Analisis Kegagalan Pipa Primary Separator · dengan menggunakan mata dan kamera digital, pengujian...
-
Upload
vuongxuyen -
Category
Documents
-
view
236 -
download
0
Transcript of Analisis Kegagalan Pipa Primary Separator · dengan menggunakan mata dan kamera digital, pengujian...
ANALISIS KEGAGALAN PIPA PRIMARY SEPARATOR
HENING PRAM PRADITYO
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul : Analisis Kegagalan Pipa Primary Separator
Nama : Hening Pram Pradityo
NIM : G74080036
Departemen : Fisika
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Muh Nur Indro M.Sc Drs. Anthonius Sitompul M.T.
Mengetahui
Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si
Ketua Departemen Fisika
Tanggal Lulus :
Skripsi
ANALISIS KEGAGALAN PIPA PRIMARY SEPARATOR
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di deparetemen
Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
oleh
Hening Pram Pradityo
G74080036
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RIWAYAT HIDUP
HENING PRAM PRADITYO, lahir di Kediri, 16 Nopember
1990. Hari-hari kecilnya dibesarkan bersama orang tua Ayahanda
Pramudi Utomo dan Ibunda Sumiyati. Putra pertama dari tiga
bersaudara ini, mengemban pendidikan formal Sekolah Dasar di
MI Muhammadiyah 1 Pare, SMP Muhammadiyah 1 Pare, dan
SMA Negeri 2 Pare. Sekarang penulis telah berhasil menyelesaikan
studi Strata 1 (S1) di jurusan Fisika, fakultas Matematika dan IPA
Institut Pertanian Bogor. Selain itu, pendidikan non-formal penulis
dapatkan dari Cisco Networking Academy Program, dengan tingkat CCNA.
Keseharian penulis diisi dengan kuliah, ibadah, organisasi dan olahraga. Penulis ikut
aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Asal, Kamajaya Kediri. Penulis adalah seorang
warga Muhammadiyah. Sejak SMP hingga SMA, telah mengikuti organisasi Ikatan
Pelajar Muhammadiyah dan ketika menjadi bagian dari kader Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah hingga sekarang. Penulis juga memiliki hobi olahraga panahan dan
pernah aktif secara atlet dan secara organisasi dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Cabor
Panahan IPB.
Beberapa kompetisi yang pernah penulis ikuti adalah Pekan Olahraga Mahasiswa
Nasional 2009 di Palembang dan Kejuaraan Nasional Panahan Indoor Ganesha Open di
Institut Teknologi Bandung. Penulis juga pernah mengikuti kompetisi nasional Cisco
Indonesia Netriders pada tahun 2011 di Surabaya dan pada tahun 2012 di Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan
penelitian yang berjudul analisis kegagalan pipa primary separator.
Hasil penelitian ini disusun agar penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
di Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2012 – Mei 2012.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita
semua. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
kemajuan aplikasi hasil penelitian yang dikembangkan ini.
Bogor, 20 Juli 2012
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Alloh Subhanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis berupa kesehatan dan usia yang
sangat berharga.
2. Muhammad Salallohu alaihi wassalam. Nabi dan Rosul, utusan Alloh SWT.
Yang memberikan banyak tauladan hidup pada penulis, sehingga tetap berada
di jalan-Nya.
3. Bapak Pramudi Utomo dan Ibu Sumiyati, sosok orang tua yang selalu
memberi kasih sayang dan motivasi lahir batin kepada penulis.
4. Bapak Drs. Muh Nur Indro, M.Sc. sebagai Pembimbing I atas bimbingannya
selama perkuliahan, penelitian hingga sidang sarjana.
5. Bapak Drs. Anthonius Sitompul, M.T. sebagai Pembimbing II atas
bimbingannya selama penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai.
6. Bapak Dr. Akhiruddin Maddu dan Bapak Abd. Djamil Husin, M.Si sebagai
dosen penguji atas saran dan bimbingannya selama penelitian hingga sidang
sarjana.
7. Bapak Mahfuddin Zuhri, M.Si. atas bimbingan dan dukungannya dalam
belajar jaringan Cisco.
8. Ibu Dhamayanti Adhidarma, Ph.D atas bimbingan dan dukungannya dalam
berlatih panahan.
9. Bapak Firman dan Bapak Jun atas bantuannya dalam administrasi di
departemen fisika.
10. Wahyu Dewanti Lestari, seorang kekasih yang selalu ada untuk memberikan
dukungan bagi penulis.
11. Rifka, Hezti, Bambang, rekan-rekan fisika angkatan 45 yang membantu
penulis dalam menyelesaikan penelitian.
12. Kak Damas, kak Chanse, Farqan, Fery, Zainal, Bagoes, rekan-rekan cisco
yang memberi support dalam belajar cisco.
13. Rahman, Rifky, Ashraf, Aryo, Erik, Deden, Dwi dan Ashley, warga Soka 4,
atas supportnya.
14. Mas Akbar, Argha, Frandy, Dody, Grahan, Rado, dkk. teman-teman omda
Kediri yang selalu mengobati rasa kangen penulis.
15. Gilang, Izzah, Akfia, Icha, dkk. teman-teman IMM seperjuangan, merah jalan
kami.
16. Tony, Agus, Gusmen, Adi, Mey, dkk. teman-teman UKM Panahan yang
selalu menemani dalam berlatih.
17. Rekan-rekan fisika angkatan 44, 43, 46, dan 47.
18. Semua teman-teman civitas IPB atas dorongan dan semangatnya.
ABSTRAK
Hening Pram Pradityo.2012.Analisis Kegagalan Pipa Primary Separator. Skripsi.
Departemen Fisika. Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor.
Analisis kegagalan dilakukan untuk mengetahui jenis korosi yang menyerang
beserta penyebab terjadinya korosi pada pipa. Pengujian dilakukan secara visual
dengan menggunakan mata dan kamera digital, pengujian secara makroskopik
dengan mikroskop stereo dan secara mikroskopik dengan mikroskop optik dan
SEM. Analisis unsur-unsur pada pipa dilakukan dengan OES dan EDS. Analsis
senyawa kimia pada pipa dilakukan dengan XRD. Hasil pengujian visual
menunjukkan terjadinya penipisan pada pipa. Hasil pengujian makroskopik dan
mikroskopik menunjukkan bahwa jenis serangan korosi adalah general corrosion,
pitting corrosion, dan erosion corrosion. Berdasarkan hasil pengujian unsur-unsur
pada pipa, komposisi unsur pembentuk pipa tidak sesuai dengan standard
American Petroleum Institute (API). Hasil pengujian senyawa kimia
membuktikan bahwa penyebab terjadinya korosi adalah senyawa CO2 dan H2S
yang ikut mengalir bersama dengan minyak mentah.
Kata kunci : Pipa Baja, Minyak Mentah, Korosi, Analisis Kegagalan
ABSTRACT
Hening Pram Pradityo.2012.Failure Analysis on Primary Separator Pipeline.
Skripsi. Physics Departmen. MIPA Faculty. Bogor Agricurtular University.
Failure Analysis used in order to study what type of corrosion that attack pipeline
and causes of corrosion to be occurred. Visual examination done by eyes and
digital camera, macroscopic examination by stereo microscope, and microscopic
examination by optical microscope and Scanning Electron Microscope (SEM).
Elements analysis on pipeline by Optical Emission Spectroscopy (OES) and
Energy Dispersive Spectroscopy (EDS). Compound analysis done by XRD.
Visual examination result that decimation is occured in pipeline. This decimation
is because of corrosion. Macroscopic and micorscopic examination result that
type of occured corrosion is general corrosion, pitting corrosion and erosion
corrosion. Based on result of elements analysis, elements that form pipeline is not
appropriate to American Petroleum Institute (API) standard. Compound analysis
show that causes of occurred corrosion are included CO2 and H2S in sour crude
oil.
Keywords : Steel pipeline, Sour crude oil, Corrosion, Failure Analysis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2
BAB III BAHAN DAN METODE ..................................................................... 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 39
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 41
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 ............................................................................................................ 2
Gambar 2.2 ............................................................................................................ 3
Gambar 2.3 ............................................................................................................ 4
Gambar 2.4 ............................................................................................................ 4
Gambar 2.5 ............................................................................................................ 7
Gambar 2.6 ............................................................................................................ 7
Gambar 2.7 ............................................................................................................ 7
Gambar 2.8 ............................................................................................................ 8
Gambar 2.9 ............................................................................................................ 8
Gambar 2.10 .......................................................................................................... 8
Gambar 2.11 .......................................................................................................... 9
Gambar 3.1 .......................................................................................................... 12
Gambar 3.2 .......................................................................................................... 15
Gambar 3.3 .......................................................................................................... 16
Gambar 3.4 .......................................................................................................... 18
Gambar 3.5 .......................................................................................................... 19
Gambar 3.6 .......................................................................................................... 20
Gambar 3.7 .......................................................................................................... 20
Gambar 3.8 .......................................................................................................... 21
Gambar 3.9 .......................................................................................................... 21
Gambar 4.1 .......................................................................................................... 23
Gambar 4.2 .......................................................................................................... 24
Gambar 4.3 .......................................................................................................... 24
Gambar 4.4 .......................................................................................................... 24
Gambar 4.5 .......................................................................................................... 25
Gambar 4.6 .......................................................................................................... 25
Gambar 4.7 .......................................................................................................... 26
Gambar 4.8 .......................................................................................................... 26
Gambar 4.9 .......................................................................................................... 27
Gambar 4.10 ........................................................................................................ 27
Gambar 4.11 ........................................................................................................ 28
Gambar 4.12 ........................................................................................................ 28
Gambar 4.13 ........................................................................................................ 29
Gambar 4.14 ........................................................................................................ 29
Gambar 4.15 ........................................................................................................ 30
Gambar 4.16 ........................................................................................................ 30
Gambar 4.17 ........................................................................................................ 30
Gambar 4.18 ........................................................................................................ 31
Gambar 4.19 ........................................................................................................ 31
Gambar 4.20 ........................................................................................................ 32
Gambar 4.21 ........................................................................................................ 33
Gambar 4.22 ........................................................................................................ 34
Gambar 4.23 ........................................................................................................ 35
Gambar 4.24 ........................................................................................................ 35
Gambar 4.25 ........................................................................................................ 36
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ................................................................................................................... 3
Tabel 2 ................................................................................................................... 6
Tabel 3 ................................................................................................................... 6
Tabel 4 ................................................................................................................. 23
Tabel 5 ................................................................................................................. 25
Tabel 6 ................................................................................................................. 32
Tabel 7 ................................................................................................................. 33
Tabel 8 ................................................................................................................. 34
Tabel 9 ................................................................................................................. 57
Tabel 10 ............................................................................................................... 57
Tabel 11 ............................................................................................................... 57
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 .......................................................................................................... 41
Lampiran 2 .......................................................................................................... 42
Lampiran 3 .......................................................................................................... 45
Lampiran 4 .......................................................................................................... 57
Lampiran 5 .......................................................................................................... 58
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Baja merupakan salah satu bahan yang
paling banyak dipakai sebagai bahan
komponen kerja di bidang industri karena
memiliki beberapa sifat fisik yang
mendukung dalam proses kerja,
ketahanannya di berbagai macam
lingkungan, maupun dari segi harganya. Industri perminyakan menggunakan pipa
dari bahan baja untuk mengalirkan
minyak dari sumber ke tempat
pemrosesan. Salah satu bagian dari
pemrosesan minyak adalah pipa primary
separator.
Pipa primary separator adalah pipa
yang berfungsi sebagai media pemisah
minyak dan air berdasarkan perbedaan
berat jenis.1 Pipa ini terletak di
permukaan tanah dan dialiri oleh minyak
mentah yang masih bercampur dengan
air. Minyak mentah yang mengalir
tersebut berasal dari reservoir bawah
tanah. Pipa terbuat dari logam yang tahan
terhadap kondisi lingkungan dan cuaca.
Ketika minyak dialirkan melalui pipa
tersebut, banyak jenis unsur dan senyawa
yang melewati pipa.
Dalam penelitian ini, pipa primary
separator telah mengalami kegagalan atau
kerusakan. Setelah sekian lama
pemakaian pipa tersebut, diperoleh korosi
pada bagian dalam pipa bahkan
ditemukan adanya lubang pada pipa.
Kemudian pipa di bawa ke laboratorium
untuk dilakukan analisis sehingga dapat
diketahui penyebab korosi pada pipa.
Kegagalan dari pipa primary
separator ini dapat menimbulkan
kerugian dari segi biaya, waktu, dan
teknis. Dari segi biaya dan waktu, untuk
memperbaiki pipa yang rusak dibutuhkan
biaya yang cukup besar dan waktu yang
lama. Dari segi teknis, kerusakan ini akan
menghambat kerja dari proses eksploitasi
minyak.
Untuk menganalisis keadaan pipa dan
korosi, dilakukan analisis kegagalan.
Analisis kegagalan adalah serangkaian
proses pengujian yang dilakukan pada
sampel sehingga dapat diketahui
penyebab kegagalannya. Tugas akhir ini
dilakukan untuk mempelajari penyebab
terjadinya korosi pada pipa.
Tujuan
1. Melakukan pengujian secara
visual dan makroskopik.
2. Melakukan pengujian secara
mikroskopik.
3. Menganalisis unsur-unsur dan
senyawa kimia pada pipa dan
produk korosi.
4. Menentukan penyebab korosi pada
pipa.
Rumusan Permasalahan
1. Adakah unsur atau senyawa yang
menyebabkan korosi pada pipa
minyak?
2. Bagaimana korosi pada pipa bisa
terjadi?
Hipotesis
Pada minyak mentah terdapat
senyawa-senyawa seperti CO2 dan H2S
yang dapat menyebabkan pipa terkorosi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Baja
Baja merupakan campuran logam
yang mengandung besi sebagai penyusun
utamanya dengan kandungan unsur
karbon (C) kurang dari 2%. Jika
karbonnya lebih dari 2%, maka campuran
logam tersebut disebut sebagai cast iron.
