Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, PMA, PAD, Otonomi Daerah Terhadap PDRB DIY
-
Upload
ahmad-zakariya -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, PMA, PAD, Otonomi Daerah Terhadap PDRB DIY
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya suatu pemerintahan memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyatnya. Fokus utama pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut
adalah meningkatkan perekonomian yang diukur dengan besarnya pendapatan daerah.
Semakin besar pendapatan daerah maka pemerintah memiliki dana yang besar untuk
membiayai kegiatan pembangunan dan meningkatkan layanan kepada masyarakat. Keadaan
perekonomian juga sering menjadi titik acuan dalam menilai kinerja pemerintah yang
berkuasa di jamannya. Dengan demikian perekonomian merupakan hal yang sangat penting
bagi keberlangsungan suatu pemerintahan.
Pada masa sebelum pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut
sistem pemerintahan yang sentralistik. Pemerintah pusat memiliki peran yang dominan dalam
menentukan keputusan termasuk dalam hal perekonomian daerah. Sebagian besar
pembiayaan pembangunan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini menciptakan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan melahirkan ketimpangan
pembangunan antar daerah di indonesia. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut
pemerintah pusat menerapkan kebijakan baru dimana pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kebijakan itu dikenal dengan
desentralisasi fiskal.
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan suatu gebrakan yang dilakukan pemerintah
pusat di bidang keuangan pada masa otonomi daerah. Kebijakan ini ditetapkan sesuai dengan
UU No.22 dan No.25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Undang-undang
ini merefleksikan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah serta
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi sumberdaya
keuangan di daerahnya. Walaupun dasar hukum kebijakan ini dikeluarkan tahun 1999 akan
tetapi secara ril masa otonomi daerah dimulai dari tahun 2001.
Dengan dilaksanakanannya desentralisasi fiskal tidak berarti pemerintah daerah dapat
secara penuh lepas dari aturan pemerintah pusat. Daerah-daerah otonom masih berada dalam
1
satu kesatuan wilayah Republik Indonesia sehingga tetap mempunyai tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Tanggung jawab
tersebut tentu saja dibarengi dengan pembiayaan dan bantuan dari pemerintah pusat berupa
dana transfer.
Tujuan kebijakan otonomi daerah, seperti yang diharapkan masyarakatnya, adalah
untuk peningkatan kesejahteraan termasuk meningkatkan kemampuan ekonomi
masyarakatnya. Tanpa peningkatan kesejahteraan ekonomi, otonomi daerah tidaklah
memiliki arti bagi masyarakatnya.
Kesejahteraan masyarakat, termasuk di tingkat daerah, hanyalah dapat diperoleh
melalui pertumbuhan ekonomi. Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat
adalah besaran angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Otonomi daerah harusnya
dalam tahap implementasi memiliki pengaruh yang berarti terhadap jumlah seluruh nilai
tambah yang dihasilkan oleh penduduk dalam periode tertentu yang tercermin pada angka
PDRB. Bila hal ini dikritisi lebih lanjut, akan memunculkan pertanyaan yang diformulakan
sebagai seberapa besar pengaruh implementasi otonomi daerah terhadap PDRB di suatu
daerah otonom tertentu. Otonomi daerah yang melibatkan organisasi pemerintah daerah
diprediksi memiliki keterkaitan dengan PDRB di daerah otonom yang bersangkutan.
Sebagai organisasi, pemerintah daerah mempunyai pendapatan daerah guna
membiayai pengeluaran pemerintah (public expenditure). Pengeluaran pemerintah
dialokasikan untuk pembiayaan berbagai sektor kehidupan masyarakatnya termasuk
pembiayaan pembangunan infrastruktur. Konsekuensi logisnya, pengeluaran pemerintah
dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan
perekonomian daerah yang ditandai oleh besaran PDRB. Hal ini memunculkan pula
pertanyaan kritis, seberapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah khusus dibidang
infrastruktur terhadap PDRB.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh Pengeluaran Pembangunan terhadap Produk Domestik Regional
Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Bagaimana pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri terhadap Produk Domestik
Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
2
3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
4. Bagaimana pengaruh pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah terhadap Produk Domestik
Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran Pembangunan terhadap Produk Domestik
Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri terhadap Produk Domestik
Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Produk Domestik Regional
Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
1.4. Manfaat Penelitian
Memberikan kontribusi dan aplikasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat pada
umumnya dan kepada mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Brawijaya terkait seberapa besar pengaruh Pengeluaran Pembangunan, Penanaman Modal
Dalam Negeri, Pendapatan Asli Daerah, dan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah
terhadap Produk Domestik Regional Bruto pada tahun 1995-2006
3
. BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Konsep dan Pengertian Desentalisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan upaya pemerintah dalam rangka membentuk daerah
yang otonom dengan mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan. Pemerintah pusat
memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk mengelola
sumber-sumber keuangan daerahnya yang dapat digunakan dalam pembiayaan pembangunan
dan menyediakan layanan publik bagi masayarakatnya.
Pelimpahan kewenangan diikuti dengan pemberian stimulus fiskal terhadap aktivitas
perekonomian daerah yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah. Stimulus fiskal ini berupa pemberian subsidi/bantuan maupun pinjaman dari
pemerintah pusat yang berasal dari APBN. Pengertian desentralisasi fiskal ini dijelaskan
dalam UU No. 25 Tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah. (Irdhania, 2009).
Secara umum konsep desentralisasi dibagi menjadi desentralisasi politik (political
decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), dan
desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). Desentralisasi politik merupakan suatu bentuk
pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah menyangkut aspek pengambilan
keputusan. Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan kewenangan yang
dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber
keuangan untuk menyediakan layanan publik dalam berbagai tingkat pemerintahan.
Sedangkan desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah sekaligus hak menerima transfer dana
atau bantuan pemerintah pusat.
Seperti yang tercantum dalam UU No.32 dan No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah
(Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal
gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs)
dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan demikian, DAU digunakan untuk menutup
celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang
ada. (Hasugian, 2006).
Desentralisasi fiskal menjadi suatu hal yang sangat penting dalam masa otonomi
daerah karena dengan kewenangan yang diberikan maka pemerintah daerah dapat dengan
4
bebas menentukan kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Salah satu jalan yang sering dilakukan pemerintah daerah untuk mendongkrak pendapatannya
adalah dengan meningkatkan pajak dan menarik retribusi daerah. (Suparno, 2010). n dan
berbagai peraturan daerah. (Gozali, 2001).
2.2. Produk Domestik Regional Bruto
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan yang
berkesinambungan dari suatu kondisi perekonomian menuju keadaan yang lebih baik. Teori
pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor yang
menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai
faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan.
(Todaro et all, 2006).
Dalam penelitian ini, konsep pertumbuhan bukanlah gambaran ekonomi suatu daerah pada
satu waktu tetapi merupakan suatu proses berkesinambungan sehingga indikator yang
digunakan adalah PDRB perkapita sejak tahun 1993 hingga 2009.
Secara garis besar PDRB dikelompokkan menjadi beberapa sektor, yaitu:
1. Sektor primer yaitu sektor yang tidak mengolah bahan baku melainkan hanya
mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya, yaitu sektor
pertanian, pertambangan, dan penggalian.
2. Sektor sekunder yaitu sektor yang mengolah bahan baku baik yang berasal dari sektor
primer maupun sektor sekunder sendiri menjadi barang lain yang memiliki nilai ekonomis
yang lebih tinggi. Sektor ini mencakup sektor industri pengolahan, listrik, gas, air bersih, dan
sektor kontruksi.
3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yaitu sektor-sektor yang tidak memproduksi
secara fisik melainkan dalam bentuk jasa yaitu sektor perdagangan, hotel, restoran, sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan,
serta sektor jasa-jasa lainnya
2.3. Investasi
Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-
pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan - peralatan produksi dengan
tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian
yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan. Investasi
seringkali mengarah pada perubahan dalam keseseluruhan permintaan dan mempengaruhi
5
siklus bisnis, selain itu investasi mengarah kepada akumulasi modal yang bisa meningkatkan
output potensial negara dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang
(Samuelson, 2003: 137).
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanaman modal
atau perusahaan untuk membeli barang-barang produksi, untuk menambah kemampuan
memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian yang berasal dari investasi
dalam negeri maupun inestasi asing. Penigkatan investasi akan mendorong peningkatan
volume produksi yang selanjutnya akan meningkatkan kesempatan kerja yang produktif
sehingga akan meningkatkan pendapatan perkapita sekaligus bisa meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Investasi pada hakekatnya merupakan awal kegiatan pembangunan ekonomi.
Investasi dapat dilakukan oleh swasta, pemerintah atau kerjasama antara pemerintah dan
swasta. Investasi merupakan suatu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan untuk jangka panjang dapat menaikan standar
hidup masyarkatnya (Mankiw, 2003: 62).
Investasi merupakan komponen utama dalam menggerakan roda perekonomian suatu
negara. Secara teori peningkatan investasi akan mendorong volume perdagangan dan volume
produksi yang selanjutnya akan memperluas kesempatan kerja yang produktif dan berarti
akan meningkatkan pendapatan perkapita sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Penggairahan iklim nvestasi di Indonesia dijamin keberadaannya sejak
dikeluarkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)
dan Undang-Undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Kedua undang-undang ini kemudian dilengkapi dan disempurnakan, dimana UU No. 1 Tahun
1967 tentang PMA disempurnakan dengan UU No. 11 Tahun 1970 dan UU No. 6 Tahun
1968 tentang PMDN disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1970.
2.4. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Dalam Undang-Undang no 6 tahun 1968 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1970
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), disebutkan terlebih dulu definisi modal
dalam negeri pada pasal 1, yaitu sebagai berikut :
a. Undang-undang ini dengan “modal dalam negeri” adalah : bagian dari kekayaan
masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki Negara
maupun swasta asing yang berdomosili di Indonesia yang disisihkan atau disediakan guna
6
menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan
pasal 2 UU No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal asing.
b. Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut dalam ayat 1 pasal ini dapat
terdiri atas perorangan dan/ atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang
berlaku di Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan bahwa, Yang dimaksud dalam
Undang-Undang ini dengan "Penanaman Modal Dalam Negeri" ialah penggunaan
daripada kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik secara langsung atau tidak langsung
untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuanketentuan Undang-Undang
ini.
2.5. Pengaruh PMDN terhadap PDRB
Konsep produk domestik bruto adalah salah satu konsep perhitungan akan pendapatan
nasional yang paling penting dibandingkan dengan konsep perhitungan pendapatan naional
lainnya. Produk domestik regional bruto dapat diartikan sebagai nilai barang-barang dan jasa-
jasa yang diproduksian di dalam suatu daerah dalam satu tahun tertentu (Sadono Sukirno,
2004). Ada 3 pendekatan dalam menghitung produk domestik regional bruto suatu daerah,
yaitu dengan pendekatan pendapatan, pendekatan pengeluaran dan pendekatan produksi.
Produk domestik regional dapat menggambarkan pendapatan nasional daerah.
Sadono Sukirno (2004) dalam bukunya menyatakan bahwa dengan tingkat pendapatan
nasional yang tinggi akan mempengaruhi pendapatan masyarakat, dana selanjutnya
pendapatan masyarakat yang tinggi tersebut akan memperbesar permintaan terhadapa barang-
barang dan jasa-jasa. Maka keuntungan perusahaan akan bertambah tinggi dan ini akan
mendorong dilakukannya lebih banyak investasi.
7
Dalam gambar dapat dilihat bahwa pada pendapatan nasional sebesar Y0, besarnya
investasi pada I0. Adanya kenaikan pada besarnya pendapatan nasional pada Y1 maka
investasi akan naik menjadi I1. Adanya kenaikan dalam pendapatan nasional yang dapat
diwakilkan dengan produk domestik bruto riil akan menaikan jumlah investasi baik asing
maupun dalam negeri langsung ke dalam perekonomian.
Besarnya produk domestik regional bruto suatu daerah tiap tahun merupakan salah
satu indikator pengukuran ekonomi mengenai besarnya pasar yang dalam jangka panjang
akan lebih besar menarik investasi asing langsung (Kesit Bambang, 2003).
2.6. Pendapatan Asli Daerah
Menurut Mardiasmo (2002:132), ―pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang
diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil
pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah.
Menurut Guritno Mangkosubroto (1997) menyatakan bahwa pada umumnya
penerimaan pemerintah diperlukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Pada
umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara penerimaan pajak dan bukan pajak.
Penerimaan bukan pajak, misalnya adalah penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman
pemerintah, baik pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun pinjaman pemerintah yang
berasal dari luar negeri.
8
Salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah yakni untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya sehingga pelayanan
publik yang dilakukan dapat menjadi lebih efisien dan efektif (Kuncoro, 2006: 521). Dengan
demikian setiap daerah memiliki peluang yang lebih besar untuk melaksanakan pembangunan
sesuai dengan potensi yang dimiliki dan memilih sektor ekonomi unggulan berdasarkan
potensi sumber daya daerah masing.
Desentralisasi berarti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah
tingkat atasnya kepada daerah (Kuncoro, 2006:497). Semakin tinggi PAD yang diperoleh
suatu daerah maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Brata
(2004) yang dikutip oleh Adi dan Harianto (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen
penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah yaitu PAD serta sumbangan dan bantuan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Tambunan (2006:36) bahwa pertumbuhan PAD
secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu.
Namun apabila eksploitasi PAD dilakukan secara berlebihan justru akan semakin membebani
masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara makro
(Mardiasmo, 2002:87).
