FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

80
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANGUNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Hukum (S.H.) Oleh : LABIBAH KHOIRUNNISA NIM : 11170480000062 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

Transcript of FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

Page 1: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA

PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM

USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG–UNDANG NOMOR 2

TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Hukum (S.H.)

Oleh :

LABIBAH KHOIRUNNISA

NIM : 11170480000062

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

Page 2: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

1

FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA

PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)

DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG

NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Hukum (S.H.)

Oleh :

LABIBAHKHOIRUNNISA

NIM : 11170480000062

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

i

Page 3: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA

PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM

USAHA JASAKONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2

TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

LABIBAH KHOIRUNNISA

NIM: 11170480000062

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H. M.H.

NIP. 19670203 201411 1001 Dra. Ipah Farihah. M.H.

NIP. 19590819 199403 2001

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/ 2021 M

ii

Page 4: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

iii

Page 5: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Labibah Khoirunnisa

NIM : 11170480000062

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. WR. Supratman. Gg. Bacang. Kp. Utan Pesantren Luhur Sabilussalam Asrama 2 Putri No. 83 RT 03. RW 09

Nomor Kontak :085712304519

Email : [email protected]

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

bukan merupakan hasil pemikiran saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.

Jakarta, 11 April 2021

Labibah Khoirunnisa

iv

Page 6: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

ABSTRAK

Labibah Khoirunnisa NIM 11170480000062, “FORCE MAJEURE SEBAGAI

ALASAN TIDAK TERPENUHINYA PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE

2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-

UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)”. Strata Satu (S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas

Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442

H/2021 M, xii 67 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan penelitian force majeure dalam usaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19).

Secara khusus, skripsi ini mencoba mendalami penerapan pasal 47ayat (1) huruf j Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang mengatur mengenai keadaan memaksa dalam penerapannya pada usaha jasa konstruksi yang terdampak penyebaran

pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19). Dalam pasal aquo tidak dijelaskan secara

mendalam bentuk-bentuk apa saja suatu usaha jasa konstruksi dapat dinyatakan mengalami

force majeure, sehingga penerapan pasal ini dalam suatu kasus sering memunculkan ketidakpastian hukum. Pembahasan ini merupakan hal yang pentingkarena penyebaran

pandemi COVID-19 bagi usaha jasa konstruksi telah menimbulkan perdebatan mengenai

relevansi penerapan keadaan memaksa bagi usaha jasa konstruksi yang mengalami hambatan dalam menyelesaikan kegiatan usahanya.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-

undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selain itu, penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka ini

peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan force majeure pada usaha jasa

konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 adalah hal yang relevan untuk diterapkan. Hal ini sesuai dengan klasifikasi pembagian force majeure dalam beberapa bidang tertentu,

seperti relatif, subjektif, temporer, khusus, dan eksklusif. Selain itu, terdapat akibat hukum

penerapan force majeure dalam usaha jasa konstruksi, yaitu penghentian sementara kontrak, renegosiasi, dan pemberiankompensasi kepada buruh dalam usaha jasa konstruksi tersebut.

.

Kata Kunci :Force Majeure, Jasa Konstruksi, Corona Virus Disease 2019

Pembimbing Skripsi : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.Dra.

Ipah Farihah, M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1990 sampai Tahun 2020

v

Page 7: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak

terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw,

beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan

mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan

penelitian skripsi dengan judul

“FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA

PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA

JASA KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017

TENTANG JASA KONSTRUKSI).”

Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah

S.W.T. dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini

berlangsung.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para

pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas

pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jajarannya.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu

Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk

menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H. M.H. dan Dra. Ipah Farihah. M.H.

vi

Page 8: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

Pembimbing Skripsi. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Penasehat Akademik yang

telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Hamka Nurul Huda dan Ibu Suciyati

yang selalu memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil berupa

motivasi, do’a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga

menyelesaikan gelar sarjana ini.

5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan.

6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberikontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara

kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan

semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 11 April 2021

Labibah Khoirunnisa

NIM. 11170480000062

vii

Page 9: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYAT HALAMAN JUDUL .................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI ............................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ......................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... 6

D. Metode Penelitian .......................................................................... 7

E. Sistematika Pembahasan .............................................................. 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FORCE MAJEURE DALAM

HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERIKATAN

A. Kerangka Teori ........................................................................... 14

B. Kerangka Konseptual .................................................................. 23

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu............................................ 27

BAB III DAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DESEASE 2019 (COVID-

19)TERHADAP USAHA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA

A. Moratorium Penyelesaian Proyek Pemerintah ............................. 30

B. Instruksi Menteri Tentang Penghentian Sementara Usaha Jasa

Konstruksi ................................................................................. 33

C. Legalitas Force Mejeure Terhadap Pandemi Virus Corona ......... 35

BAB IV: PENERAPAN FORCE MEJURE AKIBATCORONA VIRUS

DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA

KONSTRUKSI

viii

Page 10: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

A. Klasifikasi Force Majeure Pada Usaha Jasa Konstruksi

Terdampak COVID-19 .............................................................. 39

B. Interpretasi Penerapan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi Terhadap Ketentuan

Force Majeure Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19)

.......................................................................................................48

C. Akibat Hukum Force Majeure Pandemi Corona Virus Disease

2019Terhadap Perjanjian Usaha Jasa Konstruksi ........................ 58

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 65

B. Rekomendasi ............................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 67

viii

Page 11: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan virus yang

berkembang mematikan dengan cepat sejak bulan November 2019. Virusini

sangat mudah menular, terutama kepada tubuh yang memiliki imun yang

lemah menjadikan banyak orang cemas dan waspada akan penularan

COVID-19. Virus ini berkembang yang tadinya hanya sekedar wabah di

Wuhan, China, kemudian menjadi epidemi yang memiliki jangkauan

penyebaran yang lebih luas, hingga pandemi yang penyebarannya sudah

masuk ke berbagai negara di dunia dan tidak terkontrol.

Berbagai negara dibelahan dunia melakukan karantina, baik

karantina mandiri ataupun karantina serentak untuk menanggulangi

pencegahan penyebaran COVID-19, bahkan World Health Organization

(WHO) yang merupakan organisasi kesehatan dunia menetapkan status

pandemi dan lockdown dengan semakin merebaknya penyebaran virus

COVID-19 kepada 114 negara. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia telah

menetapkan bahwa pandemi corona ini sebagai jenis penyakit yang dapat

menimbulkan kedaruratan kesehatan terhadap masyarakatnya1.

Permasalahan ini memberikan dampak pada segala sektor

kehidupan masyarakat, terutama dibidang ekonomi. Lapangan pekerjaan

yang makin menyempit, banyaknya pemutusan hubungan kerja antara

perusahaan dengan karyawan, dan menurunnya daya beli masyarakat

membawa Indonesia kedalam keadaan yang terbilang memprihatinkan.

1 Annisa Dian Arini, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeur Dalam Suatu Kontrak

Bisnis, (Supremasi Hukum, Jurnal Universitas Bengkulu), Vol. 9 No 1, Juni 2020, h. 42.

1

Page 12: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

2

Berdasarkan keadaan ini, pemerintah mengeluarkan berbagai

regulasi untuk menangani pandemi COVID-19 ini, yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala

Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019

(COVID-19), Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang

Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019

(COVID-19), dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang

Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019

(COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Dengan penyebaran pandemi COVID-19 yang cepat dan tidak

terkendali membuat orang-orang masuk ke dalam perubahan kondisi

kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Banyak aktivitas harian

yang tidak dapat berjalan dengan baik, salah satunya dalam hal hubungan

usaha. Tidak normalnya aktivitas dalam menjalankan usaha, memunculkan

hambatan-hambatan dalam melaksanakan hubungan usaha yang

sebelumnya sudah dibangun, yaitu perjanjian.

Kesulitan dalam memenuhi perjanjian tersebutlah menjadikan salah

satu pihak melakukan wanprestasi, yaitu kondisi tidak terpenuhinyaprestasi

sesuai dengan yang diperjanjikan antara kreditur dan debitur2. Wanprestasi

ini terjadi pada hampir segala sektor hubungan bisnis yang dilakukan

masyarakat, mulai dari yang paling kecil, seperti pembayaran cicilan

motor, hingga sektor usaha yang besar, seperti usaha jasa konstruksi.

Dalam kategori usaha jasa konstruksi, Kamar Dagang Industri

(KADIN) mengungkapkan bahwa sekitar 50% usaha jasa konstruksi di

Indonesia akan collapse imbas COVID-19 seperti yang terjadi di Jawa

Timur. Hal ini dikarenakan seluruh proyek yang berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negaram serta Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah ditarik semua dan dilakukan realokasi anggaran dengan

memprioritaskan semuanya pada sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan

h. 180.

2 Salim HS, Pengantar Hukum PerdataTertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

Page 13: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

3

usaha jasa konstruksi kehilangan proyek dan terhambatnya penyelesaian

proyek tersebut3.

Tidak hanya itu, Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi

Nasional Indonesia (GAPENSI) Iskandar Z Hartawi menjelaskan proyek

pembangunan di suatu kabupaten terbengkalai karena material dan pekerja

proyek yang diangkut dari kabupaten tersebut terganggu akibat

pemberlakuan kebijakan karantina wilayah yang diberlakukan pimpinan di

daerah tersebut. Kondisi kedaruratan yang ditimbulkan oleh COVID- 19

berimplikasi pada ketidakmungkinan proses pengerjaan konstruksi bisa

berjalan normal, efektif, berkualitas dan tepat waktu. GAPENSI

menyimpulkan bahwa realitas saat ini sudah masuk kategori force majeure4.

Sebagai usaha yang masuk ke dalam kategori padat karya, tentu

goyahnya usaha jasa konstruksi merupakan hal yang berbahaya, mengingat

industri konstruksi menjadi penggerak bagi industri turunan di bawahnya,

seperti usaha semen, besi, kayu, dan lain sebagainya, tetapidalam hal usaha

jasa konstruksi tidak semua tindakan wanprestasi dapat dituntut ganti rugi

karena apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhikewajibannya. Dalam

hal ini tidak terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak apabila bukan

karena kelalaiannya dikenal dalam hukum perdata dengan istilah force

majeure (keadaan memaksa).

Force majeure adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatya

perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Dalam

hal ini debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak rugi5. Konsep Force

Majeure atau Keadaan Memaksa dalam Undang- Undang Jasa Konstruksi

dapat mengacu pada ketentuan Pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang

3 https://www.antaranews.com/berita/1435408/kadin-sebut-jasa-konstruksi-jatim-terhenti-

akibat-pandemi-covid-19 diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul 02.35 WIB. 4 https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4963966/kontraktor-sebut-banyak-jalan-ditutup-

bikin-proyek-konstruksi-mandek diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul 02.45 WIB. 5 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum,

(Jakarta: Prenamedia Group, 2018), h. 115.

Page 14: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

4

mengatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat dalam usaha jasa

konstruksi harus memuat keadaan memaksa tentang keadaan di luar

kemampuan dan kemauan para pihak yang mengakibatkan kerugian salah

satu pihak. Keadaan memaksa dalam pasal ini dijelaskan lebih lanjut dalam

penjelasan pasal demi pasal yang membagi jenis keadaan memaksa

menjadi dua, yaitu absolut dan relatif yang masing-masing ditentukan oleh

kesanggupan penyelesaian proyek dalam usaha jasakonstruksi.

Pada dasarnya ketentuan keadaan memaksa yang menjadi dasar

dari force majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Jasa Konstruksi tidak dirumuskan dengan jelas, melainkan hanya

menetapkan keadaan memaksa ketika suatu hal terjadi tanpa kehendak

pribadi para pihak6. Tidak ada contoh-contoh suatu kondisi dikatakan

keadaan memaksa, seperti bencana alam, bencana non alam, kerusuhan

sosial yang menyebabkan perdebatan dalam penerapan ketentuan ini. Hal

inilah yang memerlukan analisa lebih lanjut dalam peraturan perundang-

undangan mengenai penerapan force majeure dalam usaha jasa konstruksi

yang terdampak pandemi COVID-19.

Jika kita telusuri lebih dalam, mencuatnya variabel force majeure

dalam usaha jasa konstruksi ini berangkat dari Keputusan Presiden Nomor

12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona

Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional. Meskipun

demikian, beberapa kalangan menilai keluarnyaKeputusan Presiden a quo

tidak bisa menjadi alasan tunggal pemberlakuan force majeure.

Argumentasi penolakan ini diperkuat dengan pendapat Moh.

Mahfud MD dan Refly Harun yang mengatakan bahwa Keputusan Presiden

Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional bukan

merupakan alat yang digunakan pemerintah untuk memberikan dasar force

majeure bagi dunia usaha karena hal ini harus

6 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e81ae9a6fc45/wabah-corona-

sebagai-alasan-iforce-majeur-i-dalam-perjanjian/ diakses pada tanggal 20 November 2020, pukul

11.56 WIB

Page 15: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

5

dikembalikan kepada masing-masing sektor usaha yang terdampak COVID-

197.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti

menemukan ratio legis untuk meneliti penerapan force majeure pada

sektor usaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19) berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2017 tentang Jasa Konstruksi, sehingga penelitian skripsi yang peneliti

lakukan berjudul : FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK

TERPENUHINYA PRESTASI AKIBAT CORONA VIRUS

DISEASE 2019 (COVID-19) DALAM USAHA JASA

KONSTRUKSI (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 2

TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan dalam latar

belakang masalah, maka identifikasi masalah yang peneliti temukan

sebagai berikut :

a. Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang

massif di tengah masyarakat

b. Relevansi force majeure dengan penetapan Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional non alam

c. Rumusan force majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2017 tentang Jasa Konstruksi yang tidak lengkap

d. Legalitas pemberlakuan force majeure dalam usaha jasa

konstruksi akibat dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-

19)

7https://kabar24.bisnis.com/read/20200415/15/1227419/pandemi-covid-19-bukan-force-

majeure-simak-penjelasan-pakar-hukum diakses pada tanggal 13 Oktober 2020, pukul 13.01

WIB.

Page 16: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

6

e. Akibat hukum force majeure bagi usaha jasa konstruksi yang

terkena dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahaan yang telah

diungkapkan di atas maka pembahasan yang peneliti akan lakukan

berfokus pada satu titik permasalahan. Peneliti ingin menganalisis

secara yuridis tentang relevansi penerapan force majeure akibat

pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) bagi sektor usaha

jasa konstruksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Jasa Konstruksi.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan

pembatasan masalah, maka dapat dipahami terdapat permasalahan

penelitian mengenai penerapan force majeure akibat Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19) dalam usaha jasa konstruksi yang belum

pasti. Perumusan masalah peneliti jabarkan berupa pertanyaan

penelitian, sebagai berikut:

a.Apakah force majeure dapat dijadikan alasan tidak

terlaksananya prestasi akibat Corona Virus Disease 2019

(COVID-19) dalamsektor usaha jasa konstruksi?

b.Bagaimana akibat hukum force majeure dalam usaha jasa

konstruksi terdampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-

19)?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang sudah diuraikan, maka

peneliti menyusun tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan penerapan force majeure dalam usaha jasa

konstruksi akibat Corona Virus Disease 2019(COVID-19).

Page 17: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

7

2. Untuk mengidentifikasi akibat hukum hukum force majeure pada

usaha jasa konstruksi dimasa pandemi Corona Virus Disease 2019

(COVID-19).

D. Manfaat Penelitian

Secara garis besar, peneliti menemukan manfaat penelitian ini dibagi

menjadi dua, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang hukum perdata, khususnya hukum perjanjian.