Baja terdapat dalam 90 % dari struktur
material yang telah dibuat.2
Kinerja dari baja tergantung pada
sifat-sifat yang terkait dengan
mikrostrukturnya yang dihasilkan dari
berbagai tahapan fasa makroskopik
dengan komposisi dan kondisi olahan
tertentu.3 Karbon sangat berhubungan
dengan perubahan sifat pada baja.
Umumnya kadar karbon dibuat rendah
pada baja yang memerlukan keuletan
(ductility) tinggi, ketangguhan (tough-
ness) tinggi, dan pengelasan (weldability)
yang baik, tetapi kadar karbon diper-
tahankan pada tingkat yang lebih
tinggi pada baja yang membutuhkan
kekuatan (strength) tinggi, kekerasan
(hardness) tinggi, ketahanan lelah (fatigue
resistance), dan ketahanan aus (wear
resistance).3
Gambar 2.1 di berikut menunjukkan
grafik kekerasan sebagai fungsi dari
kandungan karbon untuk beberapa jenis
mikrostruktur dalam baja.
Gambar 2.1 Kekerasan sebagai fungsi dari
kandungan karbon4
Kekerasan (hardness) telah dihitung
dan secara umum berbanding lurus
dengan kekuatan (strength) dan
berbanding terbalik dengan daktilitas
(ductility) dan ketangguhan (toughness).
Baja juga mengandung banyak unsur
tambahan yang mengisi batas-batas fasa
besi-karbon. Unsur-unsur seperti mangan
dan nikel merupakan penyetabil austenit,
yang menurunkan temperatur kritis.
Unsur-unsur seperti silikon, krom, dan
molibdenum merupakan penyetabil ferit
dan pembentuk karbida, yang
meningkatkan temperatur kritis dan
menyusutkan fasa austenit. Unsur-unsur
yang lain seperti titanium, niobium, dan
vanadium, bisa memicu dispersi dari
nitrida, karbida, dan karbonitirida yang
bergantung-temperatur dalam austenit.5
Jenis baja dibagi menjadi dua, yaitu
plain carbon steel dan alloy steel. Plain
carbon steel adalah campuran logam dari
besi dan karbon yang juga mengandung
mangan dan beberapa unsur residu. Unsur
residu ini berasal dari sisa material yang
digunakan dalam proses produksi.
Berdasarkan The American Iron and Steel
Institute (AISI), kandungan mangan
maksimum adalah 1,65%, Si kurang dari
0,6%, dan Cu kurang dari 0,6%. Semakin
kecil kandungan oksida, sulfida, dan
silikat, semakin bersih baja tersebut. Baja
diproduksi melalui proses peleburan dan
pemadatan menjadi suatu bentuk
batangan.6 Persentase komposisi
penyusun baja plain carbon steel dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Perbedaan komposisi pada plain
carbon steel.7
Steel Type % mass C % mass
Mn
Low-carbon
steels
Up to 0,3 Up to 1,5
Medium-
carbon steels
0,3 to 0,6 0,6 to 1,65
High-carbon
steels
0,6 to 1 0,3 to 0,9
Ultrahigh-
carbon steels
1,25 to 2 -
Plain carbon steel hanya memiliki
unsur tambahan Mn, S, dan P, sedangkan
Alloy Steel memiliki lebih banyak unsur
lain yang ditambahkan. Alloy Steel
dikelompokkan berdasarkan keperluannya
(Contoh: stainless steel), berdasarkan
penggunaannya (Contoh: tool steel) atau
berdasar pengaruh panasnya (Contoh:
maraging steels).
Transformasi Struktur Baja
Pada pemanasan sepotong besi murni
dari temperatur ruang hingga titik
lelehnya, terdapat beberapa transformasi
kristal yang terjadi. Ketika besi berubah
dari satu bentuk kristal ke bentuk yang
lainnya, temperatur relatif tetap hingga
terjadi perubahan bentuk. Kalor yang
dibutuhkan disebut kalor laten. Dua
bentuk kristal tersebut adalah ferrit dan
austenit.
Ferrite α-iron memiliki struktur
kristal BCC, stabil pada suhu di bawah
911oC, dan ferrite δ-iron di atas 1392
oC
hingga titik lelehnya. Austenite, yang
disebut sebagai γ-iron, memiliki sturktur
kristal FCC, stabil antara 911oC hingga
1392 oC.
8
Susunan atom dalam logam
berbentuk tiga dimensi yang sering
disebut struktur kristal. Pada besi, terlihat
kubus yang tersusun vertikal maupun
horizontal. Sudut-sudut kubus ditempati
oleh satu atom, dan setiap sudut atom
berhubungan dengan delapan kubus.
Unsur paling penting dalam pembuatan
baja adalah karbon. Pada temperatur
ruang, komposisi karbon pada alfa-iron
sangat sedikit. Karbon yang bergabung
dengan karbida besi, disebut cementite,
Fe3C. Karbida besi bergabung dengan
ferit membentuk pearlite, dengan
kandungan karbon berkisar antara 0,80%.
Logam yang mengandung karbon
sebanyak 0,80% disebut eutectoid.9
Pearlite adalah mikrostruktur yang
terbentuk dari austenit selama proses
pendinginan baja. Selama proses
pembentukan pearlit, selain difusi atom
karbon, atom besi juga berpindah antara
austenite dan pearlite. Transfer atom besi
ini penting dalam menyelesaikan
perubahan austenite, ferrite, dan
cementite. Pada temperatur kritis yang
rendah, difusi atom ini tidak mungkin
terjadi, dan atom besi menyelesaikan
perubahan struktur kristalnya dengan
pemindahan kooperatif. Hasil mekanisme
transformasi ini adalah tipe mikrostruktur
bainite. Mikrostruktur lain dalam baja
adalah martensite, martensite adalah fasa
yang paling mempengaruhi kekerasan
(hardness) dan kekuatan (strength) dari
baja. Transformasi martensite tanpa
diikuti difusi dan muncul selama proses
pendinginan dengan kecepatan tinggi
untuk menekan difusi dari transformasi
autenite menjadi ferrite, pearlite, dan
bainite. Baik atom besi maupun atom
karbon tidak dapat berdifusi.10
Secara umum, terbentuknya beberapa
mikrostruktur di atas, dapat dilihat pada
Gambar 2.2. Fasa kristal baja dipengaruhi
oleh komposisi karbon dan
temperaturnya, ini terlihat pada diagram
fasa (Gambar 2.3)
Gambar 2.2 Jenis-jenis mikrostruktur baja
terbentuk melalui proses
pendinginan10
3
3
Gambar 2.3 Diagram Fasa Baja11
Gambar 2.4 Mikrostrutktur Fe dilihat
dengan mikroskop optik
(100x)11
Untuk melihat struktur besi secara
mikro. Perlu dilakukan teknik metalografi
pada sampel. Setelah melalui proses
polishing dan eching, sampel dilihat
dengan mikroskop optik hingga
perbesaran 100x, seperti pada Gambar 2.4
di atas. Area yang diberi nomor 1 sampai
5 disebut dengan butir besi. Batas antara
nomor 4 dan 5 (ditunjukkan tanda panah)
disebut batas butir.
Ketika besi ferrite dipanaskan hingga
mencapai 912oC, rangkaian butir ferrite
berubah menjadi rangkaian baru butir
austenite. Pertama, perubahan terjadi pada
batas butir. Kedua, pertumbuhan butir
austenite akan mengganti semua ferrite
sampai habis. Seperti halnya pada
pencairan air (solid menjadi liquid), suhu
pada besi akan tetap pada nilai 912oC
hingga semua ferrite berganti menjadi
austenite. Hal ini juga berpengaruh pada
volume per atom, massa jenis austenite
2% lebih tinggi dibanding ferrite,
sehingga volume per atom besi lebih kecil
pada fasa austenite.11
Pengaruh penambahan unsur pada
baja
Berikut ini adalah beberapa macam unsur
yang berpengaruh pada sifa baja.12
1. Karbon
Karbon ditambahkan pada besi
untuk mendapatkan baja. Pengaruh
pemberian karbon pada besi lebih
besar dibandingkan dengan unsur
lain. Penambahan lebih banyak
karbon pada besi (hingga nilai
kelarutan besi) menghasilkan lebih
banyak distorsi pada kisi kristal dan
menghasilkan kekuatan mekanik
yang lebih tinggi. Kelarutan dari
karbon berpengaruh negatif pada
karakteristik besi yang lain, yaitu
keuletan (ductility). α-iron menjadi
4
4
sangat lembut, ketika lebih banyak
karbon yang ditambahkan, kekuatan
mekanik lebih besar, tapi elastisitas-
nya semakin berkurang. Lebih
banyak karbon juga menjadi masalah
ketika proses pengelasan.
2. Mangan
Mangan berguna untuk
meningkatkan kualitas permukaan
pada semua rentang unsur karbon
dan terutama pada baja
teresulfurisasi. Mangan meningkat-
kan strength dan hardness, namun
dalam taraf yang lebih rendah dari
karbon. Peningkatan kekuatan ter-
gantung pada kandungan karbon.
Mangan memberi pengaruh cukup
besar pada sifat hardenability baja.
3. Fosfor
Fosfor meningkatkan strength
dan hardness namun mengurangi
keuletan dari baja. Fosfor yang
semakin banyak biasanya dipakai
pada baja free-machining kandungan
karbon rendah.
4. Sulfur
Kandungan sulfur dapat
mengurangi keuletan. Unsur ini
sangat menggangu kualitas per-
mukaan, terutama pada baja kan-
dungan karbon rendah dan mangan
rendah. Kandungan sulfur biasanya
diatur pada taraf rendah.
5. Silikon
Silikon adalah salah satu dari
deoksidator utama dalam pembuatan
baja sehingga jumlah kandungan
silikon bergantung pada jenis
bajanya. Pada baja karbon rendah,
silicon umumnya merusak kualitas
permukaan.
6. Tembaga
Tembaga dalam jumlah yang
cukup banyak dapat merusak baja.
Tembaga dapat merusak kualitas
permukaan dan memperburuk ke-
rusakan yang menempel pada baja
tersulfurisasi. Tembaga meningkat-
kan sifat tahan korosi atmosferik bila
kandungannya melampaui 0.20%.
7. Timah
Timah terkadang ditambahkan
pada baja untuk meningkatkan
karakteristik mekaniknya. Penam-
bahan ini dalam rentang 0,15 s.d.
0,35%.
8. Boron
Boron ditambahkan pada baja
untuk meningkatkan hardenability.
Baja boron-treated dibuat dengan
kandungan boron antara 0.0005 dan
0.003%. Penambahan boron paling
efektif pada baja karbon rendah.
9. Khrom
Khrom umumnya ditambahkan
pada baja untuk meningkatkan sifat
tahan karat dan tahan oksidasi serta
untuk meningkatkan ketahanan
abrasif pada komposisi karbon
tinggi. Khrom adalah pembentuk
karbida yang kuat. Sebagai unsur
pengeras, khrom sering digunakan
dengan unsur penggetas seperti nikel
untuk menghasilkan sifat mekanis
yang handal. Pada temperatur yang
lebih tinggi, khrom mampu
meningkatkan strength dari baja.
Secara umum, khrom ditambahkan
bersama dengan molibdenum.
10. Nikel
Nikel adalah penguat ferit
(ferrite strengthener). Nikel tidak
membentuk karbida pada baja,
namun tetap larut dalam ferit,
sehingga mampu menguatkan dan
menggetaskan fasa ferit. Bersama
dengan khrom, nikel meningkatkan
kekerasan dari baja.
11. Molibdenum
Molibdenum ditambahkan pada
baja pada taraf 0,1 hingga 1%.
Molibdenum mampu meningkatkan
kekuatan dari baja paduan rendah
pada temperatur yang semakin
tinggi.
12. Niobium
Penambahan sejumlah kecil
Niobium dapat secara signifikan
meningkatkan kekuatan dari baja.
5
13. Aluminium
Aluminium banyak digunakan
sebagai deoksidator untuk
mengendalikan pertumbuhan butir
austenit pada baja, sehingga sering
ditambahkan untuk mengatur ukuran
butir (grain). Aluminium adalah
paduan yang paling efektif dalam
mengendalikan pertumbuhan butir
pada baja.
14. Titanium dan Zirconium
Pengaruh dari penambahan
titanium mirip dengan niobium.
Zirkonium juga dapat ditambahkan
untuk meningkatkan karakteristik
inklusi, terutama inklusi sulfida,
untuk meningkatkan keuletan pada
arah transversal.
Baja berbentuk pipa (Steel Tubular
Product)
Steel tubular product adalah istilah
yang digunakan untuk menunjukkan
produk baja yang berrongga. Pada
umumnya produk ini berbentuk silinder
dan berguna untuk mengalirkan fluida.
Dua jenis steel tubular adalah pipa dan
tabung. Jenis pipa yang digunakan untuk
mengalirkan minyak atau gas disebut
dengan pipeline. Berdasarkan American
Petroleum Institute (API), jenis baja
seamless yang tepat digunakan dalam
industri minyak adalah jenis baja 5L.13
Komposisi kimia baja 5L dapat dilihat
pada Tabel 2.
Selain API, organisasi internasional
lain yang memiliki standar baja adalah
SAE (Society of Automotive Engineers).
Organisasi ini berisi ilmuwan-ilmuwan
yang bergerak dalam bidang industri
otomotif. SAE Steel Grade adalah
spesifikasi baja standard, ditunjukkan
oleh empat digit angka yang
menunjukkan komposisi kimia
pembentuknya. Contoh dari baja standard
SAE adalah SAE 1513. Komposisi
kimianya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi kima baja API 5L seamless13
Spesifikasi Proses
Pembuatan Pipa Grade
Komposisi (%berat)
C Mn P S Si
5L Seamless
A25,
class I 0,21 0,03-0,60 0,045
0,0
6 ..
