Peranan Civil Society dan Manajemen Konflik Pemerintah dalam Menangani Konflik Masyarakat...

31
Peranan Civil Society dan Manajemen Konflik Pemerintah dalam Menangani Konflik Masyarakat Pluralistik di Indonesia Oleh : Alifa Dinar (170410110007) Rifka Septriani (170410110020) Suryani (170410110042) Program Studi : Ilmu Pemerintahan Abstrak Indonesia terdiri dari beragam macam budaya, suku bangsa, agama, bahkan ideologi politik. Kondisi bangsa yang pluralistik menyebabkan Indonesia menjadi rawan konflik. Tulisan ini akan membahas mengenai upaya dan manajemen konflik yang dilakukan pemerintah dalam menangani konflik sosial yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari kemajemukan masyarakat Indonesia, selain itu dalam tulisan ini juga akan membahas mengenai Undang – Undang Penanganan Konflik Sosial dan peranan civil society dalam pengembangan resolusi konflik, serta mengambil sebuah studi kasus penanganan konflik sosial yang pernah terjadi di Indonesia. 1

description

pemerintahan, civil society

Transcript of Peranan Civil Society dan Manajemen Konflik Pemerintah dalam Menangani Konflik Masyarakat...

Peranan Civil Society dan Manajemen Konflik Pemerintah dalam Menangani Konflik Masyarakat Pluralistik di IndonesiaOleh :Alifa Dinar(170410110007)Rifka Septriani(170410110020)Suryani(170410110042)Program Studi : Ilmu Pemerintahan

AbstrakIndonesia terdiri dari beragam macam budaya, suku bangsa, agama, bahkan ideologi politik. Kondisi bangsa yang pluralistik menyebabkan Indonesia menjadi rawan konflik. Tulisan ini akan membahas mengenai upaya dan manajemen konflik yang dilakukan pemerintah dalam menangani konflik sosial yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari kemajemukan masyarakat Indonesia, selain itu dalam tulisan ini juga akan membahas mengenai Undang Undang Penanganan Konflik Sosial dan peranan civil society dalam pengembangan resolusi konflik, serta mengambil sebuah studi kasus penanganan konflik sosial yang pernah terjadi di Indonesia.Kata Kunci : Manajemen, Civil Society, Konflik, Masyarakat Pluralistik,

I. PendahuluanKondisi masyarakat Indonesia yang pluralistik dapat merupakan kekayaan bangsa atau bahkan dapat merupakan hal yang dapat mengancam keamanan bangsa. Isu isu sara seringkali menjadi hal yang dapat menimbulkan konflik di masyarakat Indonesia. Sifat kedaerahan yang masih sangat tinggi dan masih sangat mengagungkan kesukuan menyebabkan masyarakat masih sangat sensitif dan mudah tersulut amarahnya yang pada akhirnya menimbulkan berbagai macam konflik yang berdampak luas. Selain itu beberapa konflik sosial yang terjadi di masyarakat juga banyak disebabkan oleh adanya kesenjangan kesejahteraan. Seperti misalnya yang terjadi pada konflik Sampit pada tahun 2002 lalu dimana penduduk asli suku Dayak disitu merasa terjajah secara ekonomi oleh masyarakat pendatang dari Madura. Konflik tersebut tentu mengakibatkan kerugian dalam banyak hal, diantaranya hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, juga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Dalam menangani berbagai konflik sosial tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya, mulai dari upaya yang bersifat represif hingga pada tahun 2012 lalu pemerintah Indonesia telah mensahkan Undang undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang didalamnya memuat menganai pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.Lalu bagimana peranan civil society dalam menangani konflik-konflik sosial ini? Peranan civil socety dalam hal ini adalah dengan mengembangkan mekanisme resolusi resolusi konflik yang komperhensif. Sehingga konflik yang tejadi dapat terselesaikan dalam beberapa tahapan sesuai dengan dinamika siklus konflik tersebut. Tulisan ini akan membahas diantaranya mengenai: bagaimana manajemen konflik yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani konflik sosial yang terjadi di Indonesia; pembahsan mengenai Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial; peranan civil society dalam mengembangkan resolusi konflik; dan juga pembahasan studi kasus mengenai konflik sosial yang pernah terjadi di Indonesia.

