CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

122
CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: STUDI KASUS THE WAHIDINSTITUTE Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Syaefullah 107033201757 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

Page 1: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA

DI INDONESIA: STUDI KASUS THE WAHIDINSTITUTE

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Syaefullah

107033201757

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

Page 2: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …
Page 3: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …
Page 4: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …
Page 5: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

i

ABSTRAK

Skripsi ini memfokuskan pada pembahasan The Wahid Institute sebagai

civil society dalam memperjuangkan kebebasan beragama, toleransi, dan nilai-

nilai demokrasi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa peran The Wahid

Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan melindungi kelompok

minoritas. Hal ini sesuai dengan visi The Wahid Institute yakni mewujudkan cita-

cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun kehidupan

bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, serta umat manusia yang berkeadilan

sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan Hak

Asasi Manusia (HAM) yang diinspirasi oleh Islam.

Penelitian ini menggunakan studi pustaka dan wawancara dengan Ahmad

Suaedy Direktur The Wahid Institute, Subhi Azhari Monitoring dan Advokasi The

Wahid Institute, dan Alamsyah M. Dja’far Kampanye dan Media The Wahid

Institute. Penelitian ini menjelaskan, bahwa The Wahid Institue rutin melakukan

advokasi terhadap korban kekerasan agama, aliran kepercayaan, rumah ibadah,

dan kelompok minoritas. Salah satu pembelaan yang dilakukan The Wahid

Institute ialah kepada Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor,

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, aliran Syiah di

Sampang, Madura, dan kasus Ahmadiyah Cikeusik Banten.

Dalam skripsi ini menggunakan strategi yang dilakukan oleh kelompok

kepentingan dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan keadilan

sosial. Pertama, melalui penegak hukum. Kedua, pendekatan terhadap

pemerintah. Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke publik.

Kelima, demonstrasi, dan keenam, menyuarkan protes. Dengan kerangka teori

tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjungan The Wahid Institute bisa terwujud

dengan melakukan pendekatan kepada aparat pemerintah maupun lembaga

penegakan hukum.

Page 6: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Besar

Muhammad SAW. Penulis dapat menyelesaikan salah satu kewajiban akademik

yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang

ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul “Civil

Society dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid

Institute”. Adapun ucapan terima kasih penulis haturkan yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku dosen pembimbing, dan Sekretaris

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Kepada seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Ilmu Politik yang

telah banyak memberikan ilmunya selama penulis menempuh proses

perkuliahan.

Page 7: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

iii

5. Kepada Bapak Ahmad Suaedy, Bapak M Subhi Azhari, dan Bapak

Alamsyah M. Dajafar yang telah meluangkan waktunya untuk bersedia di

wawancara, serta kepada staf The Wahid Institute yang telah memberikan

data-data mengenai isu kekerasan agama.

6. Kepada kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang serta

doanya.

7. Kepada kawan-kawan diskusi Indonesian Culture and Academic (INCA),

Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), dan teman-teman Ilmu Politik

angkatan 2007, Adi Ridwan, Siswo, Beni Azhar, Lupih Nurhadi, Deni

Humaidi, Adik Saiful Safkri, Neneng, Siti Masitoh.

Semoga Allah SWT Yang Maha Pemurah dapat memberikan petujuk dan

hidayah-Nya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak kekuranagan

dalam melakukan penelitian ini, oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan

saran dari dosen, pembimbing, dan penguji.

Jakarta, 1 Januari 2014

Penulis

Syaefullah

Page 8: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ................................................................... 1

B. Pertanyaan Penelitian ................................................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 9

D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9

E. Metodologi Penelitian................................................................ 11

F. Sistematika Penelitian ............................................................... 12

BAB II CIVIL SCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA

A. Konsep Civil Society ................................................................. 14

B. Civil Society dan Demokrasi .................................................... 22

C. Kebebasan Beragama ............................................................... 26

BAB III THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA

A. Sejarah Singkat The Wahid Institute ......................................... 31

B. Visi dan Misi The Wahid Institute ............................................ 37

C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia ...................................... 40

C.1 Pluralisme ........................................................................... 40

C.2 Toleransi ............................................................................. 44

BAB IV PERAN THE WAHID INSTITUTE TERHADAP KEBEBASAN

BERAGAMA DI INDONESIA

A. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor ....................... 54

B. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi ............ 59

Page 9: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

v

C. Aliran Syiah di Sampang Madura ............................................ 64

D. Ahmadiyah di Cikeusik Banten ............................................... 68

E. Tantangan The Wahid Institute dalam Memperjuangkan

Kebebasan Beragama di Indonesia ........................................ 74

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan ............................................................................. 78

B. Saran ....................................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... ix

LAMPIRAN.................................................................................................... xviii

Page 10: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

vi

DAFTAR TABEL

Tabel I Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2010 .................................. 50

Tabel II Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2011 .................................. 51

Tabel III Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2012 .................................. 52

Page 11: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

vii

DAFTAR SINGKATAN

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

AD/ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

AKKB : Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

AS : Amerika Serikat

BASRA : Badan Urusan Silaturahmi Ulama

CMARs : Center Marginalized Communites Studies

DEPAG : Departemen Agama

DPRD : Dewan Parwakilan Rakyat Daerah

FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama

FKUI : Forum Kerukunan Umat Islam

FORDEM : Forum Demokrasi

GKI : Gereja Kristen Indonesia

GOLKAR : Golongan Karya

GOR : Gelanggang Olahraga

HAM : Hak Asasi Manusia

HKBP : Huria Kristen Batak Protestan

ICCPR : International Covenant on Civil Political Right

ICMI : Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

ICRP : Indonesian Conference on Religion and Peace

IMB : Izin Mendirikan Bangunan

INPRES : Instruksi Presiden

JAI : Jamaah Ahmadiyah Indonesia

KEMENAG : Kementrian Agama

KOMNASHAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

KTP : Kartu Tanda Penduduk

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana

LBH : Lembaga Bantuan Hukum

LSI : Lembaga Survey Indonesia

Page 12: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

viii

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MA : Mahkamah Agung

MENDAGRI : Menteri Dalam Negeri

MUI : Majlis Ulama Indonesia

MUNAS : Musyawarah Nasional

NI : Negara Islam

NU : Nahdlatul Ulama

ORBA : Orde Baru

ORMAS : Organisasi Masyarakat

PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

PCNU : Pimpinan Cabang Nahdaltul Ulama

PEMDA : Pemerintah Daerah

PEMKOT : Pemerintah Kota

PERDA : Peraturan Daerah

PERGUB : Peraturan Gubernur

PMB : Peraturan Menteri Bersama

PN : Pengadilan Negeri

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negeri

RI : Republik Indonesia

SDI : Syarikat Dagang Islam

SDI : Serikat Dagang Islam

SEJUK : Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman

SK : Surat Keputusan

SKB : Surat Keputusan Bersama

UU : Undag Undang

UUD : Undang Undang Dasar

YLBHI : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Page 13: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

The Wahid Institute merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

bertujuan mengembangkan Islam yang damai, toleransi, penegakan hukum,

multilkulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi. Mulai tahun 2005, The Wahid

Institute melakukan pendokumentasian terkait isu kebebasan beragama di

Indonesia.1

Sejak berdiri pada 7 September 2004, The Wahid Institute memiliki visi

yang sesuai dengan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk

membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang berkeadilan

sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan

Hak Azasi Manusia (HAM) yang diinspirasi nilai-nilai Islam.2

Dalam kiprahnya, selama ini The Wahid Institute rutin melakukan

pemantauan yang difokuskan kepada penggalian data dan informasi. Seperti kasus

Ahmadiyah di Cikeusik Banten, aliran Syiah di Sampang Madura, sengketa rumah

ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor dan Huria Kristen

Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, serta pembelaan terhadap korban

1 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di

Indonesia 2010 (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), ii. 2 The Wahid Institute, http://www.wahidinstitute.org/Tentang_Kami, diunduh pada 2

Januari 2013.

Page 14: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

2

kekerasan dan kebebasan beragama di Indonesia.3 Oleh karena itu, The Wahid

Institute mempunyai peran yang signifikan terhadap kebebasan beragama,

multikulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi.

Setidaknya ada dua peran penting yang dilakukan oleh The Wahid Institute,

yaitu, pertama, yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran kebebasan beragama

di Indonesia. Kedua, berkaitan dengan masa depan kebebasan beragama di Tanah

Air.4

Akhir-akhir ini banyak aksi kekerasan, penganiayaan, dan anarki sosial

yang mengatasnamakan agama. Selain itu, perusakan tempat ibadah dari aliran

kepercayaan, kelompok minoritas dan penodaan kegiatan ritual keagamaan yang

kerap terjadi di sejumlah tempat di Indonesia adalah bukti nyata tidak

terbantahkan.5

Di antara banyaknya aksi kekerasan di Indonesia, pertama, kasus Gereja

Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Selama ini,

pendirian rumah ibadah GKI Yasmin Bogor telah diizinkan oleh Pemerintah

Daerah (Pemda) pada 13 Juli 2006. Walikota Bogor telah mengeluarkan Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) melalui Surat Keputusan Walikota Nomor 645.8-

372 Tahun 2006.6

3 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di

Indonesia 2010, 1. 4 The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan

Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 12. 5 Departemen Agama RI, Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama di

Indonesia, Seri II (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan

Puslitbang Kehidupan Beragama, 2011), 82. 6 Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan

Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen

HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin) (Jakarta: Kontras, 2012), 18.

Page 15: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

3

Pada 10 Februari 2008, pembangunan rumah ibadah GKI Taman Yasmin

tersebut menuai protes dan unjuk rasa bertajuk “selamatkan aqidah umat” yang

berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota

Bogor dan Balai Kota Bogor. Acara ini dihadiri oleh organisasi masyarakat

(ormas) Islam Kota Bogor yang dikoordinir oleh Forum Umat Islam (FUI) dan

warga sekitar perumahan Taman Yasmin dan Tanah Sareal, Bogor. Mereka

menuntut pembubaran Ahmadiyah di Bogor dan penolakan terhadap

pembangunan tempat ibadah GKI Taman Yasmin dan Gereja Huria Kristen Batak

Protestan (HKBP) Tanah Sareal tersebut.

Akhirnya tuntutan diterima oleh Pemerintah Kota Bogor. Pada 14 Februari

2008, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor 503/367/208-OTK Perihal Pembekuan IMB Gereja GKI

Taman Yasmin. Pada Tanggal 25 Februari 2008, Wali Kota Bogor mengeluarkan

surat Nomor 503/367/HUK Perihal Pembatalan Rekomondasi Walikota yang

tertera dalam Surat Keputusan Walikota Nomor IMB601/389/Pem Perihal

Pembangunan GKI Taman Yasmin.7

Kedua, kasus penyegelan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi Jawa Barat.

Selama dua tahun jemaat HKBP Filadelfia tidak bisa menjalankan ibadah

sebagaimana mestinya. Mereka beribadah di tepi jalan Desa Jejalen Jaya,

Tambun, Bekasi, karena bangunan HKBP Filadefia disegel berdasarkan Peraturan

Daerah (Perda) No. 7 Tahun 1996. Kemudian jemaat HKBP Filadelfia

melaporkan kasus ini ke PTUN Bandung pada tahun 2010. Pengadilan Tata Usaha

7 Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan dan Hak Atas

Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat,

Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin), 20.

Page 16: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

4

Negeri (PTUN) Bandung pun mengabulkan tuntutan HKBP Filadelfia. PTUN

menganggap bahwa penghentian dan pelarangan kegiatan ibadah melanggar HAM

dan UUD 1945.8

Ketiga, kekerasan terhadap aliran Syiah. Peristiwa ini terjadi pada Kamis 29

Desember 2011. Sekitar 500 massa yang mengatasnamakan pengikut aliran Sunni

merusak pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang

Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Atas kejadian tersebut, 253 warga

Syiah diungsikan ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Wijata Kusuma, Sampang

Madura.

Peristiwa ini adalah kasus kedua yang terjadi pada bulan April 2011. Saat

itu masyarakat tidak setuju dengan keberadaan Syiah karena ajarannya yang

bertentangan dengan Islam. Dalam perkembangannya mereka mengancam warga

Syiah untuk; 1) Menghentikan semua kegiatannya dan kembali kepada ajaran

Islam. 2) Meninggalkan (di usir) wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan. 3) Jika

dua poin tersebut tidak dilaksanakan, maka jemaat Syiah harus mati.9

Setelah menerima tindakan kekerasan dan penyerangan, Roisul Hukama

melaporkan Ustadz Tajul Muluk selaku pimpinan Syiah ke Polres Sampang atas

tuduhan penodaan agama, khususnya pernyataan bahwa Al-Qur’an tidak asli lagi.

Akibatnya Tajul Muluk dipidana selama dua tahun penjara. Menurut Majelis

Hakim Pengadilan Negeri, Tajul Muluk melakukan penyebaran ajaran Syiah di

8 The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember

2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 10. 9 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011,

(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011),

29.

Page 17: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

5

Mushola dan Masjid dengan mengajarkan bahwa rukun Islam ada 8 dan rukun

iman ada 5. Lalu, Tajul Muluk mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi

(PT) Jawa Timur malah memperberat hukuman kepada Tajul Muluk menjadi 4

tahun penjara.10

Keempat, kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6

Februari 2011. Kejadian ini megakibatkan tiga orang meninggal dunia, lima orang

luka-luka, dan satu rumah milik jemaat Ahmadiyah rusak. Kasus penyerangan

terhadap jemaat Ahmdiyah di Cikeusik Banten, merupakan kekerasan terbesar

terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

Akibat kasus Ahmadiyah di Cikeusik tersebut, mulai berkembang aturan

yang membatasi kegiatan jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Misalnya, Surat

Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa

Agung, Peraturan Bupati (Perbub) Pandeglang, Banten Erwan Kurtubi, No. 5

Tahun 2011, tanggal 21 Februari 2011, dan Peraturan Gubernur (Pergub) Banten

Ratu Atut Chosiyah No. 5 Tahun 2011, tanggal 11 Maret 2011 tentang pelarangan

Ahmadiyah.11

10

Uli Parulian Sihombing, Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-Kasus

Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia (Jakarta, Setara

Institute, 2012), 55. 11

Peraturan Bupati Pandeglang Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan melakukan aktivitas

atau kegiatan dalam bentuk apapun di wilayah Kabupaten Pandeglang. Kegiatan dimaksudkan

sebagai bentuk penyebaran faham, menceritakan, menganjurkan atau segala usaha, upaya

perbuatan penyebaran paham. Alasan, untuk menjaga dan memelihara kondusifitas dan stabilitas

keamanan, ketenteraman dan ketertiban di Kabupaten Pandeglang Banten. Kemudian, peraturan

Gubernur Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan kepada penganut dan pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indnesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, melakukan aktivitas atau kegiatan berupa

penyebaran ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, langsung mapun melalui media cetak ataupun

media elektronik; memasang papan nama atau identitas lain Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

yang dapat diketahui umum; memasang nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan lain-

lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI); menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah

Page 18: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

6

Menyikapi kasus di atas tersebut, The Wahid Institute melakukan

perjuangan pembelaan terhadap korban kekerasan dan kelompok minoritas.

Antara lain; pertama, mendesak kepada pemerintah untuk lebih tegas menghadapi

organisasi masyarakat (ormas) pelaku kekerasan atas nama agama. Kedua,

pengaturan mengenai agama oleh pemerintah baik pusat maupun daerah harus

melibatkan kelompok minoritas yang menjadi objek kekerasan. Ketiga, mendesak

Presiden agar memerintahkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk

merevisi dan mencabut peraturan yang bertentangan dengan kebebasan beragama

dan berkeyakinan.12

The Wahid Institute menilai negara tidak tegas dalam menangani kasus

kekerasan dan kebebasan beribadah. Negara absen, lalai, dan lambat dalam

mengatasi kasus kekerasan yang bernuansa SARA. Bahkan, negara dinilai sebagai

aktor kekerasan yang kerap kali melakukan intimidasi terhadap kelopok minoritas,

aliran kepercayaan, dan rumah ibadah di Indonesia.13

Dalam hal ini, ada dua bentuk cara negara dalam melakukan pelanggaran.

Pertama, dengan cara tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan,

pembedaan, campur tangan, atau membatasi hak-hak seseorang dalam beragama

dan berkeyakinan. Kedua, dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi

Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya; menyebarkan dan menafsirkan kegiatan menyimpang

dari pokok-pokok ajaran Islam. The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama

Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute,

2011), 33-34. 12

The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan

Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 11. 13

Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Mengatur Kehidupan Beragama:

Menjamin Kebebasan, Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyainan

(Jakarta: Setara Institute, 2011), 44.

Page 19: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

7

terlanggar, termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang tidak diproses secara hukum.14

Tindakan yang dilakukan oleh aktor negara tersebut melanggar UUD

Negara RI 1945 Pasal 28 I ayat (1), Pasal 28 E, dan UU No. 29 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 4.15

Kebebasan untuk memilih agama

atau kepercayaan tertentu merupakan hak setiap orang untuk menentukan pilihan

sesuai dengan keimanan yang diyakininya. Semua orang berhak memiliki hak atas

berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini juga mencakup akan kebebasan

memeluk agama, baik secara individu maupun secara kolektif dan di ranah publik

maupun privat.16

Secara historis, jauh sebelum kemerdekaan para founding father menyikapi

dan menghormati perbedaan keyakinan tersebut dengan baik. Gagasan yang

dibangun dengan merumuskan “Bhineka Tunggal Ika” untuk mewujudkan cita-

14

Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Politik Diskriminasi Rezim Susilo

Bambang Yudhoyono, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: Setara

Institute, 2012), 19. 15

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan:“Setiap orang bebas

memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih

pekerjaan, memilih kewarganegaraan. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa

setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga

diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2)

UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk

memeluk agama. Sementara Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM; “ hak untuk hidup, hak

untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaa di hadapan hukum, dan hak untuk

tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” Lihat Undang-Undang Dasar 1945, dan UU

Tahun 1999. 16

Sukron Kamil dan Chaidir S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda

Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan non-Muslim (Jakarta, Center For

Studi Religion and Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 15.

Page 20: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

8

cita luhur bangsa.17

Hal ini sesuai dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif,

bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, semua prinsipnya dapat

diterima Islam.18

Etos Islam saling menghargai akan perbedaan, egaliterian,

humanisme, dan pluralistik.

Salah satu syarat terwujudnya masyarakat yang demokratis adalah

terwujudnya masyarakat yang majemuk atau pluralis. Kemajemukan merupakan

sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk memiliki budaya dan

aspirasi beraneka ragam, tetapi mereka harus memiliki kedudukan yang sama,

serta tidak ada superioritas etnis, agama, suku, dan kelompok yang lainnya.19

Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai peran The Wahid Institute

terhadap kebebasan beragama di Indonesia, maka dalam skripsi ini akan

memfokuskan pembahasannya pada tema “Civil Society dan Kebebasan

Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.”

B. Pertanyaan Penelitian

Fokus penelitian ini mengenai tema “Civil Society dan Kebebasan Beragama

di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.” Maka penelitian ini akan

menganalisa tentang kebebasan beragama di Indonesia. Oleh karena itu, rumusan

masalahnya dibatasi pada:

1. Bagaimana The Wahid Institute sebagai civil society memperjuangkan

kebebasan beragama di Indonesia?

17

Tohirin el-Ashary, “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme,” Buletin Kebebasan

“Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No.

03/V/2007), 11. 18

Lutfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 137. 19

Nur Achmad, Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman (Jakarta: Kompas,

2001), 11.

Page 21: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

9

2. Apa tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan

beragama di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini, pertama, mengetahui konsep civil society di

Indonesia. Kedua, untuk mengetahui bagaimana perjuangan The Wahid Institute

terhadap nilai-nilai kebebasan beragama di Indonesia. Ketiga, mengetahui

tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di

Indonesia Selain itu, tujuan penelitian ini ingin memotret The Wahid Institute

sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kajian,

penelitian, isu HAM, kekerasan yang mengatasnamakan agama, kelompok

minoritas, kebebasan beragama, dan nilai-nilai demokrasi.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah ingin mengetahui konsep

kebebasan beragama dan pentingnya nilai-nilai dalam kehidupan beragama

maupun dalam bernegara. Kemudian ingin mengetahui konsep civil society di

Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Pembahasan dalam penelitian ini didasari oleh penelitian Ihsan Ali-Fauzi

dan Saiful Mujani tentang “Gerakan Kebebasan Sipil Studi dan Advokasi Kritis

atas Perda Syari’ah.” Penelitian ini bekerja sama dengan Lembaga Survey

Indonesia (LSI), Freedom Institute, Indonesia Institute, dan Jaringan Islam Liberal

(JIL).

