Renungan - Bible Society of Singapore | Bible Society of ...
CIVIL SOCIETY DAN STABILITAS SOSIALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... ·...
Transcript of CIVIL SOCIETY DAN STABILITAS SOSIALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... ·...
CIVIL SOCIETY DAN STABILITAS SOSIAL
Strategi Forum Lintas Ormas (FLO) dalam Penyelesaian Kasus
Pendirian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
di Tanjung Barat, Jakarta Selatan Tahun 2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Prisma Anandifa Restu
11151120000025
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
CIVIL SOCIETY DAN STABILITAS SOSIAL: Strategi Forum Lintas
Ormas (FLO) dalam Penyelesaian Kasus Pendirian Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) di Tanjung Barat, Jakarta Selatan Tahun 2016
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 Desember 2019
Prisma Anandifa Restu
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Prisma Anandifa Restu
NIM : 11151120000025
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
CIVIL SOCIETY DAN STABILITAS SOSIAL: Strategi Forum Lintas
Ormas (FLO) dalam Penyelesaian Kasus Pendirian Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) di Tanjung Barat, Jakarta Selatan Tahun 2016
dan telah diuji pada tanggal 19 Desember 2019
Jakarta, 6 Desember 2019
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi, Pembimbing,
Dr. Iding Rosyidin Hasan, M.Si Ana Sabhana Azmy, M.I.P
NIP: 19701013 200501 1 003 NIDN: 20010018601
iii
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa strategi Forum Lintas Ormas (FLO) dalam
menyelesaikan kasus pendirian rumah ibadah GBKP di Tanjung Barat Jakarta
Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi dan hambatan
FLO dalam menyelesaikan kasus GBKP tahun 2016. Permasalahan intoleransi
masih sering terjadi di Indonesia, salah satunya mengenai masalah penolakan
pendirian rumah ibadah. Permasalahan utama kasus ini yaitu GBKP tidak
memiliki izin pendirian rumah ibadah sehingga masyarakat sekitar melakukan
penolakan terhadap bangunan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisa
serta pemahaman mendalam. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka,
dokumentasi-dokumentasi, dan wawancara dengan narasumber terkait. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori strategi civil society Michael G.
Roskin untuk melihat pendekatan apa yang digunakan civil society dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi FLO dalam
menyelesaikan kasus GBKP terkait pendirian rumah ibadah berhasil dilakukan.
Konflik antara umat beragama di wilayah Tanjung Barat dapat dihindari,
walaupun pihak GBKP tidak dapat mendirikan gereja di wilayah tersebut. Namun
pemerintah telah merelokasi kegiatan peribadatan GBKP di GOR Balai Rakyat
Pasar Minggu.
Kata kunci: Civil Society, Forum Lintas Ormas, Intoleransi.
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan
rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW beserta para sahabatnya. Penulis merasa bersyukur
karena dapat menyelesaikan persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Skripsi yang berjudul Civil Society dan Stabilitas Sosial: Strategi Forum
Lintas Ormas (FLO) dalam Penyelesaian Kasus Pendirian Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) di Tanjung Barat, Jakarta Selatan Tahun 2016 dapat
diselesaikan. Dalam penyusunan skripsi ini tentunya melibatkan banyak pihak
yang telah membantu dan memberi kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Lubis, M.A, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Ali Munhanif, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
5. Ana Sabhana Azmy, M.I.P, selaku dosen pembimbing yang telah rela
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih atas nasihat, saran, serta semangat yang diberikan
dalam menyempurnakan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu. Terima kasih untuk dedikasinya dalam memberikan ilmu yang
bermanfaat selama perkuliahan.
7. Seluruh jajaran Forum Lintas Ormas. H. Purwanto, S.H selaku Ketua
Forum Lintas Ormas yang memberikan saya informasi terkait
kebutuhan skripsi ini. Hasyim Ashari selaku Koordinator Lapangan
FLO dan Hamzah Wahab selaku Divisi Keagamaan FLO yang
memberikan informasi kepada penulis.
8. Seluruh keluarga, Tri Supendi dan Siti Masrifah yang selalu
mendoakan dan memberi semangat hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Mereka yang berjuang dan bekerja keras
sehingga penulis dapat menempuh studi hingga saat ini. Kedua adikku,
Ulung Dwi Nurhuda dan Prista Anggia Resti yang selalu memberi
semangat dan menghibur penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Seluruh teman Program Studi Ilmu Politik A angkatan 2015 yang telah
memberikan warna dan nuansa baru dalam menuntut ilmu selama
perkuliahan.
vii
10. Kelurga besar HMI Komisariat FISIP yang telah mengajarkan penulis
banyak hal baru dan diskursus yang bermanfaat.
11. Teman Aspa yang sejak awal perkuliahan mengisi waktu dan keseruan
penulis. Mereka adalah tempat berbagi dan bertukar pikiran sehingga
dalam tugas-tugas perkuliahan penulis dapat terbantu.
12. Teman rumah, Jiki, Hendra, Erby, Kemal, Rifky yang memberi
motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mereka juga
memberikan hiburan sehingga penulis tidak penat dalam menyusun
skripsi.
13. Terkasih, Ika Wahyu Riani seorang calon guru yang berperan banyak
dalam skripsi ini. Dengan cinta dan kasihnya penulis dapat termotivasi
untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala perhatian
dan kesabarannya dalam menghadapi penulis. Memberikan saran,
semangat dan juga pelajaran yang berharga sehingga penulis menjadi
pribadi yang lebih baik lagi.
Tanpa bantuan dan support dari mereka semua, penulis akan sulit untuk
menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mohon maaf apabila ada kekurangan
dalam penelitian ini. Penulis juga menerima terhadap kritik dan saran yang
bertujuan menyempurnakan penelitian ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 6 Desember 2019
Prisma Anandifa Restu
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................ Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xii
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................................. 1
B. Pertanyaan Masalah ............................................................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 9
E. Metode Penelitian ................................................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 16
BAB II
KERANGKA TEORI ..................................................................................................... 18
A. Konsep Civil society ............................................................................................. 18
1. Karakteristik Civil Society .................................................................................... 18
2. Civil Society dan Toleransi ................................................................................... 23
B. Teori Strategi ...................................................................................................... 27
1. Pemahaman Strategi .............................................................................................. 27
2. Strategi Politik Civil Society ................................................................................ 28
BAB III
PROFIL WILAYAH DAN PROFIL FORUM LINTAS ORMAS ............................. 31
A. Intoleransi di Jagakarsa ..................................................................................... 31
B. Profil Tanjung Barat .......................................................................................... 33
1. Sejarah Tanjung Barat .......................................................................................... 33
2. Pemerintahan ........................................................................................................ 35
C. Profil Forum Lintas Ormas Jagakarsa Periode 2016-2021 ............................. 36
ix
1. Sejarah FLO ........................................................................................................ 36
2. Visi dan Misi ...................................................................................................... 38
3. Struktur Organisasi ............................................................................................ 39
4. Program Organisasi ............................................................................................ 41
BAB IV
STRATEGI FLO DALAM PENYELESAIAN KASUS PENDIRIAN ...................... 44
GBKP DI TANJUNG BARAT ...................................................................................... 44
A. Strategi FLO dalam Penyelesaian Kasus GBKP.............................................. 44
1. Pendekatan FLO terhadap Pemerintah wilayah Jakarta Selatan ....................... 45
2. Pendekatan terhadap Hukum ............................................................................ 50
3. Pendekatan terhadap Publik .............................................................................. 54
B. Hambatan-hambatan FLO dalam Penyelesaian Kasus GBKP ...................... 60
1. Hambatan Internal FLO ................................................................................ 61
a. FLO merupakan Organisasi Baru ............................................................. 61
b. Setiap Anggota Memiliki Kesibukan ........................................................ 63
2. Hambatan Eksternal FLO.............................................................................. 66
a. Massa Intoleran ......................................................................................... 66
b. Adanya Kepentingan Pengusaha............................................................... 69
BAB V
PENUTUP ........................................................................................................................ 72
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 72
B. Saran .................................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... xi
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.A.1 Rekapitulasi Data Organisasi Provinsi DKI Jakarta………. 3
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.C.1 Struktur Organisasi FLO…………………… …….. 41
Gambar IV.A.1 Pendekatan FLO dengan Pemerintah Terkait kasus
GBKP…………………………………………….. 48
Gambar IV.A.2 FLO Menemui Pihak FKUB Jakarta Selatan…….. 53
Gambar IV.A.3 Pertemuan FLO dengan Tokoh Agama, Ormas
dan Masyarakat Sekitar…………………………... 58
Gambar IV.A.4 Pertemuan FLO dengan GBKP…………………... 60
Gambar IV.B.1 Aksi Penolakan Masyarakat Tanjung Barat……… 69
xii
DAFTAR SINGKATAN
FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama
FLO : Forum Lintas Ormas
GBKP : Gereja Batak Karo Protestan
GKI : Gereja Kristen Indonesia
IMB : Izin Mendirikan Bangunan
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
Ormas : Organisasi Masyarakat
PBM : Peraturan Bersama Menteri
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Organisasi masyarakat atau biasa disebut Ormas merupakan sebuah
manifestasi dari adanya kemandirian masyarakat yang ikut serta dalam
mewujudkan jalannya pemerintahan yang kondusif. Ormas bukan merupakan
realitas baru di Indonesia. Kehadirannya dapat ditelusuri sejak zaman kolonial
yang sebagian besar bersifat otonom, swadaya dan dibentuk oleh beberapa orang
pribumi.1 Dengan adanya Ormas, kehidupan bermasyarakat dapat lebih harmonis
serta aktif dalam menanggapi permasalahan.
Namun hingga saat ini kasus mengenai toleransi beragama masih marak
terjadi di masyarakat. The Wahid Institute dalam Laporan Tahunan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014 menyebutkan kasus pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) berjumlah 158 peristiwa dengan
187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 78 peristiwa melibatkan 89 aktor non-negara
termasuk ormas di dalamnya.2
Di Indonesia, Ormas diatur menurut UU No.17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan sebagai sebuah landasan legalitas mereka dalam
menjalankan aktivitasnya. Namun munculnya Ormas yang bersifat radikal dan
memiliki asas yang bertentangan dengan Pancasila membuat pemerintah
merancang kembali sebuah Undang-Undang untuk menindaklanjuti hal tersebut.
1 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia,
(Jakarta: LP3ES, 2006), h.8. 2 Tim The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Intoleransi 2014 (Jakarta: The Wahid Institute,2014), h.22.
2
Akhirnya pada tanggal 10 Juli 2017 ditetapkanlah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU
No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.3
Sejak kemerdekaan Indonesia, proses kebangkitan civil society
direalisasikan dalam beberapa jenis gerakan sosial, salah satunya ialah resistensi
pragmatis yang dilakukan sebagai reaksi langsung terhadap kebijaksanaan
pemerintah atau sistem sosial ekonomi-politik yang sedang berjalan. Resistensi
semacam ini pada umumnya melibatkan Ormas, partai politik, dan bahkan
mahasiswa. Dapat kita lihat bahwa Ormas merupakan bagian dari civil society
dimana Ormas sebagai suatu komunitas masyarakat yang di dalam kehidupan
bernegara dapat berinteraksi dengan Negara secara independen. Komponen
adanya civil society sendiri yaitu, otonom (kemandirian), akses masyarakat
terhadap lembaga Negara, arena publik yang otonom dan arena publik yang
terbuka.4
Ormas mempunyai kepedulian yang berkaitan dengan tujuan-tujuan publik
dibanding dengan tujuan pribadi.5 Kepedulian dan perhatian tersebut menjadi satu
bentuk nyata yang diperlukan masyarakat untuk memberi suasana baru atau
bahkan pencerahan terhadap segala bidang permasalahan kehidupan yang ada
dalam sebuah masyarakat..
3Humas, “Inilah Perppu No 2/2017 tentang Perubahan UU No 17/2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan,” artikel terbit pada 12 Juli 2017 dari http://setkab.go.id. 4 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1999), h.181-184. 5 Suharko, Masyarakat Sipil, Modal Sosial dan Tatanan Pemerintahan yang Demokratis,
(Jurnal Sosial dan Politis, Fisipol UGM Vol.8 No.3, Maret 2005), h.272.
3
Ormas di Indonesia cukup banyak jumlahnya, yaitu terdapat 344.309 ribu
Ormas di Indonesia,6 Ormas tersebut juga memiliki asas yang berbeda seperti
yang berlandaskan agamis, nasionalis dan juga sosialis. Ormas yang sudah
terbentuk lama dan masih berkiprah hingga saat ini adalah, Forum Betawi
Rembug (FBR), Pemuda Pancasila (PP), Front Pembela Islam (FPI), Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Forum Komunikasi Betawi (FORKABI) dan masih
banyak lagi. Berikut adalah data terkait jumlah Ormas yang ada di DKI Jakarta.
Tabel 1.A.17
Rekapitulasi Data Organisasi Provinsi DKI Jakarta8
NO ORGANISASI JUMLAH KETERANGAN
1 Ormas 458 Berdasarkan daftar SKT
Bakesbangpol Provinsi dan
Kantor Kesbangpol
Kabupaten/Kota
2 Etnis 37 Bakesbangpol Provinsi DKI
Jakarta
3 Agama 39 Bakesbangpol Provinsi DKI
Jakarta
4 Pemuda 50 Bakesbangpol Provinsi DKI
Jakarta
5 Wanita 73 Bakesbangpol Provinsi DKI
Jakarta
6 Profesi 65 Bakesbangpol Provinsi DKI
Jakarta
7 Federasi/SK/SP/Buruh 28 Sumber Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi DKI
Jakarta
Keseluruhan 750
Berdasarkan data tabel di atas, di DKI Jakarta terdapat 458 Ormas aktif
dalam masyarakat, dimana tiap ormas memiliki dasar dan tujuan yang berbeda-
beda. Tidak jarang perbedaan tersebut menimbulkan gesekan konflik internal
6 Humas, “Kemendagri: Jumlah Ormas di Indonesia ada 344.039,” artikel terbit pada 30
Oktober 2017 dari http://setkab.go.id. 7 Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL) Jakarta Tahun 2017.
8Bakesbangpol, “Organisasi Kemasyarakat di Wilayah Provinsi DKI Jakarta tahun 2017,”
terbit pada 4 November 2017 dari http://bakesbangpoljakarta.com.
4
dalam masyarakat. Bahkan kasus intoleransi dalam masyarakat masih kerap
terjadi dalam segi agama maupun politik.
Membahas masalah toleransi, Umar Hasyim menyebutkan dalam bukunya
bahwa toleransi adalah sebuah pemberian kebebasan kepada setiap insan yang
hidup bermasyarakat untuk menjalankan keyakinannya dan menentukan nasibnya
sesuai yang diinginkan, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu
tidak bertentanga dan tidak melanggar dengan ketentuan terciptanya perdamaian
dan ketertiban dalam masyarakat.9 Sedangkan intoleransi sendiri memiliki makna
berlawanan dengan toleransi. Definisi intoleransi merujuk pada sikap tidak bisa
menerima perbedaan maupun keberagaman di dalam masyarakat. Pengertian
intoleransi merupakan sebuah fenomena yang bisa diketahui dalam bentuk
tindakan tertentu. Intoleransi kemudian menjadi sesuatu yang membawa pada
potensi lahirnya penyakit sosial yang mengancam kehidupan dan berujung
kekerasan.10
Salah satu kasus fenomenal di DKI Jakarta yang menunjukkan adanya
pelanggaran toleransi ialah kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki
Tjahaja Purnama pada tahun 2017. Hal ini memiliki efek yang sangat besar bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Setara Institute dalam survei mengenai indeks kota
toleran menyebutkan bahwa DKI Jakarta menjadi kota yang memiliki toleransi
yang rendah dengan skor 2,30 dalam skala 1-7. DKI turun dari peringkat 65
menjadi peringkat ke 94. Hal itu disebabkan oleh tingginya intoleransi dan
9 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar
menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat Beragama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h.22. 10
Tim The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Intoleransi 2014 (Jakarta: The Wahid Institute,2014), h.16.
5
politisasi identitas keagamaan di DKI pada saat proses Pilkada 2017. Perubahan
yang signifikan di DKI Jakarta adalah pada indikator peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), pernyataan pemerintah, dan
tindakan nyata pemerintah. Pada indikator peristiwa, sudah terjadi 24 peristiwa
pelanggaran KBB dalam kurun waktu setahun.11
Kasus di Jakarta Selatan terkait kebebasan beragama maupun toleransi juga
masih sering terjadi. Halili Hasan12
mengatakan, kelompok masyarakat yang
dominan melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Front Pembela Islam (FPI), Aliansi Umat Islam,
dan perusahaan.13
Salah satu kasus intoleransi di Jakarta Selatan adalah kasus
yang terjadi di Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Tanjung Barat. Sebagai contoh
pada Oktober 2016 silam terjadi penolakan aktivitas beribadah dan mendirikan
gereja pada jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Hal ini dicekal karena
bangunan tersebut bukan merupakan bangunan dengan izin rumah ibadah
melainkan bangunan dengan izin rumah kantor sehingga warga menolak adanya
aktivitas keagamaan di bangunan tersebut.
