Analisis INFID No-3 Tahun 2014 Tentang Usulan Masyarakat Sipil Untuk Presiden Mendatang

download Analisis INFID No-3 Tahun 2014 Tentang Usulan Masyarakat Sipil Untuk Presiden Mendatang

of 29

description

Analisis INFID No-3 Tahun 2014 Tentang Usulan Masyarakat Sipil Untuk Presiden Mendatang

Transcript of Analisis INFID No-3 Tahun 2014 Tentang Usulan Masyarakat Sipil Untuk Presiden Mendatang

  • www.infid.org

    1

    Agenda Pemajuan HAM Usulan Masyarakat Sipil untuk Presiden Mendatang

    RINGKASAN1. MENYELESAIKAN KASUS PELANGGARAN HAM MASA LALU. Presiden terpiilh Joko Widodo berjanji

    untuk menghapuskan peraturan-peraturan yang diskriminatif dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, menjamin pemenuhan hak asasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan jaminan social, serta menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.

    2. KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI. Untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu pemerintah harus serius dalam memperkuat pengadilan HAM dan segera menyelesaikan proses drafting UU mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) baru yang mengacu pada standar hukum HAM dan prinsip HAM internasional. Amnesti tidak boleh diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat. Di saat yang sama, pemerintah juga perlu untuk memperkuat mandate dan fungsi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Peran Kejaksaan Agung selaku lembaga penyidik harus dievaluasi karena selama ini penyelidikan kasus pelanggaran HAM mentok di lembaga ini.

    3. CETAK BIRU KOTA DAN KABUPATEN HAM. Pemerintah mendatang perlu membangun cetak biru pemerintahan daerah yang ramah terhadap hak asasi manusia (human rights cities). Pendekatan ini diperlukan untuk menjembatani ketimpangan perlindungan dan pemenuhan HAM di daerah-daerah seperti tecermin dalam beragam peraturan daerah yang diskriminatif, kekerasan atas nama agama di daerah-daerah, serta memburuknya layanan kesehatan di daerah. Dengan pendekatan ini, pemerintah pusat menetapkan standar norma HAM internasional, menyediakan anggaran, dan pengembangan kapasitas untuk pemerintah lokal sebagai actor yang berdiri paling dekat dan berurusan dengan pembangunan HAM dalam kehidupan sehari-hari.

    4. MEMBAHAS DAN MENGESAHKAN RUU PEMBELA HAM. Sebagai pihak yang menandatangani Deklarasi Pembela HAM, Pemerintah Indonesia mendatang harus memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Pembela HAM salah satunya melalui pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pembela HAM yang telah diinisiasi masyarakat sipil sejak 2009.

    5. SEGERA MENCABUT PASAL-PASAL DALAM UU NO 17/2013 TTG ORMAS. Di saat yang sama pemerintahan mendatang juga harus mencabut peraturan-peraturan yang menghalangi kerja para pembela HAM (human rights defender) seperti UU no 17/2013 mengenai Ormas, beberapa pasal di KUHP (a.l. pasal 310 , 311 dan 315 terkait dengan pencemaran nama baik, pasal 154 dan 155 mengenai tindak pidana menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Republik Indonesia), (Haatzaai Artikelen) dan Pasal 27 ayat ( 3 ) dari UU No 11 tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    6. PENGUATAN MANDAT KOMISI HAM ASEAN. Presiden mendatang juga perlu untuk memfokuskan diplomasi HAM di kawasan Asia Tenggara menuju penguatan mandate perlindungan dan independensi Komisi HAM ASEAN (AICHR). Pemerintah bisa memberikan dukungan anggaran dan kesekretariatan yang lebih kuat kepada AICHR dan meneruskan inisiatif baik seperti Jakarta Human Rights Dialogue. Dalam rangka menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku pada tahun depan, Pemerintah juga perlu mendorong AICHR untuk menyelaraskan aturan yang mengatur bisnis dan HAM dengan standar dan norma HAM internasional yang telah ada

    No.3Tahun2014

    Ana

    lisisINFID

    ANALISIS INFID disusun sebagai bahan masukan kepada calon presiden dan calon legislatif Indonesia yang akan berkampanye dan dipilih oleh rakyat Indonesia dalam pemilu 2014 ini serta pengambil kebijakan. Bahanbahan penulisan berdasarkan sumbersumber media dan kajian yang dapat dipercaya. Kesimpulan dan rekomendasinya diupayakan dapat diuji dan diperdebatkan. Tujuannya untuk menyuarakan suara dan usulanusulan kelompok masyarakat sipil Indonesia dan warga negara yang memimpikan politik yang cerdas dan berbasis program dan menginginkan pembangunan yang lebih Inklusif, untuk semua dan melindungi hak asasi manusia. Tim penyusun: Chrisbiantoro, Hilman Handoni, Swandaru

    ** Diperkenankan untuk mengutip dengan menyebut judul dokumen dan nama penyusun.

  • www.infid.org

    2

    Agenda Pemajuan HAM

    Usulan Masyarakat Sipil untuk Presiden Mendatang

    Dalam bilangan bulan, Indonesia akan melantik presiden barunya: Joko

    Widodo. Jokowi, begitu dia biasa disapa berjanji untuk menjadi presiden taat Konstitusi:

    yang mengamanatkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dalam

    bidang pekerjaan dan hak hidup, pendidikan, berekspresi dan berserikat, tempat

    tinggal dan lingkungan yang layak, kesehatan, dst. Taat pada konstitusi berarti

    melaksanakan pembangunan HAM yang menjadi amanat konstitusi.

    Setelah 16 tahun reformasi, situasi HAM di Indonesia masih memprihatinkan.

    Penuntasan kasus HAM masa lalu, seperti kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2,

    Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965 masih

    belum dituntaskan. Distribusi kekuasaan melalui otonomi daerah diwarnai dengan

    kasus-kasus kekerasan atas nama agama. Dalam laporannya tahun 2013, Wahid

    Institute mencatat dalam lima tahun terakhir angka pelanggaran kebebasan beribadah

    dan berkeyakinan terus naik dan mencapai rata-rata 219 kasus per tahun. Komisi

    Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat

    peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan sepanjang 2013 adalah 342,

    meningkat dari 282 pada tahun sebelumnya.1 Sementara itu dalam bidang pemenuhan

    hak-hak kesehatan, angka kematian ibu meningkat dearah yang diskriminatif justru

    bermunculan. Ketiadaan jaminan HAM menyebabkan ketidakpastian dan keresahan

    terus-menerus. Sementara itu ketidakpastian penuntasan kasus HAM yang telah terjadi

    sudah mencabik-cabik hak korban atas keadilan. Dia juga menjadi beban politik seluruh

    bangsa Indonesia yang akhirnya mengganggu pembangunan secara keseluruhan.

    Tulisan kompilasi ini berusaha menawarkan beberapa agenda pembangunan

    HAM yang dapat dilaksanakan oleh presiden mendatang. Agenda-agenda ini adalah

    beberapa prasyarat atau fondasi bagi pembangunan HAM di masa yang akan datang.

    Empat agenda yang perlu menjadi prioritas tersebut adalah (i) mewujudkan standar

    keadilan sebagai upaya untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu (ii) memperkuat

    pemerintah lokal untuk pemenuhan HAM di daerah (iii) perlindungan pembela HAM

    dan (iv) diplomasi untuk memperkuat mekanisme HAM regional.

    1 http://www.tempo.co/read/news/2014/01/20/063546436/Komnas-Perempuan-Perda-Diskriminatif-Meningkat

  • www.infid.org

    3

    Penuntasan PR HAM Masa lalu: Mewujudkan Standar Keadilan bagi Keadilan Transisi di

    Indonesia

    Proses transisi keadilan di Indonesia berjalan sangat lamban. Enam belas tahun

    setelah Soeharto lengser, pemerintah transisi tidak kunjung mampu menjawab dan

    menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme yang ada.

    Namun demikian, ada beberapa hal positif yang telah dihasilkan oleh pemerintah

    transisi, diantaranya adanya UU tentang pengadilan HAM, dan masih melakukan proses

    drafting untuk UU KKR yang baru, kemudian pemerintah juga telah meratifikasi

    sejumlah instrumen hukum HAM internasional, Qanun KKR untuk Aceh.

    Tetapi, dari sederet catatan tersebut, pemerintah masih gagal untuk

    memperkuat perlindungan dan pemenuhan HAM di tingkat nasional, khususnya untuk

    mewujudkan keadilan bagi para korban. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk

    membangun standar keadilan bagi segala upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM

    berat di Indonesia. Pemerintah dapat menggunakan konsepsi keadilan retributif dan

    keadilan restoratif untuk mendukung mekanisme yang ada yakni pengadilan HAM dan

    KKR. Selain itu, penting untuk dipikirkan bagi penguatan mandat dan fungsi Komnas

    HAM, dan peran Kejaksaan Agung selaku lembaga penyidik harus dievaluasi, dalam

    rangka membangun profesionalisme dan pengetahuan tentang HAM yang lebih baik.

    Dalam konteks KKR, pemerintah tidak boleh menunda kembali dengan

    berbagai alasan, karena dalam periode transisi, KKR sangat penting untuk melengkapi

    mekanisme pengadilan HAM yang tersedia. Persoalan dari KKR Indonesia adalah

    amnesty untuk pelaku, pemulihan hak korban dan pengungkapan kebenaran, oleh

    karenanya KKR yang akan dibentuk kemudian harus dibentuk mengacu pada standar

    hukum HAM dan prinsip HAM internasional, dimana amnesti tidak boleh diberikan

    kepada pelaku pelanggaran HAM berat. Pemerintah harus mengubah sikap dan

    menunjukan keseriusan untuk membangun standar keadilan yang akan

    menguntungkan masyarakat Indonesia, khususnya para korban. Jika Indonesia

    berhasrat membangun citra positif ditingkat internasional, maka tidak ada jalan lain

    bahwa penegakan hukum harus menjadi andalan. Indonesia harus berani menghadapi

    masa lalu dan belajar dari pengalaman tersebut, jika hal ini diabaikan, maka akan terus

    terjadi keberulangan.