Penelitian ini membicarakan peran gerakan sosial terhadap Perda Syari’ah

yang mengancam kebebasan sipil dan kebebasan beragama di Tanah Air. Hasil

Page 22: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

10

penelitiannya adalah advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil mengenai

Perda Syari’ah di Pandeglang, Banten, setidaknya perda-perda Syari’ah mulai di

perdebatkan kembali mengenai perlu atau tidaknya perda-perda itu direvisi atau

dihapuskan.

Namun di Bulukumba, Padang, ternyata kegiatan advokasi yang dilakukan

oleh masyarakat sipil mengalami kontraproduktif. Dukungan mengenai perda-

perda Syari’ah yang sudah merosot selama satu-dua tahun, kini mulai menguat

kembali dengan adanya kegiatan advokasi perda Syariah tersebut.20

Penelitian lain dilakukan oleh Aniqotul Ummah dalam skripsinya,

“Advokasi ICRP sebagai Civil Society terhadap Kasus Ahmadiyah di Indonesia.”

Skripsi ini memfokuskan perjuangan Indonesian Conference on Religion and

Peace (ICRP) terhadap jemaat Ahmdiyah. Hasil penelitiannya adalah pertama,

pemerintah tidak berani menentukan sikap terhadap Ahmadiyah. Hal ini terlihat

lamanya proses pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah

mengenai Ahmadiyah. Misalnya, penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB)

Ahmadiyah yang harus diundur beberapa kali karena rumitnya masukan dari

berbagai pihak.

Kedua, di internal jemaat Ahmadiyah sendiri terjadi pergeseran yang

semula komunitas Ahmadiyah tertutup dan bersikap mengalah jika berhadapan

dengan negara, maka dengan adanya advokasi yang dilakukan oleh ICRP

20

Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis

atas Perda Syari’ah (Jakarta: Nalar, 2009).

Page 23: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

11

setidaknya jemaat Ahmadiyah lebih terbuka dan membangun jejaring dengan

agama-agama lain.21

D. Metodologi Penelitian

Skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang

menggunakan pengumpulan data melalui wawancara dan studi pustaka. Pertama,

pendekatan kualitatif adalah penelitian empiris yang data-datanya bukan

berbentuk angka.22

Kedua, wawancara (interview) dengan cara tanya-jawab.

Tujuan wawancara adalah mengumpulkan data atau informasi (keadaan,

gagasan/pendapat, sikap/tanggapan, keterangan dan sebagainya) dari pihak The

Wahid Institute terkait dengan perannya dalam melakukan pembelaan terhadap

kebebasan beragama di Indonesia.23

Ketiga, studi pustaka, yang bertujuan

memperoleh data bacaan buku-buku, jurnal, buletin, majalah, dan artikel yang

termuat di berbagai media cetak maupun media elektronik.

Beberapa referensi atau daftar pustaka yang menjadi sumber dalam skripsi

ini adalah; Laporan Tahunan The Wahid Institute, Laporan Setara Institute,

Laporan Tahunan Center for Religion and Cross-culture Studies (CRCS) UGM,

Kontroversi Gereja di Indonesia CRCS UGM, jurnal Titik-Temu Dialog

Peradaban Nucholis Madjid Society (NMSC) Paramadina, buletin Kebebasan

Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Majalah Tempo, dan untuk sumber media

eloktronik website www.wahidinstitute.org.

21

Aniqotul Ummah, Advokasi ICRP Sebagai Civil Society Terhadap Kasus Ahmadiyah di

Indonesia (Jakarta: FISIP UIN JAKARTA, 2012) 22

Lorain e Blaxter, dkk., How To Research Seluk-Beluk Melakukan Riset (Jakarta: PT.

Indexs Kelompok Gramedia, 2006), 93. 23

Arif Subiantoro, dan FX Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial (Yogyakarta:

Penerbit ANDI, 2007), 97.

Page 24: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

12

Sedangkan data primer skripsi ini, diperoleh melalui wawancara dengan

narasumber langsung dengan Ahmad Suaedy Direktur Eksekutif The Wahid

Institute, Subhi Azhari divisi Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute, dan

Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye. Wawancara ini diharapkan

mampu menggali signifikansi peran The Wahid Institute terhadap kebebasan

beragama di Indonesia.

Sementara itu, teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan analisis

data yang bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analisis yang

bertujuan menggambarkan The Wahid Institute dalam memperjuangkan

kebebasan beragama di Indonesia. Pengumpulan data, perumusan masalah, dan

penulisan dalam skripsi ini kemudian disesuaikan dengan standar panduan

penyusunan proposal dan penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.24

E. Sistematika Penelitian

Agar penulisan ini terarah dan lebih sitematis, maka penelitian ini dibagi

menjadi lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Pada Bab Pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang

menjelaskan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan

sistematika penelitian.

Bab Kedua, berisi gambaran umum tentang civil society serta civil society

dan demokrasi, strategi kelompok kepentingan, yang menjelaskan peran civil

24

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, Panduan Penyusunan

Proposal dan Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2012), 12.

Page 25: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

13

society terhadap nilai-nilai demokrasi, dan pembahasan tentang kebebasan

beragama.

Bab Ketiga, menjelaskan sejarah singkat berdirinya The Wahid Institute,

visi dan misi, toleransi dan pluralisme di Indonesia.

Bab Keempat, dalam bab ini membahas peran The Wahid Institute dalam

memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Terkait kasus rumah ibadah

GKI Taman Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, Syiah di Sampang

Madura, Ahmadiyah di Cikeusik Banten, dan tantangan The Wahid Institute

dalam memperjuangkan kebebasan beragama.

Bab Kelima, bab penutup yang membahas kesimpulan permasalahan yang

dihadapi dan penulis mengajukan beberapa saran.

Page 26: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

14

BAB II

CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA

A. Konsep Civil Society

Secara harfiah, civil society sendiri adalah terjemahan dari istilah latin,

civilis societas. Istilah ini pada awalnya digunakan oleh Cicero (106–43 S.M) –

seorang orator dan pujangga Roma yang hidup pada abad pertama sebelum

Kristus. Menurut Cicero, civil society bisa disebut sebagai sebuah masyarakat

politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengakuan

hidup. Konsep Cicero mencakup kondisi masyarakat yang memiliki budaya dan

menganut norma-norma kesopanan tertentu.1

Sejauh ini terdapat beberapa perkembangan penafsiran civil society dari

berbagai pemikir sosial dan politik. Konsep civil society pertama kali dicetuskan

oleh filsuf Yunani, Aristoteles, yang lahir di Semenanjung Kalkidike di Trasia

(Balkan) pada tahun 384 S.M, dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M.2

Aristoteles menggunakan istilah koinonia politike, atau dalam bahasa Latin

societas civilis, yang berarti masyarakat politik (political society).

Istilah koinonia politike ini digunakan oleh Aristoteles untuk

menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis warga negara yang

mempunyai kedudukan sama di depan hukum.3 Selain itu, istilah koinania politike

1 M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan

Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 137. 2 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta, UI-Press dan Tintamas, 1986), 115.

3 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan

Cita-cita Reformasi (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999), 47.

Page 27: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

15

ialah komunitas politik tempat warga terlibat langsung dalam berbagai ajang

ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.

Dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan

Aksi Ornop di Indonesia, konsep civil society kemudian dikembangkan oleh

Thomas Hobbes (1588-1679)4 dan John Locke (1632-1704).

5 Menurut Hobbes,

civil society yang identik dengan negara merupakan perwujudan dari kekuasaan

absolut. Civil society hadir untuk meredam konflik agar tidak terjadi chaos dan

tindakan anarki. Civil society berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi perilaku

politik warga yang memiliki kekuasaan mutlak. Sedangkan menurut John Locke,

civil society berfungsi untuk menjaga kebebasan warga dan melindungi hak-hak

milik individu.6

Pemahaman civil society merupakan sebuah gagasan yang menjadi interest

para filsuf pencerahan. Salah satu tokohnya adalah Adam Ferguson (1776), filsuf

dari Skotlandia, yang memahami civil society sebagai ”sebuah visi etis dalam

berkehidupan bermasyarakat.” Ferguson menggunakan istilah ini untuk

4 Thomas Hobbes adalah pemikir politik abad ke XVII, gagasanya berkaitan dengan negara

dan kekuasaan. Hobbes mengibaratkan negara sebagai Leviathan, atau sejenis monster yang ganas

dan memberi rasa takut kepada siapa yang melanggar hukum, Leviatan tidak segan-segan untuk

menjatuhi vonis hukuman mati. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah

Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2004), 165. 5 John Locke adalah seorang pemikir politik dengan gagasan besarnya adalah kemerdekaan

individu serta Hak Asasi Manusia (HAM) yang di tulis dalam karyanya Two Treatises of

Government. Karyanya tersebut menjadi rujukan wacana politik demokrasi di Amerika. Locke

juga sebagai peletak dasar negara konstitusional dan penganjur konstitusional di zaman modern.

Locke sendiri dilahirkan 29 Agustus 1632 di Wrington, sebuah desa di Somerset Utara, Inggris

Barat. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran

Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 181-182. 6 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia,

(Jakarta: LP3ES, 2006), 44-45.

Page 28: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

16

mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan

munculya kapitalisme.

M. A.S Hikam dalam buku Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil

Society, mengutip pendapat Ferguson yang mengatakan bahwa munculnya

ekonomi pasar dapat melunturkan tanggung jawab publik terhadap sesama warga

negara karena kecenderungan pemuasan kepentingan pribadi. Oleh karena itu,

civil society dapat menghalangi munculnya tindakan kesewenangan pemerintah.

Dalam civil society itulah solidaritas bisa muncul yang diilhami oleh sikap saling

menyayangi antar sesama warga.7

Di dalam buku tersebut, konsep civil society mengalami perubahan pada

paruh akhir abad ke 18. Menurut Thomas Paine (1737-1809), seorang aktivis

liberal, perlu adanya pemisahan antara civil society dan negara. Peran negara

harus dibatasi sekecil-kecilnya karena keberadaannya merupakan keniscayaan

yang buruk (necessary evil) belaka. Civil society merupakan ruang dimana dapat

mengembangkan kepribadiannya secara bebas dan memberikan peluang bagi

pemuasan kepentingannya. Karena itu, civil society berperan terhadap kontrol

negara.8

Berbeda pandangan dengan Thomas Paine, dalam buku Masyarakat

Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial karya M Dawam Rahadjo,

Hegel (1770-1831), seorang pemikir sosial politik Jerman, berpendapat bahwa

civil society sesungguhnya merupakan produk masyarakat borjuis. Hegel

membagi kehidupan modern ini menjadi tiga wilayah, yakni keluarga, civil

7 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, 115.

8 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, 116.

Page 29: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

17

society, dan negara. Keluarga merupakan ruang pribadi yang ditandai hubungan

harmonis antar individu dan menjadi tempat sosialisasi pribadi anggota

masyarakat.

Kemudian civil society dimaknai sebagai lokasi pemenuhan kepentingan

ekonomi baik individu maupun kelompok. Sementara negara merupakan

representasi dari ide universal yang melindungi kepentingan politik warga.

Dengan demikian negara mempunyai hak intervensi kepada civil society, karena

civil society mengandung potensi konflik. Civil society tidak bisa dilepaskan dari

kontrol negara.9

Dalam buku itu M. Dawam Rahadjo mengutip pendapat Karl Marx10

, bahwa

civil society adalah sebagai masyarakat borjuis. Bagi Marx, masyarakat borjuis

mencerminkan kepemilikan yang bermuatan materialisme, dimana setiap orang

mementingkan dirinya sendiri, dan setiap orang berjuang melawan yang lainnya.11

Konsepsi lain ditemukan dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil

Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, ia mengutip pendapat Tocqueville

(1805-1859) bahwa civil society bukan subordinat negara. Civil society

merupakan suatu entitas yang keberadaannya dapat menerobos batas-batas kelas,

9 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 48.

10 Karl Mark adalah tokoh pemikir sosial politik dari Jerman. Karya yang dihasilakan Mark

selama bertahun-tahun hidupnya di London adalah Das Kapital sebagai karya besar (magnum

opus). Dalam karyanya tersebut, sebagai usaha Mark untuk memberikan analisa sejarah dan

dinamikan masyarakat kapitalis. Mark juga mengkritik toeri ortodoksi Adam Smith dan david

Ricardo tentang ekonomi pasar bebas. Dalam Doyle Paul Johnson dan diterjemahkan oleh Robert

M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 126. 11

M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan

Sosial, 142.

Page 30: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

18

memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi, dan menjadi kekuatan pengimbang

intervensi negara.12

Oleh karena itu, gagasan Tocqueville dijadikan sebagai sumber referensi

gerakan pro-demokrasi di negara Barat maupun di Indonesia. Perkembangan civil

society di Indonesia mulai tumbuh atas kesadaran masyarakat untuk mendirikan

organisasi modern pada abad ke 20. Dengan berdirinya organisasi Budi Utomo

(1908), Syarikat Dagang Islam (SDI) (1911), Muhammadiyah (1912), dan

organisasi lainnya. Hal ini menandakan, civil society di Indonesia sudah

berkembang pada masa kolonialisme Belanda.13

Di Indonesia, istilah civil society atau pun masyarakat sipil menggunakan

istilah masyarakat madani–yang dimunculkan oleh Dato Anwar Ibrahim, wakil

P.M. Malaysia. Istilah masyarakat madani sebagai padanan dari civil society,

ketika itu disampaikan oleh Dato Anwar Ibrahim pada acara Forum Istiqlal 26

September 1995. Masyarakat madani ia kaitkan dengan konsep kota ilahi, kota

peradaban, atau masyarakat kota, yang tersentuh oleh peradaban maju.

Kemudian istilah masyarakat madani dipopulerkan cendikiawan muslim seperti

Nurcholis Madjid atau (Cak Nur) dan Dawam Rahadjo. 14

Guna memperkaya dan menyempurnakan makna konsep civil society, maka

penggalian elemen-elemen dasarnya dari berbagai perspektif seperti tradisi

pemikiran, filsafat, adat istiadat masyarakat, dan agama, demi relevansi harus

terus dilakukan. Salah satu elemen dasar yang sangat penting dalam pembentukan

12

Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 51. 13

M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta:

Logos, 2002), vii. 14

Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan

Cita-cita Reformasi, 7.

Page 31: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

19

civil society adalah agama, yang dalam hal ini adalah Islam sebagai agama

mayoritas. Islam merupakan sistem nilai yang harus digali secara menyeluruh.

Secara demografis, Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Islam

memiliki energi doktrinal dalam mempengaruhi perilaku para pemeluknya.15

Banyak kalangan para pemikir, cendikiawan dan pengamat politik muslim

yang berpendapat tentang kesesuaian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat

madani (civil society). Hal ini secara aktual pernah diterapkan oleh Nabi

Muhammad sendiri dalam perwujudan masyarakat madani itu. Ketika beliau

mendirikan dan memimpin negara-kota Madinah.16

Mitsaq Al-Madinah (Piagama Madinah) adalah dokumen politik pertama

dalam sejarah umat manusia, yang meletakan dasar-dasar pluralisme dan toleransi.

Dalam piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua penduduk

Madinah, tanpa memandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota umat

yang tunggal (ummatan wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban sama.

Menurut Cak Nur, Madinah merupakan suatu model bangunan masyarakat

nasional modern yang lebih baik dari yang diimajinasikan, dan menjadi contoh

sebenarnya bagi nasionalisme, patriotisme serta egaliter. Oleh karena itu, usaha

umat Islam di zaman modern ini menjadikan Madinah sebagai rujukan masyarakat

madani.17

15

Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah Demokrasi”, 6. 16

Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan,

(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999), 3. 17

Nurcholish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,”

dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan

UIN Jakarta Press, 2002), 3.

Page 32: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

20

Cak Nur berpendapat, sebagai suri tauladan umat manusia, Nabi

Muhammad telah memberikan contoh bagaimana mewujudkan semangat

ketuhanan Yang Maha Esa yang berhubungan langsung dengan sosial,

keagamaan, dan politik yang berjiwa kemajemukan (plural) di dalam masyarakat

Madinah. Nabi Muhammad SAW telah mewariskan model bagaimana mengatur

masyarakat dan menyelesaikan persoalan umat manusia.18

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang kharismatik yang disegani

banyak orang, baik kalangan awam, intelektual, akademisi, serta para tokoh elit

politik. Nabi Muhammad SAW adalah sosok politikus berkelas dan diplomat

ulung yang tidak tertandingi.19

Menurut Din Syamsudin, Madinah merupakan kota yang berhubungan erat

dengan kata “tamadun” yaitu berperadaban. Madinah merupakan lambang

peradaban yang kosmopolit, bukan suatu “din” atau agama. Dengan demikian,

cita-cita Islam ialah terwujudnya suatu masyarakat yang berperadaban tinggi. Hal

ini juga pernah dijelaskan oleh Al-Farabi mengajukan teori tentang “masyarakat

utama” (al-madinah al-fadilah). Suatu masyarakat yang berorientasi menegakan

persatuan dan kesatuan. Al-Farabi menekankan perlunya kolektifitas sosial dan

etika kolektif dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki. 20

Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud jika terdapat cukup

semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari

18

Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani,” Titik-temu, Jurnal Dialaog

Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009, (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2009),

16. 19

Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab

(Yogyakrta: LKiS, 2005), x. 20

M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, 98.

Page 33: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

21

prikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan

optimis. Yaitu, pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik.21

Oleh karena itu, civil society merupakan perkumpulan masyarakat politik,

yang taat kepada hukum, menjalin persaudaaran, toleransi, dan menjamin

kebebasan beragama. Tidak hanya itu, civil society sebagai penegak demokrasi,

penegakan terhadap hukum yang tidak adil dan melindungi apapun bentuk

kekerasan.

Dalam hal ini, melaksanakan undang-undang dan melindungi setiap warga

negara merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh siapa pun begitu

juga negara. Demi mewujudkan masyarakat yang berperadaban serta menjunjung

nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan.

Dalam praktiknya, perjuangan yang dilakukan oleh civil society sering

mengalami kendala cukup berat. Misalnya, pemerintahan yang otoriter, adanya

sikap masyarakat yang eklusif terhadap kemajemukan bangsa. Padahal, nilai-nilai

keberagaman merupakan khazanah kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh

bangsa lain.

Untuk mewujudkan perjuangan civil society dalam menegakan demokrasi

dan kebebasan beragama di Indonesia, maka menggunakan strategi yang

dilakukan oleh kelompok kepentingan. Pertama, melalui pendekatan terhadap

penegak aparat hukum. Kedua, pendekatan terhadap pemerintah atau negara.

21

Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999),

176.

Page 34: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

22

Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke pubik, kelima,

demonstrasi, dan keenam, menyuarakan protes.22

Selama ini, strategi kelompok kepentingan masih digunakan oleh civil

society dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas, kebebasan

beragama, nilai-nilai demokrasi, dan penegakan hukum di Indonesia, sehingga

perjuangannya lebih efektif dan dapat memberikan resolusi permasalahan yang

ada.

Akan tetapi strategi kelompok kepentingan tidak akan terlaksana dengan

baik, jika masih ada sikap pemerintah yang tidak adil, kurang bijak, serta sikap

apatis pemerintah terhadap konflik yang terjadi di masyarakat. Setidaknya,

melalui pendekatan strategi kelompok kepentingan ini konflik-konflik kekerasan

yang terjadi di masyarakat dapat berkurang.

B. Civil Society dan Demokrasi

Civil society lebih dari sekedar gerakan pro demokrasi. Civil society

mengacu kepada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamadun

(civility).23

Oleh karena itu, Civil society dapat memberikan sumbangan bagi

konsolidasi demokrasi, karena dapat menjembatani antara pemerintah dan

masyarakat. Civil society dapat menstabilkan harapan, mempermudah komunikasi

antara masyarakat dan pemerintah.

Hal ini akan membuat masyarakat tidak terasingkan dengan sistem

pemerintah yang ada, dan berfungsi sebagai wahana untuk melawan pemerintahan

22

Michael G. Roskin, Political Science an Introduction (United State: Pearson, 2003),

188–191. 23

Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Tantangan, dan Fakta, 7.

Page 35: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

23

yang tirani. Kemudian memperkuat norma-norma sipil bagi prilaku warga, yakni

menekankan pentingnya toleransi, kebersamaan, dan keikutsertaan dalam

menghadapi persoalan bangsa.24

Bahkan, menurut para pakar sosial politik modern, civil society bertujuan

untuk menolak kesewenangan kekuasaan elite yang mendominasi kekuasaan

negara. Hal ini merupakan manifestasi dari penanaman demokrasi.25

Adapun

pandangan Ernest Gellner, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas

berbagai institusi non-pemerintahan yang cukup kuat untuk mengimbangi

negara.26

Sedangkan menurut kelompok devlopmentalis dan Neo-Tocquevelian

seperti Putnam, civil society adalah asosiasi perantara. Civil society adalah

wilayah antara negara dan struktur keluarga yang dihuni oleh organisasi,

menikmati posisi otonom berhadapan dengan negara, dan memiliki pengaruh

signifikan terhadap kebijakan publik.27

Hal ini tergambar dalam teori sistem

David Easton, civil society merupakan salah satu penekan kebijakan dan sebagai

kontrol terhadap pemerintah yang meyimpang, sehingga output yang dihasilkan

lebih baik.28

Tapi, civil society juga bisa bekerjasama dengan negara, tidak mesti

24

Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di

Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Pusat Pengkajian Islam dan

Masyarakat (PPIM), Yayasan Wakaf Paramadina, dan Freedom Institute, 2007), 20. 25

Fahmi Huwaidy, Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani (Bandung: Mizan, 1996),

296. 26

Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung:

MIZAN Anggota IKAPI, 1995), 6. 27

Fuad Fahrudin, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan

Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP, 2006), 40. 28

Muhtar Mas’ud dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada Press, 1993), 5.

