ANALISIS KARBON DI ATAS TANAH SEBAGAI INDIKATOR …digilib.unila.ac.id/29018/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of ANALISIS KARBON DI ATAS TANAH SEBAGAI INDIKATOR …digilib.unila.ac.id/29018/3/SKRIPSI TANPA BAB...
ANALISIS KARBON DI ATAS TANAH SEBAGAI INDIKATORKESEHATAN HUTAN LINDUNG REGISTER 25
(Skripsi)
Oleh
RAYI NINDYA LESTARI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
Rayi Nindya Lestari
ABSTRAK
ANALISIS KARBON DI ATAS TANAH SEBAGAI INDIKATORKESEHATAN HUTAN LINDUNG REGISTER 25
Oleh
RAYI NINDYA LESTARI
Kesehatan hutan menjadi sangat penting di seluruh dunia, ketika berbagai isu
global seperti pencemaran udara, hujan asam, kebakaran hutan, masalah kualitas
dan jumlah air, dan perubahan iklim global telah mempengaruhi terwujudnya
hutan lestari. Pencapaian kelestarian hutan di suatu ekosistem hutan, kriteria dan
indikatornya telah banyak diformulasikan. Karbon dapat menjadi salah satu
indikator kesehatan hutan. Tujuan penelitian ini untuk mengusulkan karbon
sebagai indikator yang bisa digunakan untuk penilaian kesehatan Hutan Lindung
Register 25. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016 di lokasi tersebut.
Pengambilan data menggunakan klaster plot yang didasarkan metode Forest
Health Monitoring (FHM). Perhitungan jumlah biomassa tersimpan pada pohon
menurut Ketterings, dkk., (2001) yaitu W = 0,11 x ρ x D2,62 sedangkan tumbuhan
bawah dan serasah menggunakan total berat kering. Karbon tersimpan
menggunakan angka konversi 0,5 dari total biomassa. Rata-rata karbon tersimpan
Rayi Nindya Lestaridi lokasi tersebut sebesar 939,12 ton/ha. Karbon tegakan memiliki kontribusi
paling besar yaitu 937,43 ton/ha, karbon serasah sebesar 1,06 ton C/ha dan karbon
tumbuhan bawah 0,63 ton C/ha. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan
karbon di atas tanah dapat menjadi indikator kesehatan Hutan Lindung Register
25 dengan kategori jelek, sedang, dan bagus. Klaster plot 1 dan 2 termasuk ke
dalam kategori bagus (1.232,75 ton C/ha– 1.744,13 ton C/ha). Adapun klaster
plot 3 dan 4 termasuk ke dalam kategori jelek (209,97 ton C/ha – 721,35 ton
C/ha).
Kata kunci : Hutan Lindung Register 25, Indikator kesehatan hutan, Karbon,Klaster plot
Rayi Nindya Lestari
ABSTRACT
ANALYSIS OF CARBON ABOVE THE GROUND AS THE INDICATOROF FOREST HEALTH IN PROTECTION FOREST REGISTERS 25
By
RAYI NINDYA LESTARI
Forest health was very important in the whole world, when global issues such as
air pollution, acid rain, forest fires, quality and quantity of water, and global
climate change has affected the realization of a sustainable forest. Achievement
of forest preservation in a forest ecosystem, criteria and indicators had been
widely formulated. Therefore, carbon analysis was significantly needed to figure
the indicator of forest health. The aim of the research was to propose carbon as an
indicator that can be used for assessment of forest health in Protection Forest,
Reg. 25. The data were collected through cluster plot based on Forest Health
Monitoring (FHM) method. The calculation of the amount of stored biomass
within the tree was referred to Ketterings et al, (2001) was W = 0,11 x ρ x D2,62,
mean while under growth and litter biomass were gained from total dry weight.
Carbon sink was based on conversion number; 0,5 out of total biomass number.
The average of carbon stored in Protection Forest Register 25 was about 939,12
Rayi Nindya Lestariton/ha. The carbon level within the stands were contributed the most; 937, 43
ton/ha, litter carbon about 1,06 ton C/ha and undergrowth carbon was about 0,63
ton C/ha. Based on the analysis, carbon would be the health indicator of
Protection Forest Register 25 with the category of bad, moderately good, and
good. Cluster plots 1 and 2 included in good category (1.232,75 ton C/ha –
1.744,13 ton C/ha). Then, cluster plots 3 and 4 included in bad category (209,97
ton C/ha – 721,35 ton C/ha).
Keywords : Carbon, Cluster plot, Forest health indicator, Protection ForestRegister 25
ANALISIS KARBON DI ATAS TANAH SEBAGAI INDIKATORKESEHATAN HUTAN LINDUNG REGISTER 25
Oleh
RAYI NINDYA LESTARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelarSARJANA KEHUTANAN
pada
Jurusan KehutananFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok Mahasiswa
Jurusan
Fakultas
:ANALISIS… H DIATAS TAMHSEmGAIIHDIKATOR KESEIIATAHⅡUTAH LIHDUHG REGISTER 25
蚤頑e′1,SoHut:′ MoSi。
1252006041001
2
●―■
■
●
一■
Dre meい SeR′ HoSI.
NIP l 2002122002
:町地 午 路麟
:1214151046
:Kchutanan
:Pcrtanlan
MEF躍預UJUI I
l.Konlisi Pembirnbing
Dr. Ir. Wulandad′ M.P.HIP 196412261995052001
DFe
IIIIIII■ ■|.:1111・ ●=■1111111:■■■11二■■・ ■II1 1二 ::■111i●
11:==■ 11111111111■111:|111■ |■111:1■
■111111111Ⅲ■11■|11■■:11二111■|
11111111:11::||:::111::::::111::I=::111111111‐■|||||●I:|:■■●:=|,■ |:,||■■111・111=1111111:111111111■ ill111111■ ||III111:■11111■■■111:11・ |二 |二 I.III:111111■■111:■・■111=す||■|:■
|■ ‐|■「
■ 1111‐|■ |||■ _.l li:.1・
|.ll1 1 1■ ■ l li■ =‐.:1_●
:1.1■● ・
11.‐ _11 1 1il.:、|::■ 1■■ ■ .,
…
■=■■
=■■=.
n\t I A‐‐|‐ | | |夕 |●1・ |
― ノも―.・ ‐‐‐ | | ■....:,lJr{lAAho? ( 71{,fl/r6-..",, ,
|■ ||イ|IWド■■‐鳩■■れル馨≠箸1準|1111111■ 1111:|■■|,t■卜11‐11■■■轟絲製静■1靴喝〆撃曇当債■■■●:■‐‐■1‐ ■■|
■‐|■11‐■|:IIIIII‐■lli1'|:1赫■「 11■■,ⅢⅢザT・.:111■ 1‐■■1■■.1.:.■
11■■111■|■ 1
|::二 :=1111111■
, ,,: ] , :,,
1. Tim Penguji
Ketua
Selsetaris
MEHGESAHIAH
:DL Iro ChJstine Wulan山 田t MoP.
:Dr.Rahnlat Safe′ i′ SoHute′ HoSi。
Pentti lBukan Pembimbing:Dr.Arlef Darmawan′ seⅡut。′HISc.
Fakultas Pcrtanian
―'. Ir. Inran Sukri Banuwa, I[.S1.11020198605■002
重どl学ビ
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 29 Agustus 2O17
|111
11i■ .
一・一一
一一一一
一一一・一.
:1:|.■11
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Telukbetung pada tanggal 19 Desember 1994. Anak
pasangan Bapak Sami Yuska dan Ibu Tri Wahyuni. Penulis menamatkan
pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Teladan Pertiwi pada tahun 2000,
Sekolah Dasar (SD) Negeri 5 Talang pada tahun 2006, Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) Negeri 8 Bandar Lampung pada tahun 2012. Penulis
tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Univeritas
Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
jalur tertulis pada tahun 2012.
Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah
Ilmu Tanah Hutan, Pengelolaan Hutan Rakyat, dan Kehutanan Masyarakat.
Penulis aktif diorganisasi selama perkuliahan yaitu menjadi Anggota Utama
Himpunan Mahasiswa Jurusan Kehutanan (Himasylva) Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, Bendahara Himasylva periode kepengurusan 2015/2016,
dan mengikuti kegiatan Sylva Indonesia (SI).
Pada Januari 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di
Pekon Umbar, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Pada Juli 2015
penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di RPH Watubelah, BKPH
Banjarnegara, KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah.