Kemudian adanya kasus penolakan rencana Gereja Katolik Indonesia (GKI)
dalam mengalihfungsikan salah satu rumah di sana menjadi sebuah tempat untuk
beribadah. Kasus telah terjadi sejak awal 2018 dimana pihak aparatur setempat
seperti RT, RW dan Ormas yang ada di wilayah Jagakarsa menghimbau untuk
11
Setara Institute, “Indeks Kota Toleran tahun 2017,” artikel terbit pada 16 November
2017 dari http://setara-institute.org. 12
Direktur Riset Setara Institute. 13
Fathiyah Wardah, “Pelanggaran atas Kebebasan Beragama Masih Mencemaskan,” artikel
terbit pada 21 Agustus 2018 dari https://www.voaindonesia.com.
6
mengurus surat izin bangunannya. Namun ternyata hingga awal 2019 pihak GKI
belum juga mengantongi IMB tersebut dan permasalahan masih belum selesai.
Melihat dinamika tersebut, pemerintah kota Jakarta Selatan membuat suatu
organisasi yang bertugas sebagai wadah aspirasi Ormas dan LSM agar dapat
berjalan secara tertib dan saling bersinergi dalam menciptakan masyarakat yang
toleran. Lembaga tersebut adalah FLO, yang merupakan kesatuan yang terbentuk
dari seluruh Ormas dan LSM yang berada di Jakarta Selatan. Tujuan kegiatannya
difokuskan pada kegiatan sosial yang secara langsung berhubungan dengan
kepentingan masyarakat, dan menjadi saluran kerjasama, baik kepada Pemerintah
maupun swasta. FLO adalah organisasi yang didirikan dengan tujuan menciptakan
persatuan dan menjaga kerukunan yang terjalin baik antar Ormas dan LSM
maupun terhadap masyarakat. Ketua FLO komisariat Jagakarsa, H. Purwanto,
menjelaskan bahwa sebelum berdirinya FLO di Jagakarsa, ada beberapa kasus
yang berkaitan dengan konflik antar Ormas maupun dengan masyarakat
menyangkut masalah intoleransi.
Contoh kasus yang dimaksud oleh H. Purwanto, adalah kasus yang
menimpa seorang Lurah di Lenteng Agung karena identitas agama. Lurah Susan
yang menjabat di Lenteng Agung pada Juli 2013 mengalami penolakan dari
masyarakat dikarenakan dirinya adalah seorang non-Muslim. Mengantisipasi
adanya konflik yang berkelanjutan, akhirnya Lurah Susan dimutasi untuk
menjabat di Kelurahan Gondangdia pada awal 2015. Hal ini lantas mencerminkan
bahwa beberapa Ormas maupun masyarakat wilayah Jagakarsa masih belum
menerapkan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
7
Kemudian fenomena lain yang melibatkan Ormas dan masyarakat adalah
permasalahan yang terjadi antara Ormas Paroki (komunitas kaum beriman)
Jagakarsa Ratu Rosari dengan masyarakat dan beberapa Ormas setempat. Pada
Agustus 2015, Paroki membuat sebuah asrama pastur yang didirikan di wilayah
Jagakarsa. Tetapi pada kenyataan di lapangan, Paroki justru membuat bangunan
yang mirip dengan gereja. Masyarakat yang menyadari hal ini kemudian menolak
pembangunan tersebut. Beberapa Ormas juga menolak aktivitas tersebut.
Purwanto menjelaskan jika Paroki sejak awal transparan dengan tujuan
pembangunannya terhadap masyarakat dan juga tokoh masyarakat maupun Ormas
setempat, penolakan tersebut bisa dicegah. Setelah fenomena pembangunan
rumah ibadah ini, Purwanto merekomendasi agar FLO dapat terbentuk di wilayah
Jagakarsa.
Tri Kurniadi selaku Walikota Jakarta Selatan mengatakan Forum Lintas
Ormas didirikan untuk membangun dan mengembangkan kesetiakawanan sosial
dengan toleransi antar Ormas, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Maka dengan terbentuknya pengurus lintas ormas tingkat Kecamatan,
akan dapat menjadi media menjaga keharmonisan hidup ormas itu sendiri14
Sejak berdirinya FLO di Jagakarsa, mereka sudah melakukan serangkaian
program yang telah dirancang sebagai tindakan nyata sebuah Ormas. Dalam
seluruh kegiatan yang FLO lakukan, mereka selalu melibatkan Ormas maupun
LSM setempat sehingga mereka dapat bersinergi dan terlihat berkontribusi di
masyarakat. Dalam kegiatan keagamaan, FLO melakukan kegiatan keagamaan
14
Ning Rahayu, “Kemenkop dan UKM Dukung Ormas Tingkatkan Kewirausahaan dengan
Teknologi,” artikel terbit pada 3 November 2017 dari https://www.wartaekonomi.co.id.
8
seperti Maulid Nabi dan acara qurban idul adha. Dalam kegiatan sosial, FLO
sudah mengadakan kegiatan donor darah yang bisa diikuti oleh masyarakat
setempat, dan mengadakan santunan bagi anak yatim dan juga masyarakat kurang
mampu, walaupun masih belum menyeluruh. Dalam kegiatan sosial budaya
mengadakan pelestarian budaya Betawi dengan penyelenggaraan festival Setu
Babakan. Dalam kegiatan olahraga sudah mengadakan jalan sehat dan senam
bersama. Dalam bidang politik FLO sudah memberikan pengetahuan mengenai
pentingnya ikut berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan umum.
Dengan data dan paparan permasalahan yang sudah dijelaskan, penulis
akhirnya tertarik untuk meneliti kasus intoleransi yang terjadi pada tahun 2016
yaitu mengenai penolakan aktivitas serta pendirian rumah ibadah GBKP di daerah
Tanjung Barat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Kasus ini menjadi menarik
untuk diteliti, karena terdapat peran aktif FLO di dalam penyelesaian kasus. Oleh
karena itu penulis mengambil judul “Civil Society dan Stabilitas Sosial: Strategi
Forum Lintas Ormas (FLO) dalam Penyelesaian Kasus Pendirian Gereja
Batak Karo Protestan (GBKP) di Tanjung Barat, Jakarta Selatan Tahun
2016”.
B. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah yang sudah penulis paparkan di atas, dapat
dirumuskan beberapa pertanyaan masalah, yaitu:
1. Bagaimana strategi yang dilakukan FLO dalam menyelesaikan kasus
GBKP di Kelurahan Tanjung Barat Jakarta Selatan pada tahun 2016?
9
2. Apa saja hambatan yang dihadapi FLO dalam proses pelaksanaan
strategi tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Ada beberapa tujuan yang dapat dicapai dari penelitian ini, yaitu:
a. Untuk menjelaskan strategi yang dilakukan FLO dalam dalam
menyelesaikan kasus GBKP di Kelurahan Tanjung Barat Jakarta
Selatan pada tahun 2016.
b. Untuk mendeskripsikan hambatan yang dihadapi FLO dalam proses
pelaksanaan strategi itu.
2. Manfaat dalam penelitian ini, yaitu:
a. Manfaat Akademis
Manfaat Akademis dari penelitian ini sebagai pengetahuan mengenai
studi peran civil society dalam menciptakan stabilitas sosial dan toleransi
dalam masyarakat.
b. Manfaat Praktis
Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pelajaran
bagi masyarakat dan juga pemerintah dalan mengatasi permasalahan
intoleransi yang terjadi di masyarakat.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa pencarian mengenai hasil penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya yang kemudian terdapat unsur keterkaitan dengan penelitian ini. Hal
tersebut diajukan untuk melihat permasalahan yang belum dikaji sebelum
penelitian ini dari perspektif yang berbeda.
10
Pertama, skripsi karya Rahmat Sahputra,15
penelitian ini membahas
bagaimana FKUB menangani konflik rumah ibadat yang terjadi di Aceh Singkil.
Penelitian ini menggunakan teori konflik dan kebijakan publik. Penemuan
penelitian ini adalah bahwa FKUB Aceh Singkil sudah berperan baik dalam
menanggulangi konflik yang terjadi dengan mengeluarkan surat rekomendasi bagi
semua rumah ibadat di Aceh Singkil untuk mendapat IMB. Perbedaan penelitian
terdapat pada fokus permasalahannya terkait peran civil society dalam
menyelesaikan konflik, yaitu FKUB yang menangani konflik agama dengan
berbagai mediasi. Sedangkan penelitian ini berfokus pada strategi FLO dalam
menyelesaikan kasus intoleransi sehingga menciptakan iklim stabilitas dan
masyarakat toleran.
Kedua, artikel dalam Jurnal Madani yang ditulis oleh Ozi Setiadi,16
pembahasan penelitian ini mengenai bagaimana civil society menjadi mediator
dalam lingkup otonomi daerah. Kerangka teori penelitian ini menggunakan teori
civil society dan toleransi. Temuan dari penelitian ini adalah adanya peran yang
signifikan dari civil society dengan strategi yang dilakukan terhadap masalah
intoleransi sehingga konflik dapat dicegah. Perbedaan dari penelitian ini adalah
fokus permasalahannya yaitu peran civil society dalam lingkup masyarakat secara
umum, sedangkan penelitian ini hanya mencangkup lingkup kehidupan sosial
masyarakat Jagakarsa.
15
Rahmat Sahputra, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam Menangani
Konflik Rumah Ibadat tahun 2015 di Kabupaten Aceh Singkil”, (Tangerang: Skripsi Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Sarjana Sosial 2017), h.1-8. 16
Ozi Setiadi, “Civil Society dalam Permasalahan Toleransi di Masyarakat”, (Jurnal
Koordinat, Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman, Vol XVI No.1 April 2017).
11
Ketiga, artikel dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya yang ditulis
oleh Casram.17
Pembahasan penelitian ini adalah bagaimana membentuk
masyarakat yang memiliki sifat toleransi khususnya agama di tengah
beragamanya masyarakat. Penelitian ini menggunakan konsepsi toleransi dan
multikulturalisme masyarakat. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa sikap
epoché (netral) bisa menjadi landasan dan kemudian dijadikan sebagai acuan
untuk menumbuhkan sikap toleransi terhadap umat beragama. Perbedaan
penelitian terdapat pada fokus permasalahannya, yaitu penjelasan yang
membangun sikap toleransi atas keberagaman masyarakat. Sedangkan penelitian
ini meembahas peran civil society dalam mewujudkan masyarakat yang memiliki
sikap toleran dalam kehidupan.
Keempat, artikel Ronald Helweldery.18
Pembahasan penelitian ini berfokus
pada keberadaan gereja dalam masyarakat serta kerukunan yang tercipta antar
umat beragama. Pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah konsep civil
society. Temuan atau hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya
civil society yang sinergi, gereja akan mampu diterima oleh masyarakat.
Perbedaan penelitian terletak pada inti permasalahannya terkait peran civil society
dalam masyarakat plural. Sedangkan penelitian ini terfokus pada peran FLO
dalam menciptakan stabilitas sosial politik di masyarakat.
17
Casram, “Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural”, (Jurnal
Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Vol.1 No.2, Juli 2016),
h.187-198. 18
Ronald Helweldery, “Gereja dalam Konteks Kerukunan Beragama dalam Masyarakat”,
(Jurnal Studi Agama dalam Masyarakat, Universitas Kristen Satya Wacana Vol. 4, No. 3, Maret
2018).
12
Kelima, artikel Ismail Fahmi Arrauf Nasution,19
pembahasan penelitian ini
terkait dengan perbaikan hubungan antara muslim dan kristen melalui peran
FKUB di Aceh. Konsep yang dipakai penelitian ini adalah konsep toleransi
agama. Temuan dari penelitian ini adalah FKUB sangat berperan dalam menjaga
kerukunan umat beragama di Aceh Tamiang. Perbedaan penelitian terletak pada
inti masalah yang dibahas yaitu terkait kerukunan yang terjalin antara muslim dan
kristen. Pada penelitian ini toleransi mencakup semua aspek dalam masyarakat.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan bagian dari sebuah penelitian yang dapat
membantu penulis dalam menggali serta melengkapi kebutuhan penelitian yang
dilakukan. Secara umum metode penelitian dapat dipahami sebagai langkah untuk
memperoleh kebenaran dari fakta-fakta yang ada melalui penyelidikan secara
ilmiah. Metode penelitian menurut Kerlinger adalah suatu proses penemuan yang
memiliki karakteristik secara empiris, sistematis, terkontrol dan berlandaskan
pada teori dan hipotesis.20
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif.
Metode kualitatif juga bisa dikatakan sebagai metode naturalistik karena
dilakukan secara alamiah. Penelitian ini dilakukan pada obyek alamiah yang
berkembang dengan sendirinya. Metode kualitatif biasanya digunakan untuk
mendapatkan data yang rinci dan mendalam. Metode kualitatif tidak menekankan
19
Ismail Fahmi Arrauf Nasution yang berjudul “Minoritas dan Politik Perukunan (FKUB,
Ideologi Toleransi dan Relasi Muslim-Kristen Aceh Tamiang)”, (Jurnal Substantia, IAIN Zawiyah
Cot Kala Langsa, Vol. 19, No. 1, April 2017), h. 53-74. 20
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h.5.
13
pada generalisasi sebuah definisi, melainkan penekanan terhadap makna itu
sendiri.21
2. Sumber Data
Data adalah deskripsi dasar dari benda, peristiwa, aktivitas dan transaksi
yang direkam, dikelompokkan, dan disimpan tetapi belum terorganisir untuk
menyampaikan arti tertentu.22 Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan
sumber data yang berbentuk kata atau lisan yang tertulis. Berbeda dengan
penelitian kuantitatif yang disajikan dalam angka dan grafik. Sumber kualitatif
juga dapat diperoleh dari benda-benda yang diamati atau dokumen tersirat.
Sumber data tersebut harus asli, namun, jika sumber asli tersebut susah didapat,
maka tiruan seperti dalam bentuk fotokopi tidak terlalu jadi masalah, selama dapat
dibuktikan dengan kuat pengesahannya.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,
yaitu:
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang berasal dari sumber asli ataupun
pertama.23
Sumber data primer pada penelitian ini adalah Forum Lintas
Ormas. Sumber yang bisa diperoleh penulis terkait penanganan kasus yang
dilakukan FLO mengenai masalah toleransi maupun intoleransi dalam
masyarakat.
21
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D)
(Bandung: Alfabeta, 2015), h.15. 22 Turban, Efraim & Linda Volonino Information Technology for Management (Asia : John
Willey & Sons,2010), h.41. 23 Jonathan Sarwono, Analisis Data Penelitian Dengan Menggunakan SPSS (Yogyakarta:
CV Andi Offset,2006), h.8.
14
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua seperti
melalui buku-buku, dokumen dan artikel yang diakses dari website yang
memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.24
Sumber data sekunder yang
penulis gunakan diantaranya masyarakat setempat daerah Jagakarsa, jurnal,
berita online dan buku-buku yang membahas masalah civil society dan
toleransi dalam masyarakat.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi merupakan sebuah metode pengumpulan data dengan cara
mendatangi langsung sebuah lokasi yang akan diteliti. Dengan mendatangi
lokasi tersebut, penulis mampu mendapat data yang diperlukan. Menurut
Irawan, observasi merupakan kegiatan pengukuran secara langsung dan
mengamati objek dengan indra pengelihatan tanpa mengajukan sebuah
pertanyaan.25
b. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara bertemu
langsung secara tatap muka oleh narasumber. Komunikasi yang dilakukan
secara langsung dapat menggali sumber lebih banyak. Wawancara yang
penulis gunakan merupakan wawancara semiterstruktur, dimana dalam
24
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan
Publik Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2005), h.119. 25
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 69.
15
implementasinya lebih fleksibel dan terbuka. Pihak narasumber juga dapat
memberi ide dan pendapatnya kepada penulis.26
c. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data menggunakan dokumentasi yaitu mencari
dan menemukan sebuah data dalam bentuk catatan ataupun gambar yang
menggambarkan suatu peristiwa.27
Sebuah dokumen bisa menjadi
pelengkap dalam sebuah penelitian karena memiliki bukti dari kejadian
yang sebenarnya.
4. Teknik Analisis Data
Dalam sebuah penelitian tentu memerlukan sebuah analisis data baik itu
penelitian kuantitatif maupun penelitian kualitatif. Data yang diperoleh dari
berbagai teknik pengumpulan data kemudian disusun secara sistematis sehingga
data dapat dipahami dengan mudah bagi peneliti maupun orang lain.28
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis secara
deskriptif. Analisis ini dilakukan secara rinci berdasarkan teori civil society dan
toleransi dalam menjelaskan data kemudian berfokus pada objek yang diteliti
sehingga dapat menemukan jawaban dari permasalahan penelitian. Proses ini
dibagi dalam tiga bagian yaitu reduksi data, penyajian data, dan terakhir penarikan
kesimpulan.