  • www.infid.org

    4

    Pemerintahan lokal dan pemenuhan HAM

    Dalam concluding observation sidang pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial,

    dan budaya (Ekosob) Indonesia pada Juli lalu, Komite Ekonomi dan Sosial PBB meminta

    pemerintah meninjau dan membatalkan peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif

    terhadap perempuan dan kelompok marginal lainnya. Komite mengingatkan Kovenan

    yang telah diratifikasi Indonesia adalah kewajiban pemerintah secara keseluruhan,

    termasuk pemerintah daerah.

    Era desentralisasi dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah

    tahun 1999. Namun distribusi kekuasaan itu tidak diikuti dengan peningkatan

    kebebasan dan kesejahteraan masyarakat. Selain angka kematian ibu dan anak,

    prevalensi gizi kurang pada balita juga tercatat masih tinggi (17,9%). Padahal MDGs

    menargetkan gizi buruk ditekan hingga 15% hingga 2015.2 Dalam bidang hak-hak sipil,

    kasus kekerasan atas nama agama terus meningkat di berbagai daerah, seperti yang

    dicatatkan Wahid Institute. 3 Komisi Nasional Perempuan mencatat peningkatan

    peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Jumlahnya, sepanjang 2013

    adalah 342,meningkat dari 282 pada tahun sebelumnya.4

    Pemerintah punya panitia pelaksana Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia

    (RANHAM) mulai dari tingkat nasional sampai kabupaten. Tapi evaluasi SETARA

    Institute menyebut dari 103 program RANHAM 2004-2009 hanya 56 program saja yang

    jalan. Lainnya terhambat karena dorongan politik yang kurang dari birokrasi lintas

    departemen sampai dengan pemerintah daerah, minimnya kecakapan panitia RANHAM

    di daerah, hingga perencanaan yang tidak disertai dengan penganggaran.5 Pemerintah

    juga mendorong peran aktif kabupaten/kota dalam memenuhi HAM melalui

    penghargaan Kabupaten/Kota Peduli HAM. Namun kriteria dasar penghargaan: (i) hak

    hidup, (ii) hak mengembangkan diri, (iii) hak atas kesejehteraan, (iv) hak atas rasa aman,

    dan (v) hak perempuan dinilai kurang memadai karena lebih bersifat pelaporan rutin

    dan tidak berorientasi pada pemecahan masalah. Dorongan juga tidak diikuti dengan

    komitmen alokasi anggaran dan dukungan pengembangan kapasitas.

    Pendekatan Human Rights City (Kota/Kabupaten Ramah HAM) bisa menjadi

    jembatan mengatasi ketimpangan antara standar HAM internasional yang menjadi

    domain pemerintah pusat dengan pelaksanaan di lapangan (daerah). Perlindungan dan

    2 http://www.tempo.co/read/news/2013/02/25/173463527/2015-Indonesia-Masih-Menghadapi-Gizi-Buruk 3 http://www.freedomhouse.org/report/freedom-world/2014/indonesia-0#.U8krAfmSxqU 4 http://www.tempo.co/read/news/2014/01/20/063546436/Komnas-Perempuan-Perda-Diskriminatif-Meningkat 5 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6aa27ae0e2f/ranham

  • www.infid.org

    5

    promosi HAM lebih efisien karena diurus oleh pemerintah yang berdiri paling dekat dan

    mengurusi kehidupan sehari-hari warganya. Pemerintah pusat menetapkan standar

    norma dan kebijakan HAM serta mendukung penuh anggaran dan pengembangan

    kapasitas HAM pemerintah lokal.

    Untuk disebut sebagai Human Right City, sebuah kota atau kabupaten harus

    memenuhi beberapa prasyarat seperti (i) pembangunan kapasitas (pendidikan) HAM

    untuk PNS (ii) sokongan anggaran (iii) Layanan (transportasi, trotoar, taman) untuk

    orang, termasuk kaum difabel, anak, manula, (iv) informasi yang terbuka (v) mekanisme

    aduan (vi) tata pemerintahan yang baik (vii) lingkungan hidup yang sehat (viii) eliminasi

    kesenjangan kelas sebagai dasar untuk menciptakan masyarakat adil, dan (ix)

    hubungan dengan pemerintahan pusat dalam rangka mendiskusikan dan

    membangkitkan kesadaran nasional mengenai perlindungan HAM.6

    Membela Para Pembela HAM di Indonesia

    Dalam sepuluh tahun terakhir Imparsial mencatat kekerasan terhadap pembela

    HAM mencapai rata-rata sekitar 25 kasus per tahun. Indonesian Corruption Watch (ICW)

    mencatat sejak 1998 sekitar 40 orang penggiat anti korupsi telah mengalami ancaman

    dengan beragam cara. Angka itu diyakini lebih kecil dari yang sebenarnya terjadi,

    mengingat banyak kasus yang tidak mendapatkan liputan media atau tidak

    terdokumentasi. Para pelaku seringkali tidak diproses secara formal di pengadilan dan

    dihukum.

    Pembela HAM berada di garis depan perjuangan penghormatan HAM di mana

    terjadi pelanggaran HAM. Mereka adalah instrumen penting dalam mempertahankan

    hak korban dan masyarakat luas. Tidak hanya mengkritisi otoritas yang melanggar hak

    individu, tetapi juga melakukan upaya memajukan HAM, demokrasi, dan the rule of law melalui publikasi instrumen HAM dan advokasi kebijakan terhadap otoritas negara maupun lembaga-lembaga regional dan internasional.7

    Meski Indonesia sudah menandatangani Deklarasi Pembela HAM, namun

    pemerintah masih belum memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

    yang melekat pada pembela HAM. Masyarakat sipil berupaya mendorong pengakuan

    6 D.B Seetulsingh, 2014, The Right to The City and Local Governments:: How Can Municipalitites Translate This Rights into Local Policies makalah dipresentasikan pada World Human Rights Cities Forum di Gwangju, Korea Selatan. 7 General Assembly, Human Rights Defenders, Report of the Special Representative, The interim report of the Special Representative (SRep), 2 July 2002.

  • www.infid.org

    6

    ini dengan inisiatif Rancangan Undang-Undang Pembela HAM. RUU ini masuk dalam

    Program Legislasi Nasional 2010-2014sebuah prestasi yang cukup maju, mengingat inisiatif semacam ini belum pernah ada dari negara manapun. Namun, hingga pemilu

    kembali digelar tahun ini, RUU ini sama sekali tidak mengalami kemajuan bahkan buntu

    karena sampai anggota legislative periode 2009-2014 berakhir, RUU sama sekali belum

    dibahas.

    Keadaan semakin berat menyusul disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 17

    Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang bersemangat membatasi

    dan berserikat dengan administrasi yang kelewat ketat dan pengaturan ideologi

    organisasi. Gugatan atas UU ini masih berlangsung. Selain UU Ormas, UU lain lain yang

    kerap dipakai untuk membatasi dan mengancam Pembela HAM di antaranya KUHP

    Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 tentang tindak pidana penghinaan terhadap

    Presiden dan/atau Wakil Presiden (putusan MK menyatakan UU ini melanggar

    konstitusi dan tidak lagi punya kekuatan hokum), Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315

    tentang tindak pidana pencemaran nama baik (gugatan dua wartawan, Bersihar Lubis

    dan Risang Bima Wijaya namun ditolak hakim), dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang

    Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (penggugat di antaranya, Abdurahman

    Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo. MK juga menolak permohonan ini).

    Indonesia telah menandatangani Deklarasi Pembela HAM (Declaration on the

    Rights and Responsibility of individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and

    Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom). Karena itu

    pemerintah punya tanggung jawab melaksanakan dan menghormati semua ketentuan

    dalam Deklarasi Pembela HAM. Pemerintah perlu menghidupkan RUU Pembela HAM.

    Bersama dengan itu, berbagai aturan yang membatasi para pembela HAM juga mesti

    dicabut. Selain itu sebagai komisi negara, Komnas HAM juga perlu memiliki desk khusus

    yang bisa memfasilitasi semua aktivitas pembela HAM. Misalnya, membuka ruang

    informasi, dan partisipasi yang seluas-luasnya, baik dalam proses pembentukan UU

    maupun dalam penyelesaian kasus.

    Perlindungan HAM Regional

    Kebijakan liberalisasi investasi dan perdagangan regional telah menyebabkan

    berbagai kasus pengrusakan lingkungan serta kepunahan keanekaragaman hayati,8

    8 Misalkan laporan Greenpeace mengenai dampak perkebuna sawit terhadap pupulasi harimau sumatera dalam laporan berjudul Licence to Kill http://www.greenpeace.org/international/en/publications/Licence-to-kill/

  • www.infid.org

    7

    termasuk pelanggaran hak asasi manusia. 9 ASEAN akan memberlakukan skema

    perdagangan tersebut lewat Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku pada akhir

    tahun depan. Celakanya, negara-negara ASEAN memiliki kelemahan dan kesenjangan

    hukum yang mengatur bisnis dan pemenuhan hak asasi manusia, seperti yang

    ditunjukkan dalam studi Human Rights Resource Center for ASEAN.10 Untuk itu

    dibutuhkan mekanisme perlindungan HAM regional yang kuat untuk mengantisipasi

    dampak buruk Masyarakat Ekonomi ASEAN.

    Indonesia telah berperan aktif atas perumusan Piagam ASEAN pada 2008, yang

    mengandung nilai-nilai demokrasi dan pemajuan serta perlindungan HAM. Piagam

    tersebut diikuti dengan pembentukan Komisi HAM Antar-Negara ASEAN (AICHR), yang

    dimandatkan untuk melindungi dan mempromosikan HAM di kawasan Asia Tenggara.

    Namun lima tahun sejak didirikannya, tak ada satupun kasus pelanggaran HAM yang

    direspons, apalagi diselesaikan oleh Komisi ini.