II. Masyarakat Pluralistik dan Ancaman KonflikSebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai apa itu konflik dan pluralistik. Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.Konflik merupakan bagian dari sistem sosial yang pasti akan selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah pertentangan dikatakan sebuah konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yang ditandai interaksi timbal balik diantara pihak-pihak yang bertentangan dengan sadar. Karl Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Menurut Soetopo, ada empat bentuk konflik yaitu konflik tujuan, konflik peranan, konflik nilai, dan konflik kebijakan.Suatu konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif. Konflik hanya akan hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat yang berkonflik tersebut. Penyebab munculnya konflik kepentingan diantaranya yaitu: perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan; langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popolaritas, dan posisi; dan persaingan. Menurut Robbins, ada lima tahap proses konflik, yaitu:1. Oposisi atau ketidakcocokan potensial, adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik. Kondisi ini tidak langsung mengarah kepada konflik, tapi merupakan kondisi yang perlu ada jika konflik itu harus muncul. Kondisi ini dikategorikan dalam kategori: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama munculnya konflik karena dapat menciptakan kesalah-pahaman.2. Kognisi dan personalisasi, adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang dihadapi.3. Maksud, maksud dari pihak-pihak yang berkonflik akan tercermin dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu: bersaing, tegas, dan tidak kooperatif; berkolaburasi; menghindar; mengakomodasi; dan berkompromi.4. Perilaku. Hal ini mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatum, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-teranagn terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salah paham.5. Hasil, adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflikakan menghasilkan konsekuensi. Hasil ini bisa menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, ataupun menghambat kinerja kelompok.Kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik, pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya. Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi. Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan. Keempat, interaksi pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas.Sementara itu, konflik sosial bisa diartikan menjadi dua hal. Pertama, perspektif atau sudut pandang yang menganggap konflik selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial. Kedua, konflik sosial merupakan pertikaian terbuka seperti perang, revolusi, pemogokan, dan gerakan perlawanan. Soerjono Soekanto menyebutkan konflik sebagai pertentangan atau pertikaian, yaitu suatu proses individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.Dalam buku Konflik Sosial dan Anarkisme menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antar kelompok sosial diantaranya adalah: adanya perbedaan antar kelompok sosial; perbedaan pola kebudayaan; perbedaan mayoritas dan minoritas; perbedaan kepentingan antar kelompok sosial; perbedaan individu; perbedaan latar belakang kebudayaan; perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok; dan perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak.Sedangkan definisi konflik sosial yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menyebutkan bahwa konflik sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.Istilah pluralistik harus dapat kita bedakan dengan pluralisme. Kedua istilah ini nampak serupa, namun tak sama. Menurut Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara, pluralisme merupakan sebuah paham yang melahirkan paham individualisme dimana setiap entitas berdiri sendiri dan tidak terkait satu sama lain. Dari paham individualisme ini menghasilkan paham liberalisme yang pada akhirnya melahirkan sistem demokrasi dalam sistem pemerintahan utamanya di negara Barat. Sedangkan pluralitas merupakan suatu sifat yang mengakui keanekaragaman. Seperti masyarakat di Indonesia yang mengakui bahwa bangsanya merupakan negara bangsa yang bersifat pluralistik. Kondisi Inodnesia yang bersifat pluralistik ini harus dianggap sebagai aset bangsa dan bukan menjadi penghalang kemajuan bangsa.