2. Kegunaan Praktis

a. Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum

bagi peneliti mengenai alasan penundaan prestasi akibat Corona

Virus Disease 2019 (COVID-19) dan akibat penundaan pelaksanaan

prestasinya.

b. Desiminasi informasi force majeure bagi usaha jasa konstruksi

dimasa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

c. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat mengenai penggunaan

alasan force majeure dalam pandemi Corona Virus Disease 2019

(COVID-19).

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah yuridis normatif. Pendekatan tersebut mengacu kepada norma-

norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan-putusan pengadilan, serta norma-norma hukum yang ada dalam

masyarakat8. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statue approach), yakni

8Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.10.

Page 18: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

8

pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.9 Dalam hal ini,

obyek normatif yuridis terletak di dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Pada dasarnya penelitian ini berupaya untuk menggambarkan

permasalahan terkait relevansi penerapan force majeure pada sektor

usaha jasa konstruksi akibat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

melalui peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

2. Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak

membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini

menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapatdi

dalam peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan

berkembang di masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan

lingkungan yang menjadi penelitiannya sebagai sumberdata, maksudnya

adalah data dan informasi lapangan ditarik maknanya dan konsepnya

melalui pemaparan deskriptif analitik tanpa harus menggunakan angka,

sebab lebih mengutamakan proses terjadinya suatu peristiwa dalam

situasi yang alami.

3. Data Penelitian

Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk

menjawab masalah penelitian. Oleh karena itu, data yang peneliti

gunakan untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam

penelitian ini ialah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

9Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Ed.Revisi, (Jakarta: KencanaPrenadamedia,2005), h. 178.

Page 19: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

9

pembuatan peraturan perundang-undangan, dan putusan- putusan

hakim10.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi

tentang hukum dalam bidang arbitrase meliputi buku-buku teks,

kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas

norma hukum.

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-

hukum dapat berupa buku-buku mengenai ilmu ekonomi,

sosiologi, filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum

sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-

bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan

memperluas wawasan peneliti, sehingga penelitian yang

dilakukan peneliti dapat maksimal.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang digunakan

diantaranya ialah :

a.Data Primer

Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer

ialah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa

Konstruksi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan

Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial

Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona

Virus Disease 2019 (COVID-19), Peraturan Presiden Nomor 54

Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan

Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19 Sebagai Bencana

10Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2010), h. 141.

Page 20: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

10

Nasional, dan Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan

Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

b. Data Sekunder

Dalam hal ini berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum dalam bidang pedata meliputi buku-buku teks, kamus

hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma hukum

dan lain-lain.

Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan,

yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal

dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta

dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan

dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan

serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan caramembaca dan

mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan Hukum Tersier

Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap

dari bahan sekunder dan bahan primer di anataranya, kamus,

ensiklopedia, dan sumber-sumber sejenis yang diakakses melalui

internet.

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi

kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi

untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur

seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis,

dan peraturan perundang-undangan diberbagai

Page 21: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

11

perpustakaan umum, serta universitas yang digunakan untuk bahan

analisa pada penelitian skripsi ini.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan

dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam

penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang

telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara

deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang

bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukananalisis terhadap

bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui permasalahan

mengenai penerapan force majeure terhadap penundaan prestasi

dalam sektor usaha jasa konstruksi akibat Corona Virus Disease

2019 (COVID-19).

7. Pedoman Penulisan

Pedoman yang digunakan dalam menyusun skripsi ini berpacu

dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku yang telah

disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum, yaitu “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-

masing bab terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan

yang menjadi objek penelitian. Urutan objek penelitian untuk

menjelaskan objek penelitian yang menjadi bahan analisis peneliti dalam

memandang suatu permasalahan dalam rumusan masalah yang telah

peneliti susun. Urutan masing-masing bab dijabarkan lebih lanjut

sebagai berikut :

Bab Pertama peneliti membahas pendahuluan meliputi latar

belakang peneliti, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodepenelitian, dan sistematika

pembahasan.

Page 22: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

12

Bab Kedua diuraikan tiga pokok pembahasan yang mendukung

penulisan skripsi, yaitu pembahasan terkait kajian teoritis, yakni teori-

teori yang berkaitan dengan pembahasan yang tertuang dalam tulisan

ini, kerangka konseptual, yakni kata yang sering digunakan dalam tulisan

ini, dan selanjutnya akan dijelaskan terkait tinjauan (riview) / kajian studi

terdahulu, agar tidak ada persamaan terhadap materi muatan dan

pembahasan dalamskripsi ini dengan apa yang ditulis oleh pihak lain.

Bab Ketiga peneliti akan fokus untuk menguraikan kasus dan

peraturan hukum yang berhubungan erat dengan titik pembahasan dalam

penelitian ini. Kasus yang didapatkan dari sumber yang jelas dan akurat

sebagai bahan pelengkap penulisan ini. Kasus dan aturan hukum yang

dianalisis oleh peneliti terkait dengan usaha jasa konstruksi yang

mengalami penundaan penyelesaian proyek akibat virus corona di

Indonesia.

Bab Keempat Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab

permasalahan pada penelitian ini diantaranya menganalisis serta

menjawab permasalahan hukum yang timbul akibat penerapan force

majeure bagi sektor usaha jasa konstruksi akibat penyebaran Corona

Virus Disease 2019 (COVID-19) melalui analisis peraturan perundang-

undangan dan teori-teori hukum.

Bab Kelima menjadi bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan

hasil penelitian dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari

sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik

kesimpulan dari penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian, serta

memberikan rekomendasi- rekomendasi yang dianggap perlu.

Page 23: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

BAB II

TINJAUAN UMUM FORCE MAJEURE

DALAMUSAHA JASA KONSTRUKSI

A. Kerangka Teori

1. Teori Hukum Perjanjian Perjanjian merupakan terjemahan dari kata ovreenkomst

(Belanda) atau contract (Inggris)1. Menurut Pasal 1313 KUH

Perdata Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu

orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Perjanjian merupakan peristiwa hukum yang berupa

tindakan hukum yang mengakibatkan timbulnya perikatan.

Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji pada orang lain atau dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan satu hal2. Sedangkan menurut R.

Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih3.

Lebih jelasnya mengenai perjanjian dijelaskan dengan

teori baru oleh Van Dunne, yaitu perjanjian adalah suatu

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, sedangkan menurut

KRMT Tirtoningrat berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu

perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang

atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat

dipaksakan oleh undang-undang4.

1 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika,

2002), h. 160. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2007), h. 141. 3 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 2007), h. 49. 4Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam KontrakKomersial,

(Yogyakarta: Laks Bang Mediatama, 2008), h. 14.

14

Page 24: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

15

Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat

adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain atau

dapat juga dikatakan hukum perjanjian adalah suatu hukum yang

terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk

melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini, kedua belah pihak telah

menyetujui untuk melakukan suatu perjanjian tanpa adanya paksaan

maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak.

Perjanjian dalam Hukum Belanda, yaitu Bugerlijk Wetbook

(BW) disebut overeenkomst yang bila diterjemahkan dalam Bahasa

Indonesia berarti perjanjian. Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa

hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atua dua orang

saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Menurut Munir Fuady banyak definisi tentang kontrak dan perjanjian

telah diberikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-

bagian mana dari kontrak dan perjanjian tersebut yang dianggap

sangat penting. Bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi

tersebut5.

Menurut M. Yahya Harahap suatu perjanjian adalah suatu

hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang

memberikan kekuatan hak pada suatu pihak uuntuk memperoleh

prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

melaksanakan prestasi6. Pengertian kontrak atau perjanjian yang

dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi

Pasal 1313 BW, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau

perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih7.

Ada 5 (lima) sifat umum perjanjian, yaitu: harus sudah

tertentu atau dapat ditentukan, dapat dimungkinkan, diperbolehkan

5 Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2000), h. 2. 6 Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: Rjagrafindo Persada, 2006), h.1. 7 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Kebebasan Proporsionalitas Dalam Kontrak

Komersial, (Jakarta: Prenada Media, 2019), h. 18.

Page 25: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

16

oleh hukum, harus ada manfaat bagi para pihak dalam perikatan, dan

dapat terdiri dari satu atau beberapa perbuatan. Akibat dari tidak

dilaksanakannya prestasi di dalam perikatan disebut dengan

wanprestasi. Wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan

tidak melakukan atau memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan

dalam perikatan. Terdapat 2 (dua) macam tidak dipenuhinya

kewajiban; pertama, karena kesalahan, kesengajaan atau kelalaian

salah satu pihak. Beberapa bentuknya adalah tidak memenuhi

prestasi sama sekali yang menjadi kewajiban yang telah disanggupi,

prestasi telah dipenuhi tetapi keliru dan tidak sesuai dengan apa yang

telah dijanjikan, prestasi telah dipenuhi tetapi tidak tepat waktu atau

terlambat dari waktu yang telah ditentukan bersama, melakukan

sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan8.

Hubungan hukum yang didasarkan pada perjanjian berfungsi

untuk menjamin bahwa sekuruh harapan yang dibentuk dari janji-

janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Sehinggaa perjanjian

merupakan sarana untuk memastikan bahwa apa yang hendak dicapai

oleh para pihak dapat diwujudkan. Dapat dikatakan bahwa Hukum

perjanjian merupakan instrumen hukum yang mengatur terjadinya

pertukaran dan memberikan bentuk perlindungan bagi pihak yang

dirugikan. Menurut P.S Atijah, kontrak memiliki tiga tujuan, yaitu

kontrak wajib dilaksanakan (memaksa), serta memberikan

perlindungan terhadap suatu harapan yang wajar, kontrak berupaya

mencegah terjadinya suatu penambahan secara tidak adil, dan

kontrak bertujuan untuk mncegah terjadinya kerugian tertentu dalam

hubungan kontraktual9.

Menurut Beatson terdapat dua fungsi penting dari perjanjian,

yaitu untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah

dipertukarkan dan mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi

transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan

8 Fajar Sugianto, Perancangan & Analisis Kontrak, (Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2017), h. 2. 9 P.S Atijah, An Introduction to the Law of Contract, 4thEd, (New York: Oxford University

Press Inc, 1996), h. 35.

Page 26: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

17

bagi kelanjutannya ke depan10. Dalam kaitan dengan fungsi

perjanjian bagi perencanaan transaksi, Beatson memberikan

perhatian pada empat hal, yaitu kontrak pada umumnya menetapkan

nilai pertukaran (the value of exchange), dalam kontrak terdapat

kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan kewajiban, kontrak

membutuhkan alokasi pengaturan tentang risiko ekonomi (economic

risks) bagi para pihak, dan kontrak dapat mengatur kemungkinan

kegagalan dan konsekuensi hukumnya.

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa,

perjanjian pada dasarnya menetapkan nilai-nilai yang dipertukarkan,

dengan meletakan kewajiaban secara timbal balik dengan segala

resiko yang mungkin timbul serta kemungkinan terjadinya

konsekuensi terjadinya kegagalan atau resiko.

2. Teori Hermeneutika Hukum

Pengertian (begreep) tentang hermeneutika hukum harus dilacak

terlebih dahulu pada arti kata hermeneutika. Secara etimologis, kata

“hermeneutic” atau “hermeneutika” merupakan padanan kata dari

bahasa Inggris, yaitu hermeneutic (tanpa’s’) dan ‘hermeneutics’

(dengan huruf’s’). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah

bentuk adjective (kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tafsiran, yakni menunjuk

kepada ‘keadaan’ atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran.

Sementara kata kedua (hermeneutics) adalah sebuah kata benda (noun).

Kata ini mengandung tiga arti, yaitu ilmu penafsiran, ilmu untuk

mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan

penulis, serta penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada

penafsiran atas teks atau kitab suci.

Kata hermeneutics juga berasal dari turunan kata benda

“hermeneia” (bahasa Yunani) yang secara harfiah dapat diartikan

sebagai ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi: Dalam kosa-kata kerja,

ditemukan istilah “hermeneuo” dan/atau “hermeneuein. Hermeneuo

artinya mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata, dan

hermeneuein bermakna mengartikan, menafsirkan ataumenerjemahkan

dan juga bertindak sebagai penafsir. Ketiga

10 J. Beatson, Anson’s Lawof Contract, (New York: Oxford University Press, 2002), h. 2.

Page 27: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

18

pengertian yang terakhir ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa

hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif

gelap ke sesuatu yang lebih terang11.

Kajian hermeneutika hukum mempuyai dua makna sekaligus,

yaitu hermeneutika hukum dipahami sebagai metode interpretasi atas

teks-teks hukum. Dimana interpretasi yang benar terhadap teks hukum

itu harus selalu berhubungan dengan kaidah hukumnya. Kedua,

hermeneutika hukum juga dapat dilakukan sebagai upaya penemuan

hukum. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka lingkaran spiral

hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-

fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus

mengkualifikasi fakta-fakta dalam hermeneutika sebagai metode

penemuan hukum melalui interpretasi teks hukum selalu menjadi

diskursus utama dalam setiap kajian hermeneutika hukum. Hal ini tidak

terlepas dari substansi filsafat hermeneutika adalah tentang hakikat

mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang

menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan

pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti

dan/atau interpretasi.

Menurut Bernard Arief Sidharta, dalam filsafat hermeneutika

khususnya pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu,

subyek atau interpretator tidak dapat memulai upayanya dengan

mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa atau tidak

bertolak dari titik nol, sebab setiap orang terlahir kedalam suatu dunia

produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus,

yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan- wawasan, pola-pola

perilaku dan sebagainya yang terbentuk dan berkembang oleh dan

dalam perjalanan sejarah. Jadi, tiap subyek, terlepas dan tidak

tergantung dari kehendaknya sendiri, selalu menemukan dirinya sudah

berada dalam suatu tradisi yang sudah ada12.

11 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme don Modernitas (Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah don Problem Modernitas), (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 37.

12 B. Arief Sidharta, “Makalah Hermeneutik : landasan kefilsafatan ilmu hukum dalam Bahan

Kuliah/Handout Mata Kuliah Filsafat Hukum”, (Program doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta, 2007), h. 9.

Page 28: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

19

Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, tiap orang

menyerap atau diresapi muatan tradisi tersebut dan dengan itu

membentuk pra-pemahaman terhadap segala sesuatu, yakni prasangka

berupa putusan yang diberikan sebelum semua unsur yangmenentukan

sesuatu atau suatu situasi ditelaah secara tuntas dan dengan itu juga

terbentuk cakrawala pandang, yakni medan pengamatan atau range of

vision yang memuat semua hal yangtampak dari sebuah titik pandang

subyektif tertentu.

Pra pemahaman dan cakrawala pandang itu akan menentukan

persepsi individual terhadap segala sesuatu yang tertangkap dan

teregistrasi dalam wilayah pandang pengamatan individu yang

bersangkutan. Dalam dinamika proses insterpretasi, pra-pemahaman

dan cakrawala pandang dapat mengalami pergeseran, dalam arti

meluas, melebar dan meningkat derajat kedalamannya. Pergeseran ini

dapat mengubah pengetahuan subyek karena akan dapat memunculkan

hal-hal baru dan aspek-aspek baru dari hal-hal yang tertangkap dalam

cakrawala pandang.

Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran

pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik atau hermeneutische

zirkel, yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan

keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses

pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam

konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami

berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya.

Lingkaran pemahaman ini dimungkinkan karena pada diri interpretator

sudah ada cakrawala pandang dan pra-pemahaman yang terbentuk

lewat interaksi dengan tradisi yang didalamnya ia menjalani kehidupan.