26
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, h.320. 27
Ibid, h.329. 28
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
(Yogyakarta: Erlangga, 2009), h. 148.
16
F. Sistematika Penulisan
Sistemaktika penulisan dilakukan agar penelitian mudah dipahami oleh
pembaca. Penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab, berikut sistematika
penulisan dalam penelitian ini:
Bab I Pendahuluan. Pada bagian ini penulis memaparkan pernyataan dan
pertanyaan yang menjadi latar belakang masalah dalam penelitian ini yaitu seputar
Forum Lintas Ormas di Jagakarsa, tujuan serta manfaat penelitian, tinjauan
pustaka sebagai referensi rujukan dalam melaksanakan penelitian, dan metode
penelitian sebagai kerangka sistematis dalam penyusunan penelitian ini.
Bab II Kerangka Teoretis. Dalam bab ini penulis mengeksplorasi
kerangka teori yang digunakan sebagai landasan konseptual untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang penulis angkat. Kerangka teori yang digunakan adalah
civil society dan strategi.
Bab III Profil. Bagian ini menjelaskan mengenai profil, latar belakang serta
program-program dari Forum Lintas Ormas Komisariat Kecamatan Jagakarsa.
Kemudian mendeskripsikan profil Kelurahan Tanjung Barat Kecamatan
Jagakarsa secara menyeluruh.
Bab IV Analisis. Bagian ini menjelaskan temuan-temuan serta hasil-hasil
penelitian di lapangan tentang strategi dari Forum Lintas Ormas dalam
menyelesaikan kasus intoleransi. Kemudian menjelaskan hambatan-hambatan
yang dialami oleh FLO dalam merealisasikan strateginya.
17
Bab V Kesimpulan. Dalam bab ini penulis memberi kesimpulan dari
penelitian ini berupa tiga strategi yang dilakukan merujuk pada Michael G.
Roskin. FLO berhasil mencegah konflik antar umat beragama, namun pendirian
gereja tetap tidak bisa dilakukan. Kemudian terdapat saran dan rekomendasi untuk
penelitian selanjutnya.
18
BAB II
KERANGKA TEORI
Dalam sebuah penelitian, diperlukan kerangka teori sebagai gambaran untuk
memahami penelitian tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa konsep teori untuk mendukung permasalahan yang akan diteliti. Konsep
teori tersebut yaitu civil society dari Muhammad AS. Hikam dan strategi dari
Michael G. Roskin.
A. Konsep Civil society
1. Karakteristik Civil Society
Membahas mengenai masyarakat sipil atau civil society merupakan sebuah
konsep yang memiliki banyak penafsiran. Pemikiran mengenai civil society
mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah. Dalam perkembangannya,
wacana civil society memiliki sejarah yang panjang. Civil society merupakan
konsep yang berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Dimulai dari
Aristoteles, konsep civil society sudah menjadi perbincangan menarik di kalangan
pemikir politik. Sebelum abad ke-18, misalnya, civil society umumnya diartikan
dan dipahami sama dengan pengertian negara, sehingga antara term civil society
dengan negara sering dipakai secara bergantian untuk merujuk pada tujuan yang
sama. Setelah akhir abad 18, terminologi civil society mengalami pergeseran
makna. Konsep civil society dipahami sebagai suatu kesatuan yang saling
berhadapan dengan negara. Negara dan civil society dipahami sebagai wujud yang
19
berbeda. yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh
kelompok masyarakat lain 1
.
Meski akar pemikiran civil society pada dasarnya dapat dirunut ke belakang
sejak jaman Aristoteles, namun, Cicero yang mulai memperkenalkan pemakaian
istilah societes civilis dalam filsafat politik. Di Eropa, cikal bakal civil society
diawali dengan menguatnya kekuatan-kekuatan politik di luar raja ketika pihak
kerajaan membutuhkan upeti atau sumbangan lebih besar dari kelompok-
kelompok tuan tanah. Namun, perkembangan civil society secara besar-besaran
dimulai sejalan dengan proses formasi sosial dan perubahan-perubahan politik di
Eropa akibat pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi
persoalan duniawi, yang keduanya pada saat itu turut serta mendorong
tergusurnya rezim-rezim absolut.2
Civil society didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dengan karakteristik sukarela dan kemandirian dalam sebuah negara.
Civil society menjadi penting karena dapat menjadi tameng yang menolak
intervensi negara yang berlebihan melalui bentuk asosiasi, organisasi maupun
pengelompokkan bebas dalam masyarakat.
Thomas Hobbes dan John Locke mempunyai pandangan yang sama dengan
Aristoteles tentang pemaknaan civil society yang diidentikkan dengan negara.
Hobbes berpendapat bahwa civil society harus memiliki kekuasaan yang solid
1 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), h.1.
2 Muhammad Asfar, Wacana Masyarakat Madani (Civil Society): Relevansi untuk Kasus
Indonesia, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Universitas Gajah Mada, Th XIV, No 1,
Januari 2001, h.52.
20
sehingga mampu meredam konflik dalam masyarakat dan mengontrol serta
mengawasi pola interaksi warga.3
Pendapat ini sangat ekstrim menempatkan civil society sebagai kekuatan
yang lebih tinggi daripada semua entitas yang ada dalam tatanan sosial. Sedikit
berbeda dengan Hobbes, John Locke mengatakan bahwa kemunculan civil society
dimaksudkan melindungi kebebasan dan hak warga negara. Menurutnya civil
society tidak boleh absolut, dan harus dibatasi perannya pada wilayah di luar batas
kemampuan masyarakat. Berdasarkan penjelasan yang ditulis A.S. Hikam, dimana
A.S Hikam mengutip paparan dari Henningsen yang mengungkapkan bahwa
“Civil society secara institusional bisa didefinisikan sebagai pengelompokan
anggota masyarakat sebagai warga negara yang mandiri serta dengan bebas dan
egaliter bertindak aktif dalam wacana praksis mengenai segala hal yang berkaitan
dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.”4
Muhammad AS Hikam mendefinisikan civil society sebagai wilayah-
wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-
supporting), kemandirian tinggi saat berhadapan dengan negara, dan keterikatan
dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. 5
Sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang
menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkekang
oleh situasi kehidupan material, dan tidak terkontaminasi dalam kepentingan
politik secara resmi. Di dalamnya tersirat mengenai pentingnya ruang publik yang
3 Asrori S. Karni, Civil Society & Ummah, (Jakarta: Logos, 1999), h.21.
4 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h.88.
5 Ibid, h.3.
21
bebas, tempat dimana diskursus yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat
tanpa adanya pengaruh dari pihak luar.
Berdasarkan pengertian civil society di atas, maka ia terwujud dalam
berbagai organisasi atau asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh
negara. Secara kongkrit, civil society bisa berwujud dalam bentuk berbagai
organisasi yang berada di luar institusi-institusi pemerintah yang mempunyai
cukup kekuatan untuk melakukan counter atau mengimbangi terhadap negara.
Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, dan
juga kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) adalah interpretasi dari
civil society. Walaupun demikian, tidak dapat dipastikan dalam pengelompokkan
tersebut memiliki kemandirian yang tinggi ketika berhadapan dengan negara.
Oleh karena itu kondisi civil society harus dipahami sebagai sebuah proses yang
bisa mengalami kemajuan dan kemunduran, pasang surut, serta kekuatan dan
kelemahan dalam perkembangannya.
Civil society sebagaimana dikonsepsikan oleh para pemikirnya memiliki
tiga karakteristik atau ciri khusus yang menjadikan civil society mempunyai
identitas pembeda. Menurut Muhammad AS Hikam ciri tersebut yaitu: 6
1. Kemandirian dengan skala tinggi dari individu–individu dan
kelompok dalam masyarakat.
2. Adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik
secara aktif dari warga Negara demi kepentingan publik.
3. Adanya kemampuan membatasi kuasa Negara agar tidak
intervensionis dan otoriter.
6 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h.229.
22
Wacana civil society dapat menggugah kesadaran pada banyak pihak bahwa,
antara negara dan masyarakat sebenarnya tidak harus dipandang sebagai satu
kesatuan. Masing-masing dapat dipahami sebagai dua entitas yang saling
berhadapan: mempunya aspirasi, kepentingan dan tujuan yang mungkin tak selalu
sama. Karena itu, adalah suatu kewajaran jika antara masyarakat dan negara saling
berkonflik untuk memperebutkan atau memperjuangkan sesuatu yang sama
maupun berbeda.7
Civil society merupakan perkumpulan masyarakat politik, yang taat kepada
hukum, menjalin persaudaaran, toleransi, dan menjamin kebebasan beragama.
Tidak hanya itu, civil society sebagai penegak demokrasi, penegakan terhadap
hukum yang tidak adil dan melindungi apapun bentuk kekerasan. Dalam
praktiknya, perjuangan yang dilakukan oleh civil society sering mengalami
kendala cukup berat. Misalnya, pemerintahan yang otoriter, adanya sikap
masyarakat yang eklusif terhadap kemajemukan bangsa. Padahal, nilai-nilai
keberagaman merupakan khazanah kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh
bangsa lain.
Menurut Gabriel A. Almond kelompok kepentingan adalah setiap organisasi
yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah tanpa, pada waktu yang
sama, berkehendak memperoleh jabatan publik, yaitu jabatan politik maupun
pemerintahan. Kelompok kelompok kepentingan yang dibentuk ini bertujuan
untuk memperkuat dan mengefektifkan tuntutan-tuntutan mereka dengan
mengartikulasikan kepentingan mereka melalui anggota dewan, parlemen, atau
7 Muhammad Asfar, Wacana Masyarakat Madani (Civil Society): Relevansi untuk Kasus
Indonesia, h.55.
23
pejabat pemerintahan.8 Dalam konsep yang disebutkan AS. Hikam, kelompok
kepentingan termasuk dalam wujud civil society. Sehingga strategi yang
digunakan berlaku juga untuk civil society dalam menyelesaikan masalah.
2. Civil Society dan Toleransi
Kebutuhan akan toleransi muncul dalam situasi-situasi yang dicirikan oleh
adanya pertikaian atau pertentangan umumnya antara kalangan mayoritas dan
minoritas menyangkut perbedaan-perbedaan kelompok minoritas yang tidak
disukai oleh kalangan mayoritas dan yang menyebabkan orang-orang yang
berbeda tersebut disakiti, dilecehkan ataupun dikucilkan.9
Ada tiga term yang menjadi satu kesatuan konsep ketika Nurcholish
membicarakan rumusan masyarakat madani, pertama: demokrasi, kedua:
masyarakat madani (civil society), dan ketiga: civility. Menurutnya, jika
demokrasi harus punya rumah, maka rumah bagi demokrasi ialah masyarakat
madani dimana berbagai macam perserikatan, federasi, sindikat, persatuan, partai
dan kelompok bergabung untuk menjadi komunikator antara negara dan warga
negara.10
Sedangkan civility merupakan kualitas etik yang dimiliki oleh
masyarakat, seperti toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang betanggung
jawab.
Nurcholish menyatakan bahwa masyarakat madani sangat ditentukan oleh
kualitas civility yang dimiliki warganya. Civility mengandung makna toleransi,
8 Mohtar Mas‟oed dan Colin Andrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press), h. 65. 9 Felix Baghi, Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi (Maumere: Ledalero,2012), h.369.
10 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I (Jakarta: Paramadina,
1999), h.145
24
yang mempunyai arti kesediaan personal untuk menerima berbagai macam
pandangan politik dan tingkah laku sosial, juga kesediaan untuk menerima
pandangan bahwa tidak semua permasalahan memiliki jawaban yang benar.11
Toleransi menjadi salah satu elemen kunci dalam terciptanya stabilitas
sosial dalam masyarkat. Toleransi merupakan sebuah sikap saling menghargai
ataupun menghormati di antara perbedaan yang ada pada masyarakat. Sikap
toleransi yang muncul dari setiap individu ataupun kelompok memberikan nilai
tersendiri dalam masyarakat. Tanpa adanya toleransi di masyarakat akan
cenderung sering terjadi konflik, pertengkaran atau upaya saling menjatuhkan
kelompok satu dengan lainnya.
Dalam memaknai toleransi terdapat dua penafsiran yang berbeda. Penafsiran
secara positif dan secara negatif. Penafsiran yang bersifat negatif menyatakan
bahwa toleransi cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak
menggangu orang maupun kelompok lain baik yang berbeda pandangan maupun
yang sama. Sedangkan penafsiran positif yaitu menyatakan bahwa harus adanya
bantuan serta dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain
tersebut.12
Dengan pemahaman di atas, toleransi dapat disimpulkan sebagai pemberian
kebebasan terhadap sesama manusia untuk menjalankan keinginanya atau
mengatur kehidupnya selama dalam pelaksanaannya itu tidak melanggar dengan
11
Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 15. 12
Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13.
25
aturan yang telah berlaku sehinga tidak merusak perdamaian di tengah
masyarakat.13
Bernard Lewis menyebutkan bahwa tantangan untuk melihat apakah civil
society ada atau tidak di negara-negara Muslim yaitu melalui toleransi. Sementara
itu Schmitter menegaskan bahwa civil society memberi kontribusi pada
demokrasi, karena ia membantu menciptakan toleransi di antara warga negara.
Toleransi pada akhirnya membantu menciptakan stabilitas sosial dalam
masyarakat.14
Teori elitis tentang demokrasi menegaskan bahwa warga negara yang tidak
toleran cenderung untuk bersikap apatis atau absen dari politik. Namun pada
kondisi tertentu, massa yang tidak toleran dapat dimobilisasi untuk mendukung
kelompok-kelompok yang bertikai dan dipimpin elit. Mobilisasi seperti ini
mengandung potensi bahaya yang besar dan dapat mengancam ranah stabilitas
sosial politik yakni demokrasi.15
Menurut Harold Crouch, terciptanya stabilitas sosial politik dapat dilihat
melalui dua hal. Pertama, terdapat pemerintahan yang stabil dan dapat
menjalankan programnya sesuai dengan teritori yang telah ditentukan. Kedua,
sistem pemerintahan yang stabil dan mampu menerima perubahan maupun
13
Tim FKUB Semarang, Kapita Selekta Kerukunan Umat Beragama, (Semarang: FKUB,
2009), h.381-382. 14
Saiful Mujani, Muslim Demokrat “Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru” (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007), h.153. 15
Saiful Mujani, Muslim Demokrat, h.157.
26
modernisasi yang bersifat dinamis dengan tidak merubah sistem yang sudah ada
dalam masyarakat.16
Sedangkan Arbi Sanit berpendapat bahwa stabilitas politik secara teoritis
ditentukan dari tiga variabel yang saling berkaitan yaitu perkembangan ekonomi,
perkembangan pelembagaan dan partisipasi politik. Perkembangan ekonomi
meliputi adanya tingkat pertumbuhan yang cukup dalam masyarakat. Sedangkan
pelembagaan politik lebih terarah pada minimalisir munculnya konflik antara
elemen dan kekuatan politik. Kemudian partisipasi politik lebih terfokus terhadap
konsep partisipasi yang berlandaskan pada pola pemerintahan dalam bentuk
partisipasi yang lebih bersifat mobilized.17
Civil Society kemudian menjadi bagian yang tidak terlepas dari terwujudnya
sebuah stabilitas dalam masyarakat. Masyarakat sipil yang dipercaya memiliki
kapasitas lebih dan dapat mewakili masyarakat luas tentu sangat berpengaruh bagi
kehidupan bermasyarakat. Sering kali ancaman mengenai stabilitas lahir dari
adanya permasalahan intoleransi pada lapisan masyarakat.
Stabilitas demokrasi merupakan fenomena yang kompleks dan budaya
politik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan stabilitas tersebut.
Robert Dahl berpendapat bahwa unsur esensial dari budaya politik yang
dibutuhkan bagi stabilitas demokrasi adalah toleransi politik. Toleransi memang
16
Harold Crouch, Perkembangan Ekonomi dan Modernisasi (Jakarta: Yayasan
Pengkhidmatan,1982), h.88-89. 17
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan (Jakarta: Rajawali Press,1982), h.2
27
tidak identik dengan demokrasi, tetapi toleransi dipercaya sebagai faktor penting
untuk membuat demokrasi bekerja secara stabil.18
Berdasarkan paparan yang telah dijelaskan, stabilitas politik adalah tingkah
laku atau pola sikap sekumpulan komponen sistem politik yang membangun
hubungan kekuasaan dan kelestarian susunan struktur sehingga dapat menunjang
efektivitas pemerintahan.19
B. Teori Strategi
1. Pengertian Strategi
Istilah strategi sudah menjadi definisi yang sering digunakan oleh
masyarakat untuk menggambarkan berbagai makna seperti rencana, taktik atau
cara untuk mencapai sebuah tujuan. Menurut Jatmiko strategi dideskripsikan
sebagai suatu cara organisasi yang hendak mencapai tujuannya, sesuai dengan
kondisi dan keadaan lingkungan eksternal yang dihadapi serta kemampuan
sumber daya internal organisasi. Berdasarkan defenisi tersebut, terdapat tiga
faktor yang mempunyai pengaruh penting pada strategi, diantaranya lingkungan
eksternal, sumberdaya dan kemampuan internal, serta tujuan yang akan dicapai.20
Strategi merupakan suatu pola atau rencana yang menyatukan tujuan inti
suatu organisasi, kebijakan serta tahapan kegiatan ke dalam suatu keseluruhan
yang bersifat kohesif. Strategi yang dirancang dengan akurat dapat membantu
menata dan mengalokasikan sumber daya suatu organisasi menjadi sebuah bentuk
18
Robert Dahl dalam buku Saiful Mujani, Muslim Demokrat “Islam, Budaya Demokrasi,
dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru” (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007), h.154. 19
Arbi Sanit, Ormas dan Politik (Jakarta: LSIP,1995), h.57. 20
Jatmiko, Manajemen Stratejik (Malang: Universitas Muhamadiyah Malang Press,2003),
h.4
28
yang berbeda serta memiliki ciri khas tersendiri sehingga dapat bersinergi dalam
masyarakat.
J. Winardi menjelaskan bahwa strategi merupakan rencana atau semacam
rangkaian tindakan tententu alam sebuah organisasi dan merupakan pedoman
untuk menghadapi situasi tertentu. Sebagai sebuah rencana, strategi memiliki dua
karakteristik, yaitu disusun sebelum rangkaian tindakan tertentu dilaksanakan dan
dikembangkan secara sadar dengan tujuan tertentu. Seringkali strategi dinyatakan
secara eksplisit, seperti dalam dokumen yang dikenal sebagai rangkaian rencana,
tetapi tidak dinyatakan secara formal.21
Dimensi dalam strategi pada suatu organisasi memiliki dimensi yang
komperhensif. Tujuan atau sasaran yang penting dan apa saja target yang perlu
dicapai, kapan hasil tersebut harus dilaksanakan. Dari sasaran nilai yang
diperoleh, kemudian menyatakan kearah mana organisasi tersebut mengarah.
Melalui berbagai macam sasaran organisasi yang bersifat komprehensif, yang
menetapkan sifat organisasi, dan menetapkan target bagi seluruh kesatuan
anggotanya.22
2. Strategi Politik Civil Society
Strategi civil society dalam kaitannya dengan permasalahan toleransi agama
dapat dilihat dari teori Michael G Roskin. Michael menyebutkan setidaknya ada
enam strategi yang digunakan oleh civil society dalam merealisasikan tujuannya.
Pertama, pendekatan terhadap anggota parlemen, Kedua pendekatan terhadap
21
J Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, h.112. 22
Ibid.
29
pemerintah, Ketiga pendekatan dalam hukum, Keempat pendekatan ke publik,
Kelima demonstrasi, dan Keenam adalah menyuarakan protes dengan kekerasan.
Pertama pendekatan terhadap anggota parlemen, pendekatan ini
menyebutkan bahwa kegiatan mempengaruhi memiliki perhatian yang besar.
Kontribusi kampanye dan bantuan kepada legislator diberikan oleh perusahaan
dan meyakinkan banyak pelobi untuk membeli sebuah undang-undang. Memang
setiap minat utama terancam oleh undang-undang baru yang tidak mengeluarkan
biaya untuk memastikan hukum tidak disahkan, dan mereka biasanya berhasil.
Namun rata-rata kelompok lobi memiliki sedikit yang untuk diberikan, sehingga
mereka harus menjadikan diri mereka sebagai penyedia informasi.23
Kedua pendekatan terhadap pemerintah, menurut pendekatan ini lembaga
eksekutif dapat menjadi tujuan yang lebih baik bagi civil society. Civil society
mungkin tidak butuh atau menginginkan undang-undang baru. Hanya interpretasi
yang menguntungkan terhadap peraturan dan regulasi yang sudah ada. Civil
society mempekerjakan banyak strategi yang sama dalam departemen eksekutif
yang mereka gunakan pada pelaksana undang-undang, termasuk kontak personal,
penelitian dan hubungan publik.
Ketiga pendekatan dalam hukum, dalam pendekatan ini civil society
mungkin juga menggunakan peradilan. Di negara di mana hukum itu kuat,
pengadilan menjadi arena pertarungan. Civil society menggunakan dua metode
pengadilan untuk mewujudkan tujuannya. Pertama mereka dapat mengajukan
gugatan langsung atas nama kelompok atau kelas perorangan yang minatnya
23
Michael G. Roskin, Political Science An Introduction (United Stated: Pearson
Education,2012), h.187.
30
mereka wakili. Kedua bagi civil society untuk mengajukan teman pengadilan
untuk mendukung seseorang yang menyebabkan kasus tersebut.
Keempat pendekatan pada publik, civil society sering membawa kasus
mereka kepada publik secara damai atau tidak sama sekali. Bahkan civil society
yang kuat menyadari betapa pentingnya public image dan investasi hubungan
publik lainnya untuk menjelaskan kontribusi mereka dan mengapa kepentingan
mereka bagus untuk negara tersebut.
Kelima demontrasi, organsiasi tertentu seperti Asosiasi Kanker Amerika dan
Dana Jantung mungkin mendapatkan waktu dan periklanan secara gratis, tetapi
kebanyakan kelompok kepentingan tidak mampu untuk membeli publisitas.
Seperti kelompok yang tidak mampu mereka cenderung menahan aksi
demonstrasi untuk mempublikasikan masalahnya. Seperti Mahatma Gandhi yang
melakukan protes demonstrasi tanpa kekerasan dengan tujuan mengusir British
dari India.
Keenam menyuarakan protes dengan kekerasan, kelompok yang kalah
dalam saluran politik secara umum biasanya melakukan protes sebagai jalan
alternatif. Amerika Serikat tidak asing dengan tindak protes seperti ini yang
membutuhkan psikologis yang dipupuk oleh kemiskinan, diskriminasi, frustasi
dan merasakan ketidakadilan sosial.24
24
Michael G. Roskin, Political Science An Introduction, h.188-189.
31
BAB III
PROFIL WILAYAH DAN PROFIL FORUM LINTAS ORMAS
Pada bab ini penulis menjabarkan tentang gambaran umum objek penelitian
yang terdiri dari profil wilayah Jagakarsa dan Tanjung Barat, intoleransi di
wilayah Kecamatan Jagakarsa pada periode 2013-2016 dan profil Forum Lintas
Ormas periode 2016-2021.
A. Intoleransi di Jagakarsa
Kecamatan Jagakarsa merupakan salah satu Kecamatan di wilayah kota
administrasi Jakarta Selatan, Sesuai dengan surat keputusan Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 1251 Tahun 1986, Nomor: 435 Tahun
1966 dan Nomor: 1986 Tahun 2000. Secara geografis, kecamatan Jagakarsa
terletak pada bagian selatan Provinsi Jawa Barat. Maka luas wilayah Kecamatan
Jagakarsa adalah 25,01 Km2 yang terdiri atas 54 RW dan 545 RT. Kecamatan
Jagakarsa terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu: 1
1. Kel. Cipedak
2. Kel. Srengseng Sawah
3. Kel. Ciganjur
4. Kel. Jagakarsa
5. Kel. Lenteng Agung
6. Kel. Tanjung Barat
Jagakarsa merupakan wilayah yang terkenal dengan pribumi asli Jakarta.
Masyarakat setempat yang bertempat tinggal di Jagakarsa sebagian besar
1 Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa dalam
Angka 2016, No. Katalog BPS 1102001.3171.010 ISSN: 0854-087X. (Jakarta Selatan, Badan Pusat
Statistik Kota Jakarta Selatan,2016), h.3.
32
memiliki etnis Betawi. Salah satu icon dari wilayah ini adanya Setu Babakan yang
merupakan tempat kampung kebudayaan betawi. Di Setu Babakan banyak
diadakan acara ataupun pesta rakyat yang dihadiri tidak hanya dari etnis betawi,
melainkan secara keseluruhan. Hal tersebut menumbuhkan rasa toleransi antara
perbedaan yang ada dalam masyarakat
Kasus intoleransi di Indonesia masih sering terjadi hingga kini. Banyak
penyebab yang menjadi sumber permasalahan dalam setiap kasus intoleransi
tersebut. Intoleransi adalah pemahaman bahwa kelompok, sistem kepercayaan
atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan
berbagai konsekuensi dari kurangnya penghargaan terhadap orang lain hingga
sikap diskriminasi yang ekstrim.2
Wilayah Kecamatan Jagakarsa masih sering terjadi kasus intoleransi,
khususnya pada segi agama. Pada tahun 2013 saat Susan Jasmine Zulkifli yang
merupakan non-Islam menjadi lurah di wilayah Lenteng Agung. Masyarakat
menolak Susan untuk menjabat sebagai Lurah di Lenteng Agung. Penolakan
tersebut juga diungkapkan melalui aksi demonstrasi yang dilakukan di depan
kantor Kelurahan Lenteng Agung. Salah satu warga yang mengetahui kejadian
tersebut mengaku menyayangkan hal tersebut.
Kemudian kasus yang terjadi di jalan belimbing daerah Jagakarsa yang
melibatkan Ormas Paroki dengan masyarakat dan Ormas setempat. Dalam kasus
ini Ormas Paroki ingin membangun asrama pasturan, namun dalam
2 Halili, Supremasi Intoleransi Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas
Keagamaan di Indonesia 2016 (Jakarta: Setara Institute, 2016), h.18.
33
implementasinya mereka justru ingin membangun rumah ibadah. Hal ini
kemudian menimbulkan penolakan oleh masyarakat setempat. Ibu Alfi
masyarakat setempat menyebutkan bahwa penolakan yang terjadi dikarenakan
masyarakat merasa dibohongi oleh Paroki karena tujuan awal mereka adalah
membuat rumah pastur tetapi yang terjadi justru membuat rumah ibadah.
Akhirnya Paroki harus memenuhi persyaratan mengenai kesediaan masyarakat
untuk pendirian bangunan rumah ibadah tersebut dengan tanda tangan seratus
orang warga setempat, walaupun izin mendirikan bangunan sudah mereka
pegang.3 Alhasil mereka tidak dapat memenuhi regulasi sosial tersebut dan
akhirnya pendirian rumah ibadah mereka tidak dapat terealisasikan. Contoh-
contoh kasus demikian yang sudah pernah terjadi di daerah Jagakarsa yang terkait
dengan intoleransi di masyarakat sebelum berdirinya FLO.
B. Profil Tanjung Barat
1. Sejarah Tanjung Barat
Pada era pra-kemerdekaan, wilayah Tanjung Barat terletak di daerah Muara.
Wilayah ini merupakan pusat dari sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan
Tanjung Jaya yang merupakan kerajaan bawahan dari kerajaan Pajajaran.
Kerajaan ini didirikan oleh Prabu Wangsatunggal, seorang sepupu Prabu
Ragamulya Luhur Prabawa, raja Kerajaan Sunda ke-30. Wangsatunggal
mendirikan kerajaan ini pada tahun 1333. Kerajaan ini awalnya bernama Tanjung
Kalapa dan berpusat di Tanjung Timur, tetapi oleh Wangsatunggal pusat Kerajaan
3 Wawancara dengan Ibu Alfi Wartaif masyarakat Jagakarsa pada tanggal 13 April 2019 di
rumah pribadi, Lenteng Agung.
34
Tanjung Kalapa dipindahkan ke Tanjung Barat. Prabu Wangsatunggal kemudian
mengganti nama Tanjung "Kalapa" dengan Tanjung "Jaya".
Tanjung Barat merupakan Kelurahan yang terletak di Jakarta Selatan.
Kelurahan ini memiliki kode wilayah 31.74.09.1005 serta kode pos 12530.
Kelurahan ini terletak di Kecamatan Jagakarsa kota administrasi Jakarta Selatan.
Luas Kelurahan Tanjung Barat sebesar 364.64 Ha terdiri dari 6 RW serta 66 RT
yang mencangkup area-area:4
Utara: Poltangan, Kober, Nangka Utara, Beringin Besar, Lebak Sari,
Remidi, Swadaya, Gunuk Ciliwung, Perikanan.
Selatan: Stasiun Tanjung Barat, Rancho, Muara, Gintung, Buni, Kampung
Bulak, Tanjung Mas, Nangka Selatan. Bacang, Sonton, Kancil, Gang
Guru, Jayanti, Gang Seratus.
Barat: Gang Waru, Gang Langgar, Gang Waru, AMD, Stoplas, Kolong,
Jalan Baru.
Wilayah Jakarta Selatan adat istiadat yang lebih dominan adalah suku
Betawi. Suku-suku yang mendiami kelurahan Tanjung Barat ditengahnya, Suku
Betawi, Jawa, Sunda, Minang, Batak dll. Selain bahasa Betawi, bahasa yang lain
juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Bahasa
Jawa, Sunda, Minang juga Batak. Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang
tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang kadang dicampur
dengan bahasa asingtetapi umumnya penduduk Tanjung Barat memakai bahasa
Betawi.
4 Tim BPS, “Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Sealatan,” artikel terbit pada 14 Mei 2014
dari http://jakselkota.bps.go.id.
35
2. Pemerintahan
Kelurahan Tanjung Barat sebelumnya termasuk dalam wilayah
Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pada tanggal 18 Desember 1990
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1990 yang
ditengahnya mengandung pemekaran wilayah Kecamatan Pasar Minggu dijadikan
dua yaitu Kecamatan Pasar Minggu dan Kecamatan Jagakarsa. Peraturan
Pemerintah ini dimuat dalam Lembaran Negeri No. LN 1990/87.5
Penduduk Kelurahan ini sangat heterogen seperti umumnya kelurahan-
kelurahan di Jakarta tetapi adat istiadat umum yang masih dominan di masyarakat
adalah adat istiadat Betawi. Terdapat satu bangunan yang memenuhi standar
sebagai kantor Kelurahan di Tanjung Barat dengan status kepemilikan oleh
pemerintah. Penduduk yang bekerja pada Kelurahan Tanjung Barat rata-rata
lulusan SMA/Sederajat. 6
Lurah Tanjung Barat sekarang merupakan Aryan Syafari yang terpilih lewat
proses lelang posisi Lurah dan Camat yang diprakarsai Gubernur Joko
Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama. Lurah Aryan Syafari
menggantikan Lurah sebelumnya yaitu Lurah Satia, S.IP. Kemudian pada Oktober
2016 Lurah Satia digantikan oleh Lurah Debby Oktavia.
Program Unggulan dari Kelurahan Tanjung Barat adalah:7
5 Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 1990 tentang Pemekaran Wilayah Kecamatan Pasar
Minggu. 6 Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa dalam
Angka 2016, No. Katalog BPS 1102001.3171.010 ISSN: 0854-087X. (Jakarta Selatan, Badan Pusat
Statistik Kota Jakarta Selatan,2016), h.19. 7 Tim BPS, “Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Sealatan,” artikel terbit pada 14 Mei 2014
dari http://jakselkota.bps.go.id.
36
a. Mengembangkan kualitas dan kuantitas pelayanan bagi masyarakat
menuju pelayanan prima dan satu pintu, serta menjadikan kantor kelurahan
sebagai pusat informasi bagi masyarakat.
b. Menjaga semangat dan kebersamaan masyarakat bagi membangun
wilayah melintas penggerakan dan pemberdayaan masyarakat dan lembaga
kemasyarakatan yang ada dengan tetap mengutamakan diskusi atau
musyawarah.
c. Mempertahankan sebagai anggota dari wilayah yang mempunyai wilayah
resapan air serta selalu menjaga keteduhan dan keasrian di setiap anggota
yang terkait.
d. Mengajak masyarakat bagi mendukung program kerja Gubernur selama 5
tahun ke depan.
C. Profil Forum Lintas Ormas Jagakarsa Periode 2016-2021
1. Sejarah FLO
Urgensi yang terjadi pada wilayah Jakarta Selatan terkait permasalahan
konflik dan perbedaan pendapat antar Ormas membuat pemerintah kota
administrasi Jakarta Selatan membentuk sebuah organisasi untuk mewadahi
perbedaan aspirasi antar Ormas. Kemudian para pimpinan Ormas dan LSM yang
ada di wilayah Jakarta Selatan sepakat untuk membentuk suatu badan atau
organisasi yang tugasnya difokuskan pada pemberdayaan Ormas dan LSM di
wilayah Jakarta Selatan. Akhirnya pada tahun 2014 terbentuk organisasi dengan
nama Forum Lintas Ormas di wilayah Jakarta Selatan8.
Forum Lintas Ormas merupakan gabungan dari organisasi masyarakat dan
Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Jakarta Selatan. Dalam FLO sendiri
8 Lembar Pengorganisasian Forum Lintas Ormas Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan
Periode 2016-2021.
37
tergabung bermacam Ormas seperti pada bidang kepemudaan dan juga bidang
keagamaan. Keberagaman tersebut menjadi misi bagi FLO sendiri dalam
membentuk toleransi baik antar Ormas dan LSM maupun dengan masyarakat.
Walikota Jakarta Selatan Syamsuddin Noor mengukuhkan kepengurusan Forum
Lintas Ormas (FLO) di Kantor Walikota Jakarta Selatan.9
Perkembangan dinamika harmonisasi di Jakarta Selatan kemudian
mendorong Walikota Jakarta Seaatan untuk mendirikan FLO di cabang
Kecamatan. FLO komisariat Kecamatan Jagakarsa merupakan cabang pertama
yang didirikan di daerah Kecamatan. FLO didirikan dengan dasar adanya
kondisi yang kurang kondusif dan masih sering terjadi konflik antar ormas
maupun warga sekitar dalam kehidupan bermasyarakat.10
Forum Lintas Ormas Jagakarsa terbentuk pada Januari 2016 dan
dikukuhkan pada Februari 2016 yang dipimpin oleh H. Purwanto. Forum
Lintas Ormas dibentuk untuk membangun kepedulian sosial dan toleransi
antar Ormas, LSM maupun masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dengan terbentuknya FLO tingkat Kecamatan, keharmonisan hidup antar
masyarakat dan ormas dapat terwujud.11
Menurut Abi selaku ketua karang taruna kecamatan Jagakarsa
mengatakan bahwa ia menjadi ketua panitia saat FLO ini dikukuhkan pada 16
Februari 2016. Pelantikan tersebut tentunya dihadiri oleh tiga pilar
9 Julkifli Marbun, “Forum Lintas Ormas Jadi Ruang Silaturrahim Antarormas dan LSM,”
artikel terbit pada 28 November 2014 dari https://www.republika.co.id. 10
KIP JS, “FLO Kecamatan Jagakarsa Dikukuhkan,” artikel terbit pada 15 Januari 2017
dari http://selatan.jakarta.go.id. 11
Wawancara dengan H. Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 8 Maret 2019 di Jatipadang
pada pukul 16.30 WIB.
38
pemerintahan dan perwakilan dari tiap Ormas dan LSM yang ada di
Jagakarsa. Abi mengaku bahwa di wilayah Jagakarsa perlu adanya wadah
aspirasi bagi Ormas sehingga semua kepentingan dapat direalisasikan tanpa
merugikan pihak manapun. Akhirnya terbentuklah Forum Lintas Ormas yang
difokuskan untuk membuat Jagakarsa Bersatu dan Jagakarsa Bersaudara.12
2. Visi dan Misi
Organisasi masyarakat tentu memiliki visi misi yang telah disepakati
sebelum berdirinya organisasi tersebut. Dengan adanya visi dan misi, Ormas
dapat memfokuskan dirinya sesuai dengan tujuan dibentuknya organisasi
tersebut. FLO Jagakarsa memiliki visi dan misi yang akan dijalankan dalam
setiap kegiatan FLO.
Visi FLO: Mewujudkan pemerintahan yang kondusif, menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan, serta menjunjung tinggi kebersaamaan sehingga tercapai
Jagakarsa Bersatu dan Jagakarsa Bersaudara.
Adapun beberapa misi yang dirancang oleh FLO dalam mewujdkan
visinya yaitu:13
1. Menampung aspirasi Ormas serta LSM yang ada di wilayah Jagakarsa
2. Mencegah terjadinya konflik yang terjadi antar Organisasi Masyarakat
maupun LSM di Jagakarsa
3. Mengadakan kegiatan positif dengan mengikutsertakan Ormas dan
LSM yang ada di Jagakarsa
4. Mampu menjadi mediator konflik yang terjadi antara Ormas maupun
LSM
12
Wawancara dengan Abi Hardono Ketua Karang Taruna Kecamatan Jagakarsa pada 13
April 2019 pukul 16.20 WIB melalui aplikasi Whatsapp. 13
Lembar Pengorganisasian Forum Lintas Ormas Kecamatan Jagakarsa Jakarta
Selatan Periode 2016-2021.
39
5. Mengedukasi masyarakat sekitar serta memberi pandangan baik
terhadap Ormas di Jagakarsa
6. Menghargai segala perbedaan yang ada pada masyarakat Jagakarsa
guna menghindari terjadinya konflik
3. Struktur Organisasi
Sebuah Organisasi yang terbentuk tentu memiliki struktur
kepengurusan sebagai sebuah komponen yang dapat melengkapi satu sama
lainnya. FLO Kecamatan Jagakarsa kota administrasi Jakarta Selatan memiliki
struktur organisasi yang sudah ditetapkan melalui pengukuhan FLO dengan
masa bakti 2016-2021. Penasihat dari FLO Jagakarsa ada Tiga Pilar
Pemerintahan Kecamatan yaitu, Camat Jagakarsa, Kapolsek Metro Jagakarsa
dan Danramil.
Berdasarkan pengukuhan yang dilakukan di SDI Al-Bayyinah
Jagakarsa, terbentuk komposisi personalia kepengurusan FLO Kecamatan
Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan masa bakti 2016-2021.
Rincian kepengurusan FLO sebagai berikut:
40
Gambar III.C.1.14
Struktur Organisasi Forum Lintas Ormas
14
Lembar Pengorganisasian Forum Lintas Ormas Kecamatan Jagakarsa Jakarta
Selatan Periode 2016-2021.
KETUA
H. Purwanto, SH
DEWAN PEMBINA FLO
KH. DRS Sulaiman
Rohimin
KH. DRS H. M Sholihin
Harasy
KH Ahmad Mursidi WAKIL KETUA
H. Syamsudin
PENASEHAT FLO
Tiga Pilar Pemerintah
Kecamatan
Camat Jagakarsa
Danramil
SEKRETARIS
Zainuddin, MY
ANGGOTA
Suherman
Dadang Rosadi
Adi Cahyono
Ahmad Sanusi
Hj. Sri Sunarti
Fifi Wijaya
BENDAHARA
H. Syaifudin
41
4. Program Organisasi
FLO Kecamatan Jagakarsa kota administrasi Jakarta Selatan tentu
memiliki program-program yang sudah dirancang untuk mencapai tujuan yang
telah dimusyawarahkan. Banyak program yang dijalankan guna membuat
wilayah Jagakarsa aman, sejahtera dan bebas dari konflik. Program tersebut
adalah:15
a. Pertemuan Rutin antar Ormas
Pada kenyataannya FLO merupakan organisasi yang didirikan untuk
membuat Jagakarsa bersatu dan bersaudara. FLO kemudian membuat
sebuah agenda pertemuan secara rutin untuk menjaga silaturrahmi
antar ormas dan LSM. Walaupun hanya sekedar duduk sambil
menikmati kopi dengan percakapan kecil di dalamnya. Kegiatan
seperti ini bertujuan untuk mempererat komunikasi dan saling
tumbuhnya rasa kepedulian sehingga meminimalisir konflik antar
Ormas maupun LSM.
b. Kerja Bakti bersama masyarakat
Salah satu yang dilakukan oleh FLO dalam mensinergikan Ormas
yang ada di Jagakarsa terhadap masyarakat sekitar sehingga Ormas
dapat dipandang baik dan memiliki kepedulian dalam masyarakat.
Biasanya kerja bakti dilakukan dua bulan sekali dan melibatkan
seluruh Ormas yang ada di Jagakarsa. Setiap Ormas biasanya memiliki
15
Lembar Pengorganisasian Forum Lintas Ormas Kecamatan Jagakarsa Jakarta
Selatan Periode 2016-2021.
42
perwakilan yang dapat menghadiri acara kerja bakti tersebut. Kegiatan
kerja bakti dilakukan pada pagi hari Minggu pukul 08.00-11.00 WIB.
c. Santunan terhadap anak yatim di wilayah Jagakarsa
Tidak hanya terpaku pada persatuan dan ketentraman antar Ormas,
FLO juga memiliki program sosial yang bernama santunan yatim dan
dhuafa. Dalam program ini FLO memberikan bantuan berupa sembako
dan juga uang bagi anak-anak yatim maupun masyarakat yang
membutuhkan. Kegiatan ini dilakukan dengan berbagai bantuan baik
oleh Ormas yang ada di Jagakarsa maupun masyarakat sekitar.
d. Mengadakan acara-acara di hari Nasional
Kegiatan menghormati hari-hari nasional di Indonesia juga dilakukan
oleh FLO dengan cara mengadakan acara terkait hari nasional
tersebut. Misalnya seperti hari olahraga nasional maka diadakan
kegiatan porseni olahraga, hari kesehatan maka diadakan acara donor
darah dan hari peringatan G30S-PKI juga diadakan acara nonton
bareng film G30S-PKI. Hal demikian dilakukan tidak lain untuk
membuat sebuah komunikasi dan silaturrahmi yang baik antara
masyarakat dan juga Ormas.
e. Pelestarian Kebudayaan
Selain mengadakan program yang bertujuan untuk mempersatukan
dan mewadahi Ormas di Jagakarsa, FLO juga mengadakan program
pelestarian kebudayaan. Di daerah Jagakarsa khususnya kebudayaan
yang dominan adalah budaya Betawi dan Jawa. Namun etnis lain juga
43
terdapat di wilayah Jagakarsa seperti Madura, Minang, Batak dan
sebagainya. FLO biasanya mengadakan acara pelestarian kebudayaan
di Situ Babakan yang merupakan icon atau tempat asli daerah tersebut.
Acara yang digelar seperti festival kebudayaan dan kuliner sehingga
kebudayaan khas wilayah tersebut masih tetap terjaga baik dalam segi
seni maupun kulinernya.
f. Mendukung Gerakan Bebas Narkoba
Program yang satu ini merupakan hasil kesepakatan antar Ormas
mengingat makin meningkatnya generasi muda yang terjerumus pada
ranah narkotika. FLO dengan bantuan Ormas setempat bertekad untuk
mencegah serta membasmi adanya kegiatan yang berhubungan dengan
narkoba dan zat adiktif lainnya. Dengan demikian, FLO dapat
membantu mewujudkan lingkungan yang sehat dan bebas dari
pengaruh obat-obatan.
Terlepas dari semua program tersebut, tujuan utama FLO tetap untuk
membuat Jagakarsa bersatu dan bersaudara. Kegiatan yang memberi manfaat dan
kebaikan masyarakat luas tentu akan selalu didukung oleh pihak FLO. Purwanto
menyebutkan selama kegiatan tersebut positif, pihaknya akan terus memberi
dukungan guna mensinergikan para Ormas dan LSM di Jagakarsa.16
16
Wawancara dengan H. Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 8 Maret 2019 di Jatipadang
pada pukul 16.30 WIB.
44
BAB IV
STRATEGI FLO DALAM PENYELESAIAN KASUS PENDIRIAN
GBKP DI TANJUNG BARAT
Pada bab ini, penulis menganalisa strategi Forum Lintas Ormas dalam
menyelesikan kasus Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Tanjung Barat
Jakarta Selatan tahun 2016. Strategi dilihat dengan merujuk pada teori strategi
Michael G. Roskin untuk mengetahui apa saja strategi yang digunakan FLO
dalam menyelesaikan kasus GBKP di Tanjung Barat Jakarta Selatan tahun 2016.
Pada bab ini juga terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi oleh FLO dalam
penyelesain kasus tersebut.
A. Strategi FLO dalam Penyelesaian Kasus GBKP
Dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, civil society tentu
menggunakan strategi sebagai dasar dalam mengambil tindakan serta penyelesain
kasus tersebut. Dalam kasus ini, hal yang mendasari terjadinya kasus GBKP di
Tanjung Barat dikarenakan surat izin bangunan yang tidak sesuai dan adanya
penolakan masyarakat setempat untuk didirikan gereja di wilayah tersebut.
Bangunan di tempat tersebut awalnya adalah bangunan berbentuk ruko namun
masih berizinkan rumah kantor. GBKP sudah menggunakan bangunan tersebut
untuk kegiatan ibadah selama dua tahun silam. Menurut Michael G. Roskin ada
beberapa strategi yang dapat digunakan oleh civil society dalam merealisasikan
tujuannya. Pertama, pendekatan terhadap anggota parlemen, Kedua pendekatan
terhadap pemerintah, Ketiga pendekatan dalam hukum, Keempat pendekatan ke
45
publik, Kelima demonstrasi, dan Keenam adalah menyuarakan protes.1 Namun
analisa yang didapatkan penulis dalam penelitian ini menyatakan bahwa hanya
beberapa strategi yang digunakan FLO dalam penyelesaian kasus GBKP di
Tanjung Barat, Jakarta Selatan sesuai dengan teori Michael G Roskin. Adapun
strategi yang digunakan FLO adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan FLO terhadap Pemerintah wilayah Jakarta Selatan
Pemerintah merupakan elemen penting yang memiliki kekuatan dalam
merubah kebijakan dalam masyarakat. Pada hakikatnya, pemerintah merupakan
organisasi atau wadah yang mempunyai kekuasaan dan lembaga yang mengurus
masalah kenegaraan dan kesejahteraan masyarakat.2 Sedangkan menurut Roskin
pendekatan yang dilakukan melalui pemerintah dapat menjadi sarana yang baik
bagi kelompok kepentingan dalam merealisasikan tujuannya. Biasanya mereka
berfokus pada departemen khusus di bidang mereka. Seperti kelompok pertanian
akan berhubungan dengan Departemen Pertanian.3 Dalam kasus ini tentu pihak
pemerintah setempat memiliki peran yang signifikan dalam proses pendirian
gereja GBKP karena mereka yang dapat membuat surat IMB rumah ibadah yang
dibutuhkan oleh pihak GBKP.
Dalam usahanya, FLO sudah berkomunikasi dan merundingkan terkait
permasalahan pendirian gereja GBKP di Tanjung Barat dengan pihak pemerintah
yaitu Walikota Jakarta Selatan. Purwanto dan pihaknya menyebutkan
1 Michael G. Roskin, Political Science An Introduction (United Stated: Pearson
Education,2012), h.187-189. 2 Muhadam Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada,2006), h.22. 3 Michael G. Roskin, Political Science An Introduction, h.187.
46
permasalahan yang dihadapi saat ini terkait penolakan dan juga mengenai
perizinan bangunan.
“Sebenarnya kasus seperti ini bukan hal yang jarang ditemui, kasus penolakan
pendirian gereja sudah sering terjadi di wilayah Indonesia. dalam kasus yang
terjadi di Tanjung Barat ini, permasalahannya karena pihak GBKP tidak bisa
memenuhi persyaratan untuk menjadikan rumah ibadah. Langkah pertama yang
kami ambil yaitu dengan berkomunikasi langsung oleh Walikota Jakarta Selatan
dengan tujuan menjaga silaturrahmi antara umat Islam dengan Kristen.”4
Jika dilihat dari sejarah Indonesia, pada masa kolonial Belanda,
ketegangan yang terjadi antara Islam dan Kristen dominan disebabkan oleh
aktivitas kristenisasi dimana pihak Belanda juga memberi bantuan berupa bantuan
finansial maupun secara politik. Kemudian pada masa Orde lama ketegangan
antar umat Islam dan umat Kristen mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada
sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Dalam pembukaan UUD 1945 disahkan
tujuh kata yang memiliki unsur islami, kemudian hal ini dianggap sebagai upaya
pembentukan negara Islam oleh umat Kristen. Dengan kedewasaan serta kearifan
ulama dan para tokoh Islam dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka dihapuslah tujuh kata: “Dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam Bagi Pemeluknya” sehingga menjadi Pancasila yang kita kenal hingga
sekarang.5 Agama adalah seperangkat struktur khusus yang mempunyai
kemampuan menjabarkan dan membentuk kenyataan sosial pada tempat dan
waktu yang berbeda. Dengan alasan demikian, agama tidak dapat dipandang
4 Wawancara dengan Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 14 September 2019 pukul 15.25
di kantor Bravo Lima Sera Jatipadang, Pasar Minggu. 5 Sudarta, Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar umat Beragama
di Indonesia, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 79-80.
47
sebagai sistem makna yang statis, tetapi senantiasa harus dilihat dalam keadaan
dinamis, dan mampu mengartikulasi berbagai kepentingan.6
Gambar IV.A.17
Pendekatan FLO dengan Pemerintah Terkait Kasus GBKP
Hasil perundingan antara pihak FLO dengan pemerintah setempat
menemukan jalan tengah. Purwanto tidak ingin terjadi bentrokan atau konflik
dalam masyarakat. Kemudian Tri Kurniadi selaku Walikota Jakarta Selatan
membuat surat larangan agar sementara waktu jemaat GBKP tidak beribadah di
Tanjung Barat tetapi akan disediakan tempat lain oleh FLO untuk menjalankan
ibadah para jemaat GBKP. Berikut adalah isi surat yang dikeluarkan oleh walikota
Jakarta Selatan:8
6 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996)
h.141. 7 Tim Dokumentasi FLO, foto dikirim melalui aplikasi whatsapp pada 6 September 2019.
8 Herianto Batubara, “Ini Surat Walikota Jaksel Larang Peribadatan GBKP Pasar
Minggu,” artikel terbit pada 2 Oktober 2016 dari https://news.detik.com.
48
a. Kegiatan ibadah jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
menggunakan bangunan rumah kantor di RT 14 RW 04 Kelurahan
Tanjung Barat Kecamatan Jagakarsa dan tidak memiliki IMB sebagai
rumah ibadah.
b. Masyarakat RW 04 menolak didirikannya gereja GBKP yang tidak
memiliki surat IMB rumah ibadah di wilayah Kelurahan Tanjung Barat
Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan. Kemudian
Pemerintah memberikan waktu kepada GBKP untuk mengurus Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) tersebut dua bulan dari surat ini
diterbitkan.
c. Mengingat permohonan pengurus jemaat Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP) Pasar Minggu untuk pendirian rumah ibadat belum memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8
Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah Ibadat khususnya Pasal 14, maka Pemerintah Kota
Administrasi Jakarta Selatan akan memfasilitasi tersedianya lokasi
pembangunan rumah ibadat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
Pasar Minggu.
d. Dalam rangka memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat,
dihimbau kepada pengurus GBKP untuk sementara waktu
menghentikan kegiatannya di wilayah RT 14 RW 04 Kelurahan
Tanjung Barat Kecamatan Jagakarsa Kota Adm. Jakarta Selatan yang
belum memiliki status sebagai rumah ibadah.
Namun, pihak GBKP menyebutkan bahwa pemerintah setempat berlaku
tidak adil kepada mereka. Napolo Siangian selaku tokoh agama GBKP
menyebutkan bahwa pihaknya sudah mengurus berkas surat perizinan kepada
aparatur setempat. Tetapi surat yang diterbitkan bukanlah izin rumah ibadah,
melainkan izin rumah kantor. “Setelah mendapat perintah untuk mengurus surat izin
bangunan, kami pihak GBKP langsung mengurus surat itu. Setelah dua bulan menunggu
49
akhirnya terbit surat izin bangunan yang kami minta. Tapi yang dikeluarkan justru surat
izin bangunan rumah kantor, bukan rumah ibadah yang kami ajukan”9
Jati diri mayoritas telah selalu menempati ranah publik sehingga minoritas
sering kali terhantam hak kebebasannya. Oleh karenanya toleransi publik harus
diikhtiarkan kepada kelompok minoritas berupa perluasan kebebasan untuk
menyatakan keyakinan religius serta gaya hidup mereka.10
Begitu juga yang
dirasakan oleh GBKP saat itu, pihaknya kecewa mengenai regulasi yang berlaku
untuk mendapatkan izin rumah ibadah. Menurut Napolo regulasi tersebut
merugikan pihak minoritas. Pengertian minoritas sendiri merupakan kelompok
yang dibedakan oleh latar belakang, sudut pandang, atau praktik dalam
masyarakat luas.11
Persetujuan dari masyarakat sebanyak 60 orang membuat
GBKP terhambat untuk mendapat izin rumah ibadah. Beliau juga mengatakan
sudah melakukan lobi terhadap masyarakat agar dapat mendukung dan
menyetujui pembangunan gereja ini. Namun yang didapatkan pihak GBKP
hanyalah penolakan dan emosi warga sekitar. Hanya dapat dukungan kurang lebih
25 orang dari masyarakat sekitar. Sangat jauh dari target yang telah berlaku yaitu
60 orang.12
Walaupun pemerintah sudah memberi waktu tambahan terhadap pihak
GBKP untuk memenuhi regulasi yang tercantum sebagai lokasi rumah ibadah,
pihak GBKP tetap belum bisa memenuhi persyaratan perizinan rumah ibadah.
9 Wawancara dengan Napolo Siangian Tokoh Agama GBKP pada 11 September 2019
pukul 14.40 di rumah pribadi di Pasar Minggu.
10
Felix Baghi, Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi (Maumere: Ledalero,2012), h.399. 11
Michael G. Roskin, Political Science An Introduction, h.83.
12
Wawancara dengan Napolo Siangian Tokoh Agama GBKP pada 11 September 2019
pukul 14.40 di rumah pribadi di Pasar Minggu.
50
Tetapi pemerintah melakukan relokasi terhadap lokasi pendirian bangunan
tersebut jika memang belum juga dapat surat izin bangunan tersebut. FLO juga
terus ikut mengawal jalannya arus permasalahan ini sehingga terus kondusif dan
tidak terjadi konflik di masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas, FLO sebagai civil society telah melakukan
pendekatan terhadap pemerintah setempat yaitu dengan walikota Jakarta Selatan.
Hasil pertemuan antara FLO dengan pihak pemerintah berhasil mengeluarkan
surat yang berisi empat poin di atas. Dengan demikian pihak GBKP mendapat
waktu tambahan untuk mengurus surat IMB tersebut sesuai dengan persyaratan
yang berlaku. Namun hingga waktu yang diberikan habis, pihak GBKP belum
mampu memenuhi persyaratan dalam mendapatkan IMB rumah ibadah.
2. Pendekatan Terhadap Hukum
Menurut Utrecht, hukum adalah kesatuan petunjuk kehidupan yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang harus ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan.13
Produk hukum yang dihasilkan kadangkala
belum mampu menuntaskan permasalahan dan dinamika sosial yang terjadi di
masyarakat, sehingga perlu adanya revisi ataupun perbaikan terhadap Undang-
undang yang sebelumnya dirancang. Manakala tidak ada sistem sosial, maka
hukumlah yang menjadi kontrol sosial dan sistem sosial dalam masyarakat.14
Sedangkan menurut Roskin, hukum merupakan sesuatu yang harus ditaati dengan
pemberlakuan hukum dan memiliki peran yang sangat besar. Hal demikian yang
mengakibatkan lembaga yudisial setara dengan lembaga pemerintahan lainnya.
13
E. Utrecht, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.6.
14
Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2013),
h.185.
51
Pendekatan melalui hukum menurut Roskin adalah pendekatan yang
menggunakan peradilan sebagai sarana dalam mencapai tujuan yang diinginkan.15
Namun ada perbedaan dari teori Roskin dengan temuan penulis di lapangan,
penulis melihat dalam kasus ini, peradilan bukan satu-satunya jalan untuk
mencapai sebuah tujuan. Dalam kasus ini FLO lebih melakukan lobi kepada
badan hukum lain seperti FKUB. Tetapi asumsi bahwa hukum memiliki peran
yang sangat besar itu benar. Kasus GBKP ini secara garis besar dilatarbelakangi
oleh hukum dimana GBKP tidak memiliki surat IMB rumah ibadah sehingga
memunculkan penolakan dari masyarakat sekitar.
Dalam implementasi penyelesaian kasus GBKP Tanjung Barat Jakarta
Selatan, FLO sudah melakukan pendekatan melalui hukum kepada FKUB Jakarta
Selatan. FKUB dipercaya dapat menyikapi permasalahan intoleransi agama dan
dialah yang memiliki hak mengeluarkan surat rekomendasi tertulis terkait
pendirian rumah ibadah tersebut.16
Dalam pendekatan ini, FKUB digoloongkan
pada pendekatan hukum karena terdapat prosedur yang berkaitan dengan Undang-
undang prosedur perizinan rumah ibadah. Dalam pertemuan tersebut pihak FLO
meminta agar FKUB ikut serta mengatasi kasus ini sehingga tidak terjadi konflik
antar masyarakat beragama.
Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat,
15 Michael G. Roskin, Political Science An Introduction, h.188.
16 Siti Aminah, Uli Parulian, Memahami Kebijakan Rumah Ibadah (Jakarta: ILRC,2010),
h.27.
52
FKUB Jakarta Selatan sebagai FKUB wilayah Kabupaten atau Kota memiliki
tugas dalam pendirian rumah ibadah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 9
ayat (2) seperti melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat
dan juga memberikan surat rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadah.17
Gambar IV.A.218
FLO Menemui Pihak FKUB Jakarta Selatan
Namun dalam implementasinya FKUB tidak dapat mengeluarkan
rekomendasi tertulis terhadap pihak GBKP dikarenakan persyaratan pada pasal 14
ayat (2) huruf a dan b belum terpenuhi.19
Dalam pasal 14 ayat (2) huruf a tertulis
harus ada daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat
17 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun
2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah Ibadat. 18
Tim Dokumentasi FLO, foto dikirim melalui aplikasi whatsapp pada 6 September
2019.
19 Nibras Nada Nailufar, “Soal GBKP Pasar Minggu, Ini Kata Kesbangpol,” Artikel terbit
pada 25 Desember 2018 dari https://megapolitan.kompas.com.
53
paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat
sesuai dengan tingkat batas wilayah, dan juga huruf b tertulis dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa.20
Koordinator Lapangan FLO menjelaskan bahwa masyarakat
setempat tidak mendukung jika dilakukan pendirian gereja di wilayah Tanjung
Barat. Selain permasalahan surat IMB rumah ibadah, masyarakat setempat
berargumen sudah terdapat gereja yang terletak di daerah Pasar Minggu yang
jaraknya tidak jauh dari Tanjung Barat.21
Namun jika dilihat dari kasus serupa seperti penolakan gereja GKI Yasmin
di Bogor, tidak ada isu mengenai manupulasi KTP ataupun dukungan yang
dilakukan GBKP terhadap masyarakat sekitar. Dalam kasusnya, GKI Yasmin
Bogor terbukti melakukan manupulasi data untuk memenuhi syarat PBM No. 9
Tahun 2006/No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Kondisi seperti itu yang sangat krusial dan kemudian memicu terjadinya konflik
baik internal maupun eksternal dan juga antar umat beragama. Terjadinya konflik
internal, horizontal dan konflik sosial itu disebabkan belum tersosialisasikan
muatan dan isi PBM ini secara menyeluruh. Belum ditaatinya secara seksama baik
norma, aturan serta hukum yang ada dalam PBM, dan belum maksimalnya peran
20 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun
2006 Pasal 14 ayat (2).
21
Wawancara dengan Hasyim Ashari Koordinator Lapangan FLO Jagakarsa pada 6
September 2019 pukul 16.30 di rumah pribadi, Jagakarsa.
54
dan fungsi Kepala Daerah, FKUB, dan Kementerian Agama untuk mengawal
PBM ini.22
Pihak FLO tidak bisa menghakimi mengenai penolakan persetujuan
masyarakat terhadap pendirian rumah ibadah khususnya gereja yang terjadi pada
kasus ini. FLO mensinyalir bahwa ada oknum intoleran yang menggerakan
penolakan tersebut sehingga mampu menghambat proses perizinan gereja
tersebut.23
Namun setidaknya FLO sudah melakukan pendekatan hukum melalui
FKUB agar dapat mengeluarkan rekomendasi tertulis mengenai pendirian rumah
ibadah tersebut.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, penulis menganalisis bahwa
pihak GBKP terhalang untuk mendapat surat izin rumah ibadah dikarenakan PBM
Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006. Dalam peraturan
tersebut pihak GBKP tidak dapat memenuhi persyaratan dalam pasal 14 ayat (2)
huruf a dan b. Dengan hasil yang seperti ini, FKUB belum bisa menerbitkan surat
rekomendasinya terkait izin rumah ibadah tersebut walaupun FLO sudah
melakukan pendekatan dan komunikasi terhadap FKUB.
3. Pendekatan Terhadap Publik
Publik memang menjadi elemen penting dimana masyarakat dapat menjadi
penentu dalam beberapa kasus. Roskin menjelaskan dalam bukunya bahwa civil
society sering membawa kasus mereka kepada publik secara damai atau tidak
damai. Bahkan civil society yang kuat menyadari betapa pentingnya citra mereka
22
Ahmad Mukri Aji, “Identifikasi Potensi Konflik Pra dan Pasca Pendirian Rumah
Ibadah di Indonesia dan Upaya Mengatasinya,” (Jurnal Ilmu Syariah FAI Universitas Ibn Khaldun
(UIKA) Bogor, Vol. 2 No. 1 Juni 2014), h.9-11. 23
Wawancara dengan Hasyim Ashari Koordinator Lapangan FLO Jagakarsa pada 6
September 2019 pukul 16.30 di rumah pribadi, Jagakarsa.
55
di publik dan investasi hubungan publik lainnya untuk menjelaskan kontribusi
mereka dan mengapa kepentingan mereka bagus untuk negara tersebut.24
Dalam kasus yang terjadi pada GBKP di Tanjung Barat, masyarakat
setempat yang mengetahui hal ini menolak jika bangunan yang tidak memiliki
surat izin rumah ibadah tersebut dijadikan gereja. Alasan masyarakat setempat
bahwa sudah terdapat gereja di sekitar wilayah itu dan perizinan GBKP itu
sendiri. Beberapa kali masyarakat setempat mengadakan demonstrasi terkait kasus
pendirian gereja GBKP. Bentuk demonstrasi dan penolakan tersebut melalui
spanduk yang bertuliskan penolakan aktivitas pendirian gereja tersebut.25
Namun
satpol PP sigap dan berhasil mengamankan spanduk ataupun pamflet yang
menyerukan penolakan tersebut.
Dalam usahanya, FLO sudah melakukan pendekatan terhadap publik, baik
itu dengan masyarakat dan ormas setempat maupun pihak GBKP dengan
melakukan pertemuan silaturrahmi yang dihadiri oleh masyarakat setempat, tokoh
agama dan juga ormas setempat. Tujuan FLO tentu saja untuk berdiskusi
melakukan komunikasi tatap muka atau interpersonal serta memberi pemahaman
mengenai kasus yang tengah terjadi yaitu pendirian rumah ibadah. Komunikasi
interpersonal merupakan komunikasi ysng dilakukan dengan tatap muka, yang
memungkinkan setiap pendengar menangkap reaksi orang lain secara langsung,
baik secara verbal ataupun non verbal. Hal ini mencakup aspek komunikasi secara
24 Michael G. Roskin, Political Science An Introduction, h,188.
25
Wawancara dengan Budi Setiawan Ketua RT 14 RW 04 Keluarahan Tanjung Barat,
Jagakarsa pada 15 September 2019 pukul 13.15 di rumah pribadi, Tanjung Barat.
56
menyeluruh seperti membujuk, mendengarkan, komunikasi nonverbal.26
Dengan
dilakukannya pertemuan tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah dan
juga meminimalisir konflik yang terjadi baik antar masyarakat maupun antar umat
beragama.
FLO juga mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan waktu dan suasana
yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini. Hasyim Ashari menegaskan dalam
menghadapi permasalahan intoleransi, hati kita harus terbuka dan mau menerima
masukan dari orang lain. Beliau menyebutkan butuh waktu kurang lebih dua bulan
dalam melakukan pendekatan terhadap publik tersebut. Namun penyelesaian
kasus GBKP ungkapnya membutuhkan waktu lebih dari dua bulan karena
menunggu hasil dari GBKP dan juga pemerintah setempat.27
Melihat kasus-kasus penolakan gereja yang terjadi di Indonesia yang
berpotensi memicu konflik hingga kemudian memakan korban, menyadarkan
bahwa perlunya pemahaman yang mendalam mengenai toleransi dan apa makna
dari gereja tersebut. Daerah Aceh Singkil misalnya, kasus penolakan pendirian
gereja dihadapi oleh konflik yang berkelanjutan. Dimulai pada tahun 1979 antara
umat Islam dan Kristen terus mengalami gesekan hingga adanya aksi pembakaran
gereja. Pada tahun 2015 Pemda Aceh melakukan penertiban terhadap gereja yang
tidak memiliki IMB sebagaimana yang telah disepakati bersama.28
26 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2010), h.81.
27 Wawancara dengan Hasyim Ashari Koordinator Lapangan FLO Jagakarsa pada 6
September 2019 pukul 16.30 di rumah pribadi, Jagakarsa. 28
Haidlor Ali Ahmad, “Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh SIngkil dalam Perspektif
Budaya Dominan.” (Jurnal Multikultural dan Multireligius Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, Vol. 15 No. 3 Desember 2016), h.51-53.
57
Hal seperti inilah yang harus diselesaikan secara hati-hati karena wacana
yang dibawa adalah sentimen agama. Oleh karena itu yang perlu disiasati adalah
bagaimana menciptakan harmonisasi antar umat bergama sehingga meminimalisir
konflik dan tidak ada kecemburuan sosial. Perihal terhadap pendirian gereja
tidaklah dilarang selama hal itu tidak menimbulkan permasalahan baru.29
Gambar IV.A.330
Pertemuan FLO dengan Tokoh Agama,Ormas dan Masyarakat
Sekitar
Pihak FLO mengatakan bahwa banyak hambatan yanng mereka hadapi
ketika melakukan pendekatan terhadap unsur publik itu seperti penolakan keras
pembangunan gereja dan bahkan mosi tidak percaya terhadap FLO. Namun FLO
berusaha dengan segala upaya yang dilakukan sehingga konflik dapat dicegah dan
tidak menimbulkan keributan yang berkelanjutan.
29
Zuly Qodir, “Kaum Muda, Intoleransi dan Radikalisme Agama.” (Jurnal Studi Pemuda
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Vol. 5 No.1 Mei 2016), h.442. 30
Tim Dokumentasi FLO, foto dikirim melalui aplikasi whatsapp pada 6 September
2019.
58
“Kami tahu betul masyarakat wilayah Tanjung Barat mayoritas adalah Islam,
sehingga munculnya permasalahan ini menjadi sensitif di wilayah tersebut.
Terlebih tujuan mereka adalah membuat rumah ibadah yaitu gereja di tengah
dominasi umat islam. Sebenarnya boleh saja mendirikan gereja dimanapun,
namun kendala saat itu yang dihadapi GBKP adalah perizinan bangunan. Mereka
tidak punya IMB rumah ibadah, melainkan hanya rumah kantor.”31
Pihak FLO juga melakukan pertemuan dengan pihak GBKP. Dalam
pertemuan tersebut pihak GBKP mengatakan bahwa pemerintah setempat berlaku
tidak adil dan mempersulit pihaknya dalam mendirikan rumah ibadah. Padahal
hak kebebasan beragama juga telah diatur dalam Undang-undang di Indonesia
pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945.32
Hamzah Wahab selaku anggota bidang
keagamaan FLO Jagakarsa mengatakan kalau hak kebebasan beragama memang
sudah diatur oleh negara. Sebagai sebuah civil society, beliau juga mengatakan
jika FLO memposisikan diri di tengah dan tidak terprovokasi oleh pihak manapun
sehingga tidak merugikan salah satu pihak. 33
Perkembangan civil society di masa sekarang membawa perubahan jauh
lebih baik. Civil society juga mampu menjadi diskursus ruang publik dalam
dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Berbeda sekali jika dilihat pada
masa demokrasi terpimpin, civil society seakan berada diambang kehancuran
karena pemerintahan Soekarno yang otoriter. Ruang publik hampir terhapuskan
melalui pengawasan negara terhadap pembicaraan publik. 34
31
Wawancara dengan Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 14 September 2019 pukul
15.25 di kantor BLS Jatipadang, Pasar Minggu.
32 UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) dan (2) tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
33
Wawancara dengan Hamzah Wahab Divisi Agama FLO Jagakarsa pada 1 September
2019 pukul 11.20 di rumah pribadi, Jagakarsa. 34
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h.122-123.
59
Gambar IV.A.435
Pertemuan FLO dengan GBKP
Purwanto menegaskan jika terdapat regulasi sosial yang harus dipenuhi
pihak GBKP sebagai syarat untuk mendirikan gereja di sebuah wilayah. 36
Mereka
harus memiliki setidaknya 90 kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah
ibadah tersebut. Kemudian adanya persetujuan dari masyarakat sekitar paling
sedikit adalah 60 orang. Jika hal tersebut tidak mampu dipenuhi oleh pihak yang
bersangkutan, maka mereka tidak akan bisa mendapat surat rekomendasi baik dari
pemerintah setempat dan juga FKUB.37
Walaupun sudah melakukan pendekatan terhadap publik, mayoritas
masyarakat masih saja tidak setuju dengan pendirian gereja tersebut. Pihak FLO
sempat mengalami demonstrasi penolakan terhadap GBKP. Bentuk demonstrasi
yang dilakukan berupa penolakan melalui spanduk-spanduk yang dipasang tepat
35
Tim Dokumentasi FLO, foto dikirim melalui aplikasi whatsapp pada 6 September
2019.
36 Wawancara dengan Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 14 September 2019 pukul
15.25 di kantor BLS Jatipadang, Pasar Minggu. 37
Siti Aminah, Uli Parulian, Memahami Kebijakan Rumah Ibadah, h.24.
60
di depan bangunan tersebut. Menurut Roskin kelompok yang melakukan
demontrasi adalah kelompok yang tidak mampu membeli waktu dan perhatian
publik sehingga mereka melakukan unjuk rasa agar mampu menarik perhatian
publik dengan maksud yang diinginkan.38
Pihak FLO mensinyalir aksi ini
dilakukan oleh sekelompok massa intoleran sehingga membuat masyarakat sekitar
terpicu untuk melakukan penolakan terhadap GBKP.
Berdasarkan penjelasan di atas, FLO telah melakukan beberapa strategi
dalam menyelesaikan kasus GBKP di Tanjung Barat, Jagakarsa. Strategi yang
dilakukan melalui pendekatan kepada pemerintah, hukum dan juga terhadap
publik. Walaupun dalam merealisasikan strateginya mendapat banyak hambatan,
kasus ini berhasil diselesaikan. Hingga saat ini permasalahan GBKP tidak lagi
muncul di wilayah Jagakarsa walaupun akhirnya GBKP tidak dapat mendirikan
gereja di daerah tersebut dan direlokasikan di GOR Balai Rakyat Pasar Minggu,
namun konflik antara agama tersebut berhasil dicegah.
B. Hambatan-hambatan FLO dalam Penyelesaian Kasus GBKP
Menyelesaikan isu intoleransi agama memang tidak semudah membalik
telapak tangan. Pada dasarnya toleransi beragama merupakan persoalan
individual, di mana mental individu mampu menerima orang lain untuk hidup dan
mempertahankan pola hidup sesuai dengan kepercayaannya. Karena sejatinya,
toleransi tidak memiliki agenda, tidak dapat diperintah dan juga tidak bisa diberi
sanksi. 39
38
Michael G. Roskin, Political Science An Introduction, h,188.
39 Olaf Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta:
Gunung Mulia,2006), h.57-58.
61
Dibalik keberhasilan FLO Jagakrsa dalam menyelesaikan kasus GBKP
yang terjadi di wilayah Tanjung Barat Jakarta Selatan, FLO juga mengalami
hambatan yang menjadikan kasus ini lebih lama untuk diselesikan. Namun
hambatan yang terjadi tidak berujung dengan kekerasan. Pihak FLO dengan
bantuan Ormas sekitar mampu mengkondusifkan sehingga tidak ada kerusuhan
yang signifikan. Hambatan tersebut muncul baik dari faktor internal maupun
faktor eksternal FLO Jagakarsa.
1. Hambatan Internal FLO
Penulis menemukan terdapat beberapa hambatan yang datang dari dalam
internal FLO sendiri baik organisasinya maupun mengenai strateginya sebagai
upaya dalam menyelesaikan kasus GBKP Tanjung Barat. Beberapa hambatan
internal tersebut dapat dikatakan berpengaruh dalam penyelesaian kasus GBKP di
Tanjung Barat tahun 2016. Adapun hambatan tersebut sebagai berikut:
a. FLO Merupakan Organisasi Baru
Saat menghadapi kasus GBKP, FLO merupakan organisasi yang terbilang
baru lahir di Kecamatan Jagakarsa. Organisasi ini terbentuk pada Januari 2016.
Kemudian baru dikukuhkan pada Februari 2016 di SDI Al-Bayyinah Jagakarsa.40
Dengan kasus yang terjadi pada GBKP, FLO adalah organisasi baru yang
dibentuk dengan tujuan menjadi wadah para Ormas dan LSM serta ikut menjaga
stabilitas sosial dalam masyarakat.
FLO dibentuk dengan pengurus dan anggota yang memang berada di
wilayah Jagakarsa. Mereka yang dipilih juga merupakan orang yang
40
Tim Dokumentasi, “Pelantikan Pengurus FLO Jagakarsa,” artikel terbit pada 14 Januari
2017 dari http://selatan.jakarta.go.id
62
berpengalaman dan tokoh masyarakat di wilayah Jagakarsa. Tujuan utama FLO
tidak lain adalah membuat Jagakarsa menjadi aman, tertib serta saling bersatu
antara masyarakat maupun Ormas dan LSM. Sama seperti slogan dari FLO
Jagakarsa itu sendiri yaitu “Jagakarsa Bersatu Jagakarsa Bersaudara”.
Status organisasi FLO yang baru di Jagakarsa ternyata berpengaruh saat
FLO menyelesaikan kasus GBKP di Tanjung Barat. Sebagian masyarakat
menganggap bahwa FLO merupakan organisasi baru yang tidak perlu ikut campur
dalam kasus ini. Ada pula yang mengatakan bahwa FLO belum terlihat kinerja
ataupun pernah menyelesaikan kasus yang terjadi di masyarakat. Sebagian
masyarakat mengatakan bahwa kasus ini biar menjadi permasalahan pemerintah
baik dalam perizinan bangunan maupun ketertiban masyarakat.41
Kehadiran civil society dalam masyarakat seharusnya diyakini oleh
masyarakat dapat menjadi solusi permasalahan kehidupan yang dinamis. Dengan
terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam civil society
maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan
negara.42
Dalam kasus ini, terlihat saat FLO melakukan pendekatan terhadap
publik, masyarakat masih ada yang belum mengetahui FLO secara keseluruhan.
Masih banyak yang bertanya FLO itu apa dan mengapa mereka ikut mengurusi
permasalahan seperti ini. Agenda FLO memang belum banyak yang berjalan,
namun mereka sudah melakukan kegiatan di awal terbentuknya FLO cabang
Jagakarsa. Salah satunya adalah silaturrahmi antar Ormas di Jagakarsa dan juga
santunan anak yatim di beberapa wilayah kecamatan Jagakarsa.
41
Wawancara dengan Hasyim Ashari Koordinator Lapangan FLO Jagakarsa pada 6
September 2019 pukul 16.30 di rumah pribadi, Jagakarsa. 42
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h.3
63
Dengan adanya stigma masyarakat seperti di atas, FLO harus lebih ekstra
dan juga berusaha agar dapat meyakinkan masyarakat tentang keberadaan dan
fungsi FLO. Kasus GBKP adalah kasus intoleransi pertama yang dihadapi oleh
FLO Jagakarsa. Walaupun dalam kategori organisasi baru, FLO mampu
menyelesaikan kasus GBKP tanpa adanya konflik yang melibatkan kekerasan
fisik ataupun tindak koersif.
b. Setiap anggota memiliki kesibukan
Dalam sebuah organisasi perlu adanya sikap saling kerjasama dan
membutuhkan satu sama lain. Menelaah pemahaman mengenai organisasi,
Organisasi menjadi bentuk nyata dari kemajuan pola pikir manusia, terlebih saat
ini organisasi diarahkan kepada persoalan kepemilikan sistem kerja yang
memungkinkan tercapainya kerjasama, keinginan dan tujuan manusia dengan
maksimal. Dengan demikian, semua perangkat dalam organisasi senantiasa ditata
sebaik mungkin untuk mencapai efektivitas organisasi. Efektivitas ini ditentukan
dari seluruh kontribusi individu maupun kelompok dalam organisasi. Organisasi
harus menerapkan sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungan eksternal
sehingga proses mencapai tujuan dapat lebih maksimal.43
Jika dilihat dari sejarah pembentukkan FLO Jagakarsa, anggota mereka
adalah orang-orang asli Jagakarsa dan dianggap mampu mewakili masyarakat
Jagakarsa. Tujuan dibentuknya FLO seperti sudah dijelaskan sebelumnya yaitu
sebagai wadah Ormas yang ada di Jagakarsa dan juga menjaga persatuan dan
43
Muhammad Rifa’i, Manajemen Organisasi (Bandung: Citapustaka Media
Perintis,2013), h.63.
64
ketentraman masyarakat Jagakarsa. Kemudian orang-orang terpilih ini dilantik
dan diberi tanggung jawab dengan visi misi yang FLO bentuk.
Dilihat dari terbentuknya badan ini, FLO merupakan organisasi atau
kelompok kepentingan buatan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari fungsi dan
pernyataan walikota Jakarta Selatan agar dapat membantu menjaga keamanan dan
mempersatukan Ormas. FLO merupakan forum ormas pertama di Jakarta yang
diharapkan dapat membantu jalannya pembangunan oleh pemerintah melalui
sinergitas yang kondusif.44
Sedangkan menurut Roskin kelompok kepentingan
buatan pemerintah adalah kelompok yang dibuat karena ada korelasinya dengan
program pemerintah sehingga nantinya dapat membantu pemerintah menjalankan
tugasnya.45
Hambatan yang kemudian muncul dari internal FLO adalah kesibukan dari
masing-masing anggota.46
Seperti dalam melakukan strategi pendekatan terhadap
pihak pemerintah, hukum dan publik anggota FLO masih belum bisa hadir secara
keseluruhan. Hanya perwakilan dari tiap divisi saja, namun mereka tetap hadir.
Seperti ketua FLO sendiri yang memiliki kantor di wilayah Jatipadang dan beliau
juga sebagai manager di tempat tersebut membuat Purwanto seringkali sibuk
dengan pekerjaanya dan hanya mendapat informasi dari sosial media saja.
Kemudian ada juga sekretaris FLO yang bekerja di Kecamatan dan anggota
lainnya yang memiliki pekerjaan di luar FLO.
44
Tim Poskota, “Forum Lintas Ormas Cegah Maraknya Konflik” artikel terbit pada 28
November 2014 dari https://poskotanews.com. 45
Michael G. Roskin, Political Science An Introduction, h,221. 46
Wawancara dengan Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 14 September 2019 pukul
15.25 di kantor BLS Jatipadang, Pasar Minggu.
65
Padahal kehadiran anggota dalam sebuah organisasi merupakan hal
penting bagi sebuah organisasi. Dalam mencapai sebuah tujuan organisasi,
sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan karena keberhasilan
organisasi dalam mencapai tujuannya berpengaruh pada kualitas anggota yang
dimilikinya. Kualitas sumber daya manusia memiliki peranan penting sebagai
motor penggerak yang dapat mempengaruhi kesuksesan organisasi dalam
mencapai tujuan secara efektif dan efisien.47
Peran dari pemimpin juga menjadi kunci kesuksesan sebuah organisasi.
Kepemimpinan sangat penting dalam setiap organisasi, pemimpin yang baik akan
menyebabkan kelancaran fungsi, termotivasinya karyawan dan secara keseluruhan
efektivitas dalam kinerja organisasi tersebut. Efektivitas kepemimpinan ditunjuk
dari profesionalisme seorang pemimpin yang sesuai dengan posisi dan eksistensi
organisasinya, dimana pemimpin dituntut untuk menguasai berbagai aspek yang
berkaitan dengan perilaku organisasinya.48
Purwanto membenarkan hal tersebut, beliau juga tidak bisa selalu hadir
setiap ada permasalahan, namun biasanya diwakilkan oleh anggota lain sehingga
FLO terus bisa mengawal kasus tersebut. Menurutnya jabatan ini adalah amanat
yang dipercayakan kepadanya sehingga semaksimal mungkin akan dijalankan.
Hal ini yang kemudian menjadi hambatan FLO dalam menyelesaikan kasus
GBKP di Tanjung Barat. Adanya kesibukan dari setiap anggota FLO memang
47
Drs. H. Tobari, Membangun Budaya Organisasi Pada Instansi Pemerintah
(Yogyakarta: CV Budi Utama, 2015), h.1 48
Rasmuji, “Pengaruh Efektivitas Kepemimpinan dan Lingkungan Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan dengan Peran Mediasi Kepuasan Kerja.” (Jurnal Media Ekonomi dan
Manajemen Universitas 17 Agustus Semarang, Vol. 32 No. 2 Juli 2017), h.179.
66
tidak bisa dihindari, namun FLO sendiri menyikapi hal tersebut dengan penuh
tanggung jawab dan kepedulian terhadap masyarakat Jagakarsa.
2. Hambatan Eksternal FLO
Disamping terdapat faftor internal yang menghambat FLO dalam
menyelesaikan kasus GBKP di Tanjung Barat, FLO juga menghadapi hambatan
eksternal yang membuat kasus ini menjadi lebih lama diselesaikan. Seperti yang
diketahui bahwa hambatan eksternal berasal dari luar lingkup FLO yang dapat
mempengaruhi strategi yang dilakukan FLO untuk menyelesaikan kasus GBKP.
Adapun hambatan eksternal FLO dalam menyelesaikan kasus pendirian GBKP di
Tanjung Barat tahun 2016 adalah sebagai berikut:
a. Massa Intoleran
Kasus intoleransi agama seperti ini memang menjadi permasalahan yang
sensitif. Individu pada dasarnya memiliki sifat yang beragam dan tidak bisa untuk
disamaratakan. Hak kebebasan berpedapat juga sudah diatur dalam undang-
undang yang ada di Indonesia. Begitu juga dengan hak kebebasan beragama telah
tercantum dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1) dan (2).49
Namun seringkali dalam
kenyataannya, masyarakat menghiraukan hal tersebut. Sentimen agama kerap kali
muncul saat terjadi kasus seperti pendirian rumah ibadah kaum minoritas. Hal
seperti ini sulit untuk dihindari, oleh karenanya harus ada badan penengah
ataupun kelompok yang dapat mengkondusifkan permasalahan seperti itu.
Dalam kasus intoleransi yang terjadi pada tahun 2016 di Tanjung Barat,
Jakarta Selatan, FLO hadir sebagai kelompok yang mengkodusifkan masalah ini.
49
UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) dan (2) tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
67
FLO bertujuan untuk menyelesaikan kasus ini tanpa adanya konflik atau tindakan
yang bersifat koersif. Menurut data Wahid Foundation, aktor non negara
pelanggar terbanyak kasus kemerdekaan beragama dan berkeyakinan pada tahun
2018 adalah masyarakat yaitu sekitar 48 aktor dibandingkan dengan MUI 12 aktor
dan juga Ormas delapan aktor. 50
Pada saat menjalankan strategi pendekatan terhadap publik, kendala yang
paling sulit dihadapi pihak FLO adalah massa ataupun oknum intoleran yang ada
di wilayah Tanjung Barat. FLO telah mengadakan pertemuan terhadap masyarakat
dan juga tokoh agama serta ormas yang ada di wilayah Tanjung Barat agar dapat
memberi atensi lebih kepada kaum minoritas. Purwanto mengatakan pihaknya
sudah menyampaikan pesan untuk toleransi terhadap sesama manusia. Mereka
yang ingin mendirikan rumah ibadah dimohon untuk tidak dipersulit dalam
administratif dan juga regulasi sosial yang berlaku.51
Tokoh agama masyarakat sekitar paham betul maksud yang disampaikan
oleh FLO. Oleh karenanya mereka mendukung apa yang telah disampaikan FLO.
Namun ada beberapa massa yang ternyata tetap tidak setuju dengan pendirian
gereja tersebut. Kemudian masyarakat yang tidak setuju dengan pendirian rumah
ibadah tersebut melakukan aksi demonstrasi. Aksi penolakan yang mereka
lakukan seperti berdemo di depan kantor kelurahan Tanjung Barat dan juga
memasang spanduk yang bertuliskan penolakan pendirian rumah ibadah.
50
Subhi Azhari, Membatasi Para Pelanggar Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama
dan Berkeyakinan Wahid Foundation (Jakarta: WAHID Foundation,2018), h.10. 51
Wawancara dengan Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 14 September 2019 pukul
15.25 di kantor BLS Jatipadang, Pasar Minggu.
68
Gambar IV.B.152
Aksi Penolakan Masyarakat Tanjung Barat
Sebenarnya ada dua komitmen yang harus dipegang oleh pelaku dialog
dalam melakukan pendekatan. Pertama adalah toleransi kemudian yang kedua
adalah pluralisme. Dua unsur ini yang harus digarisbawahi sehingga dialog dapat
mencapai mufakat. Akan sulit bagi pelaku dialog untuk mencapai situasi yang
saling pengertian jika salah satu pihak tidak bersikap toleran. Karena toleransi
pada hakikatnya merupakan upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat
dicegah.53
Walaupun terjadi demontrasi terhadap penolakan gereja tersebut, aksi yang
dilakukan massa intoleran ini tidak berujung dengan kekerasan ataupun gesekan
secara fisik. Aparat setempat juga ikut mengawasi dan beberapa anggota FLO ikut
memantau aksi tersebut. Namun hal ini menjadi penghalang besar pada kasus
52
Diakses melalui http://tabloidkontras.com/warga-rw-04-kel-tanjung-barat-jakarta-
selatan-menolak-tempat-ibadah-gbkp/ 53
Ismardi, “Pendirian Rumah Ibadah Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006.” (Jurnal Media Ilmiah Komunikasi Umat
Beragama UIN Suska Riau, Vol. 3 No. 2 Juli 2011), h. 219.
69
GBKP. Tidak mudah memberi pemahaman terhadap individu atau kelompok yang
berbeda pendapat.
b. Adanya Kepentingan Pengusaha
Lahan yang strategis memang menjadi pilihan dalam membuka bisnis
ataupun mendirikan usaha. Menurut Fandy lokasi strategis menjadi salah satu
faktor penting dan sangat menentukan keberhasilan suatu usaha karena
merupakan tempat beroperasinya kegiatan ekonomi. Dengan lokasi yang strategis,
bisnis tersebut akan mudah mendapat akses baik itu secara produksi maupun
konsumen yang ingin mengunjungi tempat tersebut.54
Wilayah Tanjung Barat merupakan tempat yang strategis karena dapat
dilalui banyak transportasi umum. Terlebih lahan pendirian gereja tersebut dekat
sekali dengan stasiun kereta api Tanjung Barat. Transportasi kereta masih
transportasi umum yang paling banyak digunakan masyarakat dalam kebutuhan
sehari-hari. Terlebih banyaknya pemukiman serta komplek rumah yang pesat
membuat Tanjung Barat menjadi letak yang strategis.
Diketahui bahwa lahan luas yang berada dekat stasiun Tanjung Barat
tersebut akan dijadikan apartemen dan juga mall aeon. Bangunan tersebut akan
membutuhkan lahan yang luas sekitar 5,4 ha dengan apartemen yang megah
didekat mall tersebut.55
Lahan yang ingin dijadikan gereja termasuk dalam lahan
pendirian mall tersebut. Jika pendirian gereja tersebut berhasil dilakukan maka
otomatis pihak pengusaha akan sulit untuk mendirikan bangunan mall tersebut.
Karena menggusur rumah ibadah akan jauh lebih sulit dibandingkan dengan
54
Fandy Tjiptono, Manajemen Operasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009) h. 92. 55
Prasojo, “AEON Mall Bakal Hadir di Tanjung Barat”, artikel terbit pada 5 September
2016 dari http://housingestate.id
70
menggusur rumah atau bangunan-bangunan biasa. Hal demikian lantas menjadi
permasalahan serius walaupun pembangunan mall itu baru akan dilaksanakan
akhir tahun 2017.56
Penolakan yang dilakukan pengusaha tidak dilakukan secara langsung.
Budi mengatakan bahwa anak buah pengusaha ini ikut melakukan penolakan
dengan cara mendanai aksi penolakan.57
FLO mengetahui hal demikian dari
Ormas dan masyarakat sekitar. Bahkan beberapa masyarakat lebih memilih agar
lahan bangunan tersebut ikut dijadikan mall dibandingkan untuk membangun
gereja. Alasan mereka saat ditanya sangat sederhana. Mereka ingin wilayah
sekitar Tanjung Barat didirikan mall atau swalayan modern. Dengan kenyataan
seperti ini yang terjadi di lapangan membuat FLO sulit untuk berkomunikasi dan
memberi solusi agar permasalahan dapat selesai dan menguntungkan kedua belah
pihak.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa FLO mendapat
beberapa hambatan dalam menyelesaikan kasus GBKP di Tanjung Barat.
Walaupun FLO menghadapi beberapa hambatan dalam menyelesaikan kasus
GBKP di Tanjung Barat, mereka berhasil meredamkan massa intoleran dan juga
mampu membantu pihak GBKP dalam hal beribadah. FLO mengatakan bahwa
pihaknya membantu dalam menyediakan tempat bagi GBKP untuk beribadah
mengingkat gedung yang berada di Tanjung Barat dilarang untuk beroperasi oleh
56
Wawancara dengan Purwanto Ketua FLO Jagakarsa pada 14 September 2019 pukul
15.25 di kantor BLS Jatipadang, Pasar Minggu.
57
Wawancara dengan Budi Setiawan Ketua RT 14 RW 04 Keluarahan Tanjung Barat,
Jagakarsa pada 15 September 2019 pukul 13.15 di rumah pribadi, Tanjung Barat.
71
Pemprov DKI karena belum memiliki IMB rumah ibadah. Walaupun pada
akhirnya GBKP tidak dapat mendirikan gereja di wilayah tersebut.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembangunan gereja yang dilakukan oleh GBKP mengundang reaksi pro
dan kontra di berbagai kalangan. Kalangan masyarakat Tanjung Barat menilai
bahwa bangunan yang digunakan tidak memiliki surat IMB rumah ibadah
sebagaimana mestinya, sehingga masyarakat menolak untuk didirikan gereja di
tempat tersebut. Kalangan penguasaha juga menolak pendirian gereja tersebut
dikarenakan mereka membutuhkan lahan itu untuk mendirikan swalayan modern.
Kemudian, dari kalangan GBKP sendiri menilai bahwa pemerintah tidak tegas
dan tidak adil dalam permasalahan pendirian rumah ibadah. Pihaknya sudah
mengurus izin tersebut namun yang keluar justru IMB rumah kantor.
Merasa memiliki kewajiban dalam menjaga kerukunan masyarakat
Jagakarsa, FLO melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan kasus pendirian
gereja GBKP di Tanjung Barat, Jagakarsa. Namun, analisa yang didapatkan
penulis dari penelitian ini menyatakan ada beberapa strategi yang digunakan FLO
dalam penyelesaian kasus GBKP di Tanjung Barat sesuai dengan teori Michael G.
Roskin yaitu pertama, pendekatan FLO kepada pemerintah melalui walikota
Jakarta Selatan. Pertemuan tersebut menghasilkan surat larangan GBKP agar tidak
beribadah sementara waktu di wilayah tersebut guna meminimalisir konflik dan
diberikan tambahan waktu untuk mengurus surat izin tersebut. Kedua, pendekatan
FLO melalui hukum dengan FKUB Jakarta Selatan dengan berkomunikasi dan
juga berunding terkait permasalahan GBKP. Namun FKUB tetap tidak bisa
73
menerbitkan surat rekomendasi pendirian rumah ibadah dikarenakan persyaratan
yang tidak terpenuhi dalam PBM Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9
tahun 2006 pasal 14 ayat (2) huruf a dan b. Ketiga, pendekatan FLO terhadap
publik dengan pihak masyarakat termasuk tokoh masyarakat dan juga pihak
GBKP. FLO melakukan pertemuan diskusi baik dari pihak masyarakat maupun
pihak GBKP dengan memberikan pemahaman serta perhatian terhadap
masyarakat mengenai pentingnya toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil
dari strategi-strategi yang telah dilakukan, FLO berhasil mencegah terjadinya
konflik antar umat beragama dalam masyarakat, namun pendirian gereja tetap
tidak bisa dilaksanakan oleh pihak GBKP dan pemerintah merelokasi tempat
ibadah jemaat GBKP di GOR Balai Rakyat Pasar Minggu.
Dalam menjalankan strateginya, FLO menghadapi hambatan baik dari
internal yang berupa organisasi FLO merupakan kelompok baru di wilayah
Jagakarsa dan adanya kesibukan dari setiap anggota maupun pemimpin FLO.
Faktor internal tersebut menjadi kelemahan bagi FLO yang kemudian dapat
dijadikan koreksi agar lebih baik kedepannya. Sedangkan hambatan eksternal
yang dihadapi FLO yaitu adanya massa intoleran yang melakukan demontrasi di
wilayah tersebut sehingga mengundang suasana negatif bagi wilayah Tanjung
Barat dan adanya kepentingan pengusaha dalam pembuatan swalayan modern.
Hambatan ini tentunya menjadi penghalang FLO dalam upaya penyelesaian kasus
GBKP di Tanjung Barat.
74
B. Saran
Penulis memiliki sejumlah saran terkait penelitian ini, diantaranya
1. Saran Akademik
a. Pembahasan tentang strategi civil society dalam menyelesaikan sebuah
kasus dapat menghadirkan perspektif yang berbeda seperti pendekatan
yang dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya kepada pihak
pemerintah. Sehingga hal tersebut menjadi penting untuk mahasiswa/i
atau akademisi yang ingin meneliti bisa mengkaji tema ini dari
perspektif yang berbeda.
b. Sebagai pengetahuan tambahan bagi akademisi mengenai studi peran
civil society dalam menciptakan stabilitas sosial dan toleransi dalam
masyarakat.
2. Saran Praktis
a. Sebagai masyarakat yang tinggal di negara plural seperti Indonesia,
toleransi adalah hal yang dijunjung tinggi dan memiliki nilai lebih.
Seharusnya masyarakat negara plural lebih memahami lagi makna dari
kata toleransi, sehingga dapat membentuk masyarakat yang harmonis
dan jauh dari kata konflik. Penolakan terhadap rumah ibadah dapat
diminimalisir jika masyarakat bersikap toleran dan mau menerima
perbedaan dalam masyarakat. Pemerintah juga ditutut adil dalam
penyelesaian kasus intoleransi tanpa memandang mayoritas ataupun
minoritas.
75
b. Selain itu, dalam strategi terhadap penyelesaian kasus GBKP di
Tanjung Barat, FLO dituntut harus mampu menyelesaikan
permasalahannya sendiri. Seperti permasalahan internal yaitu stigma
masyarakat yang menganggap FLO hanyalah organisasi baru dan juga
kesibukan yang dialami setiap anggota bahkan pimpinan FLO sendiri.
Seharusnya FLO dapat meyakinkan masyarakat akan pentingnya
organisasi FLO di wilayah Jagakarsa. Kemudian anggota FLO
seharusnya lebih mampu membagi waktu terhadap organisasi sehingga
jika ada permasalahan seperti ini dapat diselesaikan dengan baik dan
cepat.
xi
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Masykuri. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
Aminah, Siti dan Uli Parulian. Memahami Kebijakan Rumah Ibadah. Jakarta:
ILRC,2010.
Azhari, Subhi. Membatasi Para Pelanggar Laporan Tahunan Kemerdekaan
Beragama dan Berkeyakinan Wahid Foundation. Jakarta: WAHID
Foundation,2018.
Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa
dalam Angka 2016, Jakarta Selatan: Badan Pusat Statistik Kota Jakarta
Selatan,2016.
Baghi, Felix. Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi. Maumere: Ledalero,2012.
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi dan
Kebijakan Publik Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2005.
Crouch, Harold. Perkembangan Ekonomi dan Modernisasi. Jakarta: Yayasan
Pengkhidmatan,1982.
Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di
Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,1999.
Halili. Supremasi Intoleransi Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Minoritas Keagamaan di Indonesia 2016. Jakarta: Setara Institute, 2016.
Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai
Dasar menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya:
Bina Ilmu, 1979.
Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: Pustaka LP3ES,
1996.
xii
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga, 2009.
Jatmiko. Manajemen Stratejik. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang
Press,2003.
Karni, Asrori S. Civil Society & Ummah. Jakarta: Logos, 1999.
Labolo, Muhadam. Memahami Ilmu Pemerintahan. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada,2006.
Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2010.
Rifa’i, Muhammad. Manajemen Organisasi. Bandung: Citapustaka Media
Perintis,2013.
Roskin, Michael G. Political Science An Introduction. United Stated: Pearson
Education,2012.
Sanit, Arbi. Ormas dan Politik. Jakarta: LSIP,1995.
Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan. Jakarta: Rajawali Press,1982.
Sarwono, Jonathan. Analisis Data Penelitian Dengan Menggunakan SPSS.
Yogyakarta: CV Andi Offset,2006.
Schumann, Olaf. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta:
Gunung Mulia,2006.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011.
xiii
Sudarta. Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar umat
Beragama di Indonesia. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D). Bandung: Alfabeta, 2015.
Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Tim FKUB Semarang, Kapita Selekta Kerukunan Umat Beragama. Semarang:
FKUB, 2009.
Tim The Wahid Institut. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
dan Intoleransi 2014. Jakarta: The Wahid Institute,2014.
Tjiptono, Fandy. Manajemen Operasional. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Tobari. Membangun Budaya Organisasi Pada Instansi Pemerintah. Yogyakarta:
CV Budi Utama, 2015.
Utrecht, E. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Utsman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.2013.
Winardi, J. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2003.
Yasmadi, Modernisasi Pesantren. Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Jurnal Ilmiah
Ahmad, Haidlor Ali. “Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh SIngkil dalam
Perspektif Budaya Dominan.” Jurnal Multikultural dan Multireligius,
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Volume 15, Nomor 3,
(Desember 2016).
Aji, Mukri Ahmad. “Identifikasi Potensi Konflik Pra dan Pasca Pendirian Rumah
Ibadah di Indonesia dan Upaya Mengatasinya,” Jurnal Ilmu Syariah FAI
Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Volume 2, Nomor 1, (Juni 2014).
xiv
Asfar, Muhammad. “Wacana Masyarakat Madani (Civil Society): