Laporan Penelitian INFID No.2 - 2013 = Kebebasan beragama di Indonesia 2010-2012
description
Transcript of Laporan Penelitian INFID No.2 - 2013 = Kebebasan beragama di Indonesia 2010-2012
i
Kebebasan Beragama di Indonesia 2010 – 2012
Laporan Penelitian INFID No. 2 / 2013
ii
Laporan Penelitian INFID No. 2/2013 Kebebasan Beragama di Indonesia 2010 – 2012
iii
Diterbitkan oleh :
========================================= International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12540
Phone : 021 7819734, 7819735 Fax : 021 78844703
e-mail : [email protected] website : www.infid.org
iv
DAFTAR ISI
HAL
Ringkasan Eksekutif v
Kebebasan Beragama di Indonesia 2010 – 2012 vi
1. Pendahuluan 1
2. Metodologi 2
3. Temuan dan Analisa 3
3.1. Tren dan Data tentang Pelanggaran Kebebasan Beragama 3
3.2. Tipologi Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama 9
3.3. 3.3 Kerugian Ekonomi Akibat Pelanggaran Kebebasan Beragama 11
3.4. Respon Pemerintah terhadap Pelanggaran Kebebasan Beragama 12
3.5. Evaluasi atas Respon Pemerintah terhadap Pelanggaran Kebebasan
Beragama 13
4. Kesimpulan 15
Rekomendasi 15
Daftar Pustaka 19
Lampiran 40
v
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Ahmadiyah Ahmadiyah adalah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza
Ghulam Ahmad (18351908) pada tahun 1889, di Punjab, India. Para pengikut Ahmadiyah dikenal sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi. Gerakan tersebut masuk ke Indonesia pada tahun 1925 melalui Padang, Sumatera Barat dan telah terdaftar secara resmi sebagai sebuah organisasi sejak tahun 1953.
FPI Front Pembela Islam, didirikan di Jakarta pada tahun 1998. GARIS Gerakan Reformis Islam, didirikan di Cianjur, Jawa Barat pada tahun 1998. GKI Yasmin Gereja Kristen Indonesia Yasmin, terletak di Perumahan Taman Yasmin di
Kota Bogor, Jawa Barat HKBP Filadelfia Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia, berlokasi di Tambun Utara,
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan KontraS Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Lakpesdam NU Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul
Ulama LBH Jakarta Lembaga Bantuan Hukum Jakarta LDI Lembaga Dakwah Islam Indonesia Muhammadiyah Organisasi Islam modern di Indonesia yang didirikan pada tahun 1912 di
Yogyakarta. Muhammadiyah mengklaim memiliki 30 juta pengikut di seluruh penjuru Indonesia.
MUI Majelis Ulama Indonesia Nahdlatul Ulama Organisasi Sunni tradisional yang didirikan di Jombang pada tahun 1926
dengan 40 juta pengikut di Indonesia. Perber Dua Menteri Peraturan Bersama (Dua Menteri) antara Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri tentang pemeliharaan kerukunan antar umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan antar umat beragama, dan pendirian tempattempat ibadah.
Satpol PP Satuan Polisi Pamong Praja. Perangkat pemerintah daerah yang bertugas
untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban umum, serta menegakkan peraturan daerah.
SKB 3 Menteri Surat Keputusan Bersama (Tiga Menteri) antara Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota
vi
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta Warga Masyarakat.
Sunni Mayoritas paham keagamaan dalam Islam yang menerima empat khalifah
pertama sebagai pewaris nabi Muhammad. Sekitar 90% umat muslim sedunia merupakan kaum Sunni.
Syiah Syiah adalah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syiah secara
umum merujuk kepada pengikut dari keluarga nabi Muhammad dan Imam Ali. Intelektual Syiah Indonesia, Jalaluddin Rahmat menduga bahwa penyebaran Syiah di Indonesia dilakukan melalui beberapa gelombang. Gelombang pertama dimulai pada abad ke8, yang dilanjutkan dengan gelombang kedua yang cukup besar pada awal tahun 1980an seiring dengan terjadinya revolusi Iran. Saat ini, jumlah pengikut Syiah di Indonesia diperkirakan mencapai 2,5 juta orang.
vii
PENGANTAR
Dalam pidatonya di Bali Democracy Forum VI, awal November 2013 ini, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyebut hak konstitusional warga negara mesti dijamin untuk
membangun masyarakat demokratis yang majemuk. Termasuk dalam hak‐hak itu adalah hak
kebebasan beragama, berekspresi, kesetaraan di depan hukum, non‐diskriminatif, termasuk
juga perlindungan minoritas. Ini menurut Yodhoyono adalah fondasi dari peraturan dan
undang‐undang yang ada di Indonesia. Tapi pernyataan tersebut menjadi kontras dengan data‐
data mengenai kebebasan beragama dari tiga tahun ke belakang, yang menunjukkan
kecenderungan naik. Setara Institute mencatat pelanggaran hak beribadah dan beragama pada
2010 mencapai 216 kasus, pada 2011 mencapai 244 kasus, dan pada 2012 mencapai 264 kasus.
Tren serupa juga terdapat dalam laporan kebebasan beragama versi The Wahid Institute dalam
tiga tahun terakhir. Pelanggaran‐pelanggaran ini tak cuma merampas kebebasan orang untuk
beragama. Beriringan dengan itu, para korban juga kehilangan tempat tinggal, aset, dan mata
pencaharian. Sementara itu, anak‐anak kehilangan atau tertunda hak‐haknya untuk bersekolah.
Melihat tren tersebut, INFID terdorong untuk membuat laporan mengenai situasi kebebasan
beragama dalam kurun tiga tahun terakhir (2010‐2012). Proses pengerjaan laporan ini mulai
sejak Juni dan rampung pada Oktober 2013. Laporan disusun dengan merangkum berbagai data
pelanggaran kebebasan beribadah dan beragama dilanjutkan dengan wawancara mendalam
dengan sejumlah narasumber kunci dari lembaga‐lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) yang
konsisten melakukan pemantauan pelanggaran hak kebebasan beragama dan hak asasi manusia
secara umum. Mereka berasal dari Setara Institute, Wahid Institute, Komisi Untuk Orang Hilang
dan Tindak Kekerasan (KontraS), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan juga Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan). Laporan juga menyertakan analis terhadap para pelaku, pola
pelanggaran, korban, dan tindakan negara atas pelanggaran tersebut. Menambahkan perspektif
baru, laporan juga memasukkan analisis mengenai kerugian ekonomis akibat pelanggaran‐
pelanggaran tersebut.
Laporan ini diniatkan untuk Infid bermaksud untuk memotret tren kebebasan beragama dan
toleransi di Indonesia sepanjang tiga tahun terakhir. Publikasinya diharapkan bisa
menggemakan kembali pesan dari masyarakat sipil Indonesia atas kondisi intoleransi yang
terjadi. Sekaligus menjadi tekanan buat pemerintah untuk menjamin hak‐hak konstitusional
warganya—seperti yang tercantum dalam pidato mutakhir Presiden di atas. Dalam konteks
pembangunan pasca‐2015 dan perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
viii
laporan ini juga bisa menjadi referensi dan masukan buat pemerintah agar memberikan makna
penting dan perhatian mendalam buat pembangunan perdamaian buat warganya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk Alamsyah M Djafar Program Officer The Wahid
Institute, Ismail Hassani, Manager Program Setara Institute, dan Ari Ujianto Ari Ujianto,
Direktur Eksekutif Desantara yang bersedia meluangkan waktunya memberikan masukan
terhadap draf laporan ini. Terima kasih juga kepada M. Isnur, Kepala Bidang Pengembangan dan
Data LBH Jakarta, Khamami Zada, Wakil sekretaris, Lapeksdam NU, Fajar Riza Ul Haq, Direktur
Eksekutif, Maarif Institute, Masruchah, Komisioner, Komnas Perempuan, Haris Azhar,
Koordinator Kontras, Muhammad Imdadun, Komisioner, Komnas HAM. Terima kasih juga
kepada Pak Tom Walsh yang menjadi mata yang tajam untuk memeriksa dan mengedit laporan
ini.
Jakarta, 11 November 2013
Hilman Handoni
Program Officer Human Rights and Democracy
ix
RINGKASAN EKSEKUTIF Indonesia adalah negara demokrasi dengan populasi ketiga terbesar di dunia dan merupakan negara dengan mayoritas populasi Muslim terbesar di dunia. Lengsernya Presiden Suharto pada tahun 1998 telah mengantarkan pada era reformasi dengan terselenggaranya pemilu legislatif yang bebas dan adil pada tahun 1999. Transisi yang relatif damai ke dalam sebuah negara demokratis dengan berlangsungnya pemilihan umum, kebebasan pers, penghargaan yang baru terhadap hak asasi manusia dan perluasan masyarakat sipil adalah beberapa kemajuan yang telah dibuat sejak tahun 1998. Di sisi ekonomi, ekonomi Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang menempatkan Indonesia di kalangan negara‐negara berpenghasilan menengah.
Namun diantara pencapain prestasi ini, terselip sejumlah problem serius dengan tumbuhnya intoleransi beragama. Para pegiat hak asasi manusia telah mencatat adanya peningkatan radikalisme agama, intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama, meskipun telah dilakukan langkah‐langkah reformasi selama 15 tahun. Dalam tiga tahun terakhir ini, tiga orang pengikut jemaah Ahmadiyah telah terbunuh, sementara ratusan lainnya terpaksa melakukan pengungsian. Dalam bentrokan yang menghanguskan puluhan rumah, seorang pengikut Syiah terbunuh dan ratusan orang lainnya dipaksa meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi. Peningkatan ketegangan dalam beragama ini tidak hanya terjadi dalam komunitas Islam saja. Jemaah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor dan Gereja Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat terhalang untuk mendirikan tempat ibadah mereka sendiri oleh kelompok‐kelompok Islam yang berpendapat bahwa mereka tidak memiliki izin bangunan yang sesuai. Dalam konteks ini, adalah suatu ironi bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan World Statesman Award dari the Appeal of Conscience Foundation pada bulan Mei 2013 atas kontribusinya dalam memelihara perdamaian dunia dan mendorong kebebasan beragama.
Laporan ini menyusun data tentang pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan kebebasan beribadah di Indonesia yang telah dikumpulkan oleh lembaga‐lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Setara Institute, Wahid Institute, KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, serta Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan). Laporan juga menyajikan analisis terhadap pelaku pelanggaran, pola pelanggaran, korban pelanggaran, dan kerugian ekonomi yang diikuti dengan pembahasan yang mendalam tentang respon negara terhadap tindak pelanggaran tersebut.
Kasus‐kasus pelanggaran terhadap hak untuk beribadah dan hak kebebasan beragama, seperti intimidasi dan ancaman kekerasan, penyerangan serta larangan untuk mendirikan tempat beribadah telah mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Setara Institute mencatat 216 kasus pada 2010, 244 kasus pada tahun 2011, dan 264 kasus pada tahun 2012. Korban pelanggaran sebagian besar terdiri dari umat Kristiani dan Ahmadiyah. Namun, peningkatan jumlah korban yang drastis telah terjadi di kalangan pengikut Syiah. Setara Institute mencatat bahwa pelanggaran terhadap kelompok Syiah telah melonjak dari 10 kasus pada tahun 2011 menjadi 34 kasus pada tahun 2012.