Kupersembahkan ini untuk kedua orangtuaku Bapak Sami Yuska dan Ibu TriWahyuni, serta keluarga besar M. Sareh Hs. dan Ahmad Sidik semoga selalu
diberkahi dan dalam lindungan Allah SWT
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Skripsi dengan judul “Analisis Karbon di Atas Tanah sebagai Indikator
Kesehatan Hutan Lindung Register 25”sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung.
Kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada.
1. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P., selaku pembimbing utama atas
kesediaan memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr. Rahmat Safe’i, S. Hut., M. Si., selaku pembimbing kedua atas
bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Dr. Arief Darmawan, S. Hut., M. Sc., selaku pembimbing akademik
dan penguji dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
5. Ibu Dr. Melya Riniarti, S. P., M. Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
iii
6. Seluruh Dosen Pengajar dan Staf Pegawai di Jurusan Kehutanan Universitas
Lampung yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh
pendidikan di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.
7. Kedua orang tua penulis Bapak Sami Yuska dan Ibu Tri Wahyuni, Keluarga
besar Mbah, M. Sareh Hs. dan Ahmad Sidik, terima kasih selalu memberikan
bantuan untuk bekal penulis di dunia maupun akhirat.
8. Pengelola dan masyarakat sekitar Hutan Lindung Register 25 yang telah
membantu penulis selama pengambilan data.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, akan tetapi
semoga berguna bagi kita semua. Aamiin.
Bandar Lampung, 23 Oktober 2017
Penulis
Rayi Nindya Lestari
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Tujuan Penelitian .......................................................................... 2
C. Manfaat Penelitian ....................................................................... 3
D. Batasan Penelitian ........................................................................ 3
E. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
A. Forest Health Monitoring (FHM) ................................................. 6
B. Vegetasi......................................................................................... 9
C. Indeks Nilai Penting (INP)............................................................ 10
D. Potensi Hutan dalam Menyerap Karbon ....................................... 13
E. Biomassa dan Karbon ................................................................... 17
F. Metode Pendugaan Karbon dan Biomassa ................................... 21
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 25
A. Waktu dan Lokasi ......................................................................... 25
B. Bahan dan Alat .............................................................................. 25
C. Metode .......................................................................................... 25
1. Jenis Data ................................................................................. 25
a. Data Primer .......................................................................... 25
b. Data Sekunder ..................................................................... 26
2. Pengambilan Data .................................................................... 26
D. Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 28
1. Pengukuran Indeks Nilai Penting (INP) ................................... 28
2. Pengukuran Biomassa .............................................................. 29
a. Biomassa Pohon .................................................................. 29
b. Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah ........................... 30
3. Pengukuran Karbon Tersimpan ................................................ 30
4. Penentuan Kelas Kesehatan Hutan ........................................... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 32
A. Indeks Nilai Penting (INP) Hutan Lindung Register 25 ............... 32
v
Halaman
B. Analisis Karbon Tersimpan di Hutan Lindung Register 25.......... 35
1. Karbon Tersimpan pada Tegakan ............................................. 37
a. Klaster Plot 1 ......................................................................... 38
b. Klaster Plot 2 ......................................................................... 39
c. Klaster Plot 3 ......................................................................... 41
d. KlasterPlot 4 .......................................................................... 42
e. Karbon Tegakan pada Seluruh Klaster .................................. 44
2. Karbon Tersimpan pada Serasah dan Tumbuhan Bawah ......... 46
3. Karbon Tersimpan di Hutan Lindung Register 25 .................... 47
C. Penentuan Kelas Kesehatan Hutan Lindung Register 25 ............. 51
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 56
A. Simpulan ....................................................................................... 56
B. Saran ............................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 57
LAMPIRAN ............................................................................................... 62
Gambar 6-22................................................................................................ 62
DAFTAR TABEL
Tabel ......................................................................Halaman
1. Nilai Akhir Status Kesehatan Hutan Rakyat Sengon ........................... 8
2. Simpanan Karbon pada Beberapa Tipe Penutupan Lahan di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan ........................................................... 16
3. Definisi Sumber Karbon Menurut IPCC (2006) .................................. 18
4. Hasil Perhitungan INP Fase Pohon di Hutan Lindung Register 25 ..... 32
5. Jumlah Biomassa dan Karbon Tersimpan pada Tegakan di Hutan
Lindung Register 25 ............................................................................. 44
6. Jumlah Biomassa dan Karbon Tersimpan pada Serasah dan
Tumbuhan Bawah di Hutan Lindung Register 25 ............................... 46
7. Karbon Tersimpan pada Tiap Klaster Plot di Hutan Lindung
Register 25 ........................................................................................... 47
8. Karbon Tersimpan di Atas Tanah di Hutan Lindung Register 25 ....... 48
9. Nilai Ambang Batas Kesehatan di Hutan Lindung Register 25........... 51
10. Skoring masing-masing Indikator Kesehatan Hutan Kota di
Kabupaten Garut .................................................................................. 54
11. Skoring Indikator dan Nilai Akhir Kesehatan Hutan Kota di
Kabupaten Garut .................................................................................. 54
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar ......................................................................Halaman
1. Kerangka Pemikiran Analisis Karbon di Atas Tanah sebagai
Indikator Kesehatan Hutan Lindung Register 25 ................................. 5
2. Desain Klaster Plot ................................................................................ 27
3. Lokasi Pengambilan Data INP Fase Pohon Hutan Sekunder di
Hutan Lindung Register 25 .................................................................. 34
4. Peta Sebaran Klaster Plot Analisis Biomassa dan Karbon di Hutan
Lindung Register 25 ............................................................................. 37
5. Perbandingan Biomassa dan Karbon Tersimpan pada Tegakan
Masing-masing Klaster Plot di Hutan Lindung Register 25 ................ 45
6. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 1 pada Klaster Plot 1 ....................... 62
7. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 2 pada Klaster Plot 1 ....................... 63
8. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 3 pada Klaster Plot 1 ....................... 64
9. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 4 pada Klaster Plot 1 ....................... 65
10. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 1 pada Klaster Plot 2 ....................... 66
11. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 2 pada Klaster Plot 2 ....................... 67
12. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 3 pada Klaster Plot 2 ....................... 68
13. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 4 pada Klaster Plot 2 ....................... 69
14. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 1 pada Klaster Plot 3 ....................... 70
15. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 2 pada Klaster Plot 3 ....................... 71
16. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 3 pada Klaster Plot 3 ....................... 72
17. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 4 pada Klaster Plot 3 ....................... 73
viii
Gambar Halaman
18. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 1 pada Klaster Plot 4 ....................... 74
19. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 2 pada Klaster Plot 4 ....................... 75
20. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 3 pada Klaster Plot 4 ....................... 76
21. Peta Sebaran Karbon Pohon Plot 4 pada Klaster Plot 4 ....................... 77
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu perubahan iklim global merupakan fenomena yang berkembang saat ini.
Penyebab perubahan iklim global salah satunya degradasi hutan. Menurut
Junaedi (2007), degradasi hutan mengakibatkan meningkatnya emisi karbon
dioksida (CO2). Hutan memiliki kemampuan menyerap CO2 yang dikenal sebagai
rosot (sink) karbon.
Menurut Setiawan (2015), sektor kehutanan mempunyai potensi besar dalam
menyerap karbon melalui penanaman, meningkatkan pertumbuhan hutan,
mengurangi laju deforestasi dan kebakaran hutan. Fungsi-fungsi tersebut
menunjukan hutan menjadi salah satu elemen utama sebagai pengatur suhu bumi
secara secara lokal, regional dan global.
Pencapaian kelestarian hutan di suatu ekosistem hutan, kriteria dan indikatornya
telah banyak diformulasikan atau dikembangkan oleh masing-masing lembaga
pemerintah maupun non pemerintah dengan cakupan nasional, regional, dan
internasional (Safe’i, 2015). Oleh karena itu kesehatan ekosistem hutan menjadi
sangat penting di seluruh dunia, ketika berbagai isu global seperti pencemaran
udara, hujan asam, kebakaran hutan, masalah kualitas dan jumlah air, dan
perubahan iklim global telah mempengaruhi terwujudnya hutan lestari. Kriteria
2
biasanya dinyatakan sebagai kondisi atau situasi aspek hutan yang prosesnya
harus dijalankan, sedangkan indikator biasanya dinyatakan sebagai sesuatu yang
khusus yang dapat dinilai dalam hubungannya dengan kriteria (Ritchie dkk.,
2001).
Indikator kesehatan ekosistem hutan yang diukur berbeda-beda tergantung upaya
pengelolaan hutan yang akan dicapai. Menurut Mangold (1995), terdapat 7
indikator utama dalam menilai kesehatan hutan yaitu nilai hutan, klasifikasi
kondisi tajuk, penentuan kerusakan dan kematian, radiasi aktif fotosintesis,
struktur vegetasi, jenis-jenis tanaman, dan komunitas lumut kerak. Penelitian ini
mengukur volume karbon yang dijadikan sebagai indikator kesehatan Hutan
Lindung di Register 25.
Analisis karbon tersimpan di Hutan Lindung Register 25 perlu dilakukan karena
belum adanya data karbon di atas dan di bawah tanah di kawasan ini, namun pada
penelitian ini hanya dilakukan analisis karbon di atas tanah. Menurut Suharjo
(2011), dengan mengetahui karbon tersimpan dapat diketahui fungsi kawasan
tersebut dalam mendukung penurunan emisi gas rumah kaca yang menjadi salah
satu penyebab perubahan iklim global. Hutan yang sehat secara aktif mampu
menyimpan karbon melalui pertumbuhan hutan dan menahan patogen dan wabah
serangga, serta pulih dari kerusakan seperti kebakaran hutan (EPA, 2013).
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengusulkan karbon sebagai indikator yang bisa
digunakan untuk penilaian kesehatan hutan lindung Register 25.
3
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu mendapatkan data dan informasi tentang karbon
tersimpan di atas tanah pada Hutan Lindung Register 25 untuk diusulkan sebagai
indikator penilaian kesehatan hutan di kawasan ini.
D. Batasan Penelitian
Batasan penelitian dalam penelitian ini yaitu.
1. Biomassa yang diukur adalah biomassa di atas tanah yaitu biomassa pohon,
biomassa tumbuhan bawah dan serasah yang ada pada klaster plot
pengambilan data.
2. Jumlah klaster plot yang digunakan untuk pengambilan data yaitu empat
klaster plot.
E. Kerangka Pemikiran
Ekosistem hutan menentukan kondisi kesehatan suatu kawasan hutan. Forest
Health Monitoring (FHM) mempunyai metode di mana kondisi kesehatan hutan
didasarkan pada penilaian terhadap indikator-indikator terukur yang dapat
menggambarkan kondisi tegakan secara komprehensif (Cline, 1995). Menurut
Ritchie dkk., (2001), karbon bisa menjadi indikator terukur dalam penentuan
kesehatan hutan dengan mengetahui volume karbon yang tersimpan.
Register 25 merupakan kawasan hutan lindung yang terletak di Kecamatan
Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Kawasan hutan lindung tersebut memiliki
4
kemampuan untuk menyerap kabon. Analisis karbon di atas tanah diketahui
dengan menghitung biomassa di atas tanah.
Data biomassa di atas tanah yang akan diambil adalah biomassa pohon dan
biomassa tumbuhan bawah dan seresah. Pengambilan data biomassa
menggunakan metode pemanenan (destructive) yang digunakan untuk data
biomassa pohon, dan metode tanpa pemanenan (non-destructive) untuk data
biomassa serasah dan tumbuhan bawah. Pengolahan data biomassa pohon
menggunakan persamaan allometrik umum, sedangkan analisis biomassa serasah
dan tumbuhan bawah menggunakan rumus Biomass Expansion Factor (BEF).
Kandungan karbon yang tersimpan adalah 50% dari biomassa, sehingga untuk
mendapatkan volume karbon jumlah biomassa yang akan didapat dikalikan 50%
(Brown, 1997).
Volume hasil dari analisis karbon digunakan untuk menghitung nilai ambang
batas kesehatan hutan lindung Register 25. Perolehan nilai ambang batas volume
karbon diperoleh dengan menghitung interval kelas dari nilai karbon yang
didapat. Kerangka pemikiran penelitian ini terdapat di Gambar 1.
5
Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis karbon di atas tanah sebagai indikator
kesehatan Hutan Lindung Register 25.
Kawasan Hutan Lindung Register 25
Kemampuan Menyerap Karbon
Biomassa di Atas Tanah
Biomassa Pohon Biomassa Tumbuhan
Bawah dan Serasah
Metode Tanpa Pemanenan
(non-destructive)
Data Jenis Pohon,
Diameter Pohon, dan
Tinggi Pohon
Data Berat Basah dan Berat
Kering Tumbuhan Bawah
dan Serasah
Persamaan Allometrik
Umum
Rumus Biomass
Expansion Factor
(BEF)
Volume Karbon yang
Tersimpan di Atas Tanah
Metode Pemanenan
(destructive)
Kelas Kesehatan Hutan :
Jelek, Sedang, Bagus
Pendugaan Karbon di Atas Tanah
Karbon sebagai Indikator Kesehatan Hutan
Lindung Register 25
Klaster Plot
Perhitungan Nilai Ambang Batas
Volume Karbon
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Forest Health Monitoring (FHM)
Forest Health Monitoring (FHM) adalah metode pemantauan kondisi kesehatan
hutan yang diintroduksikan oleh United State Department of Agricultural
(USDA)Forest Service untuk memonitor NationForest Health yang dirancang
untuk temperate region. Tujuan FHM adalah menyediakan informasi kondisi
hutan setiap tahun serta menilai status dan kondisi ekosistem hutan disemua lahan
hutan. Data dikumpulkan dan dianalisis untuk mengetahui kondisi terbaru dari
berbagai indikator ekosistem hutan. Informasi ini digunakan untuk mengambil
keputusan manajemen pengelolaan hutan (Mangold, 1996).
Berdasarkan Forest Health Monitoring Field Methods Guide (Mangold, 1995) ada
7 indikator utama yang digunakan dalam menilai kesehatan hutan yaitu.
1. Nilai hutan.
2. Klasifikasi kondisi tajuk.
3. Penentuan kerusakan dan kematian.
4. Radiasi aktif fotosintesis.
5. Struktur vegetasi.
6. Jenis-jenis tanaman bioindikator ozon.
7. Komunitas lumut kerak.
7
Menurut Safe’i dan Tsani (2016), pelaksanaan FHM terdiri dari beberapa tahapan
yaitu.
1. Detection monitoring (penentuan jenis gangguan terhadap kondisi ekosistem
udara dan anah untuk digunakan dasar evaluasi status dan perubahan dalam
eksosistem hutan.
2. Evaluating monitoring (menentukan luas, keparahan dan penyebab perubahan
yang tidak diinginkan dalam kesehatan hutan yang telah diidentifikasi pada
langkah sebelumnya).
3. Intensive site monitoring (ditentukan status faktor-faktor biotik).
4. Research on monitoring techniques (penelitian tentang indikator kesehatan
dan metode deteksi).
5. Analysis and reporting (data yang diperoleh perlu disajikan dalam format
yang mudah dipahami oleh semua pemangku kepentingan serta dilaporkan
secara baik).
Kondisi kesehatan hutan didasarkan pada penilaian terhadap indikator-indikator
terukur yang dapat menggambarkan kondisi tegakan secara komprehensif.
Indikator-indikator tersebut adalah pertumbuhan, kondisi tajuk, kerusakan dan
mortalitas, indikator biologis tingkat polusi udara, kimia tanaman,
dendrokronologi, kondisi perakaran, tingkat radiasi yang digunakan dalam
fotosintesis, struktur vegetasi, habitat hidup liar, dan lichen (Cline, 1995).
Safei dkk., (2015), melakukan pengembangan metode penilaian kesehatan hutan
rakyat sengon (Falcataria moluccana) di provinsi Lampung dengan indikator
produktivitas, kualitas tapak, dan vitalitas pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Nilai akhir status kesehatan hutan rakyat sengon
Klaster
Plot
Umur Tanaman
(tahun) Nilai Akhir Kondisi Kesehatan
Kategori Kesehatan
Hutan Rakyat
1 2 8,38 Bagus
2 2 3,83 Jelek
5 3 5,70 Sedang
6 3 3,75 Jelek
9 4 7,00 Bagus
10 4 5,74 Sedang
13 1 3,88 Jelek
14 1 5,45 Sedang
Sumber : Safe’idkk., (2015)
Noviady dan Rivai (2015), melakukan identifikasi kondisi kesehatan pohon
peneduh di kawasan Ecopark, Cibinong Science Center-Botanic Gardens dengan
menggunakan metode Forest Health Monitoring (FHM)dansurvey pengunjung
terhadap 36 responden terkait aspek kemanan dan kenyamanan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa teridentifikasipohon yang sehat sebanyak 68%, kerusakan
ringan sebanyak 29% dan kerusakan sedang sebanyak 3%. Lokasi kerusakan yang
banyakterlihat adalah pada cabang sebanyak 29% kasus dan pada batang bagian
bawah dengan jumlah sebanyak 27% kasus. Tipe kerusakanyang paling banyak
terlihat adalah luka terbuka yaitu sebanyak 19% dari total kasus. Hasil survey
responden menyatakan 94,44%responden merasa perlu adanya pengecekan rutin
terhadap pohon peneduh, meskipun sebanyak 83,33% responden menyatakan
masihmerasa aman karena umur pohon yang relatif masih muda dengan kisaran
10 tahun. Sebanyak 88,89% responden menginginkan adanyatanda peringatan
terkait kondisi pohon peneduh yang memiliki resiko tidak aman.
Selain itu Simanjuntak (2016), melakukan penelitian tentang status kesehatan
pohon pada jalur hijau dan halaman parkir Universitas Lampung (Unila) dengan
metode FHM. Hasil penelitian menujukkan bahwa sebagian besar kondisi pohon
9
di jalur hijau dan halaman parkir di lingkungan Unila berada pada kondisi sehat
(92,29%), dan hanya sebagian kecil (7,81%) yang berada pada kondisi rusak
ringan, rusak sedang, dan rusak berat. Secara umum terdapat 9 tipe kerusakan
pohon yang paling sering ditemukan pada pohon-pohon penyusun vegetasi jalur
hijau dan halaman parkir Unila. Kerusakan-kerusakan yang dialami adalah
perubahan warna daun (10,48%), luka terbuka (10,38%), tubuh buah (4,11%),
kanker (3,80%), epifit (2,26%), kerusakan tunas daun (1,23%), patah
cabang/batang (1,54%), branchis (0,92%), dan resinosis (0,51%).
B. Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh
bersama-sama pada satu tempat, di antara individu-individu penyusunnya terdapat
interaksi yang erat, baik di antara tumbuh-tumbuhan maupun dengan hewan yang
hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Hal ini menunjukan vegetasi tidak
hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan tetapi membentuk suatu
kesatuan di mana individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang
disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan atau pepohonan (Soerianegara
dan Indrawan, 1998).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), (2010), hutan lahan kering primer
adalah hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan kering yang dapat
berupa dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran
tinggi, yang masih kompak dan belum mengalami intervensi manusia atau belum
menampakan bekas penebangan. Hutan lahan kering sekunder adalah hutan yang
10
tumbuh berkembang pada habitat lahan kering yang dapat berupa dataran rendah,
perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi yang telah
mengalami intervensi manusia atau menampakan bekas penebangan (kenampakan
alur dan bercak bekas tebang). Hutan lahan basah primer adalah hutan yang
tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau
dan rawa gambut. Wilayah lahan basah berkarakteristik unik yaitu dataran rendah
yang membentang sepanjang pesisir, wilayah berelevasi rendah, tempat yang
dipengaruhi oleh pasang-surut untuk wilayah dekat pantai, wilayah yang
dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan sebagian besar
wilayah tertutup gambut, belum mengalami intervensi manusia. Hutan lahan
basah sekunder adalah hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah
berupa rawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut. Wilayah lahan basah
berkarakteristik unik yaitu dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir,
wilayah berelevasi rendah, tempat yang dipengaruhi oleh pasang-surut untuk
wilayah dekat pantai, wilayah yang dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh
dari pantai, dan sebagian besar wilayah tertutup gambut, telah mengalami
intervensi manusia.
C. Indeks Nilai Penting (INP)
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), yang dimaksud analisis vegetasi
adalah suatu cara mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi tumbuh-
tumbuhan. Penelitian yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat
penganalisisan terletak pada komposisi jenis atau jenis. Struktur masyarakat hutan
dapat dipelajari dengan mengetahui sejumlah karakteristik tertentu diantaranya,
11
kepadatan, frekuensi, dominansi dan nilai penting. Tujuan pendugaan kuantitatif
komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu.
1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan
membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu
pengamatan berbeda.
2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.
3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor
lingkungantertentu atau beberapa faktor lingkungan.
Secara umum inventarisasi hutan didefinisikan sebagai pengumpulan dan
penyusunan data dan fakta mengenai sumberdaya hutan untuk perencanaan
pengelolaan sumberdaya tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan
serbaguna. Kegiatan inventarisasi hutan metodenya telah banyak dikembangkan
baik teknik pengambilan data, penggunaan bentuk unit contoh maupun
pengelolaan datanya. Metode-metode tersebut digunakan untuk menduga potensi
tegakan yang ada, karena tidak mungkin dilakukan sensus terhadap tegakan hutan
yang sangat luas. Metode sampling yang belakangan ini sering digunakan dalam
kegiatan inventarisasi hutan adalah metode sampling jalur sistematik yang
merupakan metode pengambilan sampel dengan unit sampel berupa petak ukur
jalur yang terdistribusi secara sistematik. Sistematik diartikan jalur tersebar
merata dengan lebar jalur dan jarak antar jalur yang selalu tetap dari satu jalur ke
jalur lainnya, sedangkan petak ukur yang yang dimaksudkan adalah satuan
sampling yang berupa bagian dari luasan sebuah tegakan dimana akan dilakukan
pengukuran dan pengamatan karakter tegakan dan kondisi lahannya (Arief, 2001).
12
Menurut Indriyanto (2006), beberapa parameter kuantitatif vegetasi yang sangat
penting yang umum diukur dari suatu tipe komunitas yaitu.
1. Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuha dalam suatu luasan
tertentu.
2. Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut
dari sejumlah petak contoh yang dibuat.
3. Dominansi merupakan bagian dari parameter yang digunakan untuk
menunjukkan spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas.
4. Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai
untuk menyatakan tingkat dominansi spesies-spesies dalamsuatu komunitas
tumbuhan.
5. Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkankeberadaan
spesies organisme pada ruang secara horizontal.
Beragamnya nilai INP menunjukkan adanya pengaruh lingkungan tempat tumbuh
seperti kelembaban, suhu dan tidak mampu atau kalah berkompetisi, seperti
perebutan akan zat hara, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan jenis-jenis
lainnya yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dari diameter batang pohon.
Selain INP ditentukan dengan diameter batang juga dipengaruhi oleh umur suatu
pohon. Menurut Odum (1971), jenis yang dominan mempunyai produktivitas
yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu
diketahui adalah diameter batangnya. Keberadaan jenis dominan pada lokasi
penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat
yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya.
13
Wahyuni (2014), menyatakan terdapat hubungan signifikan antara INP dengan
biomasa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan INP sebanding dengan
biomasa. Terdapat satu peubah yaitu diameter pohon yang sama-sama digunakan
untuk menghitung biomasa dan dominansi dalam INP. Sehingga besar biomasa
secara tidak langsung berkorelasi dengan dominansi jenis pohon tersebut. Hasil
analisis korelasi antara INP dengan biomasa pohon menunjukkan INP
berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa (taraf nyata 0,01) dengan nilai korelasi
sebesar 0,752. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara INP
dengan biomasa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan INP sebanding
dengan biomasa.
D. Potensi Hutan dalam Menyerap Karbon
Hutan mampu memfiksasi karbon dan menyimpannya di dalam vegetasi yang
dikenal sebagai rosot karbon (carbon sink). Vegetasi hutan mempunyai
kemampuan untuk menyerap CO2 melalui proses fotosintesis (Hairiah dan
Rahayu, 2007). Hasil fotosintesis tersebut umumnya disimpan dalam bentuk
biomassa akar, batang, cabang, dan ranting yang menjadikan vegetasi hutan
tumbuh semakin besar dan semakin tinggi(Salim, 2005). Vegetasi hutan dengan
kerapatan tinggi mampu menyerap lebih banyak CO2 dibandingkan dengan
vegetasi hutan dengan kerapatan rendah. Kegiatan penanaman pada lahan kosong
atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap CO2 di atmosfer.
Hutan sebagai penyerap CO2yang dikeluarkan dari aktivitas mahluk hidup
mempunyai fungsi penting yaitu menjaga keseimbangan ekosistem (Pratama dkk.,
2016).
14
Pemanasan global bukan lagi masalah masa depan, tetapi sudah menjadi masalah
yang sedang kita hadapi sekarang (Efendidkk., 2012). Berdasarkan hasil database
bencana alam intenasional (International Disaster Database) tahun 2008,
menunjukkan bahwa bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global
ialah sebanyak 345 (Boer dan Perdinan, 2008). Temuan ini sejalan dengan hasil
kajian Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), (2006) bahwa
pemanasan global akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim
ekstrim. Perubahan iklim dapat diantisipasi dengan mitigasi dan adaptasi. Mitigasi
berarti usaha-usaha pencegahan yang perlu dilakukan, sedangkan adaptasi
merupakan kegiatan-kegiatan penyesuaian yang perlu dilakukan untuk dapat
hidup dan bertahan dan meningkatkan ketahanan, kelenturan dan mengarah ke
migrasi karena kondisi iklim yang berbeda (Butarbutar, 2011).
Peranan hutan dalam mencegah dan mengurangi emisi karbon atau mitigasi
perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan menurut Thomson
(2008), sebagai berikut.
1. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca.
2. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah
perubahan iklim.
3. Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menangkap atau menyerap
tambahan CO di atmosfer.
4. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan
penggunaan kayu dalam jangka panjang.
15
5. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk
kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan
lainnya.
Tekanan manusia terhadap sumber daya hutan menyebabkan deforestasi dan
degradasi terhadap hutan. Penurunan jumlah dan kualitas hutan tidak hanya
menyebabkan berkurangnya jumlah karbon yang tersimpan, tetapi juga
menyebabkan pelepasan emisi karbon ke atmosfer serta mengurangi kemampuan
hutan dalam menyerap karbon. Karenanya hutan berperan penting di dalam upaya
mitigasi perubahan iklim, melalui penyerapan CO2
menjadi pertumbuhan riap
pohon (Manuridkk., 2011).
Jumlah cadangan karbon antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keanekaragaman
dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.
Penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan
tanahnya baik, karena biomassa pohon meningkat, atau dengan kata lain cadangan
karbon di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya cadangan karbon
di dalam tanah atau bahan organik tanah (Hairiah, 2011). Kemampuan hutan dalam
menyerap dan menyimpan karbon tidak sama baik di hutan alam, hutan tanaman,
hutan payau, hutan rawa maupun di hutan rakyat tergantung pada jenis pohon, tipe
tanah dan topografi. Informasi mengenai cadangan karbon dari berbagai tipe
hutan, jenis pohon, jenis tanah dan topografi di Indonesia sangat penting. Dari
seratus empat (104) jenis-jenis pohon yang ada di Indonesia, baru 11 jenis pohon
yang sudah diketahui cadangan karbonnya. Saat ini sumber data yang
16
komprehensif tentang cadangan karbon di berbagai tipe ekosistem hutan dan
pengunaan lahan lain masih terbatas (Masripatin dkk., 2010).
Studi kasus di hutan tropis dataran rendah di Sumatera Barat, menurut Suwardi
dkk., (2013), biomasa pohon pada lokasi penelitian tersebut sebesar 482,75
ton/ha, sedangkan cadangan karbon sebesar 241,38 ton C/ha. Setiap spesies
memiliki kontribusi berbeda terhadap biomasa dan cadangan karbon total di lokasi
penelitian. Pohon berukuran besar dengan diameter lebih dari 100 cm
berkontribusi sebesar 26,62 % terhadap peningkatan cadangan karbon di lokasi
penelitian.
Prasetyo dkk., (2011) melakukan penelitian simpanan karbon di Taman
Nasional Bukit Barisan. Simpanan karbon paling tinggi terdapat di hutan primer
sedang yang paling rendah pada lahan pertanian seperti tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Simpanan karbon pada beberapa tipe penutupan lahan di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan
No Tipe Penutupan Lahan Simpanan Karbon (Ton/Ha)
1 Hutan primer 178.44
2 Hutan sekunder 81.65
3 Semak belukar 10.29
4 Agroforestri kopi tua 63.69
5 Agroforestri kopi muda 27.90
6 Agroforestri coklat muda 14.04
7 Lahan pertanian 3.36
Sumber : Prasetyo dkk., (2011)
Baliton dkk., (2017) mengungkapkan bahwa adanya perbedaan simpanan karbon
di Sub Daerah Aliran Sungai(DAS) Molawin-Dampalit, Filipina dengan kawasan
Way Betung, Indonesia. Perbedaan tersebut karena pohon dan tanaman
agroforestri di Kawasan Way Betung lebih banyak dibandingkan dengan Sub Das
17
Molawin-Dampalit sehingga Kawasan Way Betung lebih banyak berkontribusi
dalam penyimpanan karbon.
E. Biomassa dan Karbon
Biomassa adalah total bahan organik hidup di atas dan di bawah permukaan tanah
yang meliputi pohon, palem, anakan pohon serta komponen tumbuhan bawah dan
serasah yang dinyatakan sebagai berat kering oven persatuan area. Pengukuran
terhadap biomassa pohon dapat digunakan untuk menduga serapan karbon yang
diserap oleh suatu areal hutan per satuan luas dan yang terambil akibat adanya
pengelolaan hutan (Brown, 1997).
Karbon adalah unsur kimia yang dengan simbol “C” dan nomor atom 6.
Sikluskarbon adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan
karbon(dalam berbagai bentuk) di atmosfer, laut, biosfer terrestrial dan deposit
geologis.Sumber karbon atau carbon pool adalah tempat atau bagian
ekosistemyang menjadi tempat karbon tersimpan (Sutaryo, 2009).
MenurutIPCC(2006), sumber karbon (carbon pool) dikelompokkan menjadi 3
kategori utama, yaitu biomassa hidup, bahan organik mati dan karbon tanah.
Biomassa hidup dibagi menjadi 2 bagian yaitu Biomasa Atas Permukaan (BAP)
dan Biomasa Bawah Permukaan (BBP). Bahan organik mati dikelompokkan
menjadi 2 yaitu kayu mati dan serasah. Secara keseluruhan IPCC menetapkan 5
sumber karbon hutan yang perlu dihitung dalam upaya penurunan emisi akibat
perubahan tutupan lahan yang terdapat pada Tabel 3.
18
Tabel 3. Definisi sumber karbon menurut IPCC (2006)
Sumber Penjelasan
Biomassa
Atas permukaan
Semua biomasa dari vegetasi hidup di atas
tanah, termasuk batang, tunggul, cabang,
kulit, daun serta buah. Baik dalam bentuk
pohon, semak maupun tumbuhan herbal.
Ket: tumbuhan bawah di lantai hutan yang
relatif sedikit, dapat dikeluarkan dari metode
penghitungan .
Bawah tanah
Semua biomasa dari akar yang masih hidup.
Akar yang halus dengan diameter kurang
dari 2 mm seringkali dikeluarkan dari
penghitungan, karena sulit dibedakan
dengan bahan organik mati tanah dan
serasah.
Bahan organik mati
atau nekromassa
Kayu mati
Semua biomasa kayu mati, baik yang masih
tegak, rebah maupun di dalam tanah.
Diameter lebih besar dari 10 cm
Serasah
Semua biomasa mati dengan ukuran > 2 mm
dan diameter kurang dari sama dengan 10
cm, rebah dalam berbagai tingkat
dekomposisi.
Tanah Bahan organik tanah
Semua bahan organik tanah dalam
kedalaman tertentu (30 cm untuk tanah
mineral). Termasuk akar dan serasah halus
dengan diameter kurang dari 2mm, karena
sulit dibedakan.
Menurut Sutaryo (2009), dalam inventarisasi karbon hutan setidaknya ada empat
penghasil karbon, yaitu.
1. Biomassa Atas Permukaan
Biomassa atas permukaan adalah suatu material hidup atas permukaan
termasuk bagian dari kantong karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit
kayu, biji daun dari vegetasi baik dari starata pohon maupun dari strata
tumbuhan di bawah lantai.
2. Biomassa Bawah Permukaan
Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang
hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang
ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang
19
lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan
organik tanah dan serasah.
3. Bahan Organik Mati
Bahan organik mati meliputi kayu mati dan seresah. Seresah dinyatakan
sebagai semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari
diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang
terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati
yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak berdiri maupun
yang telah roboh/tumbang di tanah, akar mati, dan tanggul dengan diameter
lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan.
4. Karbon Organik Tanah
Bagian yang mencakup karbon organik tanah yaitu karbon pada tanah mineral
dan tanah organik yang termasuk gambut didalamnya.
Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), pada ekosistem daratan karbon tersimpan
dalam bentuk tiga komponen pokok, yaitu.
1. Biomassa
Biomassa adalah massa dari bagian vegetasi yang masih hidup seperti tajuk
pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan tanaman semusim pada suatu
bentang lahan.
2. Nekromassa (pohon mati)
Nekromassa adalah massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih
tegak di lahan atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak
atau ranting, dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.
20
3. Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan
manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya
dan telah menjadi bagian dari tanah. Bahan organik tanah biasanya memiliki
ukuran partikel sebesar <2 mm.
Siklus karbon adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan
bagaimana karbon di lingkungan mengalir di antara makhluk hidup, materi
anorganik dan atmosfer. Lintasan karbon berikut yang seperti siklus melalui
udara, bumi, tanaman, hewan dan bahan bakar fosil secara harfiah mendefinisikan
kehidupan seperti yang kita kenal (Sridianti, 2014). Pada dasarnya siklus karbon
adalah proses dua langkah yang melibatkan respirasi dan fotosintesis.
Secara ringkas, daur karbon merupakan salah satu siklus biogeokimia dimana
terjadi pertukaran/perpindahan karbon antara bidang-bidang biosfer,
geosfer,hidrosfer, dan atmosfer. Sesuai dengan pengertianya, ada empat tempat
keberadaan untuk karbon, yaitu biosfer (di dalam makhluk hidup), geosfer (di
dalam bumi), hidrosfer (di air), dan atmosfer (di udara). Siklus karbon terjadi di
daratan dan perairan. tidak ada perbedaan yang berarti karena tempat yang
berbeda tersebut.
Berbeda dengan yang dikatakan oleh Sobirin (2010), mengenai siklus karbon.
Siklus karbon adalah permukaan karbon antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan
atmosfer bumi. Siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang
dihubungkan oleh jalur pertukaran.Reservoir yang dimaksud adalah atmosfer,
biosfer teresterial (biasanya seperti material non hayati organik seperti karbon
21
tanah), lautan (termasuk di dalamnya karbon anorganik terlarut dari biota laut
hayati dan biota non hayati), dan sedimen (termasuk di dalamnya bahan bakar
fosil). Karenanya secara alami karbon banyak tersimpan di bumi (darat dan laut)
dari pada di atmosfir.
F. Metode Pendugaan Karbon dan Biomassa
Beberapa persamaaan alometrik yang dapat digunakan untuk hutan tropis telah
disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara global maupun lokal.
Sebelum menerapkan perhitungan biomassa dengan menggunakan persamaan
tersebut, sangat dianjurkan untuk membandingkannya dengan data pengukuran
langsung pada beberapa contoh tegakan atas yang berada pada ekosistem hutan
yang akan diukur. Apabila terdapat perbedaan kurang dari 10%, maka persamaan
tersebut dapat digunakan. Jika lebih dari 10%, sebaiknya menggunakan
persamaan alometrik yang dikembangkan secara lokal (Solichin, 2010).
Persamaan alometrik lokal disusun dengan metode dekstruktif atau dengan cara
ditebang dan merupakan kegiatan yang memakan waktu dan biaya. Penggunaan
persamaan alometrik lokal berdasarkan tipe hutan yang sesuai akan meningkatkan
keakurasian pendugaan biomassa (Wibowo dkk., 2010).
Berdasarkan cara memperoleh data, Brown (1997), mengemukakan ada dua
pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon. Pertama
berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang
kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha) dan kedua adalah
pendekatan secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa.
22
Pendugaan biomassa atas permukaan, persamaan alometrik yang menghubungkan
biomassa dan komponen tegakan yang mudah diukur seperti diameter batang
sangat diperlukan. Persamaan alometrik biasanya memerlukan pengukuran
langsung dengan menebang pohon (destructive sampling).
Bentuk hidup (life form) pohon mulai tingkat pancang, tiang, pohon kecil dan
pohon besar, dicatat jenis dan diameter setinggi dada (diameter at breast height).
Pengukuran diameter diterapkan pada ketinggian tetap yaitu 1,3 m atau untuk
pohon yang tidak normal, pengukuran dilakukan pada tempat yang ditentukan.
Sedikit perbedaan pada tingkat semai, dimana definisi tingkat semai pada SNI
adalah tumbuhan berkayu dengan diameter< 2 cm dan tinggi < 1,5 m. Definisi
tersebut terdapat kemungkinan pohon dengan diamater < 2 cm namun memiliki
tinggi > 1,5 meter tidak masuk dalam tingkat pertumbuhan manapun, sehingga
tidak diukur. Untuk pengukuran biomasa tumbuhan bawah, dilakukan destructive
sampling dengan pengambilan sampel sebanyak 300 gram untuk analisa berat
kering di laboratorium dengan suhu 70oC–85
oC hingga mencapai berat konstan.
Pengukuran palem dan liana tidak diatur dalam SNI (Manuri, 2011).
Menurut Sutaryo (2009), terdapat empat cara utama untuk menghitung biomassa.
Keempat cara tersebut yaitu.
1. Sampling dengan pemanenan (destructive sampling) secara in situ.
Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan
termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya.
Pengukuran dengan metode ini, untuk menghitung biomassa hutan dapat
dilakukan dengan mengulang beberapa area sampel atau untuk melakukan
23
ekstrapolasi untuk area yang lebih luas dengan menggunakan persamaan
allometrik. Meskipun metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomassa
dalam suatu areal yang tidak terlalu luas, namun metode ini terhitung mahal
dan sangat memakan waktu yang lama.
2. Sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) dengan data
pendataan hutan secara in situ.
Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa
melakukan pemanenan. Metode ini dilakukan dengan mengukur tinggi atau
diameter pohon dan menggunakan persamaan allometrik untuk mengetahui
berapa besar kandungan biomassanya.
3. Pendugaan melalui penginderaan jauh.
Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan
terutama untuk proyek-proyek yang berskala kecil. Kendala utamanya adalah
karena penggunaan melalui penginderaan jauh umumnya relatif mahal dan
secara teknis membutuhkan keahlian tertentu atau ahlinya. Metode ini juga
kurang efektif jika digunakan pada daerah aliran sungai, pedesaan atau lahan
agroforestri yang merupakan mosaik dari berbagai penggunaan lahan dengan
petak yang berukuran relatif kecil. Biasanya hasil penginderaan jauh yang
didapat dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk membagi
area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relative homogen. Hasil
pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan pengambilan
data lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat
keakuratan yang baik memerlukan hasil penginderaan jauh dengan resolusi
24
yang tinggi, tetapi hal ini akan membutuhkan biaya yang relatif mahal dalam
penggunaannya.
4. Pembuatan model.
Model digunakan untuk menghitung estimassi biomassa dengan frekuensi dan
intensitas pengamat in situ atau penginderaan jauh yang terbatas. Umumnya
model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sampel plot yang diukur
berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau
melalui persamaan allometrik yang mengonversi volume menjadi biomassa.
25
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016. Lokasi penelitian dilakukan di
Hutan Lindung Register 25.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon (kayu-kayuan dan
tanaman MPTs) dengan diameter ≥20 cm, tumbuhan bawah dan serasah di atas
tanah yang ada di dalam klaster plot pada tegakan di Hutan Lindung Register 25.
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu tongkat sepanjang 1,3 meter, pita
meter, christen hypsometer, tally sheet, Global Positioning System (GPS), spidol,
parang, kantung plastik, oven, timbangan, kamera, dan alat tulis.
C. Metode
1. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer data yang diperoleh secara langsung dengan menggunakan teknik
pengumpulan data tertentu. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode
26
observasi yaitu mengukur diameter, tinggi dan pengumpulan tumbuhan bawah
dan serasah. Selain itu data primer berupa data vegetasi digunakan untuk
mengetahui INP.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang sifatnya mendukung data primer yang
diperoleh melalui studi literatur, keadaan umum lokasi penelitian, seperti letak
dan keadaan fisik lingkungan.
2. Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini dengan menggunakan klaster plot.
Pembuatan klaster plot didasarkan metode Forest Health Monitoring (FHM)
menurut (USDA-FS, 1999). Klaster plot yang digunakan berjumlah empat klaster
plot (Gambar 2). Penentuan letak keempat klaster plot berdasarkan purposive
sampling. Empat klaster plot terdiri dari dua klaster plot di kawasan hutan primer
dan dua klaster plot di kawasan hutan sekunder. Kriteria dari klaster plot yaitu:
1. Mempunyai plot anular berupa lingkaran dengan jari-jari 17,95 m, subplot
dengan jari-jari 7,32 m, dan mikroplot 2,07 m.
2. Titik pusat plot 1 merupakan titik pusat bagi keseluruhan plot. Titik pusat
plot 2 terletak pada arah 0o atau 360
o dari titik pusat plot 1. Titik pusat plot 3
terletak pada arah 120o dari titik pusat plot 1, dan titik pusat plot 4 terletak
pada arah 240o dari titik pusat plot 1, dengan jarak masing-masing antar plot
36,6 m.
