ANALISIS PENYELESAIAN FORCE MAJEURE DALAM...
Transcript of ANALISIS PENYELESAIAN FORCE MAJEURE DALAM...
ANALISIS PENYELESAIAN FORCE MAJEURE DALAM PRODUK
PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH
SKRIPSI
Diajukan Pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun oleh :
CEISA SHADRINA PRANINDIRA
1112046100056
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
2015/2016
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Ceisa Shadrina Pranindira. NIM 1112046100056. Analisis
Penyelesaian Force Majuere dalam Produk Pembiayaan pada Bank Syariah,
Skripsi Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat (Ekonomi
Islam), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Perkembangan pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tidak dapat
dielakkan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Beberapa
kejadian force majeure yang menimpa nasabah pembiayaan di bank syariah
memerlukan perhatian khusus dalam penyelesaiannya. Penyelesaian force
majeure diatur dalam fatwa-fatwa DSN-MUI serta Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu analisis logis normative.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan serta data sekunder berupa buku-buku, karya tulis,
dan literatur terkait. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil peneltian menunjukkan bahwa (1) Bentuk-bentuk kasus force
majeure yang terjadi pada pembiayaan di bank syariah tidak membedakan model
penyelesaian yang dilakukan oleh bank syariah sebagaimana penyelesaian
pembiayaan bermasalah secara umum (2) Tindakan penyelesaian kasus force
majeure yang dilakukan oleh bank syariah tidak menghapus kewajiban nasabah
kepada bank. Tindakan ini mengacu kepada KUHP pasal 1445. (3) Menurut
hukum Islam kerugian yang terjadi pada pembiayaan mudharabah menjadi
tanggungan pihak pemodal (shahibul maal). Kasus force majeure yang terjadi
pada nasabah pembiayaan mudharabah (mudharib) tidak menghilangkan beban
hutang kepada bank syariah. Dalam perspektif hukum islam tindakan
penyelesaian kasus force majeure harus mengacu kepada hal-hal yang telah
difatwakan oleh DSN-MUI dan KUHP pasal 1244-1245. Serta menjunjung tinggi
asas keadilan
Kata kunci : Pembiayaan, Bank Syariah, Force majeure.
vi
ABSTRACT
Ceisa Shadrina Pranindira. NIM 1112046100056. Force Majeure
Resolution Analysis in Product Financing Islamic Bank, Islamic Banking
Concentration Thesis, Study Program Muamalat (Islamic Economics), Faculty of
Sharia and Law, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.
The development of financing provided by Islamic banks is inevitable with
the development of society itself. Some of the force majeure events affecting
customer financing in Islamic banks need special attention in its completion.
Completion of force majeure is set in fatwas DSN-MUI and the Book of the Law
of Civil Law. The method used in this research using normative juridical
approach to the specification of normative research is a logical analysis. Data
collection techniques used are primary data obtained from the legislation as well
as secondary data in the form of books, papers, and related literature. The data
obtained and analyzed qualitatively. Based on the research findings indicate that
(1) forms a case of force majeure which occurred in the financing in Islamic
banks do not differentiate models of settlement made by Islamic banks as well as
the completion of financing problems in general (2) Actions for resolving cases of
force majeure carried out by Islamic banks do not remove the client's obligation
to the bank. This action refers to the Penal Code Article 1445. (3) Under Islamic
law the losses incurred in the financing is borne by the investor (shahibul maal).
Case of force majeure which occurred on customers of financing (mudharib) does
not eliminate the debt burden to Islamic banks. In the perspective of Islamic law
action for resolving cases of force majeure shall refer to things that have been
stated by a DSN-MUI and the Criminal Code article 1244 to 1245. And upholding
the principle of justice
Keywords: Financing, Islamic Banking, Force majeure.
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : Ceisa Shadrina Pranindira
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 9 Juni 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Aster No. 28. Rawa Laut, Tanjungkarang
Timur Bandar Lampung
Telephone : 081957039167
Email : [email protected]
B. Latar belakang Pendidikan Formal
2000 – 2006 : SD Islam Pondok Duta
2006 – 2009 : SMP Islam Terpadu Al Ihya Insan Kamil Bogor
2009 – 2011 : Pondok Modern Darrussalam Gontor Putri I Mantingan
2011 _ 2012 : MAN 1 Model Bandar Lampung
C. Keorganisasian
1 Sekretaris OSIS (2007),
2 Presenter POIN (Pekan Olahraga Insan) Al Ihya Insan Kamil (2008)
3 Bendahara OSIS (2008),
4 Peserta Pelaksana event Pesantren Kilat Isra’ Mi’raj (2010)
5 Ketua MALDA Majalah Lintas Darrussalam Gontor Putri 1 (2011),
6 Ketua MPR Darrussalam Gontor Putri 1 (Majelis Permusyawaratan
Rayon) (2011)
7 Koord. Divisi Bahasa Arab Rayon Darrussalam Gontor Putri 1 (2011)
8 Koord. Divisi Kesenian Perpisahan Asrama MAN 1 Bandar Lampung
(2011)
9 Anggota Satgas BNN (Badan Narkotika Nasional) MAN 1 Bandar
Lampung (2011)
10 Consultant Oriflame Indonesia (2012)
11 Anggota HMI Himpunan Mahasiswa Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (2012),
12 Anggota Kemahasiswaan HMPS Himpunan Mahasiswa Perbankan
Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013)
13 Freelancer Make Up Artis di Instagram @khafmarina Make Up (2014)
viii
KATA PENGANTAR
Assalamua’laikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah Tuhan semesta alam, yang
telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.Dia antara
kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada pimpinan seluruh umat Islam, tiada
lain yakni Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan umat yang
selalu berpegang teguh pada tali agama Allah hingga akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari adanya rintangan dan
ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas
dari dukungan dan bantuan orang-orang terpenting dalam memberikan bimbingan,
masukan, dan dorongan yang berharga kepada penulis guna terselesaikannya
skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan banyak terima kasih
terutama kepada :
1. Dr. Arief Mufraini, Lc., M.Si, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
beserta staff dan jajarannya sebagai sosok pemimpin, serta pembina di
kampus, yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara
langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ix
2. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
beserta staff dan jajarannya sebagai sosok pemimpin, serta pembina di
kampus, yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara
langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Adhitya Ginanjar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbankan Syariah,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, sebagai sosok yang mengayomi mahasiswa,
membantu serta memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses
penulisan skripsi.
4. AM Hasan Ali, MA, selaku Ketua Program Studi Muamalat, Konsentrasi
Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah menjadi
inspirasi serta sosok yang begitu mengayomi mahasiswa, membantu serta
memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi.
5. Fitri Damayanti, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Perbankan Syariah,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis,yang telah banyak membantu serta
memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi.
6. Abdurrauf, Lc, MA, selaku Sekretaris Program Studi Muamalat, Konsentrasi
Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum. Tidak ada kata yang
pantas selain ucapan terima kasih dan doa atas kesabarannya dalam
membantu proses pembelajaran di kampus.
x
7. H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH, Pembimbing dalam penulisan skripsi
ini yang bersedia meluangkan waktunya. Ucapan terima kasih penulis
haturkan atas kesabaran, saran, dan arahannya dalam penulisan skripsi ini.
8. Seluruh Dosen Konsentrasi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum, yang
telah mengajarkan penulis berbagai hal, terutama ilmu yang bermanfaat,
semoga semua itu menjadi amal kebajikan di dunia maupun di akhirat nanti.
9. Pimpinan perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama serta seluruh
karyawan dan staffnya yang telah memfasilitasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Moh. Ruli Fahmi (Pemimpin Cabang BJB Syariah Soepomo-Jakarta), Daniel
(Financing Manager BJB Syariah Soepomo-Jakarta), Novagia Tansyah
(Branch Ops Manager BJB Syariah Soepomo-Jakarta), tiada kata yang
pantas selain haturan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan
bantuan dalam setiap proses pengambilan data serta wawancara di Bank BJB
Syariah Kc. Soepomo-Jakarta. Semoga kesuksesan terus terkarunia kepada
mereka dan menjadi amal kebaikan di dunia maupun di akhirat.
11. Hadi Wijaya Arifin (Kepala Unit Kerja BSM Bandar Lampung), Kiki
Hendrawati (CBRM BSM KCP. Kedaton Bandar Lampung), Lisa Mallyanti
(Branch Ops Manager BSM KCP. Bandar Lampung), Wijonarko (Area
Consumer & Financing Manager BSM Bandar Lampung), Wendra M
(Account Maintenance BSM Bandar Lampung), Muhammad Faisal
(Commersil Bussines Banking BSM Bandar Lampung, tiada kata yang
pantas selain haturan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan
xi
bantuan dalam setiap proses pengambilan data serta wawancara di BSM
Area Bandar Lampung.
12. Marnita, selaku Legal Staff Unit Support Penanaman Dana Bank Muamalat
Bandar Lampung yang membantu penulis dalam setiap proses wawancara di
Bank Muamalat Bandar Lampung.
13. Abadi Riantini. Mkn, selaku Notaris di Bandar Lampung yang membantu
penambahan kebutuhan informasi penulis
14. Teristimewa untuk keluarga ku, Ibunda (Evialty Primelly), Abi (Wael
Shoukry Abu El Nagaa), Bapak (Budhi Darma Prakasa), Ibu (Kuswiningsih),
Adik ku yang manis (Khalifah Aufa Aslamma), Adik ku yang cantik
(Malika Wael Shoukry Abu El Nagaa), terima kasih atas segala doa,
dukungan, nasehat serta rasa kekeluargaan yang begitu indah, senantia
memberikan support sehingga penulis dapat menyelesaiakan studi di jenjang
strata 1 ini. sungguhh jasamu tiada tara.
15. Kepada teman-teman serta sahabat-sahabat terdekat yang menemani dalam
suka maupun duka, Wanda Kurniady, Fahmi Alamsyah, Rahma Julianti,
Aprilia Wulandari Effendi, Moena Azizah, Naila Rahma Siregar, Farah
Lisani, Syarah Mahbubah, Ka Hilman, Ka Ina, Auladya Istiana, Camelia
Ratna Tribuana, Carmelita Ratna Tribuana, Marieta Putri, Jasmine Arini
Putri yang telah memberikan pengalaman berharga, doa serta dukungan
kepada penulis untuk berjuang menyelesaikan skripsi ini.
16. Kepada seluruh Keluarga Besar kelas Perbankan Syariah B angkatan 2012,
ucapan terima kasih yang berlimpah atas segala kebersamaan selama kuliah,
xii
waktu, pengalaman, dan pelajaran selama ini, semoga semua ilmu yang kita
peroleh terus bermanfaat, baik bagi pribadi maupun masyarakat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan
skripsi ini.
Akhir kata.Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT selalu
memberikan kita keberkahan dan barokah dalam kehidupan.Amin.
Wassalamua’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 30 Juni 2016
CEISA SHADRINA PRANINDIRA
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI .................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ................ iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
ABSTRACT ................................................................................................ vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Idenifikasi Masalah ................................................................ 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 8
D. Tujuan Penelitian ................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ................................................................. 9
F. Review Studi Terdahulu ........................................................ 10
1. Jurnal Ilmiah...................................................................... 10
2. Penelitian Lain .................................................................. 16
G. Metode Penelitian .................................................................. 19
1. Jenis Metode Penelitian..................................................... 19
2. Metode Pendekatan ........................................................... 19
3. Data dan Sumber Data ...................................................... 20
4. Metode Pengumpulan Data ............................................... 21
5. Metode Pengolahan Data .................................................. 21
6. Bentuk Analisis ................................................................. 22
7. Teknik Penulisan ............................................................... 22
H. Sistematika Penulisan ............................................................ 22
xiv
BAB II TEORI FORCE MAJEURE PEMBIAYAAN
A. Force Majeure ....................................................................... 25
1. Pengertian Force Majeure ............................................... 25
2. Dasar Hukum Force Majeure .......................................... 26
3. Macam-macam Force Majeure ....................................... 27
4. Teori Force Majeure ........................................................ 29
5. Akibat Force Majeure ..................................................... 33
B. Force Majeure dalam Hutang Piutang ................................... 35
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata ............................ 35
2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia .......................................................................... 37
BAB III MODEL-MODEL PENYELESAIAN KASUS FORCE
MAJEURE
A. Standar Force Majeure .......................................................... 45
B. Kasus Force Majeure dalam Akad Murabahah dan
Mudharabah ........................................................................... 46
C. Standar Penyelesaian Sengkete Pembiayaan ......................... 48
D. Pola Penyelesaian Sengkete di Bidang Kontak ..................... 51
1. Melalui Negosiasi ............................................................ 51
2. Melalui Mediasi ............................................................... 53
3. Melalui Arbitrase ............................................................. 53
4. Melalui Pengadilan (Litigasi)/Gugatan ............................ 54
5. Penyitaan dan Pelelangan Jaminan .................................. 54
E. Pengakhiran Akad Murabahah .............................................. 55
F. Pengakhiran Akad Mudharabah ............................................ 56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Bentuk-bentuk Force Majeure dalam Produk Pembiayaan di
Bank Syariah .......................................................................... 59
B. Model-model Penyelesaian Force Majeure dalam Produk
Pembiayaan Syariah ............................................................... 66
xv
C. Analisis Penyelesaian Force Majeure dalam Produk
Pembiayaan Murabahah dan Mudharabah di Bank Syariah . 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 84
1. Bentuk-bentuk Force Majeure yang terjadi dalam
Produk pembiayaan Bank Syariah ................................... 84
2. Model-model Penyelesaian kasus Force Majeure dan
Prosedur yang ditempuh para Pihak Bank Syariah .......... 84
3. Kesesuaian model dan prosedur penyelsaian kasus Force
Majeure yang digunakan oleh Bank Syariah dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia dan prinsip-prinsip Syariah ............................. 84
B. Saran ...................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 87
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel 1 Kasus Force Majeure pada Akad Pembiayaan di Bank Syariah ... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan ekonomi dan pengetahuan berkembang
menggiring masyarakat agraris kearah masyarakat modern1 dengan tingkat
kebutuhan yang terus meningkat di segala bidang, pembiayaan, sosial, politik
atau dalam interaksi lainnya. Dalam hal pembiayaan, setiap pribadi atau
perusahaan tentu membutuhkan dana untuk usahanya, baik untuk
kelangsungan berjalannya usaha atau sebagai tahap awal memulai suatu usaha
baru. Hal keuangan yang sensitif ini sering kali membutuhkan pihak lain
sebagai penunjang dana untuk mencukupi kebutuhan dalam berjalannya
usaha. Peranan bank di kehidupan masyarakat seperti yang tertera pada UU
No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk-bentuk lainnya dengan rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat
banyak.2 Begitu pula dengan perbankan syariah yang menjadi salah satu
Lembaga Keuangan Syariah yang saat ini kerap berkembang dan diminati
oleh masyarakat, dimana lembaga ini meliputi dua unsur yang sangat penting
1 Mohammad Muslehuddin, “Insurance and Islamic Law, 2
nd Edition”, (Delhi : Markazi
Maktaba Islami, 1995),h.ix. 2 Wikisource, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
(UU/1998/10)”, diakses dari https://id.wikisource.org/wiki/Undang-
Undang_Republik_Indonesia_Nomor_10_Tahun_1998, pada tanggal 14 Oktober 2015 pukul 21:
22 WIB
2
yaitu unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas operasi
sebagai lembaga keuangan.
Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah,3 dengan kata lain seluruh kegiatan
operasionalnya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang
menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Keberadaan bank syariah
ditengah-tengah kebutuhan pembiayaan yang tak kunjung tercukupi memang
sangat membantu dalam hal keuangan. Beberapa kontrak perjanjian
pembiayaan pun dilakukan untuk mencapai kesepakatan antara pihak bank
dan nasabah.
Kontrak perjanjian ini dibuat dengan peraturan dan ketentuan yang
mengikat keduanya dalam kewajiban yang harus mereka penuhi seperti yang
dikatakan dalam Firman Allah SWT dalam QS.al- Ma‟idah [5]: 1:
يآأي ها الذين آمن وا أوف وا بالعقود
"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu ..."