    Kritik yang disuarakan masyarakat sipil menyebut kelemahan perlindungan

    mandate AICHR ini disebabkan ketiadaan instrumen untuk menerima aduan dari

    perseorangan maupun kelompok sebagai basis dari penyelidikan kasus HAM. Sebagai

    badan konsultatif di bawah secretariat ASEAN, AICHR juga dinilai tidak independen

    karena terikat dengan kepentingan pihak negara anggotanya. Hanya ada dua negara,

    Indonesia dan Thailand yang memberlakukan proses rekrutmen terbuka dengan uji

    kepatutan. Yang lainnya dipilih dan kadang-kadang tidak memiliki kompetensi dalam

    bidang HAM.

    Ada paling tiga hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kinerja AICHR. Yang

    pertama memperkuat mandate perlindungan AICHR. Ini bisa dilakukan dengan

    memasukkan prosedur komunikasi di AICHR untuk menerima, menganalisis, dan

    menginvestigasi pengaduan terkait dengan pelanggaran HAM. Kedua, AICHR harus

    independen, tidak sebatas badan antar-pemerintah yang hanya bersifat konsultatif.

    Rekruitmen anggota AICHR mesti dilakukan secara terbuka dan akuntabel dan betul-

    betul memerhatikan rekam jejak kandidat. Penting juga menyediakan dukungan

    anggaran dan kesekretariatan yang kuat untuk menunjang fungsi AICHR. Ketiga, AICHR

    perlu mengembangkan kerja sama dengan para stakeholders termasuk badan-badan

    sektoral ASEAN lain, institusi HAM nasional, dan masyarakat sipil. AICHR perlu

    9 http://www.businessweek.com/articles/2013-07-18/indonesias-palm-oil-industry-rife-with-human-rights-abuses 10 http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2013/05/04/feature-02

  • www.infid.org

    8

    melangsungkan dialog-dialog konstruktif secara regular dengan para stakeholders

    untuk mendapatkan input-input yang bermakna untuk kerja mereka.

    Lantas apa yang bisa dilakukan presiden mendatang? Presiden mendatang bisa

    memberi dukungan anggaran dan kesekretariatan yang lebih kuat untuk membantu

    kerja-kerja AICHR. Dengan lokasi Sekretariat ASEAN yang sudah ada di Jakarta, rasanya

    tak sulit bagi Indonesia untuk mengambil inisiatif penguatan anggaran dan

    kesekretariatan AICHR. Yang tak kalah penting, presiden mendatang perlu melakukan

    diplomasi intensif untuk mendorong level kenyamanan negara-negara anggota ASEAN

    untuk membicarakan dan memajukan HAM di negara masing-masing dan di kawasan.

    Kenyamanan ini penting untuk menghasilkan dukungan politik yang kuat terhadap

    AICHR untuk memperkuat mandate perlindungannya dan mempertegas

    independensinya. Dengan reputasi proses demokratisasi yang berjalan relative damai

    dan sebagai sebagai negeri demokratis ketiga terbesar di dunia, Indonesia punya

    modal untuk melakukan diplomasi tersebut.

  • www.infid.org

    9

    LAMPIRAN 1.

    PERLUNYA MEWUJUDKAN STANDAR KEADILAN

    BAGI KEADILAN TRANSISI DI INDONESIA

    Oleh : Chrisbiantoro11

    Pendahuluan

    Sejak Soeharto jatuh pada tanggal 20 Mei 1998, akibat derasnya gelombang reformasi,

    Indonesia sampai saat ini belum mampu menyelesaikan beragam bentuk pelanggaran HAM dan

    ketidakadilan yang terjadi pada masa Orde Baru, bahkan ketika Soeharto meninggal pada 2008

    silam, tidak nampak ada kemajuan dalam penegakan HAM. Kondisi ini sunggung ironis, meskipun

    pemerintah transisi telah mengesahkan beberapa Undang-Undang ditingkat nasional yang

    mengatur tentang HAM dan pengadilan HAM, bahkan Indonesia juga pernah membentuk

    pengadilan HAM, namun keadilan untuk korban masih tetap sulit diwujudkan. Terkait kondisi ini,

    Professor Suzannah Linton menyatakan bahwa mengadopsi hukum-hukum yang menyisakan

    celah, dan pengadilan yang lemah, tanpa prinsip-prinsip dan keyakinan mendasar tentang

    transparansi, proses hukum yang jujur dan akuntabilitas penegakan hukum, hanya akan

    meninggalkan luka mendalam untuk Indonesia. 12

    Tulisan ini akan menguji dan mengupas lebih mendalam hambatan dan tantangan dari

    transisi keadilan di Indonesia, dengan memberikan penekanan pada standar keadilan bagi

    penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dalam konteks ini, standar keadilan

    mengacu pada dua aliran pemikiran tentang keadilan, yakni keadilan retributif dan keadilan

    restoratif.

    Selain itu, tulisan ini juga akan menguji prinsip-prinsip yang terkandung dalam aliran

    pemikiran keadilan tersebut, yang mungkin akan sangat berguna bagi penyelesaian kasus

    pelanggaran HAM berat di Indonesia, khususnya yang terjadi di masa lalu. Tulisan ini memberikan

    penekanan bahwa kegagalan selama enam belas tahun reformasi, hanya menambah kesedihan

    dan penderitaan, serta ketidakpastian nasib para korban dan keluarga korban. Namun demikian,

    tulisan ini akan memberikan saran kepada pemerintah Indonesia, bahwa jika pemerintah memiliki

    11 Penulis adalah wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] 12 Suzannah Linton, Accounting for atrocities in Indonesia', Singapore year book of international law and contributors, 2006,31

  • www.infid.org

    10

    keseriusan dan komitmen, maka prinsip keadilan retributif dan restoratif, setidaknya dapat

    digunakan sebagai panduan atau referensi dalam membangun standar keadilan bagi

    penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kedua prinsip keadilan tersebut, dapat

    melengkapi satu dengan yang lain, salah satunya memperkuat opsi jika kasus pelanggaran HAM

    berat harus dibawa ke Pengadilan HAM. Kedua prinsip keadilan tersebut juga selaras dengan

    gagasan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi sebagai pelengkap mekanisme pengadilan.

    Standar Keadilan : Menjembatani Penuntutan dan Rekonsiliasi

    Kita tidak tahu apa itu HAM. Apa yang kita tahu adalah yang terjadi dan pernah menimpa kita, itulah

    yang disebut HAM. Kami hanya ingin bertanya kepada pemerintah untuk memberikan perhatian

    kepada kami sebagai korban konflik. Jika anda bertanya apa itu HAM, maka kami akan menjawab

    kami tidak tahu, namun kami adalah korban. 13

    Kutipan kalimat diatas hanyalah contoh dari sebuah perasaan dan harapan korban di

    Indonesia untuk mendapatkan keadilan. Namun sayang, tidak satupun, baik pemerintah daerah,

    maupun pemerintah pusat yang mau secara ikhlas memberikan perhatian dan pemulihan hak

    para korban, meski belakangan terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh, namun

    sejauh ini peran pemerintah Aceh masih sangat minim, setidaknya proses sosialisasi tidak

    menyeluruh dapat di akses dan dipamai oleh korban dan keluarga korban. Hal yang paling simple

    diabaikan oleh pemerintah adalah sejauh ini tidak ada mekanisme atau proses pemulihan yang

    diprioritaskan kepada korban, baik pemulihan trauma dan pemulihan secara fisik akibat dari

    pelanggaran HAM yang dialami.

    Oleh karenanya, nasib para korban dan keluarga korban masih tidak menentu hingga saat

    ini, pengadilan HAM telah gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, semisal kasus

    pelanggaran HAM berat Tanjung Priok, kasus Timor-Timur pasca jajak pendapat, dan kasus

    Abepura Papua. Selain itu, KKR yang pernah dibentuk oleh pemerintah dan DPR, juga tidak

    menentu kejelasannya hingga kini, pasca Mahkamah Konstitusi [MK] mencabut UU KKR No 27

    Tahun 2004. Namun demikian, Indonesia sebagai anggota dari PBB dan juga anggota Dewan HAM

    PBB, dan telah meratifikasi beberapa instrumen penting dari hukum HAM internasional,

    pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk meningkatkan standar dan kualitas pemajuan

    serta perlindungan HAM didalam negeri, secara khusus penanganan terhadap kasus pelanggaran

    HAM berat.

    Salah satu jawaban penting dari berlarutnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di

    Indonesia adalah tidak adanya standar keadilan yang dimiliki oleh pemerintah, yang tentu saja

    13 The International Center for Transitional Justice, Considering Victims the Aceh Peace Process from a Transitional Justice Perspective, 2008, 19

  • www.infid.org

    11

    harus didasarkan dan mengacu pada instrumen hukum HAM internasional. Dalam konteks ini,

    penuntutan perkara pelanggaran HAM berat, yang diatur oleh UU No 26 Tahun 2000 tentang

    Pengadilan HAM, dapat dikategorikan kedalam pendekatan konsep liberal perdamaian. Karena

    pengadilan mengedepankan penuntutan sebagai solusi utama dalam rangka menyelesaikan

    pelanggaran HAM berat. Dengan kata lain, pendekatan dengan model ini percaya bahwa hanya

    melalui penghukuman atau penuntutan, keadilan sebagai sebuah tujuan utama dapat diwujudkan

    dan ini juga diyakini sebagai jaminan untuk tidak berulangnya peristiwa serupa dimasa depan.

    Dalam pengertian ini, pendekatan model perdamaian liberal akan memperkuat kerangka

    penegakan hukum. Hal ini tercermin dari pengalaman, dibawah supervisi PBB, para pelaku

    kejahatan pelanggaran HAM berat, diadili di pengadilan HAM semisal pengadilan Kejahatan

    Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia [ICTY], dan pengadilan Kejahatan Internasional untuk

    Rwanda [ICTR]. 14

    Merefleksikan persoalan yang muncul dalam sistem peradilan HAM di Indonesia, tulisan ini

    menegaskan bahwa persoalan utama adalah buruknya kredibilitas pengadilan itu sendiri, baik

    hakim, jaksa termasuk pembela yang menggunakan berbagai cara untuk mementahkan dakwaan.