Di dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 ditegaskan bahwasanya ―kebijakan
desentralisasi Daerah diarahkan untuk mencapai peningkatan pelayanan publik dan
pengembangan kreativitas Pemda, keselarasan hubungan antara Pusat dan Daerah serta
antar Daerah itu sendiri dalam kewenangan dan keuangan untuk menjamin peningkatan rasa
kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan serta penciptaan ruang yang lebih luas bagi
kemandirian Daerah”. Sebagai konsekuensi dari pemberian otonomi yang luas maka
sumber-sumber keuangan telah banyak bergeser ke Daerah baik melalui perluasan basis pajak
(taxing power) maupun dana perimbangan. Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi fiskal
yang mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan: (1) kewenangan untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri yang dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan
tetap mendasarkan batas kewajaran. (2) didukung dengan perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah. Sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai di dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi Daerah, tentang kemandirian Daerah bukan hal yang baru. Secara
teoritis pengukuran kemandirian Daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
9
2.7. Pengeluaran Pemerintah
Di Indonesia sendiri pengeluaran pemerintah dapat digolongkan kedalamb eberapa
bentuk pengeluaran pembiayaan, diantaranya ada pengeluaran rutin danpengeluaran
pembangunan. Berikut ini akan diterangkan pengertian dari duapengeluaran pemerintah
terssebut.
2.7.1. Pengeluaran Rutin
Pengeluaran rutin adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemerintahuntuk
pemeliharaan dan penyelenggaran roda pemerintahan sehari-hari, meliputibelanja pegawai,
belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi Daerah dansubsidi Harga Barang),
Angsuran dan Bunga Utang Pemerintah serta jumlah pengeluaran yang lainnya. Anggaran
Belanja Rutin memegang peranan pentinguntuk menunjang kelancaran mekanisme sistem
pemerintah serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas, yang pada gilirannya akan
tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi
tersebut antara lain di upayakan melalui pinjaman alokasi pengeluaran rutin, pengendaliandan
kordinasi pelaksanaan pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen/nondepartemen dan
pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap.
2.7.2. Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran Pembangunan merupakan pengeluaran yang bersifatmenambah modal
masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan non fisik. Pengeluaran pembangunan
ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu
disesuaikan dengan dana yang berhasil dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada
berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan.
Ada tiga pos utama pada sisi pengeluaran, dimana pertama pengeluaran pemerintah
untuk pembelian barang dan jasa, kedua pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai
serta pengeluaran pemerintah untuk pembayaran transfer. Pemerintah mampu mempengaruhi
tingkat pendapatan keseimbangan menurut dua cara terpisah. Pertama, pembelian pemerintah
atas barang dan jasa. Kedua, pajak dan transfer mempengaruhi hubungan antara output
dan pendapatan,dan pendapatan dispossible (pendapatan bersih yang siap untuk dikonsumsi
danditabung) yang didapat oleh sektor swasta.
Pembayaran transfer adalah pembayaran pemerintah kepada individu yangtidak
dipakai untuk menghasilkan barang dan jasa sebagai imbalannya.Pengeluaran pemerintah
berupa pembayaran subsidi atau bantuan langsungkepada berbagai golongan masyarakat.
Perubahan dari pengeluaran pemerintahdan pajak akan mempengaruhi tingkat pendapatan.
Hal ini menimbulkankemungkinan bahwa kebijakan fiskal dapat keadaan resesi, pajak harus
10
dikurangi atau pengeluaran di tingkatkan untuk menaikan output. Jika sedang berada
dalammasa makmur (booming) pajak seharusnya dinaikkan atau pengeluaranpemerintah
dikurangi.
2.8. Peranan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dalam RAPBD di Indonesia, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi dua
yaitu :
1. Pengeluaran pembangunan dimaksudkan sebagai pengeluaran yang bersifatmenambah
kapital (investasi) masyarakat dalam bentuk proyek-proyek prasarana dasar dan sarana fisik.
2. Pengeluaran rutin secara umum diarahkan untuk menunjang
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan meliputi belanja pegawai, bara
ng, perjalanan dinas, pemeliharaan, belanja rutin dan lain-lain seperti belanja pensiun dan
subsidi.
Pengeluaran pemerintah dapat dipandang sebagai pembelanjaan otonomi, karena
pendapatan nasional bukan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi keputusan
pemerintah untuk menentukan anggaran belanjanya. Faktor yang menentukan pengeluaran
pemerintah adalah 1) pajak yang diharapkanakan diterima, 2) pertimbangan-pertimbangan
politik; dan 3) persoalan-persoalan ekonomi yang sedang dihadapi (Sadono, 2000). Dalam
keadaan keseimbangan pada perekonomian tertutup, maka
Y = C + I + G. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.5)
Dimana :
C + I + G = C + S + T
atau
I + G = S + T. . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.6)
Apabila dimisalkan sistem pajak adalah tetap, maka pendapatan nasionaldapat
ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut :
Y = C + I + G
Y = a + b Yd + Io + Go
Y = a + b (Y – To) + Io + Go
Y – bY = a – bTo + Io + Go
Y (1-b) = a – bTo + Io + Go
Y = 1/(1-b) . (a – bTo + Io + Go )
11
Terjadinya perubahan pembelanjaan agregat, baik yang berasal
dari pengurangan pajak, kenaikan ekspor atau penurunan impor akan mampu mengakibatkan
perubahan keseimbangan dalam perekonomian dan perubahan dalam pendapatan nasional.
Apabila pertambahan pengeluaran pemerintah sebesar ∆G , maka kenaikan pendapatan
nasional sebesar :
Y1 = 1/(1 – b). (a – bTo + Io + Go + ∆G)
∆Y = Y1 – Yo = 1/(1-b). ∆G . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.7)
sedangkan multiplier (α) dari perubahan tersebut adalah sebesar :
α = ∆Y/∆G = 1 / (1-b) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.8)
Dengan demikian hal ini memberikan gambaran bahwa semakin meningkatnya
pendapatan daerah, karena peningkatan agregat demand akan mendorong kenaikan investasi
dan akhirnya akan menyebabkan kenaikan produksi.
Dalam model pertumbuhan endogen, di katakan bahwa hasil investasi justru akan
semakin tinggi bila produksi agregat di suatu negara semakin besar dengan mengasumsikan
bahwa investasi swasta dan publik (pemerintah) di bidang sumber daya atau modal manusia
dapat menciptakan ekonomi eksternal (eksternal positif) dan memacu peningkatan
produktivitas yang mampu mengimbangi kecenderungan alamiah penurunan skala hasil.