Serta dalam Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf :
أو مين إال صلحا حرم حالال أو أحل حراما والمسلمون على شروطهم إال شرطا حرم حالال الصلح جائز ب ين المسل
أحل حراما )رواه الترمذي عن عمرو بن عوف(
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
3 Rizal Yaya, dkk., “Akuntansi Perbankan Syariah”, (Jakarta : Salemba Empat, 2009), h.54
3
Disepakatinya perikatan perjanjian dalam pembiayaan perlu di dasari
oleh dasar-dasar yang kuat. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua pihak, berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan tersebut4. Kontrak merupakan sbentuk ikatan kesepakatan yang
dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Pembiayaan sendiri adalah
penyediaan dana berdasarkan persetujuan dan kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan, tanpa imbalan atau bagi hasil5. Di dalam pembuatan kontrak
pembiayaan, akan selalu berkaitan dan bersinggungan dengan asas-asas
hukum, yang mana asas dimaknai sebagai hal-hal mendasar yang menjadi
latar belakang lahirnya suatu norma atau aturan.
Dalam kesepakatan antara kedua belah pihak, ada beberapa
kemungkinan terjadinya peristiwa yang menyebabkan terhambatnya
kelancaran pelaksanaanprestasi untuk memenuhi kontrak perjanjian. Peristiwa
seperti ini terjadi secara tidak terduga serta tidak dapat
dipertanggungjawabkankepada pihak yang lainnya sementara pihak yang
tidak melaksanakan prestasinya tidak beritikad buruk atau dapat
diterjemahkan sebagai force majeure yaitu keadaan memaksa.Potensi
4 Diana Kusumasari. “Perbedaan dan persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian,
dan Kontrak”, diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3b8693275c3/perbedaan-dan-persamaan-dari-
persetujuan-perikatan-perjanjian-dan-kontrak, pada tanggal 20 April 2016 pukul 18 : 43 WIB 5 AH. Azharuddin Latif, ”Analisis yuridis dan ekonomi terhadap pengenaan pajak
pertambahan nilai pada pembiayaan murabahah di perbankan syariah”, (Tesis S2 program studi
Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2008), h.65.
4
terjadinya force majeure memiliki dampak yang berbeda terhadap para pelaku
ekonomi, misalnya force majeureyang menimpa sektor perbankan karena
krisis ekonomi pada 17 November 1997 membuat pemerintah harus
melikuidasi (membubarkan) 16 bank swasta dan dilanjutkan dengan 50 bank
pada likuidasi kedua. Likuidasi dilakukan dengan tujuan menyehatkan dan
merampingkan dunia perbankan. Akan tetapi, ternyata likuidasi 66 bank
tersebut berdampak buruk, masyarakat berlomba-lomba mengambil
simpanannya dari bank-bank yang dikabarkan akan dilikuidasi. Maka,
terjadilah rush (pengambilan terus-menerus) oleh masyarakat perbankan6.
Peristiwa tidak terduga lainnya juga dapat menimpa pihak nasabah, misalnya
kebakaran yang terjadi pada usaha nasabah yang menyebabkan gagal bayar
dalam mengembalikan pembiayaannya dengan pihak bank atau terjadinya
PHK masal pada pekerja suatu perusahaan yang pailit.
Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure
tersebut menyebabkan seseorang tidak wajib melakukan perbuatan yang
wajib dilakukannya dalam keadaan yang normal,7 ini sesuai dengan
KUHPerdata 1244 – 1245 dan dijelaskan lebih lanjut dengan KUH Perdata
1444 – 1445.
Pada kesimpulannya, inti yang terkandung dalam pasal KUH Perdata
ini adalah tidak dikenakannya biaya, rugi dan bunga pada seseorang jika ia
benar mengalami suatu keadaan memaksa yang tidak disengaja dan ia dapat
6 Dian Respati, “Keadaan Perbankan Ketika Krisis Moneter”, diakses dari
http://ekonomisku.blogspot.co.id/2015/05/keadaan-perbankan-ketika-krisis-moneter.html, pada
tanggal 15 juli 2016 pukul 19 : 11 WIB 7 Ibnu Sina Chandranegara, “Pengujian PERPU terkait Sengketa Kewenangan
Konstitusional Antar-Lembaga Negara”, Jurnal Yudisial Vol. V No. 1, April 2012, h. 12.
5
membuktikannya. Keadaan force majeure membuat seorang debitur terhalang
untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak
terduga pada saat dibuatnya kontrak dan peristiwa tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada kreditur karna ia tidak dapat dikatakan lalai
ataupun melakukan wanprestasi8.
Dalam penyelesaian kasusforce majeureini dapat menggunakan cara-
cara yang lazim digunakan dalam penyelesaian sengketa di dunia Kontrak,
sebagai jalan keluar untuk menyelesaiakan sengketa yang bersangkutan.Pola
penyelesaian sengketa force majeure ini umumnya dapat menggunakan salah
satu dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu : melalui negosiasi,
melalui pengadilan (litigasi)/gugatan, melalui arbitrase, atau melalui mediasi.
Kelanjutan risko yang terjadi pada pihak ini dimana pihak terkait harus
menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa : 1)
pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi), 2) pemenuhan
kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).9 Mengenai tuntutan apa yang
harus ditanggung oleh pihak yang force majeuretersebut tergantung pada
jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan.10
Tetapi pihak yang
dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan
tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk wanprestasi
yang diantaranya berupa tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi
8Michael R. Purba, “Kamus Hukum”, (Jakarta : Widyatamma, 2009), h.308.
9Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak” (Jakarta : Rajawali Pers, 2007), h.75.
10Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak”,h.75.
6
karena keadaan memaksa (overmatch) yang mengakibatkan kerugian tanpa
kesalahan (risiko).11
Risiko dalam pengertian hukum merupakan kerugian yang diderita
oleh seseorang, tetapi pembayaran ganti rugi tidak dapat dibebankan kepada
orang lain karena tidak adanya peran orang lain yang merupakan penyebab
timbulnya kerugian ini. Dengan terjadinya force majeure, risiko tidak dapat
ditimpakan kepada pihak yang mengalaminya. Jika debitur dapat
membuktikan bahwa ia tidak dapat melaksanakan prestasi karena force
majeure tersebut, maka hakim akan menolak tuntutan kreditur yang meminta
agar debitur memenuhi prestasi (atau ganti rugi). Risiko debitur terhadap
terjadinya wanprestasi karena force majeure yaitu 12
:
1. Risiko pada perjanjian sepihak yaitu risiko ditanggung oleh kreditur,
debitur tidak wajib memenuhi prestasinya.
2. Risiko pada perjanjian timbal balik yaitu dimana salah satu pihak tidak
dapat memenuhi prestasi karena force majeure maka seolah-oleh
perjanjian itu tidak pernah ada.
Pada umumnya risiko ditanggung oleh pemilik barang 13
yang dalam
dunia perbankan ditanggung oleh bank.Walaupun telah disebutkan bahwa
pada umumnya risiko ditanggung oleh pemilik barang, dalam keadaan
tertentu risiko dapat saja ditanggung oleh orang yang belum menjadi pemilik
11
Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak“, h.76. 12
Rohmadi, “Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak Perjanjian”, diakses dari
https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/ pada tanggal 17 November 2015 pukul 20 :
16 WIB. 13
Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak”, h.83
7
barang14
. Munculnya risiko pada kontrak-kontrak pembiayaan bank syariah
menjadi antisipasi bagi pihak bank untuk mengupayakan penempatan dana
dalam bentuk saham yang dilakukan dan tidak melalui pasar modal. Bank
dapat melakukan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan pembiayaan dengan izin dari Bank Indonesia dan melakukan
penyelesaian pembiayaan sebagai suatu upaya yang dilakukan bank untuk
menyelesaikan pembiayaan bermasalah yang tidak mempunyai prospek.
Atas dasar pertimbangan pembahasan latar belakang diatas penulis
tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Analisis Penyelesaian
Force majeure dalam Produk Pembiayaan pada Bank Syariah.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan banyak masalah yang
dapat diidentifikasi diantaranya :
1. Beragam bentuk force majeure dapat terjadi dalam pembiayaan
perbankan syariah
2. Ketentuan force majeure masih jarang dicatat pada lampiran kontrak
perjanjian
3. Adanya perbedaan penyelesaian force majeure dalam produk
pembiayaan di bank syariah terhadap nasabah pembiayaan berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu
4. Beragam model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur
yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah
14
Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak“, h.84.
8
5. Adanya ketidaksesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force
majeure yang digunakan oleh bank syariah dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam pembiayaan
perbankan syariah?
2. Bagaimana model-model penyelesaian kasus force majeuredan prosedur
yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah?
3. Bagaimana kesesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force
majeure yang digunakan oleh bank syariah dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah?
Selanjutnya, untuk mempermudah pembahasan maka penulis
memberikan batasan-batasan penelitian yaitu :
1. Pembatasan pembahasan force majeure pada penelitian ini adalah kajian
penyelesaian kasus force majeure dalam produk pembiayaan ditinjau dari
aspek hukumnya.
2. Pembatasan penelitian ini hanya dilakukan di 3 bank syariah.Hal ini
dikarenakan diperlukannya peninjauan ulang mengenai kesesuaian
tindakan penyelesaian kasus force majeure yang terjadi pada produk
pembiayaan di beberapa bank syariah.
9
3. Pembatasan pembahasan kasus force majeure yang terjadi dalam produk
pembiayaan di bank syariah dibatasi pada produk pembiayaan yang
berbasis jual beli dengan akad murabahah dan yang berbasis bagi hasil
dengan akad mudharabah.
D. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam
pembiayaan perbankan syariah
2. Menjelaskan model-model penyelesaian kasus force majeure dan
prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah
3. Menjelaskan kesesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force
majeure yang digunakan oleh bank syariah berdasarkan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan
prinsip-prinsip syariah
E. Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu:
1. Secara teoritis
Manfaat hasil penelitian ini dari segi teoritis, diharapkan dapat berguna
untuk dijadikan bahan acuan penelitian berikutnya, kemudian untuk
menambah wawasan masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat
mengenai badan hukum khususnya terhadap praktek penerapan
penyelasaian force majeure tersebut dalam produk pembiayaan pada
perbankan syariah.
10
2. Aspek praktis
Dari segi praktis, untuk dijadikan pemahaman bagi para kaum muslimin
khususnya yang ingin melibatkan diri dalam transaksi yang berhubungan
langsung dengan akad-akad berisi klausul tentang force majeure, baik
yang bersifat lembaga keuangan bank.
F. Review Studi Terdahulu
1. Jurnal ilmiah
Jurnal ilmiah yang terkait dengan penelitian saat ini adalah jurnal
dengan judul “Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya force
majeure (keadaan Memaksa)” oleh Putu Parama Adhi Wibawa dalam
Jurnal Kertha Semaya15
. Kesimpulan dari jurnal ini bahwa perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan
pihak lain memiliki kewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. Pada
perikatan, jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela
dengan itikad yang baik dan sebagaimana mestinya maka kreditur dapat
meminta bantuan hukum agar ada tekanan kepada debitur supaya ia
memenuhi kewajibannya. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan
hukum itu merupakan perikatan pada mulanya para sarjana menggunakan
ukuran dapat “dinilai dengan uang”.Suatu hubungan dianggap dapat
15
Putu Parama Adhi Wibawa,“Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya Force
Majeure (Keadaan Memaksa)”. Jurnal Kertha Semaya. Vol 02, No. 06, Oktober 2014. diakses dari
http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=195720, pada tanggal
8 November 2015 pukul 23 : 16 WIB.
11
dinilai dengan uang jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai
dengan uang.
Pada perikatan yang berupa memberikan sesuatu prestasi melalui
penyerahan suatu barang misalnya penjual berkewajiban menyerahkan
barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan
kenikmatan atas barang yang disewakan.Keadaan yang menimbulkan
force majeureharus terjadi setelah dibuatnya persetujuan karena jika
pelaksanaan prestasinya sudah tidak mungkin sejak dibuatnya
persetujuan, maka persetujuan tersebut batal demi hukum. Hal-hal
tentangforce majeure terdapat di dalam ketentuan-ketentuan yang
mengatur ganti rugi yaitu pada pasal 1244 KUH Perdata dan pasal 1245
KUHPerdata. Mengenai force majeure terdapat dua teori yaitu teori
absolut dan teori relatif. Menurut teori absolut, debitur berada dalam
keadaan memaksa, apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada
unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap
orang, sedangkan menurut teori relatif keadaan memaksa itu ada, apabila
debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi dengan kesukaran
atau pengorbanan yang besar. Terjadinya force majeure tidak menutup
kemungkinan disebabkan karena kelalaian dari debitur. Akibat dari
kelalaiannya yang menyebabkanforce majeure terjadi maka debitur tidak
dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan dan debitur harus mengganti kerugian yang terjadi.
12
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian
pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimana pemahaman teori-teori dalam
keadaan memaksa atau force majeure dan akibat hukum terhadap debitur
atas terjadinya force majeure, sedangkan pada penelitian sekarang tidak
hanya membahas pemahaman teori tetapi juga membahas mengenai
bagaimana implementasi, akibat dan penyelesaian dari force majeure.
Jurnal kedua adalah jurnal oleh Merilatika dengan judul
“Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada
Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan” dalam Jurnal Kertha
Semaya yang pada kesimpulannya mengulik kasus antara Syahrini
(penyanyi) dengan promotor acara di Bali yang telah mendapat kekuatan
hukum tetap yang dituangkan dalam putusan Pengadilan Negeri Bogor
Nomor: 05/Pdt.G/2012/PN.Bgr16
. Syahrini dituntut ganti rugi akibat
dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan
prestasinya untuk menyanyi.Mariam Darus Badrulzaman mengatakan
bahwa apabila debitur “karenakesalahannya” tidak melaksanakan apa
yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata
“karenakesalahanya” sangat penting, oleh karena itu debitur tidak
melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena
salahnya.
16
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian
Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September
2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada
tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
13
Syahrini mendalilkan hal itu bukan sebagai wanprestasi melainkan
force majeure dengan alasan ia harus menemani ayahnya yang sedang
sakit di Rumah Sakit. Pihak promotor tidak setuju terhadap dalil tersebut
karena menurut kuasa hukumnya haltersebut tidak tercantum dalam
klausul force majeure di perjanjian yang telah mereka sepakati.Penulis
berasumsi bahwa kemungkinan besar tidak pernah terlintas dalam pikiran
Syahrini maupun promotornya untuk memasukkan alasan sakit
ataumeninggalnya ayah Syahrini sebagai suatu keadaan memaksa atau
force majeure dalam kontrak mereka. Batal menyanyinya Syahrini pada
acara tersebut tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian
nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan didapat bila Syahrini
melaksanakan prestasinya.Promotor mungkin telah mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit baik untuk promosi, reservasi tempat, waktu, tenaga
dan lain-lain, belum lagi ditambah dengan kontrak-kontrak terkait lain
yang telah dibuat oleh promotor acara tersebut dan reputasi promotor
yang tentunya sulit dinilai dengan uang.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi,
adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut17
:
a) Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata).
b) Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim;
17
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian
Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September
2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada
tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
14
c) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim
Menurut I Kadek Suardana, PPAT di Kabupaten Klungkung,
menyatakan bahwa force majeure atau keadaan memaksa adalah klausul
dalam kontrak yang biasadigunakan untuk melindungi para pihak dalam
hal ketentuan dalam kontrak tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya
keadaan-keadaan diluar kontrol para pihak. Dengan terjadinya force
majeure, risiko tidak dapat ditimpakan kepada pihak yang
mengalaminya. Jika debitur dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat
melaksanakan kontrak karena force majeure tersebut, maka hakim akan
menolak tuntutan kreditur yang meminta agar debitur memenuhi kontrak
(atau ganti rugi). Risiko debitur terhadap terjadinya wanprestasi karena
force majeure yaitu18
:
a) Risiko pada perjanjian sepihak yaitu risiko ditanggung oleh kreditur,
debitur tidak wajib memenuhi prestasinya
b) Risiko pada perjanjian timbal balik yaitu dimana salah satu pihak
tidak dapat memenuhi prestasi karena force majeure maka seolah-
oleh perjanjian itu tidak pernah ada.
Dalam sengketa yang dialami oleh Rudy Hartono Iskandar, selaku
Direktur untuk dan atas nama serta sah mewakili mewakili PT Embrio
(Penggugat) melawan Aisyah Zaelani, selaku Manager artis Penyanyi
Syahrini (Tergugat I) dan Syahrini selaku Artis penyanyi (Tergugat II),
18
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian
Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September
2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada
tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
15
sengketa ini terlihat sederhana akan tetapi ternyata efek dari sengketa ini
jauh dari kata sederhana.Batal menyanyinya Syahrini dikarenakan force
majeure yaitu sakitnya ayah Syahrini yang berujung dengan kematian
tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan
kehilangan keuntungan yang diharapkan bilaSyahrini melaksanakan
prestasinya. Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam penyelesaian
sengketawanprestasi karena force majeure dalam bidang jasa hiburan
yaitu dapat dilakukan melalui proses di luar pengadilan dengan cara
musyawarah dan melalui prosespengadilan terkait pada hukum acara,
para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan
alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan
keahliannyabersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan,
hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan
hakim.
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian
pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimanamengetahui akibat hukum pada
perjanjiankerjasama dalam bidang jasa hiburan sebagai dampak adanya
wanprestasi force majeure dan upaya hukum pihak yang dirugikan
dalamhal terjadinya force majeure yang mengakibatkan terjadinya
wanprestasi terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan,
sedangkan pada penelitian sekarang membahas bagaimana mengetahui
akibat hukum pada kontrak pembiayaan sebagai dampak adanya
permasalahan atau force majeure dalam sektor perbankan syariah.
16
2. Penelitian Lain
Penelitian pertama yang dijadikan review studi terdahulu adalah
penelitian yang dilakukan oleh Chalidah Hanum dengan judul “Strategi
Bank BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah (Studi Kasus
Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta)”19
. Kesimpulan yang dapat
ditarik dari penelitian ini bahwa KPR BTN Syariah menawarkan jasa
pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan tuntutan agama. Selama
Sembilan bulan pertama tahun 2005, BTN telah menyalurkan dana
sebesar Rp. 3,356 triliun untuk sektor konstruksi, termasuk di dalamnya
kredit kepemilikan rumah. Tapi, jumlah yang dikelola secara syariah
masih dibawa 10 persen. Target penyaluran KPR BTN Syariah pada
tahun 2005, adalah 3.000 unit rumah dengan rata-rata nilai Rp. 50 juta
atau nilai total Rp. 151 miliar. Target BTN Syariah tahun ini memiliki
7kantor cabang dan meningkat menjadi 12 kantor cabangpada 2006 dan
20 kantor cabang syariah pada 2007. Rasio penyaluran perumahan masih
di 1,4% atau jauh lebih rendah dibanding Thailand yang mencapai angka
7,4% dan Malaysia 27,7%. Sementara NPF untuk KPR Syariah hingga
bulan juli tahun 2008 mencapai angka 1,15% dari pembiayaan yang
disalurkan BTN Syariah Cabang Jakarta. Kegiatan penyaluran kredit
(pembiayaan) mempunyai peranan penting bagi kegiatan perbankan,
karena kredit atau pembiayaan merupakan bagian terbesar sumber
penghasilan bank. Namun, penyaluran pembiayaan tersebut harus melalui
19
Chalidah Hanum,“Strategi Bnak BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah
(Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarata, 2009.
17
proses analisi kredit. Karena pemberian pembiayaan tanpa dianalisis
terlebih dahulu akan sangat membahayakan bank. Terlebih halnya akan
menyebabkan pembiayaan bermasalah (macet) atau biasa disebut dengan
NPF (Non Performing Financing).Untuk menghindari dan meminimalisir
pembiayaan bermasalah (NPF) pihak perbankan dalam memberikan
pembiayaan KPR pada nasabahnya menggunakan strategi dalam
memberikan pembiayaan KPR.Penulis dalam penelitiannya membahas
mengenai faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan menjadi
bermasalah serta penerapan strategi Bank BTN Syariah dalam menangani
pembiayaan KPR bermasalah.
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang
dikaji, penelitian terdahulu mengkaji mengenai KPR bermasalah,
sedangkan penelitian sekarang mengkaji mengenai Kontrak Pembiayaan
bermasalah yang mana objek pada penelitian pertama hanya berpusat
pada pembiayaan KPR, sedangkan pada penelitian sekarang objek
pembiayaan ditujukan untuk kegunaan lainnya.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian dengan judul “Analisis
Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah
Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri
Cabang Padang, SUMBAR)” yang ditulis oleh Tri Ertina Panjaitan20
.
Kesimpulan pada penulisan penelitian ini bahwa setelah terjadinya
20
Tri Ertina Panjaitan, “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan
Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang
Padang, SUMBAR)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2011.
18
bencana gempa di tanah Padang pada tahun 2009 menyebabkan
banyaknya kerugian yang cukup besar. Akibat gempa bumi tersebut 1195
orang meninggal dunia, 2 orang hilang, 1795 orang luka-luka, 119.005
unit rumah rubuh, 73.733 unit rumah rusak sedang, 78.802 unit rumah
rusak ringan. Fasilias pendidikan yang hancur mencapai 2.114 unit, rusak
sedang 1.364 unit, dan rusak ringan 1.147 unit. Sedangkan jumlah
saranan kesehatan yang mengalami rusak berat 235 unit, rusak sedang 94
unit, dan 66 rusak ringan. Gempa juga meluluhlantakan 246 perkantoran
milik pemerintah, dimana 103 unit mengalami rusak sedang dan 74 unit
rusak ringan. Total seluruh kerugian 21,5 triliun.
Bencana yang terjadi juga mengakibatkan pembiayaan bermasalah
pada Bank Syariah Mandiri yang berada di kota Padang. Sampai pada
tahun 2009 jumlah pembiayaan yang disalurkan Rp. 112.086.128.949,62,
akibat dari gempa yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 ± 20%
dari seluruh pembiayaan yang disalurkan masuk kedalam pembiayaan
bermasalah dan pembiayaan yang terkena bencana hampir semuanya
berpotensi bermasalah jika tidak diberikan keringanan.
Keadaan force majeure pada kasus ini menitikberatkan pada kasus
bencana alam masal.Sehingga perlu adanya kebijakan bank untuk
menyikapi nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah akibat
gempa Padang.Fokus yang diambil oleh penulis adalah penyelesaian
pembiayaan Mudharabah dan Murabahah pada Bank Syariah Mandiri
Cabang Padang pasca gempa Padang tahun 2009.
19
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang
dikaji, pada penelitian pertama membahas mengenai penyelesaian
pembiayaan bermasalah yang difokuskan hanya pada force majeure
dalam kasus bencana alam masal, sedangkan pada penelitian sekarang
mengkaji mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah yang terjadi
karena force majeure dalam kasus perseorangan serta sebab menurut
jenisnya.
G. Metode Penelitian
1. Jenis metode penelitian
Jenis metode penelitian hukum normatif yang digunakan untuk
mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang ada. Metode penelitian
hukum normatif yang dipergunakan dalam penulisan ini guna melakukan
penelusuran terhadap kesesuaian norma-norma yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketentuan force
majeure. Metode penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan
meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini
baik yang bersifat teoritis ilmiah, serta dapat menganalisa masalah-
masalah yang dibahas dalam permasalahan skripsi ini.
2. Metode Pendekatan
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, pendekatan penelitian
dilihat dari bidang ilmu hukum (legal research) dengan konsentrasi
hukum perbankan. Pendekatan masalah pada penelitian ini dilakukan
secara yuridis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji
20
peraturan-peraturan perundang-undangan beserta paraturan lainnya yang
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, sehingga pendekatan
masalah dilakukan dengan menginvetariskan bahan-bahan hukum yang
ada yang dimulai dari suatu persoalan hukum, penelitian yang dilakukan
dengan cara mempelajari, mengkaji dan menginterpretasikan bahan-
bahan hukum yang berupa ketentuan perundang-undangan yang berlaku
di indonesia
3. Sumber data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-
sumber yang telah ada, berupa:
a) Bahan Hukum Primer, berupa:
(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244
(2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245
(3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444
(4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445
(5) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan
Murabahah
(6) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh)
(7) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu
Yang Menunda-nunda Pembayaran
b) Bahan sekunder berupa bahan hukum yang berkaitan erat dan
menjelaskan permasalahan yang meliputi buku-buku atau literatur-
21
literatur dari para ahli atau sarjana-sarjana serta artikel-artikel yang
dimuat di internet dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4. Metode pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang bisa ditempuh untuk kepentingan
pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu Metode yang digunakan
adalah studi pustaka, yaitu mengumpulkan, mengidentifikasi,
mengklasifikasi, dan menganalisa data untuk kemudian dilakukan
pencatatan atau pengutipan terhadap data tersebut. Studi pustaka
dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1. Menentukan terlebih dahulu sumber data bahan hukum primer dan
sekunder.
2. Identifikasi data yang diperlukan.
3. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah.
5. Metode pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a) Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang
terkumpul sudah cukup lengkap, benar dan sesuai dengan masalah.
b) Penandaan data ( Coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang
menyatakn jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-
unhdangan atau dokumen.
c) Klasifikasi data (classification), yaitu penempatan dapat
mengelompokkan data yang melalui proses pemeriksaan serta
penggolongan data.
22
6. Bentuk analisis
Bentuk analsis yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
kualitatif menggunakan analisis logis normatif berdasarkan logika dan
peranturan perundang-undangan serta analisis silogisme yaitu menarik
kesimpulan yang telah ada
7. Teknik penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang disusun oleh Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penuisan peneitian yang berjudul “Analisis Penyelesaian
Force majeure Dalam Pembiayaan Bank Syariah” adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Pada Bab pertama ini dijabarkan mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, serta sistematika penulisan
sebagai alur dan koridor penulisan.
BAB II Teori Force majeure pembiayaan
Bab ini akan dibagi dalam beberapa sub-bab. Sub-bab pertama akan
membahas mengenai definisi pembiayaan yang terdiri dari pengertian
pembiayaan, dasar hukum pembiayaan, pembiayaan dengan prinsip jual beli,
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Pada sub-bab kedua akan dipaparkan
mengenai pembiayaan murabahahyang terdiri dari pengertian murabahah, dasar
23
hukum murabahah, syarat-syarat murabahah, dan rukun murabahah. Pada sub-
bab ketiga akan di jelaskan mengenai pembiayaan mudharabah yang terdiri dari
pengertian mudharabah, dasar hukum mudharabah, syarat-syarat mudharabah,
dan rukun murabahah. Kemudian dilanjutkan pada sub-bab ke empat membahas
mengenai force majeure yang terdiri dari pengertian force majeure, dasar
hukumforce majeure, macam-macamforce majeure, teori force majeure, serta
akibat dariforce majeure.
BAB III Model-model Penyelesaian Kasus Force majeure
Dalam bab ini penulis menjelaskan gambaran umum tentang model-model
penyelesaian kasus force majeureyang terdiri dari standarforce majeure, kasus
force majeure dalam akad murabahah, kasusforce majeure dalam akad
mudharabah, standar penyelesaian Sengketa, pola penyelesaian sengketa di
bidang kontrak, pengakhiran akad Murabahah, dan pengakhiran akad
mudharabah.
BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang hasil temuan data dan analisa
dalam penyelesaian kasus force majeure terhadap produk pembiayaan yang
dilakukan bank syariah meliputi bentuk-bentuk force majure dalam produk
pembiayaanpada bank syariah, model-model penyelesaian force majeure dalam
produk pembiayaanpada bank syariah, serta analisis penyelesaian force majeure
dalam produk pembiayaan murabahah dan mudharabah pada bank syariah.
24
BAB V Penutup
Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan jawaban atas pokok
permasalahan yang telah diajukan serta memberikan saran antisipatif mengenai
penyelesaian kasus force majeure untuk produk pembiayaan murabahah dan
mudharabah yang disediakan oleh bank syariah.
25
BAB II
TEORI FORCE MAJEURE PEMBIAYAAN
A. Force majeure
1. Pengertian Force majeure
Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep keadaan memaksa lebih
banyak dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain
berikut ini.
a) R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa
yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali
tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa
terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.
Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau
kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkankarena
kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang
tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas
kelalaian1
b) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir Dr. H.F.A. Vollmar:
overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin
memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih
memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan
pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar
1 R. Subekti, “ HukumPerjanjian”, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), hlm.55
26
kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat
besar (relative overmacht).2
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengertian keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana salah
satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau
sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya
suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui
atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di
mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat
dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.
2. Dasar Hukum Force majeure
a) Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 280
رة ذو كاىوإى قوا وأى هي سرة ،إلىفظرة عس كن خي ر تصد لووى تن كإى ل تع
Artinya : "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui."
b) Al Hadist
“Kalau kamu menagih seseorang yang sedang kesulitan, maka
bebaskanlah utangnya, semoga Allah juga kelak akan
membebaskan kita (dari dosa-dosa kita). Maka ketika ia berjumpa
dengan Allah, maka Allah pun benar-benar membebaskannya.”
(HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah).
2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian
A”,(Jogjakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm.20
27
إل ملظل شهيو عر تظل مال قياهةتح يو وضعلهأظلهللا سراأو ظرهع أ ظلههي
“Barang siapa yang mau memberi tangguhan kepada orang yang
sedang kesulitan atau bahkan membebaskannya, maka Allah akan
menaunginya di bawah naungan „Arsy-Nya di hari tiada naungan
selain naungan-Nya.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu anhu dan dishahihkan Al Albani dalam Shahihut Targhib
no. 909)
c) Ketentuan Perundang-undangan
Dasar hukum force majeure di Indonesia diatur dalam
beberapa ketentuan perundang-undangan seperti KUH Perdata
Pasal 1244-1245, KUH Perdata 1444-1445, Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali
Tagihan Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 07/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dan Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi
Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran.
3. Macam–macam Force majeure
Pada pendapat lain Force majeureini juga dapat dibagi menjadi
beberapa kategori, yaitu:
a) Force majeure menurut jenisnya
(1) Force majeure objektif
Force majeure objektif ini disebutjuga dengan istilah physical
impossibility. Yang dimaksudkan adalah bahwa force majeure
tersebut terjadi pada benda yang merupakan objek dari kontrak
28
tersebut, sehingga prestasi tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa
adanya kesalahan dari pihak debitur, Misalnya, benda yang menjadi
objek dari kontrak terbakar atau disambar petir.
(2) Force majeure subjektif
Pada force majeure subjektif, peristiwa yang terjadi bukan terhadap
benda yang merupakan objek dari kontrak yang bersangkutan,
melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau kemampuan dari
debitur itu sendiri. Misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat
seumur hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi.3
b) Force majeure menurut pelaksanaannya
(1) Force majeure absolut
Force majeure absolut adalah suatu keadaan dimana debitur sama
sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh
karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar4.
(2) Force majeure relatif
Force majeurerelatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan
dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin
dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin
dilakukan.Misalnya terhadap kontrak ekport-impor, di mana setelah
3 Mustafa Kamal Rokan, “Pengantar Hukum Bisnis”, diakses dari
https://awalbarri.wordpress.com/2009/03/23/pengantar-hukum-bisnis/, pada tanggal 17 November
2015 pukul 17 : 51 WIB 4 Oemiy, “Keadaan Memaksa (Overmatch) Dalam Hukum Perdata”, diakses dari
https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-hukum-perdata/,
pada tanggal 17 November 2015 pukul 17 : 30 WIB
29
kontrak dibuat, terdapat larangan impor atas barang tersebut atau
PHK masal pada pekerja suatu perusahaan yang pailit.
c) Force majeure menurut jangka waktu berlakunya
(1) Force majeure permanen
Force majeureini mengakibatkan tidak dapat terlaksananya prestasi
sampai kapan pun sebagai pemenuhan dari suatu kontrak.Misalnya
jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah di
luar kesalahan salah satu pihak.
(2) Force majeure temporer
Dimana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak
mungkin dilakukan untuk sementara waktu, dengan kata lainsetelah
hilang efek dari terjadinya peristiwa tertentu maka prestasi tersebut
dapat dipenuhi kembali.Misalnya, jika barang yang menjadi objek
kontrak tersebut tidak mungkin dikirim karena terjadi pergolakan
sosial.Akan tetapi, pada saat kondisi sudah aman, maka barang
tersebut dapat dikirim kembali.5
4. Teori Force majeure
a. Teori force majeure menurut kaidah fiqih Islam
Karakterisitik force majeure merupakan suatu bencana atau
musibah adalah sebuah keadaan darurat yang secara hukum akan
berimplikasi kepada munculnya berbagai aturan untuk menghilangkan
5Dewo Broto Joko Putranto, “Penyusunan Kontrak Dan Aspek-Aspek Hukum Pengadaan
Barang/Jasa Berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003”, diakses dari http://justitia-
indonesia.blogspot.co.id/2006/09/penyusunan-kontrak-dan-aspek-hukum.html pada tanggal 01
Februari 2016 pukul 04 : 42 WIB
30
ataupun setidaknya mengurangi kondisi darurat tersebut. Dalam hal force
majeure ini misalnya, seorang kreditur tidak layak membebankan debitur
yang tertimpa musibah berat dengan beban yang sama saat debitur belum
mengalami musibah itu. Bahkan jika dianggap perlu, kontrak dapat
dibatalkan untuk menghilangkan beban tambahan bagi debitur dalam
keadaan darurat tersebut.
Ada beberapa kaidah Islam yang sesuai dengan definisi keadaan
force majeure ini, diantara lain :6
الوشقهتجلبالتيسير
Artinya : “Kemudharatan itu menarik kemudahan”
Sumber pengambilan kaidah diatas diperkuat dari Firman Allah
SWT dalam surah Al-Baqarah : 185
يريدللابكناليسروليريدبكنالعسر
Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki
kesempitan bagimu”
Kaidah diatas ini menjadi sumber adanya keringanan dalam
menjalankan tuntutan syari’at diantara nya seperti keringanan yang
diberikan karena keadaan terpaksa serta unsur kurang mampu dan
kesukaran umum yang menjadi akibat dari terjadinya force majeure.7
Dalam praktik perbankan, proses penyelesaian kasus force majeure
harus melewati beberapa ketentuan dan prosedur tertentu, salah satunya
6 Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, (Bandng : PT.Al
Ma’arif), h. 503 7 Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, h. 505-506
31
adalah pembuktian berita terjadinya force majeure yang menimpa nasabah
kepada pihak perbankan. pembuktian berita terjadinya force majeure
diperlukan untuk memastikan apakah benar nasabah mengalami keadaan
memaksa sehingga nasabah tidak dapat melakukan pengembalian
kewajiban atau membutuhkan keringanan. Hal ini sesuai dengan kaidah
dalam fiqih Islam, yaitu :8
الرخصلتاطبالشك
Artinya : “keringanan itu tidak dapat disangkutpautkan dengan keraguan”
Kaidah diatas menjelaskan bahwa keringanan yang diberikan tidak
boleh ada unsur keragu-raguan. Pihak bank yang memberikan keringanan
haruslah yakin dengan pembuktian nasabah yang mengalami force
majeure.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa force majeure
dipandang dari perspektif kaidah fikih telah memenuhi nilai -nilai
yang diinginkan dalam kaidah-kaidah tersebut.
b. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkheid)
Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa
adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang
diperjanjikan. Ketidakmungkinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a) Teori ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolute
onmogelijkheid) Adalah ketidakmungkinan sama sekali dari debitur
untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur Volmar menyebutnya
8 Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, h. 509
32
absolute overmacht. Dasarnya adalah ketidakmungkinan
(impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah.9
b) Teori ketidakmungkinan relatif atau subjektif (relative
onmogelijkheid)
Adalah ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi
prestasinya Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat
sementara.Perikatan tidak berhenti (tidak batal), hanya pemenuhan
prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi, pemenuhan
prestasi diteruskan. Akan tetapi, jika prestasi itu sudah tidak berarti
lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, perikatan itu
gugur.
Perbedaan antara perikatan batal dan perikatan gugur terletak pada
ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin
dipenuhi.Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah
sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi).Pada
perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan
segala macam upaya debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi
kreditur.Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak
menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat
9 Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari
http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01
Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB
33
dibatalkan.Persamaanya adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur
keduanya itu tidak mencapai tujuan.10
c. Teoripeniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld)
Teori penghapusan atau peniadaan ini mengartikan bahwa
dengan adanya overmatch maka terhapuslah kesalahan debitur.
Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak bias
dipertangungjawabkan.
5. Akibat Force majeure
Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa
membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana
pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan
wanprestasi.Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa,
debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik,
kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap
gugur/terhapus. Beberapa pakar membahas akibat hukum dari keadaan
memaksa sebagai berikut
A.R. Setiawan merumuskan bahwa suatu keadaan memaksa
menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat,
yaitu11
a) kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi
10
Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari
http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01
Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB 11
R. Setiawan, “Pokok-Pokok Hukum Perikatan” (Bandung: Binacipta, 1994), h..27-28.
34
b) debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai,13 dan karenanya tidak wajib
membayar ganti rugi
c) risiko tidak beralih kepada debitur
d) pada persetujuan timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut
pembatalan.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang menyitir Dr. H.F.A Vollmar.
Overmacht harusdibedakan apakah sifatnya sementara ataukah
tetap.Dalam hal overmacht sementara, hanya mempunyai daya
menangguhkan dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali jika
dan sesegera faktor overmacht itu sudah tidak ada lagi, demikian itu
kecuali jika prestasinya lantas sudah tidak mempunyai arti lagi bagi
kreditur. Dalam hal terakhir ini, perutangannya menjadi gugur (misalnya
taksi yang dipesan untuk membawa seseorang ke stasiun karena ada
kecelakaan lalu lintas, tidak dapat datang pada waktunya, dan ketika lalu
lintas sudah aman kembali, kereta api sudah tidak dapat dicapai lagi).12
Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa yang
bersifat objektif dan subjektif. Keadaan memaksa yang bersifat objektif
dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti
perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset).13
Salim H.S., mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa,
yaitu14
12
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit, h. 22. 13
Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perikatan” (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), h..28-
31 14
Salim H.S, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)” (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,
2001), h.184-185.
35
a) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa
sementara;
c) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi,
kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Ketiga akibat tersebut lebih lanjut dibedakan menjadi dua macam,
yaitu pada akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat butir a dan c,dan
akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat butir b. Namun, Perlu
digarisbawahi bahwa hak kreditur dalam force majeure sama sekali tidak
dihilangkan, hanya saja jangka waktu pemenuhan hak tersebut
diperpanjang untuk memberi kolonggaran bagi pihak debitur.
B. Force Majeure dalam Hutang Piutang
Dalam sektor keuangan, pemecahan kasus force majeure sendiri telah
diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, salah satunya ketentuan-
ketentuan yang mengatur penyelesaian kasus force majeure dalam dunia
perbankan, yaitu :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244
Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum
mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat
membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang
tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan suatu hal yang
36
tak terduga, pun tak dapat dipertanggungkan kepadanya,
kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya.
b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245
Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila
dikarenakan keadaan memaksa atau karena suatu kejadian tak
disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau dikarenakan hal - hal yang sama
telah melakukan perbuatan yang dilarang.
c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444
i. Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian
musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga
sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada,
maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau
hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
ii. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu
barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap
kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus
jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di
tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan
kepadanya.
37
iii. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak
terduga, yang dimajukannya itu.
iv. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri,
musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali -kali
membebaskan orang yang mencuri barang dari
kewajibannya mengganti harganya
d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445
Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang
musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si
berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan
ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan
hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang
mengutangkan kepadanya.
2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
a) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan
Murabahah
Menetapkan : FATWA TENTANG PENJADWALAN KEMBALI
TAGIHAN MURABAHAH
Pertama : Ketentuan Penyelesaian
LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling)
tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa
38
menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan
waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;
2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali
adalah biaya riil;
3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak.
dua : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak
terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya
.
b) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH
(QIRADH)
39
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang
disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu
usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal
(pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu
proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah)
bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan
pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang
telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari'ah; dan
LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau
proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas
dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua
kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib
(nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai,
atau menyalahi perjanjian.
40
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak
ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari
mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat
dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS
dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan
kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap
kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau
biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola
(mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-
hal berikut:
41
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat
kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-
cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan
oleh penyedia dana kepada mudharibuntuk tujuan usaha
dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang
dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset,
maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus
dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap
maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.
4. Keuntungan mudharabahadalah jumlah yang didapat
sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut
ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak
boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
42
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak
harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak
disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi
(nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan.
Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh
menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan
dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai
perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh
penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib,
tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu
keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari'ah
Islam dalam tindakannya yang berhubungan
dengan mudharabah, dan harus mematuhi
43
kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga : Ketentuan lain:
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah
kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi,
karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-
amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
c) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang
Menunda-nunda Pembayaran
Menetapkan : FATWA TENTANG SANKSI ATAS NASABAH
MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
Pertama : Ketentuan Umum:
1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang
dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu
44
membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan
disengaja.
2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar
disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran
dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik
untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan
agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan
kewajibannya.
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang
besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat
saat akad ditandatangani.
6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai
dana sosial.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyele-saiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
45
BAB III
MODEL-MODEL PENYELESAIAN KASUS FORCE MAJEURE
A. Standar Force majeure
Force majeur atau “keadaan memaksa” adalah keadaan dimana nasabah
terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa
yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada nasabah, sementara
nasabah tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Keadaan force
majeure bisa dijadikan alasan pembebasan pemberian ganti rugi akibat tidak
terlaksananya perjanjian atau akad. Dalam kasus force majeure sendiri
memiliki beberapa ketentuan khusus, yakni 1:
1. Dalam hal terjadinya force majeure, maka pihak yang terkena akibat
langsung dariforce majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis
dengan melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/ Instansi yang berwenang
kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeuretersebut dalam
waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas hari kerja) terhitung sejak
tanggal force majeureditetapkan.
2. Berita acara yang telah di tulis oleh nasabah akan diberikan kepada
lembaga asuransi oleh pihak bank. Lembaga asuransi akan mencari
kebenaran dan bukti-bukti kuat mengenai kronologis terjadinya force
majeure pada nasabah, jika nasabah terbukti benar mengalami force
1Hasyim, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, diakses dari
http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/07/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah.html, pada
tanggal 07 September 2016 pukul 15 : 31 WIB
46
majeure maka nasabah dapat mengklaim asuransi yang dapat digunakan
sebagai salah satu jalan penyelematan pembiayaan nya kepada bank.2
3. Keterlambatan atau kelalaian para pihak untuk memberitahukan adanya
force majeuretersebut mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut
sebagai force majeure oleh pihak lain.
4. Segala dan tiap-tiap permasalahan yang timbul akibat terjadinya force
majeure akan diselesaikan oleh nasabah dan bank secara musyawarah
untuk mufakat. Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak bank sebagaimana
diatur dalam Akad.
B. Kasus Force majeure dalam Akad Murabahah dan Mudharabah
Perihal terjadinya force majeure dalam akad pembiayaan murabahah
dan akad pembiayaan mudharabah sangat beragam.Peristiwa atau keadaan
yang tergolong dalam kategori force majeure adalah peristiwa atau keadaan
yang terjadi di luar kekuasaan atau kemampuan salah satu atau para pihak,
yang mengakibatkan salah satu atau para pihak tidak dapat melaksanakan
hak-hak dan/atau kewajiban-kewajiban sesuai dengan standar dalam kontrak
ini, termasuk namun tidak terbatas kebakaran, banjir, gempa, hujan badai,
angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan
katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan,
revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo,
perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.3
2Wendra M, Accounting Maintenace BSM Kc. Bandar lampung, wawancara pribadi,
Bandar lampung 27 Oktober 2016 3OJK, “Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah”, diakses dari
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Buku-
Standar-Produk-Perbankan-Syariah-Murabahah/Buku%20Standar%20Produk%20Murabahah.pdf
pada tanggal 24 Juli 2016 pukul 21 : 06 WIB
47
Perihal terjadinya force majeure dalam akad pembiayaan murabahah
dan akad pembiayaan mudharabah beragam. Menurut pembagiannya, force
majeure sendiri dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Menurut jenisnya
(1) force majeure objektif
Force majeure ini terjadi pada benda yang merupakan objek dari
kontrak sehingga prestasi tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya
kesalahan dari pihak debitur.Misalnya, benda yang menjadi objek dari
kontrak terbakar atau disambar petir.
(2) force majeure subjektif
Force majeure subjektif ini berhubungan dengan keadaan atau
kemampuan dari debitur itu sendiri.Misalnya, jika debitur sakit berat
atau cacat seumur hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan
prestasi.
b) Menurut pelaksanaanya
(1) force majeure absolut
Suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi
perutangannya kepada kreditur dikarenakan bencana alam atau Act of
God. Yng bersifat mutlak, misalkan karena adanya gempa bumi,
banjir bandang, dan adanya lahar.
(2) force majeure relatif
Dalam force majeure ini, pemenuhan prestasi secara normal tidak
mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin
48
dilakukan.Force majeureini juga disebut Act of Nature yang dapat
simpulkan peristiwa ini tidak bersifat mutlak atau relatif.
c) Menurut jangka waktu berlakunya
(1) force majeure permanen
Yaitu efek terjadinya force majure sampai kapan pun kontra tidak
mungkin dilakukan lagi untuk memenuhi suatui prestasi kontrak yang
telah dijanjikan. Misalnya jika barang yang merupakan objek dari
kontrak tersebut musnah di luar kesalahan salah satu pihak
(2) force majeure temporer
Dimana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak
mungkin dilakukan untuk sementara waktu. Atau dengan kata lain,
karena terjadi peristiwa tertentu di mana setelah peristiwa tersebut
berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.
Beberapa kategori force majeure diatas dapat terjadi baik pada akad
pembiayaan murabahah maupun akad pembiayaan mudharabah.
Penyelesaian serta solusi yang akan di berikan oleh pihak perbankan syariah
tentunya berdasarkan kondisi force majeureyang riil terjadi pada nasabah dan
merujuk pada perundang-undangan dan ketentuan islam yang berlaku.
C. Standar Penyelesaian Sengketa Pembiayaan
Beragam penyebab terjadinya kasus force majeure dalam pembiayaan
di ranah perbankantidak membedakan standar penyelesaian pembiayaannya.4
Pada saat terjadinya force majeure pada pembiayaan di suatu bank, hal ini
4 Marnita, Legal Staff USPD Bank Muamalat Kc. Bandar Lampung, wawancara pribadi,
Bandar Lampung 20 September 2016
49
dipastikan dapat menyebabkan timbulnya risiko gagal bayar atau
permasalahan dalam pembiayaan tersebut. Penyelesaian kasus force majeure
yang ditempuh oleh pihak bank tetap dilakukan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat tanpa mengurangi hak-hak Bank bahkan jika permasalahan
sengketa antara nasabah dan pihak bank diselesaikan di Pengadilan, prosedur
penyelesaian sengketa tetap mengikuti ketentuan sebagaimana telah diatur
dalam Akad.5
Menurut Buku Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, yang
diterbitkan oleh OJK6, penyelesaian sengketa pada kasus pembiayaan
bermasalah memiliki beberapa tahapan, yaitu :
1. Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa antara pihak Bank dengan
nasabah harus mengutamakan prinsip musyawarah mufakat.
2. Mekanisme musyawarah dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
solusi yang dianggap sesuai dengan kemampuan dan kondisi nasabah yang
terkena force majeure.
3. Beberapa solusi yang ditawarkan bank dalam mekanisme musyawarah
kepada nasabah seperti perpanjangan waktu pembayaran angsuran,
perubahan jumlah angsuran, pemberian tambahan kredit, dsb.
4. Apabila mekanisme musyawarah belum berhasil, penyelesaian sengketa
dapat dilakukan secara non litigasi misalnya melalui Badan Arbitrase
5 Rahmat S.S. Soemadipradja, “Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka”, 2010, diakses dari
http://ditkumham.bappenas.go.id/ebook/Restatement%20Keadaan%20Memaksa.pdf pada 9
Februari 2016 pukul 18 : 34 WIB 6 OJK, “Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah”, diakses dari
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Buku-
Standar-Produk-Perbankan-Syariah-Murabahah/Buku%20Standar%20Produk%20Murabahah.pdf
pada tanggal 24 Juli 2016 pukul 21 : 06 WIB
50
Syariah Nasional (Basyarnas) dan eksekusi atau putusan arbitrase syariah
itu akan ditetapkan melalui Pengadilan Agama.
5. Apabila para pihak menyepakati untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan, maka Bank dan Nasabah harus menyepakati dalam kontrak
bahwa kewenangan untuk mengadili sengketa kontrak ini diselesaikan
melalui Pengadilan Agama.
6. Pihak Bank tidak diperkenankan menuliskan klausula dalam kontrak yang
membolehkan Bank melakukan eksekusi agunan dan jaminan secara
langsung sesaat setelah terjadi tunggakan ataupun wanprestasi tanpa
putusan pengadilan.
7. Pihak Bank tidak diperkenankan melakukan eksekusi agunan dan jaminan
secara langsung sesaat setelah terjadi tunggakan ataupun wanprestasi
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Nasabah lalai
dan memberikan hak kepada Bank untuk eksekusi agunan dan jaminan.
8. Jika sampai tahap eksekusi agunan obyek pembiayaan dan/atau jaminan
lainnya dilakukan, maka hasil eksekusi (penjualan/pelelangan) tersebut
diutamakan untuk memenuhi kewajiban Nasabah kepada Bank. Jika ada
kelebihan nilai eksekusi maka dikembalikan ke Nasabah, jika masih
kurang untuk memenuhi hak Bank maka hal itu tetap menjadi kewajiban
Nasabah hingga Bank menghapuskan kewajiban tersebut.
51
D. Pola Penyelesaian Sengketa di Bidang Kontrak
Dalam penyelesaian setiap sengketa dapat menggunakan cara-cara
tertentu yang lazim dipergunakan dalam dunia kontrak, sebagai jalan keluar
untuk menyelesaiakan sengketa yang bersangkutan. Hal ini juga berlaku
dalam penanganan sengketa kasus force majeuredi dunia perbankan7.Menurut
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) beberapa pilihan penyelesaian
perselisihan seperti melalui negosiasi, pengadilan (litigasi)/gugatan, arbitrase,
atau pun melalui mediasi.
1. Melalui Negosiasi
Merupakan cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi
(musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang
hasilnya diterima oleh pihak tersebut8. Syarat-syarat bernegosiasi sebagai
berikut :
a) Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan
kesadaran yang penuh
b) Pihak-pihak siap melakukan negosiasi
c) Mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan
d) Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat saling
menciptakan ketergantungan
e) Mempunyai kemauan menyelesaikanmasalah
7 Abadi Riantini, Notaris di Bandar Lampung, wawancara pribadi, Bandar Lampung 23
September 2016 8 Gatot Soemartono, “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”, (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama,2006), h. 1
52
Hasil yang diperoleh dari tindakan negosiasi guna mencari
penyelesaian terhadap permasalahan akan menghasilkan beberapa pilihan,
seperti :9
(1) Rescheduling
Rescheduling adalah suatu upaya penyelamatan kredit dengan
melakukan perubahan syarat–syarat perjanjian kredit yang
berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali kredit atau
jangka waktu, juga grace period baik termasuk besarnya jumlah
angsuran maupun tidak.10
(2) Reconditiong
Reconditioning adalah suatu upaya penyelamatan kredit dengan
cara melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat
erjanjian kredit yang tidak terbatas, hanya kepada perubahan
jadwal angsuran atau jangka waktu kredit saja, namun
perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau
tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit
menjadi equity perusahaan.11
(3) Resctucturing
Restructuring adalah suatu upaya penyelamatan dengan
melakukan perubahan syarat – syarat perjanjian kredit berupa
9Daniel, Financing Manager Bank BJB Syariah Kc. Supomo, wawancara pribadi, Jakarta 05
Februari 2016 10
Veithzal Rivai dan Andria Veithzal Rivai, “Credit Management Handbook” (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 510 11
Veithzal Rivai. “Bank atau Financial Institution Management.Eds . 1” .(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm.513
53
pemberian tambahan kredit atau melakukan konversi atas
seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan dan
equity bank yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling
dan/atau reconditioning.12
2. Melalui Mediasi
Untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan padatanggal 11 September 2003.
Upaya mediasi dilakukan dengan meminta pihak lain untuk memediatori
permasalahan yang bersangkutan atas kesepakatan para pihak yang
bersengketa, dimana para pihak yang bertikai memilih untuk berdamai
melalui penengah yang mereka sepakati bersama. Tujuan mediasi adalah
untuk mencapaikesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang
bersengketa guna mengakhiri sengketa.
3. Melalui Arbitrase
Arbitrase (Tahkim) adalah suatu pengajuan sengketa, berdasarkan
perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh
mereka untuk mendapatkan suatu keputusan. Saat ini telah ada lembaga
khusus Badan Arbitrase Syariah Nasional/(Basyarnas) yang diharapkan
mampu menyelesaikan segala bentuk sengketa muamalat dan perdata yang
muncul dikalangan umat muslim. Badan Arbitrase Syariah/(Basyarnas)
12
Veithzal Rivai. “Bank atau Financial Institution Management.Eds . 1”, h. 517
54
sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Lembaga keuangan Syariah
mempunyai tujuan :
a) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-
sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lain
b) Menerima permintaan yang diajukan, oleh para pihak dalam suatu
perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu
pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut.
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal
keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak,
juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit
(mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang
berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
4. Melalui Pengadilan (Litigasi)/gugatan
Apabila para pihak menyepakati untuk menyelesaikan sengketa
melaluipengadilan, maka Bank dan Nasabah harus menyepakati dalam
kontrakbahwa kewenangan untuk mengadili sengketa kontrak ini
diselesaikanmelalui Pengadilan Agama.
5. Penyitaan dan Pelelangan Jaminan
Tahap penyitaan dan pelelangan jaminan merupakan serangkaian
dari upaya untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan dari kewajiban
nasabah terhadap bank. Pada tindakan pelelangan jaminan, jika hasil dari
55
penjualan tersebut telah mencukupi besaran tanggungan nasabah terhadap
bank, maka sisa dari penjualan jaminan tersebut akan dikembalikan kepada
nasabah.
E. Pengakhiran Akad Murabahah
Berakhirnya akad Murabahahdapat disebabkan oleh berakhirnya jangka
waktu akad, peristiwa force majeure, cidera janji, dan nasabah yang
mengajukan pengakhiran akad Murabahah.Akad ini dinyatakan berakhir
apabila telah dipenuhinya kewajiban oleh para pihak dalam kontrak yang
termasuk meliputi hal-hal berikut13
:
1. Terpenuhinya keseluruhan kewajiban atas harga jualmurabahah
2. Adanya peralihan atau transfer atas kewajiban membayar harga jual
murabahahkepada pihak ketiga melalui akad (hiwalah).
3. Bank melepaskan hak untuk menerima pembayaran harga jual melalui
pemberian potongan harga (ibra’).
4. Bank memberikan potongan margin pembiayaan (Muqasah) atas
kewajibanMurabahahNasabah.
5. Masing masing pihak dalam kontrak bersepakat untuk mengakhiri
kontrak dalam periode jangka waktu kontrak yang telah disepakati.
6. Salah satu pihak dalam kontrak memutuskan untuk mengakhirikontrak
dikarenakan adanya wanprestasi oleh pihak lain.
7. Kedua belah pihak menyepakati untuk mengakhiri akad murabahah.
13
OJK, “Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah”, diakses dari
http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Buku-
Standar-Produk-Perbankan-Syariah-Murabahah/Buku%20Standar%20Produk%20Murabahah.pdf
pada tanggal 24 Juli 2016 pukul 21 : 06 WIB
56
8. Terdapat cacat, kerusakan, atau aib pada obyek barang yang akan dijual
ketika diserahkan kepada penjual.
9. Obyek hilang atau musnah, baik karna force majeure atau wanprestasi
10. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad murabahah telah berakhir.
Baik cara pembayarannya secara sekaligus ataupun secara angsuran.
Dalam pengakhiran akad murabahah, perihal force majeure dapat
dilihat pada poin 9 yang menyatakan jika objek pada perjanjian akad
murabahah hilang atau musnah dikarenakan force majeure dan tidak ada
itikad buruk padanya maka perjanjian akad murabahah diantara para pihak
dapat saja berakhir.
F. Pengakhiran Akad Mudharabah
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya.Selain
telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh
(pembatalan) atau telah berakhir waktunya.Fasakh terjadi disebabkan sebagai
berikut:14
1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
syara’ seperti yang disebutkan dalam akad rusak, misalnya jual beli
barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan
2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, atau syarat
3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena
merasa menyesal atas akad baru saja dilakukan. Fasakh dengan caraini
disebut iqalah
14
Gemala Dewi, dkk, “Hukum Perikatan Islam di Indonesia”, Fakultas hukum Universitas
Indonesia, 2006, h. 92
57
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak terpenuhi
oleh pihak-pihak yang bersangkutan
5. Karena habis waktunya seperti dalam akad sewa menyewa
6. Karena tidak dapat izin pihak berwenang
7. Karena kematian
Pada akad mudharabah, force majeure dapat menjadi salah satu
penyebab berakhirnya akad. Hal ini ditunjukkan dalam poin 4 dan poin 7.
Pada poin 4, force majeuredapat menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban
dari akad yang telah disepakati oleh para pihak serta sebab kematian pada
poin 7 juga dapat digolongkan kedalam kategori force majeure subjektif.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak
dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang
melakukan kegiatan ekonomi melalui jasa financial perbankan. Bank merupakan
lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana kegiatan utama
dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat.Keberadaan bank syariah di Indonesia mulai mendapatkan tempat
yang lebih berarti setelah di atur dalam undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998
tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Menurut UU RI No. 10
tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, bahwa usaha perbankan
meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana dan memberikan
jasa bank lainnya.
Beberapa akad yang umum dipraktekkan oleh umat Islam adalah Murabahah
dan akad Mudharabah, dimana jual beli secara murabahah adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahibul maal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan
barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi
shahibul maal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. 1 sementara
bagi hasil secara mudharabah adalah bentuk pengembalian dari kontrak
investasi, berdasarkan suatu periode tertentu dimana Pemilik dana akan
1 Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah”, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 136
59
menginvestasikan dananya melalui lembaga keuangan syariah yang bertindak
sebagai pengelola. Banyaknya pembiayaan murabahah dan mudharabah yang
disalurkan oleh bank syariah, tidak menutup kemungkinan bahwa bank syariah akan
mengalami banyak risiko serta dampak yang berbeda-beda. Dampak negatif dari
risiko ini dapat menyebabkan kendala yang menghambat kelancaran berjalannya
pembiayaan tersebut. Pembiayaan bermasalah terjadi disebabkan berbagai hal yang
mengakibatkan daya lancar pembayaran debitur kepada kreditur menurun atau macet.
Kasus-kasusnya beragam, salah satunya disebabkan dari force majeure.
A. Bentuk-bentuk Force majeure dalam Produk Pembiayaanpada Bank
Syariah
Bentuk-bentuk terjadinya force majeuredalam produk pembiayaan
murabahah dan mudharabah di bank syariah dapat disebabkan oleh beragam hal.
Dibawah ini adalah penjelasan bentuk-bentuk force majeureyang terjadi di bank
syariah:
1. Pembiayaan Murabahah
(a) Kasus 1
Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan hunian pada Bank
Syariah Mandiri Kc. Bandar Lampung. Pembiayaan yang diberkan
kepada nasabah memiliki jangka waktu kurang lebih 10 tahun dan sudah
berjalan selama 4 tahun 3 bulan. Jenis force majeureyang terjadi adalah
absolut-permanen berupa bencana tanah longsor.
60
Bencana longsor yang terjadi di kecamatan Bumi Waras, kota Bandar
Lampung pada tanggal 13 Oktober 2013 menimpa hunian nasabah pembiayaan
griya BSM hingga musnah. Hunian tersebut masih memiliki sisa pembayaran
selama 5 tahun 9 bulan. Peristiwa force majeure yang menimpa nasabah tersebut
menjadi sebab menurunnya daya bayar nasabah yang menimbulkan
permasalahan dalam pembiayaan. Pada kasus ini nasabah tidak memberi
keterangan kepada pihak bank secara langsung.Mulai dari terjadinya longsor
pada 13 Oktober 2013 hingga terhitung kurang lebih 1 bulan setelah kejadian
tersebut. Setelah nasabah mengabarkan peristiwa force majeure yang
menimpanya, pihak bank melakukan pengecekan lapangan, memanggil nasabah
yang bersangkutan, melakukan musyawarah serta menuliskan berita acara yang
selanjutnya akan diserahkan kepada pihak asuransi untuk di klaim dan dilakukan
pemutihan pada sisa pembiayaannya.
(b) Kasus 2
Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan pembelian
kendaraan bermotor pada Bank Muamalat Kcp. Bandar Lampung
Pembiayaan yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu
selama 5 tahun dan sudah berjalan selama 3 tahun. Jenis force majeure
yang terjadi adalah subjektif-permanen berupa kematian nasabah
pembiayaan.
Kematian nasabah pembiayaan disebabkan oleh kecelakaan yang menimpa
nasabah beserta dengan objek pembiayaan yang digunakan (mobil).Peristiwa ini
menyebabkan terhentinya kewajiban nasabah kepada pihak bank.Peristiwa
61
kematian tersebut dikabarkan oleh keluarga dari pihak nasabah
pembiayaan.Pihak keluarga nasabah memberikan keterangan dan menunjukkan
sejumlah bukti berupa Surat Keterangan Kematian dari kelurahan setempat.Pihak
bank memberikan rincian sisa kewajiban nasabah terhadap bank atas objek
pembiayaanya.Pada kasus ini, nasabah masih mempunyai sisa pembiayaan
beberapa bulan yang belum dibayarkan sebelum peristiwa kematiannya dan
beberapa bulan selanjutnya yang seharusnya masih harus dibayarkan sampai
habis masa pembayaran.
Pihak bank dan keluarga nasabah melakukan musyawarah dan mencapai
kesepakatan dengan jalan keluar dimana pihak keluarga nasabah hanya diberikan
tanggungan pembayaran sisa bulan yang belum di bayarkan oleh nasabah
pembiayaan hanya sampai waktu peristiwa kematian nasabah terjadi yang
keseluruhannya dilunasi dengan klain asuransi dan sisa pembiayaan beberapa
bulan berikutnya, yang seharusnya di lunaskan akan di putihkan oleh pihak bank.
2. Pembiayaan Mudharabah
(a) Kasus 1
Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan modal kerja
produktif berupa pendanaan usaha properti (bangunan ruko) pada Bank
BJB Syariah Kcp. Supomo Jakarta. Jenis force majeure yang terjadi
adalah absolut-temporer berupa bencana kebakaran tempat usaha
nasabah. Pada kasus ini, nasabah memiliki 5 unit bangunan usaha (ruko)
dalam satu area yang berdekatan.Bangunan ini di berikan pembiayaan
62
oleh pihak bank.Masing-masing ruko tersebut dijual kepada pemilik
usaha yang membutuhkan sepert usaha jual beli mobil, warung, dsb.
Diluar kuasa nasabah (pemilik ruko), 2 dari ruko tersebut mengalami
kebakaran yang menyebabkan kerusakan berat. Terjadinya peristiwa ini
menimbulkan daya bayar penyewa ruko kepada pemilik ruko menurun yang juga
berakibat berkurangnya daya bayar pemilik ruko terhadap bank.
Diluar permasalahan pihak penyewa ruko dengan pemilik ruko (nasabah
pembiayaan), pihak nasabah meminta keringanan dari pihak bank.Pihak bank
melakukan tahap pengecekan lapangan, dan melakukan musyawarah dengan
pihak nasabah.
Bank berpendapat bahwa rusaknya fungsi dari 2 ruko tersebut
mengakibatkan hampir setengah kemampuan pengembalian kewajiban nasabah
kepada bank menurun. Musyawarah yang dilakukan antara pihak bank dengan
nasabah menghasilkan suatu solusi berupa : kewajiban dana dari 2 ruko yang
terbakar tersebut akan diselesaikan melalui jalur asuransi, sementara 3 ruko yang
tersisa akan dilakukan tahapan rescheduling (Spesifikasi keringanan tidak di
sebutkan) sesuai dengan permintaan nasabah melihat dari kondisi kemampuan
nasabah dalam membayar, serta hasil perhitungan yang didapatkan dari
bank.Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi, pihak asuransi
melakukan pengecekan dan prosedural klaim asuransi untuk membayar beban
kewajiban 2 ruko yang terbakar sesuai dengan perhitungan yang telah didapatkan
kepada pihak bank.
63
(b) Kasus 2
Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan usaha warung
sembako mikro pada Bank Syariah Mandiri Kc.Bandar Lampung.
Pembiayaan yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu
kurang lebih 36 bulan pada tahun 2015 dan sudah berjalan selama kurang
lebih 1 tahun. Jenis force majeure yang terjadi adalah absolut-temporer
berupa bencana banjir yang terjadi pada 15 Maret 2016.
Bencana banjir bandang di daerah aliran Sungai Belau melanda dua
kecamatan di kota Bandar Lampung, salah satunya kecamatan Telukbetung barat.
Banjir bandang ini juga merendam lokasi Usaha Warung Sembako milik nasabah
pembiayaan. Secara fisik, bangunan tempat Usaha Warung Sembako masih utuh
dan kokoh, hanya saja seluruh sembako yang akan dijual nasabah terendam
banjir. Pemilik Usaha Warung Sembako masih memiliki sisa kewajiban yang
belum dibayarkan sampai dengan tahun 2017. Banjir yang terjadi menjadi sebab
menurunnya daya bayar nasabah kepada bank dan menimbulkan pembiayan
bermasalah.
Pada kasus ini, nasabah segera mengabarkan pihak bank beberapa waktu
setelah terjadinya banjir dan pihak bank melakukan pengecekan lapangan,
memanggil nasabah yang bersangkutan, melakukan musyawarah serta
menuliskan berita acara.
Permasalahan yang terletak pada kasus ini adalah pemilik Usaha Warung
Sembako tidak mengasuransikan usahanya, alasannya adalah nasabah belum
merasa perlu untuk mengasuransikan usahanya. Setelah terjadi nya banjir
64
bandang, nasabah mengaku tidak mempunyai sumber penghasilan lain untuk
membayar sisa kewajibannya kepada pihak bank. Langkah penyelesaian force
majeure yang dilakukan oleh bank adalah dengan melakukan eksekusi terhadap
BPKB motor nasabah yang di jaminkan dan melakukan pemutihan terhadap
pembiayaannya
(c) Kasus 3
Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan usaha katering
pada Bank Syariah Mandiri Kc. Bandar Lampung. Pembiayaan yang
diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu kurang lebih 5 tahun
dimulai pada tahun 2012 dan sudah berjalan selama kurang lebih 4 tahun.
Jenis force majeure yang terjadi adalah absolut-temporer berupa bencana
kebakaran sebagian operasional katering.
Salah satu alat masak yang digunakan oleh Usaha Katering ini mengalami
kerusakan yang menyebabkan kebakaran.Kebakaran tersebut menghanguskan
sebagian fungsi dapur operasional Usaha Katering.Pemilik Usaha Katering masih
memiliki sisa kewajiban yang belum dibayarkan sampai dengan tahun 2017.
Kebakaran yang terjadi menjadi sebab menurunnya daya bayar nasabah kepada
bank dan menimbulkan pembiayaan bermasalah.
Pada kasus ini nasabah mengabarkan bahwa Usaha Katering yang
dijalankannya mengalami kebakaran.Atas peristiwa yang dilaporkan, pihak bank
menuliskan berita acara dan melakukan pengecekan lapangan kemudian
memanggil nasabah yang bersangkutan untuk melakukan musyawarah. Atas
permintaan nasabah, pembiayaan yang tersisa akan di rescheduling dengan
65
keringanan berupa perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan
tunggakan, tunggakan bunga, serta perubahan jumlah angsuran. Hal ini
dikarenakan efek force majeure tidak berlangsung permanen. Dalam kasus ini,
setelah nasabah mampu memperbaiki kerusakan operasionalnya, maka
pengembalian kewajiban tetap dilaksanakan.Nasabah masih mempunyai itikad
baik dan dianggap mampu untuk melunasi kewajibannya.
(d) Kasus 4
Kasus force majeure ini terjadi pada pembiayaan penjualan barang
dagang pada Bank Syariah Mandiri Kc. Bandar Lampung. Pembiayaan
yang diberkan kepada nasabah memiliki jangka waktu kurang lebih 10
tahun dan sudah berjalan selama 4 tahun 3 bulan. Jenis force majeure
yang terjadi adalah relatif-temporer berupa kerusakan kualitas seluruh
barang penjualan sehingga tidak dapat dijual kembali.
Suatu peristiwa menimpa barang dagang milik nasabah Usaha Penjualan
Barang sehingga tidak dapat di jual kembali karena kualitas barang tersebut rusak
berat. Nasabah memberitahukan kepada pihak bank bahwa ia tidak dapat
membayar kewajibannya kepada pihak bank karena peristiwa tersebut. Hal ini
menjadi sebab menurunnya daya bayar nasabah kepada bank dan menimbulkan
pembiayaan bermasalah. Setelah mandapat keterangan dari phak nasabah, pihak
bank menuliskan berita acara, melakukan pengecekan lapangan dan melakukan
musyawarah dengan nasabah.Pihak bank melihat nasabah masih dianggap
mampu untuk membayar sejumlah kewajibannya, maka dari itu bank
menawarkan tahap penyelesaian dengan jalur asuransi, baik penggantian stok
66
barang sehingga nasabah dapat berjualan kembali atau pelunasan sisa
pembayaran kepada pihak bank
Dengan adanya pembiayaan bermasalah, bank diharuskan memberikan
penanganan yang sesuai dengan pertimbangan kondisi nasabah.Beberapa dasar
hukum mengenai ketentuan penyelesaian force majeure telah ditetapkann oleh
yang berwenang.Al-qur’an serta hadist dapat menjadi landasan bagi bank syariah
untuk mengambil suatu tindakan. Fatwa DSN MUI , UU, serta KUH Perdata
juga menjadi dasar yang kuat untuk memberikan solusi yang tepat bagi kondisi
nasabah pembiayaan bermasalah, dari hal tersebut perlu di uraikan mengenai
kasus force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan murabahahdan
mudharabah serta penyelesaian yang dilakukan oleh bank syariah dalam kasus
serta dilakukan analisis terhadapnya.ada beberapa kasus force majeure yang
menjadi sebab timbulnya permasalahan atau risiko permasalahan pada
pembiayaan. Berikut tabel penjelasannya:
B. Model-model Penyelesaian Force majeuredalam Produk Pembiayaan pada
Bank Syariah
Penanganan kasus force majeureyang dilakukan oleh pihak bank syariah
adalah dengan memberikan solusi kepada nasabah pembiayaan yang disesuaikan
dengan sebab dan kondisi nasabah yang terkena force majeure. Dalam
melakukan tahap penyelesaian, bank syariah akan mempertimbangkan bentuk
67
solusi yang sesuai dengankondisi dan kemampuan nasabah yang terkena force
majeuredalam membayar kewajibannya.2
Dibawah ini adalah kesimpulan tahapan penyelesaian pembiayaan
bermasalah yang di lakukan oleh bank ayariah.Adapun tahapan-tahapan
penyelesaian pembiayaan bermasalah di bank syariah adalah sebagai berikut:3
1. Keringanan Angsuran Pokok dan Mark-Up
Merupakan penyelesaian pembiayaan bermasalah tahap awal. Hal
tersebut dilakukan apabila terjadi permasalahan sebagai berikut:
a) Apabila debitur merasa keberatan dengan besarnya angsuran dan bagi
hasil/mark-up dengan sebab tertentu, seperti yang telah disepakati bersama
dalam akad perjanjian sehingga angsurannya menjadi kurang lancar.
b) Apabila usaha nasabah kurang lancar, jika alokasi dana kredit untuk usaha.
Adapun mekanisme penyelesaiannya adalah sebagai berikut: sebagai
langkah awal, pihak bank syariah mengadakan kunjungan lapangan untuk
mengetahui penyebab terjadinya macet. Selanjutnya pihak bank syariah
mengadakan musyawarah dengan nasabah untuk menentukan penyelesaian
terbaik dan tidak memberatkan kedua belah pihak.
Apabila belum terselesaikan, maka pihak bank syariah mengambil
langkah-langkah preventif (pencegahan) pertama dengan upaya sebagai
berikut:
2 Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah”, h. 136
3 Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah”, h. 136
68
a) Penangguhan sementara atau perpanjangan masa angsuran dan tetap
dikenakan bagi hasil ataupun mark-up dengan konsekuensi pengecilan
angsuran pokok.
b) Penghapusan sementara bagi hasil ataupun mark-up dan hanya diwajibkan
membayarkan pokoknya saja. Apabila dana sudah terbayarkan, maka bagi
hasil ataupun mark-up dibayarkan kemudian
c) Penghapusan sisa ataupun seluruh bagi hasil ataupun mark-up dan hanya
diwajibkan membayar pokok. Hal ini dilakukan setelah diadakan
penyelesaian melalui dua mekanisme tersebut diatas.
2. Klaim Asuransi
Tindakan penyelesaian kasus forcemajeure melalui klaim asuransi
adalam tindakan penyelamatan pembiayaan yang paling ideal dgunakan oleh
bank syariah. Dalam hal terjadinya force majeure, maka pihak yang terkena
akibat langsung dari force majeure tersebut wajib memberitahukan secara
tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/ Instansi yang
berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeure tersebut
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas hari kerja) terhitung sejak
tanggal force majeure ditetapkan.
Berita acara yang telah di tulis oleh nasabah akan diberikan kepada
lembaga asuransi oleh pihak bank. Lembaga asuransi akan mencari kebenaran
dan bukti-bukti kuat mengenai kronologis terjadinya force majeure pada
nasabah, jika nasabah terbukti benar mengalami force majeure maka nasabah
69
dapat mengklaim asuransi yang dapat digunakan sebagai salah satu jalan
penyelematan pembiayaan nya kepada bank.4
3. Penyitaan dan Pelelangan
Merupakan tindakan penyitaan dan ataupun penjualan oleh pihak bank
syariah terhadap barang yang dijaminkan nasabah. Penyitaan dan pelelangan
jaminan merupakan tahap III dan dilakukan dengan latar belakang
permasalahan sebagai berikut:
a) Telah melalui tahap I dan tahap II. Nasabah sebenarnya mampu
membayar kewajibannya akan tetapi tidak dilakukannya, dengan kata lain
nasabah telah wanprestasi terhadap kepercayaan yang diberikan pihak
bank syariah
b) Telah terjadi penyalahgunaan dana oleh nasabah.
Penyitaan dan pelelangan merupakan upaya bank syariah untuk
mendapatkan kembali dana yang diberikan kepada nasabah. Pada tahap ini, pihak
bank syariah terlebih dahulu mengadakan upaya penyitaan terhadap barang yang
dijaminkan nasabah pada waktu penandatanganan akad pembiayaan.Setelah
barang jaminan tersebut disita, pihak bank syariah melakukan negosiasi dengan
nasabah tersebut membayar hutangnya tanpa melalui pelelangan barang jaminan.
Apabila upaya tersebut belum berhasil, mak pihak bank syariah kembali
melakukan negosiasi dengan nasabah tentang penentuan harga minimum, barang
yang akan dilelang. Setelah terjadi kesepakatan, pihak bank syariah melelang
4Wendra M, Accounting Maintenace BSM Kc. Bandar lampung, wawancara pribadi, Bandar
lampung 27 Oktober 2016
70
barang jaminan tersebut dengan hasil penjualannya digunakan untuk membayar
hutang nasabah kepada bank syariah.
Adapun mekanisme penyelesaian pada tahap penyitaan dan pelelangan
jaminan adalah terlebih dahulu pihak bank syariah mengadakan kunjungan
lapangan dan diadakan upaya penyelesaian melalui tahap satu dan tahap dua, jika
alokasi dana kredit untuk usaha. Apabila dengan hal tersebut belum
terselesaikan, maka pihak bank syariah mengadakan musyawarah dengan pihak
debitur untuk mengadakan penyitaan barang jaminan. Dalam hal ini, maka pihak
bank syariah mengambil kebijakan sebagai berikut:
(1) Apabila dengan penyitaan si nasabah belum mengembalikan pinjamannya,
maka pihak bank syariah dengan adanya persetujuan nasabah untuk
melelang atau menjual barang jaminan tersebut.
(2) Apabila dari hasil pelelangan jaminan tersebut masih ada sisa dana setelah
untuk menutupi pinjaman nasabah, maka akan dikembalikan sepenuhnya
kepada nasabah tersebut setelah dipotong biaya penyitaan dan pelelangan
jaminan.
(3) Apabila setelah pelelangan jaminan ternyata belum dapat menutup semua
pinjaman nasabah kepada pihak bank syariah, maka diadakannya upaya
penyelesaian lainnya. Misalnya, dengan penyitaan dan pelelangan barang-
barang berharga lain milik nasabah. Akan tetapi, apabila dengan hal itupun
belum mampu menutup sisa pinjaman nasabah, maka akan diadakan upaya
penyelesaian melalui tahap IV, yaitu penghapusan piutang.
71
4. Penghapusan Piutang
Merupakan pembebasan sebagian atau seluruh sisa piutang nasabah
kepada bank syariah dengan latar belakang sebagai berikut:
a) Nasabah yang macet telah melalui penyelesaian tahap I, tahap II dan
tahap III.
b) Nasabah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris.
c) Nasabah meninggal dunia dan mempunyai ahli waris, akan tetapi tidak
mampu membayar sebagian ataupun seluruh sisa hutangnya.
Adapun mekanisme penyelesaiannya adalah sebagai berikut::
(1) Diadakan kunjungan lapangan tentang penyebab terjadinya pembiayaan
bermasalah (kredit macet).
(2) sebab meninggal dunia, maka terlebih dahulu diadakan upaya
penyelesaiannya dengan ahli warisnya
(3) Setelah diadakan upaya penyelesaian dengan hal tersebut diatas belum
dapat terselesaikan, maka pihak bank syariah mengambil kebijakan untuk
diadakannya penghapusan piutang oleh pihak bank syariah terhadap sisa
hutang nasabah.
Keempat tahap penyelesaian pembiayaan bermasalah pada bank syariah
merupakan suatu urutan tahapan.Artinya apabila terjadi pembiayaan
bermasalah, terlebih dahulu harus diadakan penyelesaian tahap I, apabila
tahap I belum bisa menyelesaikannya baru diadakan penyelesaian tahap II
sampai tahap ke empat.
72
C. Analisis Penyelesaian Force majeuredalam Produk Pembiayaan Murabahah
dan Mudharabah pada Bank Syariah
Analisis penyelesaian force majeure dalam produk pembiayaan
murabahahdan mudharabah pada beberapa bank syariah diatas di tinjau dari
dasar hukum yang menjadi landasan penyelesaian bermasalah atau berpotensi
bermasalah. Hasil analisis dari kasus-kasus force majeure yang terjadi pada bank
bank syariah yang dapat disimpulkan :
1. Pada kasus force majeure subjektif-permanen, peristiwa kematian yang
menimpa nasabah membuat kelangsungan force majeure yang berdampak
pada pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan
untuk selamanya.
2. Pada kasus force majeure absolut-temporer, peristiwa bencana banjir yang
menghilangkan fisik barang jualan nasabah serta kasus kebakaran yang
melenyapkan sebagian fungsi operasional usaha nasabah membuat
kelangsungan force majeure yang berdampak pada pemenuhan prestasi dari
kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan hanya untuk sementara waktu,
namun setelah efek dari peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat
dipenuhi kembali.
3. Pada kasus force majeure absolut-permanen, peristiwa bencana longsor
yang melenyapkan keseluruhan bangunan yang menjadi objek pembiayaan
nasabah membuat kelangsungan force majeure yang berdampak pada
pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk
selamanya.
73
4. Pada kasus force majeure relatif-temporer, peristiwa rusaknya stok barang
nasabah yang disebabkan karena suatu hal menghilangkan manfaat jual
barang tersebut. Kelangsungan force majeure pada kasus ini yang
berdampak pada pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin
dilakukan hanya untuk sementara waktu, namun setelah efek dari peristiwa
tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.5
5. Pada dasarnya peristiwa ini mengakibatkan debitur bukan tidak mungkin
memenuhi prestasi, melainkan kesulitan memenuhi prestasi, bahkan jika
dipenuhi juga, memerlukan waktu dan biaya yang banyak. Dalam kasus ini,
efek force majeure pada perikatan antara nasabah dengan bank syariah
menjadi perikatan gugur, namun perikatan yang sebenarnya tidak berhenti
(tidak batal), hanya pemenuhan prestasinya tertunda.
6. Kasus-kasus ini menyebabkan akibat-akibat tertentu. Akibat-akibat ini sama
seperti beberapa rumusan A.R. Setiawan, yaitu :6
a) Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi
b) Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib
membayar ganti rugi
c) Risiko tidak beralih kepada debitur
Lalu beberapa akibat diatas juga memiliki kesamaan pernyataan yang
dikatakan oleh Salim H.S.bahwa tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu :7
5 Dewo Broto Joko Putranto, “Penyusunan Kontrak Dan Aspek-Aspek Hukum Pengadaan
Barang/Jasa Berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003”, diakses dari http://justitia-
indonesia.blogspot.co.id/2006/09/penyusunan-kontrak-dan-aspek-hukum.html pada tanggal 01
Februari 2016 pukul 04 : 42 WIB 6 R. Setiawan, “Pokok-Pokok Hukum Perikatan”, h.27-28.
74
a) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
b) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara
c) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi,
kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata dimana
akibat keadaan memaksa relatif terdapat pada penjelasan butir b.