    Selain itu, lemahnya bukti dan pembuktian dalam proses persidangan, membawa dampak pada

    kegagalan total dari pengadilan untuk mengungkap kejahatan pelanggaran HAM berat. Ini adalah

    kelemahan mendasar dari model keadilan retributif, yang hanya memandang penuntutan sebagai

    jalan utama, tanpa memperhitungkan dukungan yang lemah dari pemerintah. Desmond Tutu

    pernah mengkritik mekanisme ini sebagai mekanisme balas dendam dan tidak memiliki semangat

    untuk merestorasi hubungan yang pernah dikoyak oleh kejahatan HAM. Meski demikian, konsepsi

    keadilan retributif yang sesungguhnya, belum hadir di Indonesia, karena pengadilan HAM yang

    ada tidak ubahnya pengadilan yang lemah sejak awal, dan dimasutkan untuk gagal. 15

    Terkait penyelesaian kejahatan HAM berat melalui jalan penuntutan, Daniel Philpott

    memiliki pandangan lain, memahami restorasi, penuntutan adalah dimensi dari keadilan yang

    melekat pada mekanisme rekonsiliasi, hal ini tergambar dari sebuah kemurahan hati, dan

    bertujuan untuk menjaga perdamaian. Restorasi keadilan, konsepsi ini juga dikenal dalam tradisi

    masyarakat Yahudi, Kristen, dan Islam. 16 Dalam konteks ini, pemikiran Daniel Philpott setidaknya

    menjelaskan dua hal yang mengkritik pendekatan keadilan secara liberal, selain itu dia juga

    menegaskan bahwa kerangka dari keadilan restoratif dan pendekatan restoratif tidak akan

    mengorbankan supremasi hukum itu sendiri.

    14 Daniel Phillpott, Just and Unjust Peace An Ethic of Political Reconciliation, Oxford University Press, 2012 at 207 15 David A. Crocker, Retribution and Reconciliation, Report from the Institute and Public Policy, 2000, 2- 3 16 Daniel Philpott, Supra Note 4, 208

  • www.infid.org

    12

    Lebih jauh lagi, dalam hal kemungkinan untuk membentuk KKR nasional, ini bisa menjadi

    alternatif bagi korban atas keadilan yang mereka harapkan. Namun demikian, penting untuk

    memastikan agar KKRtetap sinergi dan melengkapi penuntutan kasus pelanggaran HAM berat

    melalui peradilan, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jenifer Liewellyn bahwa Dalam KKR

    juga melekat prinsip tentang keadilan restoratif melalui keterlibatan publik, bukan keadilan

    parsial. Pengertian tentang keadilan restoratif sebagai keadilan yang menyeluruh, yang berarti

    bahwa KKR, sejauh ini sebagai bentuk keadilan restoratif, dimana penuntutan dimungkinkan. 17

    Dalam konteks mewujudkan standar keadilan yang lebih baik terhadap kejahatan masa

    lalu, pemerintah Indonesia harus mengevaluasi penegakan hukum yang sejauh ini diterapkan,

    khususnya kegagalan dari pengadilan HAM dan celah yang muncul antara konsepsi hukum dan

    praktik hukum, serta nihilnya komitmen pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam beberapa

    instrumen hukum HAM internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Indonesia

    harus mewujudkan dan memperkuat standar keadilan dengan mengkombinasikan antara

    keadilan retributif dan keadilan restoratif, karena kedua konsepsi keadilan ini, melengkapi satu

    dengan yang lain. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jonathan Burnside, bahwa keadilan

    retributif dan keadilan restoratif sama-sama memiliki keterbatasan. Keterbarasan dari keadilan

    restributif dikaitkan dengan persepsi si pelaku. Persepsi yang dipengaruhi oleh tindakan,

    sementara dalam batas tertentu keadilan restoratif tidak memiliki keinginan untuk memasuki

    tindakan atau motif dari pelaku.18Dengan demikian, pemerintah Indonesia, setidaknya memiliki

    opsi untuk menggabungkan keduanya.

    Amnesty Internasional dalam laporan studi tentang 40 KKR dari berbagai negara, antara

    1974 hingga 2010, menyimpulkan bahwa keadilan retributif dan keadilan restoratif dapat

    melengkapi satu dengan yang lain, dan seharusnya tidak dipisahkan. 19 Dalam laporannya,

    Amnesty menegaskan bahwa bedasarkan perbedaan antara keadilan retributif dan keadilan

    restoratif, menandakan bahwa negara-negara memiliki pilihan untuk memutuskan keadilan

    seperti apa, atau standar seperti apa yang akan diwujudkan atau hendak dicapai. Negara-negara

    dapat memutuskan tidak melakukan penyelidikan dan penuntutan dari kejahatan pelanggaran

    HAM berat, semisal genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, namun

    lebih mementingkan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi komunitas. 20

    Dalam konteks transisi keadilan di Indonesia, perangkat hukum yang ada, serta partisipasi

    masyarakat sipil dan korban, sebenarnya merupakan modal yang sudah lebih dari cukup.

    17 Jennifer Liewellyn, Hand Book of Restorative Justice: Truth Commission and Restorative Justice, Willan Publishing, (Geryy Johnstone et al, eds 2006) 18 Gerry Johnstone et al, Handbook of Restorative Justice, Willan Publishing, 2007, 142 - 144 19 Amnesty International, Commission Justice; Truth Commission and Criminal Justice, 2010, p 5, Available at http://www.amnesty.org/en/library/info/POL30/004/2010 20Id

  • www.infid.org

    13

    Indonesia telah meratifikasi beragam instrumen hukum HAM internasional, yang memperkuat

    sistem hukum ditingkat nasional. Selain itu, Indonesia juga memiliki UU Pengadilan HAM,

    Pembatalan UU KKR No 27 Tahun 2004 adalah bentuk dari perhatian dan partisipasi publik yang

    kuat terhadap upaya mewujudkan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,

    tanpa mengorbankan keadilan itu sendiri. Bahkan, inisiatif-inisiatif dari masyarakat sipil juga tidak

    sedikit, mereka membangun alternatif healing dan penguatan-penguatan korban, sehingga satu-

    satunya masalah yang paling mendasar adalah buruknya komitmen pemerintah.

    Indonesia harus menunjukan kemauan dan kemampuannya untuk menyelesaikan

    kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dimasa lalu, secara khusus dalam empat praktis politik

    rekonsiliasi, yaitu: pengakuan, reparasi, penuntutan dan permaafan dari negara kepada korban

    dan keluarga korban. Terkait dengan empat hal tersebut, Daniel Philpott secara jelas menyatakan

    bahwa empat praktis politik rekonsiliasi, idealnya dilakukan dengan saling melengkapi satu

    dengan yang lain, dan bergerak secara bersama. Keempat praktis tersebut tidak bisa

    menggantikan atau diposisikan menghapuskan satu kewajiban dengan kewajiban lainnya. Namun

    jika salah satunya tidak dapat diwujudkan, akan menjadi dimensi penting bagi perwujudan

    keadilan melalui rekonsiliasi. 21

    Upaya Mengikis Tembok Tebal Impunitas

    Hingga tahun 2013 dan setelah melewati 16 tahun reformasi, KontraS mencatat bahwa

    penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, sama sekali tidak

    mengalami kemajuan. Tragisnya, pada pertengahan November 2013, Kejaksaan Agung RI justru

    mengembalikan berkas-berkas perkara pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM, yang seharusnya

    disidik oleh Kejaksaan Agung, seperti biasa dengan dalih untuk dilengkapi.22 Bahkan sebelumnya,

    KontraS mencatat pada bulan Februari 2013, dalam rapat kerja antara perwakilan Kepresidenan,

    Kementrian Polhukam dan DPR RI untuk membahas empat rekomendasi DPR RI tahun 1999, yang

    salah satunya merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus

    penghilangan paksa aktivis 1997-1998, berkasnya akhirnya juga dikembalikan ke Komnas HAM.

    Meski perdebatan terkait pengembalian berkas ini tidak terjadi satu kali ini saja, KontraS

    menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI merupakan bentuk

    pengingkaran dan penghinaan terhadap ketentuan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

    21Daniel Philpott, Supra Note 4, 171 22Berdasarkan informasi yang dihimpun KontraS, berkas-berkas perkara yang dikembalikan ke Komnas HAM tidak disertai dengan petunjuk atau keterangan yang jelas, pada bagian apa dan informasi apa yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM

  • www.infid.org

    14

    HAM, dimana Kejaksaan Agung, tidak menjalankan mandat sebagaimana diatur dalam ketentuan

    pasal 21,23 dan pasal 22.24

    Terkait ratifikasi Konvensi internasional untuk perlindungan setiap orang dari

    penghilangan paksa [sering disebut juga konvensi anti-penghilangan paksa], KontraS mencatat

    bahwa proses ratifikasi sudah berada di Komisi I DPR RI. Beberapa kali KontraS melakukan upaya

    lobby untuk menanyakan perkembangan ratifikasi, namun tidak mendapatkan hasil optimal,

    selain penjelasan normatif dan janji-janji akan ditindaklanjuti. Komisi I DPR RI mengaku, terkait

    ratifikasi, telah melakukan Rapat Umum Dengar Pendapat [RDPU] dengan Komnas HAM, Mabes

    Polri dan TNI, Menkopolhukam dan kementrian luar negeri, namun tidak ada kejelasan lagi setelah

    itu.