Respon negara dalam mengantisipasi pelanggaran tersebut dan dalam memperkuat penegakan hukum masih belum memadai. Dalam kasus‐kasus tertentu, polisi telah lambat bertindak untuk merespon tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh kelompok‐kelompok radikal. Bahkan ada kasus dimana mereka secara terbuka membantu para pelaku pelanggaran. Penegakan hukum masih jauh dari memuaskan karena pelaku pelanggaran hanya menerima hukuman yang ringan. Sementara itu, aturan hukum tentang pendirian tempat ibadah, penistaan agama dan pelarangan aktivitas Ahmadiyah justru telah mendorong para pelaku
x
pelanggaran. Presiden, bersama dengan para Menteri, belum merespon secara efektif terhadap pelanggaran kebebasan beragama. Tujuh tahun telah berlalu sejak ratusan warga jemaah Ahmadiyah dipaksa meninggalkan rumah mereka di Transito, Nusa Tenggara Barat. Setelah tiga tahun, jemaah GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat juga masih belum dapat menyelenggarakan ibadah di gereja mereka sendiri.
Rekomendasi
Kepada Pemerintah Indonesia
1. Pemerintah perlu mencabut kebijakan‐kebijakan diskriminatif yang selama ini menjadi dasar hukum untuk melegitimasi berbagai bentuk tindak pelanggaran.
2. Kapasitas perangkat negara untuk mengelola keberagaman perlu ditingkatkan.
3. Pemerintah Indonesia harus segera menyelesaikan kasus‐kasus berikut: (a) GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi; (b) Konflik Syiah‐Sunni di Sampang; (c) dan pengungsi Ahmadiyah di Transito, Nusa Tenggara Barat.
4. Kementerian Agama harus menjadi pihak yang netral dan tidak memihak kepada salah satu pemahaman keagamaan tertentu.
5. Melibatkan seluruh komisi negara yang ada untuk membuat laporan independen tahunan tentang situasi kebebasan beragama di Indonesia.
6. Pemerintah harus menyertakan kebebasan untuk beribadah dan kebebasan beragama ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015‐2019.
7. Untuk memastikan adanya pembangunan inklusif yang terkait dengan agenda pembangunan pasca 2015, pemerintah perlu menyusun indikator dan pendekatan untuk kemajuan HAM serta perlindungan terhadap hak‐hak kelompok minoritas.
Kepada LembagaLembaga Pembangunan dan Komisi HAM PBB
8. Mendorong pemerintah Indonesia agar segera melaksanakan rekomendasi yang disampaikan Dewan HAM PBB.
9. PBB dan mitra internasional juga harus memastikan bahwa perlindungan kebebasan beragama dan hak‐hak kelompok minoritas menjadi indikator bagi pembangunan dan menjadi prasyarat bagi pemberian bantuan internasional.
10. PBB harus mengingatkan Presiden untuk melaksanakan Konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, terutama yang terkait dengan kebebasan beragama dan kebebasan untuk beribadah.
1
KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA 2010 – 2012
1. Pendahuluan
Pada bulan Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima World Statesman Award dari The Appeal of Conscience Foundation di New York sebagai penghargaan atas keberhasilannya dalam memelihara perdamaian dan menjaga keharmonisan antar umat beragama yang berbeda di Indonesia. Penghargaan ini segera memicu protes nasional karena para aktivis hak asasi manusia berargumen bahwa Presiden telah gagal dalam melindungi kelompok beragama minoritas di Indonesia. Mereka mengacu pada adanya tren peningkatan jumlah pelanggaran kebebasan beragama yang dicatat oleh Wahid Institute dan Setara Institute. Setara Institute mencatat adanya kenaikan jumlah pelanggaran dari 286 kasus pada tahun 2010 menjadi 371 kasus pada tahun 2012.i Dalam tiga tahun terakhir, Jemaah GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat telah dibiarkan tanpa ada pilihan lain selain beribadah di lokasi yang berbeda, termasuk di sepanjang trotoar dan di depan Istana Negara karena gereja mereka disegel oleh pemerintah kota Bogor. Di sisi lain, Pengikut Ahmadiyah masih terus mengalami penganiayaan di Jawa Barat. Pada tanggal 6 Februari 2011, situasi berubah menjadi kekerasan dan tiga jemaah Ahmadiyah tewas dalam bentrokan yang melibatkan puluhan pengikut Ahmadiyah menghadapi ribuan warga masyarakat. Dalam insiden lain, seorang warga Syiah tewas dalam bentrokan di Sampang, Madura pada tanggal 26 Agustus 2012. Menyusul insiden ini, ratusan pengikut jemaah Syiah terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama pilihan mereka tersebut.ii Secara lebih spesifik, Konstitusi menjelaskan hak atas kebebasan beragama sebagai hak yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi
apapun. Untuk itu, menjadi tanggung jawab negara untuk menegakkan hak‐hak tersebut.iii Jaminan konstitusional lainnya tertera dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2iv yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk dan beribadah menurut agama pilihannya. Selain itu, pada tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak‐hak Sipil dan Politik melalui UU nomor 12 Tahun 2005. Kovenan ini mewajibkan negara‐negara yang telah meratifikasi instrumen internasional ini untuk melindungi kebebasan warganya untuk memeluk dan mempraktekkan agama pilihan mereka.v Laporan ini menyusun data tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam periode tahun 2010 hingga tahun 2012 yang telah dikumpulkan oleh lembaga‐lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Setara Institute, Wahid Institute, KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, serta Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan). Setelah melakukan pembahasan tentang metodologi dalam Bab 2, Bab 3 akan mengkaji sifat pelanggaran kebebasan beragama dan mengidentifikasi para pelaku pelanggaran serta motif mereka. Hal ini selanjutnya akan diikuti dengan pembahasan tentang korban intoleransi agama bersama dengan tipologi pelanggaran kebebasan beragama. Sebagaimana yang dijelaskan dalam laporan ini, biaya ekonomi dari terjadinya intoleransi agama adalah tinggi, tetapi dimensi ini masih belum tertangani. Pemerintah Indonesia memainkan peran sentral dalam menyelesaikan konflik ini dan respon pemerintah terhadap pelanggaran tersebut akan dianalisa. Laporan ini diakhiri
2
dengan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional.
2. Metodologi Dari bulan Juni 2013 hingga Agustus 2013, berbagai data dan informasi dikumpulkan dari sumber‐sumber primer dan sekunder. Empat pertanyaan utama yang mendasari penelitian: (i) Bagaimana tren yang berkembang dalam pelanggaran hak beragama? (ii) Apakah tipologi dari pelanggaran‐pelanggaran tersebut? (iii) Bagaimana pemerintah menanggapi pelanggaran tersebut dan apakah kebijakan pemerintah yang diterapkan telah memadai? (iv) Apakah rekomendasi yang diberikan untuk memperbaiki situasi dan menangani kasus‐kasus pelanggaran tersebut? Wawancara dilakukan dengan delapan pekerja HAM dari organisasi‐organisasi HAM di Jakarta: Setara Institute, Wahid Institute, Maarif Institute, Komnas HAM, Komnas Perempuan, LBH Jakarta, Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Dan Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) serta KontraS.vi Laporan ini juga diperkaya dengan menggunakan data‐data sekunder, termasuk angka‐angka statistik yang dihasilkan oleh Setara Institute, Wahid Institute, Komnas HAM, KontraS dan LBH Jakarta. Dalam laporan ini, data dari Setara Institute akan digunakan untuk mengarahkan analisa yang dilakukan sesuai dengan metodologi dan sifatnya yang komprehensif. Pada tahun 2011, Setara Institute mengadopsi empat pendekatan pengumpulan data: [1] Pemantauan oleh 17 pengamat di 17 provinsi; [2] Diskusi kelompok terarah (FGD) di Jawa Timur dan Jakarta; [3] Pengumpulan data dari lembaga‐lembaga keagamaan dan lembaga pemerintah; serta [4] Wawancara dengan otoritas dan tokoh masyarakat yang relevan di tingkat lokal. Setara Institute juga melakukan pemantauan media di seluruh penjuru negara. Data dari Setara Institute ini didukung oleh data dari Wahid Institute yang menggunakan metodologi pengumpulan
data yang berbeda. Selain itu, cakupan wilayah yang digunakan tidak sama dengan Setara Institute. Laporan Wahid Institute tahun 2011 tentang pelanggaran kebebasan beragama di 16 provinsi didasarkan pada pemantauan pemberitaan media sebagai sumber awal informasi mengenai kasus pelanggaran yang didorong oleh sentimen keagamaan di Indonesia. Sementara itu, pengumpulan data primer dilakukan oleh tim peneliti yang melakukan observasi lapangan, investigasi, wawancara dan diskusi. Data tentang pelanggaran kebebasan beragama yang disusun oleh Wahid Institute dan Komnas HAM disajikan dalam Lampiran II‐VI. Pada bulan Juli 2013, umpan balik dan rekomendasi dari peer review disertakan ke dalam laporan. Istilahistilah kunci: Hak atas kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, dalam ruang publik maupun pribadi untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, praktek, ibadah serta ketaatan. Konsep ini juga mencakup kebebasan untuk berpindah agama atau untuk tidak mengikuti agama apapun.vii Indonesia telah menyertakan kebebasan beragama sebagai bagian dari hak‐hak seseorang yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.viii Menurut Konstitusi, setiap warga negara bebas untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama pilihan mereka.ix Indonesia juga memiliki kewajiban untuk melindungi kebebasan warganya dalam menganut atau memilih agama, serta dalam mengejawantahkan agama sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak‐hak Sipil dan Politik yang diratifikasi pada tahun 2005.x Pelanggaran kebebasan beragama mengacu pada tindakan penghilangan, pembatasan atau pengurangan hak dan kebebasan dasar setiap orang untuk berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hal ini mencakup larangan
3
atau hambatan kebebasan seseorang untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan secara individu maupun dalam masyarakat dengan orang lain secara pribadi atau di depan publik, untuk mewujudkan agama atau kepercayaan dalam ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.xi Intoleransi dan diskriminasi mengacu pada segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi atas dasar agama atau keyakinan yang berakibat pada pembatalan atau berkurangnya pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak‐hak dasar yang berdasarkan pada asas kesetaraan.xii Setara Institute membedakan antara intoleransi aktif dan intoleransi pasif.
Intoleransi pasif adalah residu dari keyakinan seseorang bahwa agamanya adalah satu‐satunya agama yang benar. Namun demikian, karena adanya dinamika interaksi sosial, individu harus menerima perbedaan dan mencoba untuk beradaptasi. Di sisi lain, intoleransi aktif bukan hanya meyakini bahwa agamanya adalah satu‐satunya agama yang benar, tetapi juga memiliki kecenderungan untuk melihat mereka yang berbeda agama atau bahkan yang berbeda interpretasi dalam agama yang sama sebagai sesat dan menyimpang. Sebuah perbedaan nyata antara dua bentuk intoleransi terletak pada bagaimana seseorang berperilaku dan bertindak. Mereka yang berada dalam kategori intoleransi aktif tidak hanya mengungkapkannya secara lisan tetapi juga melalui tindakan.xiii
3. Temuan dan Analisa
3.1 Tren dan Data tentang Pelanggaran Kebebasan Beragama
Jumlah pelanggaran: Dalam tiga tahun terakhir, kebebasan beragama di Indonesia semakin memburuk. Laporan tentang kebebasan beribadah dan kebebasan beragama dari Setara Institute dan Wahid Institute, mengkonfirmasi tren ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam angka, laporan yang disusun oleh kedua lembaga
tersebut menunjukkan adanya tren kenaikan jumlah pelanggaran kebebasan beragama. Setara Institute mencatat adanya kenaikan lebih dari 200 kasus dalam tiga tahun terakhir, sebagaimana yang ditunjukkan pada Grafik 1 di bawah ini.
Grafik 1: Jumlah Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama
Sumber: Setara Institute 2013
216
244264
0
50
100
150
200
250
300
2010 2011 2012
SETARA
4
Data dari Wahid menegaskan tren ini: Jumlah pelanggaran pada tahun 2010 mencapai 184 kasus, yang melonjak menjadi 267 kasus pada tahun 2011 dan selanjutnya meningkat menjadi 278 kasus pada tahun 2012 (Lampiran I). Namun, Komnas HAM mencatat terjadinya penurunan jumlah pelanggaran terhadap kebebasan beribadah dan beragama. Mereka mencatat adanya 84 dan 83 pengaduan masing‐masing pada tahun 2010 dan tahun 2011, dan pada tahun 2012 jumlah pengaduan mengalami penurunan menjadi 68 pengaduan. Ketika menanggapi adanya perbedaan dalam data mereka ketika dibandingkan dengan data dari Setara dan Wahid Institute, Muhammad Imdadun Rahmat dari Komnas HAM menyatakan bahwa jumlah yang mereka catat didasarkan pada pengaduan yang diajukan. “Ada banyak kasus yang terjadi di berbagai daerah yang tidak dilaporkan,” katanya.
Data Komnas Perempuan tentang pelanggaran kebebasan beragama juga tidak lengkap. Namun demikian, Komisi telah mengamati bahwa peningkatan jumlah kebijakan nasional dipengaruhi oleh nilai‐nilai keagamaan dan moral yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. Pada tahun 2011, setidaknya ada 207 kebijakan yang diskriminatif, 189 kebijakan pada tahun 2010, dan 154 kebijakan pada tahun 2009.xiv Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah menyatakan bahwa Komnas Perempuan telah memutuskan untuk menunjuk seorang pelapor khusus tentang kebebasan beragama mengingat intensifnya keberadaan intoleransi di Indonesia. Pelapor juga akan memeriksa kekerasan berbasis jender yang dilakukan terhadap perempuan. Terlepas dari angka‐angka statistik yang terus membumbung tinggi, Fajar Riza Ul Haq dari Maarif Institute – pusat studi yang mempromosikan toleransi dan Islam yang inklusif – juga berbicara tentang keprihatinannya atas dua hal yang terjadi. “Masalah pertama yang perlu diperhitungkan menyangkut terulangnya kekerasan di berbagai tempat yang tidak menunjukkan adanya tanda‐tanda akan
berakhir. Kasus ini adalah kasus mengenai pengikut Ahmadiyah di berbagai daerah dan kasus tentang sengketa rumah ibadah. Masalah kedua adalah ruang lingkup konflik yang semakin meluas dalam hal isu dan daerah yang terkena dampaknya”(Lihat Lampiran VII tentang Contoh Kasus dan Pelanggaran Kebebasan Beragama serta Lampiran VIII tentang Peta Sebaran Konflik). Sampang, Jawa Timur baru‐baru ini saja telah menjadi wilayah yang rawan konflik. Konflik Sunni‐Syiah yang dimulai dari perselisihan keluarga kini telah menyebar keluar dari wilayah tersebut. Para pemuka agama dan anggota pengurus Nahdlatul Ulama (sebuah organisasi Islam tradisional yang dianggap mewakili kaum Islam moderat) yang merupakan bagian dari mayoritas Sunni kini telah bergabung dalam kelompok yang melakukan penganiayaan terhadap penganut Syiah. Konflik ini telah menyebar ke Bogor, Jawa Barat yang melibatkan Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia atau LDII – sebuah kelompok sering terkena stigma ‘sesat’ – dan Muhammadiyah dianggap mewakili wajah Islam moderat.xv Sementara itu, ‘minoritas’ Muslim di luar Pulau Jawa masih terus menghadapi kendala dalam mendirikan masjid. Di daerah dimana umat Islam merupakan minoritas seperti di Medan, Bitung dan Nusa Tenggara Timur, mereka menghadapi perlawanan terhadap pembangunan masjid baru. “Sekarang ini kelompok mayoritas adalah pemenangnya, sedangkan kelompok minoritas adalah yang kalah, padahal sebenarnya hak konstitusional yang seharusnya ditegakkan,” kata Fajar. Korban Pelanggaran Laporan Setara Institute menemukan bahwa kelompok Ahmadiyah dan Kristen merupakan korban terbanyak dari pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Sementara itu, korban di kalangan Syiah telah meningkat dalam dua tahun terakhir sebagaimana yang ditunjukkan dalam grafik di bawah.
5
6
Grafik 2: Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama
Sumber: Setara Institute Ahmadiyah dan Syiah adalah kelompok yang menjadi korban dari mayoritas Muslim di Indonesia yang menganut pada pemahaman Islam Sunni. Sementara itu, kelompok Kristen menjadi korban sengketa pendirian gereja di Bekasi, Bogor dan Depok dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Di sisi lain, minoritas
Muslim di Kupang dan Papua menghadapi kesulitan dalam membangun masjid. “Ada aturan mayoritas–minoritas. Kelompok mayoritaslah yang menentukan pemahaman agama. Semua agama bisa menjadi minoritas di daerah yang berbeda,” kata Khamami Zada, Sekretaris Lakpesdam NU.
Kekerasan terhadap Ahmadiyah telah terjadi berulang kali di berbagai daerah, termasuk Bogor, Banten, Bekasi, Tasikmalaya dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 2 Mei 2012, masjid Al‐Mujahidin yang didirikan oleh jemaah Ahmadiyah di Kampung Babakansari, Tasikmalaya, Jawa Barat dibakar oleh massa yang tidak dikenal. Mimbar, sajadah dan kitab suci telah berubah menjadi abu. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ratusan pengikut Ahmadiyah mengungsi pada tahun 2007 dan belum kembali ke rumah. Seiring dengan terjadinya intensitas pelanggaran, sifat kekerasan yang dilakukan terhadap Ahmadiyah juga telah mengalami peningkatan. Tiga pengikut Ahmadiyah telah kehilangan nyawa mereka dalam serangan terhadap komunitas mereka di Cikeusik, Banten, pada tanggal 6 Februari 2011. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam Grafik 2 di atas, serangan terhadap kelompok Kristen memuncak pada tahun 2011 dan kemudian mengalami penurunan pada tahun 2012. Upaya jemaah Kristen untuk membangun gereja telah menghadapi perlawanan di sejumlah daerah. Baik
jemaah GKI Yasmin maupun jemaah HKBP Filadelfia telah mengalami pelecehan secara verbal dan fisik. Hampir setiap hari Minggu, jemaah HKBP Filadelfia dihalangi untuk melakukan ibadah di gereja, dimana mereka bahkan mengalami pelecehan verbal sambil dilempari telur busuk dan kotoran sapi. Pada malam Natal, 24 Desember 2012, Pendeta Palti Panjaitan diserang oleh penduduk setempat yang bernama Abdul Aziz. Pendeta dinyatakan tersangka Maret 2013 menyusul laporan yang diajukan oleh Abdul Aziz. Sepanjang tahun 2012, pemerintah kota Bogor menekan GKI Yasmin agar menerima tawaran relokasi. Pada periode tahun 2011 dan 2012, pelanggaran terhadap pengikut Syiah menjadi semakin intensif; mulai dari stigma sesat hingga larangan untuk berkumpul dan tindak kekerasan fisik. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jawa Timur pada tanggal 21 Januari 2012 mengeluarkan fatwa yang menyatakan Syiah sebagai aliran sesat. Sementara itu, di Makassar, Sulawesi Selatan seminar internasional yang diselenggarakan bersama oleh Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar dan Kedutaan Besar Iran mendapat protes keras
50
114
31
75
54 50
010
34
‐20
0
20
40
60
80
100
120
2010 2011 2012
Ahmadiyah
Kristen
Syiah
7
dari ratusan anggota FPI pada tanggal 5 November 2012. Sementara itu pada tanggal 26 Agustus 2012 serangan terhadap komunitas Syiah di Sampang, Madura telah menyebabkan kematian seorang pengikut Syiah. Penganiayaan terhadap kelompok yang dianggap sesat tidak hanya terbatas pada komunitas Ahmadiyah atau komunitas Syiah saja, tetapi juga terhadap kelompok‐kelompok kecil di berbagai daerah. Contohnya adalah kelompok Majelis Tafsir Al‐Quran yang berbasis di Solo, Jawa Tengah; komunitas Salafi di Nusa Tenggara Barat; dan sejumlah pesantren di Aceh seperti Dayah Al Mujahadah di Sawang, Aceh Selatan dan Dayah Baitul Mu'arif di Aceh Utara. Kaum perempuan adalah salah satu kelompok korban yang harus mendapat perhatian lebih besar. Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan sangat rentan terhadap perkosaan, pelecehan seksual dan bentuk‐bentuk intimidasi seksual lainnya terutama ketika intoleransi disertai dengan tindak kekerasan. Trauma akibat serangan yang dialami oleh perempuan pengikut Ahmadiyah misalnya dapat menyebabkan depresi yang berkepanjangan dan menimbulkan masalah kesehatan reproduksi, termasuk keguguran. Perempuan juga menanggung beban psikologis yang berat ketika setiap hari menyaksikan anak‐anak mereka mengalami diskriminasi di sekolah dan dalam masyarakat. Dalam kasus Cikeusik, kaum perempuan yang ditinggalkan oleh suami mereka terpaksa harus menjadi orang tua
tunggal dan menjadi satu‐satunya pencari nafkah bagi anak‐anak mereka.xvi Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah menambahkan bahwa hingga saat ini tidak ada upaya yang telah dilakukan secara khusus untuk menangani perempuan pengikut Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi korban serangan yang sekarang berada di kamp‐kamp pengungsi. “Kebutuhan spesifik mereka tidak dipedulikan padahal sebenarnya mereka dikenal sebagai kelompok rentan. Kebutuhan perempuan dan anak‐anak harus menjadi prioritas. Belum lagi stigma yang diberikan oleh masyarakat terutama ketika pemerintah juga menyebutnya sebagai komunitas sesat,” dia mengingatkan. Pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah hampir selalu bersinggungan atau berbarengan dengan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Para orang tua di kalangan pengungsi Ahmadiyah di Transito, Nusa Tenggara Barat dan pengungsi Syiah di Jawa Timur misalnya telah kehilangan hak mereka atas pekerjaan yang layak dan hak atas mata pencaharian mereka. Anak‐anak mereka kehilangan hak untuk tumbuh dan berkembang karena mereka tidak lagi memiliki akses terhadap pendidikan. Keluarga kehilangan rumah, kebun dan sawahnya. Bagi mereka, tidak ada hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintah karena para pengungsi ini menghadapi kesulitan dalam mengurus dokumen kependudukan yang paling mendasar, seperti pembuatan KTP mereka.
Pelaku Pelanggaran Kebebasan Beragama Setara Institute menemukan bahwa sebagian besar pelanggaran dilakukan oleh aktor non‐negara, seperti yang disajikan pada Grafik 3 di bawah ini. Aktor non‐negara terdiri dari individu maupun kelompok masyarakat yang tergabung
dalam organisasi atau forum‐forum masyarakat, selain instansi pemerintah. Sementara itu, aktor negara terdiri dari polisi, pemerintah daerah, kementerian, satpol PP, militer, kantor kejaksaan dan lain‐lain.
8
Grafik 3: Pelaku Pelanggaran Kebebasan Beragama dari Kalangan Negara dan NonNegara
Sumber: Setara Institute MUI dan FPI adalah dua organisasi masyarakat yang diidentifikasi sebagai pelaku pelanggaran utama kebebasan beragama seperti yang disajikan pada Grafik 4 di bawah ini. FPI merupakan ormas garis keras Islam yang berbasis di Jakarta. Organisasi ini membawahi Laskar Pembela Islam, suatu kelompok paramiliter yang sejak tahun 1998 telah berulangkali melakukan aksi sweeping yang sering
berujung dengan tindak kekerasan. Sementara itu, MUI seringkali mengeluarkan fatwa yang dapat memprovokasi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Suatu contoh adalah fatwa MUI Jawa Timur tahun 2012 yang menyatakan Syiah sebagai aliran sesat, atau fatwa MUI tahun 1980 dan tahun 2005 yang menyatakan kelompok Ahmadiyah sebagai komunitas sesat.