Bertolak dari pra- pemahaman dalam kerangka cakrawala pandangnya

tentang interpretandum atau ihwal yang mau dipahami sebagai suatu

keseluruhan, interpretator berusaha menemukan makna dari bagian-

bagian lalu berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian tersebut dalam

hubungan antara yang satu dengan yang lainnya berupaya memahami

interpretandum, hasilnya disorotkan pada bagian-bagian guna

memperoleh pemahaman yang lebih tepat untuk kemudian hasilnya

disorotkan balik pada keseluruhan dan demikian seterusnya

Page 29: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

20

sampai tercapai suatu pemahaman yang utuh dan tepat13

Menurut Bernard Arief Sidharta, filsafat hermeneutika

memberikan landasan kefilsafatan, yaitu ontologikal dan

epsitemologikal pada ilmu hukum, atau filsafat ilmu dari ilmu hukum.

Hal ini dikarenakan dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk

menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan

interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan

juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang

bersangkutan.

Menurut Fahruddin Faiz, hermeneutika berusaha menggali

makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi

teks. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horisonpengarang dan

horison pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut,

diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan

rekonstruksi dan reproduksi makna teks, disamping menelusuri

bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa

yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang

dibuatnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang ada14.

Melakukan hermeneutika hukum berarti melakukan penafsiran

atas hukum. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo secara garis besar

penafsiran dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu interpretasiharfiah,

interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang

semata-mata menggunakan kalimat dari peraturan sebagai

pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan

interpretasi yang tidak keluar dari litera legis, sedangkan interpretasi

fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas. Disebut bebas

karena penafsiran ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada

kalimat dan kata-kata peraturan atau litera legis. Dengan demikian,

penafsiran ini mencoba untuk memahami maksudsebenarnya dari suatu

peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap

bisa memberikan kejelasan yang lebih

13 B. Arief Sidharta, “Makalah Hermeneutik : landasan kefilsafatan ilmu hukum dalam Bahan

Kuliah/Handout Mata Kuliah Filsafat Hukum”,..., h. 10-11. 14 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi,

(Yogyakarta: Kalimedia, 2002), h. 11.

Page 30: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

21

memuaskan15.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan

beberapa metode penafsiran hukum yang lazim digunakan, yaitu:

a. Interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa,

merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling

sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-

undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan

kata atau bunyinya

b. Interpretasi teleologis atau sosiologis, tafsiran ini

menghubungkan makna undang-undang berdasarkan tujuan

kemasyarakatan. Jadi peraturan perundang-undangan bersifat

aktual.

c. Interpretasi sistematis atau logis, penafsiran ini digunakan

untuk menjelaskan hierarki peraturan perundang-undangan

dan hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.

d. Interpretasi historis, makna ketentuan dalam suatu peraturan

perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara

meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri.

e. Interpretasi komparatif atau perbandingan, metode

penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan

antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim

memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari

kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan Undang-

Undang.

f. Interpretasi futuristis, metode penemuan hukum yang bersifat

antisipasi, yaitu menjelaskan ketentuan Undang-Undang yang

belum mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian,

interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum daripada ius

constitutum16.

3. Teori Hukum Responsif

Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet-

Selznick di tengah kritik Neo-Marxis terhadap liberal legalism.

Liberal legalism mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri

dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak,

dan benar-benar otonom. Ikon liberal legalism adalah otonomi hukum

dalam menjagaintegritasnya17.

Hukum adalah alat untuk manusia.Hukum merupakan

instrumen untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam makna ini,

isolasi sistem hukum dari berbagai instrumen

15 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 95.

16 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 19.

17Bernadrd L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), h. 183.

Page 31: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

22

sosial di sekitarnya, berdampak buruk bagi sisi kebutuhan manusia itu

sendiri. Hukum dengan mudah menjadi institusi yang melayani dirinya

sendiri, bukan melayanimanusia.

Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan

sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Akibatnya jelas

legitimasi sosial dari hukum itu merosot tajam18. Tanda bahaya tentang

terkikisnya otoritas tersebut dan macetnya keadilan substantif menjadi

fokus kritik terhadap hukum19. Ditengah rangkaian kritik inilah Nonet-

Selznick mengajukan model hukum responsif.

Nonet-Selznick menempatkan hukum sebagai sarana respon

terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan

sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankanakomodasi

untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan

dan emansipasipublik.

Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum

itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagaiproses dan

kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M.

Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma

hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab

hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu

senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula20.

Dalam teori hukum responsif, hukum dijadikan alat yang

mampu menampung aspirasi masyarakat sebagai suatu keniscayaan

dan mampu bergerak aktif mengikuti perkembangan masyarakat itu

sendiri.

Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang

dibutuhkan dalam masa transisi karena terlibat dalam perubahan situasi

masyarakat. Hukum harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya.

Hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem hukum yang

terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu

tujuan sosial yang ingin dicapainya, serta akibat-akibat

18Eugene B. Rostow, Is Law Dead?, (New York: Simon and Schuster, 1971), h.7. 19 Phillipe Nonet and Phiip Selznick, Law and Society in Transition : TowardTanggapanive

Law, (London: Harper and Row Publisher, 1978), h. 5. 20 Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), h. 17.

Page 32: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

23

yang timbul dari bekerjanya hukum21.

Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick ingin mengkritik

model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang berkutat di

dalam sistem aturan hukum positif, model yang mereka sebut dengan

tipe hukum otonom. Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman

mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan

looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu.

Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua“doktrin” utama.

Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan

rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua

pelaksanaan hukum. Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi

sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan:

Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum,

Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan,

Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi

kemaslahatan masyarakat, penggunaan diskresi sangat dianjurkan

dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada

tujuan, Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan,

Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan

hukum, kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum

dalam melayani masyarakat, Penolakan terhadap hukum harus dilihat

sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum, sehingga terjadi

akseptabilitas hukum dengan masyarakat. Akses partisipasi pubik

dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial22.

Dalam hal inilah hukum responsif merupakan teori hukum

yang sangat tepat untuk suatu penelitan tentang perubahan-perubahan

kondisi sosial di masyarakat dengan menghubungkannya dengan

tanggapan hukum sebagai institusi yang mengaturmanusia.

B. Kerangka Konseptual

1. Keadaan Memaksa

21 Phillipe Nonet and Phiip Selznick, Law and Society in Transition : Toward

Tanggapanive Law, (London: Harper and Row Publisher, 1978), h. 9. 22 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progressif (Penjelasan Suatu Gagasan),” Makalah

disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, tanggal 4

September 2004, h. 206.

Page 33: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

24

Keadaan memaksa atau disebut juga dengan istilah overmacht

atau force majeure adalah suatu keadaan diluar kendali manusia yang

terjadi setelah diadakannya perjanjian, yang menghalangi debitur

untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur, sedangkan menurut R.

Setiawan yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah suatu

keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi

debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat

dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat

menduga pada waktu persetujuan dibuat, seperti terjadi bencana alam,

gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor.

Akibat keadaan memaksa ini segala ketidakmampuan

pelaksanaan prestasi bisa ditoleransi. Force majeure atau overmacht

adalah suatu keadaan yang dialami oleh debitur yang berada diluar

kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak mampu melaksanakan

prestasinya23. Force majeure dalam pelaksanaannya dibedakan

menjadi 2 (dua), yaitu : force majeure absolut dan force majeure

relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan dimana debitur

sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur,

oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar24,

sedangkan force majeure relatif adalah suatu keadaan yang

menyebabkan dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak

mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin

dilakukan.

Pembagian force majeure dapat juga dibedakan menjadi dua

hal, yaitu objektif dan subjektif. Force majeure objektif terjadi pada

benda yang merupakan objek dari kontrak tersebut, sehingga prestasi

tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak

debitur, sedangkan force majeure subjektif adalah peristiwa yang

terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari kontrak yang

bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau

kemampuan dari debitur itu sendiri.25.

23 Firman Floranta Adonara, Aspek-aspek Hukum Perikatan, (Bandung: CV Mandar

Maju, 2014), h. 67. 24https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-

hukum-perdata/ diakses pada tanggal 13 Oktober 2020, pukul 15.57 WIB. 25https://awalbarri.wordpress.com/2009/03/23/pengantar-hukum-bisnis/ diakses pada

tanggal 13 Oktober 2020, pukul 15.51 WIB.

Page 34: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

25

Dari jangka waktunya, force majeure terbagi menjadi dua, yaitu

temporer dan permanen. Force majeure temporer mengakibatkan tidak

dapat terlaksananya prestasi sampai kapan punsebagai pemenuhan dari

suatu kontrak, sedangkan force majeure permanen terjadi terhadap

pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut yang tidak mungkin

dilakukan untuk sementara waktu, dengan katalain setelah hilang efek

dari terjadinya peristiwa tertentu, maka prestasi tersebut dapat

dipenuhi kembali. Selain bentuk-bentuk di atas, terdapat pula bentuk

force majeure secara khusus dan eksklusif, dimana force majeure

khusus didasarkan karena undang-undang atau peraturan pemerintah

yang menyebabkan prestasi tidak dapat dilakukan, sedangkan force

majeure eksklusif berkaitan dengan bentuk klausula force majeure

yang tertera dalam perjanjian.26.

2. Corona Virus Disease 2019

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit

infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh severe acute

respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) atau yang sering

disebut Virus Corona. Virus ini memiliki tingkat mutasi yangtinggi dan

merupakan patogen zoonotik yang dapat menetap pada manusia dan

binatang dengan presentasi klinis yang sangat beragam, mulai dari

asimtomatik, gejala ringan sampai berat, bahkan sampai kematian.

Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office

melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota

Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina

mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut

sebagai jenis baru corona virus (corona virus disease, COVID-19).

Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health

Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan

jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi

penyebaran antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara global

dilaporkan 90.870 kasus konfimasidi 72 negara dengan

26 Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung:

Pustaka Sutra, 2008), h. 39.

Page 35: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

26

3.112 kematian (CFR 3,4%)27.

Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari

manusia ke manusia melalui kontak erat ,droplet, dan melalui udara.

Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang

kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien

COVID-19. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi

adalah melalui cuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan

bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan

liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yangmenunjukkan

gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu,

menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di

fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.

3. Jasa Konstruksi

Jasa konstruksi merupakan layanan usaha konsultasi konstruksi

dan/atau pekerjaan konstruksi. Pihak yang terlibat dalam usaha jasa

konstruksi ini adalah pengguna jasa dan penyedia jasa yangbisa berasal

dari orang perseorangan atau suatu badan. Hubungan kerja yang

digunakan dalam penyelenggaraan usaha jasa konstruksi ini

berdasarkan kepada perjanjian yang dibuat dan disepakati bersamaoleh

para pihak.

Sektor jasa konstruksi Indonesia, telah berkembang seiring

perkembangan Indonesia bahkan sektor ini telah berkembang sejak

jaman penjajahan. Sejarah mencatat, pemerintahan penjajahan Hindia

Belanda dan Inggris membangun beberapa prasarana penting

infrastruktur Indonesia, misalnya jalan-jalan di Pulau Jawa dari ujung

barat sampai ujung timur yang dikenal sebagai jalan Daendeles waktuitu,

bahkan rel kereta api yang ada saat ini, hampir seluruhnya dihasilkan di

jaman penjajahan Belanda dan ditemui bukti-bukti bahwa rel tersebut

adalah rel-ganda dibeberapa tempat tertentu. Setiap tahun, anggaran

jasa konstruksi baik yang dimiliki Pemerintahmaupun swasta jumlahnya

semakin besar. Setiap tahun anggaran jasakonstruksi, baik yang dimiliki

Pemerintah maupun swasta jumlahnyasemakin besar. Sebagai contoh

di tahun 2003 dana jasa konstruksi

27https://www.kemkes.go.id/resources/download/infoterkini/COVID19%20dokumen%20resm i/2%20Pedoman%20Pencegahan%20dan%20Pengendalian%20Coronavirus%20Disease%20(COVID-

19).pdf diakses pada tanggal 09 Desember 2020, pukul 15.17 WIB.

Page 36: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

27

mencapai Rp. 159 triliyun dengansebaran 55% milik swasta dan 45%

milik Pemerintahan28.

Jasa konstruksi adalah sektor yang memegang peran penting

dalam pembangunan Indonesia. Melalui sektor inilah, secara fisik

kemajuan pembangunan dapat dilihat langsung, misalnya

pembangunan gedunggedung bertingkat maupun tidak bertingkat,

gedung apartemen/rusunnawa, mall yang tersebar di kota-kota,

perumahan hunian serta jembatan, jalan, pabrik, bending, dan

bendungan irigasi, termasuk pembangunan pembangkit listrik dan

transmisi, serta distribusinya dan banyak lagi bangunan konstruksi

yang ada di sekitar kita, sedangkan jasa konstruksi yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah usaha jasa konstruksi yang terdampak

pandemi COVID-19 dan menyebabkan usaha-usaha jasa konstruksi

tersebut mengalami hambatan untuk diselesaikan.

C. Tinjauan(Review) KajianTerdahulu

Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada buku

maupun jurnal terdahulu, tentunya terdapat pembeda yang membedakan

apa yang menjadi fokus masalah didalam rujukan dengan fokus

masalah yang penulis teliti, diantarannya :

1. Skripsi ditulis oleh Nova Noviana29. Fokus pembahasan skripsi ini

membahas mengenai aspek-aspek force majeure dalam perjanjian

yang terikat dalam KUHPerdata. Persamaan penelitian yang

dilakukan peneliti dengan skripsi ini terletak pada pembahasan

mengenai force majeure, alasan-alasan suatu kondisi dinyatakan

force majeure, klasifikasi force majeure dalam suatu perjanjian.

Perbedaannya terletak pada contoh kasus yang menjadi objek

penelitian. Dalam skripsi peneliti berfokus pada Corona Virus

Disease 2019 sebagai alasan force majeure dalam usaha jasa

konstruksi, sedangkan skripsi yang ditulis oleh Nova Noviana ini

berfokus pada perjanjian jual beli semen yang kemudian

28https://www.bphn.go.id/data/documents/jasa_konstruksi.pdf diakses pada tanggal 09

Desember 2020 pukul 14.36 WIB. 29Nova Noviana, Force Majeure Dalam Perjanjian (Studi Kasus di PT. Bosowa

Resources), (Makassar : Universitas Alauddin, 2016), h. 46.

Page 37: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

28

mengalami force majeure.

2. Buku disusun oleh Rahmat S.S. Soemadipradja30. Fokus

pembahasan dalam buku ini mengenai penjelasan tentang force

majeure sebagai syarat pembatalan perjanjian. Persamaan

penelitian yang peneliti lakukan dengan buku ini terletak pada

pembahasan mengenai keadaan memaksa, syarat-syarat keadaan

memaksa, dan akibathukumnya.

Perbedaannya adalah peneliti berfokus kepada analisis

legalitas Corona Virus Disease 2019 sebagai alasan force

majeure, sedangkan dalam buku ini penulis hanya membahas

mengenai force majeure secara umum.

3. Artikel jurnal ditulis oleh Wardatul Fitri31. Fokus

pembahasanpada artikel ini mengenai status bencana nasional

COVID-19 yang memiliki implikasi yuridis terhadap pelaksanaan

hukum di Indonesia. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti

dengan jurnal ini terletak pada analisis mengenai objek hukum

Corona Virus Disease 2019 sebagai bencana nasional berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan

Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019

(COVID-19) sebagai Bencana Nasional.