3. Masing-masing plot terdiri dari anular plot, subplot, dan mikroplot.
27
Azimut 1-2 360o
Azimut 1-3 120o
Azimut 1-4 240o
Jarak antar plot
36,6 m
Mikroplot; R = 2,07 m
Subplot; R = 7,32 m
Anularplot; R = 17,95 m
Gambar 2. Desain klaster plot (Mangold, 1997; USDA, 1999).
Keterangan:
Anularplot untuk pengambilan data biomassa pohon dan INP. Mikroplot untuk
pengambilan data biomassa tumbuhan bawah dan serasah.
Pengambilan data biomassa pohon yang diambil adalah jenis pohon, diameter
pohon, dan tinggi pohon. Pengambilan biomassa serasah dan tumbuhan bawah
apabila berat basah yang didapat jika >300 gram, maka berat basah contoh yang
digunakan sebesar 300 gram. Berat basah yang didapat jika <300 gram, maka
berat basah contoh yang digunakan sebesar 100 gram. Berat basah yang didapat
jika sebesar <100 gram, maka berat basah contoh adalah berat basah yang didapat
(Hairiah dan Rahayu, 2007).
2
1
3
4
28
D. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengukuran Indeks Nilai Penting (INP)
Kawasan Hutan Lindung Register 25 merupakan hutan lindung yang memiliki
jenis pohon yang berbeda. Menurut Winardi (2014), perlu dilakukan analisis
vegetasi untuk menentukan dominansi suatu jenis vegetasi terhadap jenis lainnya
dalam suatu tegakan dengan menggunakan Indeks Nilai Penting (INP).
Perhitungan INP tersebut memberikan data jenis pohon yang dominan di Hutan
Lindung Register 25.
Besarnya Indeks Nilai Penting (INP) pada suatu vegetasi dapat dihitung
berdasarkan Kepmen LH No.201 Tahun 2004 dengan persamaan berikut.
Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis
Luas seluruh petak contoh
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis
Kerapatan seluruh jenis x 100%
Frekuensi (F) = Jumlah petak ditemukannya suatu jenis
Jumlah seluruh petak
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis
Frekuensi seluruh jenis x 100%
Dominansi (D) = Luas basal area suatu spesies
Luas seluruh petak contoh
Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenis x 100%
Berdasarkan persamaan tersebut, maka untuk menghitung besar Indeks Nilai
Penting (INP) pada suatu spesies yaitu.
INP = KR + FR + DR
29
Perbandingan nilai penting atau Summed Dominance Ratio (SDR) dihitung
dengan persamaan berikut.
SDR = Indeks Nilai Penting (INP)
3
Perbandingan nilai penting atau Summed Dominance Ratio (SDR) digunakan
untuk menentukan jenis yang dominan sebagai ciri atau tipe vegetasi (Indriyanto,
2006) di daerah penelitian. Summed Dominance Ratio (SDR) juga dipakai untuk
menyatakan tingkat dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan.
2. Pengukuran Biomassa
a. Biomassa Pohon
Pengukuran biomassa pada pohon dilakukan dengan mengukur diameter dan
tinggi pohon kemudian dianalisis dengan menggunakan persamaan allometrik
umum yang dikemukakan oleh Ketterings dkk., (2001). Penggunaan persamaan
allometrik ini karena persamaan allometrik tersebut dibangun berdasarkan
hubungan antara diameter. Menurut Ketterings dkk., (2001), pemilihan variabel
diameter akan meningkatkan efisiensi pengukuran dan mengurangi ketidakpastian
pada hasil pengukuran berdasarkan persamaan yang telah dibentuk. Persamaan
allometrik umum menurut Ketterings dkk., (2001), yaitu.
W = 0,11 x ρ x D2,62
Keterangan:
W = biomassa (kg)
ρ = kerapatan jenis kayu (wood density) (g/cm3)
D = diameter setinggi dada (diameter at breast height) (cm)
30
Sehingga akan didapat total biomassa pohon (kg) = BK1 + BK2 + ..........+ BKn
Rumus untuk menghitung biomassa per satuan luas (ton/ha) sebagai berikut.
Total Biomassa (kg)
Satuan Area (m2)
b. Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah
Pengukuran biomassa serasah dan tumbuhan bawah, data berat basah ditimbang
lalu dioven dalam suhu 800 C hingga berat konstan. Sampel ditimbang sebagai
berat kering. Berat basah dan kering dari tumbuhan bawah dan serasah dapat
digunakan untuk menduga biomassa dengan menggunakan rumus Biomass
Expansion Factor (Brown, 1997).
Total BK = BK sub contoh (gr )
BB sub contoh (gr ) x total BB
Keterangan:
BK = Berat Kering (gr)
BB = Berat Basah (gr)
3. Pengukuran Karbon Tersimpan
Analisis kandungan karbon serasah dan tumbuhan bawah menggunakan rumus
Biomass Expansion Factor (BEF) yang dapat menduga karbon tersimpan di dalam
hutan yaitu 50% dari biomassa (Brown, 1997). Menurut IPCC (2006), fraksi
karbon dari biomassa adalah 0,50 (0,44-0,55) yang berarti bahwa 50% dari
biomassa adalah karbon tersimpan, sehingga jumlah besar karbon tersimpan dapat
dihitung:
Karbon tersimpan = Biomassa x 0,5
31
4. Penentuan Kelas Kesehatan Hutan
Katagori kesehatan hutan lindung Register 25 terdiri dari 3 kelas yaitu bagus,
sedang, dan jelek. Katagori 3 kelas ini diperoleh dari nilai ambang batas volume
karbon yang diperoleh dengan cara menghitung interval kelas.
Menurut Djumanta dan Susanti (2008), interval kelas adalah selisih antara data
terbesar dengan data terkecil dibagi dengan banyaknya kelas yang dapat
dirumuskan:
p = R/k
Keterangan :
p = panjang kelas
R = rentang
k = banyaknya kelas
57
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan karbon di atas tanah dapat menjadi
indikator kesehatan Hutan Lindung Register 25 dengan kategori jelek, sedang, dan
bagus. Klaster plot 1 dan 2 termasuk ke dalam kategori bagus (1.232,75 ton C/ha
– 1.744,13 ton C/ha). Adapun klaster plot 3 dan 4 termasuk ke dalam kategori
jelek (209,97 ton C/ha – 721,35 ton C/ha).
B. Saran
Masyarakat sekitar hutan cenderung menanam tanaman MPTs dan perkebunan di
hutan sekunder Hutan Lindung Register 25. Dominan tanaman MPTs dan
tanaman perkebunan di hutan ini menyebabkan kontribusi yang kecil dalam
penyimpanan karbon pada kawasan hutan sekunder. Perlu dilakukannya fungsi
monitoring oleh stakeholder mengingat kawasan ini merupakan kawasan lindung
agar fungsi ekologi dan ekonomi pada kawasan ini masing-masing dapat
terpenuhi.
57
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Buku. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
179 hlm.
Asril. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon diAtas Permukaan Tanah Rawa
Gambut di Stasiun Penelitian Suaq Balimbing Kabupaten Aceh Selatan
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Universitas SumateraUtara.
Medan. 89 hlm.
Aprianto, D., Wulandari, C.,dan Masruri, N. W. 2016. Karbon tersimpan pada
kawasan sistem agroforestry di Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi
Kabupaten Tanggamus. Jurnal Sylva Lestari. 4(1): 21-30.
Baliton, R. S., Wulandari, C., Landicho, L. D., Cabahug, R. E. D., Paelmo, R. F.,
Comia, R. A., Visco, R. G., Budiono, P., Herwanti, S., Rusita, danCastillo,
A. K. S. A. 2017. Ecological services of agroforestry landscapes in
selected watershed areas in the Philippines and Indonesia. Jurnal Biotropia.
24(1): 71-84.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest, a
primer. FAO Forestry. Roma. 134 hlm.
Butarbutar, T. 2011.Agroforestri untuk adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim.Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 9(1): 1-10.
Campbell, N.A., Reece, J. B.,danMitchell, L. G. 2002. Biologi. Buku. Erlangga.
Jakarta.1247 hlm.
Cline, S.P. 1995. FHM: Environmental Monitoring and Assessment Program.
Buku. Environmental Protection Agency, Office of Research and
Development. Washington D.C. 296 hlm.
Djumanta, W.,dan Susanti, D. 2008. Belajar Matematika Aktif dan
Menyenangkan untuk SMP/ MTs Kelas IX. Buku. Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 170 hlm.
Efendi, M., Sunoko, Henna, R., Sulistya, danWidada. 2012. Kajian kerentanan
masyarakat terhadap perubahan iklim berbasis daerah aliran sungai(studi
kasus Sub DASGarang Hulu). Jurnal Ilmu Lingkungan.10(1): 8-18.