A25,
class II 0,21 0,03-0,60 0,045-0,08
0,0
6 ..
A 0,22 0,9 0,04
0,0
5 ..
B 0,27 1,15 0,04
0,0
5 ..
Tabel 3. Komposisi kimia baja SAE 1513
Unsur % Berat
Fe 98
Mn 1,00 – 1,35
Si 0,1 – 0,35
C 0,16
Al 0,015 - 0,06
P 0,04
S 0,04
Korosi
Kata korosi digunakan untuk
menunjukkan kerusakan pada permukaan
material atau logam pada lingkungan
yang relatif buruk. Korosi merupakan
proses oksidasi yang terjadi secara kimia
ketika logam melepas elektron ke
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud
adalah dalam keadaan cair (liquid), gas,
atau soil-liquid. Lingkungan tersebut
disebut elektrolit karena memiliki nilai
konduktivitas untuk transfer elektron.14
Larutan elektrolit mengandung ion
postif dan ion negatif yang disebut
dengan kation dan anion. Proses korosi
membutuhkan paling sedikit dua reaksi
kimia yang harus terjadi pada lingkungan
korosif. Reaksi tesebut diklasifikasikan
6
6
sebagai reaksi anoda dan reaksi katoda.
Jika kedua reaksi tersebut terajadi,
permukaan logam menjadi rusak. Berikut
ini adalah contoh reaksi korosi pada
baja.14
Anoda : Fe Fe2+
+ 2e-
Katoda : 2H2O + 2e- H2 + 2OH
-
Fe + 2H2O Fe(OH)2 + H2
Beberapa jenis korosi yang sering
terjadi adalah general corrosion, galvanic
corrosion, crevice corrosion, pitting
corrosion, erosion corrosion, stress-
corrosion cracking, corrosion fatigue,
dan microbiological corrosion.
General Corrosion
General Corrosion diartikan sebagai
serangan korosif yang didominasi oleh
penipisan secara seragam tanpa adanya
serangan pada tempat tertentu.
Menipisnya permukaan dapat dilihat
seperti pada Gambar 2.5 di bawah. Atap
seng adalah contoh material yang mudah
terkena serangan General Corrosion,
sedangkan material pasif seperti stainless
steel, atau logam nickel-chromium hanya
mendapat serangan pada tempat tertentu
(localized attack).15
Thicknes is reduced uniformly
Gambar 2.5 General Corrosion pada
logam
Galvanic Corrosion
Galvanic Corrosion terjadi pada dua
logam yang memiliki beda potensial
listrik (logam berbeda jenis) terhubung
secara fisik satu sama lain dan terletak
dalam medium yang terkonduksi listrik.
Arus listrik dapat menarik elektron keluar
dari salah satu logam, yang akan
menjadikannya sebagai anode. Hal ini
akan mempercepat terjadinya korosi pada
anode. Logam yang lainnya, sebagai
katode akan mengalami penurunan
ketahanan korosi. Logam dengan
potensial lebih rendah akan menjadi
anode dan logam dengan potensial lebih
tinggi menjadi katode.16
Gambar 2.6 di
bawah menunjukkan contoh terjadinya
galvanic corrosion.
Gambar 2.6 Galvanic Corrosion
16
Crevice Corrosion
Crevice Corrosion terjadi akibat air
atau cairan lain terperangkap pada celah
di logam. Korosi ini terjadi pada kontak
antara logam dengan logam atau antara
logam dengan non-logam. Lingkungan
yang rendah kadar oksigen dan tinggi
kadar klorida merupakan faktor utama
terjadinya jenis korosi ini.17
Gambar 2.7
menunjukkan bentuk fisiknya Crevice
Corrosion.
Gambar 2.7 Crevice Corrosion
17
Pitting Corrosion Pitting Corrosion, atau sering hanya
disebut pitting, adalah jenis korosi yang
secara ekstrim terbentuk pada area
tertentu di logam. Pitting muncul ketika
medium korosif menyerang logam pada
titik tertentu yang menyebabkan
terbentuknya lubang kecil. Biasanya hal
ini terjadi ketika lapisan pelindung logam
telah berlubang oleh kerusakan secara
mekanik maupun kimia. Pitting
merupakan bentuk korosi yang paling
berbahaya karena sulit diantisipasi dan
dicegah, relatif sulit untuk dideteksi,
muncul secara cepat, dan menembus
logam tanpa mengurangi massa logam
secara signifikan. Pitting juga memiliki
efek samping, sebagai contoh, retakan
dapat muncul pada ujung lubang karena
meningkatnya tekanan.18
Bentuk lubang
7
7
dapat dilihat seperti pada Gambar 2.8
berikut.
Gambar 2.8 Pitting Corrosion
18
Erosion Corrosion
Erosion Corrosion adalah bentuk
serangan korosi yang dihasilkan oleh
interaksi antara cairan elektrolit yang
melalui permukaan logam. Biasanya
terdapat partikel padat yang ikut dalam
cairan yang mengalir. Fluida yang
mengalir menyebabkan terjadinya abrasi,
meningkatkan derajat korosi melebihi
General (non-motion) Corrosion pada
kondisi yang sama. Erosion corrosion
terjadi dalam saluran pipa seperti yang
terlihat pada Gambar 2.9. Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya korosi jenis ini. Salah satu di
antaranya adalah kekerasan bahan.
semakin keras material, ketahanan
erosion corrosion semakin lebih baik.
Faktor yang lain adalah kehalusan
permukaan, kecepatan fluida, massa jenis
fluida, dan sudut aliran fluida.19
Gambar 2.9 Erosion Corrosion
19
Stress-Corrosion Cracking
Stress Corrosion adalah fenomena
peretakan logam yang terkadang muncul
ketika logam mengalami tekanan statis
dari lingkungan yang korosif. Proses
Stress-Corrosion Cracking (SCC) terjadi
di dalam material, retakan masuk ke
struktur internal, tanpa merusak
permukaan. Kebanyakan retakan (crack)
memiliki arah yang tegak lurus dengan
arah tekanan yang diberikan.
Selain tekanan mekanik, tekanan
termal dengan agen korosif juga dapat
menimbulkan SCC. Pitting menjadi salah
satu penyebab SCC, terutama pada logam
yang sensitif. SCC adalah jenis korosi
yang berbahaya karena sulit dideteksi dan
bisa muncul jika tekanan lebih dari
tingkat ketahanan logam. Bentuk retakan
SCC terlihat pada Gambar 2.10 di
bawah.20
Gambar 2.10 Stress-Corrosion Cracking
20
Corrosion Fatigue
Corrosion Fatigue muncul pada
logam sebagai hasil dari tekanan siklis
dan lingkungan korosif. Corrosion fatigue
menyebabkan ketahanan logam akan
menurun pada lingkungan yang agresif.
Akibatnya, timbul retakan pada logam
(seperti SCC yang menerima tekanan
statik). Jenis korosi ini dipengaruhi oleh
faktor intensitas tekanan dan frekuensi
tekanan siklis. Lingkungan yang lembab
dan berair, tingginya aktivitas kimia juga
menurunkan tingkat ketahanan terhadap
korosi.21
Bentuk fisik terjainya corrosion
fatigue dapat dilihat pada Gambar 2.11
8
Gambar 2.11 Corrosion Fatigue
20
Analisis Kegagalan
Kegagalan (Failure)
Kegagalan adalah ketidakmampuan
peralatan, mesin, atau proses untuk
berjalan sebagaimana fungsinya.
Kegagalan muncul dalam berbagai bentuk
dan ukuran, bisa berupa salah satu bagian
atau seluruh bagian dari suatu proses.22
Kondisi ini bisa menyebabkan kerugian
secara finansial dan membahayakan
keselamatan operator, masyarakat atau
lingkungan sekitar. Komponen peralatan
yang telah lama beroperasi akan rusak.
Kerusakan semacam ini adalah wajar
mengingat bahwa masa pakainya cukup
lama, sesuai dengan yang direncanakan.
Suatu komponen dikatakan gagal bila
komponen tersebut tidak dapat berfungsi
seperti yang dirancang. Hal ini terjadi
dalam masa pakai yang pendek, atau lebih
singkat daripada umur yang diharapkan.
Penyebab yang paling umum
terjadinya kegagalan adalah:
Kondisi penggunaan (use / misuse)
Perawatan dan pengecekan yang
tidak benar (sengaja / tidak
disengaja)
Kesalahan pemasangan
Kesalahan pembuatan/produksi
Kesalahan desain (pemilihan
material maupun kondisi material)
Kondisi lingkungan yang ekstrim
Untuk menentukan akar
permasalahan, maka perlu dilakukan
Analisis Kegagalan. Setelah akar
permasalahan ditemukan, tindakan
koreksi dan perbaikan dapat dilakukan
untuk mencegah kegagalan pada proses
berikutnya. Untuk tujuan industri, analisis
kegagalan akan menghemat waktu dan
biaya, menjadi bagian dari kontrol
kualitas dan peningkatan program secara
berkelanjutan.
Analisis Kegagalan untuk Korosi
(Analysis of Corrosion-Related Failure)
Kegagalan korosi memiliki langkah
analisis yang sama dengan kegagalan
pada umumnya. Namun, perbedaan utama
dengan kegagalan umum adalah perlunya
penjagaan dan perlindungan yang
dilakukan sesegera mungkin pada semua
barang bukti. Kegagalan korosi juga
memerlukan pengambilan sampel dan
pengujian produk korosi secepat mungkin
untuk mendapatkan hasil yang aktual.
Jika memungkinkan dan ada biaya,
kunjungan ke tempat kegagalan juga perlu
dilakukan.23
Kegagalan korosi sering
berhubungan dengan pemilihan material
dan kondisi lingkungan. Seluk beluk
sepesifikasi material, dokumen jaminan
kualtas, dokumen pemasangan dan
perawatan, dan sejarah kondisi
lingkungan adalah beberapa data yang
penting dan sangat berguna untuk
menyelesaikan kegagalan korosi.
Informasi mengenai gangguan sistem atau
lingkungan yang berubah dari kondisi
normal juga harus disediakan.
Perbandingan dari spesifikasi bahan yang
sedang digunakan dengan desain bahan
juga harus dilakukan
Hal yang sangat penting untuk
menemukan sebab dari kegagalan adalah
adanya data (record) pengoperasian dari
komponen yang mengalami kegagalan.
Data mengenai lingkungan dari
komponen, setiap perubahan pada
lingkungan, dan perubahan temperatur
perlu didapatkan juga. Setiap catatan dari
kegagalan sebelumnya atau kelainan
dalam pengoperasioan adalah hal yang
berguna. Jika memungkinkan, gambar dan
sketsa dari teknisi perlu ditinjau.23
Informasi mengenai setiap
pengecekan yang dilakukan oleh personil
pabrik juga harus disediakan. Penggunaan
cat untuk menandai komponen juga dapat
9
mengubah ketahanan korosi dan
komposisi kimia produk korosi. Setiap
perubahan sebelum dan sesudah
kegagalan juga perlu didokumentasikan.
Pemeriksaan di tempat dilakukan
dengan perjalanan di sekeliling area
kegagalan. Dokumentasi fotografik perlu
dibuat untuk melukiskan kondisi setelah
kegagalan. Jika memungkinkan, perlu
dilakukan pengecekan pada pemasangan
atau operasi dari bagian yang tidak
mengalami kegagalan. Dokumentasi
forografik harus dilakukan dengan
perhatian khusus untuk mendapatkan
warna sebenarnya dari produk korosi.
Pengambilan gambar di laboratorium
dilakukan dengan pengaturan yang dapat
menghasilkan sifat warna dan tekstur
permukaan yang akurat.23
Sampel diambil dari tempatnya
dengan hati-hati untuk mencegah adanya
kontaminasi. Beberapa alat yang berguna
dalam pengambilan sampel diantaranya
adalah tas yang tertutup, sarung tangan
lateks, alat-alat pengambil sampel, dan
bahan perekat. Penguji diharuskan
menhindari sentuhan langsung dengan
produk korosi untuk menghindari
kontaminasi.
Secara umum, pemotongan (cutting)
harus dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari perubahan dari kondisi
metalurgi bahan dan deposit korosi.
Pemotongan menggunakan gergaji (saw
cutting) lebih disarankan daripada
menggunakan torch cutting karena
pemanasan dari sampel dapat memberi
efek pada bahan dan produk korosi. Jika
dilakukan torch cutting, jarak yang
disarankan adalah 75 s.d. 150 mm dari
area yang diinginkan untuk diambil. Saw
cutting dilakukan dengan lambat untuk
menghindari pemanasan. Jika
memungkinkan, penggunaan minyak
pelumas dan pendingin dapat dihindari
untuk menghindari kontaminasi.23
Material dan kondisi lingkungan
menjadi pusat perhatian dalam melakukan
analaisis kegagalan. Meskipun setiap jenis
kegagalan memiliki pengujian yang unik,
beberapa langkah umum dapat diambil
dalam pemeriksaan semua kegagalan
korosi. Langkah-langkah yang dilakukan
untuk memeriksa kegagalan korosi
adalah: 23
1. Semua sampel harus diidentifikasi
dengan hati-hati. Asal sampel,
handling, dan proses dalam labora-
torium juga perlu didokumentasikan.
2. Pengambilan fotografi dilakukan
pada kondisi awal sampel diterima.
3. Pengujian secara makro mengguna-
kan mikroskop stereo dari area
sampel.
4. Metode pengujian non-destruktif
dapat dipertimbangkan. Hindari
gangguan secara fisik pada sampel
korosi. Dapat dilakukan pula
radiografi untuk mendapatkan data
kualitas casting atau untuk melihat
peretakan. Bagaimanapun, peng-
gunaan cairan tidak dapat dilakukan
hingga sampel korosi telah
dibersihkan.
5. Pembersihan endapan korosi. Sampel
dibersihkan dengan alat yang tidak
memberikan kontaminasi seperti
stainless steel. Sampel disimpan pada
tempat yang bersih dan kering serta
diberi tanda.