Bagan 1. Konsepsi PluralismePermasalahan yang biasanya dihadapi oleh masyarakat yang majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dengan kebudayaan nasional. Keadaan ini bisa terjadi dalam beberapa aspek suku, ras, agama serta status sosial. Adanya konflik antar suku, antar ras ataupun antar agama mengaitkan kita pada suatu konsep etnosentrisme. Etnosentrisme yaitu pandangan bahwa kelompk sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri. Etnosentrisme menjadikan kebudayaan sendiri menjadi patokan dalam mengukur baik buruknya kebudayaan lain.Konflik sosial yang muncul dalam masyarakat di Indonesia umumnya berakar dari perilaku pemerintah yang kurang adil sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Dalam kasus konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah tahun 2001 lalu muncul kecemburuan sosial yang dikarenakan masyarakat pendatang dari Madura mendominasi kehidupan di Sampit. Mulai dari perekonomian dan masalah agama. Hal ini terjadi diawali dari program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah Belanda pada tahun 1930. Program yang mungkin tadinya untuk mengadakan pemerataan jumlah penduduk di Indonesia nampaknya menghasilkan konflik yang serius puluhan tahun setelahnya. Apalagi warga suku Dayak sebagai penduduk asli merasa tidak diperhatikan pemerintah karena pemerintah dianggap memberikan kebijakan yang membuat warga pendatang yaitu warga Madura mendapatkan kontrol yang luar biasa dalam industri komersial.Konflik antar suku bangsa ada dan terwujud dalam hubungan antar suku bangsa karena perebutan sumberdaya yang berharga dan mempertahankan kehormatan jatidiri dari anggota-anggota komunitas suku bangsa setempat dengan golongan golongan sukubangsa lainnya. Hubungan antar suku bangsa juga sarat dengan kandungan sentimen kesukubangsaan yang penuh dengan muatan emosi dan perasaan serta kebenarannya ada dalam subyektivitasnya. Kondisi ini dapat menjadi potensi konflik apabila tidak terdapat aturan-aturan yang adil untuk menyelesaikan masalah yang ada. Konflik sosial terjadi apabila isu-isu yang diaktifkan mengenai satu tujuan tertentu bukan lagi tujuan dari perorangan tetapi tujuan dipunyai oleh kelompok dari satu golongan atau suku bangsa. konflik antar suku bangsa dapat dicegah bila hubungan-hubungan sosial antar sukubangsa sukubangsa yang berbeda, yang terwujud dalam kerjasama,dan adanya penegak hukum yang dapat dipercaya.Selain itu konflik pun dapat terjadi karena perbedaan kebiasaan atau perilaku yang berbeda dari setiap suku yang ada. Hal ini dapat menjadi konflik ketika suku tertentu tidak siap dalam menghadapi perubahan dan perbedaan dalam lingkungan yang sama. Jika hal tersebut terjadi, kembali kepada paham pluralisme yang tidak bisa dilepaskan dari paham individualisme dan liberalisme, dimana paham tersebut sangat mengagungkan kepentingan individu (dalam hal ini suku yang dianutnya). Sifat etnosentrisme dan penerapan paham paham tersebut tanpa kendali akan bermuara pada perbutan kepentingan yang pada akhirnya akan berujung kepada konflik. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa potensi konflik dalam masyarakat pluralistik sangatlah tinggi, sehingga diperlukan tindakan untuk mengelola pluralistik agar tidak melahirkan konflik yang destruktif.