Meskipun tekhnologi tetap diakui memainkan peranan yang sangat penting, namun model
pertumbuhan endogen menyatakan bahwa faktor tekhnologi tersebut tidak perlu ditonjolkan
untuk menjelaskan proses terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Implikasi yang
menarik dari teori ini adalah mampu menjelaskan potensi keuntungan dariinvestasi
12
komplementer (complementary investment) dalam modal, atau sumber daya manusia, sarana
prasarana, infrastruktur atau kegiatan penelitian. Mengingat investasi komplementer akan
menghasilkan manfaat personal maupun sosial, maka pemerintah berpeluang untuk
memperbaiki efisiensi alokasi sumberdaya domestik dengan cara menyediakan berbagai
macam barang publik (sarana infrastruktur) atau aktif mendorong investasi swasta dalam
industri padat tekhnologi dimana sumber daya manusia diakumulasikan. Dengan demikian
model ini menganjurkan keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam pengelolaan investasi
baik langsung maupun tidak langsung.
2.9. Data yang digunakan
Berdasarkan data-data yang diperoleh, maka penulis menggabungkan data-data tersebut agar
mudah dibaca oleh aplikasi Eviews 7. Adapun hasil penggabungan datanya sebagai berikut:
Tabel 4.1
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pengeluaran
Pembangunan, Penanaman Modal Dalam Negeri, Pendapatan Asli Daerah, dan Dummy
Otonomi Daerah Tahun 1995-2006
Tahun Produk
Domestik
Regional Bruto
(Juta Rp)
Pengeluaran
Pembangunan
(Juta Rp)
Penanaman
Modal Dalam
Negeri (Miliar
Rp)
Pendapata Asli
Daerah (Juta
Rp)
Dummy
Otoda
1995 5.779.021 113.058 39 98.635 0
1996 6.582.101 119.222 45 107.955 0
1997 7.313.704 144.487 57 113.530 0
1998 10.012.564 155.432 60 115.621 0
1999 12.110.302 156.542 78 119.652 0
2000 13.480.599 153.379 119 123.871 0
2001 15.229.910 157.723 105 131.309 1
2002 17.524.441 186.505 43 142.050 1
2003 19.613.418 229.512 23 163.269 1
2004 22.023.880 235.652 77 212.682 1
2005 25.337.603 258.652 64 250.870 1
2006 29.417.349 314.587 89 258.564 1
13
2.10. Penelitian Terdahulu
Nanga (1991) melakukan penelitian pada Daerah Tingkat II Malang, Probolinggo dan
Trenggalek di Jawa Timur Hasil penelitian menyatakan bahwa kemampuan pemerintah
daerah dalam meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD) pada umumnya masih sangat
rendah dan ketergantungan bantuan dari pemerintah pusat masih tinggi. Variabel yang
berpegaruh terhadap derajat otonomi fiskal daerah adalah tingkat perkembangan ekonomi
daerah dan bantuan pemerintah pusat.
2.11. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori, penelitian terdahulu, dan data empirik mengenai variabel-
variabel terkait, hipotesis yang dapat disusun adalah:
1. Diduga terdapat hubungan positif dan signifikan antara Pengeluaran Pembangunan,
Penanaman Modal Dalam Negeri, Pendapatan Asli Daerah, dan Pelaksanaan Kebijakan
Otonomi Daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel.
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis variabel penelitian, yaitu variabel terikat
(dependent) dan variabel bebas (independent).
1. Variabel Terikat (Dependent Variabel)
Variabel dependent merupakan variable yang nilainya terikat atau dipengaruhi
oleh variabel independent (bebas). Dalam penelitian ini variabel dependent yang
digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto Provinsi DIY.
2. Variabel Independen (independent Variabel)
Variabel independent merupakan variabel yang bebas atau tidak terikat pada
variable lain. Variabe independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pengeluaran Pembangunan (X1), Penanaman Modal Dalam Negeri (X2), Pendapatan
Asli Daerah (X3), dan Dummy Otonomi Daerah (X4)
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data penelitian yang digunakan adalah data sekunder (time series) selama 12
tahun yaitu dari tahun 1995 sampai tahun 2006, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
Provinsi DIY. Secara rinci data yang dipergunakan :
1. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi DIY: menggunakan data tentang Produk
Domestik Regional Bruto Daerah Tingkat I/Ii Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 1995-2006 (Dalam Jutaan Rupiah).
2. Pengeluaran Pembangunan : menggunakan Data Pengeluaran Pembangunan Daerah
Tingkat I/Ii Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1995-2006 (Dalam Jutaan
Rupiah)
3. Penanaman Modal Dalam Negeri: menggunakan data tentang Realisasi Penanaman Modal
Dalam Negeri Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1995-2006 (dalam Milyar
Rupiah)
4. Pendapatan Asli Daerah: menggunakan Data Pendapatan Asli Daerah Tingkat I/Ii Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1995-2006 (Dalam Jutaan Rupiah)
15
Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah data yang bersifat
dokumenter, yaitu proses pengumpulan data dari data atau dokumen yang ada di lembaga-
lembaga pemerintahan seperti BPS dan sumber-sumber lain seperti media cetak, jurnal
ekonomi, dan media internet.
3.3. Metode analisis
Penelitian ini menggunakan analisis persamaan regresi dengan menggunakan metode
regresi kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan
software Eviews 7, sehingga menggunakan formula sebagai berikut:
Estimation Equation:=========================Y = C(1) + C(2)*X1 + C(3)*X2 + C(4)*X3
Atau dapat di formulasikan secara sederhana:
Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + εt
Keterangan :
β0 = intercept
β1 = koefisien X1
β2 = koefisien X2
β3 = koefisien X3
β4 = koefisien X4
Y = Produk Domestik Regional Bruto Provinsi DIY
X1 = Pengeluaran Pembangunan
X2 = Penanaman Modal Dalam Negeri
X3 = Pendapatan Asli Daerah
X4 = Dummy Otonomi Daerah
Dummy = 0 : Sebelum pelakasanaan Otonomi Daerah
Dummy = 1 : Setelah pelaksanaan Otonomi Daerah
εt = error terms
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Data
Pada bab ini akan membahas hasil pengujian model atau persamaan struktural
berdasarkan analisa secara statistik yang dilakukan dengan beberapa uji statistik untuk
mengetahui signifikansi variabel-variabel persamaan, meliputi uji F-statistik, uji t-statistik, uji
asumsi klasik dan penaksiran koefisien determinasi, sedangkan analisa secara ekonomi akan
dilakukan dengan melihat konsistensi masing-masing variabel terikat (independent variables)
terhadap variabel bebas (dependent variable), juga akan dijelaskan mengenai arti dari
parameter-parameter yang diperoleh dari hasil regresi yang meliputi kesesuaian arah
parameter yang diteliti dengan hipotesis-hipotesis yang telah ditetapkan berdasarkan teori-
teori ekonomi, termasuk arti dari nilai koefisien itu sendiri dan juga melihat berapa besar
pengaruh perubahan variabel-variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya.
Analisis data yang dilakukan yaitu analisis regresi berganda dengan menggunakan
bantuan program Eviews 7. Untuk mendapat estimasi yang terbaik, terlebih dahulu data
sekunder tersebut harus dilakukan pengujian asumsi klasik, yaitu: uji normalitas, uji
multikolineritas, uji heterokedastisitas, uji autokorelasi, dan uji linieritas.