6. Sampel korosi dianalisis dengan
energy dispersive spectroscopy
(EDS) bersamaan dengan scanning
electron microscopy (SEM) untuk
mendapatkan komposisi unsur kimia
pada produk korosi.
7. Berdasar pengujian secara visual,
sampel korosi mungkin perlu
dilakukan analisis mikrobiologi.
Langkah-langkah berikutnya dapat
diikuti dengan pembersihan
(cleaning) atau pengujian yang lain.
Korosi pada Lingkungan Minyak
Beberapa jenis masalah korosi dapat
ditemukan pada pengeboran dan produksi
awal dari minyak dan gas. Termasuk
korosi pitting, penggetasan sulfida dan
penggetasan hidrogen. Endapan minyak
dan gas sering menjadi penyebabnya.
Campuran logam yang kuat diperlukan
pada galian yang dalam. Pada sumur gas
yang dalam, lingkungan memiliki gas H2S
dengan konsentrasi antara 28 hingga 46%,
temperaturnya berkisar pada 200o C,
tekanan pada 140 MPa. H2S juga sering
10
ditemukan berkombinasi dengan air
berklorida dan CO2 pada lingkungan.
Adanya H2S ini menghasilkan korosi pada
campuran logam. Korosi di dalam sumur
sumber minyak dihasilkan dari
lingkungan asam tinggi yang terbentuk
ketika terdapat CO2 dan air. Kehadiran
Klorida dan H2S akan menambah
keagresifan dari lingkungan. Selanjutnya,
tingkat korosi akan berubah sebagaimana
temperatur berubah.24
H2S Corrosion
Fenomena yang disebut sebagai
Sulfide Stress Cracking (SSC)
dipengaruhi oleh konsentrasi H2S dan
temperatur. Terjadinya SSC juga
dipengaruhi oleh mikrostruktur logam,
yang bergantung pada komposisi logam
dan perlakuan panas. H2S terlarut dalam
air menghasilkan ion Hidrogen. Ion
Hidrogen relatif kecil dan mampu
berdifusi melalui batas butir atau
kerusakan yang terbuka di dalam bahan
baja. Dua atom H bergabung membentuk
molekul H2 (gas). Molekul H2
terakumulasi dan terjebak dalam area
tertentu. Hal ini menyebabkan tekanan
yang tinggi pada titik tertentu dan
membentuk retakan (crack). SSC adalah
efek kombinasi dari korosi dan peretakan
yang diakibatkan difusi hidrogen.25
Masalah utama adanya H2S adalah
penggetasan logam, yang disebabkan oleh
penetrasi H2 dalam logam. Hidrogen
sulfida adalah asam lemah yang terlarut
dalam air dan dapat berperan sebagai
katalis dalam penyerapan atom hidrogen
pada logam, membentuk SSC pada logam
berkekuatan tinggi. Salain SSC, dalam
kondisi lingkungan yang terdapat H2S tipe
korosi yang umum terjadi adalah general
corrosion, pitting corrosion, dan
corrosion fatigue. Topografi dari lubang
korosi H2S, memiliki karakteristik bentuk
seperti kerucut dengan bagian bawah
yang tergores. Produk korosi yang
terbentuk diantaranya adalah besi sulfida
(FeS) hitam atau biru-hitam, pyrite
(FeS2), iron oxide (Fe3O4), dan sulfur (S).
Mekanisme utama proses korosi yang
terjadi diperlihatkan dalam reaksi kimia
berikut.26
Fe + H2S → FeS + H2
CO2 Corrosion
Adanya CO2 yang terkandung dalam
minyak dapat menyebabkan beberapa
jenis korosi seperti general corrosion,
pitting corrosion, wormhole attack,
erosion corrosion,dan corrosion fatigue.
Topografi dari lubang korosi CO2,
memiliki karakteristik bagian tepi yang
tajam, bagian dinding dan bagian dalam
yang halus, serta lubang yang
bersambung satu dengan lainnya. Deposit
korosi yang mencirikan bahwa korosi
tersebut termasuk korosi CO2 adalah
Siderit (FeCO3), Magnetit (Fe3O4), and
Hematit (Fe2O3). Mekanisme utama
proses korosi yang terjadi diperlihatkan
dalam reaksi kimia berikut.27
2 Fe + 2 CO2 + O2 → 2 FeCO3
Sour Crude Oil
Sour Crude Oil adalah minyak
mentah yang dikotori oleh sulfur. Minyak
mentah disebut sour jika jumlah sulfur
total lebih dari 0,5%. Sour Crude Oil
biasa diproses menjadi minyak untuk
diesel dan bensin. Untuk mengurangi
biaya produksi, Sour Crude Oil harus
distabilkan dengan menghilangkan gas
Asam Sulfida (H2S) sebelum dipindahkan
melalui tangki minyak.28
Crude Oil
merupakan campuran hidrokarbon yang
berwujud cair, berada dalam reservoir
bawah tanah dan dalam kondisi tekanan
atmosfer yang membuatnya tetap dalam
fasa cair (liquid) setelah melalui beberapa
pemisahan di permukaan.29
Berikut adalah persentasi unsur-
unsur yang terdapat dalam minyak
mentah.30
› Karbon : 83,0-87,0 %
› Hidrogen : 10,0-14,0 %
› Nitrogen : 0,1-2,0 %
› Oksigen : 0,05-1,5 %
› Sulfur : 0,05-6,0 %
11
11
12
BAB III
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Maret sampai dengan bulan Mei
2012 di Laboratorium Bidang Bahan
Industri Nuklir, Pusat Teknologi Bahan
Industri Nuklir (PTBIN) BATAN,
kawasan PUSPIPTEK, Serpong.
Bahan
Bahan penelitian adalah pipa
digunakan sebagai bagian dari Primary
Separator yang beroperasi pada
temperatur 166 atau 167 oF (75
oC) dan
tekanan 33 atau 34 psi (1 pound per
square inch = 6.894,75 Pascal). Pipa
terbuat dari bahan logam, digunakan
untuk mengalirkan minyak mentah.
Permukaan luarnya dicat berwarna hijau.
Jenis cairan (fluida) yang mengalir adalah
sour crude oil atau minyak mentah. Untuk
menghilangkan scale/deposit digunakan
drilling fluids dan acidizing fluids yang
mengandung HCl. Setelah sekian lama
dipakai, pipa mengalami serangan korosi
pada bagian dalam pipa, kemudian
dilakukan proses drain dan refresh setiap
minggu. Pipa yang akan diamati
sudah terpotong secara longitudinal
menjadi dua seperti tampak pada
Gambar 3.1 berikut.
Gambar 3.1 Pipa Primary Separator yang mengalami korosi, camdig (0,5x)
Alat
Jangka Sorong
Mikrometer Skrup
Hand Saw
Mesin Potong, Buehler Samplmet 2
Abrasive Cutter
Cairan Resin dan Pengeras
Kertas Amplas (grit 100, 400, 800,
1500, 2000)
Pasta Alumina (1 dan 6
mikrometer)
Mesin Poles, MoPao 2D Grinder
Polisher
Kamera Digital, BenQ DC E1230
12 Megapixel
Mikroskop Setereo, Karl Kolb
Hund Wetzlar
Mikroskop Optik, Nikon
SEM-EDS, Jeol JSM-6510LA
OES, ARC-Spark Optical Emission
Spectrometer
XRD, Shimadzu XD-610
Gambar alat-alat yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Lampiran 2. (Halaman 42)
13
Metode Penelitian
1. Pengumpulan data dan studi
literatur
Langkah awal dari penelitian ini
adalah studi literatur tentang baja,
analisis kegagalan, dan korosi
secara umum maupun korosi pada
lingkungan minyak yang
bersumber dari buku-buku dan
internet.
2. Persiapan alat dan bahan
Preparasi sampel pipa dengan
proses Metalografi :
- Cutting, pemotongan pipa
menjadi sampel yang lebih
kecil menggunakan hand saw
dan mesin potong, agar lebih
mudah dikarakterisasi.
Pemotongan pipa secara
transversal atau melintang dan
longitudinal.
-Mounting, sampel dibingkai
menggunakan resin dan
pengerasnya agar tercetak
bingkai sampel. Hal ini
dilakukan agar sampel lebih
mudah dipegang ketika
melakukan proses Grinding
dan Polishing.
-Grinding dan Polishing,
permukaan yang akan diamati,
diamplas dengan kertas amplas
(dari bahan SiC) dari tingkat
grit 100, 400, 800, 1500, 2000.
Setiap kenaikan tingkat grit,
arahnya diputar 90 derajat dan
diamati apakah goresan yang
terbentuk telah seragam.
Kemudian dipoles dengan
pasta alumina 1 dan 6
mikrometer.
-Etching, lapisan permukaan
sampel direndam dalam larutan
etching agar menghasilkan
derajat kontras yang tepat
antara berbagai konstituen
dalam logam sehingga struktur
mikro logam dapat diketahui.
Batas butir menjadi lebih
mudah diamati. Larutan
etching yang dipakai adalah
nital 2%.
3. Karakterisasi
3.1 Pengamatan visual dilakukan
terhadap sampel.
Pada tahap ini dilakukan
pengamatan langsung pada
sampel menggunakan mata.
Selain itu, dilakukan juga
pengukuran diameter
menggunakan jangka sorong dan
ketebalan pipa menggunakan
mikormeter sekrup serta
dokumentasi gambar dengan
kamera digital.
Pengamatan langsung dengan
mata dilakukan untuk melihat dan
menganalisis adanya deposit
korosi, lubang, goresan, dan
penipisan pada pipa. Perbedaan
warna pada sampel juga
menunjukkan proses korosi yang
terjadi pada pipa. Dengan
pengamatan ini, pemilihan sampel
dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan lokasi-lokasi
yang tepat dari sampel pipa untuk
selanjutnya dikarakterisasi.
Jangka sorong adalah alat
yang digunakan untuk mengukur
suatu benda dari sisi luar dengan
cara diapit. Ketelitiannya dapat
mencapai seperseratus milimeter.
Terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian diam dan bagian bergerak.
Bagian diam menunjukkan skala
utamanya, dan bagian yang
bergerak menunjukkan skala
noniusnya.31
Mikrometer sekrup adalah
alat yang digunakan untuk
mengukur ketebalan suatu benda.
Ketelitiannya dapat mencapa
seperseratus milimeter. Terdiri
dari dua bagian utama yaitu poros
tetap yang memiliki skala utama
14
dan poros putar yang memiliki
skala nonius.32
Kamera digital digunakan
untuk memotret suatu objek
benda dan menampilkan hasilnya
dalam bentuk file gambar dalam
format .jpeg. Kamera digital
memiliki beberapa komponen,
seperti Aperture, Shutter, Lensa,
dan Sensor. Aperture sebagai
celah masuknya cahaya, Shutter
mengatur jumlah cahaya yang
masuk, Lensa untuk mem-
fokuskan gambar, dan Sensor
untuk merekam gambar. Sensor
pada kamera berupa charge
coupled device (CCD) yang
mengubah cahaya (photon)
menjadi muatan listrik. Resolusi
gambar dari kamera digital
ditentukan dari jumlah pixel.
Semakin besar nilai pixel berarti
semakin semakin banyak jumlah
photositenya sehingga gambar
yang dihasilkan semakin tajam.33
3.2 Pengamatan makroskopik dilaku-
kan dengan menggunakan mikros-
kop stereo.
Mikroskop stereo merupakan
jenis mikroskop yang hanya bisa
digunakan untuk benda yang
berukuran relatif besar. Mikros-
kop stereo mempunyai perbesaran
7 hingga 30 kali. Benda yang
diamati dengan mikroskop ini
dapat terlihat secara tiga dimensi.
Komponen utama mikroskop
stereo hampir sama dengan
mikroskop cahaya. Lensa terdiri
atas lensa okuler dan lensa
obyektif. Perbedaan antara
mikroskop stereo dengan mikros-
kop cahaya adalah: (1) ruang
ketajaman lensa mikroskop stereo
jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan mikroskop cahaya
sehingga kita dapat melihat
bentuk tiga dimensi benda yang
diamati. (2) sumber cahaya
berasal dari atas sehingga obyek
yang tebal dapat diamati.
Perbesaran lensa okuler biasanya
10 kali, sedangkan lensa obyektif
menggunakan sistem zoom
dengan perbesaran antara 0,7
hingga 3 kali, sehingga
perbesaran total obyek maksimal
30 kali. Pada bagian bawah
mikroskop terdapat meja preparat.
Pada daerah dekat lensa obyektif
terdapat lampu yang dihubungkan
dengan transformator. Pengatur
fokus obyek terletak disamping
tangkai mikroskop, sedangkan
pengatur perbesaran terletak
diatas pengatur fokus.34
3.3 Pengamatan mikroskopik
menggunakan Mikroskop Optik.
Pengamatan dimulai dengan
perbesaran yang kecil sekitar
100x dan dilanjutkan dengan
meningkatkan perbesaran untuk
mengamati karakteristik yang
lebih jelas. Kebanyakan
mikrostruktur dapat diamati
dengan mikroskop optik dan
diidentifikasikan berdasarkan
karakteristik-karakteristiknya. Mikroskop Optik memiliki
beberapa komponen yang penting,
diantaranya adalah sistem
penerangan (illumination system)
yang terdiri atas lampu, lensa,
filter, dan diafragma. Cahaya dari
lampu dapat diatur intensitasnya
untuk membentuk gambar yang
cerah. Sumber cahaya pada
mikroskop optik berupa lampu
filamen-tungsten voltase rendah
maupun lampu filamen tungsten-
halogen. Intensitas cahaya diatur
berdasarkan suplay tegangan.
Mikroskop memiliki dua
buah lensa, yaitu lensa objektif
dan lensa okuler. Lensa objektif
membentuk bayangan primer
15
mikrostruktur dan merupakan
komponen paling penting dalam
mikroskop optik. Lensa objektif
mengumpulkan cahaya sebanyak
mungkin dari spesimen dan
menggabungnya dengan cahaya
untuk menghasilkan gambar.