III. Manajemen Konflik dan Upaya Pemerintah dalan Menangani Konflik SosialManajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.Berbagai upaya Penanganan Konflik terus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Sistem penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada penanganan yang bersifat militeristik dan represif. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanganan konflik masih dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang, seperti dalam bentuk Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.Dalam hal ini, Undang Undang Penanganan Konflik Sosial memang sangat dibutuhkan. Agar ada landasan hukum dan aturan yang jelas dalam menangani konflik sosial yang sering terjadi di Indonesia. Undang undang ini dibuat atas beberapa alasan, diantaranya: (1) Negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsanya serta bertanggung jawab untuk menciptakan kondisi yang aman, tertib, tenteram, damai, dan sejahtera; (2) benturan atau pertentangan antar kelompok dapat menyebabkan kerugian. Hilangnya rasa aman, dan kehilangan harta benda bahkan nyawa, juga sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang. Hal ini dapat menghambat pembangunan nasional dan penciptaan kesejahteraan masyarakat; dan (3) jika ditinjau dari sisi yuridis, peraturan perundang undangan tentang penanganan konflik sebelumnya masih bersifat parsial dan belum sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Dalam Undang Undang Nomor 7 Taun 2012 ini mengatur Penanganan Konflik Sosial melalui tiga tahapan. Mulai dari pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.Pencegahan KonflikPencegahan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Dalam hal terjadi konflik sosial, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, dapat melakukan beberapa upaya, yaitu memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi Konflik, dan membangun sistem peringatan dini melalui media komunikasi.Kemudian untuk meredam potensi konflik, Pasal 9 mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah meredam potensi konflik dalam masyarakat dengan cara (a) melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat; (b) menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; (c) melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik; (d) mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat; (e) menegakkan hukum tanpa diskriminasi; (f) membangun karakter bangsa; (g) melestarikan nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan (h) menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.Penghentian Konflik SosialPenghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda. Apabila apabila telah terjadi Konflik, Pasal 12 menegaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menghentikannya melalui upaya penghentian kekerasan fisik, penetapan Status Keadaan Konflik, tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban, serta bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI. Jika kekerasan fisik yang ditempuh pemerintah, penyelesaikan Konflik harus dikoordinasikan dan dikendalikan Polri, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat, serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pemulihan PascakonflikPemulihan Pascakonflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat akibat Konflik melalui kegiatan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pasal 33 mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya pemulihan pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur melalui upaya rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.Dalam undang undang tersebut juga membahas kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik yang dibahas dalam bab VI. Kelembagaan penyelesaian Konflik, menurut Pasal 40, terdiri atas Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial. Satuan tugas penyelesaian konflik sosial dibentuk oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat. Tugas dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial ini diantaranya adalah mengupayakan penyelesaian konflik dan permasalahan dengan cara musyawarah untuk mufakat dan mengikat kepada seluruh kelompok masyarakat yang terlibat. Jika penyelesaian pertikaian tidak dapat terwujud melalui jalur musyawarah untuk mufakat, maka penyelesaian dilakukan melalui jalur pengadilan.Mengenai keterlibatan masyarakat dan pendanaan, dibahas dalam Pasal 52 Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Pengananan Konflik Sosial, menetapkan peran serta masyarakat dan pendanaan. Undang-undang ini menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam Penanganan Konflik berupa pembiayaan, bantuan teknis, penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban Konflik, dan/atau bantuan tenaga dan pikiran.Kemudian mengenai pendanaan Penanganan Konflik yang digunakan untuk Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dialokasikan pada APBN dan/atau APBD sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. Pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran kementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya. Pemerintah Daerah mengalokasikan dana APBD untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.

