i
ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG
PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA
DENGAN WALI ADHOL
(Studi Kasus di Ds. Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: SUBHAN
NIM : 2105086
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009
ii
Drs. H. A. Noer Ali Wonosari, Ngaliyan-Semarang Muhammad Shoim, S. Ag Beringin Asri, Ngaliyan-Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) Eks. Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. Subkhan
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Di
- Semarang Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah Skripsi saudara:
Nama : Subkhan
NIM : 2105086
Jurusan : Ahwal al-Syakhsiyah
Judul : ANALISIS TERHADAP PERNIKAHAN OLEH
WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI
ADHOL (studi Kasus di Desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 11 Desember 2009
Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. H. A. Noer Ali Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19450203 197702 1 001 NIP. 19711101 200604 1 003
iii
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan Telp./Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Subkhan
NIM : 2105086
Judul : ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG
PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA
DENGAN WALI ADHOL (Studi Kasus di Desa Ujunggede
Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang)
Telah dimunaqosyahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
cumlaude / baik / cukup, pada tanggal 23 Desember 2009.
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1
tahun akademik 2009/2010.
Semarang, Januari 2010
Ketua Sidang Sekretaris Sidang Drs. H. Musahadi, M. Ag Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19690709 199403 1 003 NIP. 19711101 200604 1 003
Penguji I, Penguji II, Drs. H. Eman Sulaeman, M.H Akhmad Arif Junaedi, M. Ag NIP. 19650605 199203 1 003 NIP. 19701208 199603 1 002
Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. H. Nur Ali, M. Ag. Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19450203 197702 1 001 NIP. 19711101 200604 1 003
iv
MOTO
جا لتسكنوا إليها وجعل اه ان خلق لكم من انفسكم ازوومن ايت
) ٢١: الروم( يف ذلك اليت لقوم يتفكرون نّإ .بينكم مودة ورمحة
“Dan diantara Tanda-tanda Kekuasaann-Nya ialah Dia
Menciptakan untukmu Isteri-isteri Dari Jenismu Sendiri,
Supaya Kamu Cenderung dan Merasa Tentram Kepadanya,
Dan dijadikannya Di antara Kamu Rasa Kasih Sayang.
Sesungguhnya Yang demikian itu Terdapat Tanda-tanda Bagi
Kaum yang Berfikir ” (QS. Ar-Rum: 21)
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, Penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan dalam bahan rujukan.
Semarang, Desember 2009
Deklarator,
Subkhan NIM. 2105086
vi
PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada-Mu tatkala cintamu menetes ke jiwa yang sendiri. Titik
cerah berlahan berenjak mengelayut mesra di puncak awal kebahagiaan. Nyanyian hati,
gejolak jiwa tak tertahankan muncul bersama kata tak terucap. Selalu tersimpan, terpahat
dalam sebuah kado kecil atas doa, perhatian dan perjuangan yang telah mengajariku tuk bias
tersenyum di kala asa tiba-tiba menghilang, selalu menemaniku, memapahku menjemput
impian tak terbatas, menggapai mendekap mahliga bahagia, buat yang tercinta, yang
tersayang:
1. Kedua orang tuaku, Bapak A. As’ari dan Ibu Rukiyah tercinta yang senantiasa
mendoakan dan memberiku bimbingan. Semoga beliau temukan istana kebahagiaan di
sisi Allah, dan selalu berada dalam pelukan kasih sayang-Nya. Ridhomu adalah
semangat hidupku.
2. Saudara-saudaraku, Agus Jawahir, Rohmatin, Slamet Miftah, Hamida, Bahrudin,
Husni Tamrin, serta keponakanku yang lucu-lucu, Ghina Salsabila, Wildan, dan Nafis.
Semoga kasih sayang Allah selalu bersama kita.
3. Teman-teman Pengurus di Pondok Pesantren Uswatun Hasanah serta para santri yang
selalu membantuku dan memberi semangat dalam pembuatan Skripsi ini.
4. Teman-teman jurusan Ahwal al-Syakhsiyah angkatan 2005 yang tak bisa kusebutkan
satu-persatu, mudah-mudahan kesuksesan menyertai kalian semua.
5. Yang terakhir buat seorang yang spesial di hatiku Reni Sulisetyoningrum yang
senantiasa menemaniku dalam suka maupun duka dalam pembuatan Skripsi ini.
vii
ABSTRAK
Skripsi dengn judul “Analisis Terhadap Persepsi Ulama Tentang Pernikahan Oleh wali Hakim Kaitannya Dengan Wali Adhol (Studi Kasus di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang)” ini merupakan penelitian lapangan (field research). Permasalahan: a). Bagaimana Persepsi Ulama terhadap Pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol yang terjadi di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang ? b). Bagaimana pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol ?
Tujuan penitian ini untuk: 1). Mengetahui Persepsi Ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang. 2). Mengetahui pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang.
Metode yang digunakan adalah dengan Metode Observasi, Interview, Dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode diskriptif.
Hasil penelitian: a). Praktek pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali adhol yang dilakukan pada posisi perempuan yang tidak direstui oleh walinya di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 bisa di bilang sesuatu yang tidak aneh lagi, artinya kejadian seperti ini bisa dikatakan hampir setiap tahunnya ada. Ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, berpendapat bahwa kasus pernikahan oleh wali Hakim terhadap perempuan yang tidak mempunyai wali dikarenakan enggan menikahkan merupakan sebuah proses untuk mencapai pada tahap pernikahan, jadi hal itu tidak berpengaruh terhadap sahnya pernikahan asalkan mereka sekufu dan ketika ijab qabul mereka sudah bisa menerima. Namun tentang kebolehan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol, para ulama sedikit berbeda pendapat, ada yang mengesahkan dan ada yang tidak mengesahkan, diantara pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut: K. Anwar As’ari dan K.H. Ihwan, beliau mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol dengan berbagai dalil yang mereka yakini kebenarannya. Sedangkan yang tidak mengesahkan adalah K. Arifin, beliau berpendapat bahwa wali Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah dibanding pilihan putrinya.
Berdasarkan pada dalil-dalil dalam al-Qur’an, Hadits, Kaidah fiqhiyah, KHI, UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 maupun PERMENAG RI no. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim dan juga pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang
viii
masih ada tetapi Adhol itu sah, di samping dalil-dalil yang menguatkan keabsahan tersebut, juga untuk memelihara martabat perempuan dalam masalah pernikahan.
Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang terjadi di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, penulis memandang berdasarkan dalil-dalil (al-Qur’an, al-Hadits, Kitab-kitab, KHI, PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 dan UU. Perkawinan) yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis menyatakan penyelesaian kasus tersebut sudah sesuai dengan teori.
ix
KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmanirrohim
Alhamdulillah Puji syukur senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah SWT
yang telah memberi rahmat, taufiq dan hidayah serta inayah-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tetap tersanjung kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, beserta
keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejaknya.
Penulisan skripsi ini, dimaksudkan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
salah satu persyaratan guna memperoleh gelar dalam Ilmu Syari’ah di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Semarang.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah turut serta membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini.
Kepada yang terhormat:
1. Kedua orang tua dan saudara-saudaraku tercinta yang dengan kasih dan
sayangnya, serta doanya telah membantu dan memenuhi segala fasilitas
yang penulis perlukan demi selesainya skripsi ini.
2. Bapak Prof. H. Abdul Djamil, M.A selaku Rektor di IAIN Walisongo
Semarang.
3. Bapak Prof. Dr. H. Muhyiddin M.Ag selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
x
4. Bapak Drs. H. A. Noer Ali dan Bapak Muh. Soim M.Ag, selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk serta
pengarahan kepada penulisan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah yang dengan ikhlas memberikan
pengetahuan dan ilmunya kepada kami selaku mahasiswa.
6. Keluarga besar Pondok Pesantren Uswatun Hasanah Mangkangwetan
Tugu Semarang, Abah K.H. Mustaqim Husnan beserta ibu, Abah K.H.
Nur Asyikin Azis beserta ibu dan Abah K.H. Chumaidi Toha al-hafidz
beserta ibu. Terima kasih atas didikan dan doanya, semoga berkahnya
mengalir pada santri-santrinya.
7. Bapak Kepala Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten
Pemalang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan
penelitian, para tokoh masyarakat dan Ulama serta seluruh masyarakat
Desa Ujunggede yang membantu penulis selama penulisan berlangsung
guna mencari data-data akurat yang berkenaan dengan penulisan skripsi
ini.
8. Seluruh sahabat serta rekan-rekan dan tak lupa seluruh pihak yang
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Kepada mereaka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apa-apa,
hanya untaian rasa terima kasih yang tulus dan mendalam dengan iringa doa
semoga Allah SWT membalas semua amalkebaikan mereka, dan selalu
melimpahkan rahmat, taufiq dan inayah-Nya kepada semua dalam mengarungi
samudra kehidupan ini.
xi
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karenanya
penulis senantiasa mengharapkan masukan dan kritik yang konstruksi dari
pembaca. Meski di sadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, namun penulis
tetap berharap bahwa tulisan ini bermanfaat. Amin.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan
berserah diri, memohon ampunan dan rahmat-Nya.
Semarang, Desember 2009
Penulis,
Subkhan Nim: 2105086
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………….......... i
PERSETUJUAN PEMBIMBINNG …………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………...... iii
HALAMAN MOTO ……………………………………………………. iv
HALAMAN DEKLARASI ……………………………………………... v
PERSEMBAHAN ……………………………………………………….. vi
HALAMAN ABSTRAK ………………………………………………... vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………... ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………. Xii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan......................................... 7
D. Telaah Pustaka .................................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................... 10
F. Sistematika Penelitian ......................................................... 13
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN
WALI
A. PERNIKAHAN ............................................................ 15
1. Pengertian Pernikahan.............................................. 15
xiii
2. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan......................... 17
3. Syarat dan Rukun Pernikahan.................................... 19
B. WALI.......................................................................... 24
1. Pengertian Wali Nikah ............................................. 24
2. Wali Nikah Menurut Fiqh......................................... 25
3. Wali Nikah Menurut UU No. 1 Tahun 1974 ................ 31
4. Macam-macam Wali Nikah ...................................... 32
5. Syarat-syarat Wali Nikah.......................................... 35
6. Perpindahan Hak Wali Nikah .................................... 36
7. Wali Mujbir..................................................................... 37
8. Wali Adhol ...................................................................... 38
a. Pengertian Wali Adhol .............................................. 38
b. Penetapan Adholnya Wali.......................................... 38
c. Faktor Penyebab Terjadinya Wali Adhol................... 40
BAB III: PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH
WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL
DI DESA UJUNGGEDE KEC. AMPELGADING KAB.
PEMALANG .................................................................... 44
A. Gambaran umum desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading
Kabupaten Pemalang…………………………...……..44
B. Praktek Pernikahan oleh Wali Hakim karena Walinya adhol..48
C. Pendapat Masyarakat tentang Pernikahan oleh wali Hakim
xiv
kaitannya dengan wali Adhol…………………………..52
D. Pendapat Ulama tentang Pernikahan oleh Wali Hakim karena
Walinya Adhol………………………………………53
BAB IV: ANALISIS PERSEPSI ULAMA TENTANG
PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA
DENGAN WALI ADHOL......................................................... 58
A. Analisis terhadap Persepsi Ulama tentang Pernikahan
oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol ................. 58
B. Analisis terhadap pertimbangan hukum persepsi Ulama
terhadap Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya
dengan Wali Adhol ................................................................ 67
BAB V : PENUTUP .................................................................................. 75
A. Kesimpulan .................................................................. 75
B. Saran-Saran .................................................................. 77
C. Penutup........................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan Sunnatu al-Allah yang umum dan berlaku pada
semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia
merupakan salah satu yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan pada
mahluk-Nya untuk berkembang biak serta melestarikan hidupnya. Akan tetapi
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainya yang hidup
bebas mengikuti naluri dan hawa nafsunya serta berhubungan antara jantan
dan betina tanpa adanya aturan. Untuk menjaga kehormatan dan martabat
manusia, Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.
Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan
pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi,
sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga
kekekalan keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang
terpendam dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang
pernikahan.1
Upaya untuk melanjutkan proses regenerasi dalam Islam telah diatur
melalui suatu cara yang lazim disebut dengan pernikahan atau perkawinan.
Pernikahan dalam Islam merupakan pertalian yang sakral, tidak sekedar
pertalian antara seorang laki-laki dan perempuan yang sekedar menghalalkan
persetubuhan, Allah SWT menyebut pernikahan itu dengan “mitsaqon
1 Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuny, Az-Zawaju Islamil Mubakkrir : Sa’adah, Terj.
Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, Jakarta: Mustaqim, Cet. 1, 2001, hlm. 28.
2
gholizon” (janji yang erat), yaitu perjanjian antara suami istri untuk hidup
bersama sedemikian kukuh, sehingga bila mereka dipisahkan di dunia oleh
kematian, maka mereka yang taat melaksanakan pesan-pesan Ilahi, masih akan
digabung dan hidup bersama kelak di hari kemudian.2 Hal tersebut
dikarenakan pernikahan tidak semata-mata sebagai hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.3
Pernikahan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu
dengan yang lain, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolong-
menolong.4 Selain itu, pernikahan merupakan institusi yang sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana awal untuk mewujudkan
sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong kehidupan
bermasyarakat.5
Penciptaan manusia sebagai hamba (agar beribadah kepada Allah
SWT) ini mengemban misi untuk meramaikan bumi dengan aturan-aturan
yang ditetapkan oleh Allah SWT sendiri. Para Nabi dan Rasul itulah orang-
orang yang dipilih oleh Allah SWT untuk menyampaikan firman-firman-Nya,
yang berisi aturan tatanan kehidupan yang luas dan benar sesuai dengan
kehendak sang pencipta. Pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia itu
hanya semata untuk beribadah kepada Allah SWT. Manusia juga diciptakan
2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, 2002, hlm. 387. 3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
hlm. 55. 4 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, Cet. Ke-25, 1992, hlm. 348. 5 Abdul Jalil (ed), Fiqh Rakyat (Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan), Yogyakarta: LKiS,
2000, hlm. 285.
3
saling berpasang-pasangan, antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan
pasangan dari umat manusia, bercampurnya pasangan umat manusia tersebut
biasa dalam agama Islam diucapkan dengan lafadz pernikahan atau
perkawinan. Pernikahan adalah sebuah proses awal di mana seseorang akan
melanjutkan kehidupan bersama pasangannya dalam ikatan suatu rumah
tangga, untuk menanamkan fondasi bagi terciptanya keluarga yang sakinah,
mawaddah, warohmah.6
Hidup berpasangan di kalangan manusia ini dalam realitanya, tidak
selamanya berjalan dengan tuntunan Allah SWT. Hal ini manakala tidak ada
atau belum mengetahui hukum agama dengan benar. Realita tersebut
mencemarkan agama dan tidak menghargai terhadap hukum-hukum agama
yang berlaku. Sebenarnya Islam telah mengatur hal-hal yang berkenaan
dengan nikah tersebut, namun terkadang kita sebagai manusia yang tidak mau
belajar tentang masalah yang sedang terjadi, sehingga berakibat terhadap
banyaknya penyimpangan hukum atau norma-norma yang telah ditentukan
oleh agama.
Sebagai agama yang menjujung tinggi nilai dan kehormatan manusia
sebagai mahluk beradab, Islam menganjurkan untuk hidup berpasang-
pasangan dengan cara yang terhormat dan mulia yaitu melalui sebuah
pernikahan terlebih dahulu. Namun pernikahan mempunyai arah, tugas dan
tujuan, maka hendaknya dalam melakukannya dipenuhi dan terpenuhi rukun-
rukun dan syarat-syarat yang mengikat, memelihara dan menjaga baik
6 Taufiq, Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Edisi 25, Semarang 2004, hlm. 7.
4
kelangsungannya maupun kelestariannya dan kewajiban untuk
menentramkannya sebagai satu lembaga yang penuh arti dalam hidup sejati.7
Pengawasan Islam dalam pernikahan ini merupakan daya tahan hidup dalam
rumah tangga dan keluarga yang sehat jasmani dan rohaninya. Di hindarkan
segala sesuatu dari mulanya yang mungkin membawa malapetaka dan lain
sebagainya yang mana akan menimbulkan penyesalan, perceraian dan lain
sebagainya. Maka dari itu, di dalam pernikahan disyaratkan adanya wali yang
bertanggung jawab dalam pernikahan seorang gadis, sebab ia masih buta dan
masih muda. Ia belum mengetahui arti hidup dan pergaulan dalam hidup itu.
Maka dianggap nikah itu hanya jalan keluarga dari keadaan yang dihadapi dan
rasa hidup mandiri.
Wali disyaratkan dari kalangan keluarga pria yang berdekatan darah
dengan sang ayah si wanita. Akan tetapi jika tidak ada wali yang demikian ini,
maka boleh berpindah kepada wali Hakim.8 Karena kedudukan Wali dalam
pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya. Akan tetapi pertanyaan yang muncul
adalah jika timbul suatu perselisihan antara si gadis dengan Walinya
mengenahi pernikahannya dikarenakan si wali sudah mempunyai pilihan
sendiri, begitu juga si gadis sudah mempunyai pilihan sendiri, walaupun
pilihan dari si wali dan si gadis sama-sama sekufu. Kemudian si gadis nekat
nikah dengan pilihannya menggunakan wali Hakim dengan alasan walinya
ghoib padahal Walinya berada ditempat yang dekat dan dapat diketahui.
7 Dr. Fuad Mohd Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, hlm. 26.
8 Ibid, hlm. 28.
5
Ternyata fenomena seperti itu berindikasi pada pemikiran para remaja
yang modern yakni gadis-gadis zaman sekarang tidak semudah itu mau di
jodohkan oleh orang tuanya dikarenakan sudah bisa mencari pendamping
hidup sendiri, sehingga mereka kadang-kadang terjadi perselisihan dengan
orang tuanya dalam masalah pernikahannya.
Kondisi seperti itu tentunya memicu pihak perempuan nekat
melangsungkan pernikahannya dengan tanpa adanya wali, sehingga jalan
pintas yang ditempuh adalah melangsungkan pernikahannya dengan
menggunakan wali Hakim meskipun walinya ada tetapi adhol. Hal seperti ini
sangat kontroversi dengan hukum Islam maupun hukum positif yang berlaku
di Indonesia.
Keadaan sebagaimana terurai di atas, ternyata masih terjadi di desa
Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, meskipun
kejadiannya tidak pasti dalam setiap tahun, namun dalam kurun waktu 8 tahun
ini penulis temukan 3 pasangan yang melakukan pernikahan oleh wali Hakim
walaupun walinya ada tetapi adhol.
Sebenarnya, desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten
Pemalang termasuk desa yang agamis serta kegiatan-kegiatan keagamaan dan
kemasyarakatan di desa tersebut sangat maju, di samping itu juga banyak para
ulama yang notabene lulusan pondok pesantren yang tinggal di sana, sehingga
untuk urusan keagamaan, desa tersebut tidak mau ketinggalan dengan desa
lainnya.
6
Masyarakat desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten
Pemalang mayoritas bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani,
meskipun ada sebagian kecil yang menjadi guru dan PNS. Untuk tingkat
pendidikan desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang
termasuk menengah sebab rata-rata dari mereka dari latar belakang lulusan
SMP dan SMA bahkan sampai perguruan tinggi. Karena mereka rata-rata
berpendidikan menengah kesadaran untuk memilih seorang pendamping hidup
tidak tergantung dari orang tuanya, sehingga terkadang terjadi perselisihan
antara anak dengan orang tuanya.
Berawal dari fenomena di atas, penulis yakin bahwa hal ini secara
spesifik belum ada yang mengkaji, maka penulis menganggap perlu untuk
mengkaji secara ilmiah terhadap permasalahan ini dengan kondisi-kondisi riil
dalam masyarakat, sehingga akhirnya penulis dapat menemukan kesimpulan
yang berarti demi kemaslahatan umat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat penulis rumuskan
permasalahan yang akan menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi
ini, yaitu:
1. Bagaimana persepsi ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim
kaitannya dengan wali Adhol yang terjadi di desa Ujunggede Kec.
Ampelgading Kab. Pemalang ?
7
2. Bagaimana pertimbangan hukum dari persepsi Ulama desa Ujunggede
Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim
kaitannya dengan wali Adhol?
C. Tujuan dan kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui Persepsi Ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim
kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading
Kab. Pemalang
b. Mengetahui pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede
Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali
Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec.
Ampelgading Kab. Pemalang
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai kontribusi keilmuan bagi wacana yang berkembang saat ini
yaitu pernikahan dengan wali Hakim walaupun walinya Adhol
b. Sebagai kontribusi dalam rangka memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan dalam bidang studi hukum Perdata Islam.
D. Telaah Pustaka
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, sepanjang pengetahuan
penulis, permasalahan tentang pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan
wali Adhol belum ada yang membahasnya secara spesifik dalam sebuah karya
ilmiah. Hanya saja penulis menemukan beberapa tulisan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan masalah tersebut, di antaranya yaitu :
8
1. “Analisis Pendapat Ahmad Hasan tentang bolehnya Wanita Gadis
Menikah tanpa Wali” oleh Wirda Rosalin (2100105). Dalam penelitian ini
dijelaskan menurut Ahmad Hasan seorang tokoh Ulama di Indonesia,
beliau berpendapat bahwa Wanita Gadis boleh menikah tanpa Wali,
dengan alasan bertentangan dengan beberapa keterangan dari Al-Quran,
Hadits, dan riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya
keterangan-keterangan yang mewajibkan Wali, berarti Wali tidak perlu,
artinya tiap-tiap Wanita boleh menikah tanpa Wali. Jika sekiranya seorang
Wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada Wali, tentunya Al-Quran
menyebutkan hal itu.
Ahmad Hasan dalam mempertahankan pendapatnya menggunakan surat
Al-Baqarah ayat 323 dan Hadits dari Abu Hurairah. Setelah diadakan
analisis terhadap ayat yang dipergunakan Ahmad Hasan ternyata
penafsirannya keliru. Selanjutnya tentang hadits yang dipergunakan
sebagai dasar diperbolehkannya nikah tanpa Wali, maka disinipun Ahmad
Hasan keliru, karena hadits itu menunjukkan bahwa wanita menikah harus
oleh wali.
2. “Analisis Pendapat Asghar Ali Engineer tentang dibolehkannya
Perempuan Menikah Tanpa Wali” oleh Nur Rohmah (2100002)
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa menurut pendapat Ali Asghar
Engineer (seorang tokoh feminis Muslim asal India), beliau berpendapat
bahwa perempuan boleh menikah tanpa wali. Bahwa Engineer dalam
memperbolehkan perempuan menikah tanpa Wali sebagai solusi dari
9
permasalahan yang dihadapi kaum tertindas di mana konteks yang
diuraikan adalah mereka para perempuan miskin yang mendapat kesulitan
dalam menghadirkan Wali dalam pernikahannya.
3. Di dalam bukunya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang
berjudul “Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab” dijelaskan,
menurut Ulama-ulama Malikiyah berpendapat bahwa : Apabila Wali
tempatnya jauh, jika dikhawatirkan terjadi kemudaratan karena tidak ada
yang menafkahi atau dikhawatirkan terjadi perzinaan, maka Hakim boleh
menikahkannya. Akan tetapi apabila jaraknya dekat dan tidak pula terjadi
kesulitan di dalam menanti kedatangannya, maka Hakim boleh terus
menikahkan jika di khawatirkan terjadi kemudaratan.9
4. Di dalam bukunya Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H. yang berjudul
Hukum Islam Dan Peradilan Agama dijelaskan bahwa menurut Hazairin
beliau adalah Guru Besar hukum Islam dan hukum Adat Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, beliau berpendpat bahwa Wali bukan merupakan
rukun nikah dalam pernikahan seorang wanita yang telah dewasa. Hanya
menurut rasa kesusilaan masyarakat di Indonesia, tidak hadirnya Wali
dalam pernikahan, dirasakan “kurang baik” dan rasanya memang tidak
pula “baik” kalau seorang wanita kendatipun ia sudah dewasa,
menawarkan dirinya sendiri kepada calon suaminya di hadapan dua orang
saksi dan orang-orang yang hadir di sekitarnya.10
9Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukun Fiqh Islam
Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 228. 10 Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H., Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 12.
10
Dilakukannya telaah pustaka terhadap skripsi, serta buku di atas untuk
membedakan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang
sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain, sehingga
menghindarkan dari adanya duplikasi. Karena itulah sekali lagi penelitian ini
akan menjelaskan beberapa hal yang tidak diungkapkan oleh keterangan di
atas, sehingga dari sini akan dapat diharapkan suatu penjelasan yang lebih
jelas, argumentatif dan obyektif, sesuai dengan realitas yang terjadi di
masyarakat, kaitannya dengan pernikahan oleh wali Hakim karena walinya
adhol.
E. Metode Penulisan
Pada dasarnya penulisan skripsi ini berdasarkan pada suatu penelitian
lapangan yang dilakukan di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab.
Pemalang, di samping itu juga meliputi studi kepustakaan yang ada
hubungannya dengan pernikahan. Adapun metode yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu
penelitian yang obyeknya mengenai gejala-gejala atau peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada kelompok masyarakat11. Dalam hal ini adalah
mengenai persoalan yang berkaitan dengan Pernikahan oleh wali Hakim
karena walinya adhol.
11 Rusady Ruslan, Metodologi Penelitian: Public Relation dan Komunikasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 32
11
Sehingga penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus atau studi
kasus (case study) dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Adapun
lokasi yang menjadi obyek penelitian dalam skripsi ini adalah desa
Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang dengan pertimbangan
bahwa di daerah tersebut telah terjadi Pernikahan oleh wali Hakim
karena walinya adhol.
2. Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subyek
dari mana data diperoleh.12. Dilihat dari cara memperolehnya, sumber
data penelitian ini terdiri dari dua, yaitu: sumber data primer dan sumber
data sekunder13. Sumber data primer diperoleh dari informan khusus
melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang dapat berupa
wawancara. Dalam hal ini sebagai sumber data primernya yaitu data yang
diperoleh dari para ulama desa setempat, tokoh masyarakat dan pasangan
yang telah melakukan Pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol,
terutama di kalangan masyarakat desa Ujunggede Kec. Ampelgading
Kab. Pemalang. Dan data sekundernya yaitu berasal dari buku-buku,
kitab-kitab, arsip desa, dan informan umum yang berupa informasi-
informasi terkait dengan hal yang diteliti14.
12 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktik, Jakarta: Rineka
Cipta, 1998, hlm. 115 13 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Andi OffSet, 2000, hlm. 66 14 Riyanto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 57
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:
pertama, wawancara yaitu komunikasi langsung antara peneliti dengan
responden.15 Di sini peneliti akan mewawancarai para ulama khususnya
di wilayah desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang kaitannya
dengan kasus pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol. Kedua,
dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang
berupa catatan, buku, notulen rapat.16 Di sini peneliti menggunakan bukti
catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis, yaitu suatu teknik yang menggambarkan persoalan
yang terjadi dan menginterpretasikannya. Metode analisis ini bercirikan :
a) Pemusatan dari pada persoalan yang aktual dan berusaha
memecahkannya,
b) Data yang terkumpul mula-mula disusun, dan dijelaskan kemudian
dianalisis.17
Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data
dan analisis data melalui langkah-langkah :
a) Menelaah data yang diperoleh dari informan dan literatur terkait.
b) Mengklasifikasi data dan menyusunnya
15 Alimudin Tuwu, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press, 1995, hlm. 72 16 Suharsini Arikunto, op. cit, hlm. 206 17 Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Arsito, 1994, hlm. 140
13
c) Setelah data tersusun kemudian langkah selanjutnya adalah
kesimpulan atau penarikan kesimpulan berdasarkan data yang ada
yang diperoleh peneliti.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi menjadi lima bab yang
sistematis dan logis yang dapat diuraikan dalam rangkaian sebagai berikut:
BAB I Berisi tentang pendahuluan sebagai penghantar secara keseluruhan,
sehingga dari bab ini akan diperoleh gambaran umum tentang
pembahasan skripsi ini. Bab pertama ini memuat latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka,
metode penelitian, dan sistematika.
BAB II Menjelaskan gambaran umum tentang persepsi, bab ini merupakan
landasan teori. Sesuai dengan judul skripsi ini maka pembahasan
akan terpusat pada tinjauan umum tentang pengertian dan teori
persepsi, pengertian dan dasar hukum Pernikahan, syarat dan rukun
nikah, tujuan pernikahan serta macam-macam wali, perpindahan hak
wali nikah, dan faktor penyebab terjadinya wali Adhol.
BAB III Menguraikan gambaran umum tentang pernikahan oleh wali Hakim
kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading
Kab. Pemalang. Adapun cakupan bab ini adalah keadaan Geografis di
desa Ujunggede, serta pendapat masyarakat dan Ulama desa
Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang.
14
BAB IV Merupakan analisis secara umum tentang persepsi ulama terhadap
pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa
Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang serta analisis terhadap
pertimbangan persepsi ulama mengenai pernikahan tersebut.
BAB V Merupakan bab terakhir sekaligus bab penutup. Bab ini terdiri dari
kesimpulan, saran-saran dan penutup.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
PERNIKAHAN DAN WALI
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Nikah secara bahasa berarti الجمع (menghimpun) dan الضم
(mengumpulkan)1 dikatakan آحت األشجارانت (pohon-pohon itu saling
berhimpun antara satu dengan yang lain) jika suatu bagian pohon itu
saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya.2
Sebutan lain buat pernikahan ialah الزوج ,لزوجا dan الزجه, terambil
dari akar kata 3 زوجا- يزوج –زاج yang secara harfiah berarti menghasut,
menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yang
dimaksud dengan الزوج ,لزوجا disini ialah at-tazwij yang terambil dari kata
ة تزوج- يزوج –ج وز dalam bentuk wazan yang secara harfiah ةل تفع- يفعل - فعل
berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai
dan memperistri.4
Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya
mengupas tentang tentang pernikahan dan tentang wali. Pengarang kitab
tersebut menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan
melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau
1 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 208 2 Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Iqna’ juz II, Semarang: Maktabah wa Matba’ah
Toha Putra, hlm. 115. 3 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 591 4 Op. cit., hlm 591
16
mengawinkan.5 Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna
persetubuhan. Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad
bin Qasim al-Ghazzi,6 beliau menerangkan pula tentang masalah hukum-
hukum pernikahan di antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut
makna bahasanya yaitu kumpul, wati’, jimak dan akad. Dan diucapkan
menurut pengertian syara’ yaitu suatu akad yang mengandung beberapa
rukun dan syarat.
Menurut Zakiah Daradjat,7 bahwa pernikahan adalah suatu aqad
atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga
yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang di
ridhai Allah SWT.
Menurut Zahry Hamid, yang dinamakan nikah menurut Syara'
ialah: Akad atau ijab qabul antara wali calon isteri dan mempelai laki-laki
dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.8
Menurut UU. Perkawinan, Perkawinan ialah : Ikatan lahir batin,
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9
5 Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun,
Surabaya: Darul Abidin, hlm. 97. 6 Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Dar al-lhya al-Kutub
al-Arabiah, hlm. 43. 7 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 38. 8 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1. 9 Pasal 1Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974.
17
Menurut KHI Pernikahan yaitu suatu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan gholizon untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah.10
2. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan
Dasar hukum dan tujuan pernikahan menurut ajaran Islam yang
pertama adalah melaksanakan Sunnatu al-Allah. Pernikahan yang dinyatakan
sebagai sunnatu al-Allah ini merupakan kebutuhan yang diminati oleh setiap
naluri manusia dan dianggap oleh Islam sebagai ikatan yang sangat kokoh
atau mitsaqon ghalizon.11 Karena itu, pernikahan hendaknya dianggap sakral
dan dimaksudkan untuk membina rumah tangga yang abadi selamanya.12
seperti yang tercantum dalam Al Quran (Surat An-Nur :32)
(#θßsÅ3Ρ r& uρ 4‘ yϑ≈ tƒ F{ $# óΟ ä3Ζ ÏΒ t⎦⎫ ÅsÎ=≈ ¢Á9 $# uρ ô⎯ ÏΒ ö/ä. ÏŠ$t6 Ïã öΝ à6 Í←!$tΒÎ) uρ 4 βÎ) (#θçΡθä3 tƒ
u™!# t s) èù ãΝ ÎγÏΨ øóムª!$# ⎯ ÏΒ ⎯ Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$# uρ ìì Å™≡ uρ ÒΟŠ Î=tæ }٣٢ : النور{
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Surat An-Nur: 32)13
Tujuan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunah Rasulullah
sebagaimana disebut dalam hadits Nabi SAW :
10 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam 11 Lihat, Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 21. 12 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003, hlm. 6. 13Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI. Proyek Pengadaan Kitab suci Al-Qur’an, 1989, hlm. 549.
18
نيت فليس مين لنكاح سنيت ومن رغب عن سا : قال عنهعن أنس بن مالك رضي اهللا 14)روه خباري و مسلم(
Artinya : Perkawinan adalah peraturanku barang siapa yang benci kepada
peraturanku bukanlah ia termasuk umatku. (Bukhori dan Muslim).
Tujuan dan dasar hukum yang ketiga adalah untuk menenangkan
pandangan mata dan menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan
dalam hadits Nabi SAW:
منكم استطاع من الشباب معشر يا :عن عبداهللا بن مسعود رضي اهللا عنه قال فانه بالصوم فعليه يستطع مل ومن للفرج واحصن للبصر اغض فانه فاليتزوج الباءة 15)روه خباري و مسلم( وجاء له
Artinya : Dari Abdulah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda : Hai sekalian
pemuda barang siapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa, karena itu perisai baginya. (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim karena kata al-
ba’ah adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sebuah pernikahan di
lihat dari segi kemampuan jimak dan kemampuan ekonomi.16
Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang
mapan untuk segera melaksanakannya, karena dengan pernikahan dapat
mengurangi maksiat penglihatan dan memelihara diri dari perbuatan zina.
14 Al-Hafidz Ibn Hajar Al-asqolani, terj. Bulughul Maram, karya Machfuddin aladib, CV.
Toha putra, tth. hlm. 491. 15 Imam Muslim, Shohih Muslim Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992, hlm. 1018-
1019. 16 Taqiyuddin Abi Bakar bin Ahmad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Indonesia: Darul Ihya’
kutubil Arobiyah, hlm. 55.
19
Oleh karena itu, bagi mereka yang mempunyai keinginan untuk menikah,
sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, maka untuk
membentengi diri dari perbuatan tercela yang menuju perzinahan, caranya
yaitu dengan berpuasa.
Selain dari tiga hal tersebut di atas maka tujuan yang keempat untuk
mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman, kuat ilmu dan kuat amal
sehingga mereka itu dapat membangun masa depannya yang lebih baik, bagi
dirinya, keluarganya dan masyarakat serta bangsa dan negaranya.
Dengan demikian maka rumusan tentang tujuan perkawinan yang ada
di dalam undang-undang adalah sejalan dengan ajaran Islam yaitu untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
3. Syarat dan Rukun Pernikahan
Pernikahan adalah pintu masuk menuju keluarga, karena itu di dalam
ajaran Islam pernikahan diatur dengan syarat dan rukun yang jelas dan rinci.
Pernikahan oleh Agama ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah
hukumnya disebut rukun, dan masing-masing rukun memerlukan syarat-
syarat.17
Syarat yang dimaksud dalam pernikahan adalah suatu hal yang pasti
ada dalam pernikahan, akan tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari
hakikat pernikahan. Dengan demikian rukun nikah itu wajib terpenuhi ketika
diadakan akad pernikahan, sebab tidak sah akadnya jika tidak terpenuhi
rukunnya.
17 Toto Suryana, Ibadah Praktis, Bandung: CV. Alafabeta, tth, hlm. 80.
20
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian
banyak rukun dan syarat yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Qur’an
maupun hadits-hadits Nabi SAW.
Sebelum mengadakan pernikahan atau akad, sebaiknya kedua belah
pihak sudah saling mengetahui keadaan yang sebenarnya yang menimbulkan
hasrat untuk menikah, ketentuan semacam ini dapat kita baca dalam hadits
berikut :
اذاخطب: وسلم عليه اهللا صل اهللا رسول قال: قال عنه اهللا رضي جابر عن رواه (فليفعل نكاحها اىل يدعوه ما اىل منها ينظر ان استطاع فان ةأاملر احدكم
18)داود ابو Artinya :Dari jabir r.a dia berkata : Rasulullah saw bersabda : apabila
seseorang di antara kamu meminang seseorang wanita, lalu jika dia sanggup untuk melihat dari wanita itu sesuatu yang mendorong untuk menikahinya maka hendaklah dilakukan (HR. Abu Dawud).
Adapun rukun dan syarat-syarat pernikahan sebagaimana dalam
pedoman Pegawai Pencatat Nikah adalah sebagai berikut:19
a. Calon mempelai laki-laki, syarat-syaratnya :
a) Beragama Islam
b) Laki-laki
c) Jelas orangnya
d) Tidak beristri empat orang
e) Dapat memberikan persetujuan
18 Abu Dawud Sulaiman Ibn Asya’es Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub
Al Ilmiyah, 1996. hlm. 120. 19 Ahmad Rofiq, op. Cit., hlm.
21
b. Calon mempelai perempuan, syarat-syaratnya :
a) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
b) Perempuan
c) Jelas orangnya
d) Dapat dimintai persetujuan
e) Tidak terdapat halangan pernikahan
c. Adanya Wali Nikah
Dari sekian banyak syarat dan rukun-rukun untuk sahnya
pernikahan menurut hukum Islam, wali adalah hal yang sangat penting
dan menentukan.
Adapun syarat-syarat wali adalah sebagai berikut:
1) Laki-laki
2) Dewasa
3) Mempunyai hak perwalian
4) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
Dalam soal pernikahan, yang pertama kali berhak menjadi
Wali adalah Wali Aqrab (bapak atau kakek), jadi selama Wali Aqrab
masih ada, hak menikahkan belum dapat dipindahkan kepada Wali yang
lain (Wali Ab’ad). Apabila Wali Aqrab masih ada dan memenuhi syarat
tetapi yang menikahkan Wali Ab’ad, maka nikahnya tidak sah.20
20 Taqiyuddin Abi Bakar bin Ahmad al-Husaini, op. cit., hlm. 52.
22
d. Adanya Saksi
Menurut jumhur ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi
itu tidak sah, jika ketika berlangsungnya ijab-qabul itu tidak ada saksi
yang menyaksikan sekalipun diumumkan kepada khalayak ramai dengan
menggunakan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah.21
Adapun syarat-syarat menjadi saksi adalah sebagai berikut:
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam Ijab Qabul
3) Dapat mengerti maksud akad
4) Islam
5) Dewasa.
e. Ijab Qabul
Rukun yang mendasar dalam pernikahan adalah ridhanya
laki-laki dan perempuan, dan persetujuan keduanya untuk berkeluarga.
Perasaan ridha dan setuju itu bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat
dengan mata kepala. Karena itu harus ada tanda yang tegas untuk
menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami istri. Tanda itu
diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan
akad.22
Akad nikah terdiri dari dua bagian, yaitu ijab dan qabul. Ijab
ialah perkataan wali atau wakilnya dan qabul ialah penerimaan dari pihak
calon mempelai laki-laki atau wakilnya.
21 Sayyid Sabiq, fikhus Sunnah, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Fikr, hlm. 48-49 22 Ibid, hlm. 29.
23
Akad nikah itu tidak dapat dibenarkan dan tidak mempunyai
akibat hukum yang sah apabila belum memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Adanya pernyataan menikahkan dari wali
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah
4) Antara ijab dan qabul bersambungan
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji/umrah
7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu:
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita
atau wakilnya, dan dua orang saksi.23
f. Mahar
Dalam bahasa Indonesia kata mahar dikenal dengan nama
mas kawin. Mahar atau mas kawin adalah harta pemberian dari calon
mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang merupakan
hak isteri dan sunnah disebutkakan ketika akad nikah berlangsung.24
Jadi pemberian mas kawin ini wajib, dan sunnah apabila
disebutkan pada waktu akad nikah25. Namun apabila mas kawin itu tidak
23 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 71-72. 24 Dirjen Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana
Sarana Perguruan Tinggi agama, 1985, cet. Ke-2, hlm. 109. 25 Ibid., hlm. 110.
24
disebutkan dalam akad nikah, maka wajib membayar mas kawin yang
pantas (mahar mitsil)26.
B. Wali
1. Pengertian Wali Nikah
Yang dikatakan wali adalah orang paling dekat dengan si wanita.
Dan orang yang berhak menikahkan wanita adalah ayahnya lalu kakeknya
dan seterusnya keatas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian
saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.27
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya
berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Sedangkan
wali dalam pernikahan adalah seorang yang bertindak atas nama
mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.28 Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, Wali di artikan sebagai pengasuh pengantin perempuan
ketika menikah, yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki29
Begitu pula dalam Fiqh Sunnah di sebutkan bahwa Wali adalah suatu
ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain sesuai dengan
bidang hukumnya.30 Sehingga dapat di simpulkan, bahwa wali dalam
pernikahan adalah seorang yang mempunyai hak untuk menikahkan atau
orang yang melakukan janji nikah atas nama mempelai perempuan.
26 Ibid., hlm. 114. 27 Muhammad Khotib al-Sarbani, Al-Mughnil Muhtaj, juz 4, Beirut Libanon: Dar al-Kutubi
Ilmiah, hlm. 249 28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006,hlm. 96 29 Tim Penyusun Kamus Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 1007 30 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah 7, terj. Muhammad Tholib, Bandung: PT. Al-Ma’arif, cet.
2, 1982, hlm, 7
25
2. Wali menurut Fiqh
Adanya suatu pernikahan dianggap tidak sah apabila tidak ada
wali. Sebagai mana di sebutkan dalam pasal 19 KHI, Wali Nikah dalam
pernikahan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya. Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat tentang keharusan adanya Wali dalam pernikahan, sebagaimana
dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Ibnu Rusyd
menerangkan:
ليست ام النكاح صحة شروط من شرط الوالية هل ماءالعل اختلف ىف شرط اا و, بويل اال نكاح اليكون انه اىل مالك هبذف بشرط؟ 31عىالشاف قال وبه, عنه اشهب رواية ىف .ةالصح
Artyinya: Ulama berselisih pendapat apakah Wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi’i.
Menurut Hukum Islam, Wali Nikah adalah sangat penting dan
menentukan. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW yang diriwyatkan oleh
Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
رسول اهللا قال: قالعن أيب بردة بن أيب موس عن أبيه رضى اهللا تعاىل عنهما
32).روه امحد(دي عدل النكاح اال بويل وشاه: م .ص
Artinya: “Tidak sah Nikah melainkan dengan Wali dan 2(dua) orang saksi yang adil”
31 Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jill juz 2, 1409 H/1989M, hlm. 6
32 Abu Dawud Sulaiman Ibn Asy’as Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996. hlm. 229
26
Begitu juga menurut Imam Syafi’i bahwa tidak sah nikah tanpa
adanya Wali bagi pihak penganti perempuan.33
Di antara alasan yang paling jelas dari al-Quran tentang
disyaratkannya Wali adalah Firman Allah:
# sŒ Î) uρ ãΛä⎢ ø) ¯=sÛ u™!$|¡ÏiΨ9 $# z⎯ øón=t6 sù £⎯ ßγ n=y_r& Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&
Artinya: “Dan apabila diantara kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa Iddahnya, maka janganlah anda (para Wali) menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya.” (QS. Al- Baqarah: 232)34
Golongan Ulama yang mensyaratkan adanya Wali menyatakan
bahwa ayat ini ditunjukan kepada para Wali. Jika mereka tidak
mempunyai hak dalam perwalian, tentu tidak dilarang untuk
menghalanginya.
Ayat lainnya adalah:
Ÿωuρ (#θßsÅ3Ζ s? ÏM≈ x. Î ô³ ßϑø9 $# 4© ®L ym £⎯ÏΒ÷σ ムt ∩⊄⊄⊇∪
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.” (QS. al-Baqarah: 221)35
Wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
Hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh, yang terdiri dari Wali Nasab
33Mohd Idris Ramulyo, SH., MH. (Hukum Perkawinan, Hukum Kewearisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat), Jakarta: Sinar Grafika Cet pertama 1995, hlm. 34 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz,
Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56 35Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz,
Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 53
27
dan Wali Hakim.36 Jadi jika dilihat dari pengertian Wali bisa disimpulkan
bahwa Wali ada dua macam yaitu Wali Nasab dan Wali Hakim.
Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa
tidak ada nikah tanpa Wali, dan Wali menjadi syarat sahnya nikah.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.37
Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi, dan az-Zuhri berpendapat
apabila seorang perempuan melakukan melakukan akad nikahnya tanpa
Wali, sedang calon suaminya sebanding, maka nikahnya itu boleh.38
Dawud memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan
adanya Wali pada gadis, dan tidak tidak mensyaratkan pada janda.39
Berdasarkan riwayat Ibnul Qosim dari Malik dapat disimpulan adanya
pendapat keempat, yaitu bahwa persyaratan Wali itu sunah hukumnya,
dan bukan fardu. Demikian itu karena ia meriwayatkan dari Malik bahwa
ia berpendapat adanya waris mewarisi antara suami dengan istri yang
perkawinannya terjadi tanpa menggunakan Wali.40
Dengan demikian, seolah Malik menganggap Wali itu temasuk
syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan. Ini
bertolak belakang dengan pendapat fuqoha Maliki dari Baghdad yang
36DEPAG RI Direktorat Jendral Pembinaan Lembaga Agama Islam, Bahan Penyuluhan
Hukum, hal. 36 37Al- Faqih Abul Walid Muhammad Bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam Ghozali Said, MA, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, hlm. 409.
38Ibid 39Ibid, hlm. 410. 40Ibid
28
mengatakan bahwa Wali itu termasuk syarat sahnya perkawinan bukan
syarat kelengkapan.41
Golongan Ulama yang tidak mensyaratkan Wali dalam
pernikahan mengemukakan alasan dari firman Allah:
# sŒ Î* sù z⎯ øón= t/ £⎯ßγ n=y_r& Ÿξsù yy$ oΨ ã_ ö/ ä3 øŠ n=tæ $yϑŠ Ïù z⎯ ù=yèsù þ’ Îû £⎯ Îγ Å¡àΡr& Å∃ρâ ÷ê yϑø9 $$Î/ ∩⊄⊂⊆∪
Artinya: “(kemudian apabila telah habis iddahnya), maka tiada dosa bagimu membiarkan mereeka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqara: 243)42
Sedangkan dari hadis, mereka beralasan dari Hadits Ibnu Abbas
r.a. yang telah disepakai sahihnya, yaitu sabda Nabi SAW:
بنفسها احقاالمي :م. قال رسول اهللا ص,قال عنه اهللا رضى عباس ابنعن اخرجه ابو داود ( يف تفسيها واذا صماا تستأمروليها والبكر من
43)والترمديArtinya: “Wanita-wanita janda itu lebih berhak itu lebih berhak atas
dirinya daripada Walinya, dan gadis itu di mintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Dari beberapa perbedaaan pendapat para Ulama tentang Wali
menjadi syarat sahnya nikah atau tidak dapat digaris bawahi sebagai
berikut:
a. Wali Nikah menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki.
Imam Syafi’i beserta penganutnya berpendapat tentang Wali
Nikah ini bertitik tolak dari Hadits Rasulullah SAW yang
41 Ibid 42 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, op. cit.,
hlm. 57 43 Muhammad Ibn Ismail As-Sanani, Subul al-Salam, juz III, Kairo: Dar al-Turas al-Arabi,
1980, hlm. 231
29
diriwayatkan oleh Imam Ahamad dan Al Tirmidzi berasal dari Siti
Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ت بغري اذن امراة نكحاميا م.قال رسول اهللا ص : شة قالتئعن عا
44}متفق عليه {وليها فنكاحها باطل
Artinya: “Barang siapa diantaa perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal”.
Dalam Hadits Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa
seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai
Wali, berarti jika tanpa Wali maka nikahnya tidak sah.
Dari Hadits Rasulullah SAW yang lain yang diriwyatkan oleh
Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
قال : بن أيب موس عن أبيه رضى اهللا تعاىل عنهما قالعن أيب بردة
45).روه امحد(النكاح اال بويل وشاهدي عدل : م .رسول اهللا ص
Artinya: “Tidak sah Nikah melainkan dengan Wali dan 2(dua) orang saksi yang adil.
b. Wali Nikah menurut Mazhab Imam Hanafi
Menurut Hanafi, nikah (pernikahan) itu tidak merupakan
syarat harus pakai wali. Imam Abu Hanifah atau Mazhab Imam
Hanafi dan beberapa penganutnya nengatakan bahwa akibat ijab
(penawaran), akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasa
dan berakal (aqil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga
44 Op, cit., hlm. 204 45 Ibid
30
menurut Abu Yusuf, Imam Maliki dan riwayat Ibnu Qosim. Beliau itu
mengemukakan pendapat berdasarkan analisis dari Al-Qur’an surat al-
Baqarah ayat 230 dan 232 sebagai beikut dibawah ini:
βÎ* sù $yγ s) ¯=sÛ Ÿξsù ‘≅ Ït rB … ã&s! .⎯ ÏΒ ß‰÷è t/ 4© ®L ym yxÅ3Ψ s? % ¹` ÷ρy— … çν u ö xî 3
Artinya : “Apabila suami mentalaq isterinya (isteri-isteri) sesudah talaq yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya seningga dia (perempuan ) itu menikahi calon suami mereka yang baru”. (QS. Al-Baqarah:230)46
# sŒ Î) uρ ãΛ ä⎢ ø) ¯=sÛ u™!$|¡ÏiΨ9 $# z⎯ øón=t6 sù £⎯ ßγ n=y_r& Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&
Artinya : “Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganlaah kamu (para Wali) menghalanhg mereka Nikah lagi dengan calon suaminya”. (QS. Al-Baqarah:232)47
Jadi menurut Hanafi wali nikah itu tidak merupakan syarat
sah nikah, akan tetapi baik calon mempelai laki-laki atau calon
mempelai perempuan yang hendak menikah hendaknya meminta
restu atau izin terlebih dahulu dari walinya.
Ulama Hanafiyah juga berpendapat bahwa hadits tentang
disyaratkannya wali dalam pernikahan yang diriwayatkan oleh
Aisyah r.a. dianggap lemah. Sebab, hadits ini diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari Ibnu Juraij dan az-Zuhri, sementara itu Ibnu
Ulayyah mengatakan dari Ibnu Juraij bahwa ia (Ibnu Juraij) pernah
46 Op. cit., hlm. 56 47 Op. cit., hlm. 56
31
menanyakan kepada az-Zuhri tentang Hadits tersebut, tetapi ia tidak
mengenalnya.48
Sebagai dalil atas kebenaran hal itu, mereka mengatakan
bahwa az-Zuhri sendiri tidak mensyaratkan adanya wali, dan
pensyaratan wali juga bukan merupakan pendapat Aisyah r.a.49
3. Wali menurut UU No. 1 tahun 1974
Dalam pasal 6 Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang
perkawinan diatur sebagai berikut :
a) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin dari kedua
orang tua. (Ps. 6 ayat 2)
b) Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat 2 ini cukup diperoleh dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya. (Ps. 6 ayat 3)
c) Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari Wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya. (Ps. 6 ayat 4)
48Drs. Imam Ghozali Said, op. cit., hlm. 416. 49Dalam hal ini masih terjadi kontraversi, apakah suatu ketetapan hukum berdasarkan
“fatwa sahabat” atau berdasarkan “subtansi hadits” yang diriwayatkan.
32
Oleh karena itu, Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang
perkawinan menganggap bahwa wali bukan merupakan syarat untuk
sahnya nikah, yang diperlukan hanyalah izin orang tua, itupun bila
calon mempelai laki-laki maupun wanita belum dewasa (di bawah
umur 21 tahun), bila telah dewasa (21 tahun keatas) tidak lagi di
perlukan izin dari orang tua.
4. Macam-macam Wali Nikah
Wali Nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh, yang terdiri dari wali
nasab dan wali Hakim.50 Jadi jika dilihat dari pengertian wali bisa
disimpulkan bahwa wali ada dua macam yaitu wali Nasab dan wali
Hakim.
Adapun di dalam hukum perkawinan Islam dikenal adanya
empat macam wali nikah, yaitu:
a) Wali Nasab
Wali Nasab yaitu wali nikah karena pertalian nasab atau
pertalian darah dengan calon mempelai perempuan atau orang-
orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai perempuan yang
berhak menjadi wali.51
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan
kedudukan susunan kekerabatan dengan calon mempelai
50DEPAG RI, ibid, hal. 36 51Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Edisi pertama, Jakarta: Akademika Pressindo,
2003, hlm. 110
33
perempuan. Adapun keempat kelompok tersebut adalah sebagai
berikut:
Kelompok pertama, adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus
ke atas, yakni: ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kelompok kedua, adalah kelompok kerabat dari saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki se ayah dan keturunan laki-laki
mereka.
Kelompok ketiga, adalah kelompok dari paman, yakni saudara
laki-laki kandung ayah, saudara se ayah dan keturunan laki-laki
mereka.
Kelompok keempat, adalah kelompok dari saudara kandung laki-
laki kakek, saudara laki-laki se ayah kakek dan keturunan laki-
laki mereka.
Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut:52
1. Ayah.
2. Kakek (Bapak ayah).
3. Ayah Kakek (ayah tingkat tiga) dan seterusnya ke atas.
4. Saudara laki-laki se kandung.
5. Saudara laki-laki se ayah.
6. Anak laki-laki saudara laki-laki se kandung.
7. Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah.
8. Paman se kandung (Saudara laki-laki ayah se kandung).
52 Ahmad Roriq, op. Cit., hlm. 87
34
9. Paman se ayah (Saudara laki-laki ayah se ayah)
10. Anak laki-laki paman se kandung.
11. Anak laki-laki paman se ayah.
12. Saudara kakek se kandung (Bapak ayah se kandung).
13. Saudara kakek se ayah (Bapak ayah se ayah).
14. Anak laki-laki saudara kakek se kandung.
15. Anak laki-laki saudara kakek se ayah.
b) Wali Mu'tiq
Wali Mu’tiq yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan,
artinya seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seorang
perempuan, karena orang tersebut pernah memerdekakannya.
Untuk jenis kedua ini di Indonesia tidak pernah ada.
c) Wali Hakim
Wali Hakim yaitu Wali Nikah yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah.53 Wali Hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau ghoib atau adhol (enggan).
Wali Hakim dapat bertindak menggantikan kedudukan
wali nasab apabila : 54
1. Wali Nasab tidak ada,
53DEPAG RI Direktorat Jendral Pembinaan Lembaga Agama Islam, op. cit., hal. 32 54DEPAG RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman Pegawai
Pencatatan Nikah, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1981, hlm. 53
35
2. Wali Nasab bepergian jauh atau tidak di tempat tapi tidak
memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada di
tempat,
3. Wali Nasab kehilangan hak perwaliannya,
4. Wali Nasab sedang berihram, haji atau umrah,
5. Wali Nasab menolak bertindak sebagai wali (wali Adhol).
d) Wali Muhakam
Wali Muhakam yaitu wali nikah yang terdiri dari seorang
laki-laki yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk
menikahkan mereka,55 dikarenakan tidak ada wali nasab, wali
mu'tiq, dan wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini di Indonesia
sedikit sekali kemungkinan terjadinya. Berdasarkan hal-hal
tersebut maka yang lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan
Wali Hakim saja.
5. Syarat-syarat Wali
Untuk menjadi Wali seseorang harus memenuhi syarat-ayarat
sebagai berikut: 56
a. Islam,
b. Baligh,
c. Merdeka,
d. Laki-laki,
e. Berakal sehat,
55 Op cit. hlm. 144 56 Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Op cit. hlm. 123
36
f. Adil (tidak fasik).
Namun demikian Sayyid Sabiq berpendapat bahwa seorang
wali tidak dikatakan adil. Jadi seorang durhaka tidak kehilangan hak
sebagai wali dalam pernikahan. Kecuali kalau kedurhakaannya itu
melampaui batas-batas kesopanan yang berat, karena jelas Wali
tersebut tidak jiwa orang yang diutusnya, oleh karena itu hak menjadi
Wali hilang.57
6. Perpindahan hak Wali Nikah
Hak menjadi Wali Nikah terhadap perempuan adalah
sedemikian berurutan, sehingga jika masih terdapat Wali Nikah yang
lebih dekat maka tidak dibenarkan Wali Nikah yang lebih jauh itu
menikahkannya, jika masih terdapat Wali Nasab maka Wali Hakim
tidak berhak menjadi Wali Nikah. Dalam urutan Wali Nasab, Wali
Nikah yang lebih dekat disebut Wali Aqrab, sedang yang lebih jauh
disebut Wali Ab'ad, misalnya ayah dan kakek, ayah disebut Wali
Aqrab sedang kakek disebut Wali Ab'ad. Demikian pula antara kakek
dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara laki-laki sekandung,
antara saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah dan
seterusnya.
Hak Wali Nikah dari Wali Aqrab berpindah kepada Wali
Ab'ad apabila: 58
57 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 7 58 Dedi Junaedi, op.cit., hlm. 111
37
a. Wali Aqrab tidak beragama Islam sedang calon mempelai
perempuan beragama Islam.
b. Wali Aqrab orang yang fasiq.
c. Wali Aqrab belum baligh.
d. Wali Aqrab tidak berakal (gila atau majnun).
e. Wali Aqrab rusak ingatannya sebab terlalu tua atau sebab lain.
7. Wali Mujbir
Wali Mujbir yaitu seseorang atau Wali yang berhak
mengakad nikahkan orang yang diwakilkan tanpa menanyakan
pendapat mereka terlebih dahulu, dan akadnya berlaku juga bagi
orang yang diwakilkan tanpa melihat ridho tidaknya.59
Ulama yang membolehkan Wali (ayah dan kakek)
menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-
syarat sebagai berikut: 60
a. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak,
b. Laki-laki pilihan Wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang
akan dinikahkan,
c. Calon suami harus mampu membayar mahar mitsil,
d. Antara gadis dan calon suami tidak ada permusuhan,
e. Laki-laki pilihan Wali akan dapat memenuhi kewajiban-
kewajibannya sebagai suami yang baik dan tidak terbayang akan
berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan isteri.
59 Ibid, hlm. 16 60 Sahal Mahfud, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat, Surabaya:
Ampel Suci, 2003, hlm. 10
38
Sekilas dilihat mungkin Wali Mujbir dapat dengan mudah
menggunakan hak ijbarnya, namun tidak boleh dikesampingkan
bahwa salah satu prinsip pernikahan dalam Islam adalah persetujuan
masing-masing pihak dan didasarkan atas perasaan suka rela.
8. Wali Adhol
a. Pengertian Wali Adhol
Wali Adhol adalah Wali yang enggan atau Wali yang
menolak. Maksudnya adalah seorang Wali yang enggan atau
menolak menjadi Wali dalam pernikahan anak perempuannya
dengan seorang laki-laki yang sudah menjadi pilihan anaknya.61
Apabila seorang perempuan telah meminta kepada
Walinya untuk dinikahkan dengan laki-laki seimbang (sekufu)
dan Walinya berkeberatan dengan tidak ada alasan, maka Hakim
berhak menikahkannya setelah ternyata bahwa keduanya sekufu
dan setelah memberi nasehat kepada Wali agar mencabut
keberatannya itu.62
b. Penetapan Adholnya Wali
Adapun penetapan Adholnya wali dalam Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia No. 2 tahun 1987 dijelaskan
dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:63
1. Pasal 2 a) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di
wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstratetorial Indonesia ternyata tidak mempunyai wali
61 Ahrun Khoeruddin, Pengadilan Agama, Bandung: Citra Aditia Bakti, 1999, hlm. 47 62 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, cet. 37, 2004, hlm. 38 63 Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987
39
Nasab yang berhak atau wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau Adhol, maka nikahnya dapat dillangsungkan dengan wali Hakim.
b) Untuk menyatakan Adholnya wali sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal colon mempelai wanita.
c) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan Adholnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.
2. Pasal 3
"Pemeriksaan dan penetapan Adholnya wali bagi calon mempelai wanita warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
Dalam kenyataan di masyarakat sering terjadi bahwa
seorang wanita atau bakal calon mempelai wanita berhadapan
dengan kehendak orang tuanya atau walinya yang berbeda,
termasuk pilihan seorang laki-laki yang hendak dijadikan mantu
(suami) ada yang sama-sama setuju, mengizinkannya, atau
sebaliknya orang tua menolak kehadiran calon mantunya yang
telah menjadi pilihannya, mungkin karena orang tua telah
mempunyai pilihan lain atau karena alasan lain yang prinsip.
Perlu diketahui bahwa orang tua dan anak sama-sama
mempunyai tanggung jawab, bagaimana menentukan jodoh yang
sesuai dengan harapan dan cita-citanya, walaupun harus
berhadapan dengan kenyataan di mana orang tua dan anak
berbeda pandangan satu sama lain. Bahkan dalam kenyataan ada
seorang anak yang melarikan diri dengan laki-laki pilihannya
40
dengan tujuan hendak nikah tanpa prosedur yang berlaku. Hal
seperti ini bukan yang diinginkan hukum dan perlu dihindari,
pihak calon mempelai perempuan berhak mengajukan kepada
Pengadilan Agama agar pengadilan memeriksa dan menetapkan
adholnya.64 Jika ada wali Adhol maka wali Hakim baru dapat
bertindak melaksanakan tugas sebagai wali nikah setelah ada
penetapan Pengadilan Agama tentang adholnya wali.65
c. Faktor penyebab terjadinya Wali Adhol.
Setiap pernikahan disyaratkan adanya Wali bagi wanita,
maka jika pernikahan tidak dipenuhi adanya Wali bagi wanita,
maka pernikahannya adalah batal. Ini sebagai gambaran betapa
pentingnya kedudukan Wali sebagai wali nikah. Umumnya yang
menjadi Wali Nikah adalah orang tua kandung. Dan jika orang
tua berhalangan, maka bisa diwakilkan oleh paman, kakek,
saudara laki-laki sebagai Wali Nasab. Atau jika semuanya
berhalangan maka bisa diwakilkan Wali Hakim.66 Akan tetapi
bagaimana jika orang tua tapi tidak mau (enggan) menikahkan
anaknya? Jika hal ini terjadi, maka anak tersebut boleh
mengajukan permohonan wali Adhol di Pengadilan Agama.
Wali Adhol adalah wali yang menolak atau membangkang
menjadi wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya.
64 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 23 ayat 2 65 Ibid 66 Dr. Fuad Mohd Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1996, hlm. 28.
41
Dalam hal wali Adlol (enggan), maka wali Hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan
Agama tentang wali tersebut.
Adapun penyebab wali Adhol adalah sebagai berikut:
1. Status Sosial
Pada umumnya jika status sosial perempuan lebih
tinggi dari status sosial laki-laki, orang tua beranggapan kalau
anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang statusnya lebih
rendah, maka hanya akan membuat malu keluarga saja serta
merasa harkat dan martabatnya turun.
2. Berbeda agama atau bukan setaraf pengamalan agamanya
Sangat dipahami jika berbeda agama menjadi
penyebab seorang bapak menolak anak gadisnya menikah
dengan laki-laki yang berbeda keyakinan. Tapi pada
umumnya yang terjadi adalah seorang bapak melihat bahwa
calon suami anaknya pengalamannya kurang, dengan kata
lain, berbeda jauh pengamalan Agama yang dilakukan
bapaknya. Maka dengan hal tersebut dapat dipastikan si
bapak enggan menikahkan anaknya dengan calon suaminya
tadi.
3. Pernah mempunyai masalah Sosial
Sulit untuk merumuskan kata-kata yang tepat akan
tetapi sebagai gambaran ini, jika pernah terjadi masalah (baik
42
kecil atau besar) antara keluarga wanita dengan keluarga pria.
Maka sudah dapat dipastikan pasti muncul penolakan. Hanya
laki-laki tidak memerlukan Wali, maka laki-laki dapat
meminimalisir pertentangan dari keluarganya. Hal ini banyak
terjadi pada keluarga yang jarak rumahnya agak dekat (satu
lingkungan) yang menyebabkan dua keluarga tadi saling
mengetahui keadaan masing-masing, bahkan mungkin pernah
terjadi perselisihan antara tetangga. Jika hal ini terjadi, maka
sangat sulit untuk mengajak masing-masing orang tua
menurunkan gengsinya dan menerima keinginan anak-anak
mereka untuk menikah.
4. Status Duda
Tentu saja sebagai orang tua status anak menjadi
pertimbangan apakah jejaka atau duda, jika dudapun masih di
pertimbangkan lagi, apakah duda karena cerai atau duda
karena mati. Yang kerap menjadi masalah jika calon suami
anak tersebut akan menikah dengan duda cerai. Umumnya
orang tua masih sulit menerima jika calon menantunya adalah
duda cerai, apalagi jika anaknya masih gadis, pasti kecurigaan
dan kekawatiran apa penyebab perceraiannya, bagaimana jika
kelak anaknya juga menjadi korban perceraian. Walaupun
anak gadisnya berusaha meyakinkan bapaknya bahwa
suaminya adalah yang terbaik. Dan jika hati bapak tidak bisa
43
luluh, maka jalan yang harus ditempuh adalah mengajukan
permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan.67
5. Orang tua sudah mempunyai calon sendiri bagi anak
perempuannya.
Pada umumnya jika orang tua sudah mempunyai calon
sendiri buat anak perempuannya sedangkan anak tersebut
juga sudah mempunyai pilihan sendiri, maka kemugkinan
besar yang terjadi adalah perselisihan antara orang tua dengan
anaknya dikarenakan mereka sama-sama mempertahankan
pilihannya masing-masing.
67 Lily Ahmad, “Dispensasi Kawin vs Wali Adhol”, http://www.lilyahmad.com/13082009
44
44
BAB III
PERSEPSI ULAMA TERHADAP PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM
KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL
DI DESA UJUNGGEDE KEC. AMPELGADING KAB. PEMALANG
A. Gambaran Umum Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten
Pemalang.
1. Kondisi goegrafis
Desa Ujunggede ini letaknya di tengah dari desa-desa yang ada di
Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang. Dari desa-desa yang ada
di wilayah Kecamatan Ampelgading, desa tersebut letaknya sangat
strategis dibanding desa-esa yang lain di Kecamatan Ampelgading karena
dekat dengan jalur Pantura, di samping itu Desa Ujunggede juga dekat
dengan pusat perbelanjaan yang sering dikunjungi masyarakat Kecamatan
Ampelgading. Letak Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading
Kabupaten Pemalang adalah dengan batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Jatirejo
Sebelah Selatan : Desa Losari
Sebelah Barat : Desa Cibiuk
Sebelah Timur : Desa Purwoharjo
45
2. Kondisi Demografi
Desa Ujunggede memiliki wilayah yang cukup luas kira-kira
mencapai 1,7 km², sedangkan jumlah penduduknya 2.701 orang dengan
perincian sebagai berikut:
a. Menurut jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
1108 1593
Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
b. Menurut mata pencaharian (bagi umur 10 tahun ke atas)
Mata Pencaharian Jumlah Petani 400 Buruh tani 250 Pengusaha 5 Buruh Industri/bangunan 105 Pedagang 200 Angkutan 20 PNS / ABRI 10 Pensiun 5 Lain-lain 150
Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
c. Menurut Pendidikan (bagi umur 5 tahun ke atas)
SD Tamat Tidak Sekolah Tidak
Tamat Belum Tamat
Tamat SLTP SLTA PT/Akademi
150 300 255 783 355 177 15 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
46
d. Menurut Agama
Penduduk Desa Ujunggede mayoritas beragama Islam, adapun
rincian tempat ibadahnya adalah sebagai berikut:
1. Masjid : 3 buah
2. Musholla : 12 buah
Sedangkan perkembangan NTCR bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Tahun Nikah Talak Cerai Rujuk Jumlah
2005 26 - 2 - 28
2006 30 3 1 1 35
2007 20 - - - 20
2008 24 2 - - 26
2009 15 - 3 1 19
Jumlah 115 5 6 2 128 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
e. Keadaan atau Kondisi Pendidikan
Desa Ujunggede dalam pemerintahannya didukung oleh
berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang dapat menunjang
kegiatan belajar mengajar di desa tersebut. Adapun sarana pendidikan
dapat dilihat pada tabel berikut:
47
Sarana Pendidikan Formal
No Lembaga Pendidikan Jumlah
1. TK 3
2. SD 4
3. SMP 1
4 STM 1 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
Sarana Pendidikan Non Formal
No Lembaga Pendidikan Jumlah
1. Majlis Ta’lim 4
2. TPQ 2
3. Madrasah Diniyah 4
Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
f. Keadaan Sosial Keagamaan
Masyarakat Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading
Kabupaten Pemalang setelah melakukan aktifitas sehari-hari dalam
rangka untuk pemenuhan kebutuhan hidup untuk keluarga, juga
ternyata mereka aktif melakukan kegiatan keagamaan, ini terbukti
dengan banyak berdirinya Jam’iyah atau pengajian baik itu pengajian
ibu-ibu maupun bapak-bapak. Dalam rangka ikut menyemarakkan
kegiatan keagamaan para pemuda juga berperan aktif dengan
mendirikan perkumpulan pengajian khusus remaja.
48
Kegiatan seperti ini ditujukan untuk menyeimbangkan antara
kebutuhan jasmaniyah dengan rohaniyah karena pada kegiatan tersebut
selalu diiringi dengan ceramah keagamaan oleh para tokoh agama yang
sedikit banyak kegiatan semacam itu dijadikan sebagai sarana untuk
menambah pengetahuan ilmu agama. Dengan seimbangnya kebutuhan
jasmaniyah dengan rohaniyah diharapkan ketenangan dalam hidup
dapat tercapai.
Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, terdapat berbagai
macam kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang dan
biasanya setiap orang hanya mengikuti satu kelompok pengajian.
Berikut bentuk kegiatan keagamaan yang ada:
1) Barzanji
Kegiatan ini dilakukan oleh para bapak dan ibu serta
kelompok remaja yang masing-masing kelompok berasal dari
berbagi jenis majlis ta’lim. Kegiatan ini rutin dilakukan seminggu
sekali sesuai dengan hari yang telah ditentukan. Kegiatan ini di
lakukan di rumah anggota masing-masing sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan.
2) Pengajian tafsir Al-Qur’an
Kegiatan pengajian ini dilakukan seminggu dua kali yaitu
malam kamis dan malam minggu, kegiatan ini dilakukan secara
berjamaah artinya diikuti orang-oraang desa setempat di sebuah
49
masjid, jadi tiap orang masing-masing membawa al-Quran untuk
membaca dan menyimak keterangan dari pak kyai. Sebelum
kegiatan ini dimulai biasanya di awali dengan istighotsah terlebih
dahulu yang dipimpin oleh pak kyai sendiri.
3) Tahlil
Pembacaan tahlil ini umumnya dilakukan setiap malam
Jum’at, kemudian ketika ada syukuran, hajatan pernikahan,
khitanan dan kematian.
4) Istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani
serta pengajian pada malam Jum’at Kliwon
Istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir
al-Jaelani ini dilakukan setiap Jum’at Kliwon, kegiatan ini
merupakan program rutin masyarakat Desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang dalam rangka pengembangan
Dakwah Islamiyah. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran pada
setiap Masjid yang ada di Desa Ujunggede, kegiatannya berupa
istightosah dan pengajian umum yang diisi oleh ulama setempat,
setelah istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir
al-Jilani selesai maka dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh
ulama setempat.
B. Praktek Pernikahan oleh Wali Hakim karena Wali Adhol
Praktek pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan wali adhol
yang dilakukan pada posisi perempuan yang tidak direstui oleh walinya di
50
Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang sejak tahun
2005 hingga tahun 2009 bisa dibilang sesuatu yang tidak aneh lagi, artinya
kejadian seperti ini sudah pernah terjadi meskipun tidak pasti tiap tahunnya.
Dalam kurun waktu 5 tahun ini, penulis menemukan 6 pasangan yang
melakukan pernikahan tersebut, namun karena keterbatasan penulis hanya
mengambil 3 pasangan yang dianggap cukup mewakili dari enam pasangan
pernikahan tersebut, karena dari keseluruhan pasangan pernikahan tersebut
ulama desa setempat mengesahkan pernikahan semacam itu, walaupun ada
sebagian ulama dari desa tersebut tidak mengesahkannya.
Sebut saja SLM dan YL, pasangan tersebut mengakui bahwasanya
mereka telah melakukan pernikahan dengan wali Hakim walaupun sebenarnya
walinya masih ada, karena faktor tidak direstui oleh walinya, sehingga mereka
nekat nikah tanpa menggunakan walinya (ayahnya). Keadaan inilah yang
memaksa ke dua pasangan tersebut (SLM dan YL) untuk melangsungkan
pernikahannya karena mereka sudah saling mencintai bahkan YL pernah
mencoba melakukan bunuh diri karena dia akan dijodohkan oleh ayahnya
dengan laki-laki yang tidak disukainya. Awalnya SLM ragu untuk menikahi
YL dikarenakan tidak disetujui oleh ayahnya, di karenakan ayah YL sudah
mempunyai pilihan sendiri. Akan tetapi SLM mengaku dia sudah siap
menikah sebab di samping sudah bekerja, usia SLM juga sudah cukup untuk
melangsungkan pernikahan.
Pada waktu itu SLM sudah berusaha membujuk orang tua YL agar
mau menerima SLM, dan SLM sempat melamar YL, akan tetapi dengan
51
berbagai alasan, orang tua YL tetap tidak mau menerima lamaran dari SLM.
Waktu itu SLM hampir putus asa dengan ditolaknya lamaran dari orang tua
YL, kemudian SLM sempat melarikan diri ke Jakarta demi menghindar dari
YL. Justru dengan SLM pergi ke Jakarta untuk menghindari YL malah
memperkeruh masalah sebab YL malah sering kabur dari rumahnya untuk
mencari keberadaan SLM sehingga orang tua YL sering merasakan
kecemasan.
Dengan kepergian YL dari rumahnya maka orang tua YL sering
menelpon keluarga SLM untuk mengetahui keberadaan anaknya, sehingga
keluarga dari pihak SLM juga menghubungi SLM untuk menanyakan hal yang
sama. Setelah SLM mengetahui keadaan YL seperti itu, SLM merenung
beberapa hari di Jakarta, SLM mulai berpikir tentang masalah yang
dihadapinya. Pada akhirnya SLM pulang menemui YL untuk membicarakan
masalahnya.
Setelah mereka membicarakan masalah yang dihadapinya, akhirnya
mereka memutuskan untuk menikah dengan wali Hakim kepada seorang kyai
(Ulama Desa Ujunggede), akan tetapi sebelum mereka meminta Kyai tersebut
untuk menikahkan, SLM dan YL menceritakan semua keadaan yang mereka
hadapi kepada Kyai tersebut. Setelah mendengar cerita dari pasangan tersebut,
Kyai tersebut langsung membicarakan langsung kepada ulama-ulama lainnya
di Desa Ujunggede tentang masalah tersebut. Namun karena berbagai
pertimbangan kemaslahatan, akhirnya mereka (SLM dan YL) melaksanakan
pernikahan setelah ulama desa setempat memperbolehkan pernikahan tersebut.
52
Setelah SLM dan YL sudah melaksanakan pernikahan, kemudian mereka
mendaftarkan pernikahannya ke KUA agar tercatat sebagai pernikahan yang
resmi. Mereka (SLM dan YL) meminta Wali Hakim untuk menikahkannya
meskipun Walinya ada tetapi Adhol.1
Sedikit berbeda dengan yang diungkapkan oleh pasangan HMZ dan
SN, mereka justru memilih jalan nikah dengan wali Hakim sebab hubungan
mereka tidak direstui oleh orang tua pihak perempuan dikarenakan HMZ
duda.
Ketika dikonfirmasi mengenai penyebab terjadinya pernikahannya,
mereka menjawab dengan tenang, bahwa sebenarnya mereka sungguh ingin
menikah, HMZ sudah melamar SN akan tetapi lamarannya ditolak. Berhubung
kami (HMZ dan SN) sudah terlanjur saling mencintai dan masyarakatpun
sudah mengetahui hubungan kami (HMZ dan SN), hubungan kami tidak
direstui oleh orang tua dan keluarga SN, dikarenakan saya (HMZ) duda, maka
pihak keluarga SN meragukan keberadaan saya (HMZ) dan orang tua SN tidak
merestui hubungan kita. Dan dari pada menimbulkan fitnah, dan terjerumus ke
lembah perzinaan, maka akhirnya kami mengambil alternatif nikah dengan
menggunakan wali Hakim. HMZ dan SN sebelum melaksanakan
pernikahannya, mereka konsultasi terlebih dahulu kepada Ulama setempat,
apakah pernikahan mereka boleh dilaksanakan atau tidak. Akan tetapi dengan
berbagai pertimbangan-pertimbangan ulama setempat, maka pernikahannya
1 Data dari hasil wawancara dengan Saudara SLM, tanggal 21 Juli 2009
53
bisa dilaksanakan, dan pada saat Ijab-Qobul dilaksanakan, keluaraga HMZ
ikut menyaksikannya.2
Sedangkan pasangan yang ketiga yaitu DD dan ZN, pasangan ini
ketika dikonfirmasi mengenai penyebab terjadinya pernikahan tidak jauh beda
dengan pasangan HMZ dan SN bahkan pada proses Ijab-Qobulnya saja sama,
akan tetapi yang berbeda hanya faktor penyebab dari orang tua ZN tidak
merestui hubungan mereka (DD dan ZN) dikarenakan kedua keluarga dari
saudara DD dan ZN pernah terjadi perselisihan.3
C. Pendapat Masyarakat tentang pernikahan oleh wali Hakim kaitannya
dengan wali Adhol
Menanggapi kasus tersebut, Bapak Hambali mengatakan bahwa
penduduk Indonesia dalam hal pernikahan itu mengikuti 2 hukum, yaitu
hukum Negara dan hukum Agama. Masalah pernikahan dengan tidak
menggunakan wali memang masih khilafiyah, ada yang memperbolehkan dan
ada yang tidak memperbolehkan.4 Adanya hukum Negara adalah untuk
menjembatani masalah-masalah yang terjadi, sebab tanpa adanya hukum
Negara yang pasti negara akan kacau balau, karena masing-masing orang
mempunyai pendapat dan keyakinan yang berbeda-beda.
Ketika disinggung mengenai pernikahan perempuan oleh wali Hakim
kaitannya wali Adhol yang terjadi di Desa Ujunggede beliau menjelaskan
bahwa pernikahannya tetap sah, dikarenakan tingkat kemaslahatannya lebih
2 Data dari hasil wawancara dengan Saudara HMZ, tanggal 21Juli 2009 3 Data dari hasil wawancara dengan Saudara DD, tanggal 23 Juli 2009 4 Data dari hasil wawancara dengan bapak Hambali, beliau adalah mantan Desa
Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang pada tanggal 22 Juli 2009.
54
besar. Pada dasarnya nikah tanpa persetujuan wali, pernikahan tidak dapat di
laksanakan. Namun, jika terjadi perselisihan wali Nasab dengan wanita yang
akan menikah, izin wali Nasab itu dapat diganti dengan izin wali Hakim.
Dalam masyarakat kami biasanya ketika ada kasus semacam itu, kami tidak
langsung menghukumi haram pernikahan seperti itu, akan tetapi kita lihat
terlebih dahulu kronologisnya dari pernikahan itu, walaupun pernikahan
semacam itu bertentangan dengan Hukum Islam.
D. Pendapat Ulama tentang pernikahan oleh wali Hakim karena walinya
Adhol
Salah seorang Ulama Desa Ujunggede (Ky. Anwar ‘Asy’ari)
menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seorang gadis tanpa wali
(ayah dari calon mempelai perempuan) pada dasarnya tidak sah, akan tetapi
kalau pernikahannya itu ditempuh melalui wali Mujbir malah mengakibatkan
madhorot dan menimbulkan malapetaka bagi pasangan tersebut, maka
pernikahan seperti itu sah sah saja, dikarenakan tingkat kemaslahatannya lebih
besar. Beliau mengesahkan pernikahan ini antara lain berdasarkan kaidah
usuliyah yang berbunyi ”Menolak kerusakan harus di dahulukan dari pada
menarik kemaslahatan”. Beliau menjelaskan bahwa jika terjadi perlawanan
antara kerusakan dan kemaslahatan pada suatu perbuatan, dengan kata lain
jika satu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung
kerusakan dan ditinjau dari segi yang lain mengandung kemaslahatan, maka
segi larangannya yang harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah
meninggalkan larangan lebih besar dari pada perintah menjalankan kebaikan.
55
Beliau juga menambahkan syarat pernikahan mereka (pelaku
pernikahan) sudah terpenuhi dan tidak ada larangan syar’i untuk terjadi
pernikahan, namun hanya saja ayah kandung perempuan enggan menikahkan
mereka. Dan apabila wali nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali
Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh sekali-kali
pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali ab’ad.5
Kemudian beliau juga menambahkan bahwa masyarakat itu bersifat
majemuk dan masing-masing mempunyai ciri-ciri serta tradisi yang berbeda-
beda pada masing-masing daerah apalagi dalam satu desa. Dalam satu
keluargapun kemajemukan itu selalu ada dan selalu saja ada perbedaan
pendapat, karena perbedaan pendapat adalah rahmat dari Allah SWT. Jadi kita
tidak boleh menyalahkan pendapat ataupun keyakinan orang lain ketika terjadi
sebuah perbedaan.
Hal senada juga dikatakan oleh Bapak K.H. Ihwan, kemudian bahwa
pernikahan perempuan dengan wali Hakim karena walinya Adhol itu
hukumnya sah apabila alasan wali yang enggan menikahkan tersebut dengan
alasan yang tidak syar’i, akan tetapi kalau alasannya syar’i maka perwaliannya
tidak bisa pindah ke wali Hakim dan wali tersebut harus ditaati. Kemudian
beliau juga menjelaskan bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah
minta dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu
5 Wawancara dengan Bapak K. Anwar As’ari, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009.
56
wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. (lihat kitab
Muhadzab, juz. 3, hlm. 37)6
Beliau juga menambahkan bahwa pernikahan dengan tanpa Wali
masih khilafiyah (lihat kitab Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid). Di
samping itu beliau juga melihat tingkat kemaslahatannya lebih besar. Beliau
juga berpendapat mengenai wanita menikah tidak harus menggunakan wali,
hal ini didasarkan pada analisis QS. Al-Baqarah: 230 dan 232.
Hal tersebut di atas, berbeda dengan pendapat K. Arifin, beliau
berpendapat bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol
itu tidak sah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW yang menjelaskan
tentang larangan menikah dengan tidak menggunakan wali, beliau tidak
mengesahkan pernikahan tersebut karena seorang Hakim tidak boleh
menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya
dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah
sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-
laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah dibanding pilihan
putrinya.(lihat kitab I’anah at-Thalibin, juz 3).7
Demikianlah pendapat-pendapat ulama Desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang, mengenai pernikahan yang dilangsungkan
dengan tanpa wali, yang akhirnya dapat dibuat garis besar sebagai berikut:
6 Wawancara dengan Bapak K.H. Ihwan, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009. 7 Wawancara dengan Bapak K. Arifin, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading
Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009.
57
1. K. Anwar ‘Asy’ari berpendapat bahwa perempuan yang menikah dengan
tanpa menggunakan wali memang khilafiyah, akan tetapi jika
pernikahannya dilaksanakan dengan wali Mujbir malah bisa
mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah, karena di
pandang tingkat kemaslahatannya lebih besar. Beliau juga menambahkan
bahwa apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali
Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh
sekali-kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali Ab’ad.
2. K.H. Ihwan, beliau sependapat dengan K. Anwar ‘Asy’ari, dan masih
menurut beliau bahwa pernikahan perempuan dengan tanpa wali itu sah
akan tetapi masih khilafiyah. Beliau juga menambahkan apabila seorang
perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-laki yang
seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali
Hakim yang akan menikahkan.
3. K. Arifin, beliau tidak mengesahkan pernikahan tersebut, hal ini
didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW bahwa nikah tidak sah
kecuali dengan menggunakan wali, dan keterangan dalam kitab I’anah at-
Thalibin bahwa Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah)
tidak setuju menikahkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil
pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang
juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya
lebih rendah dibanding pilihan putrinya.
58
BAB IV
ANALISIS PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI
HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL
A. Analisis terhadap Persepsi Ulama tentang Pernikahan oleh Wali Hakim
kaitannya dengan Wali Adhol
Dalam ajaran Islam orang tua tidak boleh memaksa mengawinkan anak
putrinya yang sudah dewasa dengan laki-laki yang tidak disukainya.1 Orang
tua berkewajiban meminta pendapat anak putrinya mengenai laki-laki yang
akan dijodohkan, apakah ia mau menerima laki-laki itu atau menolaknya.
Apabila anak perempuannya itu janda, maka ia harus menyampaikan
persetujuannya secara terus terang. Tapi jika anak perempuannya gadis, maka
diamnya adalah tanda setuju karena diakuinya perasaan malu. Jika ia
mengatakan ”tidak” maka orang tua tidak berwenang untuk memaksakan ia
nikah dengan laki-laki yang tidak disukai. Kerena dengan orang tua memaksa
anak perempuannya nikah dengan laki-laki yang tidak disukai bisa
mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, bisa saja anak perempuannya
kabur dari rumahnya dan melakukan pernikahan yang tidak sesuai dengan
prosedur hukum, bahkan anak tersebut bisa bunuh diri karena akan dijodohkan
dengan laki-laki yang tidak disukainya.
Pada masa sekarang memang banyak terjadi perselisihan antara orang
tua dengan anak perempuannya mengenai hal pernikahan. Oleh sebab karena
1 Ghazali Mukri, Panduan Fiqh Perempuan, Jogjakarta: Salma Pustaka, 2000, hlm. 127
59
terjadi perselisihan antara oarang tua dengan anak perempuannya
kemungkinan besar orang tua tidak bersedia menikahkan anak perempuannya
atau enggan (Adhol) menjadi wali bagi anak perempuannya.
Salah satu prinsip pernikahan dalam Islam adalah persetujuan masing-
masing pihak dan didasarkan atas perasaan sukarela. Hal ini sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda:
ال : سول اهللا صلى اهللا عليه و سلّمقال ر: ىب هرريرة رضى اهللا عنه قالأعن
كيفيا رسول اهللا: قالوا , ذن تستأالبكر حىت تنكح مر و الحىت تستأتنكح االيم
2)متفق عليه (أن تسكت: إذا ؟ قال Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata): Sesungguhnya Rasulullah
saw bersabda: Tidak boleh dinikahkan perempuan janda itu sehingga diperintah dan perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya, kemudian para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, Bagaimana izinnya perempuan gadis itu? Beliau menjawab: Diamnya (tanda izinnya). (Muttafaq ‘alaih)
Dari hadits di atas terlihat bahwa seorang perempuan mempunyai hak
untuk menolak dinikahkan, yaitu dengan tidak memberikan izin kepada
walinya untuk menikahkan. Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa Nabi
bersabda:
إن انشتجروا و : م .قال رسول اهللا ص, قالترضى اهللا عنها عن عائشة
3}متفق عليه{ طان وىل من ال وىل لهلفاالسArtinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw bersabda:
Jika mereka (para Wali) menolak menikahkan, maka sultanlah Wali bagi orang yang tidak mempunyai Wali. (Muttafaq ‘alaih)
2 Muhammad Bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, juz 3, Cairo: Syirkah
Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 118 3 Hafid Abi Abdillah Bin Yazid al-Qoswaini, Sunan Ibn Majah Juz 1, Beirut: Darul Fikri
Arabiyah, hlm. 605
60
Pernikahan dengan wali Hakim kaitannya kaitannya dengan wali yang
masih ada tetapi adhol, menurut para ulama desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang di antaranya K. Anwar As’ari dan K.H.
Ihwan, mereka berpendapat bahwa pernikahan perempuan dengan wali Hakim
kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah, karena di pandang
tingkat kemaslahatannya lebih besar, sebab apabila pernikahan tersebut
dilakukan dengan prosedur yang ada justru malah memberikan madhorot bagi
pelaku pernikahan tersebut. Bapak K.H. Ihwan berpendapat bahwa pernikahan
perempuan yang tidak menggunakan wali masih khilafiyah, di samping itu
apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-
laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka
wali Hakim yang akan menikahkan.
Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan pendapat imam mazhab
mengenai wali dalam pernikahan:
1. Menurut pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i beserta penganutnya berpendapat tentang wali Nikah ini
bertitik tolak dari Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Al Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
اميا امراة نكحت : م .قال رسول اهللا ص, قالترضى اهللا عنها عن عائشة
4}متفق عليه {بغري اذن وليها فنكاحها باطل
4 Abu Dawud Sulaiman Ibn Asy’as Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub
Al Ilmiyah, 1996. hlm. 204
61
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa diantara perempuan yang menikah dengan tidak seizin Walinya, maka nikahnya batal.(Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa seorang perempuan
yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti jika tanpa
wali maka nikahnya tidak sah.
Dari hadits Rasulullah SAW yang lain yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
5).روه امحد(النكاح اال بويل وشاهدي عدل : م .قال رسول اهللا ص
Artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan Wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil.
2. Menurut pendapat Imam Hanafi
Menurut Hanafi, nikah (pernikahan) itu tidak merupakan syarat
harus memakai wali. Imam Abu Hanifah atau Mazhab Hanafi dan
beberapa penganutnya mengatakan bahwa akibat ijab (penawaran), akad
nikah yang diucapkan oleh perempuan yang dewasa dan berakal (aqil
baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga menurut Abu Yusuf,
Imam Maliki dan riwayat Ibnu Qosim. Beliau itu mengemukakan pendapat
berdasarkan analisis dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW sebagai
berikut di bawah ini:
βÎ* sù $yγ s) ¯=sÛ Ÿξsù ‘≅ Ït rB … ã&s! .⎯ ÏΒ ß‰÷è t/ 4© ®L ym yxÅ3Ψ s? % ¹` ÷ρy— … çν u ö xî 3
Artinya : “Apabila suami mentalaq isterinya (isteri-isteri) sesudah talaq yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
5 Ibid. hlm. 229
62
seningga dia (perempuan ) itu menikahi calon suami mereka yang baru”. (QS. Al-Baqarah:230)6
# sŒ Î) uρ ãΛ ä⎢ ø) ¯=sÛ u™!$|¡ÏiΨ9 $# z⎯ øón=t6 sù £⎯ ßγ n=y_r& Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&
Artinya: “Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganlah kamu (para Wali) menghalangi mereka nikah lagi dengan calon suaminya”. (QS. Al-Baqarah:232)7
Jadi menurut Imam Hanafi, wali nikah itu tidak merupakan syarat sah
nikah, akan tetapi baik calon mempelai laki-laki atau calon mempelai
perempuan yang hendak menikah hendaknya meminta restu atau izin
terlebih dahulu dari Walinya.
Ulama Hanafiyah juga berpendapat bahwa hadits tentang
disyaratkannya Wali dalam pernikahan yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.
dianggap lemah. Sebab, hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok orang
dari Ibnu Juraij dan az-Zuhri, sementara itu Ibnu Ulayyah mengatakan dari
Ibnu Juraij bahwa ia (Ibnu Juraij) pernah menanyakan kepada az-Zuhri
tentang hadits tersebut, tetapi ia tidak mengenalnya.8 Sebagai dalil atas
kebenaran hal itu, mereka mengatakan bahwa az-Zuhri sendiri tidak
mensyaratkan adanya wali, dan pensyaratan wali juga bukan merupakan
pendapat Aisyah r.a.9
6 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56
7 Ibid 8 Al- Faqih Abul Walid Muhammad Bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam Ghozali Said, MA, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, hlm. 416.
9Dalam hal ini masih terjadi kontraversi, apakah suatu ketetapan hukum berdasarkan “fatwa sahabat” atau berdasarkan “subtansi hadits” yang diriwayatkan.
63
3. Menurut pendapat Imam Malik
Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa
tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.10 Akan tetapi Dawud
memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya wali pada
gadis, dan tidak tidak mensyaratkan pada janda.11
Berdasarkan pendapat imam mazhab dan hadits Nabi tersebut di atas,
pernikahan perempuan dengan wali Hakim kaitannya oleh wali yang masih
ada tetapi Adhol itu sah. Oleh karena itu para ulama desa Ujunggede
Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang juga berbeda-beda pendapat
mengenai hal tersebut.
Berikut ini adalah analisis penulis terhadap persepsi Ulama Desa
Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang terhadap
pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol:
1. Ulama yang mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan
wali Adhol
Apabila kita bandingkan pendapat-pendapat para ulama serta
sumber-sumber hukum mereka yang mengesahkan pernikahan dengan
tanpa wali dengan pendapat-pendapat imam mazhab seperti yang tersebut
di atas, maka dapat diketahui bahwasanya mereka mengikuti mazhab
Hanafi. Penulis memandang apapun dalilnya dan alasan pengambilan suatu
10Ibid. hlm. 409. 11Ibid, hlm. 410.
64
hukum, maka tidak dipandang suatu perbedaan, tetapi rahmat Allah yang
telah memberi akal pada manusia.
Penulis memandang dengan adanya perbedaan pendapat para
ulama, di samping rahmat dari Allah SWT, hal ini juga suatu wujud
dispensasi agama (al-Rukhsah fi al-Din) bagi para makhluk-Nya, hal ini
sesuai hadits Nabi SAW, bahwa agama itu mudah, hanya saja manusianya
yang mempersulit sendiri. Namun kaitannya dengan pernikahan oleh wali
Hakim kaitannya dengan yang masih ada tetapi Adhol, mereka (ulama desa
setempat) mengesahkan pernikahan tersebut berdasarkan aspek
kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut, sebab jika
pernikahannya dilaksanakan dengan menggunakan wali Mujbir bisa
mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah, karena di
pandang tingkat kemaslahatannya lebih besar tapi dengan syarat mereka
harus sekufu, tidak ada mawani’ nikah pada mereka, dan keengganan para
wali tidak berdasarkan alasan yang syar’i. Dalam hal ini penulis juga
sependapat dengan para ulama, juga menurut hemat penulis jika
pernikahan tersebut tidak dilaksanakan justru mereka bisa terjerumus ke
lembah perzinaan, di mana zina itu dalam agama jelas dilarang. Jadi
kesimpulannya wali yang enggan menikahkan anaknya itu tidak
berpengaruh pada sahnya suatu akad pernikahan.
65
2. Ulama yang tidak mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya
dengan wali Adhol
Ulama yang tidak mengesahkan pernikahan ini berdasarkan pada
hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa nikah tidak sah kecuali
dengan adanya wali. Menurut beliau bahwa Hakim tidak boleh
menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya
dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si
ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan).
Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah di
banding pilihan putrinya.
Menurut analisis penulis terhadap ulama yang tidak mengesahkan
pernikahan tersebut, apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas
mengacu pada hadits nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
.)امحدروه (النكاح اال بويل : م .قال رسول اهللا ص
Artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan Wali”
اميا امراة نكحت : م .قال رسول اهللا ص, قالترضى اهللا عنها عن عائشة
}متفق عليه{بغري اذن وليها فنكاحها باطل Artinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw
bersabda: Barang siapa diantara perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal.(Muttafaq ‘alaih)
Hal ini dikarenakan wali sangat penting dalam suatu pernikahan
dan keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakam syarat sahnya
sehingga tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang
66
melaksanakan akad nikah, ini adalah pendapat tiga imam madzhab yaitu
Malik, Syafi’i dan Ahmad serta Jumruh ulama. Sedangkan hadits yang
diriwayatkan oleh ’Aisah di atas sangat jelas sekali menyatakan bahwa
pernikahan itu batal tanpa adanya wali. Akad nikah merupakan sesuatu
yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at
pernikahan tersebut dan madorotnya, perlu pengamatan yang seksama dan
musyawarah terlebih dahulu. Sementara perempuan biasanya pendek
pandangannya dan singkat cara berpikirnya atau jarang ada yang berpikir
panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan
pertimbangan akan akad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi
hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘akad
berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
Penulis memandang bahwa hukum Islam itu tidak sekejam
sebagaimana orang tua bisa memaksa anak perempuannya untuk menikah
dengan orang yang tidak disukainya, sebab hal ini bisa membawa
malapetaka bagi anak tersebut dan orang tuanya. Penulis memandang
bahwa orang tua yang menggunakan hak ijbarnya jelas bertentangan
dengan prinsip pernikahan dalam Islam, karena pada dasarnya prinsip
pernikahan adalah persetujuan masing-masing pihak dan didasarkan atas
perasaan suka rela. Jadi orang tua tidak boleh semaunya menjodohkan
anaknya sebab dia juga mempunyai hak untuk memilih jodohnya dan yang
akan menjalani kehidupannya dengan pasangannya.
67
Dalam membicarakan masalah ijtihadiyah, jangan berpikir itu
membawa perpecahan, berpikirlah secara positif bahwa perbedaan
pendapat itu menjadi arena untuk mencari dan menguji kebenaran kedua
belah yang saling adu argumentasi dan logika, sehingga pendapat apapun
yang disimpulkan adalah sesuai dengan bobot dari alasan masing-masing,
sebab dari cara berpikir seseorang dan kemampuan ilmu seseorang pasti
berbeda-beda sehingga wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan
para Ulama.
B. Analisis terhadap pertimbangan hukum persepsi Ulama terhadap
Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol
Wali merupakan unsur paling penting dalam suatu akad nikah,
sebagaimana pendapat ulama yang dianut oleh umat Islam di Indonesia,
bahwa pernikahan tanpa adanya wali maka nikahnya tidak sah. Kendati
demikian, dalam kenyataan kadang terjadi bahwa wali karena alasan tertentu
enggan menikahkan anak perempuannya, sedang anak perempuannya tersebut
sangat menginginkan untuk menikah dengan calon pilihannya, sehingga untuk
bisa tetap melangsungkan pernikahannya mereka harus menggunakan wali
Hakim.
Menurut para ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading
Kabupaten Pemalang di antaranya bapak K. Anwar Asy’ari dan Bapak K.H.
Ihwan, mereka berpendapat bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya
dengan wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah, mereka mengesahkan
pernikahan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang
68
menuju kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut, dengan
kata lain mereka mengutamakan aspek kemaslahatannya.
Hukum pernikahan perempuan yang tidak menggunakan wali itu
ikhtilaf, ada yang membolehkan dan ada pula yang menganggap tidak sah.
Para ulama saling berbeda pendapat satu dengan lainnya.
بشرط؟ ليست ام النكاح صحة شروط من شرط الوالية هل العلماء اختلف
رواية ىف. الصحة ىف شرط اا و, بويل اال نكاح اليكون انه اىل مالك هبذف
12الشافعى قال وبه, عنه اشهب Artinya: Ulama berselisih pendapat apakah Wali menjadi syarat sahnya
nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa Wali, dan Wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi’i.
Dengan adanya perselisihan pendapat antara ulama mengenai wali
dalam pernikahan, para ulama di Desa Ujunggede juga terjadi perselisihan
pendapat mengenai pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang
masih ada tetapi Adhol.
Berikut ini adalah analisis penulis terhadap pertimbangan hukum
Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang
terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol:
1. Pertimbangan berdasarkan Kemaslahatan
Syari’at Islam bersifat umum, tidak hanya untuk sesuatu keadaan
tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian ini dalam keadaan
tertentu dapat menimbulkan kesulitan dan kemadorotan pada sebagian
12 Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jill, juz 2, 1409 H/1989M, hlm. 6
69
manusia. Dalam keadaan demikian syari’at Islam memberikan kelapangan
untuk menolak kesulitan yang dia hadapi. Sebagaimana Allah SWT
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 sebagai berikut:
߉ƒÌムª! $# ãΝ à6Î/ tó¡ ãŠø9$# Ÿωuρ ߉ƒ ÌムãΝ à6Î/ uô£ãè ø9$#
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”
Ayat ini menjelaskan adanya keringanan dan kemudahan terhadap
sesuatu beban hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan karena
adanya udzur tertentu. Al-Quran dalam menetapkan hukum tidak
menyulitkan manusia dalam pelaksanaannya dan tidak menetapkan hukum
di luar kemampuan manusia. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa
kemudahan dan keringanan ini meerupakan rahmat dari Allah SWT
kepada hamba-Nya.
Dalam hal ini kaitannya dengan pernikahan oleh wali Hakim
kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol para Ulama Desa
Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang dalam
mengesahkan pernikahan tersebut itu berdasarkan pada aspek
kemaslahatan dari latar belakang para pelaku pernikahan tersebut,
pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi
Adhol adalah sebuah keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu beban
hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan karena adanya udzur
tertentu, hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
70
درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل
Artinya: Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan
Bahwa jika terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan
pada suatu perbuatan, dengan kata lain jika satu perbuatan ditinjau dari
satu segi terlarang karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi
yang lain mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya yang harus
didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan
lebih besar dari pada perintah menjalankan kebaikan.
Penulis juga memandang bahwa hukum asal pernikahan adalah
sunnah, akan tetapi pernikahan bisa menjadi wajib jika orang yang telah
mempunyai keinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan
untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam pernikahan
serta ada kekhawatiran, apabila tidak nikah, maka akan tergelincir untuk
berbuat zina. Sebab menjaga diri dari perbuatan zina hukumnya wajib,
apabila dari seseorang tertentu penjagaan diri itu akan terjamin jika
dengan jalan menikah, maka menurut penulis kaitannya dengan kasus
perempuan yang nikah dengan wali Hakim karena walinya Adhol
melakukan pernikahan, maka pernikahan itu hukumnya wajib. Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqhiyah bahwa sesuatu yang mutlak diperlukan
untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib. Dengan kata
lain apabila suatu kewajiban tidak terpenuhi tanpa adanya suatu hal, maka
hal itu wajib pula hukumnya. Menurut penulis penerapan kaidah tersebut
71
dalam masalah pernikahan apabila seseorang hanya dapat menjaga diri
dari perbuatan zina dengan jalan pernikahan, maka baginya pernikahan itu
wajib hukumnya.
2. Pertimbangan berdasarkan sudah terpenuhinya syarat-syarat pernikahan
Bahwa menurut mereka (para Ulama Desa Ujunggede) syarat
pernikahan mereka (pelaku pernikahan) sudah terpenuhi semua dan tidak
ada larangan syar’i yang menghalangi pernikahan mereka, namun hanya
saja ayah kandung perempuan enggan menikahkan mereka. Adapun alasan
wali tidak mau menikahkan tidak berdasarkan alasan yang syar’i. Menurut
penulis pernikahan tersebut juga sudah sesuai dengan UU Perkawinan,
menurut UU Perkawinan Bab: 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan, bahwa
perkawinan sah apabila dilakukan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Dan bagi umat Islam, pernikahan sah apabila dilakukan
menurut Hukum Perkawinan Islam, dengan kata lain bahwa ketentuan
hukum agama yang menjadi penentu utama sah dan tidaknya pernikahan.
3. Pertimbangan berdasarkan walinya Adhol
Dan apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali
Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh sekali-
kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali ab’ad. Hal ini
menurut pandangan penulis, bahwa pernikahan dengan wali Hakim itu
sudah sesuai dengan teori sebab di dalam KHI sudah dijelaskan pada pasal
23 ayat 1 dan 2, dan PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 tentang Wali
Hakim.
72
4. Menimbang berdasarkan pada kitab Muhadzab
Bahwa dalam keterangan kitab Muhadzab yang berbunyi:
13طانوىل زوجها السلالو إن دعت املنكحة على كفؤ فعضلها
Bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan
dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya
menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, bahwa Nabi
bersabda:
و إن انشتجروا :م .قال رسول اهللا ص , قالت رضى اهللا عنهاعائشةعن
14)متفق عليه( فاالسلطان وىل من ال وىل لهMenurut pandangan penulis, berdasarkan hadits ini bahwa jika wali
enggan menikahkan anaknya, maka wali Hakimlah yang akan
menikahkannya.
5. Pertimbangan berdasarkan analisis QS al-Baqarah ayat 230, 232 dan 234
Bahwa dalam QS al-Baqarah ayat 232, Allah berfirman:
Ÿξsù £⎯ èδθè=àÒ÷ès? βr& z⎯ ósÅ3Ζ tƒ £⎯ ßγ y_≡ uρø—r&
Artinya: “Maka janganlah kamu (para Wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya” (al-Baqarah: 232)15 Demikian juga firman-Nya:
4© ®L ym yxÅ3Ψ s? % ¹` ÷ρy— … çν u ö xî
“Hingga dia kawin dengan suami yang lain” (al-Baqarah: 230)16
13 Syaikh Imam Abi Ishaq Ibrohim bin Ali, Muhadzab, juz 2, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha Putra, hlm. 37
14 Hafid Abi Abdillah Bin Yazid al-Qoswaini, Sunan Ibn Majah Juz 1, Beirut: Darul Fikri Arabiyah, hlm. 605
15 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56
73
Dan ayat yang terakhir
Ÿξsù yy$ oΨ ã_ ö/ ä3 øŠ n=tæ $yϑŠ Ïù z⎯ ù=yèsù þ’Îû £⎯ ÎγÅ¡àΡr& Å∃ρâ ÷ê yϑø9 $$Î/
“Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut” (al-Baqarah: 234)17
Menurut penulis ayat di atas dan lainnya, kata nikah selalu
disandarkan pada perempuan bukan kepada wali. Bahwa wali dilarang
oleh al-Qur’an menghalangi nikah dengan lelaki yang disukainya. Menurut
pandangan penulis bahwa pernikahan itu merupakan hak perempuan
sepenuhnya dan ia layak menangani pernikahannya secara langsung tanpa
izin terlebih dahulu kepada walinya. Oleh karena itu, pernikahan yang
dilakukan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi
Adhol itu sah. Hanya saja menurut rasa kesusilaan masyarakat di
Indonesia, tidak hadirnya wali dalam pernikahan, dirasakan “kurang baik”
dan rasanya memang tidak pula “baik” kalau seorang perempuan
kendatipun ia sudah dewasa, menawarkan dirinya sendiri kepada calon
suaminya di hadapan dua orang saksi dan orang-orang yang hadir di
sekitarnya.
Dari keterangan para ulama desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang dapat dianalisis bahwa para ulama
sebenarnya menganggap sah pernikahan perempuan dengan wali Hakim
kaitannya dengan wali Adhol. Sedangkan perbedaan pendapat terjadi
karena pengambilan hukum yang berbeda, di samping itu juga karena
16 Ibid 17 Ibid, hlm. 57
74
pemahaman atas suatu dalil yang berbeda-beda satu sama lainnya,
sehingga terjadilah perbedaan penafsiran antara ulama satu dengan ulama
lainnya.
Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang
terjadi di Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang,
penulis memandang berdasarkan dalil-dalil (al-Qur’an, al-Hadits, Kitab-
kitab, KHI, PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 dan UU. Perkawinan) yang
telah penulis uraikan di atas, maka penulis menyatakan penyelesaian kasus
tersebut sudah sesuai dengan teori.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis uraikan dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis
simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa persepsi ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten
Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali
Adhol adalah merupakan sebuah proses untuk mencapai pada tahap
pernikahan, jadi hal itu tidak berpengaruh terhadap sahnya pernikahan
asalkan mereka sekufu dan ketika ijab qabul mereka sudah bisa menerima.
Ulama desa setempat mengesahkan pernikahan tersebut, karena
berdasarkan kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut.
Sebab jika pernikahannya dilaksanakan dengan menggunakan wali Mujbir
malah bisa mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah,
karena dipandang tingkat kemaslahatannya lebih besar.
2. Bahwa pertimbangan hukum dari persepsi ulama desa Ujunggede
Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang terhadap pernikahan oleh wali
Hakim kaitannya dengan wali Adhol adalah sebagai berikut:
a. Pertimbangan berdasarkan Kemaslahatan
Dalam hal ini para ulama desa Ujunggede Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang berdasarkan pada aspek
76
kemaslahatan dari latar belakang para pelaku pernikahan tersebut, hal
ini beliau dasarkan sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل
Artinya: Menolak kerusakan itu harus di dahuiukan dari pada menarik kemaslahatan
b. Pertimbangan berdasarkan sudah terpenuhinya syarat-syarat
perkawinan
Bahwa menurut mereka (para ulama desa Ujunggede) syarat
perkawinan mereka (pelaku pernikahan) sudah terpenuhi semua dan
tidak ada larangan syar’i yang menghalangi pernikahan mereka.
c. Pertimbangan berdasarkan Walinya Adhol
Dan apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke
wali Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak
boleh sekali-kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali
Ab’ad.
d. Pertimbangan berdasarkan analisis QS al-Baqarah ayat 230, 232 dan
ayat 234.
Bahwa dalam QS al-Baqarah ayat 232, 230 dan 234 kata nikah
selalu disandarkan kepada perempuan bukan kepada wali. Bahkan wali
dilarang menghalangi perempuan nikah dengan lelaki yang disukainya.
e. Menimbang berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata): Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh dinikahkan perempuan janda
77
itu sehingga diperintah dan perempuan gadis tidak boleh dinikahkan
sehingga dimintai izinnya, kemudian para sahabat bertanya: Ya
Rasulullah, Bagaimana izinnya perempuan gadis itu? Beliau menjawab:
Diamnya (tanda izinnya). (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa Nabi bersabda jika mereka (para
wali) menolak menikahkan, maka sultanlah wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali”
f. Menimbang berdasarkan pada kitab Muhadzab
Bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta
dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu
wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan.
Berdasarkan pada dalil-dalil dalam al-Qur’an, al-hadits, kaedah
fiqhiyah dan juga pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa
pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol itu sah, di samping
dari dalil-dalil yang menguatkan keabsahan tersebut, juga untuk memelihara
martabat perempuan dalam pernikahan dan agar mereka tidak terjerumus ke
lembah perzinaan.
Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang terjadi
di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, penulis
menyatakan penyelesaian kasus tersebut sudah sesuai dengan teori.
B. Saran-saran
Dari uraian di atas, maka penulis mengajukan saran-saran untuk
menjadi bahan pertimbangan sebagai berikut:
78
1. Orang tua dan pendidik seyogyanya menanamkan pengetahuan agama dan
jiwa moral terhadap anak-anaknya sebagai bekal dalam hidupnya agar
memahami terhadap ajaran Islam (dalam hal ini ajaran tentang hukum
pernikahan), dan nantinya diharapkan untuk tidak melakukan tindakan
yang bertentangan dengan syari’at Islam maupun hukum Positif.
2. Kepada mereka yang sudah menginginkan untuk menikah dan sudah
mempunyai pilihan sendiri hendaknya segera memberi tahu orang tua
sebelum hubungannya terlalu jauh, sebab kalau sudah terlanjur jauh tetapi
orang tua tidak merestuinya justru akan menghambat pernikahan mereka.
3. Para perangkat desa, ulama dan ormas Islam hendaknya memberikan
kebijakan-kebijakan yang dapat mencegah ataupun menghilangkan
praktek nikah yang penulis temukan, sehingga diharapkan untuk generasi
selanjutnya tidak terjadi lagi kasus yang serupa.
4. Kepada orang tua khususnya yang mempunyai anak perempuan
hendaknya jangan terlalu memaksa untuk menjodohkan kepada anaknya,
orang tua hendaknya memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk
mencari pilihan sendiri dalam masalah pernikahannya, karena merekalah
yang akan menjalaninya.
C. Penutup
Dengan rasa syukur yang seikhlas-ikhlasnya serta ucapan
Alhamdulillah atas segala petunjuk dari Allah SWT, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang bentuknya sederhana sesuai kemampuan yang
dimiliki. Apa yang penulis uraikan dalam skripsi ini merupakan bagian dari
79
ilmu Allah SWT yang Maha Mengetahui, oleh karena itu semuanya penulis
sandarkan kepada-Nya.
Penulis menyadari, sekalipun telah mencurahkan segala usaha dan
kemampuan dalam penulisan skripsi, namun masih banyak kekurangan
disana-sini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
guna perbaikan selanjutnya.
Semoga skripsi ini dapat diterima untuk memperoleh, memenuhi dan
melengkapi syarat-syarat gelar sarjana. Dan sebagai penutup semoga skripsi
ini dapat menambah khasanah keilmuan dan memberikan manfaat bagi kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Bakar Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Indonesia: Darul Ihya’ kutubil Arobiyah.
Adi Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004 Al-asqolani Al-Hafidz Ibn Hajar, terj. Bulughul Maram, karya Machfuddin aladib,
CV. Toha putra, tth Ali Ash-Shabuny Muhammad, Az-Zawaju Islamil Mubakkrir : Sa’adah, Terj.
Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, Jakarta: Mustaqim, Cet. 1, 2001. Amin Suma Muhammad, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta:. Raja
Grafindo Persada, 2004 Arikunto Suharsini, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 1998. Daud Ali Mohammad, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1997. Daradjat Zakiah, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Dirjen Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta:Proyek Pembinaan
Prasarana Sarana Perguruan Tinggi agama, 1985 Ghozali Said Imam, Analisa Fiqih Para Mujtahid, terj. Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid Jakarta: Pustaka Amani, Hadi Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Andi OffSet, 2000. Hamid Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978 Ibnu Rusyd Muhammad, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut:
Dar al-Jill juz 2, 1409 H/1989M Idris Ramulyo Mohd, SH., MH. (Hukum Perkawinan, Hukum Kewearisan,
Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat), Jakarta: Sinar Grafika Cet pertama 1995
Ishaq Ibrohim Abi, Muhadzab, juz 2, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha
Putra
Jalil Abdul, Fiqh Rakyat (Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan), Yogyakarta: LKiS, 2000
Junaedi Dedi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003 Khoeruddin Ahrun, Pengadilan Agama, Bandung: Citra Aditia Bakti, 1999 Khotib al-Sarbani Muhammad, Al-Mughnil Muhtaj, juz 3, Beirut Libanon: Dar al-
Fikri. Mahfud Sahal, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat,
Surabaya: Ampel Suci, 2003. Mohd Fachruddin Fuad, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya. Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Dar al-lhya al-Kutub
al-Arabiah Muhammad Hasbi Teungku, Hukum-hukun Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997. Muhammad Ibn Ismail As-Sanani, Subul al-Salam, juz III, Kairo: Dar al-Turas al-
Arabi, 1980 Muslim Imam, Shohih Muslim Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992 Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, Cet. Ke-25, 1992. Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998 Ruslan Rusady, Metodologi Penelitian: Public Relation dan Komunikasi, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Sabiq Sayyid, fikhus Sunnah, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Fikr, tth Sabiq Sayyid, Fiqhus Sunnah 7, terj. Muhammad Tholib, Bandung: PT. Al-
Ma’arif, cet. 2, 1982 Saryani al-Khotibi Muhammad, Iqna’ juz II, Semarang: Maktabah wa Matba’ah
Toha Putra, 2005. Shihab Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, 2002.
Sulaiman Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996 Suryana Toto, Ibadah Praktis, Bandung: CV. Alafabeta, tth Surahmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Arsito, 1994. Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006 Taufiq, Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Edisi 25, Semarang 2004. Tuwu Alimudin, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press, 1995 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), Al-
Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI. Proyek Pengadaan Kitab suci Al-Qur’an, 1989.
Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun,
Surabaya: Darul Abidin.
BIODATA MAHASISWA Nama : Subkhan
Tempat Lahir : Pemalang
Tanggal lahir : 02 Mei 1982
Alamat Asal : Desa Ujunggede RT. 04 RW. 07
Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Alamat Sekarang : Pondok Pesantren Uswatun Hasanah, Kauman I
Mangkangwetan, Kecamatan Tugu, Kotamadya Semarang
Nama Orang tua
Ayah : Anwar As’ari
Agama : Islam
Alamat : Desa Ujunggede RT. 04/RW. VII
Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Ibu : Rukiyah
Agama : Islam
Alamat : Desa Ujunggede RT. 04/RW. VII
Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Semarang, Desember 2009
Subkhan NIM. 2105086
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Subkhan
Tempat tanggal lahir : Pemalang, 02 Mei 1982
Jenis Kelamin : Laki-Laki.
Agama : Islam.
Alamat Asal : Desa Ujunggede RT. 04 RW. 07
Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Riwayat Pendidikan :
1. SDN. 02 Ujunggede (1990-1996).
2. SLTPN 02 Ampelgading (1996-1999).
3. MA. Ribatul Muta’allimin Kota Pekalongan (1999-2002).
4. Sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang terdaftar sebagai mahasiswa
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Demikian riwayat hidup yang saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, Desember 2009
Subkhan NIM. 2105086