Grafik 4: Pelaku NonNegara yang terlibat dalam Pelanggaran Kebebasan Beragama
Sumber: Setara Institute 2013 Namun, seperti yang disajikan dalam data di atas, sebagian besar pelaku pelanggaran kebebasan beragama adalah anggota masyarakat/massa yang tergabung dalam kerusuhan massal. Sulit untuk mengidentifikasi afiliasi kolektif atau organisasi yang terkait dengan kelompok individu ini.xvii “Dalam kasus Cikeusik, kita
tidak bisa hanya sekedar menuding pada FPI meskipun para petinggi FPI terlihat berada di tempat kejadian. Faktanya bahwa masyarakat luas memang terlibat,” kata Ismail Hassani dari Setara Institute. Dalam pelanggaran terhadap kelompok Syiah di Sampang, tidak ada organisasi yang jelas terlibat. Alamsyah M Djafar dari Wahid
103 105
145
183194
226
0
50
100
150
200
250
2010 2011 2012
Negara
Non‐Negara
17
282422
28 25
70
8076
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2010 2011 2012
FPI
MUI
Massa
9
Institute menyatakan bahwa anggota masyarakat yang ikut ambil bagian dalam melakukan penganiayaan memiliki kemiripan doktrin keagamaan dengan doktrin yang dianut oleh Nahdlatul Ulama. Koordinator KontraS, Haris Azhar mengatakan bahwa aliansi lokal yang melakukan pelanggaran tersebut terdiri dari anggota masyarakat yang afiliasi keagamaannya bisa berasal dari NU atau Muhammadiyah. Menurut Haris Azhar, aliansi strategis ini memiliki kemiripan dengan taktik FPI. Fajar Riza Ul Haq berpendapat bahwa masyarakat telah dipengaruhi oleh sikap intoleran yang ditunjukkan oleh FPI. “Masyarakat sekarang melihat FPI sebagai simbol gerakan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Ada persepsi publik bahwa pendekatan FPI untuk menangani masalah masih dapat diterima jika negara sangat lemah,” jelasnya. Masyarakat juga mendapatkan inspirasi dari kelompok lain yang terus‐menerus mengusung politik intoleran, seperti Hizbuth Tahrir Indonesia (HTI), Forum Umat Islam (FUI) dan Jamaah Ansharu Tauhid (JAT). “Secara ideologis, mereka intoleran meskipun tidak semuanya melakukan kekerasan,” kata Ismail Hassani dari Setara Institute. Sebuah survei yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2010 menunjukkan bagaimana intoleransi telah meresap ke dalam struktur masyarakat, bahkan di kalangan penduduk perkotaan. Menurut hasil survei, hampir setengah dari penduduk perkotaan merasa keberatan dengan pendirian rumah ibadah dari agama lain dalam lingkungan mereka. Berkaitan dengan Ahmadiyah, lebih dari 40 persen responden menganggap kelompok tersebut sebagai sebuah sekte sesat. Bahkan, setidaknya 45 persen diantara mereka berpikir bahwa barangkali merupakan jalan terbaik jika Ahmadiyah harus dibubarkan.xviii
Para pelaku pelanggaran lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah aktor negara. Negara tidak hanya lemah dan lalai dalam melindungi kelompok minoritas dan para korban, tetapi juga menjadi pelaku pelanggaran dengan memberlakukan pembatasan kebebasan beragama melalui legislasi dalam bentuk Peraturan Bersama Dua Menteri (Perber Dua Menteri) yang mengatur tentang pendirian tempat ibadah,xix Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tentang Ahmadiyah,xx dan UU tentang Penodaan Agama.xxi “Peraturan Bersama Dua Menteri tentang pendirian tempat ibadah selalu menjadi biang sengketa tentang tempat ibadah,” tegas Khamami Zada dari Lakpesdam NU. Mereka yang menjadi korban dari peraturan ini tidak hanya kelompok Kristen yang ingin mendirikan gereja, tetapi juga kelompok Islam yang ingin membangun masjid di daerah dimana non‐Muslim merupakan kelompok mayoritas. Hal ini terjadi di Batuplat, Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2011. Di sisi lain, Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tentang Ahmadiyah berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah daerah untuk memberlakukan pembatasan terhadap komunitas Ahmadiyah. "LBH Jakarta telah menemukan bahwa 5 provinsi dan 33 kota telah mengeluarkan kebijakan yang melarang Ahmadiyah untuk mempraktikkan agama mereka. Larangan ini kemudian digunakan untuk melegitimasi berbagai bentuk serangan terhadap Ahmadiyah,” kata Muhammad Isnur dari LBH Jakarta. Lebih jauh beliau mengatakan bahwa UU tentang Penodaan Agama juga menjadi dasar hukum bagi diberlakukannya banyak produk hukum yang menyatakan kelompok‐kelompok tertentu sebagai kelompok sesat. Sementara itu, aparat pemerintah bersama‐sama dengan polisi dan pemerintah setempat merupakan pelaku pelanggaran yang berulang atas kebebasan beragama, sebagaimana yang ditunjukkan pada Grafik 5 di bawah ini.
10
Grafik 5: Negara Sebagai Pelaku Pelanggaran Kebebasan Beragama
(Sumber: Setara Institute 2013) Bentuk pelanggaran bisa berupa pembiaran pelanggaran, diskriminasi dan penyegelan tempat ibadah. "Pemerintah setempat sepertinya enggan untuk berhadapan dengan kelompok minoritas intoleran. Pemerintah daerah mungkin takut menjadi
tidak populer, takut kehilangan dukungan atau khawatir jika mereka dianggap tidak membela agama yang benar," kata Muhammad Imdadun Rahmat dari Komnas HAM.
3.2 Tipologi Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama Ada semacam pola dalam beberapa pelanggaran, terutama yang berujung pada penyegelan, pelarangan ibadah, mencap pihak lain sebagai sesat, penyerangan fisik atau tindak kekerasan. Hal ini dimulai dengan pidato penyebaran kebencian terhadap kelompok minoritas yang dianggap telah mencemarkan nama baik agama atau melanggar undang‐undang tentang pendirian tempat ibadah. "Pengajian atau khotbah Jum’at biasanya digunakan untuk menyebarkan kebencian," kata Komisioner Komnas HAM, Muhammad Imdadun Rahmat. Setelah benih‐benih kebencian ditaburkan, berbagai forum atau aliansi akan dibentuk. "Dalam banyak kasus, pemerintah daerah telah memfasilitasi pertemuan warga, yang seolah‐olah memberikan kesan 'menjembatani' kelompok‐kelompok ini. Pertemuan tersebut malah digunakan untuk menekan kelompok minoritas," ujar Haris Azhar, Koordinator KontraS. Langkah
berikutnya dari aliansi atau forum ini adalah untuk menghasut dilakukannya tindakan intoleransi atau kekerasan. Pada tahap akhir, pemerintah daerah pasti akan mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang diskriminatif. Hal ini telah terjadi, terutama yang terkait dengan kelompok Ahmadiyah dimana pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) telah mengeluarkan peraturan yang melarang hak keagamaan mereka (Lihat Lampiran IX tentang daftar pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan yang melarang kegiatan Ahmadiyah). Peraturan ini sering digunakan sebagai pembenaran oleh para pelaku untuk melakukan pelanggaran, seperti penyegelan tempat ibadah atau pelarangan kegiatan keagamaan yang sering berkembang menjadi tindak perusakan atau tindak kekerasan. Sebuah ilustrasi sederhana dari pola pelanggaran ini disajikan dalam Diagram 1 di bawah ini.
0
10
20
30
40
50
60
2010 2011 2012
Polisi
Pemkab/Pemkot
11
Diagram 1: Pola Pelanggaran
Konflik Sunni‐Syiah di Sampang telah dimulai sejak tahun 2006 oleh sejumlah individu yang berniat menyebarkan kebencian dan menyatakan pihak lain sebagai sesat. Pertemuan antara para pemuka agama yang melibatkan Fadlilah Budiono, Bupati Kabupaten Sampang dan Imron Rosyidi, Kepala Kantor Urusan Agama setempat pada saat itu adalah bagian dari upaya untuk memberi label kelompok tertentu sebagai kelompok sesat. Hal ini kemudian mengakibatkan berbagai bentuk kekerasan yang akhirnya menyebabkan terjadinya pengusiran terhadap warga yang tidak bersalah. Kasus penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 26‐29 Juli 2010 ini juga terkait dengan tekanan dari massa, yang diperparah dengan adanya kebijakan
kabupaten Kuningan yang diskriminatif. Kejadian yang mengarah pada penyerangan dimulai dengan desakan dari ormas anti‐Ahmadiyah yang menuntut pemerintah daerah untuk menyegel tempat ibadah Ahmadiyah atau massa sendiri yang akan mengambil tindakan dan melakukan penyerangan. Mereka menyelenggarakan tiga kali demonstrasi massa dari bulan Maret sampai Juni 2010. Karena berada di bawah tekanan, Bupati Kuningan akhirnya menginstruksikan penutupan paksa terhadap tempat ibadah tersebut. Ketika kelompok Ahmadiyah melakukan perlawanan balik dan upaya penyegelan mengalami kegagalan, kelompok‐kelompok intoleran menyerang para pengikut Ahmadiyah dan masjid mereka.xxii Tabel 1 di bawah ini merangkum jenis‐jenis pelanggaran yang dicatat oleh Komnas HAM pada tahun 2012.
Pidato kebencian
Pembentukan forum
Pelanggaran/kekerasan
Kebijakan yang
diskriminatif
12
Tabel 1: Tipologi Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama, 2012
No Jenis Pelanggaran Jumlah Kasus 1 Kasus Ahmadiyah 2 2 Kasus penghayat keyakinan dan aliran kepercayaan minoritas 6 3 Kasus penghalangan pendirian dan perusakan tempat ibadah 21 4 Kasus kekerasan dan intimidasi terhadap pemeluk agama 3 5 Kasus penghalangan untuk menjalankan kegiatan ibadah 16 6 Kasus sengketa internal keagamaan 19 7 Kasus penistaan terhadap agama 1 TOTAL 68 (Sumber: Komnas HAM, 2013) 3.3 Kerugian Ekonomi Akibat Pelanggaran Kebebasan Beragama Serangan terhadap kelompok atau komunitas yang dituduh sesat telah mengakibatkan kerugian ekonomi yang substansial bagi para korban. Rumah, harta benda, lahan pertanian adalah aset yang mengalami kerusakan atau hilang sama sekali. Perhitungan yang komprehensif terhadap kerugian ekonomi yang diderita oleh korban kasus intoleransi belum dilakukan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Universalia yang memberikan bantuan kepada korban Syiah di Sampang, Madura mencatat adanya satu pesantren dan tiga rumah yang rusak berat akibat kebakaran akibat dari serangan pertama yang berlangsung pada Kamis, 29 Desember, 2011. Aset dan harta benda hilang dijarah. Setelah serangan kedua pada tanggal 26 Agustus 2012, pengungsi Syiah dipaksa untuk meninggalkan ladang tembakau mereka yang merupakan sumber utama penghidupan mereka. Selama insiden tersebut, setidaknya pohon‐pohon tembakau siap panen sebanyak 362.500 batang harus ditinggalkan. Lima puluh rumah telah habis menjadi abu. Jumlah kerugian material untuk kedua kasus menurut LBH Universalia diperkirakan sebesar Rp 7,3 miliar.xxiii Hingga saat ini, negara belum menawarkan kompensasi atau ganti rugi kepada para korban.