    Berlarutnya penyelesaian kasus masa lalu, telah membawa dampak buruk bagi korban

    yang rata-rata mengalami masalah kesehatan dan ekonomi. Terkait situasi ini, KontraS telah

    mengadvokasi agar persoalan ini dapat dijawab [address] oleh pemerintah, namun upaya ini tidak

    mendapatkan respons, sebaliknya persoalan kesehatan dan ekonomi korban hanya direspons

    secara terbatas oleh LPSK, berupa bantuan atas akses kesehatan, sekali lagi, ini masih sangat

    terbatas pada kelompok kecil korban.

    Sedikit angin segar berhembus untuk Aceh, pada 5 Oktober 2013, Komnas HAM melalui

    rapat paripurna mengesahkan agenda penyelidikan pro-yustisia berdasarkan UU 26 Tahun 2000

    tentang Pengadilan HAM untuk Aceh. Meski sempat mendapat tentangan dan penolakan, bahkan

    dari ketua Komnas HAM sendiri, akhirnya penyelidikan proyustisia disetujui.

    Disamping itu, seiring dengan rencana Dewan Perwakilan Rakyat Aceh [DPRA]

    mengesahkan Rancangan Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [selanjutnya disebut

    Raqan KKR], yang diprediksi pada akhir tahun 2013 atau pada awal tahun 2014.

    Meski masih terdapat persoalan substansi dari Raqan KKR, namun kehadiran regulasi ini

    setidaknya membawa sedikit harapan untuk para korban dan keluarga korban di Aceh. KontraS

    mencatat kelemahan substansi Raqan diantaranya:

    a) Mandat KKR hanya sebatas memberikan rekomendasi dan tidak memiliki kewenangan

    untuk memaksa atau memastikan pemerintah menjalankan rekomendasi;

    23Pasal 21 ayat 1 Penyidik Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung; 24Pasal 22 [ayat 1] Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik;[ayat 2] Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya; [ayat 3] Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya;

  • www.infid.org

    15

    b) Tidak ada pasal atau klausul dalam Qanun KKR yang menyebutkan relasi KKR dengan

    Pengadilan HAM ad hoc untuk Aceh sebagaimana dimandatkan dalam perjanjian damai

    Helsinki;

    c) Kerjasama dengan instansi lain terkait pemberian reparasi tidak jelas,

    d) Qanun KKR tidak memberikan garis tegas antara reparasi untuk korban dan program

    pembangunan sebagai kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, mengingat Qanun

    KKR meminta dengan jelas bahwa program-program pemerintah yang telah dilakukan

    sebelumnya, untuk dapat dipertimbangkan sebagai reparasi;

    e) Pengungkapan kebenaran tidak menyentuh aktor / pelaku ditingkat nasional;

    f) Rekonsiliasi hanya menjadi agenda lokal antara korban dan pelaku di Aceh.25

    Selain problem substansi, KontraS mencatat ada persoalan non substansi yang juga tidak

    kalah serius, yakni tidak ada sosialisasi yang baik [sistematis], dari DPRA kepada para korban dan

    keluarga korban yang tersebar di 13 Kabupaten dan Kota diseluruh Nanggroe Aceh Darrusalam

    [NAD]. Mempertimbangkan urgensi persoalan tersebut, KontraS bersama dengan organisasi HAM

    di Aceh melakukan sosialisasi dan diskusi dengan komunitas korban di 13 wilayah kabupaten dan

    kota di Aceh.

    Disisi yang lain, angin segar juga berhembus untuk korban peristiwa 1965-1966, terkait

    putusan Mahkamah Agung RI Nomor 33 P/HUM/2011 mengenai permohonan Hak Uji Materiil

    terhadap keputusan Presiden RI No 28 Tahun 1975, tertanggal 25 Juni 1975 tentang Perlakuan

    Terhadap Mereka yang terlibat G.30 S/PKI Golongan C. Bahwa pada 2 Desember 2013, MA

    mengabulkan permohonan uji materi yang diakukan oleh korban peristiwa 1965-1966. Dalam

    amar putusannya, MA menyatakan bahwa Presiden RI harus mencabut Keputusan Presiden RI

    Nomor 28 Tahun 1975.

    Kerangka Dasar Reparasi [Pemulihan Hak Korban]

    Mekanisme reparasi merupakan bagian tak terpisahkan dari instrumen hukum

    internasional dan sudah seharusnya praktik di level domestik menyelaraskan dengan setandar

    internasioanl. Dan berikut adalah beberapa instrumen hukum internasional yang spesifik

    mengatur reparasi untuk korban pelanggaran ham ;

    25Informasi lengkap terkait masukan korban dan KontraS pada DPRA, lihat Surat KontraS untuk ketua DPRA, Masukan Korban Pelanggaran HAM Aceh tentang Rancangan Qanun KKR, KontraS. Dapat diakses di http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1823

  • www.infid.org

    16

    No Nama

    Instrumen Hukum

    Pasal Keterangan

    1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)

    Pasal 8 Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif (effective remedy) oleh Pengadilan Nasional yang kompeten bagi mereka yang mengalami tindakan pelanggaran hak-hak dasar yang diberikan atas dasar konstitusi atau perundang-undangan

    Indonesia terikat secara Moral (Moral Binding)

    2 Kovenan Hak Sipil dan Politik

    Pasal 2 ayat 3 Setiap negara yang mengakui kovenan ini harus mengambil langkah-langkah : - memastikan orang yang mengalami pelanggaran HAM mendapatkan pemulihan efektif (effective remedy). - memastikan mereka yang berhak tersebut haknya ditentukan oleh otoritas peradilan, administratif, atau legislatif, atau instansi negara lain yang berwenang menurut sistem hukum negara bersangkutan.menjamin instansi berwenang itu akan menegakkan upaya hukum tersebut Pasal 14 ayat 6 Bagi mereka yang telah dihukum untuk suatu pelanggaran pidana dan kemudian keputusan tersebut berbalik atau ia diberi ampun berdasarkan fakta yang baru, yang menunjukkan adanya kesalahan dalam penerapan hukum, maka orang tersebut berhak mendapat ganti rugi

    Pemerintah terikat secara hukum (Legaly Binding)

    3 Konvensi Hak Anak

    Pasal 39 Negara harus memberikan pemulihan fisik dan psikis bagi anak yang menjadi korban eksploitasi, kekerasan, penelantaran, penyiksaan, bentuk perlakuan tidak manusiawi dan kejam, atau korban perang

    Pemerintah terikat secara hukum (Legaly Binding)

    4 Konvensi anti penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya

    Pasal 14 Negara harus menjamin dalam sistem hukumnya bahwa korban penyiksaan memperoleh ganti rugi, kompensasi, dan rehabilitasi yang memadai dan seadil mungkin. Bila si korban telah meninggal maka orang yang menjadi tanggungannya harus mendapat kompensasi

    Pemerintah terikat secara hukum (Legaly Binding)

    5 Statuta Roma Pasal 75 Bahwa mahkamah harus menetapkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan ganti rugi kepada, atau berkenaan dengan korban, termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi kompensasi

    Indonesia terikat secara Moral (Moral Binding)

    6 Konvensi anti penghilangan orang secara paksa

    Pasal 24 ayat 4 Setiap Negara pihak harus menjamin dalam sistem hukum yang berlaku di wilayahnya bahwa seseorang yang menjadi korban penghilangan paksa mempunyai hak memperoleh pemulihan dan kompensasi yang wajar dan adil secara cepat Pasal 24 ayat 6 Tanpa mengesampingkan kewajiban untuk melanjutkan penyelidikan sampai nasib orang hilang dapat diklarifikasi, setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan situasi hukum orang hilang yang nasibnya masih belum jelas dan anggota keluarga mereka, dalam hal kesejahteraan sosial, masalah keuangan, peraturan rumah tangga dan hak milik pribadi

    Pemerintah terikat secara hukum (Legaly Binding)

    Reparasi ini bisa saja merujuk pengalaman negara lain. Argentina, Chile, Brazil, El Salvador

    adalah beberapa diantara sekian negara negara yang memiliki pengalaman reparasi korban

    pelanggaran HAM berat. Rata rata dari mereka merupakan korban rezim pemerintahan otoriter

  • www.infid.org

    17

    maupun kekejaman perang yang pernah terjadi dan negara merupakan pihak yang harus

    bertanggungjawab atas upaya pemulihan tersebut.

    Pengalaman di Argentina pada tahun 1976 1983 merupakan masa berkabung untuk

    Argentina karena lebih dari 30.000 orang mengalami penahanan dan pembunuhan diluar

    prosedur hukum dan penghilangan paksa oleh kekuasaan junta militer dan kelompok para militer.

    Pemerintah Argentina kemudian menggelar peradilan untuk mengadili para pelaku dari kelompok

    junta militer. Tahun 1989 Presiden Carlos Menem pernah memaafkan para petinggi militer namun

    keputusan ini di cabut oleh Hakim Rodolfo Corral (Hakim Federal) pada 19 Maret 2004 dan

    kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung karena bertentangan dengan konstitusi. Tentu saja ini

    merupakan peluang untuk kembali memperjuangkan hak hak korban yang dihilangkan dan

    mengadili para pelaku. Argentina, akan membayarkan U$$ 5,6 juta berbentuk surat obligasi

    pemerintah pada 140 orang yang disekap sewenang-wenang dalam tahanan akibat perang tahun

    1976-1983.26

    Maka kembali pada uraian awal diatas, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di

    Indonesia, merupakan keharusan bagi pemerintah Indonesia. Ini harus disegerakan. Ada sejumlah

    alasan mengapa hal ini bersifat mendesak :

    Pertama, kondisi para korban yang masih terus tercerabik dari hak-haknya. Padahal hak-

    hak tersebut telah dijamin oleh UUD 1945, terutama Amandemen II (2000).

    Kedua, bangsa Indonesia penting untuk membongkar fakta perihal yang sesungguhnya

    terjadi, terutama soal kekerasan atau pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu maupun yang

    berimbas hingga kini.

    Ketiga, diharapkan dengan diketahuinya kebenaran atas pelanggaran HAM tersebut

    mampu menjadi tali pengikat (rekonsiliasi) dengan warganegara lainnya yang selama ini

    terdistorsi akan cerita dan stigma negatif yang melekat pada para korban.

    Keempat, kebenaran tentang fakta pelanggaran HAM bisa dijadikan dasar pemberian

    rekomendasi reparasi bagi korban dan penuntutuan jika didapati pihak-pihak yang diduga terlibat

    dan bersalah.

    26 Lihat Pablo De Greiff [Ed], The Handbook of Reparation, Oxford University Press, 2006

  • www.infid.org

    18

    III. Kesimpulan

    Proses transisi keadilan di Indonesia berjalan sangat lamban. Enam belas tahun setalah

    Soeharto lengser, pemerintah transisi tidak kunjung mampu menjawab dan menyelesaikan kasus

    pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme yang ada. Namun demikian, ada beberapa

    hal positif yang telah dihasilkan oleh pemerintah transisi, diantaranya adanya UU tentang

    pengadilan HAM, dan masih melakukan proses drafting untuk UU KKR yang baru, kemudian

    pemerintah juga telah meratifikasi sejumlah instrumen hukum HAM internasional, Qanun KKR

    untuk Aceh.

    Tetapi, dari sederet catatan tersebut, pemerintah masih gagal untuk memperkuat

    perlindungan dan pemenuhan HAM di tingkat nasional, khusunya untuk mewujudkan keadilan

    bagi para korban. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk membangun standar keadilan bagi

    segala upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, satu hal yang ditekankan

    dalam tulisan ini adalah pemerintah dapat menggunakan konsepsi keadilan retributif dan keadilan

    restoratif untuk mendukung mekanisme yang ada yakni pengadilan HAM dan KKR. Selain itu,

    penting untuk dipikirkan bagi penguatan mandat dan fungsi Komnas HAM, dan peran Kejaksaan

    Agung selaku lembaga penyidik harus dievaluasi, dalam rangka untuk membangun

    profesionalisme dan pengetahuan tentang HAM yang lebih baik.

    Dalam konteks KKR, pemerintah tidak boleh menunda kembali dengan berbagai alasan,

    karena dalam periode transisi, KKR sangat penting untuk melengkapi mekanisme pengadilan HAM

    yang tersedia. Persoalan dari KKR Indonesia adalah amnesty untuk pelaku, pemulihan hak korban

    dan pengungkapan kebenaran, oleh karenanya KKR yang akan dibentuk kemudian harus dibentuk

    mengacu pada standar hukum HAM dan prinsip HAM internasional, dimana amnesty tidak boleh

    diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat. Pemerintah harus merubah sikap dan

    menunjukan keseriusan untuk membangun standar keadilan yang akan menguntungkan

    masyarakat Indonesia, khususnya para korban. Jika Indonesia berhasrat membangun citra positif

    ditingkat internasional, maka tidak ada jalan lain bahwa penegakan hukum harus menjadi

    andalan. Indonesia harus berani menghadapi masa lalu dan belajar dari pengalaman tersebut, jika

    hal ini diabaikan, maka akan terus terjadi keberulangan.

  • www.infid.org

    19

    Daftar Pustaka

    1. Buku-Buku

    Carrie Menkel Meadow, Restorative Justice : What is it and Does It Work ?, Annual Review, 2007

    Colleen Murphy, A Moral Theory of Political Reconciliation, Cambridge University Press,2010

    Daniel Philpott, Just and Unjust Peace An Ethic of Political Reconciliation, Oxford University Press,

    2012

    Gerry Johnstone et al, Handbook of Restorative Justice, Willan Publishing, 2007

    Jennifer Liewllyn, Handbook of Restorative Justice: Truth Commission and Restorative Justice,

    Willan Publishing, (Gerry Johnstone et al, eds 2006)

    Jennifer Lind, Sorry States Apologies in International Politics, Cornel University Press, 2010

    Judith Herman, MD, Trauma and Recovery The Aftermath of Violence from domestic abuse to

    political terror, Basic Books, 1997

    John H. McGkynn et al., Indonesia in the Soeharto Years : Issues, Incidents and Images Jakarta,

    Lontar Foundation, 2005

    Marlies Glasius, Foreign Policy on Human Rights its Influence on Indonesia under Soeharto, Oxford,

    1999

    Pablo De Greiff [Ed], The Handbook of Reparation, Oxford University Press, 2006

    Phil Clark, The Gacaca Courts Post Genocide Justice and Reconciliation in Rwanda, Cambridge

    University Press, 2010

    Priscilla B. Hayner, Unspekable Truths Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions,

    Routledge Taylor Francis Group, 2010

    Tim Lindsey et al, Indonesia Law and Society, the Federation Press, 2008

    The Commission for Disappeared and Victims of Violence (KontraS) and the International Center

    for Transitional Justice (ICTJ), Derailed Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto,

    2011.

    2. Jurnal dan Artikel

    David A. Crocker, Retribution and Reconciliation, Report from the Institute and Public Policy, 2000

  • www.infid.org

    20

    David Cohen, Intended to Fail the Trials before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, the

    International Center for Transitional Justice, 2003

    Suzannah Linton, Accounting for atrocities in Indonesia', Singapore year book of international law

    and contributors, 2006

  • www.infid.org

    21

    LAMPIRAN 3.

    PEMBELA HAM DI INDONESIA

    Swandaru27

    Pendahuluan

    Majelis Umum (1998) PBB pada 1998 telah mengadopsi "Declaration on the Rights and

    Responsibility of individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally

    Recognized Human Rights and Fundamental Freedom atau biasa disebut dengan Deklarasi Pembela

    HAM. Alasan mendasar munculnya deklarasi ini adalah terkait dengan banyaknya laporan para

    aktivis pembela HAM yang mendapat ancaman kekerasan berupa teror, intimidasi, dan bentuk

    pengurangan/penghilangan kebebasan bahkan dihilangkan nyawanya. Istilah Pembela HAM

    (Human Rights Defenders/HRDs) kemudian digunakan untuk menggeneralisir berbagai macam

    istilah-istilah seperti pekerja HAM, aktifis HAM ataupun berbagai istilah lainnya. Sesuai dengan

    dengan yang tertera dalam deklarasi tersebut, yang dimaksud dengan Pembela HAM adalah bisa

    individu, kelompok masyarakat ataupun organisasi.

    Pembela HAM berada di garis depan perjuangan penghormatan HAM di mana terjadi

    pelanggaran HAM. Mereka menyuarakan aspirasi publik, khususnya korban pelanggaran HAM

    sehingga berperan sebagai the voice of the voiceless. Pembela HAM adalah instrumen penting

    dalam mempertahankan hak korban dan masyarakat luas. Pembela HAM tidak hanya mengkritisi

    otoritas yang melanggar hak individu, tetapi juga melakukan upaya memajukan HAM, demokrasi,

    dan the rule of law melalui publikasi instrumen HAM dan advokasi kebijakan terhadap otoritas

    negara maupun lembaga-lembaga regional dan internasional.28

    Dalam Deklarasi Pembela HAM memiliki hak-hak yang melekat padanya, yaitu:

    1. Mencari proteksi dan realisasi HAM pada tingkat nasional dan internasional

    2. Melakukan Kerja HAM secara individu dan kelembagaan bersama orang lain

    3. Membentuk asosiasi dan NGO

    4. Melakukan pertemuan atau berkumpul secara damai

    5. Mencari, mendapatkan, menerima dan memegang informasi yang berkaitan dengan HAM

    6. Mengembangkan dan mendiskusikan gagasan dan prinsip HAM dan mengadvokasi

    prinsip dan gagasan tersebut 27 Peneliti di Imparsial, The Indonesian Human Rights Monitor, Jakarta. 28 General Assembly, Human Rights Defenders, Report of the Special Representative, The interim report of the Special Representative (SRep), 2 July 2002.

  • www.infid.org

    22

    7. Menyampaikan ke lembaga pemerintahan yang berhubungan dengan kritisisme terhadap

    masalah publik dan proposal untuk memperbaikinya dan menarik perhatian pada

    berbagai aspek pekerjaan pemerintahan yang mungkin menghalangi realisasi HAM

    8. Membuat pengaduan tentang polisi dan melakukan tindakan yang berhubungan dengan

    HAM dan mengadakan pengaduan yang demikian ditinjau oleh polisi

    9. Mengusahakan dan mendorong bantuan legal yang dikualifikasi secara profesional atau

    saran dan bantuan dalam upaya pembelaan HAM

    10. Menghadiri public hearing, membawa ke pengadilan untuk menilai ketundukannya di

    bawah hukum nasional, dan kewajiban HAM internasional

    11. Tak adanya rintangan akses kepada dan komunikasi dengan organisasi No pemerintah dan

    antar pemerintah

    12. Mendapat manfaat dalam pemulihan yang efektif

    13. Mendapat praktek sesuai ketentuan hukum dalam pekerjaan atau profesi sebagai pembela

    HAM.

    14. Mendapat perlindungan efektif dibawah hukum nasioanal di dalam melakukan reaksi

    melawan atau berseberangan melalui cara-cara yang damai.

    15. Mengumpulkan, menerima dan memanfaatkan sumberdaya untuk perlindungan HAM

    (termasuk mendapatkan dana dari luar negeri)

    Indonesia sebagai anggota PBB yang telah menandatangani Deklarasi ini memiliki

    tanggungjawab untuk melaksanakan dan menghormati semua ketentuan dalam Deklarasi

    Pembela HAM. Kewajiban ini adalah bagian dari kewajiban untuk melindungi dan memajukan

    HAM secara keseluruhan sebagai salah satu bentuk komitmen yang dituangkan dalam DUHAM.

    Kondisi Umum Pembela HAM di Indonesia.