Perbedaannya peneliti berfokus pada analisis mengenai

legalitas Corona Virus Disease 2019 ditetapkan sebagai alasan

force majeure dalam usaha jasa konstruksi, sedangkan jurnal ini

berfokus kepada legitimasi penetapan Corona Virus Disease 2019

sebagai bencana nasionalnon-alam.

4. Artikel Jurnal ditulis oleh Siti Romlah32.

30 Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat-

Syarat Pembatalan Perjanjian Yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure), (Jakarta, Nasional

Legal Reform Program, 2010), h. 36. 31 Wardatul Fitri, Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan, (Supremasi Hukum, Universitas

Alauddin Makassar), Vol. 9 No. 1, Juni 2020, h.80. 32 Siti Romlah, COVID-19 dan Dampaknya Terhadap Buruh di Indonesia, (‘Adalah

Buletin Hukum dan Keadilan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), Vol. 4 No. 1, Juni

2020, h. 218.

Page 38: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

29

Fokus pembahasan dalam jurnal ini mengenai tinjauan hukum

perburuhan dalam menghadapi COVID-19 sebagai kedaruratan

kesehatan. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan

jurnal ini berfokus pada pembahasan tentang dampak yang

diberikan oleh COVID-19 di Indonesia.

Perbedaannya terletak pada objek fokus penelitiannya.

Peneliti memfokuskan skripsi pada analisa tentang legitimasi force

majeure sebagai keadaan memaksa untuk menyimpangi perjanjian

usaha jasa konstruksi yang menyebabkan tidak terpenuhinyaprestasi,

sedangkan jurnal ini berfokus pada dampak COVID-19 hanya

kepada keadaan buruh di Indonesia.

Page 39: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

BAB III

DAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)

TERHADAP USAHA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA

A. Moratorium Penyelesaian Proyek Pemerintah

Sejak penyebaran pertama COVID-19 di Indonesia tanggal 2 Maret 2020 di

kota Depok, hingga saat ini COVID-19 telah menyebar merata di 33 Provinsi di

seluruh Indonesia dengan total akumulatif jumlah kasus COVID-19 ada

1.347.026 kasus positif di Indonesia berdasarkan data dari Satuan TugasPenanganan

COVID-191. Masifnya penyebaran COVID-19 ini menjadikan berbagai proyek

yang sedang dikerjakan oleh pemerintah terpaksa mengalami keterlambatan dari

target jadwal penyelesaiannya.

Salah satu proyek pemerintah yang mengalami hambatan penyelesaianakibat

COVID-19 ini adalah Proyek Peningkatan Jalan Poros Waturempe –Tiworo Jalur II.

Proyek ini adalah proyek paket pekerjaan konstruksi dari Dinas Pekerjaan Umum

dan Penataan Ruang Kabupaten Muna Barat yang dikerjakan oleh perusahaan

konstruksi bernama PT. Aneka Sukses Reksa Graha.

PT. Aneka Sukses Reksa Graha merupakan perusahaan konstruksi yang

berdiri sejak tanggal 17 Februari 2003 sesuai dengan akta notaris yang kemudian

disahkan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

pada tanggal 11 April 2003 melalui Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi

Manusia Nomor: C-07955 HT.01.01.TH.2003 tentang Pengesahan Akta Pendirian

Perseroan Terbatas Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia. Perusahaan konstruksi ini memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB)

9120106302789 dengan NPWP 02.334.542.4-812.000.

1 Dokumen Kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tentang Pembangunan/Peningkatan Jalan

Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat.

30

Page 40: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

31

PT. Aneka Sukses Reksa Graha mempunyai visi, misi, dan kebijakan mutu,

yaitu mencapai target terbaik untuk pelanggan melalui upaya pengadaan produk

berkualitas, tenaga kerja yang profesional, perbaikan sistem managemen secara

berkesinambungan, serta memperhatikanKeselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

dalam setiap pelaksanaan Pekerjaan. Perusahaan konstruksi yang dipimpin oleh

Usneno Marliong sebagai Direktur Utama dan Yulike Chandra sebagai Komisaris

Perseroan ini beralamat di Jln. Jendral A. Yani No. 90 Wua-wua, Kendari, Sulawesi

Tenggara.

Perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan

umum, pembangunan, dan jasa. Sebagai perusahaan konstruksi, PT. Aneka Sukses

Reksa Graha bertindak sebagai kontraktor bangunan, yang termasuk di dalamnya

pembangunan dermaga, bendungan, tanggul, saluran air, jalan, jembatan, dan

berbagai jenis bangunan gedung yang jenis penanaman modalnya adalah Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN). Perusahaan konstruksi ini merupakan anggota

organisasi Gabungan Pengusaha Konstruksi Seluruh Indonesia (GAPEKSINDO).

PT. Aneka Sukses Reksa Graha ini tercatat pernah menangani proyek

Preservasi Jalan Awunio-Batas Kota Kendari-Bandara Haluoleo-Pohara, proyek

Pembuatan Jalan Lingkungan Dengan Asphalt Hotmix Termasuk Marking 5.400 M2

yang berlokasi di Bandar Udara Haluoleo Kendari, Pekerjaan peningkatan jalanan di

pesisir Teluk Kendari dari Pasar Sentral Kota ke Kendari Beach, proyekPeningkatan

Jalan Kendari – Toronipa, Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan Kawasan Kadia – Wua-

Wua – Baruga Provinsi Sulawesi Tenggara, dan proyek-proyek lainnya2.

Berdasarkan pengalaman yang panjang PT. Aneka Sukses Reksa Graha

tersebut mendapatkan kepercayaan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan

Ruang Kabupaten Muna Barat melalui mekanisme tender untuk mengerjakan

2https://dokumen.tech/document/bab-iiia-laporan-kp.html diakses pada tanggal 5 Maret 2021, pukul 18.02 WITA.

Page 41: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

32

proyek Pembangunan/Peningkatan Jalan Poros Waturempe – Tiworo Jalur II

Kabupaten Muna Barat. Proyek ini dikerjakan berdasarkan kontrak Nomor

014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tanggal 8 Mei 2020. Berdasarkan Surat Perjanjian

Mulai Kerja (SPMK) proyek peningkatan jalan ini harus selesai selama 150 hari

kalender dan pekerjaan harus sudah selesai pada tanggal 04 Oktober 2020.

Dalam perjalanannya, pekerjaan yang seharusnya selesai sesuai dengan

kontrak tersebut berjalan tidak sesuai target. Hal ini dikarenakan merebaknya virus

COVID-19 di wilayah Indonesia, termasuk Provinisi Sulawesi Tenggara. Masuknya

COVID-19 di wilayah Sulawesi Tenggara ini menjadikan Pemerintah Provinsi

Sulawesi Tenggara mengeluarkan Himbauan Nomor 443/4724 tentang Peningkatan

Pelaksanaan Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan Penularan Corona Virus

Disease – 19 (COVID-19) dan Surat Edaran Nomor 443/1436 tentang Perpanjangan

Penerapan Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dengan Menjalankan Tugas

Kedinasan Dengan Bekerja Di Rumah/Tempat Tinggalnya/Work From Home

(WFH) Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini juga disusul

dengan dikeluarkannya Instruksi Walikota Kendari Nomor 443.1/907/2020 tentang

Pengawasan Wilayah Perbatasan Kota Kendari yang meminta masyarakat tidak

meninggalkan wilayah kota Kendari3.

Berdasarkan hal ini, PT. Aneka Sukses Reksa Graha mengeluarkan Surat

Permohonan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Selama 50 hari yang

ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat komitmen

yang menyebutkan kendala pekerjaan yang dihadapi adalah penghentian

pengoperasian Kapal Tongkang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat

yang merupakan dampak dari COVID-19. Surat permohonan ini dilanjutkan dengan

penyampaian Surat Pernyataan dari Direktur Utama PT. Aneka Sukses Reksa

Graha, Usneno Marliong mengenai kesanggupan menyelesaikan proyek

3Dokumen Kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tentang Pembangunan/Peningkatan Jalan Poros

Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat.

Page 42: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

33

apabila diberikan perpanjangan waktu selama 50 hari kalender terhitung sejak

berakhirnya pelaksanaan pekerjaan.

Melihat ketidaksanggupan PT. Aneka Sukses Reksa Graha dalam

menyelesaikan proyek yang dijanjikan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Muna

Barat melakukan justifikasi teknik pekerjaan peningkatan jalan poros waturempe –

tiworo jalur II yang salah satu analisis permasalahannya adalah pemberlakuan PSBB

oleh Pemerintah Daerah terkait akibat dampak COVID-19 menghambat

penyelesaian proyek yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Hasil Evaluasi

Peninjauan Lapangan Nomor: 004.b/ADENDUM/PUPR- BM/IX/2020 yang

memberikan kesimpulan bahwa proyek tidak mungkin selesai tepat waktu. Atas

dasar ini Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengeluarkan Surat

Penetapan Penambahan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Nomor:

004.c/ADENDUM/PUPR-BM/X/2020 yang memberikan legitimasi penambahan

waktu 50 hari penyelesaian pekerjaan konstruksi dari PT. Aneka Sukses Reksa

Graha.

Dasar hukum semua beleid ini adalah Kontrak antara PT. Aneka Sukses

Reksa Graha dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Muna

Barat Nomor: 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 yang dalam Point B.5 tentang

Keadaan Kahar Pasal 37 tentang Keadaan Memaksa mencantumkancontoh keadaan

kahar adalah tidak terbatas pada bencana alam, bencana non alam, bencana sosial,

pemogokan, kebakaran, kondisi cuaca ekstrem, dan gangguan industri lainnya.

Klausula tersebut diperkuat dengan Pasal 37 point 7 dan point 9 yang menyatakan

apabila keadaan kahar bisa dilakukan perubahan kontrak untuk memperpanjang

waktu penyelesaian proyek yang dikerjakan.

B. Instruksi Menteri Tentang Penghentian Sementara Penyelenggaraan Usaha

Jasa Konstruksi

Pada tanggal 27 Maret 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono

Page 43: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

34

mengeluarkan Instruksi Menteri Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan

Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Dalam Instruksi

Menteri ini memuat soal penghentian sementara penyelenggaraan jasa konstruksi

akibat keadaan kahar atau force majeure4.

Berdasarkan peraturan a quo skema protokol pencegahan COVID-19 dalam

penyelenggaraan jasa konstruksi pada angka 2 huruf b tentang Identifikasi Potensi

Bahaya COVID-19 di Lapangan disebutkan dalam hal penyelenggaraan jasa

konstruksi teridentifikasi tiga hal, maka penyelenggaraan jasa konstruksi tersebut

dapat diberhentikan sementara akibat keadaan kahar, yaitu memiliki risiko tinggi

akibat lokasi proyek berada di pusat sebaran, telah ditemukan pekerja yang positif

dan/atau berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan pimpinan Kementerian

atau Lembaga atau Instansi atau Kepala Daerah telahmengeluarkan peraturan untuk

menghentikan kegiatan sementara akibat keadaan kahar.

Dalam bagian Tindak Lanjut Terhadap Kontrak Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi huruf A mengenai Penghentian Pekerjaan Sementara pada nomor 1

dalam Instruksi Menteri a quodisebutkan dalam hal Kontrak Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi ditetapkan untuk diberhentikan sementara akibat keadaan kahar, maka

diberlakukan ketentuan, yaituuntuk pengusulan penghentian sementara dapat

dilakukan oleh PPK dan/atau Penyedia Jasa berdasarkan usulan Satgas Pencegahan

COVID-19 setelah dilakukan Identifikasi Potensi Bahaya COVID-19 di Lapangan,

selanjutnya penghentian sementara tersebut ditetapkan oleh PPK setelah

mendapatkan persetujuan dari Kasatker/KPA dan Kabalai dan dilaporkan kepada

Direktur Jenderal.

Efisiensi penyelenggaraan terkait waktu penghentian sementara, dalam

Instruksi Menteri poin nomor 3 menyebutkan bahwa waktu penghentian paling

sedikit 14 (empat belas) hari kerja atau sesuai dengan kebutuhan yang disertai

dengan laporan pencegahan dan penanganan COVID-19 di lokasi proyek dan

penetapan keadaan kahar. Khusus untuk pekerjaan yang bersifat strategis nasional

4Instruksi Menteri Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Page 44: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

35

sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden atau Instruksi

Presiden maupun direktif lainnya, PPK menetapkan penghentian pekerjaan

sementara akibat dari keadaan kahar sesuai ketentuan dan melaporkan untuk

mendapatkan persetujuan Menteri PUPR5.

Dalam hal penghentian sementara dilakukan tidak boleh melepaskan hak dan

kewajiban Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa terhadap kompensasi biaya upah tenaga

kerja konstruksi, subkontraktor, produsen dan pemasok yang terlibat. Artinya, upah

tenaga kerja konstruksi tetap harus dibayarkan. Berdasarkan hal ini dapat kita lihat

bahwa pemerintah telah memperhitungkan dampak pandemic COVID-19 ini yang

merugikan proses penyelesaian proyek-proyek pemerintah. Oleh karena itu,

pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu untuk mengantisipasi

dampak langsung penyebaran COVID-19 terhadap usaha jasa konstruksi.

C. Legalitas Force Majeure Terhadap Pandemi Virus Corona

Pada tanggal 13 April 2020, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan

Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.

Status Bancana Non Alam menggambarkan bencana yang diakibatkanperistiwa atau

rangkaian peristiwan non alam, seperti kegagalan teknologi, gagal modernisasi,

epidemi, dan wabah penyakit. Sesuai Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang berwenang

menetapkan status bencana nasional dan daerah adalah pemerintah6. Normatifnya

penetapan status dan tingkat bencana memuat indikator yang meliputi jumlah

korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas

wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Dalam konsiderans Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 jelas bahwa

penetapan status darurat nasional didasarkan pada meningkatnya jumlah korbandan

kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, dan

timbulnya implikasi sosial ekonomi yang sangat luas. Presiden menetapkan

5Instruksi Menteri Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. 6Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Page 45: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

36

bencana nasional dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984

tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana, dan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19),

sebagaimana diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020.

Terbitnya Keputusan Presiden ini menimbulkan spekulasi bagi para pelaku

bisnis mengenai dapat dijadikan dasar berlakunya keadaan memaksa (force

majeure) terhadap kontrak-kontrak bisnis yang telah disepakati sebelum terbitnya

Keputusan Presiden tersebut.

Alasan anggapan para pelaku usahan tersebut menganggap pandemi virus

corona ini bagian dari force majeure karena pandemi ini adalah bagian dari

bencana dan kejadian luar biasa yang menyebabkan orang tidak mampu memenuhi

prestasinya karena peristiwa diluar kemampuannya, sehingga perjanjian-perjanjian

atau kontrak keperdataan secara otomatis dapat diubah atau dibatalkan.

Pada dasarnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 ini lahir dari

perkembangan dua aturan hukum sebelumnya yang juga mengatur mengenai

penanggulangan virus corona, yaitu Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020

pada tanggal 31 Maret 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Peraturan Pemerintah

Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Ratio legis Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tersebut pada dasarnya

mencoba menerapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan bahwa Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan ditandai

dengan penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yag disebabkanoleh radiasi

nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang

menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas

negara.

Page 46: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

37

Lompatan logika ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan inilah yang kemudian memunculkan perbincangan di

publik tentang istilah lockdown dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 menyebutkan Karantina

Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah

pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau

terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran

penyakit atau kontaminasi. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah lockdown,

sementara Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdasarkan Pasal 1 angka

11 adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang

diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk

mencegah kemungkinan penyebaranpenyakit atau kontaminasi. Kendati demikian,

terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang kebijakan pemerintah dalam

penerapan lockdown atau PSBB, pada akhirnya pemerintah memilih kebijakan

PSBB dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)8.