IV. Keterkaitan UU No. 7 Tahun 2012 dengan Pola Penanganan Konflik Sosial di IndonesiaIndonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS). Meskipun begitu, implementasi UU PKS belum sepenuhnya berjalan efektif, mengingat berbagai regulasi operasional masih pada tahap penyusunan oleh beberapa kementrian terkait.Berbagai kejadian konflik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya perubahan pola dan karakter konflik. Konflik yang terjadi saat ini sudah tidak lagi bernuansa SARA, namun telah bergeser pada rasa ketidakadilan (inequality) dalam proses pemerataan sumberdaya pembangunan, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Potensi konflik semacam ini tentu saja akan terus berkembang seriring semakin gencarnya pembangunan yang dilakukan diberbagai bidang jika tidak segera diantsipasi dengan baik, melalui tindakan-tindakan preventif dan terkoordinasi, dengan mencari akar masalah sesungguhnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Berikut adalah hal yang perlu diperhatikan dalam pola penanganan konflik sosial di Indonesia:1. Roadmap penanganan konflik sosial bisa untuk semua K/L tidak hanya daerah tertinggal2. Perlunya tim perumus dan meyusun roadmap secara khusus3. Inventarisasi program Kementerian/Lembaga pemda dan juga pada level masyarakatTawaran LIPI dalam bentuk Dokumen Kerangka kerja Pencegahan Konflik Sosial/Conflict Prevention Framework yang dihasilkan dari berbagai studi dan assessment di berbagai daerah, perlu diapresiasi dan direspon lebih lanjut, sebagai upaya mencari solusi yang tepat dan strategis dalam rangka pencegahan konflik sosial di Indonesia.Kebijakan Pencegahan Konflik Sosial di IndonesiaKementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) memiliki 143 wilayah rawan konflik, dengan klasifikasi 10 daerah prioritas I, 50 daerah prioritas II, dan 80 daerah prioritas III. KPDT telah melaksanakan pengambilan data terkait dengan konflik sosial di 7 daerah rawan konflik dan dapat disimpulkan bahwa penyebab konflik di daerah tertinggal di antaranya adalah:a. Kesenjangan sosial-ekonomib. Perebutan Sumber Daya Alamc. Distorsi Kebijakan konflikSementara jika mengacu pada hasil kajian dari tim LIPI, dokumen Kerangka Kerja Pencegahan Konflik Sosial, telah mengidentifikasikan 7 isu besar penyebab terjadinya konflik sosial di Indonesia saat ini dan ke depan, di antaranya:a. Distorsi kebijakan publicb. Patologi Birokrasic. Kesenjangan Sosio-Ekonomid. Perebutan Sumber Daya Alame. Masalah Identitas, Adat, dan Kebudayaanf. Masalah Penegakan Hukum dan Keadilang. Disfungsi Aparat KeamananMasalah tersebut sepertinya cukup mendasar dewasa ini. Oleh karena itu, tawaran konsep tersebut perlu kita pikirkan secara serius untuk dapat dijadikan acuan bersama dalam pencegahan konflik sosial di Indonesia. Keterpaduan visi, misi, strategi, dan pendekatan pencegahan konflik sosial yang dilakukan oleh seluruh stake holder, khususnya pemerintah di semua tingkatan menjadi prasyarat utama dalam pencegahan konflik sosial di Indonesia. Pendekatan sektoral yang terjadi selama ini, dalam penanganan konflik sosial, perlu kita dievaluasi kembali.Kedepan perlu didorong kebijakan terpadu pencegahan konflik sosial yang dapat dijadikan acuan semua pihak dalam menentukan langkah-langkah bersama yang didasarkan atas persepektif yang sama dalam melihat potensi dan masalah konflik sosial di Indonesia saat ini dan massa yang akan datang. Kementerian Sosial Indonesia menawarkan solusi mengatasi konflik sosial yang berkepanjangan di Indonesia yakni melalui pendekatan nilai-nilai kearifan lokal, pendekatan keserasian sosial, serta penguatan kohesivitas sosial antarwarga.Alternatif Kebijakan Pencegahan Konflik Kedepan1. Perlu pemikiran bersama untuk mendorong Kerangka Kerja Pencegahan Konflik Sosial menjadi bagian dari kebijakan nasional yang dapat dijadikan acuan semua pihak.2. Kerangka Kerja Pencegahan Konflik Sosial perlu didorong lebih operasional dalam bentuk Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan Konflik Sosial yang dituangkan dalam bentuk tindakan-tindakan operasi Jangka Pendek, Jangka Menengah, dan Jangka Panjang serta sekaligus membagi peran secara terperinci di antara berbagai komponen/stake holder, khuusnya di level pemerintahan sesuai dengan tupoksi masing-masing Kementrian/Lembaga dan atau tingkatan pemerintahan.3. Pengorganisiran pelaksanaan upaya-upaya pencegahan konflik sosial secara terpadu juga menjadi hal penting yang harus difikirkan, mengingat UU PKS tidak memberikan amanant dibentuknya kelembagaan permanen dalam rangka penanganan konflik sosial di Indonesia.

V. Peranan Civil Society dalam Resolusi Konflik

Konsepsi Civil SocietyCivil society memiliki beragam definisi. Beberapa tokoh mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai konsepsi dari civil society ini tergantung kepada ideologi politis yang mereka gunakan. Misalnya Gramsci. Gramsci menganalisis civil society dengan menggunakan konsep hegemoni yang mengritik determinisme ekonomi Marx. Menurut Gramsci, suatu kelas sosial mempertahankan dominasinya bukan sekedar dengan menguasai modus produksi, melainkan dengan mengembangkan hegemoni, yaitu suatu tatanan ide dan moral yang dapat menarik kesepakatan aktif dari kelas-kelas sosial yang didominasinya. Dengan kata lain, konsep hegemoni ini menolak adanya manifestasi langsung kepentingan-kepentingan ekonomi kelas penguasa di dalam kehidupan politik maupun kebudayaan masyarakat bersangkutan.Dengan demikian, konsep hegemoni juga memberi arti positif bagi konsep civil society. Menurut Gramsci, ajang pembentukan hegemoni justru terletak di wilayah civil society dan bukan di wilayah negara. Gramsci berpendapat bahwa untuk mempertahankan kekuasaannya, kelas sosial yang dominan mau tidak mau harus bernegosiasi dan membuat kompromi-kompromi dengan kelompok-kelompok sosial lainnya di dalam arena civil society. Karena itu, di dalam pemikiran Gramsci, di antara negara dan civil society senantiasa terdapat suatu hubungan timbal-balik. Kelas sosial yang dominan melalui negara mencoba mengkooptasi kelompok-kelompok lain dalam civil society. Sebaliknya, kelompok-kelompok sosial tersebut pun mencoba memaksa negara untuk berkompromi dan menerima tuntutan-tuntutannya.Selain itu konsep civil society juga dikemukakan oleh Locke, menurut pemikiran liberalisnya, masyarakat sipil atau civil society digambarkan sebagai manisfestasi tertinggi dalam sistem demokrasi dan secara moral, civil society berada dalm posisi yang lebih superior dari negara. Dalam kerangka ini, konsep masyarakat sipil lebih berbentuk suatu jejaring kerja (work networking) yang tidak hanya terdiri dari civil society organizations, tetapi juga partai politik, lembaga-lembaga agama, pranata adat, hingga aktor-aktor individual seperti para pemimpin informal dna tokoh-tokoh agama. Jejaring kerja ini bergerak secara simultan dan nerupaya untuk mengimplementasikan proses demokratisasi melalui perluasan partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan publik, prinsip good governance dalam pencapaian political public goods, pemerataan distribusi kesejahteraan, dan prinsip non-kekerasan untuk mengatasi masalah-masalah sosial (Andi W. 2003:43).

Resolusi KonflikResolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Definisi lain muncul dari Lund (1996) yang menempatkan resolusi konflik sebagai salah satu bagian dari proses perdamaian. Menurut Lund, resolusi konflik dapat dilakukan dalam enam tahap. Tahap pertama dan kedua dilakukan sebelum konflik bersekalasi menjadi konflik bersenjata, tahap ketiga hingga keenam dilakukan dari titik kulminasi konflik hingga pulihnya kembali perdamaian di masyarakat (Andi W. 2003:44).

Peranan Civil SocietyDalam tahapan yang dikemukakan oleh Lund, tahapan pertama adalah tahap preventif. Dimana masyarakat sipil diharuskan untuk melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial yang bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik bersenjata dan mengkonstruksikan proses perdamaian yang dapat dijalankan oleh pihak-pihak yang bertikai. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui dua kegiatan. Pertama adalah mengoperasionalkan indikator early warning system. Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi konflik (Widjajanto, 2001).Tahap kedua, resolusi konflik dilakukan secara ad hoc dengan melaksanakan pengelolaan krisis untuk mencegah terjadinya konfrontasi terbuka antar aktor. Masyarakat sipil disini diarahkan untuk menutup peluang terjadinya konflik bersenjata antar pihak yang bertikai. Tahap ketiga, didominasi oleh operasi-operasi militer yang terpaksa digunakan karena kekerasan senjata sudah merebak. Dalam tahapan ini masyarakat sipil harus tegas menyuarakan bahwa operasi militer tidak akan mampu menyelesaikan konflik secara menyeluruh dan strategi militer yang digelar harus mencerminkan misi perdamaian. Tahap keempat adalah penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban konflik (Anderson, 1996). Disini masyarakat sipil ditantang untuk mengembangkan kemampuan civic mid-war operations (Andi W. 2003:47).Tahap kelima memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses reintegrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai untuk mencari kesepakatan politik diantara aktor konflik. Dan tahap terakhir lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapka problem-solving approach yang berorientasi sosial. Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeksplorasi alternatif alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing- masing komunitas (Andi W. 2003:48)

VI. Contoh Kasus: Konflik di Sampit Tahun 2001Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.Konflik Sampit merupakan puncak dari gabungan insiden atau konflik konflik yang sebelumnya pernah terjadi antara warga Madura dan warga asli Batak. Program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1930 dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia menyebabkan populasi migran asal Madura mencapai 21% dari populasi warga di Kalimantan Tengah. Peraturan kebiijakan pemerintah yang membuat warga madura dengan mudah memperoleh kontrol yang luas terhadap industri komersial, membuat warga asli Dayak merasa tidak diperhatikan pemerintah. Kesenjangan sosial dan ekonomi pun terjadi dan menjadi salah satu penyebab meletusnya konflik Sampit pada Februari 2001 tersebut.Konflik antaretnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri, 2005:146).Sebuah penelitian mengenai konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura pernah dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005, penelitian tersebut berjudul Resolusi Konflik berbasis Pranata Adat Pamabakng dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Hasil penelitian tersebut salah satunya menyebutkan bahwa konflik-konflik kekerasan yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura disebabkan oleh faktor-faktor struktural yang dilandasi oleh faktor faktor kultural; apabila faktor-faktor struktural dan kultural ini tidak diatasi dengan tuntas dan sepanjang resoluasi konflik tidak mengedepankan resolusi yang berbasis pada budaya dan kepercayaan masyarakat maka konflik kekerasan diperkirakan akan terus berulang (2005 : vi).Yohanes juga menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat selama ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku Dayak, namun sebenarnya bukan tradisi ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan lebih sebagai akibat dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan kekerasan terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri kekerasan tidak pernah dikaitkan dengan isu-isu keagamaan (2005:312-313). Di sisi Suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan Barat, baik yang sudah lama maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan merespon amarah atau kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan pula (Yohanes Bahari, 2002:314). Karena itu, kecenderungan kekerasan ini pulalah yang mudah dipicu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.Hal tersebut diatas merupakan hal kultural mengenai perbedaan etika dan kebiasaan setiap daerah maupun sukunya masing masing, namun jika kita melihat kepada kejadian kejadian dan insiden insiden lain penyebab meletusnya konflik Sampit ini, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum yang lemah dan tidak tegas dalam menangani kasus kasus sebelumnya disini juga mempunyai peranan penting hingga menyulut konflik Sampit ini menjadi berkepanjangan. Lembaga penegak hukum seakan menganggap remeh insiden insiden kecil yang terjadi sejak tahun 1972 dan terus terjadi sampai puncak konflik Sampit tersebut. Penyelesaian konflik dalam insiden insiden kecil sebelum puncak konflik Sampit yang anarkis ini diselesaikan dengan jalur hukum adat, dan tidak ada pengontrolan terhadap penyelesaian masalah itu setelahnya. Hingga insiden insiden pun terus terjadi antara dua kubu Madura dan Dayak ini.Jika dikelompokkan, terdapat empat hal yang menjadi penyebab konflik Sampit terjadi, diantaranya :1. Konflik Sampit ini merupakan konflik lanjutan dari kerusuhan Sambas yang berlangsung sejak tahun 1977 19992. Peraturan pemerintah yang menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi antara masyarakat asli dan pendatang3. Adanya sentimen agama4. Tidak adanya penegakkan hukum yang jelas terhadap permasalahan permasalahan sejak tahun 1972Konflik ini berujung pada deklarasi batu yang pada 6 Februari 2002 ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat, tokoh masyarakat, serta unsur Musyawarah Pimpinan Daerah se-Kalimantan, serta disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno. Isi dari deklarasi batu ini adalah : Seluruh masyarakat Kalimantan sepakat tidak akan lagi mengulangi konflik antar etnis. Masyarakat Kalimantan etnis Madura yang menjadi korban kerusuhan dan masih mengungsi di sejumlah daerah di tanah air akan dikembalikan secara bertahap.Sebagai proses rehabilitasi pasca konflik ini, Mendagri membentuk Kelompok Kerja Linas Tokoh dan Sektor.Dari beberapa penyebab munculnya konflik, jika kita melihat pada studi kasus yang dijelaskan di atas, maka konflik sosial bisa terjadi akibat gagalnya penegakan hukum. Hal ini yang menyebabkan penegakan hukum menjadi sangat penting. Hal-hal yang menjadi faktor sebagai masalah pokok yang memperngaruhi pebegakan hukum antara lain: pertama, adalah faktor hukumnya sendiri (UU), faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Kedua adalah faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. Ketiga, faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup lembaga penerap hukum.

