Analisis Pengaturan Mekanisme Penyelesaian Bank Gagal ...
Transcript of Analisis Pengaturan Mekanisme Penyelesaian Bank Gagal ...
Analisis Pengaturan Mekanisme Penyelesaian Bank Gagal Melalui Bank Perantara (Bridge Bank)
Anastasia Jessica Maureen, Yunus Husein, Aad Rusyad Nurdin
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Pd. Cina, Beji, Kota Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Bank Perantara adalah salah satu mekanisme penanganan Bank yang mengalami kesulitan permodalan. Seperti di Amerika Serikat, Bank Perantara berfungsi untuk menjembatani tenggang waktu antara kegagalan suatu Bank dengan ketika otoritas resolusi berhasil melaksanakan pengambil-alihan Bank Gagal tersebut kepada pihak ketiga. Pada masa ini, Bank Perantara melanjutkan kegiatan usaha Bank Gagal guna menjaga rasa kepercayaan masyarakat. Bank Perantara bersifat sementara dan harus segera dibeli atau diambil-alih oleh pihak ketiga. Di Indonesia, mekanisme ini merupakan kewenangan baru Lembaga Penjamin Simpanan yang baru diatur pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Untuk itu, skripsi ini membahas mengenai perbedaan pengaturan Bank Perantara di Indonesia dengan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Peraturan Perbankan, serta perbandingan pengaturannya dengan Amerika Serikat. Bentuk penelitian skrispi ini bersifat yuridis normatif yang menghasilkan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian ini menemukan beberapa perbedaan pengaturan Bank Perantara dengan ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Peraturan Perbankan dalam hal jumlah pemilik dan/atau pemegang saham, ketentuan modal awal yang mengesampingkan ketentuan modal Bank Umum, materi rencana bisnis Bank Perantara yang lebih spesifik, prosedur Uji Kemampuan dan Kepatutan Pihak Utama yang dipersingkat, dan ketentuan pengakhiran Bank Perantara yang lebih jelas. Pengaturan Bank Perantara di Amerika Serikat jauh lebih jelas dan tegas disertai dengan beragam kasus praktik, sedangkan di Indonesia masih sangat minim dan belum memiliki peraturan teknis dan peraturan pelaksana. Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk melakukan penyesuaian pengaturan Bank Perantara dengan iklim hukum dan perekonomian di Indonesia.
Kata Kunci: Mekanisme Penanganan Bank Gagal; Bank Perantara; Bank Sistemik dan krisis sistemik; bail-in; Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC)
Analysis on Regulation of Failed Banks Resolution Mechanism through Bridge Bank
Abstract
Bridge Bank is one of mechamisms to resolve Banks’ insolvency problem. Similar to that of the United States, Bridge bank is established to bridge the gap between the failure of a bank and the time when the resolution authority can implement a satisfactory acquisition by a third party. During this time, bridge bank maintains the continuation of failed bank’s services to maintain public and customer’s trust. It has limited time and must be purchased or assumed by the third party as soon as possible. In Indonesia, this mechanism is newly introduced by Law Number 9 Year 2016 on Prevention and Resolution of Financial Crisis System, whch expands Indoneisa Deposit Insurance Corporation authority to also become resolution authority. Therefore, this thesis analyzes the differences of regulation of Bridge Bank in Indonesia with Company Law and Banking Regulations and compares it with Bridge Bank Regulations in the United States. The research uses the normative juridical approach with a descriptive typology. This research discovers that Bridge Bank regulation in Indonesia has some different provisions with Company’s Law and Banking Regulations in term of paid-up capital that waives Commercial Banks provision, its owners/shareholders, more specific Bridge Bank’s business plan substance, simple and quick fit and proper test procedure, and clear conditions of Bridge Bank’s termination. Brige Bank regulation in the United States is far clearer and assertive with many cases, while Indonesia has not had technical
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
and implementative policies. In conclusion, there is an urgency to adjust Bridge Bank’s regulation with Indonesian legal and economic condition.
Keywords: Failed Banks’ Resolution Mechanisms; Bridge Bank; bail-in; systemic bank; Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC)
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Lembaga keuangan perbankan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara.1
Hal ini disebabkan karena kegiatan utama dari bank adalah menghimpun dan menyalurkan
dana dari dan ke masyarakat di samping penyediaan jasa keuangan lainnya.2 Untuk
mewujudkan fungsi utama bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat
sebagaimana diungkapkan dalam pasal 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (”UU
Perbankan”), bank sebagai institusi memiliki beragam kegiatan usaha sebagaimana diatur
dalam pasal 6 dan 7 UU Perbankan. Dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut, bank
tentu memiliki resiko.3 Risiko yang mana dapat menimbulkan kerugian bagi bank dan
mempengaruhi kesehatan perekonomian apabila tidak segera terdeteksi dan dilakukan
penanggulangan. Untuk itu, bank harus mengerti dan mengenal resiko-resiko yang mungkin
timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya.4
Tidak adanya penanggulangan yang cepat dan tepat terhadap resiko-resiko ini dapat
mengakibatkan suatu bank mengalami permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas. Suatu
Bank Bermasalah yang tidak dapat mengatasi kesulitan yang dialaminya sehingga tidak dapat
meningkatkan tingkat kesehatan bank disebut sebagai Bank Gagal. Yunus Husein
menegaskan bahwa dengan terjadinya krisis perbankan, dapat membuka kemungkinan besar
terjadinya krisis multidimensi, di mana perekonomian Indonesia akan mengalami krisis juga.
Krisis perbankan sendiri terjadi apabila tidak adanya mekanisme resolusi bank bermasalah
1 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, ed. 2, ct. 8, (Jakarta: Prendamedia Group, 2014),
hlm. 7. 2 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, ed.1, cet.2, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2010), hlm. 72. 3 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, hlm. 9. 4 Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II
Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2008), hlm. 21.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
yang cepat dan tepat, maka biaya recovery perekonomian akan menjadi lebih besar, bahkan
lebih besar daripada biaya untuk menyelamatkan bank gagal tersebut.5
Oleh karena itu pada tanggal 15 April 2016, diundangkan Undang-undang Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”)
yang merupakan undang-undang pertama didunia yang mengatur mengenai mekanisme
penanganan krisis sistemik dan bank gagal dalam 1 (satu) dokumen terpadu.6 Undang-undang
ini memperkenalkan mekanisme Bank Perantara sebagai salah satu mekanisme penanganan
Bank Gagal baik Bank Sistemik dan Bank Lain yang Tidak Sistemik.7 Sedangkan di Amerika
Serikat, pendirian Bank Perantara atau Bridge Bank sebagai salah satu mekanisme resolusi
bank gagal telah diatur sejak tahun 1987 melalui Competitive Equality Banking Act of 1987
(“CEBA”) dan telah dibentuk sebanyak 32 kali oleh Federal Deposit Insurance Corporation
(“FDIC”).8 Berdasarkan laporan berkala dari FDIC, pendirian bridge bank merupakan
mekanisme penanganan krisis dengan biaya yang paling efektif.9
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimanakah perbedaan akan ketentuan mengenai Bank Perantara di Indonesia
dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Krisis Sistem Keuangan dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-undang
Perseroan Terbatas dan Peraturan Perbankan?
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pengaturan Bank Perantara di Indonesia
dibandingkan dengan pengaturan di Amerika Serikat?