Oleh karena itu, secara logika hukum diterbitkannya Keputusan Presiden

Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID

19 sebagai Bencana Nasional, yang selanjutnya pada tataran implementasi

ditindaklanjuti dengan kebijakan pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar

(PSBB) dan social distancing, yang pada akhirnya menyebabkan terhalangnya

kewajiban debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur dapat dijadikan

alasan untuk membela diri atas tuntutan wanprestasi dengan alasan keadaan

memaksa (force majeure atau overmacht).

Hal ini bisa disandarkan pada pendapat Rahmat S.S. Soemadipraja dalam

bukunya Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa / force majeure

menyebutkan force majeure berdasarkan penyebab, yaitu suatu keadaan

8 Wardatul Fitri, Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus Disease

2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan, (Jurnal Supremasi Hukum), Vol. 9 No. 1, Juni 2020,

h. 77.

Page 47: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

38

memaksa yang disebabkan oleh karena suatu keadaan dimana terjadi perubahan

kebijakan pemerintah atau hapus dan atau dikeluarkannya kebijakan yang baru

yang mana berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung, misalnya dengan

dikeluarkannya/diterbitkannya suatu Peraturan Pemerintah.

Senada dengan hal tersebut, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, SH., MH., pada saat

memberikan pendapat ahli dari tergugat dalam Putusan Pengadilan Hubungan

Industrial Palu sengketa PHK register perkara Nomor : 14/Pdt-Sus-

PHI/2014/PN.Pal tanggal 30 Oktober 2014 juga menyatakan keadaan force majeure

tidak hanya disebabkan oleh tindakan alam tetapi juga karena adanya regulasi9.

Terlepas apakah para pihak dalam suatu perjanjian mengatur mengenai pandemi

sebagai alasan force majeure, ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata tetap berlaku dan

harus dipatuhi. Selain itu, dalam konteks pandemi COVID-19 force majeure dapat

diklaim karena para pihak tidak dapat memprediksi pandemi dan tidak memiliki

contributory effect, serta pandemi inimenjadi suatu halangan yang terjadi secara

umum.

9https://www.hukum-hukum.com/2017/07/force-majeure-yang-diakibatkan-regulasi.html, diakses pada

tanggal 28 Desember 2020, pukul 03.43 WITA.

Page 48: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

BAB IV

PENERAPAN FORCE MEJURE AKIBAT CORONA VIRUS DISEASE 2019

(COVID-19) DALAM USAHA JASA KONSTRUKSI

A. Klasifikasi Force Majeure Pada Usaha Jasa Konstruksi yang Terdampak

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

Pandemi COVID-19 yang menyebar ke seluruh belahan bumi menjadikan berbagai

aktivitas manusia turut mengalami perubahan. Aktivitias normal manusia yang tadinya

bisa bekerja keluar rumah dan masuk kantor pada hari-hari biasa, kini mengalami

perubahan yang signifikan, dimana setiap orang diharuskan untuk bekerjadi dalam rumah

dan tidak bepergian kemanapun, termasuk ke tempat kerja.

Perubahan aktivitas bekerja tersebut membawa masalah pada keberlangsungan

pekerjaan itu sendiri. Banyak dari jenis pekerjaan tertentu tidak dapat berjalan

maksimal, bahkan harus dihentikan sementara. Hal ini menyebabkan hubungan-

hubungan hukum yang dijalin sebelum dan pada saat pekerjaan tersebut berlangsung

mengalami hambatan. Hubungan hukum tersebut terjalin dalam lingkup perdatadimana

perjanjian pengadaan suatu kerja sama tertentu dalam menyelenggarakan usaha terpaksa

tidak dapat berjalan seperti biasa. Hal ini terjadi akibat salah satu pihak tidak dapat

memenuhi prestasinya terhadap pihak lainnya. Kondisi inilah yang disebut dengan

wanprestasi1.

Dalam usaha jasa konstruksi kondisi berhentinya pekerjaan tersebut memberikan

dampak yang besar, yaitu pekerja dirumahkan tanpa pemberian upah dan jadwal

penyelesaian proyek yang mengalami kemunduran. Hal ini menempatkan usaha jasa

konstruksi berada dalam kondisi ingkar janji. Namun, kondisi ingkar janji tersebut bisa

ditinjau kembali dengan kondisi objektif situasi usaha jasa konstruksi yang terdampak

pandemi COVID-19.

1 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), h.175.

39

Page 49: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

40

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang kemudian diubah dengan

pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro menyebabkan

terjadinya hal-hal yang berada di luar jangkauan perkiraan para pihak sebelum perjanjian

kerja diberlakukan. Social distancing dan work from home dijadikan alasan bagi usaha

jasa konstruksi untuk tidak melaksanakanprestasinya terlebih dahulu2.

Hal ini pun seakan didukung oleh lahirnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun

2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019

(COVID-19) yang memberi sumber legitimasi penerapan ketentuan force majeure dalam

usaha jasa konstruksi. Jika kita melihat pada ketentuan force majeure pada KUHPerdata,

maka pengaturan dalam KUHPerdata tidak memberikan definisi yang jelas dan rigid

mengenai force majeure, melainkan hanya menekankan tata cara penggantian biaya,

rugi, dan bunga yang dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan force majeure3. Dalam

teori hukum perjanjian, terdapat beberapa asas yang harus dipenuhi dalam suatu kontrak,

yaitu:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Perjanjian yang disebut, juga mengikat para pihak

sebagaimana mengikatnya sebuah Undang- Undang yang dapat diartikan bahwa para

pihak harus tunduk pada perjanjian yang telah mereka buat, sama seperti mereka

tunduk pada Ketentuan Undang-Undang. Indonesia menganut sistem terbuka dalam

hukum perjanjiannya. Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini tidaklah mutlak,

KUHPerdata memberikan pembatasan atau ketentuan terhadapnya, inti pembatasan

tersebut dapat dilihat antara lain:

a. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat

tanpa adanya sepakat dari pihak yang membuatnya;

b. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata, kebebasan yang dibatasi oleh kecakapan

untuk membuat suatu perjanjian;

2Annisa Dian Arini, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Suatu Kontrak Bisnis, (Supremasi

Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 9, No. 1 Juni 2020, h. 43. 3Agri Chairunisa Isradjuningtias, Force Majeure Dalam Hukum Kontrak Indonesia, (Veritas Et Justitia,

Universitas Parahyangan), Vol. 1, No. 1 2015, h. 140.

Page 50: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

41

c. Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 KUH Perdata, menyangkut causa yang

dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau

bertentangan dengan ketertiban umum;

d. Pasal 1332 KUH Perdata batasan kebebasan para pihak untuk membuat

perjanjian tentang objek yang diperjanjikan;

e. Pasal 1335 KUH Perdata, tidak adanya kekuatan hukum untuk suatu perjanjian

tanpa sebab, atau sebab yang palsu atau terlarang; dan

f. Pasal 1337 KUH Perdata, larangan terhadap perjanjian apabila bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum

b. Asas Konsensual

Pasal 1320 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perikatan ini berasaldari

kata latin “Consensus” yang berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya

kesepakatan. Arti asas konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian sudah lahir

sejak dari terciptanya kesepakatan.

c. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian

Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menerangkan:

“Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”, artinya tersirat pula ajaran asas kekuatan mengikat yang

dikenal juga adagium “Pacta sunt servanda” yang berarti janji yang mengikatdan juga

sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa

tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak4.

d. Asas Iktikad Baik

Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu asas yang

mengajarkan bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus benar-benar

mempunyai maksud untuk mentaati dan memenuhi perjanjian dengan sebaik-

baiknya. Menurut Subekti, pengertian Itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda

(pengertian subjektif), maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam

Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (pengertian objektif),

itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah berarti kepatuhan, yaitu penilaian

terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang

4 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:PT. Intermasa, 2010), h. 27.

Page 51: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

42

telah dijanjikan dan bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut dan

sewenang-wenang dari salah satu pihak5. Asas iti-kad baik terbagi menjadi dua

macam,yakni itikad baik nisbi dan itikad baikmutlak. Pada itikad yang

pertama,seseorang memperhatikan sikap dantingkah laku yang nyata dari

subjek.Pada itikad yang kedua, penilaian terletakpada akal sehat dan keadilan serta

dibuatukuran yang obyektif untuk menilai kea-daan (penilaian tidak memihak)

menurutnorma-norma yang objektif. Berbagaiputusan Hoge Raad (HR) yang

eratkaitannya dengan penerapan asas itikadbaik dapat diperhatikan dalam kasus-

kasus posisi berikut ini. Kasus yang pa-ling menonjol adalah kasus SarongArrest dan

Mark Arrest. Kedua arrestini berkaitan dengan turunnya nilaiuang(devaluasi)

Jerman setelah Perang DuniaI

e. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan yang dimaksud ialah bahwa setiap orang yang akanmengadakan

perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dikemudian

hari. Asas kepercayaan sendiri sangat penting dalam membuat kontrak, karena

kepercayaan dapat menimbulkan keyakinan bagi para pihak bahwa kontrak akan

dilaksanakan oleh para pihak yang membuat kontrak tersebut. Oleh karena itu, para

pihak terlebih dahulu harus menumbuhkan kepercayaan diantara mereka, bahwa satu

sama lain akan memenuhi janji yang disepakati atau melaksanakan prestasinya

dikemudian hari. Dengan kepercayaan, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada

kontrak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang sebagaimana

ditentukan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Yang berarti semua perjanjian

yang dibuat secara sah dan berlaku seperti Undang- Undang bagi mereka yang

membuat perjanjian tersebut. Kepercayaan sebagaimana dimaknai seperti diatas,

dipahami sebagai faktor yang menentukan kekuatan mengikat suatu perjanjian.

f. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan disini ialah suatu asas yang menghendaki kedua belah pihak

memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk

menuntut haknya atau prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut prestasi

5 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2007), h. 30.

Page 52: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

43

terhadap debitur atau pihak terkait, namun debitur memikul pula kewajiban untuk

melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

g. Asas Kepatutan

Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana berkaitan dengan

ketentuan mengenai isi perjanjian. Suatu perjanjian yang didalam terdapat prestasi

maka para pihak yang terkait didalamnya harus memenuhi prestasi yang telah

disepakati.

h. Asas Kebiasaan

Diatur dalam Pasal 1339 jo. Pasal 1347 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Pasal

1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berbunyi: Suatu perjanjian tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan,

atau undang-undang.

i. Asas Kepribadian

Asas kepribadian (personality). Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 KUH

Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat

pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam

Pasal 1317”. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang

tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana pengantar

dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan

untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,

atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian

untuk diri sendiri, melainkan juga untukkepentingan ahli warisnya dan untuk orang-

orang yang memperoleh hak dari padanya.

Berdasarkan asas tersebut terdapat beberapa asas yang terlanggar dengan

terjadinya wanprestasi, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya suatu

perjanjian, asas iktikad baik, asas kepercayaan, dan asas keseimbangan. Sifat

Page 53: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

44

wanprestasi yang menegasikan kesepakatan yang telah dibuat dalam suatu perjanjian

telah menghilangkan sifat konsensualisime yang mengikat dalam perjanjian tersebut.

Terlanggarnya perjanjian tersebut pula merupakan tanda hilangnya iktikad baik yang

menggerus kepercayaan salah satu pihak dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Pada

akhirnya, yang hilang dalam asas perjanjian tersebut adalah asas keseimbangan. Dimana

suatu perjanjian hanya dilaksanakan oleh satu pihak, sedangkan pihak lain tidak

menjalankan perjanjian yang sudah disepakatati bersama.

Namun, kondisi tersebut berbeda ketika kondisi tidak terlaksananya suatu

perjanjian tidak didasarkan wanprestasi, tetapi force majeure. Sebagai salah satu konsep

yang terdapat dalam hukum perdata, force majeure sangat erat hubungannya dengan

masalah ganti rugi pada suatu kontrak atau perjanjian. Hal tersebut dikarenakan force

majeure membawa konsekuensi hukum, tidak hanya hilang atau tertundanya kewajiban-

kewajiban dalam suatu kontrak untuk melaksanakan prestasi, tetatp force majeure dapat

membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat tidak terlaksananya

kontrak. Pada dasarnya pengaturan dalam KUHPerdata hanyalah mengatur masalah

force majeure dalam hubungannya dengan pergantian ganti rugi dan bunga saja.

Keadaan memaksa atau force majeur diatur dalam buku IIIKUHPerdata Pasal 1244 dan

1245.

Dalam Pasal 1244 KUH Perdata jika ada alasan untuk si berutang harus dihukum

menggangti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan bahwa hal tidak

dilaksanakannya atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu,

disebabkan karena suatu hal yang tak terduga tak dapat dipertanggung jawabkan

padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya, sedangkan

dalam Pasal 1245 KUHPerdata dijelaskan tentang pembebasan pembayaran biaya, rugi,

dan bunga oleh debitur apabila telah terjadi keadaan memaksa atau karena suatukeadaan

yang tidak disengaja, sehingga mengakibatkan debitur berhalangan memberikan atau

berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal- hal yang sama telah melakukan

perbuatan yang terlarang. Pada dasarnya sama dengan pasal sebelumnya yaitu

menjelaskan tentang pembebasan debitur dalam membayar ganti rugi kerugian

Page 54: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

45

jika dirinya melakukan wanprestasi. Tidak dilaksanakannya prestasi tersebut

dikarenakan adanya suatu keadaan yang memaksa atau tidak disengaja6.

Pada klausa force majeure memberikan perlindungan yang diberikan terhadap

kerugian yang disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan atau

bencana alam lainnya, pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang,

invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi,

blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu

pemerintahan yang pada intinya setiap keadaan tersebut diterjemahkan sebagai keadaan

memaksa dan tidak terduga bagi para pihak pada saat kontrak tersebut dibuat. Hal ini

membuat pemenuhan prestasi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada masing-

masing pihak.

Jika kita vis a vis kan ketentuan force majeure tersebut dengan kondisi pandemi

COVID-19 yang datang secara tiba-tiba, maka dapat dikatakan bahwa pandemi

COVID-19 adalah keadaan memaksa yang tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh

para pihak pada saat suatu kontrak dibuat. Terlebih, dalam konsep force majeure

terdapat pembagian variabel, yaitu force majeure absolut dan force majeure relatif,

serta force majeure objektif dan force majeure subjektif.

Untuk konsep force majeure absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa

apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan

oleh siapapun juga atau oleh setiap orang. Dalam ajaran ini pikiran para sarjana tertuju

pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat yang menyebabkan pihak tertentu berada

dalam posisi mustahil untuk memenuhi prestasi.

Berbeda dengan konsep force majeure relatif yang menandai kondisi debitur yang

masih memungkinkan memenuhi perutangan sebagai kewajibannya menjalankanprestasi,

tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang apabila prestasi

dilaksanakan atau kekuatanjiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan

kerugian yang sangat besar7.

6 Ahmadi Miru, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, (Jakarta: Rajawali Pers

Raja Grafindo Persada, 2016), h. 13. 7Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A (Jogjakarta: Seksi

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), h. 20.

Page 55: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

46

Begitu juga dengan konsep force majeure objektif dan subjektif. Dalam konsep

force majeure objektif salah satu pihak berada dalam kondisi barang yang dijanjikan

musnah atau hilang, sehingga prestasi tidak bisa dijalankan sebagaimana yang

dijanjikan. Hal ini terdapat dalam pasal 1444 KUHPerdata yang menyebutkan

bahwa,”Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tidak lagi dapat

diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah

barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya”8, sedangkan pada force majeure

subjektif peristiwa yang terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari

kontrak yang bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau

kemampuan dari debitur itu sendiri, misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur

hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi. Inilah yang menyebabkan

konsep ini dikatakan force majeure subjektif karena alasan bisa atau tidaknya prestasi

dipenuhi kembali kepada nilai subjektif masing-masing pihak9.