    Syarat untuk disebut sebagai Pembela HAM itu sebenarny mudah, selama memenuhi

    standar minimum yaitu menerima prinsip HAM universal, pengesamping dikotomi salah-benar

    dan melakukan aksinya secara damai. 29 Dalam sepuluh tahun terakhir ini menurut catatan

    Imparsial terjadi kekerasan rata-rata sekitar 25 kasus pertahunnya. Jumlah angka tersebut

    tentunya lebih kecil dari angka yang sebenarnya terjadi, karena kasus-kasus yang berhasil dicatat

    kebanyakan berdasarkan dari sumber sekunder. Di lapangan kami percaya masih banyak kasus

    yang terjadi dan tidak mendapatkan liputan dari media ataupun tidak terdokumentasi oleh

    berbagai LSM yang ada, sehingga angka menjadi semacam puncak gunung es saja.

    29 Al Araf dkk, Perlindungan Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, Imparsial. Jakarta.2005

  • www.infid.org

    23

    Berbagai jenis kekerasan yang terjadi adalah berupa Intimidasi, Ancaman, Teror,

    Kekerasan dan Penganiayaan, Penangkapan dan Penahanan sewenang-wenang, Penculikan,

    Kriminalisasi, Penyiksaan bahkan hingga Pembunuhan. Pelaku berbagai macam jenis tindakan

    kekerasan tersebut bisa dari aparat negara, seperti Polisi, Tentara, Satpol PP ataupun Pejabat

    Pemerintahan, bahkan dalam beberapa kasus kriminalisasi melibatkan Jaksa dan Hakim. Selain

    dari aparat negara, kekerasan juga dilakukan oleh perusahaan, kelompok vigilante dan preman

    dengan berbagai modusnya.

    Masalah lain yang sering timbul adalah adanya praktik impunitas, dimana seringnya para

    pelaku tidak diproses secara formal di pengadilan dan dihukum atas tindakan yang telah

    dilakukan, melainkan bebas begitu saja. Tak jarang juga kasus-kasus kekerasan yang menimpa

    Pembela HAM tidak ditindaklajuti oleh kepolisian sehingga ketika tidak jelas siapa pelakunya.

    Tidak terbongkarnya kasus ini seperti yang terjadi pada Jafar Sidik Hamzah, Ketua

    International Forum Aceh, yang sempat hilang selama 3 minggu dan kemudian ditemukan

    meninggal dengan tangan terikat di belakang pada September 2000. Begitupun dengan kasus

    wartawan TV Merauke Papua, Ardiansyah Matrais, yang sebelumnya sempat mengalami teror

    lewat pesan pendek namun ditemukan meninggal di sungai setelah 2 hari hilang pada Juli 2010.

    Kedua Pembela HAM tersebut meninggal secara tak wajar diduga karena aktivitas mereka dalam

    rangka memajukan hak asasi dalam bentuknya masing-masing, Jafar dalam rangka membela para

    korban kekerasan operasi militer dan Ardyansah melakukan liputan yang terkait dengan illegal

    logging.

    Menurut catatan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) sejak 1998 sekitar 40 orang

    penggiat anti korupsi telah mengalami ancaman dengan beragam cara. Yang paling sering terjadi

    adalah ancaman dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik dan juga tindakan

    kekerasan lainnya. Tindakan tersebut biasanya dilakukan oleh mereka diduga terlibat dari kasus

    korupsi yang dilaporkan oleh para pegiat anti korupsi. Bahkan hingga sekarang sudah 8 orang staf

    ICW yang pernah dilaporkan ke Polisi atas tuduhan pencemaran nama baik, namun tak ada satu

    pun kasusnya di bawa pengadilan ataupun kasusnya ditutup oleh Polisi.30

    Peraturan yang mengancam dapat diklasikasikan jika mengandung ketentuan-ketentuan

    seperti, memberikan legitimasi kekerasan atau ancaman kekerasan, menghambat Pembela HAM

    dengan kriminalisasi dan membatasi hak-hak yang dimiliki untuk melakukan kerja perlindungan

    dan pemajuan HAM dan melegitimasi impunitas terhadap pelanggar HAM.31

    30 Shadow Report on the Situation of Human Rights Defenders in Indonesia for the 13th Session of the UN Universal Periodic Review for Indonesia by the Civil Society Coalition for the Protection of Human Rights Defenders. 2012. 31 Tim Imparsial. Perlindungan Terhadap Human Rights Defender (Hambatan dan Ancaman dalam Peraturan Perundang-Undangan. Imparsial. Jakarta. 2006.

  • www.infid.org

    24

    Pasal-pasal yang digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap para pembela HAM

    biasanya adalah menggunakan KUHP pada pasal 310 , 311 dan 315 yang terkait dengan

    pencemaran nama baik, pasal 154 dan 155 mengenai tindak pidana menyatakan perasaan

    permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Republik

    Indonesia, 160, 161 dan 207 (Haatzaai Artikelen) dan Pasal 27 ayat ( 3 ) dari Undang-Undang 2008

    Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU No 11 ), yang merupakan tindak pidana dan ancaman

    hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda enam miliar Rupiah. Selain itu juga ada UU

    Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat yang berpotensi akan membatasi

    kebebasan berserikat dan berorganisasi karena kontrol pemerintah begitu dalam UU ini.

    Sementara menurut Komnas Perempuan, situasi Perempuan Pembela HAM (Women

    Human Rights Defenders/WHRDs) berhadapan dengan kerentanan dan kekerasan khusus yang

    muncul dalam dua bentuk. Pertama, serangan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan yang

    merupakan elemen utama penilaian kesucian dan harga diri perempuan di masyarakat yang

    patriarchal. Kedua, serangan terhadap perempuan atas dasar stereotype dan atas dasar peran

    gendernya. Berdasarkan pengalaman dari 58 Perempuan Pembela HAM tercatat 19 bentuk

    kerentanan dan kekerasan, 10 diantaranya dialami khusus oleh Perempuan Pembela HAM dan

    sembilan lainnya juga dialami oleh Pembela HAM yang laki-laki.32

    Kerentanan dan Kekerasan Umum Kerentanan dan Kekerasan Khusus

    Pembunuhan Penyiksaan Penganiayaan Pengrusakan property Kriminalisasi, penangkapan dan Penahanan

    sewenang-wenang Penghancuran sumber penghidupan Pencemaran nama baik Stigmatisasi Intimidasi lainnya

    Perkosaan Penyiksaan seksual Teror seksual Pelecehan seksual Stigmatisasi seksual Serangan pada sebagai ibu, istri dan anak Pengikisan kredibilitas dengan status

    perkawinan Pengucilan dan penolakan atas dasar moralitas,

    agama, adat, budaya dan nama baik keluarga Pengerdilan kapasitas dan isu perempuan Eksploitasi identitas perempuan

    Menuju Pengakuan dan Perlindungan terhadap Pembela HAM.

    Masih banyaknya kekerasan yang menimpa Pembela HAM di Indonesia adalah karena

    hingga sampai saat ini tidak ada pengakuan dari Pemerintah walaupun Indonesia sudah ikut

    32 Cahyani. D. Y., Perempuan Pembela HAM; Berjuang dalam Tekanan. Komnas Perempuan. Jakarta. 2007.

  • www.infid.org

    25

    menandatangani Deklarasi ini. Dengan tidak adanya pengakuan membuat perlindungan yang

    seharusnya diberikan menjadi tidak nihil, hal ini menunjukan kewajiban yang melekat pada

    pemerintah tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

    Upaya masyarakat sipil untuk mendorong adanya pengakuan dan perlindungan terhadap

    Pembela HAM lebih dominan daripada upaya Pemerintah sebagai pihak yang menandatangi

    Deklarasi tersebut. Sejak 2006 telah mulai dilaksanakan berbagai kegiatan sebagai upaya untuk

    mendorong pemerintah agar ada pengakuan dan perlindungan. Berbagai aktivitas yang

    diselenggarakan akhirnya bisa membawa inisiatif ini menghasilkan adanya Rancangan Undang-

    Undang Pembela HAM . Setelah penyelenggaraan Pemilu 2009, RUU tersebut akhirnya masuk

    menjadi salah RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014 sebagai RUU inisitiatif

    dari DPR. Hal ini tentunya suatu prestasi yang cukup maju, mengingat inisiatif semacam ini belum

    pernah ada dari negara manapun.

    Pertimbangan untuk mengajukan RUU ini adalah karena lemahnya payung hukum yang

    memberikan pengakuan terhadap Pembela HAM dan ketiadaan lembaga yang memberikan

    perlindungan ketika Pembela HAM sedang menghadapi suatu ancaman terhadap dirinya. Dalam

    konstitusi Pasal 28C ayat (2) berbunyi Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

    memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hal

    ini bisa menjadi landasan umum atas keberadaan Pembela HAM dan di UU Nomor 39 Tahun 1999

    tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 100 103 mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam

    perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Namun dari UU ini tidak ada sama

    sekali yang mengatur tentang perlindungan Pembela HAM.

    Dalam proses perjalanan RUU ini, walau sudah masuk dalam Prolegnas 5 tahunan namun

    ternyata tidak pernah masuk sebagai RUU priotitas di Prolegnas tahunan, sehingga bisa dikatakan

    pembahasan RUU ini sama sekali tidak ada kemajuan. Walaupun upaya untuk mendorong agar

    masuk sebagai RUU prioritas terus dilakukan dengan melakukan berbagai macam pertemuan

    dengan Pemerintah, dalam hal ini Dirjen HAM Kementrian Hukum dan HAM, dan juga Parlemen

    melalui anggota, fraksi dan Komisi III yang membawahi bidang Hukum dan HAM, namun belum

    menunjukan hasilnya.

    Dengan macetnya proses legislasi di Parlemen akhirnya ada perubahan strategi untuk

    mendorong adanya pengakuan dan perlindungan terhadap Pembela HAM. Rencana adanya revisi

    UU 39/99 tentang HAM dengan memisahkan Komnas HAM menjadi UU tersendiri bisa menjadi

    pintu masuk karena keberadaan Pembela HAM secara langsung ataupun tidak langsung adalah

    membantu dari kerja-kerja Komnas HAM. Oleh karena itu jika ada kewenangan untuk memberikan

    perlindungan terhadap Pembela HAM tentunya masih cukup relevan. Namun setelah adanya

    beberapa kali kegiatan untuk memadukan berbagai ide-ide ke dalam draft RUU Komnas HAM

  • www.infid.org

    26

    ternyata pada pertengahan 2012 pasal-pasal yang mengatur mengenai pengakuan dan

    perlindungan terhadap Pembela HAM tidak masuk dalam draft yang diserahkan kepada Komisi III

    DPR.