Jika dipetakan, maka penulis menggambarkan konflik sampit adalah sebagi berikut :

Gambar 1. Pemetaan Konflik Sampit

VII. PenutupKemajemukan masyarakat di satu sisi dapat menjadi modal bagi sebuah negara bangsa, namun di sisi lain juga sangat berpotensi menimbulkan konflik. Agar tidak menjadi konflik yang besar dan berkepanjangan, diperlukan tindakan untuk mengelola pluralistik agar tidak melahirkan konflik yang destruktif. Melihat dari beberapa penyebab timbulnya konflik sosial, sesungguhnya pecahnya konflik sangat dapat dihindari dengan melakukan beberapa pencegahan yang dapat dilakukan baik oleh pemerintah dalam skala nasional, pemerintah daerah, maupun setiap individu masyarakat itu sendiri. Indonesia saat ini sudah memiliki Undang Undang yang mengatur tentang penanganan konflik sosial, yaitu Undang undang nomor 7 tahun 2012 yang telah disahkan pada 10 Mei 2012. Undang undang ini mengatur tentang penanganan konflik sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan. Yakni pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Dengan adanya Undang-Undang Tentang Penanganan Konflik Sosial ini diharapkan akan semakin menjamin kepada masyarakat Indonesia rasa aman, persatuan, perdamaian, dan yang pasti keutuhan wilayah NKRI diatas segalanya. Peranan civil society juga sangat penting dalam penanganan sebuah konflik. Dalam hal ini, civil society dituntut untuk menjadi mitra pemerintah dalam menangani kasus konflik yang terjadi. Civil society dapat melakukan berbagai upaya resolusi konflik untuk menyelesaikan konflik dengan tahapan yang sesuai dengan jenis konfliknya. Bahkan civil society pun diharapkan dapat membantu pemerintah untuk mencegah timbulnya suatu konflik di sebuah negara.Namun dari kesemua itu, konflik tidak sepenuhnya bersifat negatif. Ada peribahasa latin yang berbunyi si vis pacem, para bellum yang artinya jika kamu mendambakan perdamaian, bersiap siaplah untuk berperang. Hal ini sejalan dengan teori konflik yang memandang bahwa sebuah perubahan sosial tidak akan terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Bernard Raho, 2007:54). Sehingga untuk mencapai sebuah perdamaian maka dibutuhkan usaha dari semua pihak untuk menciptakan perdamaian.

Daftar PustakaAnton, Simanjuntak, Bungaran. Strategi Dominasi dan Keutuhan Negara Bangsa yang Pluralistik. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15274/1/etv-okt2005-2.pdf) Diakses tanggal 6 Desember 2014Liliweri, Aro. 2005. Prasangka & Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS YogyakartaMuradi. 2012. Peran Pemerintah dalam Mengantisipasi Konflik dan Kerawanan Sosial di DKI Jakarta. (http://www.academia.edu/1748732/Peran_Pemerintah_dalam_Mengantisipasi_Konflik_dan_Kerawanan_Sosial) diakses tanggal 6 Desember 2014Prasetyono, Edi. 2005. Keamanan Nasional Tataran Kewenangan, Penggunaan Instrumen, Kemanan, dan Keamanan Manusia. (http://www.csis.or.id/sites/default/files/atch/wpi062.pdf) diakses pada 6 Desember 2014Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka PublisherSoeprapto. 2009. Pluralitas: Menata Ulang Kehidupan Pluralitas Sebagai Kekuatan Bangsa Secara Demokratis Berlandaskan Pancasila. (http://lppkb.wordpress.com/2009/08/03/pluralitas/) diakses pada 6 Desember 2014Undang Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik SosialYadiman dan Rycko Amelza Dahniel. 2013. Konflik Sosial dan Anarkisme. Yogyakarta: CV. Andi Offset (Penerbit Andi)Widjajanto, Andi. 2003. Peran Masyarakat Sipil dalam Resolusi Konflik. (http://www.fisip.ui.ac.id/pacivisui/repository/civic/civic3/5-ANDI.PDF) diakses tanggal 10 Desember 2014.http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/1601-kontroversi-uu-penanganan-konflik-sosial.html (Diakses tanggal 2 Desember 2014)http://news.liputan6.com/read/28658/kelompok-bertikai-di-kalimantan-menyepakati-deklarasi-batu (diakses tanggal 2 Desember 2014).http://www.oocities.org/haiho1961/ktng.html (Diakses tanggal 3 Desember 2014).http://www.sicripps.ohio.edu/news/cmdd/artikelefhtm. (Diakses tanggal 10 Desember 2014).20