Adapun klausul force majeure yang terdapat dalam akad murabahah
terbitan bank BJB Syariah adalah sebagai berikut :
Terjadinya force majeure pada pembiayaan murabahah tidak mengubah
status hutang pada nasabah.Hal ini djelaskan pada poin 4 dimana tindakan
penyelamatan pembiayaan yang diberikan bank tetap membebankan pelunasan
angsuran sebagai bentuk hak bank yang wajib dikembalikan oleh nasabah.Ketika
terjadi force majeure, bank syariah tidak akan langsung memberikan
7 Salim H.S, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, h.184-185.
Pasal 24 FORCE MAJEURE
1. Dalam hal terjadi force majeure, maka pihak yang terkena akibat langsung dari
force majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeure tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal force majeure terjadi.
2. Keterlambatan atau kelalaian pihak yang mengalami force majeure untuk memberitahukan adanya force majeure tersebut kepada pihak lainnya mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure
3. Seluruh permasalahan yang timbul akibat terjadinya force majeure akan diselesaikan oleh PARA PIHAK secara musyawarah untuk mufakat. Hal
tersebut tanpa mengurangi hak-hak BANK sebagaimana diatur dalam akad ini.
75
penghapusan hutang atau melelangkan jaminan tetapi pemberian bantuan yang
dianggap sesuai dengan kondisi nasabah adalah tindakan yang dilakukan oleh
bank syariah dalam upaya menyelamatkan pembiayaan. Sementara kewajiban
nasabah untuk membayar tidaklah di hapuskan melainkan dapat diberikan
keringanan atau penundaan masa bayar.
Berbeda dengan murabahah, akad pembiayaan mudharabah memiliki
karakteristik yang berbeda. Dalam Fatwa DSN no: 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang Mudharabah (Qiradh) bagian Pertama ketentuan murabahah diatur
seperti :
(1) Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS
kepada pihak lain untuk usaha yang produktif.
(2) Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul mal (pemilik dana) membiayai
100% kebutuhan usaha, sedangkan pengusaha (nasabah) sebagai mudharib.
(3) Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian
keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
(4) Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati
bersama dan sesuai dengan syariah, dan LKS tidak ikut serta dalam
manajemen usaha tapi memiliki hak untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan.
(5) Jumlah pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
76
(6) LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai, atau menyalahi perjanjian.
(7) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan
dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan bila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati dalamj akad.
(8) Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
(9) Biaya operasional dibebankan kepada mudharib
(10) Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau
pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak memperoleh ganti rugi
atas biaya yang telah dikeluarkan.
Adapun klausul force majeure yang terdapat dalam akad mudharabah
terbitan bank BJB Syariah adalah sebagai berikut:
Pasal 23 FORCE MAJEURE
1. Dalam hal terjadi force majeure, maka pihak yang terkena akibat langsung dari
force majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeure tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal force majeure terjadi.
2. Keterlambatan atau kelalaian pihak yang mengalami force majeure untuk memberitahukan adanya force majeure tersebut kepada pihak lainnya mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure
3. Seluruh permasalahan yang timbul akibat terjadinya force majeure akan diselesaikan oleh PARA PIHAK secara musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak BANK sebagaimana diatur dalam akad ini.
77
Dalam keadaan force majeure, musibah yang mengakibatkan kerugian
yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal,
sedangkan kerugian non-materi, (skiil/tenaga) menjadi tanggung jawab
pengusaha. Hal ini disebutkan dalamkaidahالغنم بالغرم serta dalam Fatwa DSN no:
07/DSN-MUI/IV/2000 poin 6 yang menjelaskan LKS sebagai penyedia dana
menanggung semua kerugian akibat mudharabah kecuali jika mudharib
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. namun,
pasal force majeure diatas menyebutkan bahwa kejadian force majeure tidak
dapat menjadi alasan pengurangan kewajiban nasabah terhadap bank. Hal ini
menunjukkan PERSAMAAN antara penyelesaian kasus force majeure dalam
akad murabahah dengan penyelesaian kasus force majeure dalam akad
mudharabah yang pada hakikatnya dua akad ini jelas jelas memiliki karakteristik
yang BERBEDA.
Ada pun ketidaksesuaian tindakan nasabah melihat pada Fatwa yang sama
bagian pertama poin 7 dimana jaminan hanya dapat dicairkan jika nasabah
melakukan pelanggaran yang disepakati bersama, sementara hal force majeure
tidak dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan namun bank melakukan eksekusi
jaminan untuk melunasi beban nasabah force majeure. Selanjutnya, ada
ketidaksesuaian tindakan penyelesaian kasus force majeure yang di lakukan
pihak bank syariah pada bagian ketiga poin 3 dalam Fatwa yang sama. Dalam
poin ini dijelaskan bahwa tidak ada ganti rugi dalam akad mudharabah, karena
pada dasarnya akad ini bersifat amanah kecuali terjadi pelanngaran atau
kesalahan diluar kesepaktan.Force majeure yang terjadi tidak dapat digolongkan
78
kesalahan sementara nilai kerugian yang di bayarkan kepada pihak bank baik
dengan jalur asuransi atau pun tindakan penyelamatan pembiayaan lainnya masih
di tanggun nasabah.
Pada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri belum diatur secara
spesifik mengenai ketentuan force majeure pada lampiran akad pembiayaanya.
Beragam sebab terjadinya kasus force majeure dalam pembiayaan
bermasalah di ranah perbankan juga tidak membedakan cara penyelesaian dan
sengketanya di ranah Hukum. Model penyelesaian kasus force majeure yang
terjadi di bank syariah dilakukan berdasarkan proses yang serupa sebagaimana
langkah penyelesaian pembiayaan bermasalah secara umum. Menurut penulis,
hal ini kurang sesuai dengan teori-teori yang telah ada khususnya dalam
perspektif Islam. Pada praktiknya di bank syariah dalam akad pembiayaan
mudharabah, nasabah masih memiliki kewajiban pembayaran yang harus
dilunasi meskipun nasabah tetap diberikan keringanan sesuai dengan kebutuhan
nasabah dengan tidakan yang sama dengan penanganan pembiayaan bermasalah
lainnya seperti keringanan angsuran, pokok, dan besaran bagi hasil, penundaan
masa pembayaran sampai dengan persetujuan penghapusan piutang atau lelang
jaminan.
Tindakan yang diambil oleh bank syariah dalam menangani kasus ini
diambil berdasarkan beberapa dasar hukum, yaitu :
79
a) Hukum islam
(1) Keringanan yang diberikan oleh bank syariah sesuai dengan dasar Al-
qur’an Q.S Al-Baqarah : 280 yang mana kita dianjurkan untuk
memberikan kelapangan dan kemudahan dengan orang yang memiliki
hutang.
(2) Penyelesaian force majeure yang dilakukan oleh bank syariah sudah
sesuai dengan Fatwa DSN 17/DSN-MUI/IX/2000 pada butir 2 bahwa
bank tidak boleh mengenakan sanksi; dalam hal ini bersifatta’zir atau
denda kepada nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan
force majeure
(3) Pada penyelesaian kasus force majeure dalam praktek akad pembiayaan
mudharabah menurut Fatwa DSN no: 07/DSN-MUI/IV/2000 poin 6
kurang sesuai, dikarenakan force majeure yang menimpa nasabah
mudharabah tidak menghapus beban materil yang masih menjadi
kewajibann nasabah untuk dibayarkan kepada bank.
b) Hukum positif
Tindakan penyelesaian yang dilakukan oleh bank syariah memenuhi
standar hukum seperti yang dibunyikan dalam beberapa KUHP, yaitu :
I. KUHP 1444
Pada pasal ini, bank diharuskan untuk membuktikan kepada
nasabah tentangforce majeureyang menimpanya.Dalam kasus diatas,
nasabah terbukti tidak dapat membayar dikarenakan peristiwa yang
diluar kuasanya. Maka dari hal itu, bank melakukan tindakan
80
penyelamatan pembiayaan dengan menimbang kondisi nasabah yang
sekarang serta perikatan yang ada di awal menjadi perikatan gugur
II. KUHP 1445
Tindakan penyelamatan pembiayaan yang dilakukan oleh bank
syariah mengacu pada pasal ini.dikarenakan nasabah yang meskipun
mengalami musibah force majeure tetapi tetap memiliki sisa hutang dan
tanggungan yang masih menjadi hak bank syariah.
81
Bagan Force Majeure
Force majeure
Jenis
Absolut
Relatif
Objektif
Subjektif
Temporer
Permanen
Cara penyelesaian
Asuransi
Keringanan Angsuran
Pemutihan tunggakan
Eksekusi jaminan
58
Tabel Penyelesaian dan Keseuaian Kasus Force Majeure di Bank Syariah
No. Nama
Bank
Murabahah Mudharabah Jenis Force Majeuere Cara Peneyelesaian
Absolut Relatif Objektif Subjektif Permanen Temporer Asuransi Keringanan
Angsuran
Pemutihan
Tunggakan
Eksekusi
Jaminan
1 BSM
2 BSM
3 BSM
4 BSM
5 BJB
Syariah
6 Muamalat
82
83
Tabel Penyelesaian dan Keseuaian Kasus Force Majeure di Bank Syariah
No. Nama Bank Murabahah Mudharabah Jenis Force Majeuere Kesesuaian
Absolut Relatif Objektif Subjektif Permanen Temporer KUHP
1244
KUHP
1245
KUHP
1444
KUHP
1445
Fatwa DSN
No.17/DSN-
MUI/
IX/2000
Fatwa
DSN
No.07/D
SN MUI/
IV/ 2000
Fatwa
DSN
No.48/
DSN-
MUI/
II/2005
1 BSM
2 BSM
3 BSM
4 BSM
5 BJB Syariah
6 Muamalat
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat diambil beberapa
kesimpulan, diantaranya sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan
Bank Syariah
Bentuk force majeure yang sering terjadi di sektor perbankan syariah
adalah force majeure objektif-absolut-temporer, yang mana force majeure
bentuk ini terjadi pada objek pembiayaan yang disebabkan oleh bencana
alam dengan kelangsungan dampak yang bersifat sementara.
2. Model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur yang
ditempuh para pihak Bank Syariah
Model penyelesaian kasus force majeure yang ditempuh pihak bank
syariah adalah dengan klaim asuransi yang ideal digunakan.
3. Kesesuaian model dan prosedur penyelesaian kasus force majeure
yang digunakan oleh Bank Syariah dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Ketentuan peraturan perundang-undangan KUHP 1444-1445 serta
Fatwa DSN MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 dan Fatwa DSN MUI No.
48/DSN-MUI/II/2005 telah sesuai dengan model penyelesaian kasus force
87
majeure yang digunakan oleh bank syariah, sementara pada KHUP 1244-
1245 dan Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 masih belum sesuai
dengan model penyelesaian kasus force majeure yang ditempuh oleh bank
syariah.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, berikut ini adalah saran-saran yang
dapat peneliti sampaikan. Bagi Lembaga Perbankan Indonesia :
1. Dalam penerapan pengambilan tindakan, perbankan diharapkan dapat
lebih memperhatikan prinsip-prinsip syariah serta ketentuan pada
penyelesaian kasus force majeure, sehingga adanya kemudahan yang
sebenar-benarnya bagi nasabah dalam meringankan kesusahan karena
terkena bencana.
2. Konunikasi dan musyawarah yang baik dengan nasabah yang mengalami
pembiayaan bermasalah perlu ditingkatkan guna terbukanya solusi yang
mashlahat dan tidak memberatkan salah satu pihak.
3. Dalam menghadapi suatu permasalahan di bidang pembiayaan perbankan
diperlukan kesiapan manajemen yang emiliki sistem dan perangkat kerja
yang dapat diandalkan untuk mencegah terjadinya resiko pada pembiayaan
atau pun memberikan solusi yang mashlahat jika terjadi pembiayaan
bermasalah. Hal ini bisa dilakukan dengan upaya preventif melalui
pengelolaan resiko terstruktur berupa identifikasi resiko, pengukuran
resiko, pemantauan resiko serta pengendalian resiko.
88
Bagi peneliti selanjutnya :
1. Disarankan untuk memberikan perbedaan yang lebih bervariasi terhadap
cara penyelesaian kasus force majeure yang terjadi dalam produk
pembiayaan baik di bank konvensional maupun bank syariah.
2. Agar peneliti selanjutnya dapat menggunakan input-output mengenai
kasus force majeure pada lembaga perbankan yang dapat ditinjau dari
aspek-aspek lainnya, hal ini untuk melihat perkembangan hasil penelitian.
3. Diperlukan penelitian lebih jauh tentang penyelesaian force majeure secara
keseluruhan serta impikasi pada berbagai sektor rill di Indonesia.
89
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Al-qur’an terjemah Departemen Agama RI, 2002.
Dewi, Gemala DKK. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.Fakultas hukum
Universitas Indonesia, 2006.
Fatchurrahman.Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam. Bandung : PT Al
Ma’rif, 1986.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang
Penjadualan Kembali Tagihan Murabahah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi
Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran
Hanum, Chalidah. “Strategi Bnak BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR
Bermasalah (Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah
Jakarta)”.Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
H.S, Salim.Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,
2001.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445
Lathif, AH.Azharudin. “Analisis yuridis dan ekonomi terhadap pengenaan pajak
pertambahan nilai pada pembiayaan murabahah di perbankan syariah”,
Tesis S2 program studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta,
2008.
Mardani.Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta : Kencana, 2011.
Miru, Ahmadi. Hukum Perancangan Kontrak. Jakarta : Rajawali Pers, 2007.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Alumni, 1982.
89
90
Muslehuddin, Mohammad. Insurance and Islamic Law, 2nd Edition. Delhi :
Markazi Maktaba Islami, 1995.
Panjaitan, Tri Ertina. “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk
Pembiayaan Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada
Bank Syariah Mandiri Cabang Padang, SUMBAR)”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Rivai, Veithzal & Andria Veithzal Rivai. Credit Management Handbook.Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Rivai, Veithzal. Bank atau Financial Institution Management.Edsisi 1. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
R. Purba, Michael. Kamus Hukum. Jakarta : Widyatamma, 2009.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1994.
Soemadipradja, Rahmat S.S. Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 2010.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A.
Yogyakarta : Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, 1980.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia.Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Subekti.Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa, 1992.
Yaya, Rizal DKK. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta : Salemba Empat, 2009.
2. Website
www.bjbsyariah.co.id
www.bankmuamalat.co.id
www.syariahmandiri.co.id
www.ojk.go.id
www.portalgaruda.org
www.dsnmui.or.id
www.google.com
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Tabel definisi kasusforce majeure pada akad pembiayaan di Bank
Syariah
Lampiran 2 : Skema Pembiayaan Bermasalah
Lampiran 3`: Surat Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Bank
BJB Syariah Kcp. Supomo
Lampiran 4 :Surat Keterangan Penelitian dari Bank BJB Syariah Kc. Supomo
Lampiran 5`: Surat Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada
BankSyariah Mandiri Kc. Bandar Lampung
Lampiran 6 : Surat Persetujuan Informan dari Bank Syariah MandiriKc. Bandar
Lampung
Lampiran 7 : Surat Keterangan Penelitian dari Bank Syariah Mandiri Kc. Bandar
Lampung
Lampiran 8: Surat Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Bank
Muamalat Kc. Bandar Lampung
Lampiran 9 : Surat Persetujuan Informan dari Bank Muamalat Kc. Bandar Lampung
Lampiran 10 :Surat Keterangan Kerja Informan Bank Muamalat Kc. BandarLampung
Tabel definisi kasus force majeure pada akad pembiayaan
Bank Muamalat Bank BJB Syariah
Daftar Pertanyaan Akad Pembiayaan
Murabahah
Akad Pembiayaan Mudharabah
Adakah ketentuan khusus yang
mengatur force majeure dalam akad
perjanjian pembiayaan?
Tidak, ketentuan force
majeure diatur dalam pasal
yang menyangkut tentang
perlakuan asuransi
Ada
Apakah ketentuan force majeure
dicantumkan dalam akad perjanjian
pembiayaan?
Tidak, ketentuan force
majeure disatukan dalam pasal
lain-lain
Ada
Adakah kasus force majeure yang
terjadi? Ada
Apa nama pembiayaannya? Pembiayaan iB Multiguna Pembiayaan Produktif, Pembiayaan Modal kerja (PMK)
Apa kegunaan pembiayaannya? produk pembiayaan yang
ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan barang jasa
konsumtif seperti bahan
bangunan untuk renovasi
rumah, kepemilikan sepeda
motor, biaya pendidikan, biaya
pernikahan dan perlengkapan
rumah
Fasilitas Pembiayaan yang diberikan perusahaan yang memerlukan
pembiayaan modal kerja dengan maksimum 80% dari modal kerja yang
dibutuhkan
Apa objek pembiayaannya? Pembelian mobil
Pendanaan Usaha Properti (Bangunan Ruko)
Milik siapakah objek pembiayaannya? Bentuk kepemilikan mobil
tersebut masih menjadi hak
bank yang dapat menjadi milik
nasabah setelah pelunasan
Bentuk kepemilikan Usaha tersebut adalah milik nasabah
Kapan bank syariah memberikan
pembiayaan kepada nasabah?