C. Tujuan Penelitian
1.Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran secara komprehensif mengenai
perbandingan pengaturan terkait mekanisme resolusi Bank Perantara di Indonesia
dengan Amerika Serikat.
2.Tujuan Khsusus
5 Hukumonline, “Perlunya Aturan Baku Soal Dampak Sistemik”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524c095376018/perlunya-aturan-baku-soal-dampak-sistemik, diunduh pada 4 Agustus 2016.
6Berdasarkan wawancara penulis dengan Mr. Harry Alexander, Direktur Hukum 1 Divisi Regulasi LPS pada 1 November 2016.
7Indonesia, Undang-undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 9 Tahun 2016. LN No. 70 Tahun 2016. TLN No. 5872, Psl. 22 ayat (1).
8 Federal Deposit Insurance Corporation/ FDIC, FDIC Resolutions Handbook, diunduh dari https://www.fdic.gov/bank/historical/managing/history1-06.pdf. Hlm. 171. 9Ibid, hlm 177-178.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Penelitian ini bertujuan untuk:
a.Menjelaskan mengenai perbedaan ketentuan terkait pendiran Bank Perantara di
Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Krisis Sistem Keuangan dibandingkan dengan ketentuan dalam
Undang-undang Perseroan Terbatas dan Peraturan Perbankan
b.Menjelaskan mengenai perbandingan mekanisme Bank Perantara di Indonesia
dengan pengaturan di Amerika Serikat
Tinjauan Teoritis
Bank memiliki fungsi utama sebagai pengimpun dan penyalur dana masyarakat
sebagaimana diatur secara tegas pada pasal 3 Undang-undang Perbankan dan pada dasarnya
memiliki 3 peran penting yaitu sebagai financial intermediary, sebagai payment system dan
sebagai monetary policy10. Pentingnya kesehatan lembaga keuangan, khususnya perbankan,
dalam penciptaan sistem keuangan yang sehat mempunyai beberapa alasan antara lain11:
1. Keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat yang
menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berpotensi merugikan
deposan dan kreditur bank;
2. Penyebaran kerugian diantara bank-bank sangat cepat melalui contagion effect
sehingga berpotensi menimbulkan masalah
3. Proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang
tidak sedikit.
4. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai lembaga intermediasi
akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan (financial distress)
5. Ketidakstabilan sektor keuangan akan berdampak pada kondisi makroekonomi,
khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter
Berdasarkan peran, fungsi, dan kegiatan usaha bank yang mendukung kegiatan
perdagangan dan perekonomian mengakibatkan industry perbankan rentan terhadap resiko-
10 Rivai, Veithzal, dan Idroes, Bank and Financial Institution Management: Conventional And Sharia
System, hlm. 109. 11 Anwar Nasution, ”Masalah-masalah Sistem keuangan dan Perbankan Indonesia”, Disampaikan dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli 2003 di Denpasar, hlm. 4-5.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
resiko ekonomi khususnya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional,
risiko reputasi, risiko hukum, risko stratejik, dan risiko kepatuhan.12
Risiko-risiko ini harus segera diidentifikasi, diukur, dipantau, ditanggulangi, dan
dikendalikan agar tidak menyebabkan kesulitan Bank yang dapat berujung kepada kegagalan
Bank. Apabila tidak segera ditangani, maka status bank tersebut akan menjadi Bank
Bermasalah, yaitu Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam bentuk kesulitan
likuiditas dan/atau kesulitan solvabilitas yang membahayakan kelangsungan usahanya.13
Kesulitan likuiditas adalah kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank yang
disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana
keluar (mismatch) yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negative.14
Permasalahan Solvabilitas adalah kesulitan permodalan yang dialami Bank sehingga tidak
memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang ditetapkan oleh OJK.15
Apabila Bank Bermasalah ini tidak segera diberikan perhatian khusus dan dilakukan
penyehatan, maka akan berujung menjadi Bank Gagal. Bank Gagal adalah Bank yang
mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan
tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia.16 Sebuah bank akan dikatakan menjadi Bank
Gagal apabila telah melampaui Point of Non-Viability (PoNV) dan akan menjadi kewenangan
LPS dalam kedudukan sebagai otoritas resolusi.
Bank-bank yang sudah membayakan sistem perbankan, maka harus keluar dari sistem
perbankan (exit policy17). Otoritas Jasa Keuangan, secara atributif, diberikan kewenangan oleh
Undang-undang,18 untuk mencabut izin usaha bank tersebut. Berdasarkan amanat pasal 37B
Undang-undang Perbankan yang diwujudkan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan, dalam hal langkah-langkah penyelamatan sebagaimana
diatur dalam pasal 37 ayat (1) UU Perbankan tidak berhasil menyelamatkan Bank Sistemik
tersebut, maka LPS dapat melakukan tindakan penyelamatan dengan mekanisme Penyertaan
Modal Sementara dengan atau tanpa bantuan pemegang saham. Kemudian terdapat tambahan
12 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum, POJK Nomor 18 /POJK.03/2016, LN No. 53 Tahun 2016, TLN No. 5861, psl 4 ayat (1). 13Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum, PBI
No. 10/31/PBI/2008, LN No. 178 Tahun 2008, TLN NO. 4926, psl 1 angka (2) 14Ibid., Psl 1 angka (5). 15Ibid.,psl 1 angka (6). 16Ibid.,psl 1 angka (3) 17 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan pencucian Uang, Merger. Likuidasi, dan Kepailitan,
Editor: Ade Hairul Rachman, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 137. 18 Berdasarkan pasal 9 huruf h dan pasal 69 huruf b Undang-undnag No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
jasa Keuangan.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
berdasarkan pasal 22 UU PPKSK yaitu melalui mekanisme Bank Perantara, atau purchase
and assumption.
Dalam mekanisme Bank Perantara dan P&A (yang berlaku baik terhadap Bank
Sistemik maupun Bank Tidak Sistemik), terhadap Bank Gagal tersebut akan dicabut izin
usahanya. Sebagai konsekuensi dicabutnya izin usaha suatu bank, maka tamatlah riwayat
bank tersebut, dan secara yuridis bank tersebut tidak dapat hidup kembali.19
UU PPKSK juga mengutamakan prinsip bail-in dalam menyelamatkan bank
bermasalah dan bank gagal serta memerintahkan kepada OJK bersama BI untuk menetapkan
terlebih dahulu bank-bank mana saja yang merupakan Bank Sistemik dan yang tidak agar
tidak akan ada lagi keragu-raguan. Pasal 1 angka (5) Undang-undang ini mendefinisikan Bank
Sistemik sebagai Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau
kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain
dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa
keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan
atau gagal.
Bank-bank yang telah ditetapkan sebagai Bank Sistemik wajib memenuhi ketentuan
mengenai kewjiban pemenuhan modal minimum termasuk CCB dan Capital Surcharge dan
rasio kecukupan likuiditas20 serta menyusun rencana aksi (recovery plan) yang disetujui oleh
OJK.21 Rencana aksi ini harus segera dilaksanakan dalam hal Bank Sistemik tersebut
mengalami kesulitan.22 Rencana aksi tersebut paling sedikit harus memuat kewajiban
pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain untuk menambah modal Bank dan mengubah
jenis utang tertentu menjadi modal Bank23 atau disebut juga sebagai kewajiban bail-in.