4.2. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya masalah
multikolinieritas, heteroskedastisitas, autokorelasi, lineritas serta apakah data dalam
penelitian ini sudah berdistribusi secara normal atau belum, karena apabila terjadi
penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut maka uji t dan uji F yang dilakukan
sebelumnya tidak valid dan secara statistik dapat mengacaukan kesimpulan yang diperoleh.
4.2.1. Uji Normalitas
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel
dependen, variabel independen, atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak.
Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk melihat
17
kenormalan data pada data ini digunakan pengujian menggunakan eviws sebagaimana pada
Gambar 4.1 di bawah ini :
Gambar 4.1
0
1
2
3
4
-1999995 -999995 5 1000005
Series: ResidualsSample 1995 2006Observations 12
Mean 4.03e-09Median -42003.68Maximum 1162941.Minimum -1898898.Std. Dev. 940559.7Skewness -0.376536Kurtosis 2.435353
Jarque-Bera 0.442971Probability 0.801327
Hasil Uji Normalitas
Dasar pengambilan keputusan dalam mendeteksi normalitas yaitu dengan
membandingkan nilai Jarque-Bera dengan nilai 𝑋2 tabel dan keputusanya yaitu apabila nilai
Jarque-Berra > nilai X2 tabel (dengan α = 5 % ) atau probabilitasnya < 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan tidak berdistribusi normal dan sebaliknya, jika nilai
Jarque-Berra < nilai X2 tabel atau probabilitasnya > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data
yang digunakan berdistribusi normal.
Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 : Data berdistribusi normal
Ha : Data tidak berdistribusi normal
Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui bahwa nilai Jarque-Berra sebesar 0,442971
sedangkan nilai X2 tabel dengan df = 3 dan α = 0.05 adalah sebesar 7,82, jadi nilai Jarque-
Berra kurang dari nilai X2 tabel (0,442971 < 7,82 ) dan nilai probabilitasnya yaitu 0,801327 >
0,05, maka dapat disimpulkan H0 diterima bahwa data yang digunakan sudah berdistribusi
normal.
18
4.2.2. Uji Multikolineritas
Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana satu atau lebih variabel independent
terdapat korelasi atau hubungan yang kuat dengan variabel independent lainnya atau dengan
kata lain satu atau lebih variabel independent merupakan satu fungsi linear dari variabel
independent lainnya. Salah satu cara untuk menganalisis ada atau tidaknya pengaruh
multikolinearitas dalam penelitian ini dengan melihat nilai Correlation Matrix menggunakan
program Eviews 7. Suatu data dapat dikatakan terbebas dari gejala multikolinearitas jika nilai
correlation antar variabel independen lebih kecil sama dengan dari 0,7 (correlation ≤ 0,7)
Dari data yang diolah dengan menggunakan program Eviews 7, didapatkan hasil uji
Multikolinearitas seperti yang terlihat pada Tabel 4.1 dibawah ini
Tabel 4.2Uji Multikolinearitas (Correlation Matrix)
Berdasarkan Tabel 4.2 terlihat bahwa terdapat masalah multikoleniaritas antara
variabel Pengeluaran Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah dengan nilai korelasi
0.958383 dan variabel Pengeluaran Pembangunan dengan Otoda dengan nilai korelasi
0,767445 serta PAD dengan Otoda dengan nilai korelasi 0,741125. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ada masalah multikolinearitas antar variabel independen dalam model regresi ini.
Salah satu treatment untuk menghilangkan multikolinearitas adalah dengan menghilangkan
salah satu variabel bebas yang mempunyai kolinearitas tinggi yaitu Pendapatan Asli Daerah,
yang setelah itu diuji dengan menggunakan Uji Wald.
Intepretasi uji wald (Syofyan,2008):
Jika F-statistik signifikan (probabilita < 0,05) maka penghilangan variabel bebas
yang mengandung multikolinearitas akan merubah intepretasi dari persamaan
regresinya, sehingga penghilangan variabel tersebut tidak diperbolehkan.
Jika F-statistik tidak signifikan (probabilita > 0,05) maka penghilangan variabel yang
mengandung multikolinearitas tidak akan mengubah intepretasi hasil regresinya
sehingga penghilangan variabel tersebut diperbolehkan.
19
PP PMDN PAD OTODAPP 1.000000 0.116658 0.958383 0.767445
PMDN 0.116658 1.000000 0.165699 0.009238PAD 0.958383 0.165699 1.000000 0.741125
OTODA 0.767445 0.009238 0.741125 1.000000
Tabel 4.3
Uji Wald
Wald Test:Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic 0.638884 7 0.5432F-statistic 0.408173 (1, 7) 0.5432Chi-square 0.408173 1 0.5229
Null Hypothesis: C(3)=0Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(3) 14.41316 22.55990
Restrictions are linear in coefficients.
Hasil pengujian wald test terlihat nilai F-statistik tidak signifikan (0,5432) < 0,05
maka menghilangkan variabel yang mengandung multikoleniaritas dalam penelitian ini
Pendapatan Asli daerah diperbolehkan karena tidak akan merubah interpretasi dari persamaan
regresinya sehingga hasilnya tidak akan bias.
4.2.3. Uji Heterokedastistas
Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian
yang sama. Adanya heteroskedastisitas dalam model analisis mengakibatkan varian dan
koefisien-koefisien OLS tidak lagi minimum dan penaksir-penaksir OLS menjadi tidak
efisien meskipun penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten. Metode yang digunakan untuk
mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada penelitian ini adalah pengujian White.
Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan bantuan program komputer Eviews
7.1, dan diperoleh hasil regresi seperti pada tabel berikut ini:
20
Tabel 4.4
Hasil Uji White Test
Heteroskedasticity Test: White
F-statistic 0.143328 Prob. F(4,7) 0.9603Obs*R-squared 0.908419 Prob. Chi-Square(4) 0.9233Scaled explained SS 0.221844 Prob. Chi-Square(4) 0.9943
Test Equation:Dependent Variable: RESID^2Method: Least SquaresDate: 06/18/14 Time: 15:40Sample: 1995 2006Included observations: 12
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 8.98E+11 7.85E+11 1.143711 0.2903PP^2 0.073537 48.10346 0.001529 0.9988
PMDN^2 39496139 90203089 0.437858 0.6747PAD^2 -6.487945 58.73525 -0.110461 0.9151
OTODA^2 -2.45E+11 1.02E+12 -0.240223 0.8170
R-squared 0.075702 Mean dependent var 8.11E+11Adjusted R-squared -0.452469 S.D. dependent var 1.01E+12S.E. of regression 1.22E+12 Akaike info criterion 58.79680Sum squared resid 1.05E+25 Schwarz criterion 58.99884Log likelihood -347.7808 Hannan-Quinn criter. 58.72200F-statistic 0.143328 Durbin-Watson stat 2.783453Prob(F-statistic) 0.960324
Dari hasil estimasi didapat bahwa : Obs*R-squared = 0,908419 dengan p-value =
0,9233
Uji Hipotesis :
H0 : Tidak ada gejala heterokedastisitas
Ha : Ada gejala Heterokedastisitas
Untuk mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas atau tidak maka dengan
membandingkan nilai R-squared dan tabel X2:
a. Jika nilai R-squared > X2 tabel, maka tidak lolos uji heterokedastistas
b. Jika nilai R-squared < X2 tabel, maka lolos uji heterokedastisitas
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa dengan uji White diperoleh nilai obs* R-
square untuk hasil estimasi uji white no coss terms adalah sebesar 0,908419 dan nilai X2 tabel
dengan derajat kepercayaan 5% dan df sesuai banyak variabel bebas yaitu 3 adalah sebesar
21
7,815. Karena nilai R-squared (0,908419) < X2 tabel (7,815) maka dapat disimpulkan model
di atas lolos uji heterokedastisitas.