Lensa okuler (eyepiece) berfungsi
membesarkan bayangan primer
yang dihasilkan oleh lensa
objektif.35
Dari lensa okuler ini,
gambar langsung diteruskan
menuju kamera.
Mikroskop Optik memanfaat-
kan cahaya dari sumber cahaya
yang melalui kondenser.
Kemudian cahaya dipantulkan
oleh cermin menuju objek.
Cahaya yang dipantulkan oleh
objek (sampel logam) diteruskan
menuju lensa objektif dan
kemudian lensa okuler sehingga
tampak oleh kamera. Gambar 3.2
berikut menjelaskan penjalaran
cahaya pada mikroskop optik.
Gambar 3.2 Prinsip kerja mikroskop
optik35
3.4 Pengamatan dengan Scanning
Electron Microscope (SEM).
Bayangan yang dihasilkan
SEM memiliki karakteristik
perbesaran yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan Mikroskop
Optik. Dalam mendapatkan
gambar SEM, berkas
elektron terfokus mengenai pada
permukaan sampel padat. Pada
instrumen analog, berkas elektron
dipindai melalui seluruh sampel
oleh kumparan scan. Pola
pemindaian yang dihasilkan
adalah serupa dengan yang
digunakan dalam tabung sinar
katoda (CRT) dari sebuah
pesawat televisi di mana berkas
elektron akan menyapu seluruh
permukaan linear dalam arah x,
kembali ke posisi awal , dan
kemudian bergeser ke bawah
dalam arah y dengan kenaikan
standar. Proses ini diulangi hingga
luasan tertentu dari permukaan
sampel telah dipindai seluruhnya.
Sinyal yang diterima dari
permukaan akan disimpan dalam
komputer, yang akan diubah
menjadi sebuah gambar (image).
Beberapa jenis sinyal yang
terbentuk dari permukaan sampel
adalah backscatered, secondary,
dan Auger electron, sinar-X dari
fluoresens foton, dan foton yang
lain dengan berbagai energi. Pada
instrumen SEM, backscatterd dan
secondary electron digunakan
untuk membentuk image.36
Sumber elektron berupa
filamen tungsten. Elektron
diakselerasi agar memiliki energi
yang berkisar antara 1 hingga 30
keV. Sistem kondenser magnetik
dan lensa objektif akan
memperkecil ukuran titik (spot
size) hingga diameter antara 2
hingga 10 nm ketika sampai di
sampel. Sistem kondenser yang
terdiri atas lebih dari satu lensa
akan menghantarkan berkas
elektron menuju lensa objektif,
selanjutnya lensa objektif yang
16
akan menentukan ukuran berkas
yang mengenai permukaan
sampel. Pemindaian pada SEM
dilakukan oleh dua pasang
kumparan elektromagnetik yang
terletak pada lensa objektif. Satu
pasang menghantarkan berkas
dalam arah sumbu-x, dan satu
pasang yang lain dalam arah
sumbu-y.
Terdapat dua interaksi
padatan dengan berkas elektron
yaitu interaksi elsastik yang
mengubah lintasan elektron tanpa
terjadi perubahan energi secara
signifikan dan interaksi inelastik,
yang menjadikan elektron
mentransfer energinya (sebagian
atau seluruhnya) ke padatan.
Padatan yang tereksitasi akan
mengemisikan secondary elec-
tron, Auger electron, dan sinar-X.
Ketika elektron menumbuk
secara elastik dengan atom, terjadi
perubahan arah elektron, tetapi
kecepatannya tetap sehingga
energi kinetiknya relatif konstan.
Sudut pemantulan dari tumbukan
tersebut berkisar antara 0o hingga
180o. Elektron yang terpental ini
disebut dengan backscattered
electron. Berkas backscattered
electron ini memiliki diamater
yang lebih besar. Ketika
permukaan padat ditumbuk berkas
elektron dengan energi beberapa
keV, backscattered electron yang
diemisikan oleh permukaan
memiliki energi sebesar kurang
dari 50 eV.
Secara umum, jumlah
secondary electron lebih sedikit
dari backscattered electron.
Secondary electron terbentuk dari
hasil interaksi antara berkas
elektron berenergi dengan
elektron yang terikat di padatan,
yang selanjutnya akan terjadi
pelepasan pita konduksi elektron
dengan beberapa eV energi.
Secondary electron ini dapat
dicegah agar tidak mencapai
detektor dengan memberi bias
negatif pada papan transduser.36
Gambar 3.3 berikut menunjukkan
skema SEM.
Gambar 3.3 Skema Scanning Electron
Microscope36
Electron gun
Electron beam
Magnetic
condenser lens
Magnetic
objective lens
High voltage
power supply
Scan coil controls
Specimen
26
3.5 Karakterisasi komposisi kimia
makro pada pipa dengan Optical
Emission Spectrometry (OES).
Untuk sampel yang akan diuji
menggunakan OES, sampel pipa
hanya perlu dibersihkan hingga
tampak bagian dasarnya. Hasil
karakterisasi berupa persentase
masing-masing unsur dalam
sampel. Radiasi dari atom dan ion
yang tereksitasi dapat diemisikan
oleh sampel ketika dikenai
electrical discharge, glow
discharge, atau plasma. Karena
sumber eksitasi ini memiliki
energi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sumber
nyala api (flame), unsur-unsur
dari logam atau semi-logam
(metalloid) dapat dideteksi dalam
konsentrasi yang rendah, ter-
masuk unsur-unsur refactory se-
perti boron, tungsten, tentalum,
dan niobium, dan beberapa unsur
nonlogam dapat dideteksi seperti
C, N, H, Cl, Br, dan I. Analisis
padatan menggunakan sumber
electrical dan glow discharge.37
Karena temperatur dari
electrical discharge dan plasma
jauh lebih tinggi dbiandingkan
temperatur nyala api (flame),
spektra emisi dari eksitasi non-
flame menjadi sangat rumit.
Spektra yang pertama adalah
atomic emission spectra dari atom
netral. Pada kondisi ini, sering
terbentuk ion. Elektron kedua dari
ion akan tereksitasi dan naik ke
satu tingkat energi yang lebih
tinggi. Dari tingkat ini, ion akan
melepas dan mengemisikan foton.
Level energi dari ion tidak sama
dengan level energi atom, mereka
membentuk garis emisi yang
berbeda.
Prinsip kerja dari emission
spectrometer dengan sumber
electrical discharge sebagai
berikut. Sumber listrik akan
membuat electrical discharge di
ruang antara dua elektrode, yaitu
sample electrode dan counter
electrode. Sample electrode
berupa logam, counter electrode
berupa elektrode yang inert,
seperti tungsten atau grafit. Bahan
dari sample electrode dikenai
discharge sehingga akan terjadi
penguapan dan eksitasi. Atom
yang tereksitasi akan
mengemisikan radiasi, yang
dideteksi dan dihitung oleh sistem
detektor. Panjang gelombang dari
garis emisi menunjukkan adanya
unsur-unsur dan intensitas emisi
pada setiap panjang gelombang
tersebut menunjukkan jumlah
setiap unsur yang ada.
Spectrograf adalah spectro-
meter yang menggunakan film
fotografi atau plat fotografi untuk
mendeteksi dan merekam radiasi
yang diemisikan. Spektrograf
dikenalkan pada tahun 1930an
dan digunakan sebagai instrumen
dasar untuk analisis unsur,
terutama dalam industri baja atau
logam lain. Selanjutnya emisi
radiasi berupa cahaya tersebut
masuk ke polikromator agar
mampu mendeteksi panjang
gelombang dari UV hingga
Visible (120-800 nm). Pada
gambar, cahaya dari sampel yang
tereksitasi dibawa menuju empat
polikromator, setiap polikromator
teroptimasi pada rentang panjang
gelombang tertentu. Gambar
berikut menunjukkan skema kerja
dari perangkat OES.37
17
27
3.6 Karakterisasi komposisi kimia
mikro pada produk korosi dengan
Energy Dispersive Spectroscopy
(EDS).
Image backscattered electron
dari SEM memperlihatkan kontras
dari permukaan sampel
berdasarkan perbedaan nomor
atom unsur dan distribusinya.
Energy Dispersive Spectroscopy
(EDS) mengidentifikasi unsur-
unsur apa dan berapa proporsi
relatif unsur-unsur tersebut pada
permukaan sampel. Analisis EDS
memanfaatkan terbentuknya
spektrum sinar-X dari area yang
dipindai oleh SEM. Hasil dari
EDS berupa grafik sumbu-x dan
sumbu-y. Sumbu-x menunjukkan
jumlah sinar-X yang diterima dan
diproses oleh detektor dan sumbu-
y menunjukkan level energy dari
jumlah tersebut.38
Sinar-X yang dideteksi pada
EDS adalah hasil interaksi
nonelastik dari berkas elektron
dengan atom pada permukaan
sampel. Terdapat dua jenis sinar-
X, yaitu sinar-X karakteristik dan
Bremsstrahlung. Sinar-X karak-
teristik dihasilkan ketika berkas
elektron mengeluarkan elektron
kulit terluar dari atom sampel.
Bremsstrahlung dihasilkan ketika
berkas elektron berinteraksi
dengan inti atom pada sampel.
Proses terbentuknya sinar-X
karakteristik dapat dijelaskan
sebagai berikut. Adanya tempat
yang kosong di kulit terdalam, K,
terjadi karena berkas elektron
energi tinggi mengenai elektron
dari kulit tersebut, sehingga
elektron atom terpental.
Selanjutnya elektron dari kulit
yang lebih tinggi mengisi kulit K
tersebut. Perpindahan elektron
tersebut mengemisikan sinar-X
karakteristik. Energi dari sinar-X
ini adalah karakteristik khusus
bagi atom pada permukaan
sampel. Gambar 3.4 menunjukkan
skema terjadinya sinar-X
karakteristik.
Gambar 3.4 Sinar-X karakteristik
karena berkas elektron38
Kemungkinan lain yang bisa
terjadi, energi yang diemisikan
dari perpindahan elektron tersebut
ditransfer ke elektron yang lain,
sehingga elektron tersebut juga
ikut keluar dari lintasan. Elektron
yang keluar ini disebut dengan
Auger electron. Energi dari
Auger electron, seperi sinar-X,
adalah karakteristik khusus bagi
atom pada permukaan sampel.
Auger electron lebih sering
terbentuk pada unsur dengan
nomor atom rendah, sinar-X
karakteristik lebih sering
terbentuk pada unsur dengan
nomor atom tinggi. Fenomena
terbentuknya Auger electron
dapat dilihat pada Gambar 3.5
berikut.
18
28
Gambar 3.5 Terbentuknya Auger
electron38
Bremsstrahlung menunjukkan
latar belakang (background) dari
puncak grafik sinar-X
karakteristik yang terganggu.
Bremsstrahlung terbentuk ketika
berkas elektron berinteraksi
dengan medan listrik (coulomb)
dari inti atom sampel. Ketika
berinteraksi, berkas elektron
kehilangan energi yang disebut
dengan Bremsstrahlung.
Distribusi energi yang lepas ini
kontinu dan bukan karakteristik
dari nomor atom unsur. semakin
dekat berkas elektron (dari inti),
semakin kuat interaksi antara
berkas dengan medan listrik inti,
dan semakin besar energi yang
hilang dari berkas elektron, maka
semakin besar energi foton sinar-
X yang diemisikan. Probabilitas
melesetnya berkas elektron
dengan inti atom yang besar, akan
memperkecil energi dari
Bremsstrahlung.38
3.7 Identifikasi senyawa produk
korosi dengan X-Ray Diffraction
(XRD).
Ketika radiasi sinar-X
melalui sampel, vektor elektrik
dari radiasi berinteraksi dengan
elektron dalam atom untuk
membentuk hamburan. Pada saat
sinar-X terhambur dari kristal,
terjadi interferensi kosntruktif dan
destruktif disebabkan oleh jarak
antar pusat hamburan sama
dengan orde dari panjang
gelombang radiasi. Hasil dari
fenomena ini adalah difraksi.39
Menurut hukum Bragg,
ketika berkas sinar-X mengenai
permukaan kristal pada sudut θ,
sebagian dari berkas akan
dihamburkan oleh lapisan atom di
permukaan. Bagian yang tidak
dihamburkan menembus ke
lapisan kedua dari atom,
kemudian terjadi lagi bagian yang
dihamburkan, sebagian yang lain
menembus lapisan ketiga, dan
seterusnya. Kumpulan efek
hamburan dari kristal ini
merupakan difraksi dari berkas
sinar-X, sebagaimana radiasi sinar
tampak terdifraksi oleh kisi.
Syarat terjadinya difraksi sinar-X
adalah adanya ruang antar lapisan
dari atom yang sesuai dengan
panjang gelombang dari radiasi,
dan pusat hamburan terdistribusi
secara spasial dan teratur.
Berkas sinar yang tipis
mengenai permukaan kristal pada
sudut teta, timbul hamburan
sebagai hasil dari interaksi radiasi
dengan atom yang terletak di O,
P, dan R. Dari Gambar 3.6
berikut, dapat dilihat berkas sinar-
X yang mengenai atom.
19
26
Gambar 3.6 Sinar-X mengenai atom dan terpantul sebagian
39
Jarak AP + PC = nλ, dimana
n adalah bilangan bulat, λ adalah
panjang gelombang, hamburan
radiasi terletak pada garis OCD,
dan kirstal akan memantulkan
dariasi sinar-X.
AP = PC = d sin θ, dengan d
adalah jarak kisi kristal.
