah

yang akan menjalaninya.

C. Penutup

Dengan rasa syukur yang seikhlas-ikhlasnya serta ucapan

Alhamdulillah atas segala petunjuk dari Allah SWT, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang bentuknya sederhana sesuai kemampuan yang

dimiliki. Apa yang penulis uraikan dalam skripsi ini merupakan bagian dari

79

ilmu Allah SWT yang Maha Mengetahui, oleh karena itu semuanya penulis

sandarkan kepada-Nya.

Penulis menyadari, sekalipun telah mencurahkan segala usaha dan

kemampuan dalam penulisan skripsi, namun masih banyak kekurangan

disana-sini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca

guna perbaikan selanjutnya.

Semoga skripsi ini dapat diterima untuk memperoleh, memenuhi dan

melengkapi syarat-syarat gelar sarjana. Dan sebagai penutup semoga skripsi

ini dapat menambah khasanah keilmuan dan memberikan manfaat bagi kita

semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Abi Bakar Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Indonesia: Darul Ihya’ kutubil Arobiyah.

Adi Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004 Al-asqolani Al-Hafidz Ibn Hajar, terj. Bulughul Maram, karya Machfuddin aladib,

CV. Toha putra, tth Ali Ash-Shabuny Muhammad, Az-Zawaju Islamil Mubakkrir : Sa’adah, Terj.

Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, Jakarta: Mustaqim, Cet. 1, 2001. Amin Suma Muhammad, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta:. Raja

Grafindo Persada, 2004 Arikunto Suharsini, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktik, Jakarta:

Rineka Cipta, 1998. Daud Ali Mohammad, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1997. Daradjat Zakiah, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Dirjen Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta:Proyek Pembinaan

Prasarana Sarana Perguruan Tinggi agama, 1985 Ghozali Said Imam, Analisa Fiqih Para Mujtahid, terj. Bidayatul Mujtahid wa

Nihayatul Muqtashid Jakarta: Pustaka Amani, Hadi Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Andi OffSet, 2000. Hamid Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang

Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978 Ibnu Rusyd Muhammad, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut:

Dar al-Jill juz 2, 1409 H/1989M Idris Ramulyo Mohd, SH., MH. (Hukum Perkawinan, Hukum Kewearisan,

Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat), Jakarta: Sinar Grafika Cet pertama 1995

Ishaq Ibrohim Abi, Muhadzab, juz 2, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha

Putra

Jalil Abdul, Fiqh Rakyat (Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan), Yogyakarta: LKiS, 2000

Junaedi Dedi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003 Khoeruddin Ahrun, Pengadilan Agama, Bandung: Citra Aditia Bakti, 1999 Khotib al-Sarbani Muhammad, Al-Mughnil Muhtaj, juz 3, Beirut Libanon: Dar al-

Fikri. Mahfud Sahal, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat,

Surabaya: Ampel Suci, 2003. Mohd Fachruddin Fuad, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya. Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Dar al-lhya al-Kutub

al-Arabiah Muhammad Hasbi Teungku, Hukum-hukun Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab,

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997. Muhammad Ibn Ismail As-Sanani, Subul al-Salam, juz III, Kairo: Dar al-Turas al-

Arabi, 1980 Muslim Imam, Shohih Muslim Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992 Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, Cet. Ke-25, 1992. Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1998 Ruslan Rusady, Metodologi Penelitian: Public Relation dan Komunikasi, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Sabiq Sayyid, fikhus Sunnah, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Fikr, tth Sabiq Sayyid, Fiqhus Sunnah 7, terj. Muhammad Tholib, Bandung: PT. Al-

Ma’arif, cet. 2, 1982 Saryani al-Khotibi Muhammad, Iqna’ juz II, Semarang: Maktabah wa Matba’ah

Toha Putra, 2005. Shihab Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, 2002.

Sulaiman Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996 Suryana Toto, Ibadah Praktis, Bandung: CV. Alafabeta, tth Surahmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Arsito, 1994. Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006 Taufiq, Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Edisi 25, Semarang 2004. Tuwu Alimudin, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press, 1995 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), Al-

Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI. Proyek Pengadaan Kitab suci Al-Qur’an, 1989.

Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun,

Surabaya: Darul Abidin.

BIODATA MAHASISWA Nama : Subkhan

Tempat Lahir : Pemalang

Tanggal lahir : 02 Mei 1982

Alamat Asal : Desa Ujunggede RT. 04 RW. 07

Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang

Alamat Sekarang : Pondok Pesantren Uswatun Hasanah, Kauman I

Mangkangwetan, Kecamatan Tugu, Kotamadya Semarang

Nama Orang tua

Ayah : Anwar As’ari

Agama : Islam

Alamat : Desa Ujunggede RT. 04/RW. VII

Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang

Ibu : Rukiyah

Agama : Islam

Alamat : Desa Ujunggede RT. 04/RW. VII

Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang

Semarang, Desember 2009

Subkhan NIM. 2105086

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Subkhan

Tempat tanggal lahir : Pemalang, 02 Mei 1982

Jenis Kelamin : Laki-Laki.

Agama : Islam.

Alamat Asal : Desa Ujunggede RT. 04 RW. 07

Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang

Riwayat Pendidikan :

1. SDN. 02 Ujunggede (1990-1996).

2. SLTPN 02 Ampelgading (1996-1999).

3. MA. Ribatul Muta’allimin Kota Pekalongan (1999-2002).

4. Sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang terdaftar sebagai mahasiswa

Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

Demikian riwayat hidup yang saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat

dipergunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, Desember 2009

Subkhan NIM. 2105086