Berdasarkan variabel konsep force majeure ini, maka kondisi pelaku usaha jasa

konstruksi yang tidak mampu memenuhi prestasi dapat digolongkan kepada force

majeure relatif dan force majeure subjektif. Hal ini dikarenakan kondisi pandemi

COVID-19 yang menyebar luar di Indonesia bersifat sementara (relatif), sehingga

pelaku usaha jasa konstruksi dapat menjalankan kewajiban prestasinya apabila pandemi

COVID-19 telah selesai atau setidak-tidaknya dapat dikontrol oleh pemerintah melalui

penanganan yang baik, selain itu pandemi COVID-19 juga bisa digolongkan pada force

majeure subjektif mengingat tidak semua kondisi pelaku usaha dapat serta merta

dikategorikan force majeure akibat pandemi COVID-19, melainkan harus diteliti

terlebih dahulu secara kontekstual.

Hal ini seperti dalam kasus usaha jasa konstruksi yang mengalami hambatan

penyelesaian pada saat pandemi COVID-19, yaitu usaha jasa konstruksi Proyek

Pembangunan/Peningkatan Jalan Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna

Barat, dengan kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 tanggal 8 Mei 2020.

Berdasarkan Surat Perjanjian Mulai Kerja (SPMK) proyek peningkatan jalan ini harus

selesai selama 150 hari kalender dan pekerjaan harus sudahselesai pada tanggal 04

Oktober 2020, namun terhambat akibat penyebaran COVID-19

8Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2001), h. 25. 9Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra,

2008), h. 40.

Page 56: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

47

menjadikan pembangunan proyek terhambat10. PT. Aneka Sukses Reksa Graha

mengeluarkan Surat Permohonan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Selama

50 hari yang ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat

komitmen yang didalamnya menyebutkan kendala pekerjaan yang dihadapi adalah

penghentian pengoperasian Kapal Tongkang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

setempat.

Setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Barat melakukan justifikasi teknik

pekerjaan peningkatan jalan poros waturempe – tiworo jalur II sebagai tanggapan dari

surat permohonan PT. Aneka Sukses Reksa Graha, Pemerintah Daerah Kabupaten Muna

Barat menemukan salah satu kendala yang dihadapi dalam proyek ini adalah

merebaknya virus COVID-19 di Provinisi Sulawesi Tenggara yang menjadikan

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memberlakuan PSBB terkait akibat dampak

COVID-19. Berdasarkan hal ini, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Kabupaten Muna Barat mengeluarkan Surat Penetapan Penambahan Waktu

Penyelesaian Pekerjaan yang memberikan legitimasi penambahan waktu 50 hari kepada

PT. Aneka Sukses Reksa Graha.

Berdasarkan contoh kasus yang telah peneliti paparkan, maka dapat kita lihat

pengaruh penyebaran pandemi COVID-19 dalam sektor jasa usaha konstruksi. Pengaruh

ini sudah pasti membawa perubahan yang signifikan dalam proses pelaksanaan proyek,

yang akibatnya segala hal yang terjadi berada di luar dugaan para pihak pada saat

membuat kontrak dikategorikan sebagai keadaan memaksa dalam perjanjian. Selain itu,

dalam konsep force majeure juga terdapat bentuk-bentuk khusustidak dapat dipenuhinya

prestasi oleh pihak tertentu, salah satunya adalah akibat dikeluarkannya peraturan

perundang-undangan oleh pemerintah11.

Berdasarkan hal ini, keluarnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang

Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

sebagai Bencana Nasional pada tanggal 13 April 2020 yang menetapkanstatus bencana

nasional non-alampada pandemi COVID-19, kemudiandisusuldengan

10https://www.tribunnews.com/bisnis/2020/07/27/target-proyek-kereta-cepat-jakarta-bandung-molor-

hingga-2022-akibat-pandemi diakses pada tanggal 28 Januari 2020, pukul 20.11 WITA. 11Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra,

2008), h. 41.

Page 57: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

48

terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial

Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019

(COVID-19) dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah

mewajibkan setiap orang untuk melakukan social distancing, work from home,

pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang secara teori hukum

responsif merupakan bentuk terobosan hukum pemerintah dalam melakukan

pembaharuan aktivitas masyarakat sebagai upaya penanganan pandemi COVID-19.

Secara diakronik, berdasarkan hal ini dapat kita lihat bahwa force majeure akibat

pandemi COVID-19 masuk ke dalam bentuk khusus force majeure akibat peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

B. Interpretasi Penerapan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2017 tentang Jasa Konstruksi Terhadap Ketentuan Force Majeure Pandemi

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

Usaha jasa konstruksi merupakan usaha jasa yang memiliki peranan penting dan

strategis dalam pembangunan suatu wilayah. Dengan peran pentingnya tersebut, jasa

konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lain, baik

berupa sarana maupun prasarana yang nanti akan menjadi pendukung kemajuan di

bidang ekonomi, sosial maupun budaya.

Pengadaan jasa konstruksi yang memenuhi tata nilai pengadaan dan kompetitif

akan sangat penting peranannya bagi ketersediaan infrastruktur yang berkualitas,

sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik dan pengembangan

perekonomian daerah12. Mengingat pentingnya peranan jasa kontruksi inilah, maka

diperlukan peraturan atau payung hukum mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa

konstruksi yang jelas dan komprehensif, termasuk pengaturan mengenai segala hal yang

mungkin terjadi apabila penyelenggaraan usaha jasa konstruksi mengalami masalah.

Berdasarkan hal ini, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Jasa Konstruksi yang lahir sebagai pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang dipandang belum dapat memenuhi tuntutan

12 Point menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi

Page 58: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

49

kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa

konstruksi13.Dalam Undang-Undang a quo terdapat ketentuan mengenai kontrak jasa

konstruksi, yakni Pasal 47 ayat (1) huruf J yang menyebutkansuatu hal yang harus ada

dalam penyusunan kontrak jasa konstruksi, yaitu klausula keadaan memaksa.

Keadaan memaksa dalam pasal tersebut didefinisikan sebagai ketentuan yang

memuat tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang

menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Secara lebih rinci, eksposisi pasaltersebut

berada dalam penjelasan pasal demi pasal yang menjelaskan dikotomi keadaan memaksa

tersebut, yakni keadaan memaksa yang bersifat absolut, yaitu kondisi dimana para pihak

tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya, serta keadaan memaksa yang

bersifat tidak mutlak (relatif), yakni keadaan dimana para pihak masih dimungkinkan

untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, namun bersifat sulit. Hal ini membuktikan

bahwa force majeure dalam usaha jasa konstruksimemiliki pijakan legitimasi.

Jika kita melihat definisi keadaan memaksa dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dapat kita lihat bahwa

definisi yang diberikan tidak cukup untuk memberikan kepastian hukum. Hal ini

dikarenakan terdapat hal-hal yang menimbulkan multiinterpretasi dalam penerapannya.

Dalam pasal a quo tidak diatur mengenai contoh keadaan-keadaan yang menjadi

keadaan memaksa tersebut, misalnya bencana alam, gunung meletus, banjir, tanah

longsor, bencana non-alam, huru hara, dan lain-lain.

Titik inilah yang menjadikan penerapan keadaan memaksa pada penyebaran

pandemi COVID-19 bagi usaha jasa konstruksi menjadi perdebatan jika dikaitkan

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Disinilah perlu

dilakukan metode penemuan hukum berdasarkan teori hermeneutika hukum untuk

membaca teks dan konteks yang terjadi pada Pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan kondisi penyebaran pandemi corona

virus disease 2019 (COVID-19).

13 Point menimbang huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi

Page 59: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

50

Pendekatan teori hermeneutika yang merupakan metode penemuan hukum

dengan cara interpretasi dapat digunakan sebagai alternatif dalam memahami makna

hakiki “teks” atau “sesuatu”. Menurut JJ. H. Bruggink, dalam hal ini ditampilkan

lingkaran hermeneutical, yaitu berupa proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan

fakta-fakta sebab dalil hermeneutika menyatakan bahwa orang harus mengkualifikasi

fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam

cahaya fakta-fakta, termasuk dalam paradigma dari teori penemuan hukum dewasa ini14.

Dalam hal lain pendekatan hermeneutika hukum dapat dilakukan sebagai upaya

membangun penafsiran hukum yang komprehensif, sehingga konstruksi hukum tidak

terjebak pada penafsiran teks semata sebagaimana selama ini cenderung dilakukan oleh

hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan force majeure, khususnya

pemberlakukan pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Jasa Konstruksi. Pendekatan teori hermeneutika hukum mempertimbangkan keterkaitan

antara teks, konteks dan kontekstualiasasi yang sejalan dengan metode yang diterapkan

oleh penemuan hukum dalam memahami serta mengungkapkan kebenaran.

Berbasis pada interpretasi teks hukum dan pemaknaan falsafati hukum, pendekatan

hermeneutika membuka kesempatan bagi seseorang tidak hanya berkutat dengan

paradigma positivis dengan penafsiran gramatikal dan otentiknya, yang selama ini

dianggap melanggengkan pemikiran kaku. Kajian hermeneutika hukum mengajak para

pengkaji hukum agar menggali dan meneliti makna-makna hukum dari persperktif para

pengguna dan/atau para pencari keadilan sehingga kajian hermeneutik ini perlu bagi

hakim yang dalam kesehariannya bertugas memaknai hukum, agar putusannya dapat

memenuhituntutan keadilan masyarakat.

Letak penting dan kebaruan hermeneutika hukum, yaitu pada saat seseorang

menemukan hukum baik saat melakukan interpretasi hukum maupun konstruksihukum.

Pada saat melakukan interpretasi atas teks hukum/peraturan perundang- undangan yang

dijadikan dasar pertimbangannya, serta interpretasi atas peristiwa dan fakta hukumnya itu

sendiri. Salah satu metode penemuan hukum yang berkaitan dengan teori hermeneutika

hukum adalah penafsiran hukum.

14 Marthinus Mambaya, “Hermeneutika Hukum”, (Jurnal Hukum, Vol. XVII Edisi Khusus 2007,Semarang:

Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung), h. 96.

Page 60: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

51

Penafsiran hukum merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk mengetahui

makna undang- undang.Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan

ketentuan yang konkret dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri15.

Dari segi metode penafsiran hukum, terdapat beberapa metode yang dapat

digunakan, yaitu16:

a. Penafsiran gramatika (tata bahasa), yaitu mencari makna suatu ketentuan hukum

dari kata-katanya menurut pemakaian bahasa sehari-hari dan/atau pemakaian

secara teknis yuridis. Penafsiran ini merupakan sarana tertua yang dimiliki para

ahli hukum (yuris) untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan.

b. Penafsiran historis, dibedakan atas penafsiran sejarah hukum (rechtshisttories

interpretatie) dan penafsiran sejarah undang-undang (wetshistories interpretatie).

Dalam hal penafsiran sejarah hukum, hakim mencari makna atau arti aturan

hukum dari perkembangan suatu lembaga hukum (figur hukum), misalnya untuk

memahami kompetensi relatif dan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan

tata usaha negara, maka ditelusuri melaui sejarah peradilan administrasi yang pada

mulanya berkembang dalam Hukum Administrasi Perancis. Di Perancis, segala

pelanggaran hukum administrasi diserahkan dan diselesaikan oleh suatu peradilan

khusus, yaitu tribunaux administratifs. Peradilan bandingnya yang merupakan

peradilan terakhir adalah wewenang Council d’Etat. Putusan-putusan badan

peradilan administrasi tertinggi ini merupakan sumber hukum terpenting dalam

hukum administrasi Prancis. Dalam hal penafsiran sejarah undang-undang, hakim

mencari makna atau arti suatu ketentuan Undang-Undang dengan menelusuri

riwayat pembentukan Undang-Undang tersebut. Sejarah Undang-Undang dapat

dipelajari dari risalah Undang-Undang, perdebatan-perdebatan di dalam sidang

DPR, jawaban dan keterangan eksekutif, serta dengar pendapat umum17.

15 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1993), h. 35. 16 I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, (Pidato Pengenalan

Jabatan Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996), h.9. 17 Benyamin Mangkoedilaga, Kompetensi Relatif dan Absolut Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Tata Usaha Negara, (Bandung: Angkasa, 1988), h. 25-26.

Page 61: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

52

c. Penafsiran sistematis, adalah menentukan makna atau arti satu pasal peraturan

perundang-undangan dengan mengaitkannya pada pasal-pasal lainnya dalam

kerangka keseluruhan peraturan atau tata hukum yang berlaku. Contoh

penggunaan penafsiran sistematis dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, pada makna Pasal 6 ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 27

ayat (1). Menurut penafsiran secara sistematis ini Pasal 6 ayat (1) mengandung

makna sebagai aturan hukum yang bersifat exception (pengecualian) terhadap

ketentuan Pasal 27 ayat (1), sehingga syarat “Presiden harus orang Indonesia asli”

tidak bertentangan dengan HAM.

d. Penafsiran sosiologis atau teleologis, yakni hakim memberi arti suatu ketentuan

hukum menurut tujuan sosial yang ditetapkan pembentuk UU, dengan

memperhatikan perkembangan masyarakat ketika UU itu diterapkan. Perlu

diketahui bahwa tujuan pembentuk UU identik dengan tujuan UU, tetapi berbeda

dengan tujuan hukum yang sifatnya umum dan ditentukan oleh doktrin hukum.

e. Teori penafsiran filosofis (what is philosophical thought behind the ideas

formulated in the text) Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filosofis.

Misalnya, ide Negara hukum dalam Kostitusi Republik Perancis Article 66: “No

person may be detained arbitrarily”. Ide negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa

Negara Indonesia adalah negara hukum. Contoh lain lagi adalah rumusan ide

demokrasi terpusat (centralized democrazy) dalam Konstitusi Cina.

f. Teori penafsiran teleologis (what does the articles would like to achieve by the

formulated text) Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-

kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta

bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan

bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran

demikian juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual.

g. Penafsiran otentik atau resmi.

Page 62: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

53

Penafsiran otentik ini sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-

undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri, misalnya arti kata yang

dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jikalau ingin mengetahui apa yang

dimaksud dalam suatu pasal, maka langkahpertama adalah lihat penjelasan pasal itu.

Oleh sebab itu, penjelasan undang- undangselalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam

Tambahan Lembaran Negara, sedangkan naskah undang-undang diterbitkan dalam

Lembaran Negara18.

Berdasarkan hal teori hermeneutika hukum dan penafsirannya, terdapat dua

metode yang menjadi dasar legitimasi penerapan keadaan memaksa pada pandemi

COVID-19 terhadap usaha jasa konstruksi, yaitu metode penafsiran sistematis dan

metode penafsiran sosiologis. Dalam metode penafsiran sistematis eksposisi force

majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi

terdapat dalam atribusi Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden a quo adalah Peraturan Presiden yang

menjadi bagian dari penyelenggaraan usaha jasa konstruksi dalam menjalankan

usahanya. Dalam Pasal 91 Peratruan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memberikan pengertian keadaan kahar atau

keadaan memaksa, yaitu sebagai suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para

pihak, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat

dipenuhi yang penggolongan keadaan kahar atau keadaan memaksa tersebut menurut

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintahmencakup bencana alam, bencana non alam, bencanasosial, pemogokan,

kebakaran, dan gangguan industri lainnya19.