Komnas Perempuan mendokumentasikan para perempuan pengikut Ahmadiyah yang tak terhitung banyaknya di Lombok yang kehilangan akses terhadap ke sumber‐sumber mata pencaharian yang memadai. Seorang perempuan yang memiliki gudang penyimpanan pisang dan kelapa di Pasar Baratais, Lombok Barat tidak bisa lagi menjual produknya menyusul adanya ancaman untuk menghancurkan tempat penyimpanannya. Dia mempercayakan pengelolaan gudang dia tersebut kepada seorang teman tanpa menyerahkan bagian dari setiap hasil kepadanya. Seorang perempuan lain telah berhenti menjual sandal di Pasar Sayang‐sayang di Lombok Barat setelah perempuan setempat lainnya tanpa henti mengejek dengan mengatakan, "Ini dilarang, dia anggota Ahmadiyah!" Di Prapen, Kecamatan Praya di Lombok Tengah, seorang perempuan penjual makanan yang sejak tahun 2003 sampai dengan terjadinya serangan telah mengalami intimidasi, menyaksikan kiosnya dihancurkan pada tiga kesempatan yang terpisah. Seorang guru perempuan di sekolah dasar yang dikelola pemerintah setempat di Jeunib, Praya diminta mengundurkan diri oleh pengelola sekolah setelah mengetahui bahwa guru tersebut merupakan bagian dari komunitas Ahmadiyah.xxiv
13
3.4 Respon Pemerintah terhadap Pelanggaran Kebebasan Beragama
Respon pemerintah terhadap pelanggaran kebebasan beragama bahkan telah berbeda‐beda. Sebagai contoh, pada bulan Juli 2011 pengadilan menyatakan bersalah kepada 12 terdakwa yang melakukan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik yang kemudian dijatuhi hukuman 3‐6 bulan penjara.xxv Pengadilan juga menjatuhkan vonis bersalah bagi pemimpin FPI di Sulawesi Selatan yang menerima hukuman penjara selama lima bulan pada bulan Januari 2012.xxvi Wahid Institute juga mencatat bahwa pada tanggal 25 Juli 2012, pihak polisi dan militer Indonesia dengan cepat menahan anggota FPI yang telah melakukan penyerangan pada sebuah masjid Ahmadiyah di Cianjur dan berhasil menggagalkan upaya untuk menghancurkannya.xxvii
Namun untuk kasus‐kasus lainnya, seperti biasanya, polisi terlambat dalam memberikan respon, dan dalam beberapa kasus bahkan melakukan pelanggaran kebebasan beragama. Survei yang dilakukan oleh Setara Institute dan Wahid Institute menemukan bahwa kepolisian menduduki peringkat pertama sebagai pelanggar kebebasan beragama dibandingkan dengan cabang lain dari aparatur negara. Muhammad Isnur dari LBH Jakarta berpendapat bahwa polisi telah melakukan tiga tingkat pelanggaran – kelalaian, melakukan fasilitasi atau keterlibatan – berkaitan dengan kasus intoleransi agama. Kelalaian mengacu pada situasi dimana polisi hadir di tempat kejadian perkara (TKP) tetapi gagal untuk mencegah terjadinya kekerasan, seperti kasus penganiayaan yang dilakukan terhadap warga pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, pada bulan Februari 2011.
Tingkat kedua dari pelanggaran polisi dalam kasus intoleransi adalah peran mereka dalam memfasilitasi para pelaku pelanggaran dengan logistik. Kasus ini berlaku untuk kasus penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Parung, Bogor pada tanggal 15 Juli 2005 dimana para polisi menyediakan kendaraan untuk mengangkut para penyerang. Tingkat ketiga dari
pelanggaran polisi merupakan pelanggaran yang dilakukan sendiri seperti terlihat dalam penyegelan Masjid Ahmadiyah Al‐Misbah di Bekasi pada bulan Maret 2013. Dalam banyak kasus, polisi tidak menghalau penyerang atau mengambil tindakan terhadap mereka, melainkan melakukan evakuasi atau memindahkan korban. Menurut Alamsyah Djafar dari Wahid Institute, hal ini merupakan respons yang keliru dalam menangani kasus‐kasus intoleransi karena hal tersebut mencerminkan bagaimana polisi menganggap korban sebagai sumber masalah.
Hal ini diperparah oleh respon pemerintah daerah terhadap pelanggaran kebebasan beragama dengan mengeluarkan peraturan yang membatasi aktivitas warga Ahmadiyah. Data dari Komnas HAM menunjukkan bahwa 5 provinsi dan 33 kota telah mengeluarkan kebijakan yang melarang gerakan Ahmadiyah (Lihat Lampiran 7 tentang Daftar Peraturan Daerah yang Melarang Gerakan Ahmadiyah). Pemerintah daerah menggunakan "SKB Tiga Menteri" untuk melegitimasi pemberlakuan pembatasan dan bahkan penyerangan fisik yang dilakukan oleh para pelaku kasus intoleransi. Komisioner Komnas HAM, Muhammad Imdadun Rahmat telah mengidentifikasi dua alasan atas respon pemerintah. Pertama, pemerintah daerah setempat tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan tentang bagaimana cara terbaik untuk menangani hak‐hak para penganut keyakinan yang berbeda. Dalam pendirian tempat ibadah, misalnya, Peraturan Bersama antara Dua Menteri telah dimanipulasi untuk menghambat, malah bukan untuk memfasilitasi pendirian tempat ibadah. Kedua, pemerintah daerah setempat enggan untuk berhadapan dengan kelompok mayoritas yang tidak toleran karena takut tidak populer dan takut dianggap tidak membela agama yang benar.
14
Terdapat juga kesan bahwa pemerintah belum memberikan perhatian serius terhadap masalah yang ada. Belum ada tanda‐tanda akan adanya langkah tegas dari Menteri Koordinator Urusan Politik, Hukum dan Keamanan sehingga memungkinkan kasus intoleransi terus terjadi. Setelah kasus Cikeusik pada tanggal 6 Februari 2011, KontraS bertemu dengan Djoko Suyanto, Menkopolhukam, yang berjanji untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar kasus kekerasan dapat diakhiri. "Tetapi hal itu tidak terjadi," kata Haris Azhar, Koordinator KontraS. Dalam kasus Syiah, Menteri bahkan menyetujui logika dari kelompok‐kelompok intoleransi untuk mengevakuasi korban daripada mengambil tindakan terhadap pelaku pelanggaran.
Evakuasi dan relokasi merupakan pilihan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam beberapa kasus. Selama terjadinya penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang, korban dievakuasi ke Gedung Olah Raga Sampang di Madura sebelum akhirnya dipindahkan ke Sidoarjo, Jawa Timur,xxviii menyusul protes yang melibatkan ribuan orang dalam sebuah doa massal (istigotsah).xxix Sedangkan untuk Ahmadiyah, karena mereka direlokasi ke Transito, Nusa Tenggara Barat, pemerintah cenderung belum mengurusi pengungsi ini. "Sudah tujuh tahun sejak mereka
mengungsi dari rumah mereka, tidak tahu kapan mereka bisa kembali," kata Masruchah dari Komnas Perempuan. Kasus GKI Yasmin Kasus di sisi lain masih tetap menggantung meskipun Mahkamah Agung sudah mengeluarkan instruksi tertulis yang mencabut keputusan sebelumnya untuk membekukan izin bangunan gereja. Pemerintah kota telah menawarkan untuk merelokasi gereja tersebut, tetapi hal itu ditolak oleh jemaah GKI Yasmin.xxx
Departemen Agama juga telah gagal memainkan perannya dalam mempromosikan dialog yang konstruktif; bahkan mereka sering menjadi bagian dari masalah karena pernyataan yang bias dan ofensif dari Menteri. Pada tanggal 31 Juli 2012, Suryadharma Ali, Menteri Agama menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat karena menyimpang dari Al‐Qur'an dan tidak menganggap Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Muhammad Imdadun Rahmat dari Komnas HAM mengatakan bahwa Menteri Agama mewakili pemerintah, sehingga seharusnya mengambil sikap netral dan tidak berpihak pada kelompok mayoritas. Pada kesempatan lain, Suryadharma Ali menyalahkan umat Kristen karena mempolitisasi masalah pendirian gereja, karena dalam pandangannya hal itu sekedar masalah administrasi saja.xxxi
3.5 Evaluasi atas Respon Pemerintah terhadap Pelanggaran Kebebasan Beragama
Respon pemerintah terhadap pelanggaran kebebasan beribadah dan beragama masih belum memadai. Hal ini terlihat dari beberapa indikator, seperti perlindungan hukum, ketegasan Presiden dan aparatur negara, serta perawatan korban. Pengadilan belum menjadi badan arbitrasi yang adil; bahkan pengadilan telah melakukan penghinaan terhadap sistem peradilan. Dalam kasus Cikeusik yang menyebabkan hilangnya tiga nyawa, pelaku hanya dihukum kurang dari satu tahun penjara; pada kasus penusukan pendeta di Ciketing Bekasi, terdakwa hanya dikenakan dengan pasal tindakan yang tidak
menyenangkan; dan Rois Al Hukama yang dituduh menghasut massa untuk mengintimidasi pengikut Syiah dibebaskan dari semua tuduhan. "Penegakan hukum yang sembarangan semacam ini tidak akan mencegah kelompok lain untuk melakukan kekerasan yang sama karena hukumannya yang ringan," menurut Alamsyah Djafar dari Wahid Institute. Selain itu, pola kriminalisasi korban juga terlihat. Dalam kasus HKPB Filadelfia, Pendeta Palti Panjaitan yang merupakan korban, malah dijadikan terdakwa. Tajul Muluk, pemimpin Syiah yang merupakan korban, juga dinyatakan sebagai tersangka. Pihak berwenang membawa kedua belah pihak
15
pelaku dan korban ke pengadilan agar dapat dilihat telah bertindak adil dan tidak memihak. Sementara itu, tidak ada kemajuan yang signifikan dalam hal perundang‐undangan. Pemerintah pusat belum merevisi Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang telah digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan berbagai bentuk diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah, di amping Peraturan Bersama Dua Menteri tentang pendirian tempat ibadah. UU No. 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama masih digunakan sebagai landasan hukum untuk melarang kelompok‐kelompok keagamaan yang tidak sesuai dengan faham agama arus utama. Pada bulan April 2000, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi undang‐undang yang diajukan oleh masyarakat sipil – yang diwakili antara lain oleh almarhum Abdurrahman Wahid dan cendekiawan Islam ternama Dawam Raharjo.xxxii Permintaan untuk melakukan uji materi ini dianggap mendesak karena dikhawatirkan bahwa peraturan tersebut akan melanggengkan tindak pelanggaran kebebasan beragama. Dalam menyikapi kasus‐kasus intoleransi, negara seringkali bertindak secara parsial, lebih mendukung kelompok mayoritas, sebagaimana tercermin dalam beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Agama atau dalam pembuatan keputusan untuk merelokasi kelompok dengan pemahaman agama yang berbeda dari kelompok arus utama. Menurut Khamami Zada dari Lakpesdam NU, negara justru harus bertindak sebagai fasilitator dan regulator, dimana harus dilakukan upaya untuk menempatkan kedua belah pihak dalam posisi yang netral. Dia menunjukkan bahwa masalah ini timbul karena pemegang jabatan mengikuti pemahaman agama yang sama dengan kelompok mayoritas.