58
Environmental Protection Agency (EPA). 2013. Inventory of U.S. Greenhouse
Gas Emissions and Sinks: 1990-2012. Buku. U.S. Environmental
Protection Agency. Washington DC. 529 hlm.
Hairiah, K ., Sardjono, M.A., danSabarnurdin, S. 2003.Pengantar Agroforestry.
Buku. ICRAF.Bogor. 44 hlm.
Hairiah, K., Sitompul, S. M., van Noordwijk. M.,danPalm, C. A. 2001.Methods
for Sampling Carbon Stock Above and Below Ground. Buku.ICRAF
Southeast Asia.Bogor. 31 hlm.
Hairiah, K.,dan Subekti, R. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai
Penggunaan Lahan. Buku. World Agroforestry Center-ICRAF. Bogor.77
hlm.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan.Buku. PT Bumi Aksara.Jakarta. 210 hlm.
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). 2006. IPCC
National Greenhouse Gas Inventories Programme. Buku. IGES. Japan.
20 hlm.
Ismaini, L., Masfiro, L., Rustandi, danDadang, S. 2015. Analisis komposisi dan
keanekaragaman tumbuhan di Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Pros
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Bandung, Juni
2015. 1(6): 1397-1402.
Junaedi, A. 2008.Kontribusi hutan sebagai rosot karbondioksida.Jurnal Info
Hutan. 5(1): 1-7.
Kainde, R. P., Ratag, S. P., Tasirin, J. S., danFaryanti, D. 2011. Analisis vegetasi
hutan lindung Gunung Tumpa. Jurnal Eugenia. 17(3): 1-11.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku
dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Ketterings, Q. M., Coe ,R., Van Noordjwik, M., Ambagau,Y.,danPalm, C. A.
2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for
predicting above ground tree biomass in mixed secondary forest. Journal
Forest Ecology and Management. 146(2):199-209.
Kimmins, J. P. 1987. Forest Ecology. Buku. Macmillan Pub. New Jersey. 180
hlm.
Mangold, R. 1997. Forest Health Monitoring: Field Methods Guide.Buku.
USDA Forest Service. New York.246 hlm.
59
Manuri, S., Putra, C.A.S., danSaputra, A.D. 2011. Tehnik Pendugaan
CadanganKarbon Hutan. Merang REDD Pilot Project. Buku. Geman
InternationalCooperation-GIZ. Palembang. 105 hlm.
Masripatin, N., Ginoga, K., Wibowo, A., Dharmawan, W. S., Siregar, C. A.,
Lugina, M., Indartik, Wulandari, W., Subekti, B., Apriyanto, D., Subekti,
B., Puspasari, D., danUtomo, A. S. 2010. Pedoman Pengukuran Karbon
untuk Mendukung Penerapan REDD+ di Indonesia. Buku. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.40hlm.
Noviady, I., danRivai, R. R. 2015. Identifikasi kondisi kesehatan pohon peneduh
di kawasan Ecopark, Cibinong Science Center-Botanic Gardens. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas, September 2015. 1(6): 1385-
1391.
Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Alih Bahasa : Samingan, T dan B.
Srigandono. Fundamental of Ecology. Buku. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta. 574 hlm.
Pebriandi, Sribudiani, E., danMukhamadun. 2013. Estimasi potensi karbon di
atas tanah pada tingkat tiang dan pohon di Hutan Lindung Setanjo. Jurnal
Jom Faperta. 1(1): 1-13.
Prasetyaningsih, S. R. 2014. Pemantauan kesehatan hutan kota Pekanbaru.
Jurnal Hutan Tropis. 2(3): 220-225.
Prasetyo, A., Hikmat A.,danPrasetyo L.B. 2011. Pendugaan perubahan
cadangankarbon di Tambling Wildlife Nature Conservation Taman Nasional
BukitBaris Selatan.JurnalMedia Konservasi. 16(2): 87-91.
Pratama, R., Sribudiani, E., Sulaeman, danRudianda. 2016.Pendugaan kandungan
karbon di atas permukaan tanah ada kawasan Arboretum Universitas Riau.
Jurnal Jom Faperta.3(1): 1-5.
Putra, E.I. 2004.Pengembangan Metode Penilaian Kesehatan Hutan Alam
Produksi. Tesis. IPB. Bogor.98 hlm.
Rachdian, A. 2015. Identifikasi Perubahan Jasa Lingkungan dengan
Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di
Bogor. Skripsi. IPB. Bogor. 49 hlm.
Ritchie, B., Cynthia, M. D., Mandy, H., danNicolette, B. O. 2001. Kriteria dan
Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat. Buku. Center
for International Forestry Research. Bogor. 121hlm.
Safe’i, R. 2015. Kajian Kesehatan Hutan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di
Provinsi Lampung. Disertasi. IPB. Bogor. 124 hlm.
60
Safe’i, R., Hardjanto, Supriyanto, danSundawati, L. 2014. Value of vitality status
in monoculture and agroforestry planting systems of the community forests.
International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR).
2(18) : 340-353.
Safe’i, R., Hardjanto, Supriyanto, danSundawati, L. 2015. Pengembangan
metode penilaian kesehatan hutan rakyat sengon (Falcatania moluccana).
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 12(3): 175-187.
Safe’i, R., danTsani, M. K. 2016. Kesehatan Hutan: Penilaian Kesehatan Hutan
Menggunakan Teknik Forest Health Monitoring. Buku. Graha Ilmu.
Jakarta. 102 hlm.
Salim. 2005. Profil Kandungan Karbon pada Tegakan Puspa (Schima
walilichii). Tesis. IPB. Bogor.101 hlm.
Setiawan, H. 2015. Potensi KHDTK Malili sebagai rosot karbondioksida
dalam rangka mitigasi terhadap perubahan iklim. Jurnal Eboni. 12(1): 1-
12.
Simanjuntak, E. V. 2016. Status Kesehatan Pohon pada Jalur Hijau dan
Halaman Parkir Universitas Lampung. Skripsi. Universitas Lampung.
Bandar Lampung. 49 hlm.
Sobirin, M. 2010. Pendugaan Karbon tersimpan di Atas Permukaan di Arboretum
Universitas Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
96hlm.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif : Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Buku. Usaha Nasional. Surabaya. 173 hlm.
Soerianegara, I., danIndrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Buku.
Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 126 hlm.
Solichin. 2010. Metode pengukuran cadangan karbon di hutan rawa
gambut.MakalahSeminar Methodologies for Forest Carbon Survey, Jakarta,
Maret 2010. 46 hlm.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2010. Klasifikasi Penutup Lahan. Buku.
Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 32 hlm.
Suharjo, B. H., danWardhana, H. F. P.2011. Pendugaan potensi simpanan
karbon pada tegakan pinus (Pinus merkusii) diKPH Cianjur Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.Jurnal Silvikultur Tropika. 03: 96-
100.
61
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa: Sebuah Pengantar untuk Studi
Karbon dan Perdagangan Karbon. Buku. Wetlands International
Progamme. Bogor. 48 hlm.
Suwardi, A. B., Muchtar, E., danSyamsuardi. 2013. Komposisi jenis dan
cadangan karbon di hutan tropis dataran rendah, Ulu Gadut, Sumatera Barat.
Jurnal Berita Biologi. 12(2): 1-8.
Thomson, T. 2008. Forestry and climate change (commentary).Journal of
Forestry.106(3): 115-117.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
United States Department of Agriculture (USDA). 2005. Forest inventoryand
analysis national core fieldguide:Vol. 1 Field data collection procedures for
phase 2 plots. Buku. U.S. Department of Agriculture. Washington D.C.
352 hlm.
Wahyuni, N. I. 2014. Korelasi indeks nilai penting terhadap biomassa pohon di
Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara.
ProsidingSeminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, Manado, Oktober 2014. Hlm 113-
124.
Wibowo, A.,danRufi’ie. 2010. Peran sektor kehutanan di Indonesia dalam
perubahan iklim.Jurnal Tekno Hutan Tanaman. 1(1): 23-32.
Winardi, F. 2014.Nilai Kandungan Karbon dan Indek Nilai Penting Jenis
Vegetasi Mangrove di Perairan Desa Mantang Baru Kecamatan Mantang
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi. Universitas Riau.
Riau.86 hlm.
Windusari, Y., Sari, A.P.N, Yustian, I., danZulkifli, H. 2012. Dugaan cadangan
karbon biomassa tumbuhan bawah dan serasah di kawasan suksesi alami
pada area pengendapan tailing PT Freeport Indonesia. Jurnal Biospecies.
5(1): 22-28.