Dalam ketentuan a quo, bencana non alam juga dikateogikan sebagai bagian

dari force majeure, yang menjadikan sama dengan pandemi COVID-19 berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 yang menyatakan pandemic COVID-19

sebagai bancana non alam. Berdasarkan hal ini, kita dapat melihat bahwa

18 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet. XI,

(Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), h. 208. 19 Pasal 91 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Page 63: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

54

penyebaran pandemi COVID-19 memiliki dasar legalitas yang jelas dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Presiden Nomor

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Dasar legalitas force majeure tersebut juga memiliki batasan yang diberikan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yaitu keadaan tersebut

harus tidak dapat diduga atau diluar kemauan penyedia jasa, keadaan tersebut berada

diiluar kemampuan penyedia jasa untuk melaksanakan pekerjaan, dan terjadi kerugian

bagi pengguna jasa20. Keadaan konteks terjadinya suatu hal harus dianalsis terlebih

dahulu untuk dinyatakan sebagai keadaan memaksa.

Konteks keadaan tersebutlah yang dapat dikaitkan dengan penafsiran sosiologis

dalam usaha penemuan hukum force majeure dalam pandemi COVID-19 bagi usaha jasa

konstruksi. Penyebaran pandemi COVID-19 yang meluas dan cepat di masyarakat

mendeskripsikan suatu keadaan bahaya yang memaksa masyarakat berada dalam kondisi

waspada. Indonesia saat ini berada di posisi ke-19 dunia dengan mengonfirmasi total

kasus positif sebanyak 1.577.526 dan angka ini diperoleh setelahada penambahan 5.702

kasus baru dalam 24 jam terakhir. Sementara jumlah kematianbertambah sebanyak 126

jiwa dalam 24 jam terakhir, sehingga membuat total yang meninggal dunia secara

kumulatif menjadi 42.782 orang. Pasien yang dinyatakan sembuh dari virus mematikan

ini secara kumulatif adalah 1.426.145 orang, dan masihmenyisakan 108.599 kasus aktif

pada pagi ini dari seluruh wilayah di Indonesia21.

Kondisi genting penyebaran COVID-19 ini menggambarkan terpenuhinya

konteks penerapan force majeure dan interpretasi sosiologis dalam pemberlakukan force

majeure. Dimana secara kontektual dan sosiologis pasal 47 ayat (1) huruf j Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi memberikan ketentuan keadaan

memaksa sebagai syarat yang harus ada dalam suatu perjanjian sebagai bentuk

perlindungan hukum bagi para pihak dari hal-hal yang tidak dapat diprediksi

sebelumnya dan menyebabkan kerugian.

20Herman Brahmana Bismar Nasution, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force Majeure Dalam

Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, (USU Law Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), Vol. 3,No. 2, Agustus 2015, h. 82.

21 https://tirto.id/update-corona-indonesia-14-april-dunia-kasus-harian-ri-naik-lagi-gcly diakses pada

tanggal 17 April 2021 pukul 14.52 WIB.

Page 64: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

55

Selain itu, interpretasi sosiologis penerapan force majeure dalam pandemi

COVID-19 juga dapat dibuktikan melalui dikotomi force majeure dalam Undang-

Undang Jasa Konstruksi, yaitu force majeure absolut danforce majeure relatif. Dalam

force majeure absolut dikatakan bahwa suatu kegiatan secara mutlak benar-benar tidak

dapat dilaksanakan oleh para pihak22. Hal ini merujuk kepada kondisi-kondisi bencana

alam yang mengancam nyawa atau menghilangkan objek perikatan yang diperjanjikan

oleh para pihak, sedangkan force majeure relatif menunjukkan kondisi dimana dalam

keadaan normal perjanjian tidak bisa dilaksanakan, walaupun masih ada kemungkinan

dalam keadaan tidak normal perjanjian tersebut masih bisa dilaksanakan.

Jika kita melihat perkembangan pandemi COVID-19 sejak penyebarannya hingga

sekarang, pandemi COVID-19 merupakan virus yang menyebar lewat udara dan

menyerang sistem pernapasan. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada

sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian23.Berdasarkanhal ini,

pandemi virus corona bisa menyasar kepada siapa saja dan kapan saja. Dari hal inilah

pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang

kemudian diubah menjadi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Kondisi ini menjadikan masyarakat harus mengubah pola hidupnya dimana ada

kegiatan yang bisa dilaksanakan di kantor dan ada yang harus dilaksanakan di rumah.

Kegiatan yang bisa dilaksanakan di kantor pun harus tetap mengikuti protokol kesehatan

yang diberlakukan oleh pemerintah, seperti social distancing dan pembatasan jumlah

pekerja maksimal 50%, serta apabila terdapat pekerja yang COVID-19 tidak menutup

kemungkinan perusahaan atau lokasi tempat kerja orang tersebut akan diliburkan untuk

sementara waktu.

Dalam keadaan yang demikian, usaha jasa konstruksi berada dalam kondisi yang

tidak menentu. Dimana bisa saja tetap menjalankan proyeknya tetapi tidak akan

maksimal dan mencapai target yang ditentukan atau meliburkan pekerjanya sama sekali.

Hal inilah yang menjadikan PT. Aneka Sukses Reksa Graha mengajukan permohonan

tidak tercapainya penyelesaian proyek sesuai Kontrak Nomor 014/KTRK/DISPUPR-

22 Daryl John Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, (Jurnal Lex Privatum), Vol. IV, No. 2, 2016, h. 178. 23 Yuliana, Corona Virus Disease (Covid-19); Sebuah tinjauan literature, (Wellnes And Healthy Megazine,

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung), Vol. 2, No. 1, Februari 2020, h. 189.

Page 65: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

56

BM/2020 yang ditujukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran selaku pejabat pembuat

komitmen.

Dari permasalahan ini, terlihat kondisi pembangunan proyek yang dilaksanakan

usaha jasa konstruksi berada dalam kondisi fluktuatif dan akibatnya rentan mengalami

wanprestasi pada perjanjiannya, maka sesuai dengan analsisi kondisi relatif force

majeure dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, maka

dapat dikatakan bahwa penyebaran pandemi COVID-19 ini dapat dikategorikansebagai

force majeure relatif sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Relevansi keadaan pandemi COVID-19 dengan klausula force majeure dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 adalah suatu keniscayaan. Hal ini karena jika kita

melihat Pasal 2 huruf J Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi

dikatakan bahwa asas penyelenggaraan usaha jasa konstruksi adalah keamanan dan

keselamatan. Dimana ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf C yang

menyatakan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab atas terselenggaranya jasa

konstruksi yang sesuai dengan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan

keberlanjutan. Menerapkan force majeure pada pandemi COVID-19 merupakan

kewajiban bagi pemerintah untuk menjaga dan menyelematkan pekerja yang ada dalam

lingkungan jasa konstruksi dan untuk menciptakan lingkungan yang aman di

masyarakat.

Respon hukum yang memberikan wadah bagi keadaan tidak terduga untuk

menciptakan kepastian hukum di masyarakat merupakan bentuk hadirnya hukum

responsif. Dalam paham Phillipe Nonet dan Selznick, hukum yang responsif itu adalah

hukum yang siap mengadopsi paradigm barudanmeninggalkan paradigm yang lama,

artinya hukumtidaklagidilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus

mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi

kepentingan-kepentingan yang ada didalam masyarakat24.

24Sanusi, Kus Rizkianto, Kanti Rahayu, Hukum Yang Responsif Terhadap Revolusi Industri 4.0 Dalam

Perspektif Pancasila, (Prosiding Seminar Nasional Hukum dan Industri, Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 177.

Page 66: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

57

Konsep pembangunan hukum responsif yang dirumuskan oleh Philippe Nonet dan

Philip Selznick menekankan sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan- tuntutan

agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat

mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan

hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum. Konsep

hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum tercerai

berai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri.

Menggunakan pisau analisis teori hukum responsif inilah dapat kita lihat sisi- sisi

kepentingan hukum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa

Konstruksi yang harus cepat merespon dan memberikan wadah ketika penyebaran

pandemi COVID-19 merebak di seluruh wilayah Indonesia yang menempatkan setiap

pelaku usaha jasa konstruksi berada pada situasi yang berat dan sulit untuk

melaksanakan kegiatan konstruksinya. Hal ini untuk menghadirkan keadilan dan

kepastian hukum dalam pelaksanaan usaha jasa konstruksi itu sendiri.

Hal ini juga mengingat terdapat asas keseimbangan dalam pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang menyatakan bahwa

penyelenggaraan jasa konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin

terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya25.

Digariskan dalam ketentuan ini bahwa pengguna usaha jasa konstruksi wajib

memerhatikan ketentuan dalam asas ini. Artinya, pandemi COVID-19 yang

memberatkan pelaku usaha jasa konstruksi untuk memenuhi targer penyelesaian suatu

proyek sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama haruslah menjadi perhatian

serius pengguna usaha jasa konstruksi.

Dalam pelaksanaan usaha jasa konstruksi pun ditekankan pentingnya asas

proporsionalitas, yaitu asas yang menekankan proses negosiasi kontrak antara pengguna

jasa konstruksi dengan penyedia jasa mengenai akibat hukum serta pelaksanaan

pekerjaan setelah terjadinya keadaan force majeure, dalam negoisasi tersebut jika

tercapai kesepakatan dan terhadap pekerjaan masih dimungkinkan untuk dilaksanakan,

maka kontrak dilanjutkan atau dihentikan sementara (ditunda),

25 Penjelasan Pasal 2 huruf E Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Page 67: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

58

kemudian kesepakatan tersebut dituangkan dalam perubahan kontrak / addendum, jika

pelaksanaannya tidak mungkin dilanjutkan kontrak akan dihentikan26.

Berdasarkan asas proporsionalitas tersebut, segala kerugian akibat force majeure

bisa jadi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada penyedia jasa dan apa

yang telah dikerjakan penyedia jasa dibayar oleh pengguna jasa. Dengan demikian

klausula force majeure dalam kontrak jasa konstruksi pengguna jasa menjamin

pelaksanaan hak dan mendistribusikan kewajiban penyedia jasa secara proporsional.

Asas-asas tersebut merupakan asas-asas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

yang merupakan bagian dari implementasi teori hermeneutika hukum dalam membacateks

suatu Undang-Undang.

C. Akibat Hukum Force Majeure Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

Terhadap Perjanjian Usaha Jasa Konstruksi

Perikatan pada usaha jasa konstruksi merupakan perikatan yang lahir karena

perjanjian. Perjanjian tersebut harus merujuk kepada syarat sah perjanjian yang terdapat

dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu harus ada kata sepakat

antara para pihak, para pihak harus cakap hukum, terdapat objek tertentu yang

diperjanjikan, dan klausula halal atau isi perjanjian tidak melanggar undang- undang,

kesusilaan, dan juga ketertiban umum. Pemenuhan empat syarat sah perjanjian ini

memberikan dampak kepada posisi perjanjian dalam usaha jasa konstruksi itu sendiri

dalam pandangan hukum, yaitu setara dengan undang-undang (pacta sunt servanda)27.

Posisi pacta sunt servanda inilah yang mengharuskan seseorang melaksanakan

perjanjian dengan iktikad baik. R. Subekti dan Wirjono Prodjodikoro menyebut iktikad

baik sebagai suatu kejujuran untuk melaksanakan kontrak yang terbagi atas dua hal,

yaitu kejujuran pada saat berlakunya hubungan hukum dan kejujuran pada saat

pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam suatu hubungan hukum28.Posisi

iktikad baik ini juga yang menentukan apakah seseorang benar

26Herman Brahmana Bismar Nasution, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force Majeure Dalam

Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, (USU Law Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), Vol. 3,

No. 2, Agustus 2015, h. 84. 27Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 2012), h. 60.

28Wijono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), h. 102-107.

Page 68: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

59

melakukan wanprestasi atau tidak, termasuk dalam hal menentukan apakah suatu

kondisi dapat dikatakan force majeure atau tidak.

Akibat hukum yang diberikan pun berbeda. Apabila suatu kondisi dinyatakan

sebagai wanprestasi, maka seseorang akan diberikan teguran berupa somasi dan

berlanjut ke persidangan perdata di pengadilan negeri, sedangkan apabila suatu kondisi

tidak terpenuhinya prestasi akibat force majeure, maka pihak yang tidak melaksanakan

prestasi tidak dapat digugat ke pengadilan. Dengan demikian, dalam hal terjadinya

keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalamperjanjian timbal

balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap

gugur/terhapus.

Salim H.S mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu debitur tidak

perlu membayar ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1244 KUHPerdata,

kemudian beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara, dan

kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari

kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi29. Ketiga akibat tersebut lebih lanjut

dibedakan menjadi dua macam, yaitu akibat keadaan memaksa absolut yang terdapat

pada akibat hukum dalam butir a dan c, dan akibat hukum keadaan memaksarelatif, yaitu

akibat hukum yang terdapat pada butir b.

Akibat hukum dari force majeure juga disampaikan oleh Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan yang mengatakan bahwa akibat hukum dari keadaan memaksa harus dibedakan

dari sifatnya yang sementara atau tetap. Dalam hal keadaan memaksa sementara, akibat

hukum tidak terpenuhinya prestasi hanya mempunyai daya menangguhkan untuk

sementara waktu dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali jika faktor yang

menjadikan suatu kondisi keadaan memaksa itu sudah tidak ada lagi, sedangkan akibat

hukum bagi force majeure yang tetap secara otomatis akanmengakhiri untuk selamanya

kontrak tersebut30. Konsekuensi dari perikatan yang batal ialah pemulihan kembali

dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan jika perikatan itu

sudah dilaksanakan, tetapi jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya untuk

29Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001), h.184-

185. 30Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A, (Jogjakarta: Seksi

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), h.22.

Page 69: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

60

melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan, pengadilan berdasarkan

kebijaksanaannya boleh memperkenankannya memperoleh semua atau sebagian biaya

dari pihak lainnya, atau menahan uang yang sudah dibayar. Dalam konteks penerapan

force majeure dalam usaha jasa konstruksi akibat pandemi COVID-19 ini, merupakan

suatu bentuk implementasi teori hukum responsif. Dalam teori hukum responsif hukum

ditempatkan sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi

sosial. Nonet melalui tipe hukum res- ponsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat

final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang

memuat pan-dangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara

mencapai tujuan. Sifat responsif dapatdiartikan sebagai melayani kebutuhan dan ke-

pentingan sosial yang dialami danditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat.

Sifat responsif mengandung arti

suatu komitmen kepaa hukum didalam perspektif konsumen.

Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah pergeseran penekanan

dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, serta pentingnya unsur kerakyatan baik

sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya. Hukum responsif berorientasi

pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum

responsif, tatanan hukum dinegosiasi-kan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau

dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah men-cari nilai- nilai tersirat yang terdapat

dalam peratu-ran dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan

ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku

dan tidak fleksibel31.

Phillip Nonet dan Selznick lewat hukum responsif menempatkan hukum sebagai

sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan

sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untukmenerima

perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Bahkan

menurut Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan program dari sosiological

jurisprudencedan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut, pada intinya

31 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society Transtition: Toward Responsive Law, Dalam

Satya Arinanto, Politik Hukum 2, (Kumpulan Makalah Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana FH UI, Jakarta, 2001), h. 15.

Page 70: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

61

menyerukan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme,

perluasan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum. Hukum

responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi.

Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidaksaja

dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaantujuan

(the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-

akibat yang timbuldari bekerjanya hukum itu.