    Inisiatif lain yang dilakukan oleh masyarakat sipil terkait dengan masalah perlindungan

    Pembela HAM adalah mendorong Komnas HAM agar memiliki desk khusus. Diharapkan desk ini

    nantinya akan memberikan perlindungan yang mencakup pada dua dimensi perlindungan, yaitu

    proteksi dan efektivitas kerja. Untuk efektivitas kerja, dimensinya adalah memfasilitasi semua

    aktivitas human right defender, terutama untuk pembelaan HAM dan pembela kebijakan publik.

    Misalnya, membuka ruang informasi, dan partisipasi yang seluas-luasnya, baik dalam proses

    pembentukan UU maupun dalam penyelesaian kasus. Sehingga tidak ada lagi pembela HAM yang

    bekerja dalam menyelesaikan kasus, meminta dokumen-dokumen kasus yang diperlukan harus

    bayar.33

    Selain upaya untuk mendorong adanya pengakuan dan perlindungan Pembela HAM

    melalui jalur legislasi, ada pula upaya lain dengan mengajukan judicial review beberapa pasal

    dalam KUHP ataupun UU yang dianggap mengancam Pembela HAM dan bertentangan dengan

    Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Beberapa gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi

    diantaranya adalah KUHP Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 tentang tindak pidana

    penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh Pandapotan Lubis dan

    Dr. Eggi Sudjana. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan

    dengan Pasal 28, Pasal 28D, serta Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai

    kekuatan hukum mengikat sejak diputuskan pada 2006.

    Untuk Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315 tentang tindak pidana pencemaran nama baik

    diajukan yang diajukan oleh dua wartawan, Bersihar Lubis (Koran Tempo) dan Risang Bima Wijaya

    (Radar Yogya) karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E dan Pasal 28 UUD 1945,

    dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun gugatan mereka ditolak hakim pada

    2008.

    dr. R. Panji Utomo dari Aceh pada 2007 mengajukan pengujian Pasal 107, Pasal 154, Pasal

    155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, dan Pasal 208 KUHP. MK mengabulkan permohonan terhadap

    Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP mengenai tindak pidana menyatakan perasaan permusuhan,

    kebencian, atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Republik Indonesia karena

    pasal-pasal tersebut tidak menjamin adanya kepastian hukum dan secara tidak proporsional

    menghalang-halangi kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan untuk

    menyampaikan pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3)

    UUD 1945. MK memutuskan bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP tidak memiliki kekuatan hukum 33 www.hukumonline.com, Pembela HAM Butuh Perlindungan, diakses pada 25 Mei 2014

  • www.infid.org

    27

    mengikat. Sedangkan terhadap Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, dan Pasal 208 KUHP MK

    menyatakan tidak memiliki kaitan dengan kerugian konstitusional yang diderita pemohon.

    Terhadap Pasal 160 KUHP, Dr. Rizal Ramly juga pernah mengajukan judicial review ke MK

    dan diputus pada Rabu, 22 Juli 2009. MK menyatakan bahwa Pasal 160 tidak bertentangan dengan

    UUD 1945. Keberadaan pasal itu masih relevan dan diperlukan. Namun demikian, dalam

    pertimbangan hukum putusan tersebut MK memberikan tafsir baru, bahwa Pasal 160 merupakan

    delik material, bukan delik formal. Oleh karena itu MK menyatakan Pasal 160 KUHP konstitusional

    bersyarat, yaitu harus diberlakukan sebagai delik materiil sehingga harus ada tindak pidana yang

    disebabkan oleh penghasutan dimaksud.

    Kemudian pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

    Agama ke MK dengan tuntutan meminta agar seluruh isi pasal dalam UU itu dinyatakan tidak

    mempunyai kekuatan hukum tetap. Para penggugat di antaranya, Abdurahman Wahid, Musdah

    Mulia, Dawam Rahardjo, Maman Imanul Haq dan beberapa LSM yang selama bergerak di dalam

    isu HAM. Pertimbangan untuk mengajukan UU ini adala seringnya UU ini digunakan pemerintah

    untuk melarang sejumlah aliran keagamaan yang dianggap melenceng dari agama resmi yang

    telah ditetapkan pemerintah. Namun MK pada 19 April 2010 menolak permohonan ini dengan

    alasan bahwa UU Penodaan Agama tidak bertentangan dengan konstitusi.

    Saat ini yang sedang diajukan di MK adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013

    tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Sejak proses pembahasannya telah banyak

    mendapatkan penolakan dari berbagai organisasi masyarakat dan LSM karena isinya dipandang

    tumpang tindih dengan UU Yayasan serta kontrol negara yang terlalu kuat terhadap berbagai

    organisasi masyarakat. Setelah melewati beberapa kali penundaaan pengesahan di DPR akhirnya

    disahkan juga, tapi sebelum setahun berjalan UU ini sudah digugat di MK oleh Muhammadyah

    yang sedari awal memang menolak diteruskannya pembahasan UU-nya. Setelah Muhammadyah

    mengajukan gugatan, kemudian masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan

    Berserikat juga ,mengajukan gugatan. Proses persidangannya masih berjalan sampai dengan

    sekarang.

    Tidak hanya menggunakan mekanisme nasional, mekanisme internasional pun digunakan

    juga oleh masyarakat sipil untuk mendorong adanya pengakuan dan perlindungan terhadap

    Pembela HAM. Hal ini dilakukan dengan mengirimkan shadow report ketika Indonesia

    mendapatkan kesempatan memberikan laporan dalam Universal Periodic Review putaran Kedua,

    yang dilakukan 4 tahun sekali, pada 2012. Selain shadow report secara umum, dibuat juga shadow

    report yang berisi khusus tentang situasi Pembela HAM Indonesia. Respon yang muncul pun

    cukup bagus karena 7 negara mengajukan tanggapan atas laporan Indonesia yang terkait dengan

    Pembela HAM.

  • www.infid.org

    28

    Penutup.

    Saat ini satu-satunya negara yang secara resmi memiliki UU yang mengatur tentang

    perlindungan terhadap Pembela HAM dan Jurnalis hanyalah Meksiko. Namun di level regional, di

    Africa terdapat African Commision on Human and Peoples Rights yang memiliki deklarasi tentang

    Pembela HAM dan pelapor khususnya. Begitupun di kawasan regional Amerika yang terdiri dari

    berbagai negara Amerika selatan dan tengah, mereka juga memiliki Inter-America Commision on

    Human Rights yang juga terdapat deklarasi dan pelapor khusus untuk Pembela HAM. Sementara

    di Eropa, Uni Eropa mengeluarkan Panduan Uni Eropa tentang Pembela HAM yang menjadi

    pegangan bagi berbagai kedutaan negara anggota Eropa dalam usahakan meningkatkan

    dukungan dan perlindungan bagi Pembela HAM.

    Kembali ke Indonesia, berakhirnya masa kerja DPR periode 2009 2014 menjadi pertanda

    bahwa upaya untuk membuat adanya UU khusus tentang Pembela HAM adalah sudah berakhir

    pula. Harapan akan adanya pengakuan dan perlindungan melalui suatu produk hukum kini tinggal

    melalui revisi UU 39/99 tentang HAM dengan adanya RUU Komnas HAM. Nasib yang sama

    sebenarnya juga terjadi pada RUU yang telah diserahkan pada 2012. Namun hal tersebut menjadi

    peluang untuk kembali membahas draft yang pernah disampaikan kepada DPR agar lebih

    akomodatif terhadap kepentingan Pembela HAM.

    Komnas HAM juga belum efektif dalam memberikan perlindungan terhadap Pembela

    HAM, dalam dua periode terakhir ini selalu ada satu komisioner dari Subkom Pemantauan dan

    Penyelidikan yang ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap isu Pembela HAM. Namun dalam

    prakteknya tidak banyak peran yang dimainkannya. Pembentukan desk khusus perlu kiranya

    untuk segera dilakukan sehingga nantinya harapan akan perlindungan bisa lebih terwujud. Karena

    ketika berada dalam desk khusus tentunya akan ada kewenanga khusus serta dukungan yang

    lebih kuat lagi di internal Komnas HAM, baik secara administrative maupun operasional.

    Potensi akan adanya berbagai peraturan yang mengancam terhadap Pembela HAM juga

    akan masih ada. Peran aktif masyarakat sipil dalam mengawasi dan terlibat aktif dalam pembuatan

    peraturan masih tetap diperlukan, sehingga ketika rancangan yang berpotensi mengancam atak

    kerja-kerja Pembela HAM dapat segera di respon.

  • www.infid.org

    29

    Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12540 Phone : 021 7819734, 7819735 Fax : 021 78844703 e-mail : [email protected], Facebook : infidjakarta, Twitter: @_infid_ website : www.infid.org

    INFID adalah organisasi yang berdiri sejak tahun 1985 beranggotakan organisasi masyarakat sipil yang tersebar di seluruh Indonesia. INFID memiliki status sebagai lembaga nonprofit yang diakreditasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) UN Special Consultation Status with the Economic and Social Council sejak 2004. INFID juga merupakan anggota IFP (International Forum for National NGO Platform) berbasis di Paris, Prancis. IFP adalah jaringan NGO global yang mewadahi forum-forum NGO nasional di seluruh dunia (http://www.ong-ngo.org/en) sejak 2009. INFID juga merupakan anggota Executive Committee dari Beyond 2015 (www.beyond2015.org), sebuah jaringan CSO mutinasional dari negara-negara Utara dan Selatan yang melakukan kampanye untuk agenda pembangunan Pasca-2015.