Interferensi konstruktif dari
berkas terjadi pada sudut θ
nλ = 2d sin θ39
Berikut akan dijelaskan
prinsip kerja instrumen X-Ray
Diffractometer. Tabung sinar-X
membentuk berkas sinar-X yang
merupakan hasil dari tumbukan
elektron pada logam tertentu
seperti tungsten, khrom, tembaga,
molibdenum, rhodium, scandium,
perak, besi, dan kobalt. Elektron
dihasilkan oleh rangkaian
pemanas filamen. Rangkaian
pemanas tersebut yang mengatur
inentistas sinar-X atau panjang
gelombangnya. Rangkaian
tersebut diatur dengan suplai
tenaga yang stabil. Gambar 3.7
adalah tabung sinar-X yang
dimaksud.
Gambar 3.7 Tabung sinar-X
40
Selanjutnya, sinar-X yang
terbentuk akan di filter
berdasarkan kebutuhan panjang
gelombangnya dan melalui
monokromator. Sinar-X
selanjutnya akan diarahkan
mengenai sampel yang berputar
dengan kelajuan θo per menit.
Hasil difraksi dari sinar-X ini
akan mengenai detektor yang
berputar dengan kelajuan 2θo per
menit. Perangkat yang mengatur
berputarnya sample holder dan
detektor ini disebut dengan
goniometer. Gambar 3.8
memperlihatkan adanya sudut θ
sebagai sudut datang sinar dan 2θ
sebagai sudut difraksi sinar.
Gambar 3.9 menunjukkan skema
instrumen X-Ray Diffractometer.
20
27
Gambar 3.8 Sinar-X mengenai sampel pada sudut θ
41
Gambar 3.9 Skema instrumen XRD
41
Dari detektor tersebut akan
didapatkan data berupa grafik
yang menunjukkan sudut 2θ dan
intensitas sinar-X yang
terdifraksi. Setiap zat tertentu
memiliki pola difraksi yang khas.
Analisis kualitatif dari suatu zat
tertentu dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi pola-pola
tertentu dari hasil difraksinya.
Pola difraksi merekam intensitas
sinar-X sebagai fungsi dari sudut
2θ.42
4. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah sampel
dikarakterisasi, semua data
digabung dan dianalisis untuk
mengetahui mekanisme korosi
dan menentukan penyebab
terjadinya korosi. Hasil
identifikasi pola XRD akan
dianalisis secara manual dengan
metode Hanawalt. Seluruh hasil
analisis akan dibandingkan
dengan beberapa referensi dan
dapat disimpulkan penyebab
korosi pada pipa.
Teknik pencarian hanawalt
digunakan untuk
mengidentifikasi fasa/bahan yang
tidak diketahui dengan
mengidentifikasi bentuk referensi
yang mungkin dan kemudian
membuat perbandingan langsung
dari bentuk yang diobservasi
degan bentuk referensi dari PDF
(Powder Diffraction File).
21
Prosedur identifikasi fasa
dari sampel mengikuti langkah
sebagai berikut43
:
1. Data eksperimen berupa nilai
d disusun dengan urutan
intensitas yang semakin kecil,
2. Sudut pantulan dengan
intensitas paling tinggi dicari
dalam Indeks Hanawalt,
3. Jangkauan data dari indeks
hanawalt harus sesuai dengan
data eksperimen. Pola-pola
referensi yang mungkin
(potensial) dikenali dengan
cara membandingkan enam
refleksi terkuat yang terakhir
sebagaimana terdaftar dengan
pola eksperimen. Bentuk
referensi yang mungkin cocok
memiliki angka PDF.
4. Pola hasil eksperimen
selanjutnya dibandingkan
dengan pola referensi PDF
yang lengkap. Identifikasi
telah selesai jika pasangan
pola referensi PDF tersebut
sesuai dengan data hasil
eksperimen.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Visual
Pipa dipotong secara transversal
menjadi dua bagian, yaitu bagian atas dan
bagian bawah. Gambar 4.1 mem-
perlihatkan (a) permukaan luar pipa
bagian atas, (b) permukaan luar pipa
bagian bawah, (c) permukaan dalam pipa
bagian atas, dan (d) permukaan dalam
pipa bagian bawah.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.1 Pipa Primary Separator, camdig (0,5x)
Diameter pipa diukur menggunakan
jangka sorong. Pengukuran dilakukan
sebanyak lima kali ulangan. Didapatkan
nilai rata-rata diameter pipa sebesar 5,92
cm. Tabel 2. berikut memperlihatkan data
hasil pengukuran diameter pipa.
Tabel 4. Data hasil pengukuran diameter pipa
Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
Diameter
(cm) 5,98 5,88 6,06 5,81 5,89 5,92
Dari hasil pengamatan visual
terhadap pipa, terlihat pipa terkorosi pada
bagian dalam, bahkan ditemukan adanya
lubang. Gambar 4.2 menunjukkan bagian
dalam untuk pipa bawah.
Gambar 4.2 Bagian dalam pipa bawah,
camdig (1x)
Secara umum, bagian dalam pipa
berwarna coklat. Jika dilihat lebih dekat,
warna deposit korosi bervariasi antara
merah, coklat muda, coklat tua, dan
hitam. Warna coklat kemerahan
menunjukkan adanya senyawa Fe2O3,
sedangkan warna hitam menunjukkan
adanya senyawa Fe3O4. Kedua senyawa
tersebut adalah produk korosi.44
Banyak
terbentuk sumur (pit) pada pipa, seperti
diperlihatkan pada Gambar 4.3 berikut.
Gambar 4.3 Bagian dalam pipa, camdig
(3x).
Selain itu, ketebalan pipa juga
diukur menggunakan mikrometer skrup.
Pada pipa tersebut, terdapat beberapa
bagian yang memiliki ketebalan berbeda.
Hal ini menunjukkan terjadinya
penipisan logam akibat korosi. Penipisan
ini berkisar antara 20% hingga 100%.
Adanya lubang menunjukkan terjadinya
penipisan 100%. Tabel 3. berikut
menunjukkan nilai ketebalan pipa pada
beberapa bagian tertentu yang sudah
ditandai pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Bagian-bagian pipa yang diukur ketebalannya
24
23
Tabel 5. Data hasil pengukuran
ketebalan pipa
Bagian Atas Bagian Bawah
Titik Ketebalan
(mm)
Titik Ketebalan
(mm)
TA 2,34 BA 3,31
TB 3,15 BB 3,66
TC 2,42 BC 1,80
TD 1,91 BD 2,95
TE 2,77 BE 2,11
TF 4,05 BF 1,92
TG 2,03 BG 3,00
TH 3,55 BH 3,40
Pipa dipotong secara transversal dan
longitudinal. Kemudian dilakukan
mounting dan grinding. Pada Gambar 4.5
(a) sampel diambil dari pipa bagian atas.
Pipa dipotong melintang/transversal
setebal 5 mm. Kemudian dari cuplikan
tersebut, dibagi minjadi tiga bagian dan
disusun berjajar seperti pada gambar.
Terlihat dari gambar bahwa ketebalan
pipa bervariasi. Hal ini dapat terjadi
karena serangan korosi pada pipa. Pada
Gambar 4.5 (b) sampel diambil dari pipa
bagian atas. Pipa dipotong
membujur/longitudinal setebal 5 mm.
Kemudian dari cuplikan tersebut dibagi
menjadi tiga bagian dan disusun berjajar
seperti pada gambar. Dari gambar
tersebut, bagian yang paling atas
menunjukkan ketebalan yang bervariasi,
namun dua bagian yang bawah, tidak
terlalu tampak penipisannya. Terjadinya
penipisan ini juga disebabkan serangan
korosi.
(a)
(b)
Gambar 4.5 Sampel pipa yang dipotong
(a) transversal dan (b)
longitudinal
Pengamatan Makroskopik
Pengamatan makroskopik pada
bagian dalam pipa, menggunakan kamera
digital dan mikroskop stereo. Gambar 4.6
di bawah ini merupakan hasil
pengamatan dari mikroskop stereo yang
diambil gambarnya menggunakan
kamera digital. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa korosi mampu membentuk
lubang/sumur pada permukaan dalam
pipa. Sumur ini merupakan salah satu
bentuk serangan korosi yang terlokalisasi
(localized corrosion). Penyebab korosi
seperti air atau minyak mentah terjebak
pada satu titik di dalam pipa tersebut,
membentuk lubang. Penyebab korosi
tidak bisa keluar dan serangan semakin
dalam, akibatnya terbentuk sumur seperti
pada gambar.
Gambar 4.6 Lubang akibat korosi pada bagian dalam pipa, m.s. (6x)
Sumur (pitting)
25
44
Korosi juga mampu membuat
lapisan deposit korosi terkelupas seperti
pada Gambar 4.7. Hal ini merupakan
salah satu bentuk serangan general
corrosion. Penyebab korosi secara
bersamaan menyerang pada permukaan
pipa, menghasilkan deposit yang
mempertipis lapisan permukaan logam.
Adanya aliran fluida dalam pipa juga
mempengaruhi permukaan logam untuk
melepas lapisan deposit korosi. Pada
Gambar 4.7 tersebut, terlihat lapisan
deposit korosi tersebut hampir lepas.
Gambar 4.7 Deposit korosi terkelupas pada bagian dalam pipa, m.s. (6x).
Pada Gambar 4.8, terlihat jelas
adanya penipisan ketebalan pipa.
Penipisan ini juga disebabkan oleh
serangan korosi lokal yang depositnya
sudah terkikis habis sehingga hampir
tampak logam dasar (base metal) dari
pipa. Terkikisnya lapisan deposit juga
dapat dipengaruhi oleh aliran fluida di
dalam pipa.
Gambar 4.8 Ketebalan pipa yang menipis, m.s. (6x).
Lapisan terkelupas
26
Gambar 4.9 menunjukkan goresan-
goresan sejajar pada bagian dalam pipa.
Hal ini dimungkinkan dapat terjadi
karena adanya gesekan antara pipa
dengan fluida yang mengalir di
dalamnya. Fluida tersebut membawa
pengotor minyak seperti pasir yang
mampu menggores logam pipa. Adanya
goresan tersebut bisa menjadi salah satu
ciri serangan erosion corrosion
Kemungkinan lain, goresan tersebut
adalah salah satu tanda bahwa pipa
mengalami korosi H2S. Salah satu ciri
adanya serangan korosi H2S adalah dasar
logam yang tergores.
Gambar 4.9. Goresan pada bagian dalam pipa, m.s. (6x).
Pengamatan Mikroskopik
Pengamatan struktur mikro dari
sampel pipa menggunakan mikroskop
optik dan (Scanning Electron
Microscope) SEM. Sampel pertama yang
akan diamati adalah permukaan luar.
Gambar 4.10 berikut menunjukkan
permukaan luar pipa yang dipotong
secara longitudinal, (a) dengan etsa dan
(b) tanpa etsa. Dari kedua gambar
tersebut, terlihat perbedaan sampel yang
melalui dan tanpa melalui proses etching
(etsa). Pada Gambar 4.10 (a) fasa pearlite
yang berwarna agak gelap pada logam
dasar lebih terlihat jelas daripada logam
dasar di Gambar 4.10 (b) yang tampak
polos. Kedua gambar tersebut juga
menunjukkan terlihatnya lapisan cat dari
pipa.
(a) (b)
Gambar 4.10 Permukaan luar pipa dipotong longitudinal, m.o. (300x)
27
Pengamatan berikutnya dilakukan
dengan memotong pipa secara
transversal, hasilnya tampak pada
Gambar 4.11. Gambar tersebut
menunjukkan permukaan luar pipa
setelah dietsa. Terlihat adanya logam
dasar, lapisan galvanis, dan lapisan cat.
Lapisan galvanis adalah lapisan yang
ditambahkan pada baja untuk
memberikan ketahanan korosi, lapisan ini
terbuat dari seng (Zn). Setelah dilapisi
dengan seng, permukaan luar pipa
kemudian dicat.
Gambar 4.11 Permukaan luar pipa dipotong transversal, m.o. (400x)
Sampel berikutnya yang diamati
adalah bagaian tengah dari pipa. Pipa
dipotong secara transversal. Gambar 4.12
menunjukkan bagian tengah pipa, (a)
melalui proses etching dan (b) tanpa
melalui proses etching. Pada Gambar
4.12 (a) terlihat butir-butir ferrite yang
tampak lebih cerah dan butir-butir
pearlite yang tampak gelap. Pada
Gambar 4.12 (b) tidak terlihat adanya
butir-butir. Hal ini terjadi karena sampel
tersebut tidak melalui proses etching.
Namun, terlihatnya bintik-bintik hitam
ini adalah kotoran yang masuk ketika
proses polishing yang kurang sempurna.
(a) (b)
Gambar 4.12 Bagian tengah pipa dipotong transversal, m.o. (300x)
28
Sampel berikutnya yang diamati
adalah permukaan dalam dari pipa. Pipa
dipotong secara transversal. Gambar 4.13
menunjukkan penampang melintang
permukaan dalam pipa. Bagian yang
lebih cerah merupakan logam dasar (base
metal) dengan butir-butir ferrite dan
pearlite, sedangkan bagian yang lebih
gelap merupakan produk korosi. Produk
korosi juga terlihat pada Gambar 4.14.
Dari hasil pengamatan ini, terlihat bahwa
salah satu jenis korosi yang menyerang
permukaan dalam pipa adalah general
corrosion. Ketebalan pipa menipis dan
tertutupi oleh lapisan produk korosi
secara seragam.
Gambar 4.13 Penampang melintang bagian dalam pipa, m.o. (400x)
Gambar 4.14 Penampang melintang bagian dalam pipa, m.o. (200x)
29
Selain general corrosion, jenis
korosi yang tampak pada pipa adalah
pitting corrosion. Jenis korosi ini
ditemukan pada pengamatan sampel pipa
yang dipotong secara transversal
(Gambar 4.15) dan longitudinal (Gambar
4.17). Pada Gambar 4.15 terlihat adanya
serangan korosi yang berbentuk bulat.
Hal ini menunjukkan bahwa pada
cuplikan sampel tersebut terdapat sumur
(pitting). Jenis korosi ini juga tampak
pada Gambar 4.16. Pada Gambar 4.17
terlihat adanya sumur yang cukup besar
dan terisi oleh produk korosi.