Tipe hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam

penekananya pada peranan tujuan di dalam hukum. Pembuatan hukum dan penerapan

hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingya merupakan akibat

dari tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Dilihat dari sisi ini, aturan- aturan

hukum kehilangan sedikit dari sifat keketatannya. Aturan-aturan ini sekarang dilihat

sebagai cara-cara khusus untuk mencapai tujuan yang lebih umum.Bagi tatanan hukum

responsif hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari

sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan

fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi

sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan

berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.

Berdasarkan penjabaran teori hukum responsif tersebut, maka hukum harus

merespon akibat-akibat yang ditimbulkan penerapan konsep force majeure dalam sektor

usaha jasa konstruksu. Sesuai bentuk force majeurenya yang bersifat relatif dansubjektif,

maka akibat hukum force majeure dalam usaha jasa konstruksi bersifat sementara. Sifat

sementara tersebut hanya menunda pelaksanaan kontrak atau perjanjian selama pandemi

COVID-19 masih menyebar di masyarakat atau selama pemerintah belum mampu

menangani penyebaran pandemi COVID-19 ini. Pada asasnya perikatan itu tetap ada dan

yang lenyap hanyalah daya kerjanya. Penekanan perikatan tetap ada penting pada

keadaan memaksa yang bersifat sementara pandemi COVID-19 ini. Perikatan itu

kembali mempunyai daya kerja jika keadaan memaksa itu berhenti.

Seperti dalam kasus pengerjaan Proyek Pembangunan /Peningkatan Jalan

Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat yang dikerjakan

Page 71: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

62

oleh perusahaan konstruksi bernama PT. Aneka Sukses Reksa Graha, PT. Aneka

Sukses Reksa Graha mengajukan Permohonan Perpanjangan Waktu Penyelesaian

Pekerjaan Selama 50 hari kepada Kuasa Pengguna Anggaran. Dalam surat

permohonannya menyebutkan kendala yang dihadapi dalam mengerjakan Proyek

Pembangunan /Peningkatan Jalan Poros Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten

Muna Barat, yakni penghentian pengoperasian Kapal Tongkang yang dilakukan oleh

Pemerintah Daerah setempat yang merupakan dampak dari COVID-19.

Menanggapi hal tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Barat

melakukan justifikasi teknik pekerjaan, berdasar Berita Acara Hasil Evaluasi

Peninjauan Lapangan Nomor: 004.b/ADENDUM/PUPR-BM/IX/2020 memberikan

kesimpulan bahwa proyek tidak mungkin selesai tepat waktu dan ditemukan salah satu

hambatan pengerjaan proyek dikarenakan pemberlakuan PSBB oleh Pemerintah

Daerah. Oleh karnanya Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang memberikan

legitimasi penambahan waktu 50 hari penyelesaian pekerjaan konstruksi dari PT.

Aneka Sukses Reksa Graha berdasarkan Surat Penetapan Penambahan Waktu

Penyelesaian Pekerjaan Nomor: 004.c/ADENDUM/PUPR- BM/X/2020.

Melihat akibat hukum ini Proyek Pembangunan /Peningkatan Jalan Poros

Waturempe – Tiworo Jalur II Kabupaten Muna Barat masih tetap ada dan berjalan,

namun karena situasi pandemi COVID-19 yang mengurangi daya kerja PT. Aneka

Sukses Reksa Graha yang menjadikan penyelesaian tidak sesuai pada waktu yang

ditentukan, kasus ini masuk pada kategori force majeure relatif karena sempat ada

penundaan pekerjaan karena adanya beberpa kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi

Tenggara mengeluarkan Himbauan Nomor 443/4724 tentang PeningkatanPelaksanaan

Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan Penularan Corona Virus Disease – 19

(COVID-19) dan Surat Edaran Nomor 443/1436 tentang Perpanjangan Penerapan

Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dengan Menjalankan Tugas Kedinasan Dengan

Bekerja Di Rumah/Tempat Tinggalnya/Work From Home (WFH) Di Lingkungan

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini juga disusul dengan dikeluarkannya

Instruksi Walikota Kendari Nomor 443.1/907/2020 tentang Pengawasan Wilayah

Page 72: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

63

Perbatasan Kota Kendari yang meminta masyarakat tidak meninggalkan wilayah kota

Kendari32.

Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah

debitur atau pihak penyedia jasa konstruksi tidak dapat mengemukakan adanya keadaan

memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi), dan berdasarkan jabatan hakim tidak

dapat menolak gugatan yang didasarkan kepada keadaan memaksadimana penyedia jasa

konstruksi memikul beban dan harus membuktikan adanya keadaan memaksa.

Akibat dari adanya force majeure selanjutnya adalah penentuan mengenai pihak

yang menanggung resiko dari adanya peristiwa force majeure tersebut. Dalam Pasal

1237 KUHPerdata dinyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan

suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut

menjadi tanggungan pihak debitur. Dan jika terjadi force majeure atas kontrak, maka

resikonya ditanggung oleh pihak penerima prestasi. Apabila pihak debitur lalai dalam

memberikan prestasi, maka sejak kelalaiannya tersebut menjadi resiko pihak debitur

untuk menanggung resiko33.

Berdasarkan ketentuan ini, maka yang menjadi pihak penanggung resiko force

majeure dalam usaha jasa konstruksi adalah pihak penyedia jasa konstruksi karena

walaupun tidak ada unsur kesalahan dari penyedia jasa konstruksi, kewajiban memenuhi

prestasi tetap tidak hilang sifatnya. Dalam hal ini, pengguna jasa tidak menanggung

resiko dan tidak menanggung kerugian atas peristiwa itu, kecuali ada kesepakatan lain

antara para pihak dalam perjanjian.

Berdasarkan doktrin para ahli hukum, karena walaupun tidak ada kesalahan dari

penyedia jasa, penyedia jasa tetap menanggung beban kompensasi. Pemberian beban

kompensasi akibat force majeure di masa pandemi COVID-19 ini harus dinilai

berdasarkan kasuistik, yaitu harus menilai berdasarkan objektifikasi keadaan usaha jasa

konstruksi itu sendiri.

Pada dasarnya setiap pelaku usaha jasa konstruksi yang terdampak COVID-19

32https://www.mnctrijaya.com/news/detail/35868/covid-19-meningkat-di-sultra-gubernur-keluarkan- himbauan diakses pada tanggal 5 Maret 2021, pukul 20.18 WITA.

33 Riza Fibriani, Kebijakan Hukum Pembatalan Kontrak Dalam Keadaan Force Majeure Pandemi Covid 19

Di Indonesia, (Humani, Universitas Semarang), Vol. 10, No.2, November 2020, h. 211.

Page 73: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

64

dapat melakukan renegosiasi kontrak34. Renegosiasi kontrak dilakukan untuk

membicarakan segala hal yang dapat diperbaharui dalam pelaksanaan kerja sama suatu

bisnis tertentu. Dalam keadaan pandemi COVID-19 ini peninjauan ulang oleh para pihak

yang melakukan kontrak menjadi penting untuk dilaksanakan agar para pihak tetap dapat

melaksanakan kewajibannya tanpa harus melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janji)

dengan mengubah klausula-klausula yang ada dalam kontrak bisnis tersebut.

Dalam kasus pembangunan jalan poros Waturempe-Tiworo Jalur II Kabupaten

Muna Barat yang dikerjakan oleh PT. Aneka Sukses Reksa Graha tertundanya

penyelesaian proyek akibat penyebaran COVID-19 yang seharusnya bulan oktober 2020

sesuai kontrak, menyebabkan terjadinya renegosiasi kontrak antara Dinas Pekerjaan

Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Muna Barat dengan PT. Aneka Sukses Reksa

Graha. Renegosiasi ini dilakukan berdasarkan Pasal 37 point 9 Kontrak Nomor:

014/KTRK/DISPUPR-BM/2020 yang menghasilkan keputusan perpanjangan waktu

penyelesaian proyek sesuai dengan kemampuan penyedia jasa konstruksi. Selain itu,

terdapat juga pemberian kompensasi dalam penerapan force majeure pada usaha jasa

konstruksi. Dalam hal penghentian sementara dilakukan tidakboleh melepaskan hak dan

kewajiban penyedia jasa konstruksi terhadap kompensasi biaya upah tenaga kerja

konstruksi, subkontraktor, produsen dan pemasok yang terlibat. Artinya, upah tenaga

kerja konstruksi tetap harus dibayarkan.

Berdasarkan hal ini dapat kita lihat bahwa pemerintah telah merespon dengan

cepat dalam memperhitungkan dampak pandemi COVID-19 bagi kerugian-kerugian

usaha jasa konstruksi. Sesuai dengan teori hukum responsif yang hadir dalam masa

transisi, maka hadirnya aturan-aturan hukum yang mewadahi pemberlakuan force

majeure dan akibatnya ini adalah bentuk implementasi dari masa transisi kebiasaan

hukum masyarakat yang normal menjadi newnormal.

34 Suhandi Cahaya, Pandangan Hakim Terhadap Keadaan Memaksa, (Jurnal Hukum dan

Pembangunan), Vol. 42, No. 4 2012, h. 7.

Page 74: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian mengenai penerapan force majeure dalam

usaha jasa konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 ini, peneliti

menemukan dua kesimpulan berdasarkan rumusan masalah yang telah peneliti

buat, yaitu :

1. Force majeure dalam usaha jasa konstruksi bisa diterapkan sesuai dengan

klasifikasi tertentu, yaitu force majeure relatif, subjektif, temporer, khusus dan

eksklusif. Hal ini didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Jasa Konstruksi, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun

2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease

2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional, dan Instruksi Menteri Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol

Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

2. Akibat hukum force majeure dalam usaha jasa konstruksi adalah penundaan

pelaksanaan perjanjian yang membawa akibat hukum selanjutnya, yaitu

renegosiasi kontrak dan pemberian kompensasi sesuai dengan akibat hukum yang

didasarkan pada Lampiran 1 Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-

19 dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

B. Rekomendasi

Berdasarkan analisa yang dilakukan peneliti, maka dapat dilihat bahwa

permasalahan penting terkait penerapan force majeure dalam usaha jasa

konstruksi yang terdampak pandemi COVID-19 adalah masalah multiinterpretasi

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Berdasarkan hal ini, peneliti merekomendasikan :

65

Page 75: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

65

66

1. Pemerintah perlu merevisi Pasal 47 (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2017 tentang Jasa Konstruksi tepatnya mengenai ketentuan keadaan memaksa.

Revisi tersebut dilakukan dengan menambahkan contoh keadaan memaksa, seperti

bencana alam, bencana non alam, kerusuhan sosial dan politik agar tidak

menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.

2. Pelaku usaha jasa konstruksi perlu mengajukan permohonan penundaan

penyelesaian proyek kepada pengguna usaha jasa konstruksi, sekaligus

permohonan renegosiasi kontrak. Hal ini penting dilakukan sebagai bentuk

iktikad baik pelaku usaha dalam menjalankan perjanjian dan mencegah

terjadinya kesalahpahaman dari para pihak.

Page 76: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

66

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Adonara, Firman Floranta, Aspek-aspek Hukum Perikatan, Bandung: CV MandarMaju,

2014.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001.

Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 2012.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak

Komersial, Yogyakarta: Laks Bang Mediatama, 2008).

HS, Salim, Pengantar Hukum PerdataTertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan

Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1975.

, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran & Penerbit Binacipta, 2019.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Ed.Revisi, Jakarta: Kencana

Prenadamedia, 2005.

, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2010.

Meliala, Djaja S, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Bandung: Nuansa Aulia, 2014.

Meliala, A. Qirom Syamsudin, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta

Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty, 2010.

67

Page 77: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

Miru, Ahmadi, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, Jakarta:

Rajawali Pers Raja Grafindo Persada, 2016.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta: Citra Aditya, 1990.

Noviana, Nova, Force Majeure Dalam Perjanjian (Studi Kasus di PT. Bosowa

Resources), Makassar : Universitas Alauddin, 2016.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.

Rostow, Eugene B, Is Law Dead?, New York: Simon and Schuster, 1971.

Selznick, Phillipe Nonet, Phiip, Lawand Society in Transition : Toward Tanggapanive

Law, London: Harper and Row Publisher, 1978.

Soemadipradja, Rahmat S.S, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat-

Syarat Pembatalan Perjanjian Yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force

Majeure), Jakarta, Nasional Legal Reform Program, 2010.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A,

Jogjakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

1980.

Setiawan, R, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 2007.

Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah

Hukum, Jakarta: Prenamedia Group, 2018.

Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 2007.

68

Page 78: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2010.

Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha,

Bandung: Pustaka Sutra, 2008.

Tanya, Bernadrd L, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing,

2013.

Prodjodikoro, Wijono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2011.

Jurnal

Arini, Annisa Dian, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeur Dalam Suatu

Kontrak Bisnis, Supremasi Hukum, Universitas Bengkulu, Vol. 9 No 1, Juni 2020.

Cahaya, Suhandi, Pandangan Hakim Terhadap Keadaan Memaksa, Jurnal Hukum dan

Pembangunan, Vol. 42, No. 4, 2012.

Fibriani, Riza, Kebijakan Hukum Pembatalan Kontrak Dalam Keadaan Force Majeure

Pandemi Covid 19 Di Indonesia, Humani, Universitas Semarang, Vol. 10, No.2,

November 2020.

Fitri, Wardatul, Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona

Virus Disease 2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan,

Supremasi Hukum, Universitas Alauddin Makassar, Vol. 9 No. 1, Juni 2020.

Isradjuningtias, Agri Chairunisa, Force Majeure Dalam Hukum Kontrak Indonesia,

Veritas Et Justitia, Universitas Parahyangan, Vol. 1, No. 1 2015.

Kusmiati, N, Undue Influence Sebagai Faktor Penyebab Cacat Kehendak diluar

Kuhperdata, dalam Upaya Mengisi Kekosongan Hukum, (Jurnal ilmu Hukum

Litigasi), Vo. 17, No. 1 2016.

Page 79: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

Nasution, Herman Brahmana Bismar, Suhaidi, Mahmul Siregar, Eskalasi dan Force

Majeure Dalam Perundang-Undangan Jasa Konstruksi, USU Law Jurnal, Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 3, No. 2, Agustus 2015

Rasuh, Daryl John, Kajian Hukum Keadaan Memaksa Menurut Pasal 1244 Dan Pasal

1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Lex Privatum, Vol. IV, No. 2,

2016.

Romlah, Siti, COVID-19 dan Dampaknya Terhadap Buruh di Indonesia, (‘Adalah Bulet6i6n

Hukum dan Keadilan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), Vol. 4

No. 1, Juni 2020.

Yuliana, Corona Virus Disease (Covid-19); Sebuah tinjauan literature, Wellnes And

Healthy Megazine, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Vol. 2, No. 1,

Februari 2020.

Makalah

Rahardjo, Satjipto, “Hukum Progressif (Penjelasan Suatu Gagasan)”, Alumni

Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2004.

Sanusi, Kus Rizkianto, Kanti Rahayu, Hukum Yang Responsif Terhadap Revolusi

Industri 4.0 Dalam Perspektif Pancasila, Prosiding Seminar Nasional, 2019.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam

Penyebaran Corona Virus Disease 2019(COVID-19) sebagai Bencana Nasional

69

Page 80: FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA …

70

Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/IN/M/2020

tentang Protokol Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam Penyelenggaraan

Jasa Konstruksi

Media Internet

https://www.antaranews.com/berita/1435408/kadin-sebut-jasa-konstruksi-jatim-

terhenti-akibat-pandemi-covid-19

https://kabar24.bisnis.com/read/20200415/15/1227419/pandemi-covid-19-

bukan-force-majeure-simak-penjelasan-pakar-hukum

https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-

dalam- hukum-perdata