Presiden tidak tegas dalam menyelesaikan masalah ini meskipun sudah memiliki kepastian hukum. Dalam kasus GKI Yasmin misalnya, Mahkamah Agung memutuskan untuk memenangkan gereja dan Ombudsman telah menginstruksikan
walikota untuk membuka segel gereja. Namun, pemerintah pusat tidak melakukan intervensi dengan menyatakan bahwa masalah tersebut sebagai masalah pemerintah daerah. "Undang‐undang tentang Otonomi Daerah pada kenyataannya menetapkan bahwa isu agama berada di bawah kewenangan pemerintah pusat," kata Alamsyah Djafar dari Wahid Institute. Presiden seharusnya turun tangan untuk menyelesaikan kasus‐kasus intoleransi dan mengeluarkan instruksi yang jelas kepada para menterinya, terutama menyangkut kasus‐kasus prioritas seperti diskriminasi terhadap jemaah Syiah dan Ahmadiyah. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan telah gagal untuk menangani insiden intoleransi." Meskipun memiliki instrumen hukum yang diperlukan seperti UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Kementerian belum menindaklanjuti kewenangannya secara konkret," ujar Haris Azhar dari KontraS. Kementerian tampaknya tidak kompeten dalam mengkoordinasikan departemen terkait, seperti Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian dalam menangani kasus‐kasus intoleransi. Kementerian Dalam Negeri terlibat dengan membiarkan terbitnya berbagai peraturan daerah yang bertentangan dengan prinsip‐prinsip kebebasan beragama. Muhammad Isnur dari LBH Jakarta menyebutkan bahwa Presiden bisa memperkenalkan dan menegakkan mekanisme hukuman yang berlaku untuk bupati atau personel polisi setempat yang tidak melindungi kaum minoritas.
Pemerintah juga telah gagal untuk menjamin penyelesaian bagi korban pemindahan paksa. Para pengungsi Ahmadiyah di Transito, Nusa Tenggara Barat kini telah tinggal selama tujuh tahun di sebuah kamp pengungsi. Sementara itu, para pengungsi Syiah sudah direlokasi dua kali hingga saat ini. Selain itu, pemerintah tidak memiliki pendekatan yang tepat untuk melayani kebutuhan pengungsi perempuan dan anak‐anak secara memadai. Komisioner Komnas Perempuan,
16
Masruchah mencatat bahwa tidak ada tindakan khusus untuk menangani para pengungsi dari kalangan perempuan dan anak‐anak, meskipun sebenarnya mereka adalah kelompok yang paling rentan.
Direktur Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq, berpendapat bahwa keberadaan orang‐orang dari berbagai latar belakang yang beragam di Indonesia akan semakin memburuk jika negara gagal untuk menyelesaikan masalah yang ada sampai tuntas. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya intoleransi agama, bahkan hingga menyentuh masyarakat yang berpendidikan, masyarakat kelas menengah dan para pembuat kebijakan. Akibatnya, masyarakat akan menjadi semakin apatis
dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin terkikis. Indonesia memiliki potensi untuk mengatasi masalah ini secara efektif. LBH Jakarta mencatat penyelesaian yang memuaskan dari kasus yang melibatkan gereja paroki (Gereja Paroki Damai) di Jakarta pada bulan Maret 2013. Hal ini dimungkinkan karena adanya keterlibatan langsung dari Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, yang memastikan bahwa kasus itu benar‐benar diselesaikan. xxxiii Di Wonosobo, Jawa Tengah, Bupati Abdul Kholiq Arif mendorong dialog masyarakat dan antar umat agama dalam upaya untuk memberikan kelompok‐kelompok minoritas, termasuk 6000 warga Ahmadiyah dengan rasa keamanan yang lebih besar.xxxiv
4. Kesimpulan Pelanggaran kebebasan beragama yang dialami kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Kristen dan Syiah merupakan menjadi keprihatinan bagi semua sektor masyarakat di Indonesia. Terkikisnya kebebasan beragama mengancam rusaknya tatanan sosial di Indonesia. Organisasi hak
asasi manusia dan kelompok masyarakat sipil lainnya akan terus menekan pemerintah untuk membatalkan undang‐undang yang melanggar hak asasi manusia sementara pada saat yang bersamaan menegakkan hukum‐hukum yang menjamin hak‐hak kelompok minoritas.
Rekomendasi Kepada Pemerintah Indonesia
1. Pemerintah perlu mengambil langkah‐langkah yang sistematik untuk mengatasi masalah intoleransi agama. Hal ini dapat dilakukan dengan mencabut kebijakan‐kebijakan diskriminatif yang selama ini menjadi dasar hukum untuk melegitimasi berbagai bentuk tindak pelanggaran. Kebijakan yang perlu dicabut mencakup SKB Tiga Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Peraturan Bersama Dua Menteri tahun 2006 tentang Pendirian Tumah Ibadah, dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Pemerintah juga perlu membatalkan berbagai peraturan daerah ‐ termasuk peraturan tentang pembatasan aktivitas Ahmadiyah ‐ yang bertujuan untuk membatasi kebebasan beragama di kalangan warganya.
2. Kapasitas perangkat negara (state capacity) untuk mengelola keberagaman perlu ditingkatkan. Perangkat pemerintah seperti aparat kepolisian, gubernur, bupati, dan walikota perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang HAM, termasuk hak untuk beribadah dan hak atas kebebasan beragama sebagaimana yang dijamin oleh Konstitusi.
3. Pemerintah Indonesia harus segera menyelesaikan kasus‐kasus berikut: (a) GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi; (b) Konflik Syiah‐Sunni di Sampang; (c) dan pengungsi Ahmadiyah di Transito, Nusa Tenggara Barat.
17
4. Kementerian Agama harus menjadi pihak yang netral dan tidak memihak kepada salah satu pemahaman keagamaan. Kementerian ini harus mendorong organisasi keagamaan (misalnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia) dalam menyelesaikan sengketa dan mendorong inisiatif lokal untuk menangani masalah‐masalah yang terkait dengan intoleransi beragama.
5. Melibatkan seluruh komisi negara yang ada, yang mencakup Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Ombudsman untuk membuat laporan
independen tahunan tentang situasi kebebasan beragama di Indonesia. Laporan yang komprehensif ini akan diserahkan ke Presiden bersama sejumlah rekomendasi.
6. Pemerintah perlu menyertakan kebebasan beribadah dan kebebasan beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2014‐2019.
7. Untuk memastikan pembangunan yang inklusif yang terkait dengan agenda pembangunan pasca‐2015, pemerintah perlu menyusun indikator dan pendekatan untuk kemajuan HAM dan perlindungan terhadap hak‐hak kelompok minoritas.
Kepada LembagaLembaga Pembangunan dan Komisi HAM PBB
1. Mendorong pemerintah Indonesia agar segera melaksanakan rekomendasi yang disampaikan Dewan HAM PBB pada Sidang Tinjauan Periodik Universal pada bulan Mei 2012, terutama yang terkait dengan perlindungan terhadap kelompok minoritas serta hak atas kebebasan beribadah dan kebebasan beragama.
2. PBB dan Lembaga‐lembaga pembangunan Internasional yang menjadi mitra Indonesia hendaknya mendukung dan mendorong Indonesia untuk mengambil langkah‐langkah yang
diperlukan untuk melindungi hak atas kebebasan beragama. Para mitra internasional juga harus memastikan bahwa perlindungan terhadap hak beragama dan hak‐hak kelompok minoritas menjadi indikator bagi pembangunan dan menjadi prasyarat bagi pemberian bantuan internasional.
3. PBB harus memperingatkan Presiden untuk melaksanakan Konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, terutama yang terkait dengan kebebasan beragama dan kebebasan beribadah.
18
Catatan Akhir i Kepemimpinan Tanpa Prakarsa: Kondisi Kebebasan Beragama/berkeyakinan di Indonesia 2012, Bonar Tigor Naipospos, ed, Pustaka
Masyarakat Setara, 2012, hal.32‐33. ii Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap‐tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing‐masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. iii Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 18 iv Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 berbunyi: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah. v Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 berbunyi: Hak untuk hidup, hak tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. vi Lihat Lampiran I untuk daftar narasumber. vii Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 18. viii UUD 1945 Pasal 28I ayat 1 dan 4 ix UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan Pasal 29 ayat 2 x Indonesia telah meratifikasi Kovenan melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 xi Deklarasi Universal 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan Pasal 1
xii Deklarasi Universal 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan Pasal 2
xiii Kepemimpinan Tanpa Prakarsa: Kondisi Kebebasan Beragama/berkeyakinan di Indonesia 2012, Bonar Tigor Naipospos, ed, Pustaka
Masyarakat Setara, 2012, hal.27. xiv Sebuah kebijakan akan dianggap diskriminatif jika bersifat membatasi, bahkan mengurangi hak‐hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara. Beberapa hak yang telah dibatasi dan dikurangi mencakup hak terhadap (a) persamaan di depan hukum dan pemerintahan, (b) kebebasan untuk berpikir dan berhati nurani, (c) perlindungan dari rasa takut untuk melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, (d) tetap bebas dari perlakuan diskriminatif, dan (e) kepastian hukum (Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2011, Komnas Perempuan, 2011).
xv Konflik antara LDII dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terjadi pada tanggal 15 Juni 2013. Sekelompok penganut LDII
menyerang pengajian keagamaan yang diselenggarakan oleh IMM di masjid kampus Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) di Bogor, Jawa Barat. Alasan serangan tersebut karena LDII merasa keberatan dengan materi yang disampaikan oleh mantan anggota dewan LDII yang
berbicara tentang keberadaan LDII. xvii Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2011, Komnas Perempuan,
2011.
xviii Toleransi Masyarakat Perkotaan: Survei Opini Publik di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang, Setara Institute 29 November 2010.
Diakses secara online melalui http://www.setara‐institute.org/sites/setara‐institute.org/files/Reports/Thematic/101129‐
Survey_Toleransi_Sosial_Masyarakat_Perkotaan_2010.pdf pada tanggal 28 Juli 2013.
xix Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan No 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat xx Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP‐
033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
xxi Undang‐Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. xxii Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan dan Beribadah (Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat,
Cikeusik dan Jemaat Kristen HKBP dan GKI Taman Yasmin) KontraS, 2012. Diakses secara online di http://www.stopimpunity.org/page120.php pada tanggal 30 Juli 2013. xxiii http://lbhuniversalia.org/index.php/artikel/kolom/30‐menyaksikan‐ketidakadilan Diakses pada tanggal 15 Agustus 2013.
xxiv http://www.komnasperempuan.or.id/wp‐content/uploads/2009/01/laporan‐kondisi‐mutakhir‐ham‐perempuan‐ahmadiyah‐komnas‐
perempuan‐22‐mei‐2008.pdf Diakses pada tanggal 15 Agustus 2013. xxv http://nasional.news.viva.co.id/news/read/236593‐penyerang‐ahmadiyah‐cikeusik‐divonis‐3‐bulan. Diakses pada tanggal 27 Juli 2013
pada pukul 1:16 xxvi http://nasional.news.viva.co.id/news/read/280577‐panglima‐fpi‐makassar‐dibebaskan‐dari‐bui. Diakses pada tanggal 27 Juli 2013
pada pukul 1:23 xxvii http://nasional.news.viva.co.id/news/read/338680‐fpi‐geruduk‐masjid‐ahmadiyah‐cianjur. Diakses pada tanggal 27 Juli 2013 pada
pukul 1:36 xxviii
http://www.antaranews.com/berita/381063/pengungsi‐syiah‐sampang‐dipindah‐ke‐sidoarjo. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
19
xxix http://surabaya.okezone.com/read/2013/06/21/521/825293/redirect. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013 . xxx http://nasional.kompas.com/read/2012/02/08/21135916/GKI.Yasmin.Tak.Akan.Terima.Relokasi. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013. xxxi http://www.thejakartapost.com/news/2013/04/02/minister‐christians‐bring‐discrimination‐themselves.html. Diakses pada tanggal 30
Juli 2013. xxxii http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/04/100419_mktolak.shtml. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013 pada pukul
1.10 xxxiii http://metro.news.viva.co.id/news/read/404779‐cara‐jokowi‐damaikan‐warga‐duri‐selatan. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013 xxxiv http://www.tempo.co/read/news/2012/12/11/058447430. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
20
DAFTAR PUSTAKA
Halili, dkk. 2012. Presiden Tanpa Prakarsa, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Jakarta, Setara Institute. Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos [ed], 2010. Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta, Setara Institute. Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos [ed], 2011. Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011, Jakarta, Setara Institute. The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, Jakarta. The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama: Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2011, Jakarta. The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta.