Jangka waktu pembiayaan
selama 5 tahun dimulai pada
tahun 2013 (perkiraan bulan
tidak disebutkan)
(Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
Sudah berapa lama pembiayaan
berjalan?
Pembiayaan sudah berjalan
kurang lebih 3 tahun
(Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
Apakah objek pembiayaan memilikii
jaminan, berupa apa jaminannya?
Ya, jaminan dari objek
pembiayaan ini adalah BPKB
mobil itu sendiri
Ya (Spesifikasi jaminan pembiayaan tidak disebutkan)
Apakah jaminan tersebut
diasuransikan?
Ya Ya
Bentuk force majeure apa yang
terjadi?
Force majeure subjektif-
permanen berupa kematian
nasabah pembiayaan
Force majeure absolut-temporer berupa kebakaran tempat usaha nasabah
Kapan terjadinya force majeure dalam
pembiayaan?
(Tidak di sebutkan oleh pihak
bank)
(Tidak di sebutkan oleh pihak bank)
Dimana letak force majeure yang
menyebabkan pembiayaan
bermasalah?
Kematian nasabah pembiayaan
disebabkan oleh kecelakaan
yang menimpa nasabah beserta
dengan objek pembiayaan
yang digunakan (mobil).
Peristiwa ini menyebabkan
terhentinya kewajiban nasabah
Pada kasus ini, nasabah memiliki 5 unit bangunan usaha (ruko) dalam satu
area yang berdekatan. Bangunan ini di berikan pembiayaan oleh pihak
bank. Masing-masing ruko tersebut dijual kepada pemilik usaha yang
membutuhkan sepert usaha jual beli mobil, warung, dsb.
Diluar kuasa nasabah (pemilik ruko), 2 dari ruko tersebut mengalami
kebakaran yang menyebabkan kerusakan berat. Terjadinya peristiwa ini
menimbulkan daya bayar penyewa ruko kepada pemilik ruko menurun yang
juga berakibat berkurangnya daya bayar pemilik ruko terhadap bank. Diluar
permasalahan pihak penyewa ruko dengan pemilik ruko (nasabah
pembiayaan), pihak nasabah meminta keringanan dari pihak bank.
Bagaimana tindakan penyelesaian
bank syariah dalam menanganii kasus
force majeure pada pembiayaan?
Peristiwa kematian tersebut
dikabarkan oleh keluarga dari
pihak nasabah pembiayaan.
Pihak keluarga nasabah
memberikan keterangan dan
Pihak bank melakukan tahap pengecekan lapangan, dan melakukan
musyawarah dengan pihak nasabah.
Bank berpendapat bahwa rusaknya fungsi dari 2 ruko tersebut
mengakibatkan hampir setengah kemampuan pengembalian kewajiban
menunjukkan sejumlah bukti
berupa Surat Keterangan
Kematian dari kelurahan
setempat. Pihak bank
memberikan rincian sisa
kewajiban nasabah terhadap
bank atas objek pembiayaanya.
Pada kasus ini, nasabah masih
mempunyai sisa pembiayaan
beberapa bulan yang belum
dibayarkan sebelum peristiwa
kematiannya dan beberapa
bulan selanjutnya yang
seharusnya masih harus
dibayarkan sampai habis masa
pembayaran.
Pihak bank dan keluarga
nasabah melakukan
nasabah kepada bank menurun.
Musyawarah yang dilakukan antara pihak bank dengan nasabah
menghasilkan suatu solusi berupa : kewajiban dana dari 2 ruko yang
terbakar tersebut akan diselesaikan melalui jalur asuransi, sementara 3 ruko
yang tersisa akan dilakukan tahapan rescheduling (Spesifikasi keringanan
tidak di sebutkan) sesuai dengan permintaan nasabah melihat dari kondisi
kemampuan nasabah dalam membayar, serta hasil perhitungan yang
didapatkan dari bank.
musyawarah dan mencapai
kesepakatan dengan jalan
keluar dimana pihak keluarga
nasabah hanya diberikan
tanggungan pembayaran sisa
bulan yang belum di bayarkan
oleh nasabah pembiayaan
hanya sampai waktu peristiwa
kematian nasabah terjadi. Sisa
pembiayaan beberapa bulan
berikutnya, yang seharusnya di
lunaskan akan di putihkan oleh
pihak bank. Pihak keluarga
sepakat untuk menyelesaiakan
dengan klaim asuransi.
Bagaimana perlakuan pihak asuransi
menyikapi kasus force majeure?
Setelah mendapatkan kabar
mengenai peristiwa yang
terjadi, pihak asuransi
melakukan pengecekan dan
Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi, pihak asuransi
melakukan pengecekan dan prosedural klaim asuransi untuk membayar
beban kewajiban 2 ruko yang terbakar sesuai dengan perhitungan yang
prosedural klaim asuransi
kematian yang akan digunakan
untuk membayar sisa
kewajiban nasabah terhadap
bank
telah didapatkan kepada pihak bank
Jika asuransi menyanggupi untuk
membayar kerugian force majeure,
apakah kasus dapat di nyatakan
selesai?
Jika asuransi sudah menyanggupi untuk membayar kewajiban nasabah yang diakibatkan oleh force majeure,
maka kasus dapat dinyatakan selesai. Setelah selesai maka tindakan selanjutnya dapat berupa pemutihan
hutang atau dengan melanjutkan pembayaran
Apakah tindakan penyelesaian kasus
force majeure dipersamakan dengan
penanganan kasus pembiayaan
bermasalah pada umumnya?
Penyelesaian yang kami tempuh semua berdasarkan pengecekan lapangan dan keaslian bukti-bukti otentik
lainnya serta keringanan yang diberikan berdasarkan permintaan dan kemampuan nasabah.
Perbedaannya, pada pembiayaan bermasalah biasa jika nasabah tidak membayar kewajibannya kami akan
memberikan Surat Peringatan sampai somasi, namun pada nasabah force majeure kita tidak memberikan
surat peringatan melainkan pihak bank akan menuliskan berita acara, melakukan pengecekan lapangan serta
mengumpulkan bukti-bukti otentik lainnya.
Langkah penyelesaian yang dilakukan bank terhadap kasus force majeure sendiri memang dipersamakan
dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah biasa, seperti :
(a) Pemberian keringanan angsuran dalam bentuk rescheduling, resctructuring, atau reconditioning
(b) Penyelesaian jalur asuransi
(c) Penyelesaian melalui mediasi
(d) Penyelesaian melalui arbitrase
(e) Penyelesaian melalui pengadilan
(f) Eksekusi jaminan atau lelang
Dengan adanya perbedaan jenis kasus
force majeure yang terjadi, apakah
memiliki perbedaan penyelesaian
pembiayaan?
Perbedaan jenis force majeure yang terjadi berpengaruh pada tindakan penyelesaian yang diambil. Hal ini
disesuaikan kembali dengan kondisi serta kemampuan nasabah force majeure
Adakah perbedaan keringanan yang
diberikan pihak bank kepada nasabah
force majeure berdasarkan jenis
penyebabnya?
Perbedaan keringanan yang diberikan kepada nasabah force majeure tergantung dengan besaran nominal
kerugian serta bentuk permintaan nasabah yang disesuaikan dengan kemampuannya
Tabel definisi kasus force majeure pada akad pembiayaan
Bank Muamalat Bank BJB Syariah
Daftar Pertanyaan Akad Pembiayaan
Murabahah
Akad Pembiayaan Mudharabah
Adakah ketentuan khusus yang
mengatur force majeure dalam akad
perjanjian pembiayaan?
Tidak, ketentuan force majeure diatur
dalam pasal yang menyangkut tentang
perlakuan asuransi
Ada
Apakah ketentuan force majeure
dicantumkan dalam akad perjanjian
pembiayaan?
Tidak, ketentuan force majeure disatukan
dalam pasal lain-lain
Ya
Dari beberapa permbiayaan yang telah
disalurkan, adakah kasus force majeure
yang terjadi?
Ada
Apa nama pembiayaannya? Pembiayaan iB Multiguna
Pembiayaan Produktif, Pembiayaan Modal kerja (PMK)
Apa kegunaan pembiayaannya? produk pembiayaan yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan barang jasa
konsumtif seperti bahan bangunan untuk
renovasi rumah, kepemilikan sepeda
motor, biaya pendidikan, biaya
pernikahan dan perlengkapan rumah
Fasilitas Pembiayaan yang diberikan perusahaan yang
memerlukan pembiayaan modal kerja dengan maksimum 80%
dari modal kerja yang dibutuhkan
Apa objek pembiayaannya? Pembelian mobil
Pendanaan Usaha Properti (Bangunan Ruko)
Milik siapakah objek pembiayaannya? Bentuk kepemilikan mobil tersebut masih
menjadi hak bank yang dapat menjadi
milik nasabah setelah pelunasan
Bentuk kepemilikan Usaha tersebut adalah milik nasabah
Kapan bank syariah memberikan
pembiayaan kepada nasabah?
Jangka waktu pembiayaan selama 5 tahun
dimulai pada tahun 2013 (perkiraan bulan
tidak disebutkan)
(Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
Sudah berapa lama pembiayaan
berjalan?
Pembiayaan sudah berjalan kurang lebih 3
tahun
(Spesifikasi waktu pembiayaan tidak disebutkan)
Apakah objek pembiayaan memilikii
jaminan, berupa apa jaminannya?
Ya, jaminan dari objek pembiayaan ini
adalah BPKB mobil itu sendiri
Ya (Spesifikasi jaminan pembiayaan tidak disebutkan)
Apakah jaminan tersebut diasuransikan? Ya
Ya
Bentuk force majeure apa yang terjadi? Force majeure subjektif-permanen berupa
kematian nasabah pembiayaan
Force majeure absolut-temporer berupa kebakaran tempat
usaha nasabah
Kapan terjadinya force majeure dalam
pembiayaan?
(Tidak di sebutkan oleh pihak bank) (Tidak di sebutkan oleh pihak bank)
Dimana letak force majeure yang
menyebabkan pembiayaan bermasalah?
Kematian nasabah pembiayaan
disebabkan oleh kecelakaan yang
menimpa nasabah beserta dengan objek
pembiayaan yang digunakan (mobil).
Peristiwa ini menyebabkan terhentinya
kewajiban nasabah kepada pihak bank.
Pada kasus ini, nasabah memiliki 5 unit bangunan usaha (ruko)
dalam satu area yang berdekatan. Bangunan ini di berikan
pembiayaan oleh pihak bank. Masing-masing ruko tersebut
dijual kepada pemilik usaha yang membutuhkan sepert usaha
jual beli mobil, warung, dsb.
Diluar kuasa nasabah (pemilik ruko), 2 dari ruko tersebut
mengalami kebakaran yang menyebabkan kerusakan berat.
Terjadinya peristiwa ini menimbulkan daya bayar penyewa
ruko kepada pemilik ruko menurun yang juga berakibat
berkurangnya daya bayar pemilik ruko terhadap bank.
Diluar permasalahan pihak penyewa ruko dengan pemilik ruko
(nasabah pembiayaan), pihak nasabah meminta keringanan
dari pihak bank.
Bagaimana tindakan penyelesaian bank
syariah dalam menanganii kasus force
majeure pada pembiayaan?
Peristiwa kematian tersebut dikabarkan
oleh keluarga dari pihak nasabah
pembiayaan. Pihak keluarga nasabah
memberikan keterangan dan menunjukkan
sejumlah bukti berupa Surat Keterangan
Kematian dari kelurahan setempat. Pihak
bank memberikan rincian sisa kewajiban
nasabah terhadap bank atas objek
pembiayaanya.
Pada kasus ini, nasabah masih
mempunyai sisa pembiayaan beberapa
bulan yang belum dibayarkan sebelum
peristiwa kematiannya dan beberapa
bulan selanjutnya yang seharusnya masih
harus dibayarkan sampai habis masa
Pihak bank melakukan tahap pengecekan lapangan, dan
melakukan musyawarah dengan pihak nasabah.
Bank berpendapat bahwa rusaknya fungsi dari 2 ruko tersebut
mengakibatkan hampir setengah kemampuan pengembalian
kewajiban nasabah kepada bank menurun.
Musyawarah yang dilakukan antara pihak bank dengan
nasabah menghasilkan suatu solusi berupa : kewajiban dana
dari 2 ruko yang terbakar tersebut akan diselesaikan melalui
jalur asuransi, sementara 3 ruko yang tersisa akan dilakukan
tahapan rescheduling (Spesifikasi keringanan tidak di
sebutkan) sesuai dengan permintaan nasabah melihat dari
kondisi kemampuan nasabah dalam membayar, serta hasil
perhitungan yang didapatkan dari bank.
pembayaran.
Pihak bank dan keluarga nasabah
melakukan musyawarah dan mencapai
kesepakatan dengan jalan keluar dimana
pihak keluarga nasabah hanya diberikan
tanggungan pembayaran sisa bulan yang
belum di bayarkan oleh nasabah
pembiayaan hanya sampai waktu
peristiwa kematian nasabah terjadi. Sisa
pembiayaan beberapa bulan berikutnya,
yang seharusnya di lunaskan akan di
putihkan oleh pihak bank.
Pihak keluarga sepakat untuk
menyelesaiakan sisa pembayaran nasabah
dengan klaim asuransi.
Bagaimana perlakuan pihak asuransi
menyikapi kasus force majeure?
Setelah mendapatkan kabar mengenai
peristiwa yang terjadi, pihak asuransi
melakukan pengecekan dan prosedural
klaim asuransi kematian yang akan
digunakan untuk membayar sisa
kewajiban nasabah terhadap bank
Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi,
pihak asuransi melakukan pengecekan dan prosedural klaim
asuransi untuk membayar beban kewajiban 2 ruko yang
terbakar sesuai dengan perhitungan yang telah didapatkan
kepada pihak bank
Jika asuransi menyanggupi untuk
membayar kerugian force majeure,
apakah kasus dapat di nyatakan selesai?
Jika asuransi sudah menyanggupi untuk membayar kewajiban nasabah yang diakibatkan oleh force
majeure, maka kasus dapat dinyatakan selesai. Setelah selesai maka tindakan selanjutnya dapat berupa
pemutihan hutang atau dengan melanjutkan pembayaran
Apakah tindakan penyelesaian kasus
force majeure dipersamakan dengan
penanganan kasus pembiayaan
bermasalah pada umumnya?
Penyelesaian yang kami tempuh semua berdasarkan pengecekan lapangan dan keaslian bukti-bukti otentik
lainnya serta keringanan yang diberikan berdasarkan permintaan dan kemampuan nasabah
Perbedaannya, pada pembiayaan bermasalah biasa jika nasabah tidak membayar kewajibannya kami akan
memberikan Surat Peringatan sampai somasi, namun pada nasabah force majeure kita tidak memberikan
surat peringatan melainkan pihak bank akan menuliskan berita acara, melakukan pengecekan lapangan serta
mengumpulkan bukti-bukti otentik lainnya.
Langkah penyelesaian yang dilakukan bank terhadap kasus force majeure sendiri memang dipersamakan
dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah biasa, seperti :
(a) Pemberian keringanan angsuran dalam bentuk rescheduling, resctructuring, atau reconditioning
(b) Penyelesaian jalur asuransi
(c) Penyelesaian melalui mediasi
(d) Penyelesaian melalui arbitrase
(e) Penyelesaian melalui pengadilan
(f) Eksekusi jaminan atau lelang
Dengan adanya perbedaan jenis kasus
force majeure yang terjadi, apakah
memiliki perbedaan penyelesaian
pembiayaan?
Perbedaan jenis force majeure yang terjadi berpengaruh pada tindakan penyelesaian yang diambil. Hal ini
disesuaikan kembali dengan kondisi serta kemampuan nasabah force majeure
Adakah perbedaan keringanan yang
diberikan pihak bank kepada nasabah
force majeure berdasarkan jenis
penyebabnya?
Perbedaan keringanan yang diberikan kepada nasabah force majeure tergantung dengan besaran nominal
kerugian serta bentuk permintaan nasabah yang disesuaikan dengan kemampuannya
SKEMA PEMBIAYAAN BERMASALAH
SKEMA PEMBIAYAAN BERMASALAH