Sehingga jelas Undang-undang PPKSK sangat mengutamakan ketentuan bail-in dibandingkan
bail-out dalam mengatasi bank bermasalah.
Berdasarkan pasal 21 ayat (2) Undang-undang PPKSK,24 ketika bank ditetapkan OJK
sebagai Bank Dalam Penanganan Intensif, OJK akan memberitahukan LPS untuk segera
mempersiapkan penaganan permasalahan solvabilitas bank sistemik termasuk memastikan
19 Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan pencucian Uang, Merger. Likuidasi, dan Kepailitann, hlm.
138. 20 Rasio kecukupan likuiditas ditentukan dalam Pojk Nomor 42 /Pojk.03/2015 Tentang Kewajiban
Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) Bagi Bank Umum, di mana LCR yaitu perbandingan antara High Quality Asset dengan Cash Flow Keluar harus senantiasa 100%.
21UU No. 9 Tahun 2016, pasal 18 ayat (1). 22Ibid., pasal 19 ayat (1). 23 Ibid., pasal 18 ayat (2). 24Pasal ini berbunyi: “Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan
untuk melakukan persiapan penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik “
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
pelaksanaan recovery plan yang dilaksanakan oleh bank tersebut. Pasal ini menjadikan dasar
bagi LPS untuk melakukan early intervention terhadap Bank Dalam Pengawasan Intensif.25
Di sini, LPS melakukan persiapan awal untuk melakukan mekanisme resolusi purchase and
assumption (P&A), atau Bank Perantara, atau OBA dengan melakukan due diligence aset dan
kewajiban bank tersebut mana yang tergolong baik (disebut juga sebagai good bank) yang
nantinya akan dialihkan kepada bank perantara atau institusi pembeli (dalam mekanisme
P&A).26
Dalam hal kondisi Bank memburuk, pasal 21 ayat (3) undang-undang PPKSK,27
memberikan kewenangan kepada LPS untuk meningkatkan intensitas early intervention
terhadap bank bermasalah yang telah ditetapkan OJK sebagai Bank Dalam Pengawasan
Khusus berupa peningkatan intensitas persiapan resolusi bank sistemik bermasalah tersebut.
Pada tahap ini, bentuk intervensi LPS berupa penjajakan atau pendekatan kepada calon-calon
pembeli bank tersebut (dalam mekanisme P&A) atau menyusun short list bidder bagi calon
pembeli bank perantara.28
Penetapan langkah penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik yang mengalami
masalah solvabilitas tak teratasi29 yang dimaksud adalah penanganan oleh LPS30 dengan
cara:31
a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik
kepada Bank penerima/ purchase and assumption;
b. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik
kepada Bank Perantara; atau
c. melakukan penanganan Bank sesuai dengan Undang-Undang mengenai
Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu Penanaman Modal Sementara (PMS).
25Berdasarkan wawancara penulis dengan Pak Harry Alexander Kepala Divisi Regulasi I Lembaga
Penjamin Simpanan pada 1 November 2016. 26Ibid. Dalam international best practice, jangka waktu Due diligence ini minimal 90 hari. 27Pasal ini berunyi: “Dalam hal Bank Sistemik kondisinya memburuk dan ditetapkan sebagai Bank
dalam pengawasan khusus, Otoritas Jasa Keuangan meminta Lembaga Penjamin Simpanan meningkatkan intensitas persiapan penanganan Bank Sistemik “
28 Berdasarkan wawancara penulis dengan Pak Harry Alexander Kepala Divisi Regulasi I Lembaga Penjamin Simpanan pada 1 November 2016.
29 Berdasarkan penjelasan pasal 21 ayat (5) UU PPKSK, permasalahan solvabilitas tidak dapat diatasi apabila kondisi Bank semakin memburuk atau batas waktu Bank dalam pengawasan khusus telah berakhir. Jangka waktu Bank Dalam Pengawasan Khusus adalah 3 bulan berdasarkan pasal 15 PBI No. 15/2/PBI/2013 dan telah menempuh upaya penanganan sebagaimana diatur pada pasal 21 UU PPKSK.
30Hal ini sejalan dengan fungsi LPS sebagai badan hukum yang independen, akutabel, dan transparan yang memiliki fungsi untuk melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Berdasarkan pasal 5 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tntang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana terakhir kali diubah dengan UU No. 7 Tahun 2009.
31 Indonesia, Undang-undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 9 Tahun 2016, LN No 70 Tahun 2016 TLN No 5872, pasal 22 ayat (1).
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Gambar 1: Mekanisme CoCos dan Bail-in32
Untuk melakukan perbandingan mengenai Bank Perantara di Indonesia dengan Bridge
Bank di Amerika Serikat, dipergunakan teori Lawrence M. Friedmann yang menyebutkan
bahwa setiap sistem hukum mengandung tiga faktor yaitu structure, substance, dan legal
culture.33 Penulisan skripsi ini juga mencangkup perbandingan hukum atau comparative law,
tepatnya micro-comparison yaitu mendeskripsikan permasalahan hukum yang spesifik dan
bagaimana isu hukum itu diatasi dalam satu atau lebih sistem hukum.34
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membandingkan permasalahan hukum atau
aspek hukum yang spesifik antara sistem hukum di Indonesia dengan Amerika Serikat, yaitu
pengaturan (substance) terkait pendirian bank perantara sebagai bagian dari penanganan krisis
sistem keuangan. Oleh karena itu, metode micro-comparison yang akan digunakan. Di mana
penulis akan membandingkan persamaan dan perbedaan ketentuan Bank Perantara di antara
kedua sistem hukum tersebut.
Metode Penelitian
Bentuk Peneitian penelitian skripsi ini adalah yuridis nomatif dengan tipologi
penelitian deskriptif yang menggunakan jenis data sekunder baik yang bersifat public maupun
tidak serta didukung dengan wawancara kepada ahli.
Bahan hukum penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum
primer, hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan
adalah Undang-Undang Negara Repubik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
32 Hari Presetya, Mengupas Peran Penting LPS dalam Sistem Perbankan, Ed.1, Cet. 1, (Depok: Indie
Publishing, 2016), hlm. 180. 33 Lawrence M. Friedmann, “A History of American Law”, Simon and Schuster, ( New York, 1973),
hlm. 384-404. Dan New York: W.W Norton and Company, 1984 hlm. 5. 34Ibid.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (”UU Perbankan”,
Undang-undang Negara Repubik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Undang- undang Negara Repubik Indonesia Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah untuk terakhir
kalinya dengan Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang, Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Ototritas Jasa Keuangan, Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseeroan Terbatas, Peraturan-Peraturan Bank Indonesia, Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK), dan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan (PLPS). Bahan
hukum sekunder yang digunakan adalah buku, artikel, media massa, makalah, serta jurnal
hukum yang membahas tentang Bank Perantara, sedangkan bahan hukum tersier yang
digunakan adalah Black’s Law Dictionary dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Alat pengumpul data yang digunakan adalah studi dokumen/ kepustakaan yaitu buku-
buku, peraturan-peraturan yang terkait dengan pokok bahasan yang dapat peneliti peroleh
dengan mencarinya di Perpustakaan Universitas Indonesia, Pusat Dokumentasi Hukum, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan, literatur-literatur
mengenai hukum perbankan, literatur mengenai Stabilitas Sistem Keuangan, dan jurnal-jurnal
online yang tersedia di internet, yang diperkuat dengan wawancara kepada ahli yaitu pihak
OJK dan LPS.