Artikel Yang Tersedia Secara Online
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/236593‐penyerang‐ahmadiyah‐cikeusik‐divonis‐3‐bulan. Diakses pada tanggal 27 Juli 2013 pada pukul 1:16 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/280577‐panglima‐fpi‐makassar‐dibebaskan‐dari‐bui. Diakses pada tanggal 27 Juli 2013 pada pukul 1:23 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/338680‐fpi‐geruduk‐masjid‐ahmadiyah‐cianjur. Diakses pada tanggal 27 Juli 2013 pada pukul 1:36 http://www.antaranews.com/berita/381063/pengungsi‐syiah‐sampang‐dipindah‐ke‐sidoarjo. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
http://surabaya.okezone.com/read/2013/06/21/521/825293/redirect. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/08/21135916/GKI.Yasmin.Tak.Akan.Terima.Relokasi. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
http://www.thejakartapost.com/news/2013/04/02/minister‐christians‐bring‐discrimination‐themselves.html. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/04/100419_mktolak.shtml. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013 pada pukul 1.10 http://metro.news.viva.co.id/news/read/404779‐cara‐jokowi‐damaikan‐warga‐duri‐selatan. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013 http://www.tempo.co/read/news/2012/12/11/058447430. Diakses pada tanggal 30 Juli 2013. http://lbhuniversalia.org/index.php/artikel/kolom/30‐menyaksikan‐ketidakadilan Diakses pada tanggal 15 Agustus 2013. http://www.komnasperempuan.or.id/wp‐content/uploads/2009/01/laporan‐kondisi‐mutakhir‐ham‐perempuan‐ahmadiyah‐komnas‐perempuan‐22‐mei‐2008.pdf Diakses pada tanggal 15 Agustus 2013.
21
LAMPIRAN I: DAFTAR NARASUMBER
1. Alamsyah M Djafar, Project Officer, Wahid Institute
2. M. Isnur, Kepala Bidang Pengembangan dan Data, LBH Jakarta
3. Ismail Hassani, Manajer Program, Setara Institute
4. Khamami Zada, Wakil Sekretaris, Lakpesdam NU
5. Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif, Maarif Institute
6. Masruchah, Komisioner, Komnas Perempuan
7. Haris Azhar, Koordinator, KontraS
8. Muhammad Imdadun, Komisioner, Komnas HAM
LAMPIRAN II: JUMLAH KASUS PELANGGARAN TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA
Sumber: Wahid Institute
184
267278
0
50
100
150
200
250
300
2010 2011 2012
Wahid Institute
Wahid Institute
22
LAMPIRAN III:
JUMLAH KASUS PELANGGARAN TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA
Sumber: Komnas HAM
LAMPIRAN IV: KORBAN PELANGGARAN TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA
Sumber: Wahid Institute
84 83
68
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2010 2011 2012
Komnas HAM
Komnas HAM
19
47
13
2925
37
02
12
‐10
0
10
20
30
40
50
2010 2011 2012
Ahmadiyah
Kristen
Syiah
23
LAMPIRAN V: PELAKU PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA
Sumber: Wahid Institute
LAMPIRAN VI: PELAKU PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA
Sumber: Wahid Institute, 2013
87
122
166153
195 197
0
50
100
150
200
250
2010 2011 2012
Negara
Non‐Negara
38
52
17
24
52
76
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2010 2011 2012
FPI
MUI
Masyarakat/Publik
24
LAMPIRAN VII: CONTOH PERISTIWA DAN TINDAK PELANGGARAN
TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA
No Tanggal Lokasi Kasus Keterangan
01 15 Juli 2005
Parung, Bogor, Jawa Barat
Pelarangan aktivitas agama
Pertemuan tahunan jamaah Ahmadiyah yang diselenggarakan di Kampus Mubarok di Parung, Bogor, Jawa Barat dibubarkan oleh ribuan orang yang menamakan diri mereka Gerakan Umat Islam (GUI) yang terdiri dari beberapa ormas Islam, seperti pemuda NU, pemuda Muhammadiyah dan FPI, yang mengakibatkan kerusakan pada bangunan milik Ahmadiyah. Aparat keamanan harus mengungsikan pengikut Ahmadiyah.
02 20 Februari 2009
Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
Penyerangan Sejumlah 15 pengikut Salafiyah di Gerung, Lombok Baratharus diungsikan. Mereka mendapat ancaman dari masyarakat setempat dan rumah‐rumah mereka rusak akibat serangan dengan lemparan batu. Menurut warga setempat, tindakan anarkis tersebut dipicu oleh seorang pengikut Salafi yang menyebarkan informasi yang dianggap melecehkan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah.
03 11 Maret 2010 18 Maret
Bogor, Jawa Barat
Penyegelan tempat ibadah Perusakan tempat ibadah
Penyegelan atas GKI Yasmin oleh Pemkot Bogor. Pelarangan mendirikan tempat ibadah. Penyerangan terhadap GKI Yasmin di Bogor oleh massa Islam.
04 29 Juli 2010
Manislor, Kuningan
Penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah
Sebanyak 14 rumah dan Mushola Al Hidayah milik Jemaah Ahmadiyah di desa Manis Lor, Kuningan, mengalami kerusakan ringan dan berat menyusul serangan oleh ribuan orang dari ormas Islam di Kuningan di bawah Kompak (Koalisi Muslim Kabupaten Kuningan).
05 1 Agustus 2010
Jawa Barat Penyerangan Penyerangan terhadap jemaah HKBP di Ciketing oleh FPI.
06 31 Agustus 2010
Pembenaran kekerasan
Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa gerakan Ahmadiyah harus dibubarkan karena mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia. Keberadaannya bertentangan dengan inti ajaran Islam. Hal ini dikemukakan setelah bertemu dengan pimpinan MPR.
07 6 Februari 2011
Cikeusik, Pandeglang
Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah
Ratusan orang menyerang rumah salah seorang jemaah Ahmadiyah, menyebabkan kematian 3 orang pengikut Ahmadiyah, sementara 5 orang lainnya mengalami luka berat.
08 Februari‐Maret 2011
Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Banten
Pelarangan kegiatan Ahmadiyah
Dalam dua bulan terakhir, peraturan/surat keputusangubernur dikeluarkan oleh lima kepala daerah yaitu di Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan yang melarang Ahmadiyah untuk melaksanakan kegiatan keagamaan mereka.
09 20 Maret 2011
Jalan menuju GKI Yasmin diblokir pihak polisi
Jemaat GKI Yasmin terpaksa melaksanakan kegiatan keagamaan mereka di depan sebuah supermarket terdekat karena jalan menuju gereja diblokir pihak polisi.
10 17 Juni 2011
Batuplat, Kupang, Nusa Tenggara Timur
Diskriminasi/ penolakan pembangunan masjid
Puluhan tokoh pemuda, Lurah Batuplat dan Camat Alakbertemu dengan walikota. Mereka mengajukan keberatan terhadap pembangunan Masjid Nur Musafir karena persyaratan administrasi belum dipenuhi.
11 3 Mei 2012 Aceh Singkil Penyegelan gereja
17 gereja di Aceh Singkil disegel karena alasan tidak memiliki surat perizinan. Pada kenyataannya banyak dari
25
No Tanggal Lokasi Kasus Keterangan
gereja‐gereja tersebut telah berdiri puluhan tahun yang lalu. Gereja‐gereja disegel secara bertahap sejak 3 Mei 2012.
12 26 Agustus 2012
Sampang, Madura
Penyerangan terhadap pengikut Syiah
Ribuan orang menyerang pengikut Syiah sehinggamenyebabkan kematian satu orang sedangkan satu orang lainnya mengalami luka berat. Puluhan rumah dibakar dan 274 orang menjadi pengungsi.
13 24 Oktober 2012
Murah Meulia, Aceh Utara
Perusakan Pada jam 03:00 dini hari, orang‐orang tak dikenalmembakar sebuah pusat pesantren, bersama dengan tiga kamar di Pesantren Baitul Muarif di Gampong Meunasah Manyang`di Murah Meulia, Aceh Utara. Motif di balik serangan tersebut masih belum diketahui. Terdengar kabar bahwa sekolah agama di bawah pimpinan Tgk Zaikasyi tersebut menyebarkan ajaran sesat.
14 24 Desember 2012
Bekasi, Jawa Barat
Penyerangan atas jemaat HKBP Filadelfia
Para jemaat Gereja HKBP di Bekasi diserang olehsegerombolan orang ketika menyelenggarakan Kebaktian Natal. Massa melempar telur busuk, air seni dan air selokan pada jemaat tersebut. Kehadiran polisi sia‐sia saja karena petugas tidak melakukan apapun. Menyusul insiden itu, jemaat segera melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Tambun di Bekasi. Jemaat kemudian mengadakan Kebaktian Malam Natal mereka di kantor polisi.
15 17 Januari 2013
Bitung, Sulawesi Utara
Diskriminasi/ penolakan pembangunan masjid
Ribuan penduduk setempat di Girian, Bitung, Sulawesi Utara menggelar aksi protes menentang pembangunan sebuah masjid di wilayah mereka. Tetua adat dan para pemimpin agama Kristen hadir dalam demonstrasi tersebut.
16 21 Januari 2012
Jawa Timur Pengeluaran fatwa sesat
MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang menyatakan Syiah sebagai aliran sesat.
17 2 Mei 2012 Kampung Babakansari, Tasikmalaya
Perusakan, pembakaran
Masjid Al‐Mujahidin milik jemaah Ahmadiyah di KampungBabakansari, Tasikmalaya, Jawa Barat dibakar oleh kelompok tak dikenal. Mimbar, perlengkapan shalat dan kitab suci ikut terbakar.
18 13 Juli 2012
Desa Kemolan, Blora, Jawa Tengah
Penyerangan Ratusan warga di Blora terlibat dalam bentrokan denganjemaah Majelis Tafsir Al‐Quran (MTA) di Desa Kemolan, Blora, Jawa Tengah. Konflik ini dipicu oleh penolakan warga setempat terhadap acara keagamaan berskala besar yang diselenggarakan oleh MTA.
19 5 November 2012
Makassar, Sulawesi Selatan
Diskriminasi/ penolakan penyelenggaraan seminar
Seminar internasional yang diselenggarakan atas kerjasama antara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Kedutaan Besar Iran ditentang keras oleh ratusan pendukung FPI. Massa menuntut pembubaran seminar.
20 5‐6 Maret 2013
Sawang, Aceh Selatan
Penyerangan, penyegelan pesantren
Sejak Selasa malam 5 Maret 2013, Dayah Al‐Mujahadah di Sawang, Aceh Selatan dikepung 500 orang. Mereka mengepung pesantren tersebut karena Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Nanggroe Aceh Darussalam telah menyatakan bahwa ajaran Tengku Ahmad Barmawi, pemimpin pesantren, sebagai sesat. Menjelang tengah malam, aparat TNI tiba untuk membubarkan kerumunan massa. Namun, keesokan harinya, Rabu, 6 Maret 2013, kerumunan yang lebih besar berkumpul di pesantren sekolah. Pemerintah setempat langsung menyegel pesantren terebut.
21 2 April 2013
Pembenaran kekerasan
Menteri Agama Suryadharma Ali menyalahkan umat Kristen atas penutupan beberapa gereja di Indonesia karena mempolitisir masalah yang seharusnya hanya merupakan masalah administratif. Menurut Suryadharma seperti dikutip dari harian The Jakarta Post, umat Kristen bukan satu‐satunya yang menghadapi kesulitan dalam
26
No Tanggal Lokasi Kasus Keterangan
memperoleh izin untuk mendirikan rumah ibadah. Diamenyatakan bahwa umat Kristen mendapat perhatian lebih karena mereka lebih aktif dalam berbicara kepada pers.
22 4‐5 April 2013
Bekasi, Jawa Barat
Penyegelan tempat ibadah
Pemerintah Kota Bekasi menyegel Masjid Al‐Misbah milikjemaah Ahmadiyah di Bekasi. Jemaah melakukan perlawanan atas penyegelan tersebut. Sebanyak 37 pengikut Ahmadiyah memilih untuk tetap tinggal di masjid dan akhirnya terkunci di dalam. Empat belas di antaranya dievakuasi pada hari berikutnya.
23 21 April 2013
Tambora, Jakarta Barat
Diskriminasi/ penolakan pembangunan gereja
Sekelompok warga dari Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat keberatan dengan rencana pembangunan sebuah gereja. Gereja tersebut akan dibangun di atas lahan sekolah milik Yayasan Bunda Hati. Menurut warga setempat, rencana pembangunan gereja belum memperoleh izin.
24 15 Juni 2013
Bogor, Jawa Barat
Pembubaran diskusi
Konflik antara massa pendukung Lembaga Dakwah IslamIndonesia (LDII) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Pendukung LDII menyerang pengajian yang diselenggarakan oleh IMM di masjid kampus Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) di Bogor, Jawa Barat. Konflik ini dipicu oleh keberatan LDII atas materi yang disampaikan oleh mantan pengurus LDII yang berbicara tentang keberadaan LDII.
25 20 Juni 2013
Sampang, Jawa Timur
Pengusiran Dibawah tekanan ribuan orang dan pemerintah KabupatenSampang, sekitar 250 pengikut Syiah yang diungsikan ke GOR Sampang dipindahkan ke Sidoarjo. Pemerintah setempat menyediakan enam truk untuk mengangkut barang‐barang mereka. Puluhan polisi pamong praja harus mengumpulkan semua pengungsi yang menolak direlokasi.
Sumber: kompilasi dari laporan tentang kebebasan beragama yang diterbitkan Wahid Institute dan Setara Institute selama tiga tahun terakhir, dan dari berbagai sumber media lainnya.
27
LAMPIRAN VIII: PETA WILAYAH KONFLIK
LAMPIRAN IX: DAFTAR PERATURAN PELARANGAN AHMADIYAH DI DAERAH
NO DAERAH KEBIJAKAN
TINGKAT PROVINSI 1. Jawa Timur Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011 tertanggal 2
8 Februari 2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Provinsi Jawa Timur.
2. Banten Peraturan Gubernur Banten No. 5 Tahun 2011 tertanggal 1 Maret 2011 tentang Larangan Aktivitas Anggota Jemaah Ahmadiyah di Wilayah Provinsi Banten.
3. Sulawesi Selatan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No. 563/KPTS/BAN.KESANGPOL tertanggal 4 Maret 2011.
4. Jawa Barat 1) Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tertanggal 4 Maret 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat
2) Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 188.3/15‐Kesbangpol tertanggal 14 Maret 2011, kepada Seluruh Walikota/Bupati di Provinsi Jawa Barat tentang Tindak Lanjut Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12 Tahun 2011.
28
NO DAERAH KEBIJAKAN
5. Sumatera Barat Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 17 Tahun 2011 tertanggal 25 Maret 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Provinsi Sumatera Barat.
TINGKAT KABUPATEN/KOTA 1. Tasikmalaya 1) Surat Bupati Tasikmalaya kepada Presiden RI No. 450/174/KBL/2007 tertanggal 4
Juli 2007 perihal Usulan Pembekuan Organisasi dan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah. 2) Surat Bupati Tasikmalaya kepada Instansi Pemerintah Daerah Kebupaten
Tasikmalaya (Dandim, Kapolres, Kejari, Depag, Ketua MUI dan para Camat) No. 450/175/KBL/2007 tertanggal 4 Juli 2007 perihal Pengawasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah.
3) Keputusan Bersama Bupati, Kejari, Dandim 0612, Kapolres dan Kapolresta Tasikmalaya tentang Pernyataan Tidak Puas dan Teguran Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya.
2. Kabupaten Sukabumi
SKB No. 143 Tahun 2006 tertanggal 20 Maret 2006 tentang Penutupan Sementara Tempat‐Tempat Ibadah Jemaat Ahmadiyah di Indonesia di Kabupaten Sukabumi, ditandatangani oleh Bupati Sukabumi, Kepala Kejaksaan Negeri Cibadak, Kepala Kepolisian Resor Kota Sukabumi, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sukabumi dan Ketua MUI Kabupaten Sukabumi.
3. Cianjur SKB No. 21 Tahun 2005 tertanggal 17 Oktober 2005 tentang Larangan Melakukan Aktivitas Penyebaran Ajaran Faham Ahmadiyah di Kabupaten Cianjur.
4. Kuningan SKB tertanggal 3 November 2002 tentang Pelarangan Aliran/Ajaran Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Wilayah Kabupaten Kuningan yang ditandatangani oleh MUSPIDA, Pimpinan DPRD, MUI, dan Pimpinan Pondok Pesantren serta Ormas Islam Kabupaten Kuningan.
5. Garut SKB No. 450/Kep. 225 PEM/2005 tentang Pelarangan Kegiatan Ajaran Ahmadiyah di Wilayah Kabupaten Garut yang ditandatangani oleh Bupati Garut, Kepala Kejaksaaan Negeri Garut, Kepala Kepolisian Resor Garut dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut.
6. Kabupaten Bogor
1. Surat Pernyataan Bersama tertanggal 20 Juli 2005 tentang Pelarangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah di Indonesia di Wilayah Kabupaten Bogor yang ditandatangani oleh Bupati Bogor, Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Dandim 0621 Bogor, Kepala Kejaksaan Negeri Cibinong, Kepala Kepolisian Resor Bogor, Ketua Pengadilan Negeri Bogor, DANLANUD ARS, dan Kepala Kantor Departemen Agama dan MUI Kabupaten Bogor.
2. Surat DPRD Kabupaten Bogor No. 170/85‐DPRD tertanggal 18 Juli 2005 tentang Rekomendasi Penutupan dan Pelarangan Akitvitas Jemaah Ahmadiyah.
7. Kota Bogor Surat Keputusan Walikota Bogor No. 300.45‐122/2011 tertanggal 3 Maret 2011 tentang Pelarangan Kegiatan di Kota Bogor.
8. Depok Peraturan Walikota Depok No. 9 Tahun 2011 tertanggal 9 Maret 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Kota Depok.
9. Kuningan 1) Surat Keputusan Bersama (SKB) I, yang ditandatangani oleh Bupati Kuningan, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Ketua Pengadilan Negeri, Komandan KODIM, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kuningan, dan MUI, tertanggal 3 November 2002, yang pada intinya Melarang Penyebaran Ajaran Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan.
2) Surat Keputusan Bersama (SKB) II, yang ditandatangani oleh Bupati Kuningan, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Ketua Pengadilan Negeri, Komandan KODIM, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kuningan, dan MUI, tertanggal 3 Januari 2005, tentang Larangan Seluruh Kegiatan Ajaran Ahmadiyah dan Semua Aktivitas Keagamaannya yang Bertentangan dengan Ajaran Islam di Kabupaten Kuningan.
10. Pandeglang Peraturan Bupati Pandeglang No. 5 Tahun 2011 tertanggal 21 Februari 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Pandeglang.
29
NO DAERAH KEBIJAKAN
11. Serang Peraturan Bupati Serang No. 8 Tahun 2011, tertanggal 10 Maret 2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Serang.
12. Lebak Peraturan Bupati Lebak No. 11 Tahun 2011 tertanggal 8 Maret 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Kabupaten Lebak.
13. Lombok Timur
1) Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Negeri Selong No. Kep. 11/IPK.32.2/L‐2.III.3/11/83 tertanggal 21 November 1983 tentang Larangan terhadap Kegiatan Jemaah Ahmadiyah di Cabang Pancor, Lombok Timur.
2) Surat Edaran Bupati No. 045.2/134/KUM/2002 tentang Penegasan Kembali Pelarangan Ajaran Ahmadiyah dan Pengambilan Tindakan Tegas oleh Pimpinan Pemkab atas Pelanggaran terhadap Larangan sesuai Ketentuan Undang‐Undang.
14. Lombok Barat
1) Surat Keputusan Bupati Lombok Barat tertanggal 10 Juli 2001 No. 35 Tahun 2001 tentang Pelarangan dan Penghentian Penyebaran Ajaran/Faham Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Barat.
2) Kesepakatan Tim Lima: Kepala Kantor Departemen Agama Lombok Barat, Ketua MUI Lombok Barat, Camat Lingsar, Penasehat Organisasi Ahmadiyah Wilayah Nusa Tenggara, dan Ketua DPW Ahmadiyah, tertanggal, 14 Februari 2006.
15. Mataram Seruan Walikota Mataram No. 008/283/X/NKOM/02 tertanggal 10 Oktober 2002 perihal Pengungsi Jemaah Ahmadiyah dari Lombok Timur.
16. Pekanbaru 1) Surat Walikota No. 450/BKBPPM/636 tertanggal 12 Oktober 2010, kepada Sdr. Agus Sumarsono (Pimpinan Jemaah Ahmadiyah Pekanbaru) perihal Menghentikan Kegiatan Ahmadiyah di Kota Pekanbaru.
2) Surat Walikota No. 450/BKBPPM/794 tertanggal 16 November 2010, kepada Sdr. Agus Sumarsono (Pimpinan Jemaat Ahmadiyah Pekanbaru) perihal Menghentikan Kegiatan Ahmadiyah di Kota Pekanbaru.
17. Kampar (Riau) Surat Bupati Kampar No. 450/PUM/2011/68 tertanggal 16 Februari 2011 kepada Sdr. Supiandi dan Sdr. Sukarto (Pimpinan Jemaat Ahmadiyah di Koto Bangun dan Koto Baru, Kec.Tapung Hilir, Kabupaten Kampar‐Riau) perihal Menghentikan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah.
18. Samarinda Surat Keputusan Walikota Samarinda No. 200/160/BKPPM.1/11/2011 tertanggal 25 Februari 2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaah Ahmadiyah di Kota Samarinda.
19. Pontianak Peraturan Walikota Pontianak No. 17 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaah Ahmadiyah di Kota Pontianak.
20. Konawe Selatan Peraturan Bupati Konawe Selatan No. 1 Tahun 2011 tertanggal 17 Maret 2011tentang Larangan Aktivitas Jemaah Ahmadiyah di Kabupaten Konawe Selatan.
21. Banjarmasin Surat Walikota Banjarmasin tertanggal 1 Maret 2011 tentang Larangan Aktivitas di Kota Banjarmasin.
22. Kota Bekasi Peraturan Walikota Bekasi No. 40 Tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Kota Bekasi, tertanggal 13 Oktober 2011.
Sumber: LBH Jakarta