Gambar 4.15 Penampang melintang bagian dalam pipa, m.o. (400x)
Gambar 4.16 Penampang melintang bagian dalam pipa tanpa etching, m.o. (200x)
Gambar 4.17 Bagian dalam pipa dipotong longitudinal, m.o. (400x)
30
Jika sampel dikaratkerisasi
menggunakan SEM, maka akan tampak
seperti pada gambar-gambar di bawah
ini. Gambar 4.18 menunjukkan struktur
mikro logam dasar pipa (base metal),
terlihat bahwa logam tersebut didominasi
oleh fasa ferrite dan sedikit pearlite. Fasa
ferrite dicirikan dengan bagian yang
lebih terang, sedangkan pearlite dicirikan
dengan bagian yang lebih gelap. Batas
antar butir tampak terlihat berwarna
putih.45
Gambar 4.18 Struktur mikro pipa baja, SEM (1000x)
Gambar 4.19 di bawah ini
merupakan pencitraan penampang
melintang bagian dalam pipa. Dari
gambar tersebut, tampak bagian yang
lebih cerah merupakan logam dasar pipa
(base metal) dan bagian yang lebih gelap
adalah deposit korosi. Deposti korosi
bersifat rapuh sehingga terlihat adanya
retakan pada deposit tersebut. Dari
gambar ini, jenis serangan yang terlihat
adalah general corrosion.
Gambar 4.19 Penampang melintang pipa bagian dalam, SEM (1000x)
Logam Dasar
Produk Korosi
31
23
Gambar 4.20 di bawah ini
menunjukkan adanya produk korosi yang
membentuk lubang-lubang atau sumur
(pitting) pada pipa. Bagian pojok kiri atas
adalah sebagian logam dasar (base metal)
yang masih belum terkena serangan
korosi. Di bagian gambar sebelah kanan,
tampak susunan deposit korosi yang
acak. Terdapat pula beberapa lubang
(berwarna hitam) yang terbentuk akibat
serangan korosi lokal. Sumur-sumur
tersebut dimungkinkan saling
berhubungan satu sama lain atau disebut
dengan istilah (wormhole). Adanya
sumur yang saling berhubungan ini
merupakan salah satu tanda korosi CO2
yang menyerang pipa.
Gambar 4.20 Permukaan dalam pipa yang terkorosi, SEM (500x)
Karakterisasi komposisi kimia pipa
Komposisi unsur-unsur kimia pipa
hasil pengujian dengan Optical Emission
Spectrometer ditunjukkan pada Tabel 6
berikut.
Tabel 6. Komposisi kimia penyusun
logam dasar pipa
Unsur % Berat Unsur % Berat
Fe 98,1866 Ni 0,00901
Mn 1,18598 Zn 0,00595
Si 0,29992 Pb 0,00562
C 0,16138 V 0,00373
Nb 0,04133 Zr 0,00342
Al 0,03458 W 0,00199
Cr 0,02384 Sn 0,00155
Cu 0,01347 P 0,0116
Ti 0,01152 S 0,0001
Dari data di atas, dapat dianalisis
bahwa kandungan karbon dan mangan
dalam baja ini adalah kurang dari 0,3%
dan 1,5%. Berdasarkan Tabel 1 pada Bab
II, sampel pipa termasuk ke dalam jenis
low carbon steel. Jenis bahan seperti ini
banyak digunakan untuk stamping,
forging, seamless tubes, dan boiler
plate.46
Untuk industri perminyakan
(petroleum oil), jenis baja seamless tubes
adalah jenis pipa yang digunakan untuk
mengalirkan minyak.
Komposisi kimia pembentuk pipa
pada Tabel 6 di atas memiliki kemiripan
dengan baja jenis SAE 1513 (SAE,
Society of Automotive Engineers) dengan
kandungan unsur-unsurnya dengan Tabel
3 pada Bab II. Akan tetapi, berdasarkan
American Petroleum Institute (API), jenis
baja seamless yang tepat digunakan
dalam industri minyak adalah jenis baja
5L. Komposisi kimia baja 5L dapat
dilihat pada Tabel 2 Bab II.
Kandungan karbon dalam jenis baja
ini ditambahkan agar kekuatan
mekaniknya semakin besar dan
elastisitasnya menurun. Terdapat pula
unsur mangan yang ditambahkan untuk
meningkatkan kualitas permukaan baja.
Adanya unsur silikon akan memperkuat
baja. Terdapat beberapa unsur lain seperti
niobium, aluminium, khrom, tembaga,
dan titanium memiliki peranan masing-
masing dalam meningkatkan karakteristik
mekanik baja. Unsur-unsur lain dengan
32
kandungan di bawah 0,01% adalah
pengotor pada baja.
Berikut adalah hasil pengujian
komposisi unsur-unsur kimia pada pipa
dengan Energy Dispersive Spectrometer
(EDS). Hasil grafik EDS dapat dilihat
pada Lampiran 3 (Halaman 45). Gambar
4.21 dan Gambar 4.22 menunjukkan
beberapa titik pengukuran pada
permukaan sisi dalam pipa yang
mengalami korosi, hasilnya ditampilkan
pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Gambar 4.21 Beberapa titik pengukuran komposisi kimia mikro
Tabel 7. Komposisi kimia mikro pada beberapa titik di gambar 4.17
Unsur
Komposisi (% berat)
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6
Fe 91,39 66,7 84,71 84,73 84,29 53,23
C 7,54 10,22 11,53 12,97 13,26 12,92
O 0,83 22,62 3,4 2,07 2,13 33,46
Si 0,25 0,33 0,36 0,24 0,32 0,19
S - 0,03 - - - 0,19
Cl - 0,11 - - - 0,01
Dari data EDS yang ditampilkan
pada Tabel 7, terlihat bahwa unsur-unsur
yang terdapat pada produk korosi
diantaranya adalah besi (Fe), karbon (C),
oksigen (O), silikon (Si), sulfur (S), dan
klor (Cl). Pada titik 1, terlihat komposisi
unsur oksigen yang sangat rendah, hal ini
menunjukkan bahwa pada bagian
tersebut serangan korosi masih sangat
ringan. Pada titik 2 dan titik 6, gambar
menunjukkan sumur yang berwarna
gelap, ternyata hasil EDSnya
menunjukkan adanya unsur-unsur
oksigen, sulfur dan klor yang terdapat
dalam lubang tersebut. Adanya unsur
sulfur ini semakin memperkuat dugaan
bahwa jenis srangan korosi adalah H2S
corrosion. Adanya unsur klor
membuktikan bahwa proses drain dan
refresh menggunakan senyawa HCl
dalam pengoperasiannya. Proses tersebut
masih meninggalkan unsur klor pada
bagian dalam pipa.
33
44
Gambar 4.22 Beberapa titik pengukuran komposisi kimia mikro
Tabel 8. Komposisi kimia mikro pada beberapa titik di gambar 4.18
Unsur
Komposisi (% berat)
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6
Fe 86,29 51,87 74,91 45,25 9,29 84,14
C 11,94 12,94 20,06 17,4 41,88 15,31
O 1,77 34,58 4,57 36,54 8,12 -
Si - 0,43 0,45 0,81 40,71 0,55
S - - - - - -
Cl - 0,17 - - - -
Dari data EDS yang ditampilkan
pada Tabel 8, terlihat bahwa unsur-unsur
yang terdapat pada produk korosi
diantaranya adalah besi (Fe), karbon (C),
oksigen (O), silikon (Si), dan klor (Cl).
Berbeda dengan Gambar 4.21 di atas,
Gambar 4.22 adalah penampang
melintang permukaan logam bagian
dalam. Titik 1 dan titik 6 memiliki warna
yang cerah, hal ini menunjukkan bahwa
bagian tersebut adalah logam dasar pipa.
Pada kedua titik tersebut hampir tidak
terdapat unsur oksigen yang menandakan
belum terjadi serangan korosi. Warna
yang lebih gelap seperti pada titik 2
menunjukkan bentuk sumur yang terisi
dengan deposit korosi. Pada titik ini
ditemukan sedikit unsur klor yang
merupakan sisa hasil proses drain dan
refresh. Pada titik yang lain tampak
adanya unsur oksigen sebagai tanda
adanya produk korosi pada titik tersebut.
34
Identifikasi senyawa pada produk
korosi
Identifikasi senyawa dilakukan
dengan instrumen X-Ray Diffractometer.
Pengujian dilakukan pada tiga sampel,
yaitu pipa tanpa karat, pipa berkarat, dan
serbuk deposit korosi. Gambar 4.23,
4.24, dan 4.25 berikut adalah grafik hasil
pengujian difraksi sinar-X. Proses analisi
fraksi sinar-X ditampilkan pada
Lampiran 4 (Halaman 57) dan PDF
(Powder Diffraction File) untuk masing-
masing senyawa ditampilkan pada
Lampiran 5 (Halaman 58).
Gambar 4.23 Hasil pengujian difraksi sinar-X untuk besi bersih karat
Gambar 4.24 Hasil pengujian difraksi sinar-X untuk besi yang berkarat
o
*
Δ
* o x Δ
Δ
*
Δ
o
x Δ
o
x
o
o : FeS (23-1120)
x : FeCO3 (29-0696)
* : Fe2O3 (47-1409)
Δ : FeOOH (26-0792)
* o Δ
Δ
o
x o
35
Bagian dalam pipa yang berkarat
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
2 theta
Intensitas
Gambar 4.25 Hasil pengujian difraksi sinar-X untuk serbuk karat
Dari hasil pengujian difraksi sinar-X
tersebut, terlihat bahwa bahan penyusun
utama pipa adalah besi Fe (#PDF 06-
0696). Kemudian beberapa senyawa yang
terdapat pada produk korosi diantarnya
adalah FeS (iron sulfide, #PDF 23-1120),
FeSO4 (iron sulfate, #PDF 37-0873),
FeCO3 (iron carbonate, siderite, #PDF
29-0696), Fe3O4 (iron oxide, magnetite,
#PDF 19-0629), Fe2O3 (iron oxide,
hematite, #PDF 47-1409), FeO(OH)
(iron oxide hydroxide, #PDF 26-0792),
dan FeCl2 (iron chloride, #PDF 01-
1106). Powder Diffraction File (PDF)
untuk masing-masing senyawa terdapat
pada lampiran.
Dari hasil tersebut, terlihat adanya
beberapa senyawa hasil produk korosi,
seperti FeO(OH), Fe2O3 dan Fe3O4 yang
merupakan ciri utama terjadinya korosi
pada baja. Selain itu, terdapat senyawa
FeCO3 yang merupakan hasil korosi oleh
senyawa CO2. Kemudian terdapat pula
senyawa FeS dan FeSO4 yang
memperkuat terjadinya korosi H2S pada
pipa. Terdapat pula senyawa FeCl2 yang
terbentuk karena proses drain dan refresh
yang menyisakan unsur Cl pada
permukaan dalam pipa. Berikut adalah
beberapa reaksi kimia yang menunjukkan
terjadinya beberapa senyawa produk
korosi di atas.
Terjadinya korosi diawali dengan
besi yang mengalami oksidasi.
Fe → Fe2+
+ 2e−
Kemudian terjadi reaksi redoks antara
Fe2+
dengan oksigen.
4Fe2+
+ O2 → 4Fe3+
+ 2O2−
Selanjutnya hasil reaksi di atas, Fe3+
bereaksi dengan air (H2O) yang
selanjutnya akan menghasilkan FeO(OH)
dan Fe2O3 .
Fe3+
+ 3H2O ⇌ Fe(OH)3 + 3H+
Fe(OH)3 ⇌ FeO(OH) + H2O
2FeO(OH) ⇌ Fe2O3 + H2O
Selain bereaksi dengan oksigen, Fe2+
juga bereaksi dengan ion Cl-.
2Fe2+
+ 4Cl- → 2FeCl2
Kemudian hasil reaksi di atas, FeCl2
bereaksi dengan oksigen
3FeCl2 + 2O2 → Fe3O4 + 3Cl2
Serbuk Karat
0
20
40
60
80
100
120
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
2 theta
Inte
bn
sit
as
x : FeS (23-1120) o : FeSO4 (37-0873) * : FeCO3 (29-0696) # : FeFe2O4 (19-0629) $ : FeCl2 (01-1106)
$ x o
o
* x
$ * x
x * o
$ * x #
# *
x x
$ # o x
$ #
$ * #
$ # x *
$ #
* x
*
36
Adanya senyawa H2S dan CO2 pada
minyak bereaksi dengan besi dan
menghasilkan produk korosi
sebagaimana reaksi kimia berikut.
Fe + H2S → FeS + H2
2 Fe + 2 CO2 + O2 → 2 FeCO3
37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil pengamatan visual, untuk
bagian luar pipa tidak mengalami korosi.
Pada permukaan dalam pipa, terdapat
produk korosi pada semua permukaan.
Produk korosi berwarna coklat, merah,
dan hitam. Warna coklat dan merah
menunjukkan senyawa Fe2O3. Warna
hitam menunjukkan senyawa Fe3O4. Dari hasil pengamatan makroskopik,
semakin jelas nampak adanya sumur
(pitting) pada permukaan dalam pipa.
Sumur ini merupakan salah satu tanda
adanya bentuk korosi O2. Terlihat juga
adanya goresan-goresan pada pipa yang
merupakan salah satu tanda bahwa pipa
mengalami korosi H2S.
Dari hasil pengamatan mikroskopik,
pipa didominasi fasa ferrite dan sedikit
pearlit, namun fasa ini homogen di
seluruh bagian pipa. Jenis serangan korosi
pada pipa diantaranya adalah general
corrosion, pitting corrosion, dan erosion
corrosion. Adanya sumur yang saling
berhubungan (wormhole) ini merupakan
salah satu tanda korosi CO2 yang
menyerang pipa. Hasil karakterisasi
komposisi kimia dengan instrumen OES
menunjukkan bahwa bahan pipa termasuk
ke dalam low-carbon steel.