Metode analisis data yang diterapkan adalah kualitatif dengan bentuk akhir dari
penelitian skrips ini adalah deskriptif analitis karena Penulis akan memaparkan informasi dan
analisis yang diperoleh kemudian memberikan saran mengenai pengaturan Bank Perantara/
Bridge Bank.
Hasil Penelitian
Berdasarkan pasal 1 angka 7 UU PPKSK, bank perantara adalah bank umum yang
didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk digunakan sebagai sarana resolusi
dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank yang
ditangani Lembaga Penjamin Simpanan, selanjutnya menjalankan kegiatan usaha
perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain. Federal Depository
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Insurance Corporation (FDIC)35 mendefinisikan bridge bank sebagai institusi yang didirikan
dalam rangka menjalankan operasional suatu bank gagal sampai ditemukannya pembeli yang
dapat melanjutkan operasional bank tersebut.36
Pengaturan Pendirian Bank Perantara di Indonesia tegasnya dapat ditemukan pada
Undang-undang No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penaganan Krisis Sistem
Keuangan (“ UU PPKSK”) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur tentang
Bank Umum selama belum dinyatakan secara tegas tidak berlaku bagi Bank Perantara. Di
Indonesia, mekanisme Bank Perantara diterapkan untuk menagani Bank-bank yang
mengalami kesulitan solvabilitas dan bahkan telah dinyatakan sebagai Bank Yang Tidak
Dapat Disehatkan/ Bank Gagal baik yang telah ditetapkan sebagai Bank Sistemik maupun
yang tidak pada kondisi keuangan normal maupun krisis. Ketentuan mekanisme resolusi Bank
Perantara bagi Bank Sistemik pada keadaan keuangan normal dalam UU PPKSK terbagi
menjadi:
a. Pasal 23 mengatur mengenai kewenangan LPS dalam pengalihan aset dan kewajiban
Bank Gagal kepada Bank Perantara
b. Pasal 24 mengatur mengenai operasional Bank Perantara
c. Pasal 25 mengatur mengenai pendirian dan perizinan Bank Perantara
d. Pasal 26 mengatur mengenai pengakhiran Bank Perantara
e. Pasal 27 dan 28 mengatur mengenai sumber pembiayaan pelaksanaan mekanisme
Bank Perantara
Sedangkan pasal 31 undang-undang PPKSK mengatur mengenai mekanisme Bank
Perantara pada Bank selain Bank Berdampak Sistemik pada kondisi keuangan normal yang
persis sama dengan ketentuan Bank Perantara untuk Bank Gagal yang merupakan bank
Sistemik. Penulis merasa ketentuan ini kurang tepat dikarenakan pada dasarnya bank-bank
selain Bank Sistemik tidak memiliki franchise value, aset, dan kompleksitas yang besar yang
merupakan salah satu faktor yang mendorong dipilihnya mekanisme resolusi Bank Perantara.
Di samping itu, terhadap Bank selain Bank Sistemik sudah terdapat mekanisme resolusi lain
yaitu penyertaan modal sementara/ PMS LPS/open bank assistance berdasarkan ketentuan
35FDIC adalah perusahaan/ agen independen pemerintah Amerika Serikat yang dibentuk berdasarkan
Glass-Steagall Act 1933/ Banking Act 1933 yang menjamin deposito simpanan nasabah di institusi perbankan dan simpanan konsumen pada lembaga keuangan bukan bank sebesar minimum $250,000, memonitori risiko-risiko simpanan nasabah, mambatasi pengaruh bank gagal terhadap sistem keuangan, menangani bank-bank gagal, dan melakukan perlindungan konsumen. (FDIC, The FDIC and the Banking Industry: Prespective and Outlook, https://www.fdic.gov/about/strategic/strategic/bankingindustry.html, diunduh pada 9 Agustus 2016.)
36 Indonesia, Undang-undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 9 Tahun 2016, LN No 70 Tahun 2016 TLN No 5872, pasal 1 angka (7).
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 jo. 7/2009 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan
Peraturan LPS terkait yang lebih lazim digunakan37.
Hal ini berbeda dengan ketentuan mengenai Bridge Bank di Amerika Serikat yang
secara eksplisit menyebutkan bahwa mekanisme bridge bank hanya digunakan terhadap
systemically important banks38 dan juga praktik-praktik di negara lain seperti Australia,
Brasil, Kanada, Jerman, Jepang, Meksiko, Swiss, Inggris yang menggunakan mekanisme
bridge bank apabila struktur Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas terlalu
kompleks dan/atau terdapat beberapa Bank Sistemik yang mengalami permasalahan
solvabilitas pada waktu bersamaan sehingga implementasi transaksi P&A akan membutuhkan
waktu yang lebih lama39. Pasal 37 mengatur mengenai mekanisme Bank Perantara pada
kondisi keuangan krisis.
Bagan 1 : Pengaturan Pendirian Bank Perantara
Di Amerika Serikat, mekanisme Bank Perantara/ Bridge Bank yang merupakan milik
dan kewenangaan dari Federal Deposit Insurance Corporation (“FDIC”) telah dikenal sejak
37Diatur dalam PLPS No 4/PLPS/2006 tentang Penyelesaian Bank Gagal yang Tidak Berdampak
Sistemik sebagaimana terakhir kali diubah dengan PLPS No. 3/PLPS/2011. 38Claire L. McGuire, Simple Tools to Assist in The Resolution of Troubled Banks, (United Stares: World
Bank), Hlm. 9. 39Kemenkeu, “Naskah Akademis Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan”, hlm. 58.
Pendirian Bank Perantara
Susunan Organ dan
Kepengurusan
Permodalan Kelayakkan Rencana Kerja
Keahlian di Bidang
Perbankan
Kepemilikkan
PBI 11/1/2009 jo. 13/27/2011 tentang Bank
Umum
POJK No. 5/POJK.03/ 2016 tentang Rencana Bisnis Bank dan UU
9/2016
PBI ttg GCG Bank Umum, PBI ttg FPT Bank Umum, SEOJK
No. 39/SEOJK.03/2016
Pasal 25 ayat (2) UU 9/2016
UU 9/2016 UU 40/2007 POJK 11/POJK.03/2016 ttg KPMM
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
tahun 1987 dalam Competitive Equality Banking Act (“CEBA”) dan telah diaplikasikan
sebanyak 10 kali40. Terdapat persamaan dan perbedaan mengenai ketentuan penggunaan
mekanisme ini dengan ketentuan yang dapat ditemukan di Indonesia.
Tabel 2: Matriks Perbandingan Ketentuan Pendirian Bank Perantara di Indonesia
dengan Bridge Bank di Amerika Serikat
Aspek Pembanding Indonesia Amerika Serikat
Pemilik Lembaga Penjamin Simpanan/ Indonesian Deposit Insurance Corporation
Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC)
Regulator Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia
Office of the Comptroller of Currency dan FDIC
Dasar Hukum Undang-undang No. 9 Tahun 2016, UU Perseroan Terbatas, PBI Bank Umum, POJK Kewajiban Pemenuham Modal Minimum Bank Umum, Undang- undang Perbankan, POJK tentang good corporate governance Bank Umum, PBI tentang Fit and Proper Test Bank Umum, POJK tentang Fit and Proper Test Pihak Utama Lembaga Keuangan, POJK tentang Rencana Bisnis Bank
Competitive Equality Banking Act, Financial Institutions Reform, Recovery, and Enforcement Act 1989 (FIRREA, Federal Deposit Insurance Corporation Improvement Act, Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act 2010
Digunakan untuk Seluruh Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas (SIB Bank maupun Bank Tidak Berdampak Sistemik) baik dalam keadaan normal maupun krisis
Secara tegas diperuntukkan untuk Systemically Important Bank meskipun dalam praktik pernah juga diaplikasikan untuk menyelamatkan bank tidak berdampak sistemik tetapi memiliki maslah kompleks karena terbentur larangan interstate acquisition
Jangka waktu Tidak secara tegas diatur, namun optimis secepatnya
Secara tegas diatur yaitu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun sebanyak maksimal 3 kali
Susunan Organisasi dan Kepengurusan
Direksi yang tidak boleh merangkap jabatan dan telah dipilih oleh LPS dan telah lulus tes Uji Kemampuan dan Kepatutan yang diselenggarakan OJK, Dewan Komisaris non-Independen (dapat dirangkap oleh anggota Dewan Komisioner LPS)
Board of Directors (min. 5 orang maks. 10 orang) ditunjuk oleh FDIC. Anggota Board of Directors dapat berasalah dari sektir swasta dan/atau staff senior FDIC. Salah satu dari Board of Directors akan ditunjuk menjadi CEO dan Presiden yang
40 Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), Resolution Handbook Chapter 6: Bridge Bank,
Desember 2014, hlm. 171.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
dan Independen (telah memenuhi persyaratan), Rapat Umum Pemegang Saham yang seluruhnya terdiri dari LPS.
Karyawan dapat diisi oleh karyawan dari Bank Gagal.
merupakan ketua pelaksana day-to-day operation dari Bridge Bank.
SDM dapat diisi berdasarkan management agreement dengan Bank Calon Pembeli atau FDIC akan menunjuk karyawannya atau pihak perbankan lainnya.
Permodalan Untuk dapat memperoleh izin prinsip, Bank Perantara wajib menyetor setidaknya 30% dari modal disetor yang paling tidak sebesar Rp 12.500.000,-
Untuk mendapat izin usaha, Bank Perantara harus memenuhi KPMM yaitu paling tidak memiliki CAR 8% dari ATMR (dapat lebih tinggi tergantung dengan KPMM dari Bank Gagal yang ditanganinya) dan menyetorkan penuh modal disetor (minimal Rp 12.500.000,-)
Bridge Bank dapat didirikan tanpa modal sekalipun dan segala pembatasan yang berhubungan dengan permodalan dikecualikan. FDIC wajib menyediakan biaya operasional dan likuiditas Bridge Bank
Keahlian Pengurus Anggota Dewan Komisaris dan Direksi wajib lulus uji Kemampuan dan Kepatutan yang dilakukan oleh OJK dengan ruang lingkup: integritas, kompetensi, dan reputasi kuangan
Board of Directors dan Officer/ Managers (terdiri dari executive directors dan non-executive directors) wajib dinyatakanlulus fit and proper test dengan ruang lingkup: integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan
Kelayakan Rencana Kerja
Memiliki rencana bisnis yang disampaikan kepada OJK, memiliki rencana tindak yang sekurang-kurangnya meliputi cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan sumber daya manusia, serta migrasi infrastruktur Bank Perantara.
Memiliki action plan yang disampaikan dan disetujui oleh OCC.
Pengalihan Aset dan Kewajiban
Terjadi setelah Bank Perantara disahkan menjadi badan hukum oleh Menteri Hukum dan HAM, namun masih belum memperoleh izin usaha dari OJK
Terjadi setelah Bridge Bank telah berdiri lengkap dengan izin usaha/charter dari OCC
Kegiatan Usaha Melanjutkan kegiatan usaha Bank Gagal yang ditanganinya dengan mengikuti ketentuan OJK dan BI
Melanjutkan kegiatan usaha Bank Gagal berdasarkan diskresi dari OCC
Pengakhiran Bank Perantara akan berkahir apabila terjadi salah satu dari:
a. Terdapat pihak lain yang membeli keseluruhan badan hukum Bank Perantara
b. Terdapat Assuming Bank
Bridge Bank akan berakhir apabila terjadi salah satu dari:
i. Peleburan, pengkonsolidasian, atau terjadinya akuisisi yang dilakukan oleh Bank
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
yang mengambil-alih asset dan kewajiban Bank Perantara, sehingga LPS akan membubarkan badan hukum Bank Perantara
lain (yang bukan bridge bank) terhadap bridge bank yang bersangkutan
ii. Seluruh atau sebagian besar saham bridge bank telah dibeli oleh entitas lain selain otoritas penjamin simpanan dan bridge bank lainnya
iii. Sebuah perusahaan holding atau bank lain yang tidak berstatus sebagai bridge bank telah mengambil alih seluruh atau sebagian besar deposit dan kewajiban dari bridge bank tersebut
iv. Penjualan saham bridge bank sebesar 80% atau lebih kepada institusi lain selain otoitas penjamin simpanan atau bridge bank
Pembahasan
Bank Perantara merupakan sebuah skema baru yang diamantkan kepada LPS dalam
Undang-undang PPKSK. Berdasarkan pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-undang PPKSK,
dalam rangka mempertahankan kesinambungan fungsi dan layanan Bank Sistemik terutama
yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik; aset dan kewajiban beserta kegiatan
operasional Bank Sistemik yang mengalami kesulitan solvabilitas berkelanjutan dapat
dialihkan oleh LPS kepada suatu bank umum baru yang sengaja didirikan dan dimiliki sendiri
oleh LPS untuk mengambil alih asset, kewajiban, dan operasional bank tersebut yang dikenal
juga sebagai Bank Perantara/ Bridge Bank. Bridge bank adalah bentuk kepemilikan sementara
Bank Sistemik yang mengalami permasalahan solvabilitas oleh LPS untuk dilakukan
restrukturisasi dan selanjutnya dijual kepada Bank atau pihak lain yang sehat.41
Fungsi dari Bank Perantara adalah untuk menerima pengalihan sebagian atau seluruh
aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik dan menjalankan aktivitas usaha Bank. Hal ini
bertujuan agar Bank Gagal tersebut tetap dapat memberikan pelayanan kepada seluruh
Nasabah Penyimpan dan masyarakat guna menghindari terjadinya Bank Run dan/atau Bank
Panic di mana seluruh Nasabah Penyimpan dalam waktu yang bersamaan menarik
41 Glenn Hoggarth, Jack Reidhill, and Peter J. N Sinclair, “On the Resolution of Banking Crises: Theory
and Evidence” dalam Bank of England Working Paper No. 229, Bank of England, 2004
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
simpanannya di Bank tersebut yang jelas akan semakin memperburuk keadaan. Bank Perntara
hanyalah sebuah mekanisme untuk menyelesaikan Bank Gagal sehingga bukanlah suatu
emtitas bisnis yang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bank Perantara juga
hanyalah memiliki waktu operasi yang sementara karena harus segera mungkin dialihkan
kepemilikkannyaa kepada pihak lain untuk mencegah distorsi pasar. Selain itu, mekanisme ini
juga memberikan waktu yang cukup bagi LPS dan calon investor untuk melakukan due
diligence akan Bank tersebut sebelum pemasarannya dan/atau perjanjian jual beli
difinalisasikan.
Pasal 25 Undang-undang PPKSK mengatur bahwa LPS sebagai pendiri dan pemegang
satu-satunya mendirikan Bank Perantara untuk menerima pengalihan sebagian atau seluruh
aset dan/atau kewajiban suatu Bank Sistemik dan menjalankan aktivitas usaha Bank tersebut.
Dalam kondisi tertentu, satu Bank Perantara dapat digunakan Lembaga Penjamin Simpanan
untuk menerima pengalihan aset dan kewajiban lebih dari satu Bank Sistemik42 atau LPS juga
dapat mendirikan satu Bank Perantara hanya untuk menangani satu Bank Gagal saja. Pasal ini
secara tegas mengecualikan pasal 7 ayat (1) UUPT yang mewajibkan PT didirikan oleh
minimal 2 subjek hukum. Pasal ini juga mengecualikan pasal 26 UU Perbankan mengenai
kemampuan Bank Umum untuk menjadi perusahaan publik dengan melakukan penawaran
perdana di bursa efek dan PBI NO. No.14/24/PBI/2012 tentang Single Presence Policy dalam
hal LPS mendirikan beberapa Bank Perantara dalam waktu yang bersamaan.
LPS terlebih dahulu harus sudah mempunyai sebuah entitas perbankan, lengkap
dengan perizinan dan pendukung operasional sebuah bank, namun belum beroperasi dan tidak
menangani debitur dan kreditur.43 Bank Perantara agar dapat beroperasi harus memiliki izin
prinsip dan izin usaha dari OJK44. Namun untuk dapat memperoleh izin prinsip, Bank
Perantara harus telah memenuhi ketentuan modal disetor sebagaimana diatur dalam undang-
undang mengenai perseroan terbatas45 yaitu paling tidak Rp 12.500.000,-46. Jumlah ini jauh
lebih kecil daripada modal disetor minimum yng harus dipenuhi oleh Bank Umum biasa yaitu
sebesar 3 Triliun rupiah.47
42 Indonesia, Undang-undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 9
Tahun 2016, LN No 70 Tahun 2016 TLN No 5872, penjelasan pasal 25 ayat (1). 43 Fauzi, “Tiga Jurus Hadapi Krisis Sistem Keuangan”, dalam Akuntan Indonesia. 44 Indonesia, Undang-undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 9
Tahun 2016, pasal 25 ayat (3). 45 Ibid, psl 25 ayat (4) huruf b. 46Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU 40/2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN 4756,
psl 32 ayat (1) dan 33 ayat (1). 47 Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum, PBI NO. No.11/1/PBI/2009
sebagaimana telah diubah dengan PBI No.13/27/PBI/2011, LN No. 147 Tahun 2011, TLN No. 5267, psl 2.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Selanjutnya Bank Perantara juga harus telah memiliki proyeksi neraca laba tugi, arus
kas bulanan dan struktur organisasi dan sumber daya manusia48 dan agar dapat memperoleh
izin usaha juga harus telah memenuhi ketentuan capital adequacy ratio bagi bank umum.49
Namun untuk dapat memenuhi persyaratan ini, tentunya Bank Perantara harus telah memiliki
asset dan kewajiban terlebuh dahulu. Aset dan kewajiban yang mana diperoleh dari perbuatan
hukum pengambil-alihan antara Bank Perantara dengan Bank Gagal yang ditanganinya
setelah perjanjian Pengambil-alihan ditandatangani50 dengan cara penyerahan tunduk terhadap
pasal 613 KUHPerdata berdasarkan jenis asset atau kewajibannya. Mengingat, hanyalah
subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam transaksi hukum pengalihan aset dan
kewajiban tersebut, maka Bank Perantara harus telah berbentuk badan hukum terlebih dahulu
meskipun belum memiliki izin prinsip dan izin usaha, yang ditandai dengan dikeluarkannya
Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait pengesahan badan hukum Bank Perantara
dan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara.51 Mengingat mendesaknya Bank Perantara
harus segera beroperasi maka sudah seharusnya diberikan kelonggaran-kelonggaran yang
disesuaikan dengan tujuan dan kegiatan Bank Perantara serta menjamin kemudahan
pelaksanaan tugas Bank Perantara sebgi mekanisme resolusi bank gagal.
Dalam hal terdapat Bank Sistemik bermasalah, LPS akan melakukan pemantauan
dengan mencari calon investor yang tertarik sambil mempersiapkan operasionalisasi Bridge
Bank yang ada dalam kendalinya. Pada saatnya, bank sistemik itu diambil alih dimana seluruh
operasionalnya berpindah ke Bridge Bank.52
Dari sisi neraca, kemudian akan dipisahkan sound asset dan unsound asset, serta
kewajiban yang dapat dialihkan dan yang tidak dapat dialihkan. Sound aset dan kewajiban
yang dapat dialihkan setelah divaluasi dengan metode fair value akan berpindah ke
neraca Bridge Bank dan Bridge Bank sendiri akan mendapat setoran modal dari LPS untuk
membiayai operasionalisasinya.53 Bank Perantara akan beroperasional secara konservatif. Di
mana tetap dapat menerima deposito dari nasabah, memberikan pinjaman dengan risiko
rendah kepada nasabah terpercaya dengan prinsip kehati-hatian yang lebih tinggi daripada
pada Bank Umum biasa, mengindahkan komitmen dari Bank Gagal terhadap perjanjian yang
48 Indonesia,, UU No. 9 Tahun 2016, pasal 25 ayat (4) huruf c. 49Ibid, paasal 25 ayat (5) huruf a. 50Ibid, psl 24 ayat (1) dan (2). 51 Meskipun masih belum dikatakan sebagai Bank Umum, melainkan sebagai shell company, yaitu
badan hukum perseroan terbatas yang masih belum menjalankan kegiatan usaha dan hanya memiliki asset yang kecil.
52 Fauzi, “Tiga Jurus Hadapi Krisis Sistem Keuangan”, dalam Akuntan Indonesia. 53Ibid.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
sudah dibuat sebelumnya, dan tetap memberikan pembiayaan terhadap proyek-proyek yang
belum selesai yang telah diambil-alih. Terhadap pemberian kredit, Bank Perantara tetap
tunduk terhadap ketentuan Batas Minimum Pemberian Kredit Bank Umum yang sudah ada
dan bahkan lebih ketat lagi.54
Setelah Bank Perantara sehat, maka akan dijual kepada pihak ketiga dengan recovery
rate optimal. Kemudian badan hukum Bank Perantara setelah seluruh asset dan kewajibannya
terjual akan dibubarkan oleh LPS.55 Berdasarkan pasal 26 UU PPKSK, pegakhiran Bank
Perantara hanya dapat melalui du acara yaitu terdapat pihak lain/ assuming institution yang
membeli keseluruhan badan hukum Bank Perantara sehingga status sebagai Bank Perantara
berakhir dan menjadi Bank Umum biasa; atau terdapat bank lain/assuming bank yang
mengambil-alih seluruh asset dan kewajiban Bank Perantara sehingga kemudian LPS akan
membubarkan badan hukum Bank Perantara.
Sementara unsound asset dan kewajiban yang tidak dapat dialihkan akan ditinggalkan
pada Bank Gagal yang selanjutnya dilikuidasi oleh tim likuidasi LPS berdasarkan UU LPS
dan Peraturan LPS terkait Likuidasi, yaitu dilelang dimana hasilnya untuk menutupi biaya
yang dikeluarkan LPS dan biaya-biaya kreditur yang tidak dapat dialihkan. Di mana
berdasarkan pasal 54 ayat (5) UU LPS, dalam hal seluruh asset bank telah habis dalam proses
likuidasi namun masih terdapat kewajiban bank, maka akan menjadi beban dari pemegang
saham yang terbukti menyebabkan bank tersebut mengalami kegagalan. Oleh karena itu,
berbeda dengan mekanisme open bank assistance, mekanisme Bank Perantara tidak akan
menimbulkan moral hazard karena pemegang saham Bank adalah pihak yang pertama kali
menanggung kerugian apabila hasil likuidasi Bank Gagal tidak cukup untuk membayar
kewajiban Bank Gagal tersebut.
Di Amerika Serikat Bridge Bank merupakan salah satu mekanisme penanganan bank
gagal di Amerika Serikat yang dilaksanakan oleh FDIC. , Bridge Bank didesain untuk
membantu penyelesaian bank-bank bermasalah yang besar dan kompleks/ yang termasuk ke
dalam kategori systemically important bank56 Kewenangan FDIC untuk mendirikan Bridge
Bank diberikan berdasarkan section 503 Competitive Equality Banking Act (“CEBA”) of
1987.57 Bridge Bank adalah:
54Berdasarkan wawancara penulis dengan Pak Sudarmaji, Direktur Hukum 1 OJK. 55 Indonesia, Undang-undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 9
Tahun 2016, LN No 70 Tahun 2016 TLN No 5872, penjelasan pasal 26. 56 Federal Deposit Insurance Corporation/ FDIC, FDIC Resolutions Handbook, diunduh dari
https://www.fdic.gov/bank/historical/managing/history1-06.pdf, pada 18 September 2016, Hlm. 172. 57Ibid, Hlm. 171.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
A temporary national bank chartered by the Office of the Comptroller of the Currency (OCC) and organized by the FDIC to take over and maintain banking services for the customers of a failed bank58.
Berdasarkan CEBA, Bridge Bank adalah bank nasional yang bersifat independen atau
bukanlah merupakan institusi/ lembaga pemerintahan (baik pemerintahan federal mapun
pemerintahan negara bagian).59 Status kepegawaian dari Direktur, Officer, karyawan, maupun
agen dari Bridge Bank bukanlah merupakan pegawai negeri sipil/ pegawai pemerintahan
sehingga tidak tunduk pada ketentuan mengenai pegawai pemerintahan (Title 5 United States
Code). Untuk dapat beroperasi, bridge bank akan memperoleh izin/charter dari Office of the
Comptroller of Currency (OCC) yang lengkap merupakan pengesahan sebagai subjek hukum,
preliminary conditional approval (izin prinsip), dan final approval (izin usaha).60
Article 4 huruf C CEBA dengan tegas menentukan jumlah Board of Directors dari
Bridge Bank yaitu paling sedikit 5 (lima) orang yang telah ditunjuk oleh Board of Directors
FDIC dan maksimal 10 (sepuluh) orang.61 BOD bertanggung jawab kepada pemegang saham,
otoritas pengawas dan pengatur, serta pemangku kepentingan lainnya untuk membuat
rencana bisnis, organisasi, kepemimpinan, dan terwujudnya nilai-nilai prisnipal bank serta
terwujudnya tata kelola yang baik dan memimalisir risiko.62 Berbeda dengan di Indonesia,
dalam struktur organisasi perbankan Amerika Serikat, BOD hanyalah berkewajiban untuk
menentukan arah jalanya perusahaan secara keseluruhan, tidak melakukan manajemen/
pengelolaan bank sehari-hari.63 Pengelolaan kegiatan operasi bank sehari-hari/ day-to-day
operation dilakukan oleh Management Officers perbankan yang diberikan kuasa oleh BOD.64
Namun ini tidak berarti BOD tidak bertanggung jawab akan pengelolaan perbankan karena
BOD lah yang memberikan instruksi kepengurusan kepada susunan Managemen. Strategi
yang dilaksanakan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian/ safe and sound manner dan
mematuhi ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BOD sendiri
dipimpin oleh seorang kepala yang independen.65
58Ibid. 59Federal Deposit Insurance Act (64 Stat. 873; 12 U.S.C. 1811 et seq.), Section 11 (12) art 7, No
Federal Status. 60OCC, Charters: Comptroller’s Licensing Manual, (Washngton DC, Februari 2009), hlm. 5. 61Federal Deposit Insurance Act (64 Stat. 873; 12 U.S.C. 1811 et seq.), Section 11 (19) (n) (2D)
Management. 62Office of the Comptroller of the Currency, The Director’s Book: Role of Directors of National Banks
and Federal Saving Associations, (Washington DC, Juli 2016), hlm. 11 63Ibid. 64Ibid. 65Ibid., hlm. 14
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Section 503. 6 CEBA menyatakan bahwa dalam pendirian Bridge Bank tidak ada
persyaratan kapital, bahwa Bridge Bank dapat berdiri dan beroperasi tanpa adanya modal
sekalipun. Segala pembatasan yang berhubungan dengan kapital seperti kegiatan usaha apa
saja yang dapat dijalankan oleh Bridge Bank yang pada bank umum lainnya dibatasi oleh
jumlah modal bank dikesampingkan. FDIC sebagai satu-satunya pemilik dan pemegang
saham dari bridge bank wajib menyediakan dana operasional apabila diperlukan. Berdasarkan
masukkan dari Board of Directors, FDIC dapat menerbitkan saham dari Bridge Bank dan
kemudian dipasarkan dengan jumlah, syarat, dan ketentuan yang ditentukan oleh FDIC.
Kesimpulan
Pengaturan Bank Perantara dapat ditemukan pada UU PPKSK. Untuk saat ini,
mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2016, pengaturan
pendirian Bank Perantara yang merupakan Bank Umum tunduk kepada Undang-undang No. 7
Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia
No.11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum sebagaimana terakhir kali diubah dengan PBI
No.13/27/PBI/2011, dan peraturan teknis lainnya yang berkaitan bagi bank umum. Beberapa
perbedaan pengaturan Bank Perantara dengan ketentuan UUPT dan peraturan perbankan:
i. Pasal 23 ayat (2) UU PPKSK: Satu-satunya pemilik dan pemegang saham Bank Perantara
adalah LPS agar memudahkan pengendalian, berbeda dengan PT pada umumnya yang
paling tidak dimiliki oleh 2 subjek hukum
ii. Modal disetor minimum Bank Perantara paling tidak sebesar Rp 12.500.000,-
iii. Rencana bisnis Bank Perantara secara khusus diatur pada pasal 25 ayat (5) huruf c UU
PPKSK harus meliputi cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan sumber
daya manusia, serta migrasi infrastruktur Bank Perantara. Namun setelah Bank Perantara
berdiri dan beroperasi maka harus mengikuti ketentuan yang diatur pada POJK No.
5/POJK.03/2016 tentang Rencana Bisnis Bank.
iv. Uji Kemampuan dan Kepatutan (FPT) Pihak Utama Bank Perantara diatur secara
khusus pada SEOJK No. 39/SEOJK.03/2016 di mana tidak dilakukan FPT bagi pemegang
saham pengendali Bank Perantara yang adalah LPS sendiri. Prosedur FPT Direksi dan
Dewan Komisaris Bank Perantara dipersingkat menjadi tidak perlu dilakukan tahapan
wawancara, cukup dilakukan penelitian administrative
v.Ketentuan pengakhiran Bank Perantara diatur pada pasal 26 UU PPKSK yang hanya
melalui dua opsi saja.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Perbedaan pengaturan Bank Perantara di Indonesia dan Amerika Serikat adalah pada
ketentuan permodalan, saat terjadinya pengalihan asset dan kewajiban dari Bank Gagal, dan
pengakhiran. Persamaan antara keduaanya dapat dittemukan pada prinsip, tujuan, otoritas
resolusi sebagai satu-satunya pemilik, dan kegiatan usaha Bank Perantara yang konservatif di
antara kedua negara tersebut yaitu sebagai mekanisme penanganan Bank Gagal yang didirikan tidak
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Saran
1. Kepada LPS sebaiknya mekanisme Bank Perantara hanya dipraktikkan dalam
mengatasi Bank Gagal yang memiliki franchise value yang besar dan/atau merupakan
Bank Sistemik.
2. Kepada pihak Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan perlu
berkoordinasi untuk mengeluarkan peraturan pelaksanaan terkait mekanisme Bank
Perantara yang harmonis dan dapat diimplementasikan secara jelas dan tegas, terutama
mengenai jangka waktu maksimal beroperasinya Bank Perantara dan kelonggaran-
kelonggaran persyaratan pendirian dan operasional Bank Perantara sehingga dapat
menjadi insentif digunakannya mekanisme ini. Misalnya, ketentuan tingkat bunga
terkait simpanan yang dialihkan kepada Bank Perantara, Batas Maksimum Pemberian
Kredit, ketentuan mengenai Produk dan Jasa yang dapat diberikan oleh Bank
Perantara, kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran, dan ketentuan
kehati-hatian lainnya.
3. Kepada peneliti selanjutnya, dapat dilakukan kajian lebih lanjut mengenai apakah
mekanisme Bank Perantara dapat juga digunakan untuk menyelamatkan Bank Gagal
yang berupa Bank Pengkreditan Rakyat serta bagaimana mekanisme penggunaannya.
Daftar Pustaka
I. Buku
Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Resolution Handbook, Desember 2014.
Friedmann, Lawrence M. “A History of American Law”, Simon and Schuster, New York, 1973. Dan New York: W.W Norton and Company, 1984.
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Cet. 8. Jakarta: Kencana Prenada, 2014.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Idroes, Ferry N. Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar
Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.
McGuire, Claire L. Simple Tools to Assist in The Resolution of Troubled Banks. United Stares: World Bank.
Office of the Comptroller of the Currency. The Director’s Book: Role of Directors of National Banks and Federal Saving Associations. Washington DC, Juli 2016.
________________________________________. Charters: Comptroller’s Licensing Manual. Washngton DC, Februari 2009.
Peter de Cruz. Comparative Law In A Changing World (2nd Ed., 1999). hlm 7 dan 227, diunduh dari https://comparelex.org/2014/03/31/the-scope-of-comparative-law/ pada 31 Agustus 2016.
Presetya, Hari. Mengupas Peran Penting LPS dalam Sistem Perbankan, Ed.1, Cet. 1. Depok: Indie Publishing, 2016.
Rivai, Veithzal. Andria Permata Veithzal, dan Ferry N. Idroes. Bank and Financial Institution Management: Conventional And Sharia System. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger. Likuidasi, dan
Kepailitan. Editor: Ade Hairul Rachman, Ed. 1, Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Soemitra, Andi. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Ed. 1. Cet. 2. Jakarta: Kencana
Prenadamedea Group, 2010.
II. Artikel/Jurnal/Thesis
Departemen Kementrian Keuangan. “RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Disetujui untuk Disahkan Menjadi Undang-undang” http://www.kemenkeu.go.id/SP/ruu-pencegahan-dan-penanganan-krisis-sistem-keuangan-disetujui-untuk-disahkan-menjadi-undang, diunduh pada 23 September 2016
Fauzi, Reza. “Tiga Jurus Hadapi Krisis Keuangan” dalam Akuntan Indonesia. (April-Juni 2016).
Federal Deposit Insurance Corporation. FDIC Resolutions Handbook, diunduh dari https://www.fdic.gov/bank/historical/managing/history1-06.pdf, pada 18 September 2016
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Hoggarth, Glenn. Jack Reidhill, and Peter J. N Sinclair. “On the Resolution of Banking Crises: Theory and Evidence”. Bank of England Working Paper No. 229, Bank of England, 2004.
J Bolzico, Y Mascaro and P Granata. “Practical Guidelines for Effective Bank Resolution”. World Bank Policy Research Working Paper no. 4389, World Bank, 2007.
Nasution, Anwar. ”Masalah-masalah Sistem keuangan dan Perbankan Indonesia”. Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli 2003 di Denpasar.
Nier dan Baumann dalam Bambang pramono, Januar Hafidz, Justina Adamanti, dkk.. “Dampak Kebijakan Countercylical Capital Buffer Terhadap Pertumbuhan Kredit di Indonesia”. Working Paper Bank Indonesia, WP/4/2015.
Reidhill , Jack. Lee Davidson, dan Elizabeth Williams. “The History of Bridge Banks in the United States” www.norges-bank.no, diunduh pada 4 September 2016.
III. Peraturan Perundang-undangan
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum, PBI NO. No.11/1/PBI/2009 sebagaimana telah diubah dengan PBI No.13/27/PBI/2011, LN No. 147 Tahun 2011, TLN No. 5267.
_______________, Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat, PBI
Nomor 8/1/PBI/2006, LN No. 1 Tahun 2006, TLN No 4595.
______________, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas
Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum, LN No. 178 Tahun 2008, TLN No 4926.
Indonesia. Undang-undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. UU No. 9 Tahun 2016. LN No 70 Tahun 2016 TLN No 5872.
_________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790.
________. Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007. LN No. 106 Tahun 2007. TLN 4756.
Kongres Amerika Serikat. Public Law 100-86-August, 10 1987 Section 503 article 2, Competitive Equality Banking Act, Statute 101
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017
Otoritas Jasa Keuangan. Surat Edaran OJK No. 39/SEOJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Bagi Calon Pemegang Saham Pengendali, Calon Anggota Direksi, Dan Calon Anggota Dewan Komisaris Bank
_______________________.Peraturan OJK tentang Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan, POJK NO. 27 /POJK.03/2016, LN No. 147 Tahun 2016, TLN 5098.
_______________________. POJK tentang Rencana Bisnis Bank. POJK NOMOR 5 /POJK.03/2016, LN No. 17 Tahun 2016, TLN 5841.
________________________. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. POJK Nomor 18/POJK.03/2016, LN No. 53
Tahun 2016. TLN No. 5861.
IV. Internet
Hukumonline. “Perlunya Aturan Baku Soal Dampak Sistemik”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524c095376018/perlunya-aturan-baku-
soal-dampak-sistemik, diunduh pada 4 Agustus 2016.
Analisis Pengaturan ..., Anastasia Jessica Maureen, FH UI, 2017