selain dengan Uji White juga dapat digunakan Uji Glejser dengan cara melakukan
regresi varian gangguan (residual) dengan variabel bebasnya sehingga didapat nilai P. Untuk
mengetahui adanya gejala gangguan atau tidak adalah apabila nilai P > 0,05 pada masing-
masing variabel independen, berarti menunjukkan tidak terjadi gangguan dan begitu pula
sebaliknya.
Tabel 4.5
Hasil Glejser
Berdasarkan Tabel 4.5 diketahui bahwa t statistik menunjukkan tidak adanya
pengaruh yang signifikan masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen
dimana variabel dependen yaitu ei atau error absolut, hal ini dapat dibuktikan dengan
diperolehnya nilai signifikansi untuk masing-masing variabel yang lebih besar dari 0,05 (P >
0,05) . Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada gejala heteroskedastisitas.
22
Heteroskedasticity Test: Glejser
F-statistic 0.380036 Prob. F(4,7) 0.8166Obs*R-squared 2.141009 Prob. Chi-Square(4) 0.7098Scaled explained SS 1.197793 Prob. Chi-Square(4) 0.8785
Test Equation:Dependent Variable: ARESIDMethod: Least SquaresDate: 06/15/14 Time: 11:07Sample: 1995 2006Included observations: 12
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 219665.5 819161.1 0.268159 0.7963PP 3.641985 11.45086 0.318053 0.7597
PMDN 8475.434 6965.035 1.216854 0.2631PAD -4.917573 12.07165 -0.407365 0.6959
OTODA 41738.99 573630.7 0.072763 0.9440
R-squared 0.178417 Mean dependent var 726855.3Adjusted R-squared -0.291058 S.D. dependent var 555252.1S.E. of regression 630903.8 Akaike info criterion 29.84203Sum squared resid 2.79E+12 Schwarz criterion 30.04408Log likelihood -174.0522 Hannan-Quinn criter. 29.76723F-statistic 0.380036 Durbin-Watson stat 2.897153Prob(F-statistic) 0.816561
4.2.4. Uji Autokorelasi.
Autokorelasi merupakan adanya korelasi antara anggota observasi satu dengan
observasi lain yang berlainan waktu. Dalam kaitannya dengan asumsi OLS, autokorelasi
merupakan korelasi antara satu residual dengan residual yang lain. Pengujian terhadap gejala
autokorelasi digunakan Uji Lagrange Multplier Test (LM Test) dengan membandingkan nilai
probabilitas R2 dengan α = 0,05. Langkah –langkah pengujian sebagai berikut:
Hipotesis : H0 : Model tidak terdapat Autokorelasi
Ha : Terdapat Autokorelasi
Pengambilan keputusan dilakukan dengan kriteria:
Bila probabilitas Chi-Square < 0,05 H0 ditolak, model terjadi autokorelasi
Bila probabilitas Chi-Square > 0,05 H0 diterima, model tidak terjadi autokorelasi
Tabel 4.6
Uji Lagrange Multiplier Test
23
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.871870 Prob. F(2,5) 0.4733Obs*R-squared 3.102860 Prob. Chi-Square(2) 0.2119
Test Equation:Dependent Variable: RESIDMethod: Least SquaresDate: 06/15/14 Time: 11:08Sample: 1995 2006Included observations: 12Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PP -20.80912 28.65236 -0.726262 0.5002PMDN 8551.934 15348.19 0.557195 0.6014PAD 10.84999 26.00788 0.417181 0.6939
OTODA 1840143. 1778219. 1.034824 0.3482C 723131.9 1768486. 0.408899 0.6995
RESID(-1) -0.453337 0.499534 -0.907521 0.4057RESID(-2) -0.857496 0.691853 -1.239418 0.2702
R-squared 0.258572 Mean dependent var 4.03E-09Adjusted R-squared -0.631142 S.D. dependent var 940559.7S.E. of regression 1201247. Akaike info criterion 31.12682Sum squared resid 7.21E+12 Schwarz criterion 31.40968Log likelihood -179.7609 Hannan-Quinn criter. 31.02209F-statistic 0.290623 Durbin-Watson stat 2.670027Prob(F-statistic) 0.917777
Dari tabel 4.6 pada tabel Uji Lagrange Multiplier dapat dilihat bahwa nilai probabilitas Chi-
Squared 0,2119 atau lebih besar dari α = 0,05. Hal ini berarti model ini bebas dari masalah
autokorelasi, atau berarti H0 diterima.
4.2.5. Uji Linieritas
Uji Linieritas merupakan pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah model
fungsi regresi yang digunakan merupakan model linier atau tidak. Pengujian ini merupakan
pengujian seleksi model fungsi regresi, yaitu model linier, model semi-log, model double log.
Dalam penelitian ini digunakan model linier karena model regresi tidak mempunai batas
akibat perubahan nilai variabel bebasnya, akan tetapi bila dilihat model logaritma, ternyata
mempunyai batas minimum dan maksimal.