Page 36: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

24

bermusuhan. Ini telah terbukti antara lain di bidang pendidikan, kesehatan dan

lain sebagainnya yang ternyata antara civil society dapat bekerjasama.29

Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi membutuhkan

etika diskursif yang dalam bahasa Habermas, etika diskursif yang menjamin

bahwa setiap orang berhak secara bebas tanpa ancaman dari orang lain. Adanya

tujuan deliberasi publik atau musyawarah adalah konsensus atau mufakat yang

diterima secara ikhlas oleh semua partisipan masyarakat.30

Konsep civil society meneguhkan gerakan sosio-kultural. Dalam paham civil

society, rakyat bukan subordinat negara, melainkan partner yang setara. Begitu

juga dalam Islam, tidak boleh ada lembaga agama yang memaksakan konsep-

konsepnya kepada para pengikutnya, atas dasar hak satu kelompok.31

Umat Islam

merupakan salah satu elemen bangsa yang memiliki peran terhadap nilai-nilai

demokrasi di Indonesia. Dukungan organisasi-organisasi besar Islam di Indonesia,

seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, terhadap upaya demokratisasi

memiliki peran penting membina umat Islam yang hidup dalam culture yang

toleran terhadap perbedaan, merawat kemajemukan bangsa, dan nilai-nilai

demokrasi.32

Menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur), demokratisasi merupakan sesuatu

yang strategis dan fungsional untuk menjawab persoalan bangsa, karena

29

Budhi Munawar-Rachman, Membela Kebebebasan Beragama Percaakapan Tentang

Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme (Jakarta: Democrazy Project, Edisi Digital, Buku 1,

2011), 290. 30

Donny Gahral Adian, “Demokrasi dan Kemaslahatan Umum,” dalam Jurnal Titik Temu,

Vol. 5, No. 1, Juli – Desember 2012 (Jakarta: Nurcholis Madjid Society (NCMS), 2012), 45. 31

Komarudin Hidayat dan Gaus AF, Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan dan

Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), xix. 32

Sunaryo, “Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Politik Identitas dan Kekerasan

atas Nama Agama,” dalam Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban (Volume 3, Nomor 1, Juli –

Desember ), (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2010), 147.

Page 37: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

25

demokrasi dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan bangsa.33

Begitu juga

organisasi Muhammadiyah34

yang memiliki kesamaan karakter dengan

masyarakat madani yang mempunyai keyakinan nilai-nilai ilahiah, demokratis,

berkeadilan, otonom, berkemajuan dan berahlak muliah (al-ahlakul karimah).35

Oleh karena itu, civil society sebagai ujung tombak penegakan demokrasi di

Indonesia. Maka, dengan adanya civil society memungkinkan tumbuhnya diskusi

dan kerja sama memupuk kepercayaan terhadap orang lain, menjalin

persaudaraan, dan kerja sama dengan umat lain adalah modal sosial untuk meretas

kecurigaan, melampaui rasa toleran, dan permusuhan.

Dengan demikian, demokrasi bukan sekadar prosedur kekuasaan, bukan

pula sebagai sistem yang ditentukan oleh mereka yang mayoritas. Demokrasi

adalah pengakuan dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan,

toleransi, pluralisme, keadilan, pengakuan terhadap hak-hak umat beragama, hak

hidup, hak untuk memperoleh kekayaan, dan kepada kelompok minoritas.

Namun, perjuangan civil society terhadap demokrasi tidak akan berjalan

dengan mulus. Tentu akan ada hambatan yang dialami civil society dalam

menegakan demokrasi. Misalnya, dengan munculnya kelompok radikal yang

mengancam kebebasan beragama, penegakkan hukum yang dipandang masih

33

Al – Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh dkk., Membangun

Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU (Yogyakarta: Titian Ilahi

Press, 1997), 136 34

Organisasi Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912, 7 Djulhijjah 1330 H.

Oleh Kiyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama

Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abubakar adalah imam dan khatib masjid besar Kauman

Yogyakarta. Sementara Ibunya adalah anak K.H. Ibrahim. Menurut silsilah, keluarga Ahmad

Dahlan merupakan keturunan Maulana Malik Ibrahim, seorang wali yang menyebarkan ajaran

Islam di Jawa. Dalam Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri

Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), 17-18. 35

Majlis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah (Jakarta:

Kompas, 2010), LI.

Page 38: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

26

tebang pilih. Lalu, adanya tindakan sikap pemerintah yang otoriter, para

pengambil kebijakan yang melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas di

Indonesia. Bahkan, pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap korban

kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.

D. Kebebasan Beragama

Persoalan utama dari kasus kebebasan beragama di Indonesia adalah

ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi hak warga negaranya untuk

beragama sesuai dengan undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1.

Setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaan yang

dianutnya. Maka perlakuan atas kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah

secara semena-mena adalah perlakuan yang melanggar konstitusi.36

Kebebasan beragama juga tertuang dalam International Covenant on Civil

Political Right (ICCPR). Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Undang-

undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil

Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), hal

ini tercatat dalam pasal 18 ICCPR.37

36

Zuly Qodir, “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Elza Peldi

Taher, ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan

Effendi (Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan Kompas, 2009), 401.

37

UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,

keyakinan dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan kebebasan untuk menetapkan agama

atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-

sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan

kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran.

2. Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau

menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat

dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan utuk mellindungi, keamanan,

ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Lihat, The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 8-9.

Page 39: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

27

Sementara dalam Islam, prinsip saling menghormati antar para pemeluk

agama yang berbeda sangat ditekankan. Hal ini sesuai dengan firman Allh SWT,

lakum dienukum waliyadin. “Berpegang teguhlah engkau pada agamamu dan aku

berpegang pada agamaku.” (QS. Al-kafirun, ayat 6). Toleransi dalam beragama

merupakan salah satu dasar ajaran Islam.38

Dengan kata lain, prinsip keyakinan

setiap manusia terhadap Tuhannya tidak boleh dipaksakan karena bertentangan

dengan nilai-nilai Islam.

Allah berfirman dalam al-Qur’an:

“Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda)

kebenaran dan kesesatan. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada

thaghut (Syaitan) dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah

berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha

Mendengar dan Maha Menghetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).

Ayat tersebut menjelaskan pentingnya toleransi terhadap pemeluk agama

lain. Bahwa kemajemukan masyarakat sesungguhnya merupakan bagian dari

kehendak Tuhan. Al-Qur’an, kitab suci umat Islam secara amat ekplisit

menyatakan bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, ras dan warna kulit

merupakan ciptaan Tuhan dan sekaligus menunjukkan kebesarannya.39

Oleh

karena itu, kemajemukan dan multikulturalisme tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan warga negara Indonesia. Dengan demikian, keberagaman sebagai

mozaik kekayaan bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga oleh seluruh

masyarakat Indonesia.

38

Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta, Yayasan

Obor Indonesia, 1987), xi. 39

Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003),

164.

Page 40: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

28

Islam tidak menafikan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas dan

multikulturalisme merupakan sunnahtullah (hukum Tuhan). Hal ini termaktub

dalam kitab suci Al-Qur’an; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan

kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal” (QS. Al-Hujuraat:

13).40

Ayat di atas tersebut, memberikan gambaran kepada umat manusia akan

pentingnya keberagaman dalam kehidupan beragama dan bernegara.

Pasalnya, keberagaman bukanlah sesuatu yang baru bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara. Bahkan, nilai-nilai keberagamanpun sudah tertera

sangat jelas dalam “Bhineka Tunggal Ika” dan dilndungi oleh konstitusi negara.

Lebih dari itu, keberagaman menjadi tonggak perekonomian negara ini.

percampuran berbagai etnik ialah mesin yang menghasilkan budaya negeri ini,

itulah makna keberagaman dalam bernegara.

Para ulama telah mencoba merumuskan ajaran Islam kompatibel dengan

nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan merujuk kepada ulama Islam klasik

yang pertama kali menemukan konsep maqasid syari’ah yaitu; Imam Ghazali

(w.1111 M). Ulama besar abad ke-12 tersebut mencoba merumuskan dasar

syari’at Islam yang disebut dengan maqasid syari’ah ialah: penghargaan terhadap

hak dasar kebebasan dasar manusia. (al-kulliyah alkhamsyah), yaitu hak hidup

(hifzh nafs), hak kebebebasan beropini dan berekpresi (hifzh al-aql), hak

40

Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Fredrich Naumann Stiftung,

2011), 213.

Page 41: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

29

kebebasan reproduksi (hifzh al-nasl), hak memilik properti (hifzh mal), dan

terakhir hak untuk beragama (hifzh al-dien).41

Dengan demikian, ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dan

kebebasan beragama dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan

bernegara. Oleh karena itu, Islam sangat kompatibel dengan konstitusi dan dasar

negara Bangsa Indonesia.

Selama ini, persoalan keragaman dan kebebasan beragama di Indonesia

masih buruk, karena banyak aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam

garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok minoritas dan

aliran kepercayaan yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah di Cikeusik Banten,

pada 11 Februari 2011 dan Syiah di Sampang Madura, pada 29 Desember 2012.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya jaminan kebebasan beragama di

Indonesia dengan berbagai cara. Contohnya, melalui pendekatan ke pemerintah

untuk melaksanakan konstitusi negara serta melindungi setiap warga negara

dalam beragama dan berkeyakinan. Kemudian mengadakan seminar, dialog,

pendidikan kewarganegaraan, toleransi, serta keberagaman kepada masyarakat

umum dan kepada kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama di

Indonesia.

Semestinya negara menjamin warga negara dalam memeluk kepercayaan,

dan beribadah berdasarkan UUD 1945. Dalam ajaran Islam, agama tidak berhak

memaksa seseorang dalam memeluk kepercayaan agama tertentu. Dengan

41

Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim,

dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid

(Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina, 2007), 211.

Page 42: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

30

demikian, kebebasan beragama, toleransi dan multikulturalisme merupakan

sunatullah yang harus di jaga oleh setiap warga negara Indonesia.

Akhirnya, sebagai kesimpulan dari bab ini, bahwa salah satu elemen dasar

dalam pembentukan civil society (masyarakat politik) adalah agama. Dan civil

society hanya akan terwujud bilamana adanya sikap keterbukaan (inklusivitas)

dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar konsep masyarakat madani bisa

ditegakkan, maka sikap toleransi dalam beragama menjadi hal yang diperlukan.

Masyarakat beragama harus menyadari jika keberagaman merupakan salah satu

bagian dari sunatullah, agar harmonisasi antar umat beragama tetap terjaga.

Page 43: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

31

BAB III

THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA

A. Sejarah Singkat The Wahid Institute

Berdirinya The Wahid Institute terinspirasi dari sosok Abdurrahman Wahid

(Gus Dur) sebagai tokoh pluralisme dan Bapak bangsa. Maka, dalam pembahasan

ini akan mendeskripsikan tentang pemikiran Gus Dur, sejarah singkat berdirinya

The Wahid Institute, pluralisme dan toleransi di Indonesia.

Gus Dur lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar Jombang Jawa

Timur. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama K.H. Wahid

Hasyim, putra K.H. Hasyim Asyari,1 pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan

pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.

Sedangkan Ibunya bernama Hj. Solehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri

Syamsuri pendiri pondok pesantren Jombang dan Ro’is Am Syuriah Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah K.H. Abdul Wahab.2

NU sebagai organisasi keagamaan mempunyai kontribusi terhadap

perkembangan sosial keagamaan dan negara. Perkembangan NU ditandai dengan

lahirnya tokoh-tokoh NU salah satunya, Gus Dur cucu dari Hadratussyaikh

1 Kiai Hasyim Asyari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari1871 dan meninggal di

Jombang pada bulan Juli 1947. Dia adalah adalah pendiri NU pada tahun 1926. Keluarga Hasyim

Asy’ari adalah keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI M, dan

terkenal sebagai raja terakhir kerajaan Hindu-Budha yang tersebasar di Jawa, Kerajaan Majapahit.

Bahkan yang lebih penting lagi, tokoh lagendaris Jaka Tinggkir, putera Brawijaya VI, dianggap

sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. Lihat

Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta;

LKiS Group, 2002), 26-27. 2 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2005), 338–339.

Page 44: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

32

Hasyim Asyar’i, pendiri NU.3 Organisasi kegamaan tersebut memiliki doktrinan

Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja),4

Gus Dur adalah mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ia

mampu mengubah wajah NU yang bersifat ekslusif, menjadi inklusif, modern,

dan moderat. Semangat memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan

politik nasional.5 Karenanya, suatu keharusan bersama memperjuangkan

kebebasan dan menyempurnakan demokrasi di negeri ini.6

Selain berkiprah di NU, Gus Dur membentuk juga suatu organisasi Forum

Demokrasi (FORDEM) pada Maret 1991, dan Ia terpilih sebagai juru bicaranya.

Ketenaran dan pengaruh Gus Dur membuat organisasi baru ini mendapatkan

kepercayaan publik. Forum Demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan

pengimbang terhadap lembaga-lembaga seperti Ikatan Cendikiawan Muslim

Indonesia (ICMI) yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarianisme.

Organsisai Forum Demokrasi merupakan kelompok kecil yang anggotanya bukan

3 NU: Organisasi keagamaan yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344

H.) dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh K.H. Hasyim Asya’ri, K.H. Wahab Hasbullah, K.H.

Bisri Sansuri, K.H. Ridwan, K.H. Nawawi, K.H. Doromuntaha (menantu K.H. Cholil Bangkalan).

Lihat Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme dan Harapan Menjelang Satu Abad

(Yogyakarta: LkiS, 2008), 1. 4 Ahlusunnah Wal-Jamaah, sebuah paham keagamaan-yang dikalangan NU–bersumber

pada; Al-Qur’an, As–Sunnah, Al-Ijma’ dan Qiyas. Secara Harfiah Ahlusunnah Wal-Jamaah berarti

pernganut Sunnah Nabi Muhammd dan Jamaah (sahabat-sahabatnya). Secara ringkas, segolongan

pengikkut sunnah (jejak) Rasulullah Alaihi Wassalam yang di dalamnnya melaksanakan ajaran-

ajaran beliau berjalan di atas garis yang telah dipraktekan oleh Jamaah (sahabat Nabi). lihat

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga. 1992), 21. 5 Ahmad Syafii Maarif dan Muhhamad Najib, “Upaya Memahami Sosok Kontraversial Gus

Dur,” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abshar Abdalah, ed., Gila Gusdur Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2000), 4. 6 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm.190.

Page 45: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

33

hanya dari NU, malah bukan muslim, kebanyakan dari mereka adalah Katolik dan

Protestan.7

Tujuan lain berdirinya Forum Demokrasi ialah untuk memperjuangkan

tegaknya demokrasi pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat.

Namun secara khusus, berdirinya Forum Demokrasi dilatarbelakangi peristiwa

kasus perusakan kantor tabloid Monitor pada bulan Oktober 1990, kantor tersebut

dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara surveinya yang

menyinggung umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus Monitor menunjukan bahwa

beberapa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi keagamaan dengan

mengedepankan kelompok mereka.8

Pada tahun 1999, Gus Dur diangkat menjadi Presiden Indonesia ke-4.

Pengangkatan ini menunjukan penghargaan dan apresiasi terhadap sosok Gus Dur

sebagai pemikir, aktivis, politisi yang pluralis dan demokratis. Maka, sebagai

seorang demokrat dan pluralis, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP MPRS

No XXV Th 1966 mengenai pelarangan terhadap PKI dan ajaran

Komunisme/Marxisme/Leninisme. TAP ini menjadi landasan perlakuan

diskriminatif terhadap anggota dan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI).

Perjuangan Gus Dur bukan membela PKI, atau ajaran Komunisme,

Marxisme Leninisme, tetapi membela suatu prinsip demokrasi dan HAM, suatu

prinsip yang telah ditancapkan dengan kokoh dalam UUD 1945 Republik

7 Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, 224–

225. 8 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010), 49-49.

Page 46: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

34

Indonesia. Gus Dur menjelaskan bahwa TAP MPRS No XXV Th 1966 tersebut

bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar HAM.9

Pada level praktis dan kebijakan, Gus Dur melakukan pembelaan terhadap

kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian, salah satu keputusan

politik Gus Dur pada Januari 2000, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)

Nomor 6 Tahun 2000, isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Suharto

tentang agama, kepercayaan, adat istiadat Cina.10

Selain melakukan tindakan aktif, Gus Dur banyak memberikan kontribusi

pemikiran, salah satunya mengenai “pribumisasi Islam”. Gagasan ini di

latarbelakangi dengan keinginan kuat Gus Dur dalam mempertemukan budaya

(adat) dengan norma Islam (syariah).11

Ide besar gagasan Gus Dur mengenai

“pribumi Islam” adalah agar umat Islam Indonesia mempunyai pandangan luas,

menjungjung tinggi toleransi, menghargai orang lain dan kebebasan beragama di

Indonesia.

Munculnya gagasan “pribumisasi Islam” yang membuatnya dikenal sebagai

pejuang humanis. Wawasan humanisme ini membuat Gus Dur tidak lelah

berbicara tentang bahaya ancaman kekerasan politik yang bisa saja

mengatasnamakan agama. Ia juga berbicara penting sikap non-sektarian dan

toleransi antar agama di dalam sebuah bangsa yang heterogen, semisal Indonesia.

9 Ahmad Suaedy dan Raja Juli Antoni, ed., Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan

Islam Asia Tenggara (Jakarta: Southeast Asian Muslims (Seamus) For Freedom and

Enlightenment, 2009), 18-19. 10

M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 60. 11

Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, no. 3, vol. IV Tahun 1995 (Jakarta:

Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan ICMI, 1995), 33.

Page 47: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

35

Maka, ide Gus Dur dapat ditelusuri melalui pada tahun 1980-an tentang tiga

ukhwah; ukhwah Islamiyah, ukwah wathoniah, ukhwah basyariah.12

Oleh karena itu, Greg Barton menempatkan Gus Dur, Ahmad Wahid,

Djohan Effendi dan Nurcholis Madjid (Cak Nur), sebagai kelompok

neomodernisme Islam, pemikiran yang berorientasi mengembangkan keterbukaan

dan kebebasan.13

Gus Dur yang beranggapan bahwa prinsip-prinsip humanitarian adalah

jantung Islam itu sendiri. Dengan kata lain, Islam diturunkan Allah dalam rangka

kepentingan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian, kelompok itu dengan

teguh menegakan nilai-nilai egalitarianisme, humanisme, keadilan, tanpa

membedakan latar belakang agama, etnis, budaya, dan semacamnya. Pandangan

kelompok neomodernisme yaitu penanaman aplikasi nilai-nilai yang merupakan

bentuk kongkrit ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah yang bersifat

ritual.14

Kemudian, gagasan Gus Dur dalam “Islam: Idiologi Ataukah Kultural”?.

Gus Dur menekankan pentingnya mengembangkan Islam melalui wilayah

kultural. Karenannya, Islam bisa berkembang melalui jalur tersebut. Gus Dur

menolak gagasan Negara Islam (NI), karena bangsa kita beranekaragam yang

pantas di hormati hak pendapat dan hak hidupnya.15

Al-Qur’an sendiri tidak

12

Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis

Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), 34. 13

Ahmad Suaedy, Prespektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru

Demokratisasi (Jakarta: The Wahid Institute, Seeding Plural and Peaceful Islam, 2009), 307. 14

Abd A’la, “Kemenangan Gus Dur Angin Sejuk Bagi Iklim Keagamaan di Indonesia,”

dalam Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 22. 15

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara

Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam, 2006), 50.

Page 48: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

36

pernah menyebut-nyebut sebuah “Negara Islam” (daulah Islamiyah) hanya

menyebut negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan (baldatun thayyibatun

wa rabbun ghafur).16

Maka dengan spirit kemajemukan (heteregonitas) dalam kehidupan

berbangsa dapat mendirikan negara tidak berdasarkan salah satu agama tertentu.17

Melainkan kepada pancasila sebagai asas bangsa Indonesia, dan UUD 1945

sebagai konstitusi negara.

Atas perjuangan dan pemikirannya, Gus Dur dinobatkan sebagai “Bapak

Tionghoa”. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan

yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi mensejajarkan mereka dengan

dengan kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, adat-istiadat

yang berbeda.18

Gus Dur juga disebut sebagai “Bapak Pluralisme” oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY), pada 24 Agustus 2005. Begitu juga sejumlah tokoh

lintas agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia, dan warga Ahmadiyah

menganugrahi Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” Indonesia. Idiologi

pluralisme Gus Dur dan penghormatan terhadap pluralitas sepenuhnya

berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi

keilmuan NU itu sendiri.19

Membela kaum minoritas, kebebasan beragama, toleransi, HAM, dan nilai-

nilai demokrasi yang dilakukan oleh Gus Dur tidak berhenti disitu. Pasca lengser

16

Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 16. 17

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara

Demokrasi, 104. 18

M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 59. 19

M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 63-64.

Page 49: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

37

dari kursi kepresidenan pada tahun 2002, Gus Dur mendirikan lembaga The

Wahid Institute pada 7 september 2004. The Wahid Institute adalah lembaga yang

berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam

membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi,

multikulturalisme dan toleransi kepada kaum muslim di seluruh dunia. Lembaga

ini diinisiasi oleh almarhum Gus Dur, Dr. Gregorius James Barton, Yenny

Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy.20

Gus Dur memiliki peran sangat penting dalam membangun sikap toleransi

atas kemajemukan bangsa, kebebasan beragama, dan perlindungan kelompok

minoritas yang ada di Indonesia. Tentu saja perjuangan Gus Dur dalam membela

kelompok minoritas, kebebasan beragama, dan toleransi didasarkan pada

pemahaman ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan di NU. Dan untuk

melestarikan pemikiran dan perjuangannya terhadap kebebasan beragama di

Indonesia, maka Gus Dur berinisiatif mendirikan lembaga The Wahid Institute

tersebut.

B. Visi dan Misi The Wahid Institute

Visi; terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun

kehidupan bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, dan umat manusia yang

berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme,

demokrasi HAM yang diinspirasi Islam. The Wahid Institute berusaha

memperjuangkan untuk terciptanya dunia yang damai dan adil dengan

20

Lihat “Sejarah The Wahid Institute” http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/tentang-

kami/sejarah-the-wahid-institute.html#, di unduh pada 19 Oktober 2013.

Page 50: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

38

mengembangkan pandangan Islam yang moderat serta bekerja untuk

kesejahteraan bagi manusia.

Misi; 1) Mengembangkan, merawat dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam

yang damai dan toleran. 2) Mengembangkan dialog-dialog antar budaya lokal dan

internasional demi memperluas harmoni Islam dengan berbagai kebudayaan

budaya dan agama di dunia. 3) Mendorong inisiatif untuk memperkuat

masyarakat sipil dan tata kelola pemerintah. 4) Mempromosikan partisipasi aktif

dari beragam kelompok agama dalam membangun dialog kebudayaan dan dialog

perdamaian. 5) Mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan

keadilan sosial. 21

Kemudian, The Wahid Institute memandang pentingnya hubungan agama

dan negara. Faktanya, agama tidak bisa dipisahkan dari negara, karena

sumbangsih agama bagi kebangsaan cukup besar. Sehingga, adanya upaya

memasukan kerangka nilai-nilai agama di dalam negara. Seperti halnya,

Kementrian Agama (Kemenag), KUA, dan Undang-undang Pernikahan.

Namun, awal berdirinya Kementerian Agama menuai banyak polemik dari

orang non-muslim yang tidak setuju dengan lembaga tersebut, dengan alasan

hanya akan mengakomodir kelompok tertentu saja. Kemudian, akhir-akhir ini

penolakan tersebut muncul kembali, karena Kementerian Agama mengakui hanya

enam agama resmi saja. Padahal, agama di Indonesia banyak sekali seperti, agama

Zoroatser dan Thaoisme. Lalu, adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan.

21

Lihat “Tentang The Wahid Institute” http://wahid institute.org/wahid-id/tentang-

kami/tentang-the-wahid-institue.html, diunduh 26 September 2013.

Page 51: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

39

Akan tetapi, yang jadi permasalahanya adalah pada praktek pelayanan

Kementrian Agama itu sendiri, apakah pelayananya diskrimatif atau tidak. Jadi,

bukan pada Kementrian Agama dibubarkan atau tidak. Semestinya, yang diatur

Kementerian Agama bukan keyakinannya, tapi masalah fasilitas keagamaan.

Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama bahkan menentukan aliran

sesat atau tidak sesat.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan sosial dan toleransi di

Indonesia, The Wahid Institute menginginkan negara Pancasila. Karena dapat

mengakomodir semua kepentingan, dan idiologi dari semua golongan. Pancasila

merupakan titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat

Indonesiaan. Dengan demikian, Pancasila merupakan hasil yang sudah final, dan

harus dijaga oleh setiap elemen masyarakat seluruh Indonesia. Karena itu, nilai-

nilai Pancasila adalah dasar idiologi bangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya

wacana, melainkan untuk mewujudkan menanamkan nilai-nilai etika,

kebersamaan, dan kebebasan beragama di Indonesia.

Dalam hal ini, The Wahid Institute berperan terhadap persoalan kebebasan

beragama. Menurut Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye The Wahid

Institute, bahwa pentingnya menghargai semua warga negara, baik yang beragama

dan yang tidak beragama. Berdasarkan UU Kovenan International, Pasal 18

Tahun 2005 mengenai hak sipil dan politik. Bahwa, setiap orang berhak untuk

memeluk kepercayaan yang diyakininya, berpindah agama, dan melindungi orang

yang tidak beragama (Ateis). Oleh karena itu, setiap orang yang menganut

Page 52: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

40

kepercayaan maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu

juga, dengan aliran-aliran agama baru di Indonesia.22

Jadi, persoalan kebebasan beragama harus terpatri pada setiap individu

untuk menghormati kepercayaan pemeluk agama lain dalam kehidupan beragma

dan bernegara. Kemudian, pemerintah sebagai lembaga negara harus melindungi

kelompok minoritas serta aliran kepercayaan. Bahkan, yang lebih penting lagi

pemerintah serta para penegak hukum menjalankan konstitusi negara, dan

undang-undang kovenanan hak sipil dan politik tahun 2005 tersebut.

Sedangkan untuk sumber dana The Wahid Institute bersumber dari;

keluarga Gus Dur, Yayasan Tifa, Asia Foundation, Kedutaan Australia, Kedutaan

Amerika Serikat (AS).23

C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia

C.1 Pluralisme

Merujuk kamus besar Bahasa Indonesia, Pluralisme ialah keadaam

masyarakat yang majemuk.24

Secara terminologis, “plural” adalah bentuk dasar

dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan secara etimologi,

memiliki banyak arti, Sebagian ada yangg berpendapat, pluralisme adalah sebuah

pengakuan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari

etnis, suku, warna kulit dan satu kelompok saja. Jadi, pluralisme mengakui adanya

perbedaan dimana-mana.

22

Wawancara Pribadi dengan Bapak Alamsyah M. Dja’far, pada 10 Januari 2014. 23

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. 24

Pusat Bahasa Departemen pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 2007), 883.

Page 53: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

41

Menurut pandangan Cak Nur, pluralisme adalah sistem nilai yang

memandang positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Pluralisme adalah

sebuah paham yang menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan diantara manusia

merupakan keniscayaan yang harus diterima.25

Pluralisme adalah perangkat budaya untuk mendorong pengayaan budaya

bangsa. Maka, budaya Indonesia tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya

(resourcefull) dan dinamis antar pelaku budaya yang beranekaragam. Jadi,

pluralisme tidak hanya dimaknai sebagai kemajemukan, beranekaragam, atau

terdiri dari berbagai suku atau agama, justru menggambarkan perpecahan, bukan

pluralisme. Pluralisme tidak boleh dipahami sebagai kebaikan negatif (negative

good), yang dilihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.

Seharusnya, pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebihenekaan

dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan, pluralisme suatu keharusan bagi

keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan

pengimbangan antar mahluk Tuhan.

Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah menciptakan mekanisme pengawasan

dan pengimbangan antar sesama, hal ini merupakan kemurahan Tuhan yang

melimpah kepada umat manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi

segolongan manusia dengan golongan yang lain, maka pastilah bumi akan

25

Miftahul Arief, “Menebar Kembali Pluralisme Agama” Buletin Kebebasan, (Jakarta:

Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007), 12.

Page 54: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

42

hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh

alam”. (Q.S. Al-Baqarah, ayat 251).26

Menurut Gus Dur, pluralisme berkaitan dengan gagasan kebangsaan.

Pluralitas dalam kehidupan berbangsa menurutnya, adanya status antar golongan

mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan berbangsa.27

Pluralisme adalah upaya untuk membangun tidak saja persoalan normatif teologis

tetapi kesadaran sosial, dimana kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang

plural dari segi agama, sosial, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Oleh

karena itu, pluralisme bukan teologis semata, melainkan konsep sosiologis.28

Gus Dur juga menegaskan hal tersebut, bahwa keberagaman adalah rahmat

yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari

pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Karena perbedaan itu

rahmat, Gus Dur optimis bahwa keberagaman akan membawa kemaslahatan

bangsa bukan memecah bangsa. Kemudian, Gus Dur mendasarkan perlunya

universal-kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme

sebagai agen kemaslahatan bangsa.29

Sedangkan menurut Syafii Maarif, pluralitas etnis, bahasa lokal, agama, dan

latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya,

26

Nurcholish Madjid, “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,”

dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan

UIN Jakarta Press, 2002), 5. 27

Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis

Madjid dan Abdurrahman Wahid, 61. 28

Moh Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama (Yogyakarta, Samudra Biru,

2011), 48. 29

Benyamin F Intan, “Gus Dur pejuang Pluralisme Sejati”, dalam Rumadi, ed., Damai

Bersama Gus Dur (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 70.

Page 55: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

43

demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberikan kenyamanan bagi

siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.30

Pluralisme lebih identik dengan paham masyarakat terbuka (open society)

yang diperkenalkan oleh filsuf dan di kembangkan oleh Karl Poper. Paham

masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi dan mencegah setiap

bentuk otoritarianisme. Selain itu, masyarakat terbuka mengandung inovasi dan

perkembangan ilmu pengetahuan yang akan mendorong masyarakat kearah yang

lebih baik.31

Oleh karena itu, pluralisme merupakan keberagaman untuk menyatukan

berbagai aspek budaya, etnis, agama, dan golongan. Dengan adanya pluralisme

dapat mewujudkan masyarakat yang berperadaban, dan taat pada hukum.

Pluralisme sebagai hal yang paling penting bagi kehidupan bernegara dan

beragama untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, kebhienekaan

dan nilai demokrasi. Namun, pluralisme tidak akan tewujud tanpa adanya

kesadaran sosial yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, etnik dan

golongan. Kemudian, adanya peran pemerintah dalam menjalankan konstitusi dan

bersikap adil bagi semua kelompok.

Dalam masyarakat plural, setiap toleransi sangat dibutuhkan. Sebab tanpa

toleransi, pluralisme sangat rentan dipecah-belah. Hal ini pula yang terjadi di

Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia yang plural baik etnis, ras maupun

agama, tapi tidak di barengi dengan toleransi, sering mengakibatkan konflik

30

Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia, makalah

Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture (Jakarta; Paramadina,

21 Oktober 2009), 14. 31

M Dawam Rahadjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme” Buletin

Kebebasan, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 04/V/2007), 6.

Page 56: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

44

horizontal berkepanjangan. Karena itulah sikap toleransi dalam masyarakat yang

plural menjadi sangat penting.

C. 2 Toleransi

Toleransi yang dalam bahasa Arabnya disebut al-tasamuh sesungguhnya

merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar

dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahman), kebijaksanaan

(hikmah), kemaslahatan universal (maslahah ummah), dan keadilan (adl).32

Menurut pemikir Islam, seperti Al-Kindi (w. 873 M), ada lima prinsip

toleransi, pertama, kebenaran adalah tugas penting manusia. Kedua, seseorang

tidak bisa menguasai semua kebenaran. Ketiga, semua orang bisa terpleset dalam

kesalahan, keempat, menghargai orang lain dan pendahulu yang susah payah

mencari kebenaran. Dan kelima, toleransi diperlukan guna meyikapi perbedaan

guna membangun masa depan.33

Oleh karena itu, toleransi dan pluralisme sebagai fondasi kekuatan untuk

mewujudkan kesatuan bangsa, berkeadilan, dan kebihenekaan. Realitasnya,

persoalan pluralisme dan toleransi masih sering terjadi konflik di berbagai daerah.

Seperti halnya pada massa Orde Baru (ORBA) konflik bermuatanan

etnisitas, dan kelompok keagamaan masih sering terjadi. Namun, pemerintah

secara serius meminimalisir konflik melalui pendekatan keamaanan. Konflik

antar-agama dalam sekala relatif sedikit, karena peran Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak menggunakan kekerasan kepada pihak-

32

Abd Muqsith Ghazali, “Cetak Biru Toleransi Beragama,” dalam Abd Muqsith Ghazali,

ed., Ijtihad Islam Liberal Upaya Merumuskan Keberagaman yang Dinamis (Jakarta; Jaringan

Islam Liberal, 2005), 45. 33

Irwan Maqsudi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Berama, 31.

Page 57: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

45

pihak yang dicurigai memicu konflik. Seringnya, konflik yang terjadi bermuatan

etnisitas, dan ada juga bermuatan simbol-simbol kegamaan. Maka, agar konflik

tidak meluas antar umat agama adanya kerjasama mendukung pembangunan yang

direncanakan oleh pemerintah Orde Baru.34

Pasca reformasi 1998, persoalan pluralisme dan toleransi beragama di

Indonesia tidak hanya menjadi kenyataan sosial namun juga menjadi diskursus

politik dan hukum. Telah banyak regulasi yang lahir terkait pengaturan toleransi

beragama di Indonesia. Regulasi-regulasi tersebut mengatur berbagai aspek

menyangkut penciptaan iklim toleransi di tengah masyarakat. Seperti halnya,

regulasi pendirian rumah ibadah dan regulasi menyangkut aliran-aliran

keagamaan.35

Aturan pendirian rumah ibadah menjadi satu paket dalam Peraturan Menteri

Bersama (PMB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri)

No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tentang “Pedoman tugas Kepala Daerah/Wakil dalam

pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat

beragama dan pendirian rumah ibadah.”36

Faktanya, penerapan PMB tersebut

sering dilanggar oleh pemerintah daerah, bahkan melakukan tindakan intimidsi,

kekerasan, penyegelan rumah ibadah, dan pembekuan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor, dan Gereja Huria

Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi.

34

Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu

Penting, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 71-72. 35

Yeni Zannuba Wahid, dkk., Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu

Penting, 2-3. 36

Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010

(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2010),

36.

Page 58: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

46

Persoalan GKI Taman Yasmin Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia Bekasi

sering mengalami tindakan diskriminasi, penyegelan tempat ibadah yang

dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu, dan pembekuan IMB yang

dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, adanya keputusan Presiden tentang

pembubaran Ahmadiyah. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri

(Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri), Nomor: 3 Tahun

2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 tentang

peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, atau pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan warga masyarakat.37

Begitu juga dengan adanya peraturan daerah (Perda) yang mendasarkan

keputusannya kepada SKB tersebut. Keputusan ini didukung Jaksa Agung Basrief

Arif mendukungan penetapan perda pelarangan Ahmadiyah dengan alasan kepala

daerah lebih mengetahui kondisi sosial masyarakatnya. Sependapat dengan itu,

37

Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri: Pertama, Memberi peringatan dan

memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau

mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di

Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama

itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Kedua, memberi peringatan dan

memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran

dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham

yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Ketiga,

Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak

mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan

Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

termasuk organisasi dan badan hukumnya. Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan

kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta

ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau

tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/ atau anggota pengurus Jemaat

Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kelima, warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan

perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai

sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keenam, memerintahkan kepada

aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam

rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. Ketujuh, Keputusan

Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan (Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008).

Lihat The Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues, Edisi Juni 2008 (Jakarta: The

Wahid Institute, 2008),

Page 59: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

47

Menteri Dalam Negeri berpendapat bahwa perda-perda tersebut tidak

bertentangan dengan SKB. Kemudian, Menteri Agama menganggap peraturan

daerah sudah tepat.38

Sebelumnya, pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI)

memfatwakan Ahmadiyah sesat. Kemudian, pada tahun 2005 MUI mengukuhkan

fatwa Ahmadiyah sesat. Dengan alasan, meningkatnya penolakan terhadap

Ahmadiyah di pentas dunia global, khususnya negara-negara yang berpenduduk

muslim, serta menguatnya kelompok-kelompok konservatif yang mengancam

kerukunan antar-umat beragama.39

Sependapat degan MUI, Menteri Agama Suryadharma Ali beranggapan

bahwa jemaat Ahmadiyah harus dibubarkan, karena kalau tidak potensi konflik

akan terus meningkat dan mengganggu kerukunan umat beragama. Ahmadiyah

adalah cikal bakal terjadi konflik di masyarakat. Menteri Agama juga beralasan

bahwa Ahmadiyah bertentangan dengan pokok ajaran Islam, karena itu harus

diberhentikan berbagai aktifitasnya.40

Akan tetapi, fatwa MUI dan SKB Tiga Menteri sebenarnya tidak mampu

menyelasaikan masalah Ahmadiyah. SKB Ahmadiyah di lapangan justru

meligitimasi tuntutan massa dan konsiderasi pemerintah mengeluar kebijakan-

kebijakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah.41

38

Zainal Abidin Bagir dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011

(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011), 38 39

Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita (Jakarta:

Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 26-27. 40

The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 45. 41

Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan

Beragama: Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

(Jakarta: Seatara Institute, 2011), 125.

Page 60: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

48

Selain SKB Tiga Menteri, adanya regulasi penodaan agama yang tercantum

KUHP 156a dan UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan

atau penodaan agama (selanjutnya disebut sebagai UU Penodaan Agama), yakni

mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama

(KHUP 156a).42

Seperti halnya, kasus Lia Aminudin, aliran kepercayaan yang bernama

Salamullah didakwa melakukan penodaan agama (Pasal 156 a KHUP),

penyebaran rasa permusuhan (Pasal 157 ayat 1 KHUP), dan perbuatan tidak

menyenangkan (Pasal 335 KHUP).43

Kemudian, kasus penyerangan dan pengusiran terhadap warga Syiah di

Sampang Madura, yang mengakibatkan pesantren dan rumah Tajul Muluk

dibakar massa yang tidak senang dengan keberadaan Syiah. Sehingga warga

Syiah terpaksa mengungsi Gelanggang Olahraga (GOR) di Sampang. Atas

kejadian tersebut, pimpinan Syiah Tajul Muluk didakwa telah melakukan

penodaan agama.

Terkadang aturan-aturan tersebut didukung oleh lembaga keagamaan yang

banyak melakukan tindakan diskriminatif, dan melemahnya tindakan negara

dalam menyikapai persoalan kebebasan beragama. Imbasnya, adanya tindakan

kekerasan struktural terhadap kaum minoritas. Contohya, gereja-gereja yang tidak

diakui dan ditekan eksistensinya, ada juga oraganisasi-organisasi keagamaan lain

42

Zainal Abidin Bagir, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012

(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, 2012),

14. 43

Uli Parulian Sihombing, ed., Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-

kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama di Indonesia, Jakarta: The

Indonesia Legal Resources Center (ILRC), 2012), 36.

Page 61: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

49

seperti Islam Jama’ah, tarekat mistik, dan aliran kepercayaan lainnya yang

mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparatur negara, pemerintah maupun

oleh non-state actor..44

Hal ini menggambarkan bahwa toleransi dan kebebasan beragama di

Indonesia semakin buruk. Dengan maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan

oleh kelompok radikal terhadap kelompok-kelompok minoritas, Ahmadiyah,

perusakan rumah ibadah, aliran kepercayaan, dan aliran Syiah.

Begitu juga dengan sikap pemerintah yang bersikap intoleran dengan

melakukan pembekuan IMB rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor, dan

HKBP Filadelfia Bekasi. Selain itu, pemerintah melakukan pembiaran terhadap

kasus kekerasan yang bernuasa agama di Inonesia, kelompok minoritas, serta

aparat penegak hukum tidak tegas dalam menangani kasus kekerasan dan

perusakan rumah ibadah.

Menurut laporan The Wahid Institute, korban tindakan intoleransi dan

diskriminasi selama 2010 ini berjumlah 153 korban. Korban tertinggi adalah

perorangan/individu 35 korban, kemudian jemaat gereja di berbagai daerah 28,

kelompok masyarakat 20, korban dari warga Ahmadiyah di berbagai daerah 18

dan komunitas yang diduga sesat 15.45

Untuk lebih lengkapnya lihat tabel di

bawah ini.

44

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multkultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin

Kebersamaan (Jakarta: KOMPAS, 2003), 48-49. 45

The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebbasan

Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 75-76.

Page 62: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

50

Tabel 1. Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2010

No Korban Jumlah

1 Individu 35

2 Jemaat gereja di berbagai daerah 29

3 Kelompok masyarakat 20

4 Warga Ahmadiyah di berbagai daerah 19

5 Komunitas ynag diduga sesat 15

6 Dunia usaha 8

7 Pemimpin dan aliran pengikut Abraham 7

8 Umat Buddha Tanjung Balai 4

9 Instasi pemeritahan 5

10 Pengikut aliran surga Eden 2

11 Umat Konghucu 2

12 Pemimpin dan pengikut aliran akmaliyah 2

13 Pengikut ahl al-bait Indonesia Jawa Timur 1

14 Pemimpin dan pengikut Brayat Agung 1

15 Jemat LDII 1

16 Pengikut tharikat Fatoriyah 1

17 Santri dan Pengasuh Pesantren Fajar

Hidayah

1

18 LSM 1

19 Komunitas LGBT 1

Total 155

Sumber; Laporan The Wahid Institute 2010.

Sedangkan tahun 2011 korban intoleransi dan diskriminasi diantaranya;

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok yang paling sering menjadi

korban tindak intoleransi karena keyakinan mereka dianggap berbeda dari

mainstream umat Islam dengan 65 kasus (26%). Korban berikutnya adalah

individu yang dianggap berbeda dari mainstream 42 kasus (17%), Pemilik usaha

Page 63: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

51

atau pedagang 24 kasus (10%), umat Kristen 20 kasus (8%). Berikut tabel

selengkapnya.46

Tabel 2. Korban Intoleransi 2011

Sumber: Laporan The Wahid Institute 2011.

Pada tahun 2012, korban tertinggi dialami oleh umat Kristen dengan 39 kali,

berikutnya individu atau korban perorangan dengan 35 kali, diikuti pengikut

Syi’ah 27 kali dan kelompok atau aliran yang terduga menyebarkan aliran sesat

dengan 26 kali, berikutnya dari pelaku usaha 21 kali dan JAI 19 kali, selekapnya

bisa di lihat tabel di bawah ini.47

46

The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebbasan Beragama Laporan Kebebasan

Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 50. 47

The Wahid Institute, Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebbasan

Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 34-35.

No Korban Jumlah %

1 Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) 65 26

2 Individu 42 17

3 Pemilik usaha / pedangang 24 10

4 Umat Kristen 21 9

5 Pejabat / pengawai pemerintahan 16 7

6 Kelompok atau individu terduga sesat 16 7

7 Tempat ibadah 15 6

8 Jemaat GKI Yasmin 11 4

9 Artis / pelaku seni 7 3

10 Kelompok pelajar / siswa 6 2

11 Properti umum 4 2

12 Pengikut Syiah 5 2

13 Peneliti / akademisi 3 1

14 LSM 3 1

15 Polisi 4 2

16 Warga NU 2 1

17 Ormas Agama 2 1

18 Media 1 0

Page 64: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

52

Tabel 3. Korban Intoleransi 2012

No Korban Jumlah

1 Umat Kristen 39

2 Individu 35

3 Pengikut Syiah 27

4 Kelompok terduga sesat 26

5 Pelaku Usaha 21

6 JAI 19

7 Kelompok warga masyarakat 17

8 Properti umum 13

9 Rumah ibadah 12

10 Anggota ormas agama 7

11 Pejabat/aparat negara 5

12 Kelompok pelajar 2

13 Umat Hindu 2

14 Pengacara 2

15 LSM 2

16 Pejabat lembaga Internasional 2

17 Umat Konghucu 1

18 Geraka Ahmadiyah Indonesia 1

19 Media massa 1

20 Pengikut agama lokal 1

21 Perguruan tinggi 1

22 Kelompok umat Islam 1

23 LGBT 1

24 Seniman 1

Sumber; Laporan The Wahid Institute, 2012.

Berdasarkan tabel di atas tersebut, bahwa tindakan intoleransi dan

diskriminasi di Indonesia masih sering terjadi. Baik itu konflik rumah ibadah

intimidasi aliran kepercayaan, dan tindakan kekerasan terhadap kelompok

minoritas.

Seharusnya, para penegak hukum mencegah aksi kekerasan tersebut,

memberikan pemahaman nilai-nilai demokrasi dan toleransi kepada masyarakat.

Page 65: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

53

Maka, dengan toleransi dapat mewujudkan masyarakat yang damai, menghargai

perbedan umat beragama, aliran kepercayaan, membangun masyarakat adil,

berperadaban, dan demokratis.

Kemudian, adanya peran pemerintah sebagai resolusi kasus kekerasan yang

terjadi di Indonesia. Lalu, sikap pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai

toleransi, menjamin kebebasan beragama, melindungi hak asasi manusia, bersikap

adil, dan tegas dalam melaksanakan konstitusi UUD dasar 1945 sebagi fondasi

negara Indonesia.

Akan tetapi, dalam penerapan toleransi di masyarakat masih banyak

mengalami kendala diantaranya; SKB tiga Menteri, peraturan daerah, dan fatwa

MUI tentang penyesatan kepada aliran kepercaan. Selain itu, adanya regulasi

undang-undang PNPS 1965 tentang pencegahan dan penodaan agama di

Indonesia. Kemudian, masih banyak sikap masyarakat yang intoleran terhadap

kelompok agama lain.

Maka, dengan hadirnya The Wahid Institut juga diharapkan dapat

mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam membangun

bangsa, mendorong terciptanya masyarakat yang demokrasitis, pluralisme,

mulikulturalisme, kebebasan beragama, dan toleransi. Oleh karena itu, toleransi

sebagai kekuatan bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera baldatun

thoyibatun wa rabbun ghofur. Serta, toleransi sebagai khazanah untuk

membangun integritas etnis, budaya, bahasa, dan kearifan lokal.

Page 66: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

54

BAB IV

PERAN THE WAHID INSTITUTE TERHADAP KEBEBASAN

BERAGAMA DI INDONESIA

Persoalan toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia masih sering

terjadi di berbagai daerah. Adanya tindakan kekerasan atas nama agama terhadap

kelompok-kelompok minoritas, perusakan rumah ibadah, dan aliran kepercayaan

menjadi salah satu buktinya. Oleh karena itu, The Wahid Institute melakukan

peran advokasi terhadap para korban kekerasan, seperti Gereja Kristen Indonesia

(GKI) Taman Yasmin Bogor, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia

Bekasi, Syiah di Sampang, Madura, dan Ahmadiyah di Cikeusik Banten.

A. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor

Salah satu masalah yang sering mencuat dalam isu rumah ibadah adalah

masalah perijinan, masalah yang seringkali memicu ketegangan antaragama.

Meskipun ada aturan tentang perijinan pendirian rumah ibadah, namun dalam

praktiknya tidak selalu diterapkan sebagaimana mestinya. Konflik tempat ibadah

bisa muncul karena ijin tempat ibadah belum keluar karena berbagai alasan, atau

karena ijin yang sudah keluar kemudian dipermasalahkan pihak lain.1

Persoalan pendirian rumah ibadah di Indonesia sudah lama mengganggu

keharmonisan antar pemeluk agama. Sejak rezim Orde Baru sampai sekarang,

persoalan pendirian rumah ibadah masih menimbulkan ketegangan. Acap kali

1 The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 52.

Page 67: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

55

terjadi tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia.2 Sebut

saja, permasalahan pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor dan

HKBP Filadelfia di Bekasi.

Pada 13 Juli 2006, GKI Taman Yasmin telah mendapat Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) dari Walikota Bogor dan masyarakat setempat. Bahkan,

peletakan batu pertama pendirian GKI Taman Yasmin dihadiri oleh Lurah, Camat,

Danramil, Bimas Kristen, Asisten Daerah I, dan tokoh masyarakat setempat.

Namun, dengan berbagai alasan yang tidak jelas, IMB GKI Taman Yasmin

dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor pada tanggal 14 September 2008.

Pembekuan gereja tersebut mengakibatkan gereja tidak dapat melanjutkan

pembangunannya lagi.

Pembekuan rumah ibadah GKI Taman Yasmin sebenarnya muncul dari

Lurah Curug Mekar pada akhir Tahun 2006. Dengan alasan, kedatangan GW

Bush ke Indonesia, yang ditakutkan akan menjadikan jemaat GKI Taman Yasmin

sebagai sasaran protes dan kemarahan atas kedatangan GW Bush yang kristen dan

banyak melakukan kejahatan terhadap umat muslim di Timur Tengah. Kemudian

adanya kegiatan menjelang tablig akbar oleh A‟A Gym.3

Selain pembekuan IMB GKI Taman Yasmin Bogor, Walikota Bogor juga

menggembok gereja di jalan KH. Abdullah Bin Nuh, Taman Yasmin Bogor, 10

April 2010. Akibatnya, jemaat gereja terpaksa beribadah di trotoar, persis di

depan gereja. Lalu, ibadah mereka juga dijaga oleh Satuan Polisi Pamong Praja

(Satpol PP). Pada 27 Agustus 2010, Pemerintah Kota (Pemkot) sebetulnya sempat

2 Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: Center for Religious

and Cross-cultural Studies/CRCS), 2011), 13. 3 Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 86.

Page 68: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

56

membuka segel gereja, plus berita acara resmi. Anehnya, sehari setelahnya di

gembok kembali. Kasus ini mulai bergulir sejak tahun 2008 setelah Kepala Dinas

Tata Kota dan Pertamanan Yusman Yopie, membekukan IMB pembangunan GKI

Taman Yasmin, Bogor. Alasannya banyak desakan dari ormas Islam se-Kota

Bogor.4

Pada tanggal 8 Maret 2011, Walikota Bogor Diani Budiarto menerbitkan

kembali Surat Keputusan (SK) Walikota Bogor Nomor 503.45-135 tahun 2011

tentang Pencabutan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor

Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Izin Tanggal 14 Pebruari 2008.

Berselang tiga hari, pada tanggal 11 Maret 2011, Walikota Bogor menerbitkan SK

lainnya Nomor 645.45-137 Tahun 2011 yang isinya mencabut IMB GKI Taman

Yasmin, Bogor.

Kemudian, pihak GKI Taman Yasmin melaporkan perihal terbitnya SK

Walikota Bogor 11 Maret 2011 ke lembaga Ombudsman RI. Akhirnya,

Ombudsman RI mengeluarkan Rekomondasi No. 0011/REK/0259.2010/BS-

15/VII/2011 pada tanggal 8 Juli 2011 tentang Pencabutan Surat Keputusan

Walikota Bogor Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011.5

Setelah mendapatkan angin segar dari Ombudsman RI, pihak GKI Taman

Yasmin juga melakukan perlawanan hukum ke Pengadilan Tata Usaha (PTUN)

Bandung. Selain itu, GKI Taman Yasmin menggugat Pemerintah Kota (Pemkot)

Bogor. Walhasil, Putusan PTUN Bandung No 41/G2008/PTUN-BDG, September

4 The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus

2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 7. 5 Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011

(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada,

2011), 44- 45.

Page 69: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

57

2008 menyatakan menolak eksepsi tergugat (Pemkot). Dalam pokok sengketa; 1)

Mengabulkan gugatan para penggugat GKI Taman Yasmin. 2) Menyatakan batal

surat pembekuan IMB. 3) Memerintahkan kepada tergugat Pemkot untuk

mencabut surat pembekuan IMB. 4) Menghukum penggugat membayar biaya

perkara.6

Menanggapi kasus pembekuan IMB rumah ibadah tersebut, The Wahid

Institute melakukan advokasi kepada GKI Taman Yasmin Bogor melalui berbagai

pendekatan. Pertama, pendekatan terhadap partai politik. Kedua, tokoh

masyakarat yang mempunyai pengaruh sosial terhadap kasus GKI Yasmin.

Ketiga, pada jalur hukum The Wahid Institute bekejasama dengan Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Jakarta, dan pendekatan ke lembaga pendidikan pesantren yang ada di Bogor.

Seperti, Pesantren Al-ghazali dan Pesantren Nurul Falaq. Selain itu, The Wahid

Institute juga melakukan pembelaan langsung kepada Sekertaris Walikota Bogor,

Kapolres Bogor untuk menjamin keamanan terhadap jemaat GKI Yasmin, serta

anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor.7

Dalam hal ini, peran The Wahid Institute adalah melakukan advokasi

pendampingan terhadap PTUN dan Mahkamah Agung (MA) sebagai bentuk

dukungan terhadap GKI Taman Yasmin.8 Ahmad Suaedy menambahkan, The

Wahid Institute melakukan kritik terhadap pemerintah untuk menegakan

konstitusi dan melindungi korban GKI Taman Yasmin, mendampingi korban ke

6 Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 87.

7 Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.

8 Tempo.com http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/173450192/Wahid-Institute

Minta-Wali-Kota-Jamin-GKI-Yasmin, diakses pada 1 Januari 2013.

Page 70: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

58

pengadilan sebagai bentuk dukungan moril kepada korban, investigasi, dan press

konference untuk menyikapi kasus yang sedang berlangsung.9

Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh The Wahid Intitute terhadap GKI

Taman Yasmin melalui pendekatan struktural yaitu; terhadap pemerintah,

Walikota, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor, partai politik

dan pengambil kebijkan. Dengan tujuan, agar Walikota Bogor memberikan izin

terhadap pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut. Karena pada

dasarnya pendirian rumah ibadah merupakan hak setiap orang ataupun kelompok.

Seharusnya, lembaga negara harus bersikap adil menangani persoalan

rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus

menjalankan konstitusi negara untuk menjamin warga negara memeluk

kepercayaan dan menghormati pemeluk agama lain.

Pada level masyarakat, The Wahid Institute melakukan pendekatan dan

memberikan pemahaman kepada tokoh agama dan organisasi masyarakat (ormas)

setempat terkait pendirian rumah ibadah. Sehingga, ormas dan para pemuka

agama mendukung pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin tersebut.

Selama kasus tersebut berlangsung, The Wahid Institute diminta oleh

sekelompok orang untuk melakukan pembelaan terhadap pihak GKI Taman

Yasmin, dan The Wahid Institute juga mempunyai konsen terhadap pembelaan

korban kekerasan dan kebebasan dalam mendirikan rumah ibadah.

Sejauh ini, The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan

mendirikan rumah ibadah GKI Taman Yasmin, Bogor, mengalami kendala yang

9 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 23 Desember 2013.

Page 71: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

59

cukup berat. Misalnya, dari segi hukum, aparat penegak hukum tidak tegas dalam

menangani persoalan hukum di Indonesia. Kemudian, persoalan kepemimpinan

yang ikut terlibat dalam kasus tersebut.10

Oleh karena itu, pembelaan yang dilakukan oleh The Wahid Institute dalam

melakukan pembelaan terhadap GKI Taman Yasmin masih belum maksimal, tapi

setidaknya apa yang dilakukan oleh The Wahid Institute terhadap kasus tersebut

dapat muncul ke publik dan dapat diketahui oleh banyak pihak. Sehingga banyak

Lemabaga Swaday Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil yang peduli membela

jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor.

Bagi The Wahid Institute itu sendiri, GKI Taman Yasmin seharusnya

mendapatkan haknya untuk mendirikan rumah ibadah seperti pendirian rumah

ibadah yang lainnya. Walaupun perjuangan The Wahid Institute sudah maksimal,

tapi masih saja mengalami kendalan di lapangan. Seperti, kelompok tertentu yang

mengatasnmakan Islam tidak setuju dengan pembanguan rumah ibadah tersebut

dikarenakan adanya Kristenisasi. Lalu, sikap Walikota Bogor yang melakukan

pembekuan IMB GKI Taman Yasmin, Bogor. Padahal, secara administratif GKI

Taman Yasmin telah mendapatkan payung hukum dari PTUN Bandung dan

PTUN Jakarta.

B. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi

Peristiwa Gereja HKBP Filadelfia Bekasi tidak jauh berbeda dengan GKI

Taman Yasmin, Bogor. Secara lega-formal gereja HKBP Filadelfia telah

memenuhi persyaratan administratif, yaitu mengantongi 300 kartu tanda

10

Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M Dja‟far, pada 10 Januari 2014.

Page 72: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

60

penduduk (KTP) dan 259 tanda tangan persetujuan warga sekitar. Karena itu,

Sukardi, Kepala Desa Jejalen Jaya, tidak keberatan atas pendirian rumah ibadah

tersebut, mengeluarkan dan memberi izin pendirian gereja HKBP Filadelfia

Bekasi dengan No. 451.2/09/X2007, tertanggal 11 Oktober 2007.11

Begitu juga persetujuan dan dukungan dari tokoh agama H. Heri. Ia adalah

tokoh NU dan mantan ketua MUI kecamatan Tambun Utara. Ia tidak keberatan

pendirian rumah ibadah Gereja HKBP Filadelfia Bekasi. Bahkan H. Heri sering

berhadap dengan kelompok yang tidak setuju dengan pembangunan geraja

tersebut. 12

Namun begitu ternyata masyarakat melakukan „gugatan‟ yang berasal dari

warga yang menolak pendirian gereja. Mereka menuduh adanya rekayasa dan

penipuan dalam memperoleh dukungan persetujuan warga, sehingga dukungan

tersebut bermasalah, termasuk oleh Forum Kerukunan Umat Islam (FKUI) yang

dimotori oleh Ustadz Naimun, Ustadz Amil Mariadi, dan Ustadz Acep.

Kemudian, jemaat Gereja HKBP melakukan permohonan pembangunan gereja

kepada Bupati Bekasi, Kepala kantor Departemen Agama (DEPAG) Kabupaten

Bekasi, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi dan Camat

Tambun Utara pada 02 April 2008.

Namun, Pihak Camat Tambun Utara keberatan soal pembangunan gereja

melalui surat No.452.2/76/II-/Ekmasy/2008. Kemudian, kantor Departemen

Agama setempat mengeluarkan surat No. Kd. 10.16.11/1473/2009 tertanggal 18

Agustus 2009. Depag mengatakan tidak bisa memberikan rekomondasi pendirian

11

Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 98. 12

Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta, 101.

Page 73: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

61

gereja, sebab masih ada penolakan warga setempat sebagaimana surat yang

dikeluarkan oleh Camat Tambun Utara, Kabupten Bekasi.13

Akhirya, jemaat Gereja HKBP Filadelfia Bekasi untuk sementara waktu

beribadah di Balai Desa Jejalen Raya, meskipun masih sering diserang massa.

Tanggal 13 Januari 2010, pihak HKBP Filadelfia menerima SK Bupati Kabupaten

Bekasi No.300/675/Kesbangpolinmas/09 tertanggal 31 Desember 2009 mengenai

Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah HKBP Filadelfia.

Menyoal SK Bupati Bekasi tersebut, Pihak Gereja HKBP Filadelfia

mengajukan gugatan kepada Putusan PTUN Bandung Nomor 42/G/2010/PTUN-

BDG tanggal 2 September 2010, serta PTUN Jakarta Nomor

255/B/2010/P.TUN.JKT tanggal 30 Maret 2011 yang menyatakan SK tersebut

batal. Dua putusan PTUN Bandung dan PTUN Jakarta sudah final dan

berkekuatan hukum.

Namun, keputusan PTUN Bandung dan PTUN Jakarta tidak berdampak

signifikan terhadap kasus Gereja HKBP Filadelfia. Selama tahun 2012, jemaat

HKBP Filadelfia sering mendapatkan penentangan sebagian umat muslim

setempat dan perlakuan intimidasi, kekerasan, serta ancaman pembunuhan

terhadap Pendeta Palti Panjaitan, pemimpin jemaat HKBP Filadelfia. Mereka

beralasan, bahwa tujuan pendirian gereja adalah upaya kristenisasi.14

Menanggapi persoalan tersebut, The Wahid Institute melakukan advokasi

dalam memperjuangkan hak beribadah, serta menuntut pemerintah agar secara

13

The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX

Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 11. 14

Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012

(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CSRC) Universitas Gadjah Mada,

2011), 35-36.

Page 74: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

62

serius memberikan jaminan perlindungan bagi pihak HKBP Filadelfia dari segala

bentuk diskriminasi dan intoleransi yang dilakukan oleh siapapun, baik itu oleh

oknum pemerintah ataupun kelompok masyarakat.15

Selain itu, menurut M Subhi Azahari devisi Monitoring dan Advokasi The

Wahid Institute menambahkan. Pertama, melakukan press confrence untuk

menyikapi perkembangan kasus HKBP Filadelfia Bekasi sebagai bentuk

peryataan sikap atas kasus tersebut. Kedua, melakukan journalist briefing

memberikann pemahaman terkait kasus HKBP Filadelfia Bekasi kepada semua

media massa sehingga media massa dapat menyajikan berita secara objektif.

Ketiga, pendekatan kepada Forum Kerukuanan Umat Beragama (FKUB) untuk

bersikap netral dan mendorong suatu resolusi konflik bukan ikut terlibat dalam

konflik.

Selanjutnya, The Wahid Institute juga membuat analisa kasus yang hasilnya

diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten,

Golongan Karya (Golkar), Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi manusia

(Komnasham) dan Komnas Perempuan. Maka, dari hasil analisa The Wahid

Institute, semua elemen lembaga tersebut sebenarnya sepakat dengan pemahaman

dan perjuangan yang dilakukan oleh The Wahid Institute.16

Kemudian, beberapa elemen masyarakat sipil melakukan advokasi seperti,

The Wahid Institute, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman

(SEJUK), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Mereka

15

http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_Beribada

h_HKBP_Filadelfia, “Memperjuangkan Hak Beribadah Filadelfia”, diunduh pada 6 Maret 2013. 16

Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.

Page 75: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

63

menuntut tiga hal. Pertama, menuntut pemerintah secara serius memberikan

jaminan perlindungan kepada pihak HKBP Filadelfia dari segala bentuk

diskriminasi baik dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat.

Kedua, melindungi HKBP Filadelfia dalam menjalankan ibadah. Ketiga,

memastikan terbitnya IMB kepada HKBP Filadelfia untuk mendirikan tempat

ibadah di desa Jejalen, Bekasi.17

Dengan demikian, alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan

terhadap korban HKBP Filadelfia Bekasi yaitu, pemerintah tidak melaksanakan

konstitusi dalam menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Sehingga The

Wahid Institusi membantu meperjuangkan hak korban untuk mendirikan rumah

ibadah. Namun, The Wahid Institute mengalami kendala yaitu, para penegakan

hukum tidak adil dalam menangani persoalan kasus kekerasan dan kebebasan

mendirikan rumah ibadah. Begitu juga dengan sikap para pemimpin daerah yang

ikut terlibat terhadap kasus tersebut.18

Sejauh ini, apa yang sudah dibela The Wahid Institute melalui berbagai

pendekatan baik tokoh masyakarat, pemerintah daerah, dan melalui press

conference, setidaknya kasus pembekuan IMB rumah ibadah HKBP Filadelfia

dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Tentu saja, pembelaan The Wahid Institute terhadap HKBP Filadelfia

dengan alasan adanya kepincangan sikap pemerintah daerah yang tidak adil

terhadap korban kekerasan dan kelompok minoritas. Begitu juga sikap para

penegak hukum yang tidak tegas menjalankan konstitusi dan menindak tegas para

17

The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi Maret-April

2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3. 18

Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014.

Page 76: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

64

pelaku pemimpim daerah yang melakukan pembangkangan hukum. Selain itu,

adanya sikap intoleransi masyarakat yang melakukan ancaman, intimidasi kepada

kelompok minoritas.

C. Aliran Syiah di Sampang Madura

Peristiwa kekerasan dan pengusiran terhadap aliran Syiah19

yang terjadi

pada 29 Desember 2011, di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Omben,

Kabupaten Sampang, Madura. Kasus tersebut mengakibatkan rumah pimpinan

Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, dua rumah warga Syiah, dan

Mushalla Syiah di bakar oleh 500an orang.20

Akhirnya, warga Syiah diungsikan

ke Gelanggang Olahraga (GOR) yang bertempat di depan Kantor Bupati

Sampang, Madura.

Selanjutnya, isu ini ditanggapi Pemerintah Daerah Syaifullah Yusuf sebagai

Wakil Gubernur Jawa Timur, Ia mengajukan izin relokasi warga Syiah agar

konflik tidak terjadi lagi. Solusi ini seakan-akan ingin menyelesaikan masalah

yang muncul dengan melenyapkan kelompok yang berbeda secara paksa.21

Oleh

karena itu, tindakan Wakil Gubernur tersebut tidak memberikan solusi terbaik

dalam mengatasi kasus Syiah di Sampang, Madura. Bahkan, tidak mampu

melindungi jaminan keamanan bagi warga Syiah.

19

Golongan Syiah; yang hanya mengakui khalifah Allah saja. Mereka tidak mengakui

Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, bahkan menyatakan bahwa ketiga Khalifah telah

meyererobot jabatan Khalifah yang tidak sah. Mereka berhak yang menjadi Khalifah sesudah

Nabi adalah Ali. dalam H.M Rasyidi, Apa itu Syiah (Jakarta: Harian Umum Pelita, 1984), 50. 20

Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu

Penting (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 34. 21

Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011,

30.

Page 77: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

65

Akhirnya, jamaah Syiah di evakuasi ke Gelanggang Olahraga (GOR)

Sampang, dengan fasilitas terbatas dan mendapat tekanan dari institusi pemerintah

serta ormas tertentu. Pihak yang aktif menekan adalah kantor Kementerian Agama

(Kemenag) Sampang yakni Kiai Halim serta kepala Kesbangpol Sampang, Rudi

Setyadi.

Pada 2011, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pimpinan Cabang

Nahdlatul Ulama (PCNU) setempat beserta Basra (Badan Urusan Silaturahmi

Ulama Madura), memaksa Tajul Muluk untuk menyetujui 3 kesepakatan; 1)

menghentikan semua aktifitas Syiah dan kembali ke Sunni. 2) Diusir ke luar

wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/asset yang ada, dan 3) jika salah satu

poin tidak dipenuhi, berarti aliran Syiah harus mati.22

Sikap fatwa MUI Kabupaten Sampang No: A-035/MUI/SPG/I/202 tanggal

1 Januari 2012 menyatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan dan

merupakan penistaan agama. Selanjutnya, adanya peryataan sikap Pimpinan

Cabang Nahdaltul Ulama (PCNU) Sampang No; 255/EC/A:/L-36/I/102 tanggal 2

Januari 2012 yang juga menyatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan

menyesatkan, serta merupakan tindakan penistaan agama yang membuat bikin

keresahan di masyarakat.23

Fatwa MUI tersebut yang menyeret Tajul Muluk alias Ali Murtadho,

Pemimpin Syiah Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben,

Madura. Akhirnya, Tajul Muluk divonis dua tahun penjara karena secara terbukti

22

The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX

Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3. 23

Yeni Zannuba Wahid, dkk, Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu

Penting, 40.

Page 78: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

66

melakukan penodaan agama sebagaimana tercantum dalam Pasal 156a KHUP.

Menurut ketua Majlis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Purnomo Amin

Cahyono, Tajul Muluk telah melecehkan agama Islam dengan menyatakan Al-

qur‟an yang beredar tidak asli lagi.24

Hal ini tercermin bahwa Pengadilan Negeri (PN) tidak bersikap adil dalam

persidangan kasus Tajul Muluk, dan pemerintah tidak tegas dalam menangani

persoalan kekerasan agama. Sebut saja, peryataan Syaifullah Yusuf, Wakil

Gubernur Jawa Timur, mengenai relokasi jemaah Syiah ke GOR Sampang. Seolah

menujukan bahwa pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan konflik ini.

Bahkan, beberapa lembaga pemerintah dan ormas melakukan tindakan intimidatif

terhadap warga Syiah.

Menyikapi kasus Syiah tersebut, The Wahid Institute juga melakukan

advokasi di lapangan melalui kerjasama dengan jejaring The Wahid Institute

yaitu, Center for Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran

yang dilakukan oleh CMARs yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan,

dan investigasi.

Pada level parlemen, The Wahid Institute melakukan pendekatan ke Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) RI dan pengambil kebijakan. Pada level ormas

The Wahid Institute bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya,

Nahdlatul Ulama (NU), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk

mencari solusi kasus Syiah tersebut. Sedangkan untuk menyadarkan warga NU

24

The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012

(Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 3

Page 79: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

67

yang ikut terlibat kasus Syiah, The Wahid Institute mengingatkan agar jangan

sampai di tranformasikan kepada tindakan kekerasan.25

Kemudian, alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap

korban kasus Syiah di Sampang, Madura. Bahwa, setiap warga negara berhak

untuk berkeyakinan sesuai dengan kepercayaanya. Seharusnya, negara menjamin

kebebasan beragama, berkeyakianan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan 19

ayat 1 dan 2.

Dalam perjuangannya, The Wahid Institute mengalami kendala pada level

masyarakat dan level pemerintah. Contohnya, adanya penegakan hukum yang

tidak adil.26

Lalu, kelompok Islam tertentu yang tidak suka dengan aliran Syiah,

peran Pemerintah Sampang yang tidak tegas dalam menangani persoalan

kekerasan Syiah, dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang

menyatakan bahwa aliran Syiah sesat.27

Selama ini, apa yang dilakukan oleh The Wahid Institute dengan melakukan

pembelaan terhadap aliran Syiah, ternyata berdampak cukup lebih baik. Faktanya,

setidaknya aksi kekersan/intimidasi terhadap kelompok Syiah semakin berkurang.

Dengan demikian, kiprah The Wahid Institute dengan memosisikan diri dalam

advokasi golongan marginal sangat efektif.

Bagi The Wahid Institute, semua golongan berhak mendapatkan hak dan

perlakuan yang sama dari pemerintah. Sebab demikian, jika terjadi tindakan

marginalitas/pengucilan terhadap sekelompok kaum, atas nama apapun maka

25

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. Dan Wawancara

Pribadi dengan Subhi Azhari pada 23 Desember 2013. 26

Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014. 27

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013

Page 80: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

68

harus tetap dibela. Selama ini, kiprah The Wahid Institute pun bukan hanya dalam

kasus Syiah, beberapa kasusu lain juga, terutama yang menyangkut kebebasan

umat beragama, selalu diperhatikan.

Meskipun perjuangan The Wahid Institute telah dilakukan, tetap saja dalam

beberapa hal The Wahid Institute selalu mendapatkan tantangan yang cukup berat.

Misalnya, sikap pemerintah yang intoleran terhadap kelompok minoritas. Selain

itu, penegak hukum yang bersifat tidak adil dan masifnya oknum yang beridiologi

garis keras.

D. Ahmadiyah di Cikeusik Banten

Ahmadiyah secara organisasi disebut sebagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI).28

Dalam kiprahnya, jemaat Ahmadiyah ikut terlibat sebagai lembaga

pendidik dan mengembangkan masyarakat. Namun, sedikit orang yang mengenal

dan mengetahui Ahmadiyah. Keberadaan Ahmadiyah mulai dikenal ketika terjadi

kasus pelarangan Ahmadiyah oleh sebagian ormas Islam tertentu. Di Indonesia,

jemaat Ahmadiyah memiliki banyak pengikut. Sebagai organisasi resmi,

organisasi ini sudah terdaftar di lembaga negara dan mendapatkan surat izin dari

berbagai lembaga.29

Berdirinya organisasi ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman

Republik Indonesia No. JA.5/13 tertanggal 13 Maret 1953. Begitu juga dengan

28

Ahmadiyah dikenal juga dengan nama Qadiyaniyyah atau Mirzaiyyah adalah

sekelompok orang yang beranggapan bahwa ajarannya berdasar kepada ajaran Islam yang benar.

Ajaran ini didirikan oleh seorang Qadiyan yang mengaku sendirinya sebagai Nabi, bernama Mirza

Gulam-pada tanggal 23 Maret 1889, di sebuah kota yang bernama Ludhiana di Punjab India.

Negeri ini oleh orang-orang ahmadi disebut “Darul Bai‟at”. Lihat Hasan bin Mahmud Audah,

Ahmadiyah Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman (Jakarta: Lembaga

Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), 2006), 11. 29

Ahmad Suaedy, dkk., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di

Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 49.

Page 81: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

69

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang sudah tercatat

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 26 tanggal 31 Maret 1953.

Kelengkapan administrasi jemaat Ahmadiyah Indonesia tersebut dapat dilihat di

Departemen Agama RI Nomor 046/J/1970 tanggal 2 Maret 1970, Departemen

Sosial RI (No; D.V/70 tanggal 15 Mei 1970). Sebagai organisasi masyarakat,

jemaat Ahmadiyah juga telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri Nomor

75/DI/VI/2003 (5 Juni 2003).30

Dalam hal ini, merebaknya isu kekerasan atas nama agama, konflik antar-

sekte atau aliran kepercayaan sering terjadi di berbagai daerah. Konflik jenis ini

disebut sebagai konflik sektarian.31

Salah satunya, kekerasan dan pembantaian

anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011. Kekerasan

ini merupakan peristiwa paling keji yang menimpa jemaat Ahmadiyah Indonesia,

setidaknya selama lima tahun terakhir.

Akibat peristiwa tersebut, tiga orang tewas dan lima orang luka-luka.

Peristiwa ini seharusnya disikapi oleh penegak hukum secara adil dengan

menghukum para pelaku dan aktor intelektual.32

Lalu, adanya ketegasan

pemerintah dalam menangani kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.

Ironisnya, 12 terdakwa kasus kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah

ternyata hanya divonis ringan. Sepuluh orang divonis enam bulan penjara, dan

dua orang lainnya divonis kurang dari enam bulan. Vonis ringan ini ditanggapi

30

Ahmad Suaedy, dkk., Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di

Indonesia, 50. 31

Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi, Merawat Kebersamaan Polisi, Kebebasan

Beragama dan Perdamaian (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2011), 61. 32

Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita (Jakarta:

Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 147.

Page 82: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

70

oleh banyak pihak dengan nada kecewa. Virdaus Ahmadiyah, Humas Ahmadiyah

DKI Jakarta yang tekun mengikuti persidangan ini mengatakan bahwa vonis ini

semacam persetujuan negara terhadap kekerasan yang ditunjukan kepada

Ahmadiyah.33

Pasca kerusuhan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, banyak bermunculan

peraturan daerah yang melarang aktifitas jemaat Ahmadiyah. Sebut saja, Surat

Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, Peraturan Gubernur Banten No. 5

Tahun 2011, 11 Maret 2011. Larangan penggunaan atribut, pemasangan identitas,

penyebarluasan Ahmadiyah; dan menyebarkan ajaran-ajaran yang menyimpang

dari pokok Islam. Begitu juga dengan Peraturan Bupati Pandeglang Banten No. 5

Tahun 2011, tertanggal 12 Pebruari 2011 yang berisi larangan penggunaan atribut,

pemasangan identitas, dan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.34

Ditambah lagi dengan pendapat Menteri Agama Suryadharma Ali bahwa

Ahmadiyah di Indonesia harus dibubarkan. Karena, kalau tidak, potensi konflik

akan terus meningkat dan mengganggu kerukunan umat beragama. Ahmadiyah

adalah cikal bakal terjadi konflik di masyarakat. Menteri juga beralasan bahwa

Ahmadiyah bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, Ahmadiyah

harus diberhentikan kegiatan aktivitasnya.35

Menurut Setara Institute, kekeliruan utama dalam penanganan kasus

penyerangan anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten terletak pada sikap

33

The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV, Agustus

2011, 2. 34

Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011,

33. 35

The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 45.

Page 83: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

71

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang gagal menegakkan hukum

secara adil dalam kasus yang mengatasnamakan agama. Perlu dicatat, bahwa

Kepolisian RI dan Kejaksaan RI merupakan institusi negara di bawah koordinasi

Presiden. Jika SBY benar-benar ingin melakukan penegakan hukum, maka

Presiden seharusnya lebih menegaskan kepada institusi dua lembaga negara

tersebut.36

Menyikapi kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, The Wahid Institute

melakukan investigasi di lapangan dan menjalin kerjasama dengan lembaga

pemerintah yang memiliki jaminan hukum, seperti, Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia (Komnasham).37

Sedangkan menurut Ahmad Suaedy, The Wahid

Institute melakukan penyadaran melalui media massa, dan pendekatan ke lembaga

negara DPR RI. Karena, DPR sebagi lembaga negara yang mempunyai peran

terhadap kebijakan-kebijakan negara.38

Kemudian, The Wahid Institute juga mendesak presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) agar mencabut berbagai kebijakan diskriminatif serta

kebijakan yang mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kedua,

mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera membatalkan Peraturan Bupati

Pandeglang No. 5 Tahun 2011. Ketiga, mendesak Bupati Pandeglang untuk

menghormati proses hukum dengan tidak melakukan penghakiman sepihak, serta

36

Ismail Hasani-Bonar dan Tigor Naipospos, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita, 150. 37

Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013. 38

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013.

Page 84: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

72

mencabut pernyataan bahwa jemaat Ahmadiyah sebagai pelanggar SKB Tiga

Menteri dan penyebab konflik Sosial.39

Selanjutnya, alasannya The Wahid Institue melakukan advokasi kepada

jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten ialah, bahwa setiap warga negara berhak

mendapatkan jaminan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam peranya The

Wahid Institute mengalami kendala yang cukup berat. Contohnya, para penegak

hukum tidak adil dan tidak objektif menangani kasus kekerasan Ahmadiyah

Cikeusik, Banten. Karena pelaku kekerasan hanya di hukum ringan dan tidak

memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan tersebut.40

Secara umum, menurut Subhi Azhari, advokasi yang di lakukan The Wahid

Institute terhadap kasus di atas tersebut yaitu, pertama, mendorong negara

ataupun pengambil kebijakan untuk mengamanatkan konstitusi kepada setiap

warga negara untuk memeluk agama yang dianutnya. Kedua, pendekatan secara

politisi yakni dengan para pengambil kebijakan, aparatus negara untuk mendorong

menjalankan amanat konstitusi. Bahkan, The Wahid Institute juga melakukan

demonstrasi dan dengar pendapat dengan pemerintah.

Ketiga, menghimbau kepada masyarakat sipil untuk memperkuat jejaring di

setiap berbagai daerah yang memiliki isu yang sama dalam menjamin hak-hak

umat beragama. Keempat, pada level grassroot, The Wahid Institute bergerak di

bidang pendidikan untuk memberikan pemahaman terhadap pemuka agama dan

39

http://www.elsam.or.id/index.php?id=1361&lang=in&act=view&cat=c/302, diunduh

pada 6 Maret 2013. 40

Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M. Dja‟far, pada 10 Januari 2014.

Page 85: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

73

kelompok masyarakat tentang jaminan konstitusi setiap warga negara dan

pentingnya hak-hak beragama, serta memperkuat resolusi konflik.

The Wahid Institute juga mendorong para kiai pesantren untuk memahami

keislaman dan mengkaji literatur-literatur keislaman yang menekankan pada

aspek perlindungan hak-hak beragama. Kemudian, The Wahid Institute

melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan agama yang terdiskrimasi

hak-haknya, baik itu hak individu maupun kelompok, seperti halnya Ahmadiyah,

Syiah, GKI Taman Yasmin, dan HKBP Filadelfia Bekasi.41

Sejauh ini, peran yang dilakukan The Wahid Institute terhadap jemaat

Ahmadiyah di Cikeusik Banten yaitu, melalui pendekatan ke Presiden SBY dan

DPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Lalu, dalam segi hukum The Wahid

Institut bekerjasama dengan LBH Jakarta. Sedangkan, pada level masyarakat The

Wahid Institue hanya melakukan investigasi di lapangan.

Akan tetapi, The Wahid Institue mempunyai alasan kuat dalam membela

korban yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Bahwa semua

orang berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaanya dan berhak untuk

beribadah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 19 Ayat 1 dan 2. Begitu juga dengan

undang-undang kovenan hak sipil dan politik tahun 2005 Pasal 18 Ayat 1 dan 2.

Oleh karenanya, kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah tidak dibenarkan apapun

alasannya.

Apa yang sudah dilakukan oleh The Wahid Institute dalam membela

kebebasan beragama dan kelompok minoritas pasti mengalami kendala yang

41

Wawncara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013.

Page 86: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

74

cukup berat. Misalnya, adannya sikap para pengak hukum yang tidak bersikap

adil, tidak profesioanal, dan tidak objektif dalam menangani kasus kekerasan

Ahmadiyah. Selain itu, sikap intoleran pemerintah daerah terhadap aliran

kepercayaan dan kelompok minoritas. Seperti halnya, peraturan gubernur dan

peraturan bupati yang membatasi kegiatan jemaat Ahmadiyah.

Dengan demikian, untuk mencegah tindakan kekerasan yang

menagatasnamakan agama, The Wahid Institute melakukan workshop, seminar,

dan dialog mengenai toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia. Dengan

adanya pelatihan tersebut setidaknya masyarakat mengetahui nilai-nilai toleransi

dan kebebasan beragama dalam kehidupan beragama dan bernegara.

E. Tantangan The Wahid Institute dalam Memperjuangkan Kebebasan

Beragama di Indonesia

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, ternyata perjuangan The Wahid

Institute dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas, kebebasan

beragama dan toleransi banyak mengalami tantangan yaitu, pemerintah sebagai

lembaga tinggi negara tidak bisa melindungi kelompok minoritas dan tidak

menjalankan konstitusi negara.

Ironisnya, Presiden SBY, justru berperan sebagai pelayan MUI yang

menjalankan fatwa-fatwanya. Maka, dalam hal ini berarti SBY telah melanggar

konstitusi negara.42

Sedangkan menurut Subhi Azhari, adanya kasus kekerasan

diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang belum berjalan

maksimal serta sikap intoleransi warga negara yang disebabkan faktor ekonomi

42

WawancaraPribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013.

Page 87: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

75

dan politik. Kemudian, negara juga ternyata ikut terlibat dalam kasus kebebasan

beragama.43

Bahkan, negara melakukan pembiaran terhadap korban kekerasan

yang mengatasnamakan agama di Indonesia.

Begitu juga dengan pendapat Eef Saefulloh Fatah dalam kolom Tempo. Ia

mengungkapkan bahwa Presiden SBY sejauh ini gagal menunaikan

kewajiban asasinya sebagai penjaga konstitusi negara. Kegagalan Presiden

selama ini mendatangkan persoalan amat yang serius yakni, absennya

otoritas politik untuk menegakan hukum dan ganjaran sanksi yang adil.

Kegagalan tersebut secara tidak langsung memfasilitasi untuk bertahan dan

berkembangnya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama oleh

berbagai kelompok.44

Dalam menjalankan misinya, The Wahid Institute mendapatkan beberapa

tantangan dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Pertama,

sikap pemerintah yang intoleran terhadap kelompok minoritas. Kedua, penegakan

hukum yang tidak bersikap tidak adil dan melakukan pembiaran bila terjadi aksi

kekerasan. Ketiga, menjamurnya kelompk-kelompok garis keras seperti, Front

Pembela Islam (FPI).

Ketiga hal tersebut, merupakan tantangan yang dihadapi The Wahid

Institute selama ini. Jika ditelisik satu persatu bagaimanapun sikap pemerintah

yang tidak adanya keperpihakan pada kelompok tertentu itu penting. Sikap aparat

pemerintah tidak tegas kepada kelompok minoritas, adanya indikasi bahwa aparat

pemerintah bagian dari mayoritas untuk mengharap popularitas semata.

Seharusnya, pemerintah harus bersikap netral dan pemerintah tidak boleh

membedakan perlakuan terhadap warga negaranya apapun latar belakang

43

Wawancara Pribadi dengan Subhi Azhari, pada 23 Desember 2013. 44

Eep Saefulloh Fatah, “Merindukan Presiden Penjaga Konstitusi”, dalam Kolom Majalah

Tempo No. 3951/14-20 Februari 2011 (Jakarta: Tempo, 2011), 41.

Page 88: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

76

warganya. Pemerintah harus melindungi setiap warga negara Indonesia serta

menjamin kebebasan warga negara dalam beribadah.

Kemudian, aparat pemerintah seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Agama seharusnya mengeluarkan kebijakan yang tidak melanggar UUD 1945,

dan tidak merugikan kelompok minoritas di Indonesia. Lalu, aparat pemeritah

daerah juga seharusnya bersikap toleran dan tidak melakukan tindakan intimidasi

kepada kelompok minoritas, dan harus menjalan konstitusi negara.

Penegakan hukum juga demikian, sudah seharusnya aparatur penegak

hukum bisa berlaku adil terhadap semua pihak. Penegak hukum tidak bisa

ditunggangi oleh kepentingan sekelompok orang, partai politik, pengusaha, dan

lain sebagainya. Seharusnya, aparat keamanan menindak tegas pelaku kekerasan

tanpa mempedulikan latar belakang ormas dimana berasal. Jika pelaku kekerasan

dibiarkan maka akan berdampak mengancam toleransi dan kebebasan beragama di

Indonesia.

Selain itu, munculnya organisasi massa kelompok radikal harus di kawal

ketat, agar mereka tidak melakuakn tindakan anarkis seenaknya. Kehadiran

kelompok-kelompok aliran keras ini akan mengancam perjuangan The Wahid

Institute. Oleh karena itu, jika ada ormas yang terlibat melakukan aksi kekerasan

dan perusakan tempat ibadah harus di hukum seberat-beratnya dan aparat

penegakan hukum bertindak tegas mencabut izin ormas yang melakukan tindakan

anarkis.

Karena apapun yang dilakukan The Wahid Institute dalam mengikis angka

kekerasan di Indonesia, tanpa adanya sinergi dengan pemerintah dan aparat

Page 89: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

77

penegak hukum akan menjadi tindakan yang percuma. Bentuk dukungan

pemerintah itu penting agar aksi anarki bisa ditekan dengan maksimal.

Semestinya, ada peran para tokoh masyarakat untuk mengawasi tindakan warga

negara yang melakukan tindakan anarkis dan memberikan pemahaman kepada

masyarakat umum akan pentingnya kesatuan, toleransi, kerukuanan antarumat

beragama.

Page 90: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

The Wahid Institute adalah organisasi yang concern menangani isu-isu

seputar toleransi, kebebasan beragama, pluralisme, dan nilai-nilai demokrasi di

Indonesia. The Wahid Institute mempunyai visi mewujudkan pemikiran Gus Dur

untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang

berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme,

demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diinspirasi nilai-nilai Islam.

Di Indonesia, angka kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti

Ahmadiyah, Syiah dan lainnya masih tinggi. Terciptanya kerukunan antar umat

beragama masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Dalam rangka mewujudkan

visinya tersebut, The Wahid Institute banyak melakukan advokasi hukum dan

politik, di antaranya dengan melakukan press conference sebagai bentuk protes

kepada pemerintah, pendekatan ke tokoh masyarakat sekitar, serta ke tokoh partai

politik. Lalu, melakuan pembelaan melalui jurnalis brefing kepada media massa,

pendekatan ke Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Ombudsman RI.

The Wahid Institute juga melakukan pendekatan budaya, advokasi dan

hukum, seperti melakukan pendekatan kepada Nahdlatul Ulama (NU), pendekatan

Page 91: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

79

kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, dan Kontras.

Setidaknya, apa yang sudah dilakukan oleh The Wahid Institute dalam

memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia dapat memberikan dampak

positif ke publik. Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah mendapatkan

tekanan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan kasus Gereja Kristen Indonesia

(GKI) Taman Yasmin, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi,

Ahmadiyah, dan Syiah. Selain itu, dampak dari perjuangan The Wahid Institute

juga telah membangun kesadaran masyarakat tentang kebebasan beragama dan

berbagai tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas.

Namun dalam perjalanannya The Wahid Institute mengalami tantangan

dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Sebut saja seperti

lemahnya sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menangani

kasus kekerasan agama, rumah ibadah, dan kekerasan terhadap kelompok

minoritas.

B. Saran-saran

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian skripsi tersebut, sekiranya ada

beberapa saran tentang masa depan kebebasan beragama di Indonesia. Pertama,

pentingnya menjaga toleransi terhadap semua lapisan masyarakat, menghargai

umat beragama, dan menjaga kemajemukan bangsa. Hal ini sesuai dengan dasar

negara dan konstitusi UUD 1945. Begitu juga dalam Islam yang mengajarkan

sikap saling kasih sayang (rahman), kebijaksanaan, (hikmah), dan saling

menghormati kepada pemeluk agama lain, karena keragaman merupakan

Page 92: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

80

merupakan sunatullah yang harus dijaga dan dilestarikan oleh penduduk muka

bumi ini.

Kedua, pemerintah harus bertindak sebagai lokomotif kebijakan untuk

mewujudkan masyarakat yang adil, harmonis, menjamin kebebasan beragama,

dan merawat kemajemukan bangsa. Oleh karena itu, negara harus bersikap tegas

mejalankan konstitusi negara. Ketiga, pentingnya peran masyarakat sipil sebagai

garda terdepan dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan nilai-nilai

demokrasi di Indonesia.

Page 93: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

ix

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

A’la, Abd. “Kemenangan Gus Dur Angin Sejuk Bagi Iklim Keagamaan di

Indonesia,” dalam Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta:

Kompas, 2010.

Abdul Karim, Khalil. Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab.

Yogyakrta: LKiS, 2005.

Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia

2010.Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies)

Universitas Gadjah Mada, 2010.

Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia

2011. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies,

Universitas Gadjah Mada, 2011.

Abidin Bagir, Zainal, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia

2012. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies)

Universitas Gadjah Mada, 2012.

Acmad, Nur. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. (Jakarta: Kompas,

2001).

Al–Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh, dkk.

Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan

Sosial NU. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

Ali, Muhamad. Teologi Pluralis-Multkultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan. Jakarta: KOMPAS, 2003.

Ali-Fauzi, Ihsan, dan Mujani, Saiful. Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan

Advokasi Kritis atas Perda Syariah. Jakarta: Nalar, 2009.

Ali-Fauzi, Ihsan, dkk. Kontroversi Gereja di Jakarta. Yogyakarta: Center for

Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), 2011.

Amir Azis, Ahmad. Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral

Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT Rineka Cipta,

1999.

Page 94: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

x

Assyaukanie, Lutfi. Idiologi Islam dan Utopia. Jakarta: Freedom Institute, 2011.

Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.

Barton, Greg. Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid.

Yogyakarta; LKiS Group, 2002.

Blaxter, Lorain e, dkk. How To Research Seluk-Beluk Melakukan Riset. Jakarta:

PT. Indexs Kelompok Gramedia, 2006.

Departemen Agama RI, Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama

di Indonesia, Seri II. Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama

dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2011.

Dhakiri, M. Hanif . 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 2010.

Fahrudin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah

dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP, 2006.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta Panduan Penyusunan

Proposal dan Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, 2012.

Gellner, Ernest. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan.

Bandung: MIZAN Anggota IKAPI, 1995.

Ghazali, Abd Muqsith.“Cetak Biru Toleransi Beragama,” dalam Abd Muqsith

Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal Upaya Merumuskan Keberagaman yang

Dinamis. Jakarta; Jaringan Islam Liberal, 2005.

Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos, ed. Politik Diskriminasi Rezim Susilo

Bambang Yudhoyono,Kondisi Kebebasan Beragama/berkeyakinan di

Indonesia 2011. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012.

Hasani, Ismail, dan Bonar Tigor Naipospos, ed. Mengatur Kehidupan Beragama;

Menjamin Kebebasan, Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan

Beragama/Berkeyainan. Jakarta: Setara Institute, 2011.

Hasani-Bonar, Ismail dan Tigor Naipospos. Menjamin Kebebasan, Mengatur

Kehidupan Beragama: Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan

Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Seatara Institute, 2011.

Hasani-Bonar, Ismail, dan Tigor Naipospos. Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita.

Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011.

Page 95: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xi

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press dan Tintamas, 1986.

Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina,

2003.

Hidayat, Komarudin, dan Gaus AF. Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan

dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005.

Hikam, Muhammad A.S. Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society.

Jakarta: Erlangga, 2000.

Huwaidy, Fahmi. Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani. Bandung: Mizan,

1996.

Intan, Benyamin F. “Gus Dur pejuang Pluralisme Sejati”, dalam Rumadi, ed.

Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010.

Kamil, Sukron, dan Chaider S. Bamualim. Syariah Islam dan HAM, Dampak

Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan non-

Muslim. Jakarta, Center For Studi Religion and Culture, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2007.

Karni, Asrori S. Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif Rumah Demokras.

Jakarta: Logos, 1999.

Kontras. Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan,

Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor,

Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman

Yasmin). Jakarta: Kontras, 2012.

Madjid, Nurcholis. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,

1999.

Madjid, Nurcholish,“Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat

Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di

Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002.

Madjid, Nurcholish. “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat

Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di

Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002.

Page 96: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xii

Madjid, Nurcholish.“Mewujudkan Masyarakat Madani,” Titik-temu, Jurnal

Dialaog Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009. Jakarta: Nurcholish

Madjid Society (NCMS), 2009..

Mahmud Audah, Hasan bin. Ahmadiyah Kepercayaan-kepercayaan dan

Pengalaman-pengalaman. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian

Islam (LPPI).

Majlis Diktilitbang, dan LPI PP Muhammadiyah. 1 Abad Muhammadiyah.

Jakarta: Kompas, 2010.

Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta:

Erlangga. 1992.

Mas’ud, Muhtar, dan Colin MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1993.

Mujani, Saiful. Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi

Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Yayasan Wakaf

Paramadina, dan Freedom Institute, 2007.

Mulia, Siti Musdah. “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul

Hakim, dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk

Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan

(PSIK) Paramadina, 2007.

Munawar-Rachman, Budhi. Membela Kebebebasan Beragama Percaakapan

Tentang Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme. Jakarta: Democrazy

Project, Edisi Digital, Buku 1, 2011.

Munawar-Rachman, Budhy. Islam dan Liberalisme. Jakarta: Fredrich Naumann

Stiftung, 2011.

Nasution, Harun, dan Bahtiar Effendy. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Nata, Abuddin .Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2005.

Panggabean, Rizal, dan Ihsan Ali-Fauzi. Merawat Kebersamaan Polisi,

Kebebasan Beragama dan Perdamaian. Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 2011.

Qodir, Zuly. “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam

Elza Peldi Taher, ed. Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai

Page 97: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xiii

Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Indonesian Conference on

Religion and Peace (ICRP), dan Kompas, 2009.

Rahadjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan

Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.

Rasyidi, H.M. Apa itu Syiah. Jakarta: Harian Umum Pelita, 1984.

Ridwan, Nur Khalik. NU dan Neoliberalisme dan Harapan Menjelang Satu Abad.

Yogyakarta: LkiS, 2008.

Roskin, Michael G. Political Science an Introduction. United State: Pearson,

2003.

Saefulloh Fatah, Eep. “Merindukan Presiden Penjaga Konstitusi”, dalam Kolom

Majalah Tempo No. 3951/14-20 Februari 2011. Jakarta: Tempo, 2011.

Shofan, Moh. Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama. Yogyakarta, Samudra

Biru, 2011.

Sihombing, Uli Parulian ed. Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring

Kasus-kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di

Indonesia. Jakarta: The Indonesia Legal Resources Center (ILRC), 2012.

Suaedy, Ahmad, dkk. Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu

Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.

Suaedy, Ahmad. dan Raja Juli Antoni, ed. Para Pembaharu Pemikiran dan

Gerakan Islam Asia Tenggara. Jakarta: Southeast Asian Muslims (Seamus)

For Freedom and Enlightenment, 2009.

Suaedy, Ahmad. Prespektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru

Demokratisasi. Jakarta: The Wahid Institute, Seeding Plural and Peaceful

Islam, 2009.

Subiantoro, Arif , dan FX Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial.

Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007.

Sucipto, Hery. K.H. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri

Muhammadiyah. Jakarta: Best Media Utama, 2010.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2004.

Suryadi Culla, Adi. Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya

dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Page 98: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xiv

Suryadi Culla, Adi. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di

Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.

Syafii Maarif, Ahmad, dan Muhhamad Najib. “Upaya Memahami Sosok

Kontraversial Gus Dur,” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abshar

Abdalah, ed. Gila Gusdur Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid.

Yogyakarta: LKiS, 2000.

Syafii Maarif, Ahmad. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia,

makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Nurcholis Madjid Memorial

Lecture. Jakarta; Paramadina, 21 Oktober 2009.

Syamsudin, M. Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.

Jakarta: Logos, 2002.

The Wahid Institute, Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV,

Agustus 2011, 2.

The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX

Desember 2011- Januari 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.

The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi Maret-

April 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.

The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme

Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: The Wahid

Institute, 2008.

The Wahid Institute. Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan

Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011. Jakarta: The Wahid Institute,

2011.

The Wahid Institute. Laporan Tahunan The Wahid Institute 2010 Pluralisme

Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: The Wahid

Institute, 2010.

The Wahid Institute. Monthly Report on Religius Issue (MRORI), Edisi XXXV,

Agustus 2011. Jakarta: The Wahid Institute, 2011.

The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi 4

Agustus-September 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.

The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX

Desember 2011- Januari 2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.

Page 99: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xv

The Wahid Institute. MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli

2012. Jakarta; The Wahid Instutue, 2012.

The Wahid Institute. Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebasan

Beragama dan Toleransi 2012 The Wahid Institute. Jakarta: The Wahid

Institute, 2012.

Ummah, Aniqotul, Advokasi ICRP Sebagai Civil Society Terhadap Kasus

Ahmadiyah di Indonesia. Jakarta: Fisip UIN Jakarta, 2012.

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara

Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute,Seeding Plural and Peaceful Islam,

2006.

Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKIS, 2000.

Wahid, Solahuddin. “Nahdlatul Ulama dan Pancasila”, dalam Khamami Zeda dan

A Fawaid Sjadjali. Nahdlatul Ulama Dinamika Idiologi dan Politik

Kenegaraan. Jakarta: Kompas, 2010.

Zannuba Wahid, Yeni, dkk. Mengelolah Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3

Isu Penting. Jakarta: The Wahid Institute, 2012.

B. Jurnal

Gahral Adian, Donny. “Demokrasi dan Kemaslahatan Umum,” dalam Jurnal Titik

Temu. Vol. 5, No. 1, Juli – Desember 2012. Jakarta: Nurcholis Madjid

Society (NCMS), 2012.

El-Ashary, Tohirin. “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme,” Buletin

Kebebasan “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme. Jakarta: Lembaga

Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007.

Sunaryo. “Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Politik Identitas dan

Kekerasan atas Nama Agama.” dalam Titik Temu Jurnal Dialog

Peradaban. Volume 3, Nomor 1, Juli – Desember. Jakarta: Nurcholish

Madjid Society (NCMS), 2010.

Wahyudi, Arief . “Quo Vadis Jaminan Konstitutsi Hak Beragama/Berkeyakinan:

Menguji Peran Negara,” dalam Jurnal Keadilan Sosial Mempromosikan

Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial. Edisi III 2013. Jakarta: Jurnal

Keadilan Sosial, The Indonesian Legal Resources Center (ILRC), dan

Hivos, 2113.

Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, no. 3, vol. IV Tahun 1995. Jakarta:

Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan ICMI, 1995.

Page 100: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xvi

Arief, Miftahul. “Menebar Kembali Pluralisme Agama.” Buletin Kebebasan.

Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007.

Rahadjo, M. Dawam. “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme.”

Buletin Kebebasan. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No.

04/V/2007.

C. Internet

“Sejarah The Wahid Institute” http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/tentang-

kami/sejarah-the-wahid-institute.html#, diunduh pada 19 Oktober 2013.

“Tentang The Wahid Institute” http://wahid institute.org/wahid-id/tentang-

kami/tentang-the-wahid-institue.html, diunduh 26 September 2013.

http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_

Beribadah_HKBP_Filadelfia, diunduh pada 6 Maret 2013.

http://www.wahidinstitute.org/Tentang_Kami, diunduh pada 2 Januari 2013.

http://wahidinstitute.org/Dokumen/Detail/?id=193/hl=id/Memperjuangkan_Hak_

Beribadah_HKBP_Filadelfia, diunduh pada 6 Maret 2013.

http://www.elsam.or.id/index.php?id=1361&lang=in&act=view&cat=c/302,

diunduh pada 6 Maret 2013.

Tempo.com http://www.tempo.co/read/news/2012/12/24/173450192/Wahid-

Institute Minta-Wali-Kota-Jamin-GKI-Yasmin, diunduh pada 1 Januari

2013.

D. Wawancara

Wawancara Pribadi dengan M Subhi Azhari, 23 Desember 2013.

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, 24 Desember 2013.

Wawancara Pribadi dengan Alamsyah M Dja’far, 10 Januari 2014.

Page 101: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Program Kerja The Wahid Institute, Struktur Pengurus The

Wahid Institute, Jejaring, dan Alamat The Wahid Institute

.............................................................................. xx

Lampiran 2 Surat Permohonan Wawancara ........................... xxiii

Page 102: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

A. Program Kerja

The Wahid Institute memiliki banyak progam, yaitu:

1.) Kampanye Islam dan Demokrasi

2.) Pengembangan Kapasitas Muslim Progresif

3.) Monitoring Isu Keagamaan

4.) Advokasi Kebijakan Publik dan Minoritas

5.) Pemberdayaan Akar Rumput

6.) Dompet Gus Dur untuk Kemanusiaan

7.) Forum Diskusi, Seminar dan Dialog

8.) Center For Islam And Sotheast Asian Studies (CISEAS)

9.) Beasiswa Riyanto

10.) Dokumentasi dan Publikasi

11.) Program Mendatang

12.) Perpustakaan

13.) Toko Buku

Page 103: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xix

B. Struktruk Pengurus

The WAHID Institute atas Inisiatif Dari: K.H. Abdurrahman Wahid (alm), Dr.

Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy.

PENASEHAT, K.H. M. A. Sahal Mahfudz, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi

Abdurrahman Shiab, Prof. Abdillahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsou Nakamura,

Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar, Ahmad Suaedy.

SUPERVISORS, Drs. M. Sobary, MA, Prof. Dr. Mahfud MD, Lies Marcoes

Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhi M.

Massardi, Prof. Dr. Sue Kenny

JEJARING Siani Indriani, Priya Sembada, K.H. Husein Muhammad, Rm, Benny

Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafq Hasyim, Farha Ciciek, A.

Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendi, Trisno S. Sutanto, M. Jadul Maula, M.

Imam Azis, Abdul Muqsith Ghazali, Hikmat Budiman, Mufti Makarim al-Akhlaq.

DIREKTUR

Yenny Zanuba Wahid

DIREKTUR EKSEKUTIF

Anita Hayatunnufus

MONITORING DAN ADVOKASI

M. Subhi Azhar (Project Officer)

Nurun Nisa (Aissten Project Officer)

KAMPANYE DAN MEDIA

Page 104: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xx

Alamsyah M. Dja’far (Project Officer)

DIVISI PEMBERDAYAAN AKAR RUMPUT

Gamal Fredhi (Project Officer)

PENGEMBANGAN PESANTREN DAN RADIO KOMUNITAS

Badrus Samsul Fatah (Project Officer)

PENGEMBANGAN EKONOMI MIKRO

Visna Vulovik (Project Officer)

RISET & KELAS PEMIKIRAN GUS DUR

Dr. Rumadi (Project Officer)

Syaiful Arif (Asisiten Project Officer)

KEUANGAN

Sri Handayani

SEKRETARIS

Siti Cholisoh

UMUM

Kharisma Pratiwi

Ahmad Firdaus

Trisno

C. JEJARING

Sejak berdirinya hingga sekarang, The Wahid Institute membangun

jaringan, individu dan lembaga yang tersebar di tingkat lokal, nasional, dan

internasional. Sejumlah individu merupakan tokoh agama lokal dan pesantren

yang memiliki pemikiran terbuka.

Page 105: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxi

Sementara lembaga yang menjadi yang menjadi jaringan lokal di antaranya

Studi Islam dan Soisal (LsiS), Lebak, Institute for Culture and Religion, Studi

(Incres) Bandung, Lembaga Sosial dan Agama (ELSA) Semarang, Center for

Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya, Fahmina Institute Cirebon,

Yayasan Lapar Makasar, Lemga Kajian Hukum Islam (LKHI) Palembang,

Lembaga Studi kemanusiaan (Lensa) Nusa Tenggara Barat.

D. Alamat

The Wahid Institute

Jl. Tamar Amir Hamzah No. 8 Jakarta – 10320

Phone: +6221-3928233, 3145671

Fax : +62 21-3928250

[E] [email protected]

[W] www.wahidinstitute.org

[facebook] The Wahid Institute

[twitter] WAHIDinst1

1 Sumber Website The Wahid Institute, www.wahidinstitute.com

Page 106: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxii

Transkrip Hasil Wawancara

Dengan M Subhi Azhari Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute

Pada 23 Desember 2013.

Apa peran The Wahid Institute dalam memeperjuangkan kebebesan

beragama di Indonesia?

The Wahid Institute adalah lembaga non pemerintahan yang didirikan pada

tahun 2004 oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sejak awal di mandatkan

mengkampanyenkan Islam yang rahmatan lil alamien, Islam yang damai, Islam

yang bisa mengayomi kelompok minoritas. The Wahid Institute berusaha

menampilkan Islam yang dapat melindungi dan memberi rasa aman kepada siapa

saja termasuk kelompok minoritas di Indonesia. Bagaimana caranya?, pertama,

negara harus tegas melindungi kelompok minoritas dan negara harus tegas

melaksanakan konstitusi.

Oleh karena itu, advokasi yang dilakukan The Wahid Institute adalah secara

politis dengan bertemu kepada para pengambil kebijakan dan aparatus negara

untuk mendorong negara menjalankan konstitusi bahkan menangih mereka untuk

menjalankan amanat konstitusi, melakukan demostrasi, dan dengar pendapat

(hearing) dengan pemerintah. Jadi, sebenarnya yang dilakukan The Wahid

Institute mengingatkan negara.

Kedua, pada level masyarakat sipil The Wahid Institute melakukan jejaring

untuk memberkuat jaminan hukum dalam aspek perlindungi terhadap hak-hak

Page 107: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxiii

beragama. Misalnya, The Wahid Institute membangun jejaring organisasi

masyarakat di berbagai daerah yang memiliki isu yang sama. Sedangkan pada

level grasroot The Wahid Institute bergerak dalam aspek pendidikan yaitu

memberikan pemahaman kepada para pemuka agama, Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB), dan tokoh masyarakat mengenai hak-hak beragama, jaminan

konstitusi terhadap kebebasan beragama dan untuk memperkuat mereka dalam hal

resolusi konflik.

Kemudian, memberikan pemahaman kepada para pemuka agaman

mengenai hak-hak beragama termasuk menggali khazanah keislaman yang

berpihak melindungi minoritas. Selain itu, The Wahid Institute melakukan

pendampingan terhadap korban yang terdiskriminasi hak-hak beragamanya baik

itu perorangan maupun kelompok seperti, Ahmadiyah dan Syiah. Lalu, melakukan

pendekatan ke lembaga pendidikan pesantren yang ada di Bogor. Seperti,

Pesantren Al-Ghazali dan Pesantren Nurul Falaq.

Bagaimana advokasi terhadap Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman

Yasmin Bogor?

Pada dasarnya semua pembatasan pendirian rumah ibadah baik itu Pure,

Wihara, Masjid, dan Gereja merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Karena

setiap orang di jamin haknya untuk beribadah dan berhak untuk mendirikan

rumah ibadah. Dalam kasus pendirian rumah ibadah GKI Taman Yasmin, The

Wahid Institute melakukan pendekatan audensi ke partai politik yang ada di pusat

untuk mengingatkan anggota partai politik yang ada di Bogor, para pemuka

komunitas seperti, tokoh masyarakat, adat, dan orang-orang yang mempunyai

Page 108: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxiv

pengaruh secara sosial. Dalam ranah hukum The Wahid Institute berkoalisi

dengan lembaga-lemabaga yang bergerak di bidang hukum seperti, Lemabaga

Bantuan Hukum Indonesi (LBHI) Jakarta, dan Yayasan Bantuan Hukum

Indonesia (YLBHI).

Melakukan press conference sebagai pernyataan sikap terhadap kasus GKI

Taman Yasmin tersebut. Kemudian, melakukan jurnalis brefing mengundang

sejumlah wartawan yang ada di Bogor memberikan pemahaman terkait kasus

yang ada, dan memberikan prespektif The Wahid Wahid mengenai kasus tersebut

sehingga media dapat menyajikan berita secara objektif. Selanjutnya, The Wahid

Institute juga melakukan pembelaan langsung kepada Sekertaris Walikota Bogor,

Kapolres Bogor untuk menjamin keamanan terhadap jemaat GKI Yasmin, serta

anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor. Selain itu,

The Wahid Institute melakukan kampanye tentang kebebasan beragama ke

berbagai daerah, bahkan ke level Internasioanal seperti, Uni Eropa dan Human

Right.

Apa dampak pembelaan yang dilakukan The Wahid Institute.?

Dampak nyata kasus ini, pemerintah mendapatkan pekerjaan besar yang

harus segera di selesaikan. Pemerintah juga mendapatkan tekanan dari berbagai

pihak untuk menyelesaikan kasus HKBP Filadelfia Bekasi, Ahmadiyah, dan

Syiah. Kemudian, dampak secara langsung semakin kuatnya tekanan terhadap

pemerintah karena selama ini pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap

kasus tersebut. Selain itu, dampak dari perjuangan The Wahid Institute telah

Page 109: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxv

membangun kesadaran masyarakat tentang kebebasan beragama dan telah terjadi

tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas.

Bagaimana advokasi langsung Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi.?

Melakukan jurnalis brefing kepada media massa agar menyajikan berita

secara objektif, melakukan lobi terhadap Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB) di Bekasi agar bersifat netral dan bersikap sebagai resolusi konflik yang

dapat mendamaikan antara kedua belah pihak. Pada level pemerintahan, The

Wahid Institute melakukan lobi ke dewan pertimbangan Presiden, Ombudsman

RI, Mahkamah Kunstitusi (MK), fraksi DPR PDIP, Golkar, dan ketua DPR RI

Marzuki Ali. Selain itu, melakuakan kerjasama Komnasham, Komnas Perempuan.

Bagaimana pola advokasi The Wahid Institute terhadap Syiah di Sampang.?

The Wahid Institute banyak melakukan jejaring dengan Cemars Center for

Marginalized Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran yang dilakukan oleh

CMARs yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan, dan investigasi.

Selanjutnya, CMARs melakukan pendekatan kepada Bupati Sampang, namun dari

hasil pertemuan tersebut sikap Bupati Sampang kurang bersikap toleran terhadap

warga Syiah, bertemu dengan Wakil Gubernur Jawa Timur untuk menjamin

warga Syiah. Kemudian, The Wahid Institute melakukan diskusi dengan CMARs

sendiri, pendekatan ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Nahdlatul

Ulama (NU), dan FKUB. Pertemuan tersebut sebenarnya untuk mencari solusi

terkasit kasus Syiah di Sampang.

Page 110: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxvi

Bagaiman The Wahid Institute melakukan penyadaran terhadap warga NU

yang ikut melakukan tindakan diskriminasi dan mengeluarkan fatwa bahwa

Syiah sesat.?

The Wahid Institute mengingatkan terhadap warga NU yang ikut terlibat

aksi kekerasan, supaya pandangan-pandangan tersebut tidak di apalikasikan dalam

bentuk kekerasan.

Bagaimana peran The Wahid Institute terhadap jemaat Ahmadiyah.?

Advokasi The Wahid Institute di lapangan melakukan investigasi di

lapangan dan berkoalisi dengan beberapa lembaga yang bergerak di bidang

hukum seperti, LBH Jakarta dan YLBH.

Apa alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap kebebasan

beragama.?

Setiap orang berhak mendapatkan kebebasan yang sama untuk beribadah

dan menyakini agama, hal ini sesuai dengan amanat konstitusi. Begitu juga dalam

Islam membrikan jaminan dalam beragam dan beribadah. Dengan demikian, The

Wahid Institute berorientasi menegakan konstitusi dan menegakan ajaran Islam.

Tantangan The Wahid Institute?

Pertama, penegakan hukum di Indonesia belum berjalan secara maksimal.

Kedua, sikap intoleran di masyarakat yang cukup tinggi. Ketiga, faktor ekonomi

dan politik yang dapat memicu terjadi konflik kekerasan di Indonesia.

Sumber dana The Wahid Institute?

Page 111: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxvii

Untuk sumber dana berasal dari keluarga Gus Dur, Asia Fondation,

Keduataan Amerika, Kedutaan Australia, dan Yayasan Tifa.

Transkrip Hasil Wawancara

Dengan Ahmad Suaedy Direktur The Wahid Institute,

pada 24 Desember 2013

Kapan sejarah berdirinya The Wahid Institute?

Sekitar tahun 2003, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Suaedy, Yenni

Zanuba Wahid, dan Greg Barton berkumpul untuk membentuk Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk mewujudkan pemikiran Gus Dur Islam

perdamaian dan Islam keidonesiaan. Serta mempunyai program workshop,

pelatihan, ekonomi dan kaderisasi.

Apa peran The Wahid Institute terhadap Gereja Kristen Indonesia (GKI)

Tamana Yasmin Bogor.?

The Wahid Institute melakukan kritik terhadap pemerintah pusat untuk

menegakan konstitusi dan melindungi korban GKI Taman Yasmin. Hal ini sesuai

dengan keputusan Mahmakah Agung (MA), keputusan Pengadilan Tata Usaha

Negeri (PTUN) Bandung, dan Ombudsman RI. Kemudian, mendampingi korban

ke pengadilan sebagai bentuk dukungan moril kepada korban, investigasi kasus-

kasus yang berkaitan dengan kasus tersebut, dan press konference untuk

menyikapi kasus yang sedang berlangsung.

Peran The Wahid Institute terhadap HKBP.?

Page 112: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxviii

Menganalis investigasi dan analiss dikirim ke pihak DPR RI, DPRD

Kabupaten, MUI, melakukan conferensi press sehingga kasusnya bisa di baca

oleh banyak orang, dan melakukan lobi-lobi ke komisi hukum.

Bagaimana pola advokasi The Wahid Institute terhadap kasus Syiah di

Sampang.?

Dalam advokasi kasus Syiah di Sampang, The Wahid Institute melakukan

kerjasama dengan jejaring The Wahid Institute yaitu, Center for Marginalized

Comunities Studies (CMARs) Surabaya. Peran yang dilakukan oleh CMARs

yaitu, pendampingan ke ranah hukum, pembelaan, dan investigasi.

Pada level parlemen, The Wahid Institute melakukan pendekatan ke Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) RI dan pengambil kebijakan. Pada level

organisasi masyarakat (ormas) The Wahid Institute bertemu dengan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Nahdlatul Ulama (NU), dan Forum Kerukunan

Umat Beragama (FKUB) untuk mencari solusi kasus Syiah tersebut. Kemudian,

bertemu dengan tokoh masyarakat lokal Kiai Basit dan Abdul Ghazali.

Bagaiaman menyadarkan warga NU yang ikut terlibat dalam kasus Syiah.?

Dengan melalui tokoh-tokoh masyarakat lokal, dan tokoh NU untuk

mengingatkan kepada warga NU agar jangan sampai melakukan tindakan

kekerasan terhadap aliran Syiah.

Bagaimana peran The Wahid Institute terhadap kasus Ahmadiyah di

Cikeusik Banten.?

Page 113: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxix

The Wahid Institute melakukan penyadaran melalui media massa, dan

pendekatan lobi ke lembaga negara DPR RI. Kemudian, melakukan investigasi

dan hasilnya di kirim ke para pengambil kebijakan negara yaitu Presiden.

Tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan

beragama di Indonesia.?

Tidak adanya ketegasan pemerintah dan tidak ada keperpihakan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kelompok minoritas. Presiden SBY juga

justru berperan sebagai pelayan MUI yang menjalankan fatwa-fatwanya. Dalam

hal ini berarti SBY telah melanggar konstitusi negara.

Selanjutnya, sikap Pemerintah Sampang yang tidak tegas dalam menangani

persoalan kekerasan Syiah dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur

yang menyatakan bahwa aliran Syiah sesat.

Kenapa The Wahid Institute memfokuskan kebebasan beragama?

Sesuai dengan visi dan misi The Wahid Institute yaitu mewujudkan

pemikiran Gus Dur membangun masyarakat yang berkeadilan, menjunjung tinggi

pluralisme dan kebebasan beragama di Indonesia.

Bagaiamana menyikapi UU PNPS 1965?

Seharusnya UU tersebut di revisi kembali oleh DPR RI, karena di dalam

UU tersebut hanya menyebutkan enam agama resmi saja. Maka, UU ini

mendiskriminasi kelompok aliran kepercayaan lain seperti, Syiah, Ahmadiyah,

dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia.

Sumber dana The Wahid Institute?

Page 114: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxx

Untuk sumber dana The Wahid Institute yaitu dari kelurga Gus Dur

(Yenni), untuk masalah program The Wahid Institue mendapatkan dana dari

Keduataan Australia, Kedutaan Amerika, Asia Foundation, dan Tifa.

Transkrip Hasil Wawancara

Dengan Alamsyah M Dja’far Media dan Kampanyae The Wahid Institute,

pada 10 Januari 2014

Bagaimana The Wahid Institute memandang hubungan agama dan negara?

The Wahid Institute memandang pentingnya hubungan agama dan negara.

Faktanya, agama tidak bisa dipisahkan dari negara, karena sumbangsih agama

bagi kebangsaan cukup besar. Sehingga adanya upaya memasukan kerangka nilai-

nilai agama di dalam negara. Seperti halnya, Kementrian Agama (Kemenag),

KUA, dan Undang-undang Pernikahan.

Bagaimana meyikapai peran Kementerian Agama?

Awal berdirinya Kementerian Agama menuai banyak polemik dari orang

non-muslim yang tidak setuju dengan lembaga tersebut, dengan alasan hanya akan

mengakomodir kelompok tertentu saja. Kemudian, akhir-akhir ini penolakan

tersebut muncul kembali, karena Kementerian Agama mengakui hanya enam

agama resmi saja. Padahal, agama di Indonesia banyak sekali seperti, agama

Zoroatser dan Thaoisme. Lalu, adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan.

Akan tetapi, yang jadi permasalahanya adalah pada praktek pelayanan

Kementrian Agama itu sendiri, apakah pelayananya diskrimatif atau tidak. Jadi,

bukan pada Kementrian Agama dibubarkan atau tidak. Semestinya, yang diatur

Page 115: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxxi

Kementerian Agama bukan keyakinannya, tapi masalah fasilitas keagamaan.

Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama bahkan menentukan aliran

sesat atau tidak sesat.

Bagaimana dengan orang yang tidak beragama?

Dalam hal ini, The Wahid Institute berperan terhadap persoalan kebebasan

beragama, menghargai semua warga negara, baik yang beragama dan yang tidak

beragama. Berdasarkan UU Kovenan International, Pasal 18 Tahun 2005

mengenai hak sipil dan politik. Bahwa, setiap orang berhak untuk memeluk

kepercayaan yang diyakininya, berpindah agama, dan melindungi orang yang

tidak beragama (Ateis). Oleh karena itu, setiap orang yang menganut kepercayaan

maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu juga, dengan

aliran-aliran agama baru di Indonesia.

Negara model apa yang di inginkan oleh The Wahid Institute?

The Wahid Institute menginginkan negara Pancasila. Karena dapat

mengakomodir semua kepentingan, dan idiologi dari semua golongan. Pancasila

merupakan titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat

Indonesiaan. Dengan demikian, Pancasila merupakan hasil yang sudah final dan

harus dijaga oleh setiap elemen masyarakat seluruh Indonesia. Karena itu, nilai-

nilai Pancasila adalah dasar idiologi bangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya

wacana, melainkan untuk mewujudkan menanamkan nilai-nilai etika,

kebersamaan, dan kebebasan beragama di Indonesia.

Page 116: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxxii

Apa alasan The Wahid Institute membela Gereja Kristen Indonesia (GKI)

Taman Yasmin Bogor?

The Wahid Institute diminta oleh sekelompok orang untuk melakukan

pembelaan terhadap pihak GKI Taman Yasmin, dan The Wahid Institute juga

mempunyai konsen terhadap pembelaan korban kekerasan dan kebebasan dalam

mendirikan rumah ibadah.

Apa tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan GKI Taman

Yasmin.?

Dari segi advokasi hukum mengalami kendala yang cukup berat. Misalnya,

dari segi hukum, aparat penegak hukum tidak tegas dalam menangani persoalan

hukum di Indonesia, para hakim tidak bersikap adil dalam memutuskan perkara

terhadap pelaku kekerasan. Kemudian, persoalan kepemimpinan yang ikut terlibat

dalam kasus tersebut.

Apa alasan dan tantangan The Wahid Institute melakukan pembelaan

terhadap Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi.?

Pemerintah tidak melaksanakan konstitusi dalam menjamin kebebasan

beragama dan beribadah. Sehingga The Wahid Institusi membantu

meperjuangkan hak korban untuk mendirikan rumah ibadah. Namun, The Wahid

Institute mengalami kendala yaitu, para penegakan hukum tidak adil dalam

menangani persoalan kasus kekerasan dan kebebasan mendirikan rumah ibadah.

Begitu juga dengan sikap para pemimpin daerah yang ikut terlibat terhadap kasus

tersebut.

Apa alasan dan tantangan The Wahid Institue melakukan pembelaan

terhadap aliran Syiah di Sampang Madura.?

Page 117: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …

xxxiii

Alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap korban kasus

Syiah di Sampang, Madura. Bahwa, setiap warga negara berhak untuk

berkeyakinan sesuai dengan kepercayaanya. Seharusnya, negara menjamin

kebebasan beragama, berkeyakianan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan 19

ayat 1 dan 2.

Dalam perjuangannya, The Wahid Institute mengalami kendala pada level

masyarakat dan level pemerintah. Contohnya, adanya penegakan hukum yang

tidak tegas dalam soal kebebasan beragama dan para hakim tidak bersikap adil

dalam memutuskan perkara kasus Syiah Sampang, Madura.

Apa alasan dan tantangan The Wahid Institute melakukan pembelaan

terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.?

Alasannya The Wahid Institue melakukan advokasi kepada jemaat

Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, ialah, bahwa setiap warga negara berhak

mendapatkan jaminan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam peranya The

Wahid Institute mengalami kendala yang cukup berat. Contohnya, para penegak

hukum tidak adil dan tidak objektif menangani kasus kekerasan Ahmadiyah

Cikeusik, Banten. Karena pelaku kekerasan hanya di hukum ringan dan tidak

memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan tersebut.

Page 118: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …
Page 119: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …
Page 120: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …
Page 121: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …
Page 122: CIVIL SOCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA: …