Hasil pengujian instrumen EDS pada
beberpa bagian dalam pipa menunjukkan
adanya unsur tambahan yang terdeteksi,
yaitu oksigen (O), sulfur (S), dan klor
(Cl). Hal ini semakin memperkuat dugaan
bahwa bentuk korosi CO2 dan H2S yang
menyerang pipa. Adanya unsur klor
membuktikan bahwa proses drain dan
refresh meninggalkan unsur klor pada
permukaan dalam pipa.
Dari hasil identifikasi senyawa oleh
instrumen XRD, terlihat adanya beberapa
senyawa hasil produk korosi, yaitu
FeO(OH), Fe2O3 dan Fe3O4 yang
merupakan produk utama korosi pada
baja. Selain itu, terdapat senyawa FeCO3
yang merupakan hasil korosi oleh
senyawa CO2. Kemudian terdapat pula
senyawa FeS dan FeSO4 yang
memperkuat terjadinya korosi H2S pada
pipa. Terdapat pula senyawa FeCl2 yang
terbentuk karena proses drain dan refresh
yang kurang berjalan dengan baik.
Saran
Untuk mencegah terjadinya kegagalan
serupa perlu dipertimbangkan beberapa
hal berikut, yaitu:
1. Penggantian material pipa dengan
material yang sesuai dengan
standard internasional seperti
SAE atau API.
2. Peningkatan quality control
dalam maintenance cleaning
damage untuk mencegah
penumpukan deposit korosi
dengan menambahkan
penghalang korosi (corrosion
inhibitor) yang tepat secara
kontinu. Contohnya adalah Vapor
phase Corrosion Inhibitor (VpCI).
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Salim, T dan Sriharti. (2006) Analisis
Penerapan Teknologi Penyulingan
Nilam di Desa Cupunagara
Kecamatan Cisalak Kabupaten
Subang.Yogyakarta: LIPI.
2. Meyrick, G. (2001) Steel Class Notes
and Lecture Material for MSE
651.01--Physical Meteallurgy of
Steel.
3. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990)
ASM Handbook Volume 1
Properties and Selection: Irons Steel
and High Performance
Alloys.Ohio:American Society for
Metals.
4. Krauss G. (1985) Physical
Metallurgy and Heat Treatment of
Steel, in Metals Handbook Desk
Edition.Ohio:American Society for
Metals.
5. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990)
ASM Handbook Volume 1
Properties and Selection: Irons Steel
and High Performance
Alloys.Ohio:American Society for
Metals.
6. Meyrick, G. (2001) Steel Class Notes
and Lecture Material for MSE
651.01--Physical Meteallurgy of
Steel.
7. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990)
ASM Handbook Volume 1
Properties and Selection: Irons Steel
and High Performance
Alloys.Ohio:American Society for
Metals.
8. Callister, W. D. (2007) Materials
science and engineering: an
introduction.USA:John Wiley &
Sons, Inc.
9. Thelning K. E. (1975) Steel and its
Heat Treatment.England:Butterworth
& Co (Publishers) Ltd.
10. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990)
ASM Handbook Volume 1
Properties and Selection: Irons Steel
and High Performance
Alloys.Ohio:American Society for
Metals.
11. Verhoeven, J. D. (2005) Metallurgy
of Steel for Blademiths & Others who
Heat Treat and Forge Steel.Iowa
State University.
12. SAE J411. (1989) SAE Handbook,
Vol 1, Materials, Carbon and Alloy
Steels.Pennsylvania:Society of
Automotive Engineers.
13. Smyth Dennis (1990) Steel Tubular
Products dalam ASM Handbook
Volume 1 Properties and Selection:
Irons Steel and High Performance
Alloys.Ohio:American Society for
Metals.
14. Perez, N. (2004) Electrochemsitry
and Corrosion Science.New
York:Kluwer Academic Publishers.
15. Pohlman, S. L. (1987) Metals
Handbook 9th Edition Corrosion.
Ohio:American Society for Metals.
16. Craig, B. D. et al. (2006) Corrosion
Prevention and Control: A Program
Management Guide for Selecting
Materials, 2nd Edition.New
York:AMMTIAC.
17. Pohlman, S. L. (1987) Metals
Handbook 9th Edition Corrosion.
Ohio:American Society for Metals.
18. Craig, B. D. et al. (2006) Corrosion
Prevention and Control: A Program
Management Guide for Selecting
Materials, 2nd Edition.New
York:AMMTIAC.
19. Ibid.
20. Glaeser, W. & Wright, I. G. (1987)
Mechanically Assisted Degradation,
dalam Metals Handbook 9th Edition
Corrosion. Ohio:American Society
for Metals.
21. Ibid.
22. Dennies, D. P. (2002) ASM
Handbook Volume 11 Failure
Analysis and
Prevention.Ohio:American Society
for Metals.
23. Freeman S.R. (2002) ASM Handbook
Volume 11 Failure Analysis and
Prevention.Ohio:American Society
for Metals.
24. Korb, L. J. and Olson D. L. (1987)
Metals Handbook 9th Edition
Corrosion. Ohio:American Society
for Metals.
39
25. Anonim (2009) Wet H2S Cracking –
Basics. http://www.corrosion4dummies.com/
2009/01/wet-h2s-cracking.html. Diakses pada tanggal 12 Maret 2012
26. Anonim.H2S Corrosion.
http://octane.nmt.edu/WaterQuality/c
orrosion/H2S.aspx. Diakses pada
tanggal 2 Mei 2012
27. Anonim.CO2 Corrosion.
http://octane.nmt.edu/WaterQuality/c
orrosion/CO2.aspx.Diakses pada
tanggal 2 Mei 2012
28. Anonim.Sour
Crude.http://www.oilandgasiq.com/g
lossary/sour-crude/. Diakses pada
tanggal 2 Mei 2012
29. Anonim.Crude
Oil.http://www.oilandgasiq.com/glos
sary/crude-oil/. Diakses pada tanggal
2 Mei 2012
30. Anonim. (2008) Komposisi Penyusun
Minyak Bumi dan Gas Alam
http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/
kuliah_web/2008/Riski%20Septiade
vana%200606249_IE6.0/halaman_9.
html. Diakses pada tanggal 15 Juli
2012
31. Anonim. (2009) Jangka Sorong.
http://www.gudangmateri.com/2009/
03/jangka-sorong.html.Diakses pada
tanggal 23 April 2012
32. Anonim.Mikrometer Sekrup.
http://belajar.kemdiknas.go.id/index5
.php?display=view&mod=script&cm
d=Bahan%20Belajar/Materi%20Pok
ok/SMA/view&id=300&uniq=2868.
Diakses pada tanggal 23 April 2012
33. Anonim.Kamera.http://id.wikipedia.
org/wiki/Kamera.Diakses pada
tanggal 23 April 2012
34. Anonim.Mikroskop dan
penggunaannya.
http://web.ipb.ac.id/~tpb/files/materi/
bio100/Materi/mikroskop.html.Diaks
es pada tanggal 23 April 2012
35. Voort G.F.V. (2004) ASM
Handbook Vol 9 Metallography and
Microstructures. Ohio:American
Society for Metals.
36. Skoog D.A. et al. (2007) Principles
of Instrumental Analysis.
Canada:Thomson Brooks/Cole
37. Robinson J.W, et al. (2005)
Undergraduate Instrumental
Analysis 6th Ed.NewYork:Marcel
Dekker
38. Hafner B. Energy Dispersive
Spectroscopy on the SEM: A
Primer.Minnesota:
http://www.charfac.umn.edu/instrum
ents/ Diakses pada tanggal 24 April
2012
39. Skoog D.A. et al. (2007) Principles
of Instrumental Analysis.
Canada:Thomson Brooks/Cole
40. Anonim. X-ray tube.
http://en.wikipedia.org/wiki/X-
ray_tube Diakses pada tanggal 18
Juli 2012
41. Maddu Akhiruddin (2011)
Kristalografi Sinar-X.Slide Kuliah
Instrumentasi Fisika IPB
42. Skoog D.A. et al. (2007) Principles
of Instrumental Analysis.
Canada:Thomson Brooks/Cole
43. King M. et al. (1995) Power
Diffraction File, Hanawalt Search
Manual. Pennsylvania:International
Centre for Diffraction Data.
44. Anonim.Iron Corrosion Product. http://corrosion-
doctors.org/Experiments/iron-
products.htm. Diakses pada tanggal
27 April 2012
45. Gandy D. (2007) Carbon Steel
Handbook.California:Electric Power
Research Institute
46. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990)
ASM Handbook Volume 1
Properties and Selection: Irons Steel
and High Performance
Alloys.Ohio:American Society for
Metals.
40
LAMPIRAN
Lampiran 1
Diagram Alir Penelitian
Telaah Pustaka
Persiapan Bahan dan Alat
Pemilihan Sampel
Pengujian Makroskopik
(Visual, Camera Digital, Mikroskop Stereo)
Pengujian Mikroskopik dan Senyawa Kimia
Mikroskop Optik, EDS OES XRD
SEM
Pengolahan dan Analisis Data
Kesimpulan dan Saran
Lampiran 2
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Gambar 5.1 Jangka Sorong dan Mikrometer Sekrup
Gambar 5.2 Kamera Digital
Gambar 5.3 Mikroskop Stereo
Gambar 5.4 Mikroskop Optik beserta monitor komputer
Gambar 5.5 Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive Spectroscope
(a) (b)
Gambar 5.6 (a) instrumen OES, dan (b) instrumen saat beroperasi.
Gambar 5.7 Goniometer sebagai salah satu bagian X-Ray Diffractometer
Lampiran 3
Hasil karakterisasi oleh EDS.
Gambar 5.8 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 022
Gambar 5.9 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 022
Gambar 5.10 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 023
Gambar 5.11 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 023
Gambar 5.12 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 024
Gambar 5.13 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 024
Gambar 5.14 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 025
Gambar 5.15 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 025
Gambar 5.16 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 026
Gambar 5.17 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 026
Gambar 5.18 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 027
Gambar 5.19 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 027
Gambar 5.20 Image EDS Cross Section 2 titik 007
Gambar 5.21 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 007
Gambar 5.22 Image EDS Cross Section 2 titik 008
Gambar 5.23 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 008
Gambar 5.24 Image EDS Cross Section 2 titik 009
Gambar 5.25 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 009
Gambar 5.26 Image EDS Cross Section 2 titik 010
Gambar 5.27 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 010
Gambar 5.28 Image EDS Cross Section 2 titik 011
Gambar 5.29 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 011
Gambar 5.30 Image EDS Cross Section 2 titik 012
Gambar 5.31 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 012
Lampiran 4. Hasil analisis fasa dari grafik XRD
Tabel 9. Analisis fasa untuk grafik pada gambar 4.23
2-Theta d(A) I% Fe (06-0696)
44,907 2,0168 100 2,0268/100-1
65,15 1,4307 14,6 1,4332/20-3
Tabel 10. Analisis fasa untuk grafik pada gambar 4.24
2-Theta d(A) I% FeS
(23-1120) FeCO3 (29-
0696) Fe2O3
(47-1409) FeOOH (26-
0792)
31,618 2,8274 100 2,843/100-1 2,795/100-1
52,356 1,746 100 1,754/50-7 1,7382/30-3 1,747/100-1
60,27 1,5343 71,4
61,042 1,5167 61,9
45,641 1,986 52,4 1,979/100-2 1,965/20-5 1,9200/100-2 2,02/60-9
55,706 1,6487 52,4 1,632/60-3 1,649/80-5
26,565 3,3526 47,6 3,301/100-3
55,079 1,666 47,6 1,6700/100-1 1,674/100-2
62,284 1,4894 47,6 1,400/50-6 1,496-60-10
59,775 1,5458 42,9 1,502/30-10 1,5400/50-5 1,542/60-11
61,623 1,5038 42,9 1,502/30-9 1,5063/14-8
Tabel 11. Analisis fasa untuk grafik pada gambar 4.25
2-Theta d(A) I% FeS
(23-1120) FeSO4
(17-873) FeCO3
(29-0696) Fe3O4
(19-0629) FeCl2
(01-1106)
31,566 2,8319 100 2,843/100-
1 2,795/100-
1
49,137 1,8526 47,5 1,881/40-8
34,61 2,5896 37,3 2,582/60-3 2,532/100-
1 2,540/100-
1
34,412 2,6039 35,6 2,618/100-
1
26,155 3,4043 30,5 3.410/35-3
55,04 1,6671 28,8 1,7315/35-
2
49,644 1,8349 27,1 1,825/25-8 1,800/63-2
38,43 2,3405 25,4 2,444/60-4 2,346/20-5 2,32/7
55,304 1,6597 25,4 1,632/60-6 1,6158/40-
4 1,633/2
60,534 1,5282 25,4 1,529/3 1,4845/40-
2 1,553/4
29,211 3,0547 23,7 2,967/30-3 3,07/30-4
66,957 1,3964 23,7 1,412/20-
11 1,431/30-4 1,3969/6
83,113 1,1612 22 1,173/2 1.093/12-6 1,173/2
33,429 2,6783 20,3
41,646 2,1669 18,6 2,113/60-5 2,134/20-6 2,0993/20-
5
40,447 2,2283 15,3 2,250/20-
10
51,069 1,787 15,3 1,754/50-7 1,797/12 1,7146/10-
7
61,81 1,4997 13,6 1,502/30-9 1,506/14 1,467/20-5
Lampiran 5.
PDF beberapa senyawa pada hasil XRD
Gambar 5.32 PDF Fe2O3
Gambar 5.33 PDF Fe2O4
Gambar 5.34 PDF FeS
Gambar 5.35 PDF FeSO4
Gambar 5.36 PDF FeCO3
Gambar 5.37 PDF FeCl2
Gambar 5.38 PDF Fe
Gambar 5.39 PDF FeO(OH)