Langkah-langkah pengujian sebagai berikut:
Hipotesis:
H0 : model linier
Ha : model tidak linier
Pengambilan keputusan dengan cara
Jika nilai probabilitas log likelihood ratio < 0,05, maka H0 ditolak (model tidak linier)
Jika nilai probabilitas log likelihood ratio > 0,05, maka H0 diterima (model linier)
Tabel 4.7
Uji Ramsey Reset
Dari uji
Linieritas ( uji Ramsey
24
Ramsey RESET TestEquation: UNTITLEDSpecification: PDRB PP PMDN PAD OTODA COmitted Variables: Squares of fitted values
Value df Probabilityt-statistic 1.012412 6 0.3504F-statistic 1.024978 (1, 6) 0.3504Likelihood ratio 1.892551 1 0.1689
Reset Test) pada tabel 4.7, nilai probabilitas likelihood ratio adalah 0,1689 lebih dari α =
0,05, artinya model linier, maka H0 diterima (model linier)
4.3. Perumusan Model Persamaan Regresi
Hasil Pengolahan Data (Regresi)
Dalam mengolah dan menganalisis data terkait, penulis menggunakan aplikasi Eviews
7. Hasil dari pengolahan tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 4.8
Hasil Regresi
25
Dependent Variable: PDRBMethod: Least SquaresDate: 06/15/14 Time: 11:06Sample: 1995 2006Included observations: 12
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PP 81.00523 21.39974 3.785337 0.0068PMDN 36417.58 13016.49 2.797804 0.0266PAD 14.41316 22.55990 0.638884 0.5432
OTODA 3844003. 1072020. 3.585757 0.0089C -6203728. 1530875. -4.052406 0.0049
R-squared 0.984810 Mean dependent var 15368741Adjusted R-squared 0.976130 S.D. dependent var 7631505.S.E. of regression 1179054. Akaike info criterion 31.09266Sum squared resid 9.73E+12 Schwarz criterion 31.29470Log likelihood -181.5560 Hannan-Quinn criter. 31.01786F-statistic 113.4588 Durbin-Watson stat 2.247643Prob(F-statistic) 0.000002
Estimation Command:=========================LS PDRB PP PMDN PAD OTODA C
Estimation Equation:=========================PDRB = C(1)*PP + C(2)*PMDN + C(3)*PAD + C(4)*OTODA + C(5)
Substituted Coefficients:=========================PDRB = 81.0052322427*PP + 36417.5782919*PMDN + 14.4131566539*PAD + 3844002.97133*OTODA - 6203728.2963
4.3.1. Koefisen Determinasi (R-squared)
Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model regresi yang
dapat lihat dari nilai R Square. Untuk mengetahui tingkat perkembangan PDB Sektor
Pertambangan yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu Pengeluaran
Pembangunan (X1), Penanaman Modal Dalam Negeri (X2), Pendapatan Asli Daerah (X3) dan
Otonomi Daerah (X4) dapat dilihat melalui besarnya koefisien determinasi. Dari perhitungan
nilai R Square adalah 0.984810. Hal ini berarti 98 persen PDRB Provinsi DIY dapat
dijelaskan oleh keempat variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu dijelaskan oleh
variabel-variabel lain yang tidak dijelaskan.
4.3.2. Pengujian t-Statistik
Pada uji statistik secara parsial dengan nilai t kritis (critical value) pada df =(n-k),
dimana n adalah jumlah sampel dan k adalah jumlah variable independen termasuk konstanta.
Untuk menguji koefisian regresi parsial secara individu dari masing-masing variabel bebas
akan diuji sebagai berikut:
a. Pengaruh Pengeluaran Pembangunan terhadap PDRB Provinsi DIY tahun 1995 –
2006.
Berdasarkan prob t-signifikasi Pengeluaran Pembangunan pada model regresi
berganda (empat variabel) menghasilkan nilai 0.0068 > 0,05, yang berarti Pengeluaran
Pembangunan signifikan berpengaruh terhadap PDRB Provinsi DIY. Hal ini berarti bahwa
Pengeluaran Pembangunan berperan penting dalam peningkatan PDRB Provinsi DIY.
Untuk mengetahui jawaban lebih detail mengenai signifikasi Pengeluaran
Pembangunan terhadap PDRB Provinsi DIY, dapat diidentifikasi dengan menggunakan
perhitungan atau uji t-statistik.
Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 = β1 = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Pengeluaran Pembangunan
terhadap PDRB Provinsi DIY.
H1 = β1 ≠ 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pengeluaran Pembangunan terhadap
PDRB Provinsi DIY.
Dari hasil regresi diperoleh nilai t hitung untuk Pengeluaran Pembangunan sebesar
3.785337 dan pada t tabel dengan tingkat signifikansi sebesar 95 % (α = 5%), df = 12
diperoleh 1,782. Terlihat bahwa t hitung lebih besar dari t kritis, maka H0 ditolak yang berarti
bahwa Pengeluaran Pembangunan berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB Provinsi
DIY.
26
b. Pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri terhadap PDRB Provinsi DIY tahun
1995 – 2006.
Berdasarkan prob t-signifikasi Penanaman Modal Dalam Negeri pada model regresi
berganda (empat variabel) menghasilkan nilai 0.0266 > 0,05, yang berarti Penanaman Modal
Dalam Negeri signifikan berpengaruh terhadap PDRB Provinsi DIY. Hal ini berarti bahwa
Penanaman Modal Dalam Negeri berperan penting dalam peningkatan PDRB Provinsi DIY.
Untuk mengetahui jawaban lebih detail mengenai signifikasi Penanaman Modal
Dalam Negeri terhadap PDRB Provinsi DIY, dapat diidentifikasi dengan menggunakan
perhitungan atau uji t-statistik.
Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 = β2 = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Penanaman Modal Dalam
Negeri terhadap PDRB Provinsi DIY.
H1 = β2 ≠ 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Penanaman Modal Dalam Negeri
terhadap PDRB Provinsi DIY.
Dari hasil regresi diperoleh nilai t hitung untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
sebesar 2.797804 dan pada t tabel dengan tingkat signifikansi sebesar 95 % (α = 5%), df = 12
diperoleh 1,782. Terlihat bahwa t hitung lebih besar dari t kritis, maka H0 ditolak yang berarti
bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB
Provinsi DIY.
c. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap PDRB Provinsi DIY tahun 1995 – 2006.
Berdasarkan prob t-signifikasi Pendapatan Asli Daerah pada model regresi berganda
(empat variabel) menghasilkan nilai 0.5432 > 0,05, yang berarti Pendapatan Asli Daerah
tidak signifikan berpengaruh terhadap PDRB Provinsi DIY. Hal ini berarti bahwa Pendapatan
Asli Daerah kurang berperan penting dalam peningkatan PDRB Provinsi DIY.
Untuk mengetahui jawaban lebih detail mengenai signifikasi Pendapatan Asli Daerah
terhadap PDRB Provinsi DIY, dapat diidentifikasi dengan menggunakan perhitungan atau uji
t-statistik.
Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 = β3 = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Pendapatan Asli Daerah
terhadap PDRB Provinsi DIY.
27
H1 = β3 ≠ 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pendapatan Asli Daerah terhadap
PDRB Provinsi DIY.
Dari hasil regresi diperoleh nilai t hitung untuk Pendapatan Asli Daerah sebesar
0.638884 dan pada t tabel dengan tingkat signifikansi sebesar 95 % (α = 5%), df = 12
diperoleh 1,782. Terlihat bahwa t hitung lebih kecil dari t kritis, maka H0 diterima yang
berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB
Provinsi DIY.
d. Pengaruh Otonomi Daerah terhadap PDRB Provinsi DIY tahun 1995 – 2006.
Berdasarkan prob t-signifikasi Otonomi Daerah pada model regresi berganda (empat
variabel) menghasilkan nilai 0.0089 > 0,05, yang berarti Otonomi Daerah signifikan
berpengaruh terhadap PDRB Provinsi DIY. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan Kebijakan
Otonomi Daerah berperan penting dalam peningkatan PDRB Provinsi DIY.
Untuk mengetahui jawaban lebih detail mengenai signifikasi Otonomi Daerah
terhadap PDRB Provinsi DIY, dapat diidentifikasi dengan menggunakan perhitungan atau uji
t-statistik.
Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 = β3 = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Otonomi Daerah terhadap
PDRB Provinsi DIY.
H1 = β3 ≠ 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Otonomi Daerah terhadap PDRB
Provinsi DIY.
Dari hasil regresi diperoleh nilai t hitung untuk Otonomi Daerah sebesar 3.585757
dan pada t tabel dengan tingkat signifikansi sebesar 95 % (α = 5%), df = 12 diperoleh 1,782.
Terlihat bahwa t hitung lebih besar dari t kritis, maka H0 ditolak yang berarti bahwa Otonomi
Daerah berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB Provinsi DIY.
4.3.3. Pengujian F-Statistik
Uji F statistik digunakan untuk mengetahui apakah variable independent secara
bersama-sama atau simultan mempengaruhi variable dependent. Dalam hal ini yaitu
Pengeluaran Pembangunan (X1), Penanaman Modal Dalam Negeri (X2), Pendapatan Asli
Daerah (X3) dan Dummy Otonomi Daerah (X4) terhadap variabel dependen yaitu PDRB
Provinsi DIY (Y) secara simultan / keseluruhan.
Hipotesis yang digunakan adalah :
28
Ho: β0=β1=β2=β3=β4=0 berarti variabel independen secara keseluruhan tidak
berpengaruh terhadap variabel independen.
Ha : β0,β1,β2,β3,β4≠ 0 berarti variabel independen secara keseluruhan berpengaruh
terhadap variabel independen.
Diketahui:
• F-statistik =
• α = 0,05
• df1 (N1) = K-1 = 5-1 = 4
• df2 (N2) = n-K = 12-4 = 8
• F-tabel = 3,84
Uji Statistik secara serentak ditunjukkan oleh perbandingan nilai F hitung dengan F
tabel. Nilai F tabel dengan df = (k-1, n-k), dengan derajat kepercayaan sebesar 95 persen,
adalah F0,05, 4, 8 sebesar 3,84. Pada hasil estimasi di atas terlihat bahwa pada persamaan, F
hitung 113.4588 adalah jauh lebih besar dari pada F tabelnya. Ini berarti bahwa keempat
variabel independen Pengeluaran Pembangunan (X1), Penanaman Modal Dalam Negeri (X2),
Pendapatan Asli Daerah (X3) dan Otonomi Daerah (X4) signifikan dalam menjelaskan PDRB
Provinsi DIY.
4.4. Pembahasan dan Intepretasi Hasil Analisis
1. Nilai konstanta sebesar -6203728 menunjukkan bahwa jika variabel-variabel independen
dianggap konstan, maka PDB sektor pertambangan turun secara rata-rata sebesar –-
6203728 persen.
2. Variabel Pengeluaran Pembangunan berdasarkan hasil estimasi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan PDRB provinsi DIY dan memiliki koefisien positif
sebesar 81,00523. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen pada Pengeluaran
Pembangunan akan meningkatkan PDRB Provinsi DIY secara rata-rata sebesar 81,00523
persen dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Tampak dari koefisien itu, peranan
Pengeluaran Pembangunan dalam menggerakkan pertumbuhan PDRB provinsi DIY cukup
signifikan, hal ini dikarenakan pengeluaran ini juga bersifat investasi yang memberikan
efek positif terhadap pertumbuhan pendapatan kedepan. Pengeluaran ini bisa seperti
pembangunan terhadap infrastruktur daerah yang kedepannya bisa meningkatkan
perekonomian daerah.
29
3. Variabel Penanaman Modal Dalam Negeri berdasarkan hasil estimasi mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan PDRB provinsi DIY dan memiliki
koefisien positif sebesar 8551.934. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen
pada Penanaman Modal Dalam Negeri akan meningkatkan PDRB Provinsi DIY secara
rata-rata sebesar 8551.934 persen dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Hal ini
menjadi tantangan pemerintah daerah Provinsi DIY untuk selalu meningkatkan peran
investasi dalam negeri untuk meningkatkan PDRB, untuk mengoptimalkan peningkatan
PMDN terhadap PDRB, pemerintah daerah hendaknya memberikan iklim investasi yang
lebih kondusif. Beberapa diantaranya dengan melakukan efisiensi perijinan atau regulasi
kebijakan di bidang investasi, jaminan hukum dan ketertiban berusaha, atau bahkan
memberikan insentif dan atau tax holiday bagi investasi yang padat karya, sehingga dapat
memberikan lapangan pekerjaan.
4. Variabel Pendapatan Asli Daerah berdasarkan hasil estimasi mempunyai pengaruh yang
tidak signifikan terhadap peningkatan PDRB provinsi DIY dan memiliki koefisien positif
sebesar 14.41316. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen pada Pendapatan
Asli Daerah akan meningkatkan PDRB Provinsi DIY secara rata-rata sebesar 14.41316
persen dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Pendapatan asli daerah dapat
menjadi dana bagi pemerintah daerah Provinsi DIY untuk membangun sarana dan
prasarana infrastuktur yang kemudian dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan
ekonomi di Provinsi DIY, maka dari itu pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal
yang tepat agar Pendapatan Asli Daerah mempunyai peran yang penting dalam
peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi DIY.
5. Variabel Dummy Otonomi Daerah berdasarkan hasil estimasi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan PDRB Provinsi DIY dan memiliki koefisien positif
sebesar 3844003. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen dari pengaruh
Otonomi Daerah akan meningkatkan PDRB Provinsi DIY secara rata-rata sebesar
3844003 persen dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan adanya pelaksanaan Otonomi Daerah, daerah dapat mengelola sendiri
kekayaan yang dimilikinya, sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerahny
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
30
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan software Eviews
7, kesimpulan yang dapat ditarik sebagai berikut:
1. Variabel Pengeluaran Pembangunan berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Variabel Penanaman Modal Dalam Negeri berpengaruh positif dan signifikan terhadap
PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Variabel Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan namun tidak signifikan terhadap
PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Variabel Dummy Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah berpengaruh positif dan
signifikan terhadap PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Isdijoso, Brahmantio & Wibowo, Tri, Analisis Kebijakan Fiskal pada Era Otonomi Daerah,
Jurnal Kajian Ekonomi dan Pembangunan, Volume 6 Nomor 1, Maret 2002
31
Nanga, Munga, “Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II, Studi Kasus di Kabupaten Malang,
Probolinggo, dan Trenggalek (Propinsi Jawa Timur)”, Tesis, S2, Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 1991
Waluyo (2007). Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah). Bandung: Mandar Maju
http://id.wikipedia.org/wiki/Investasi
32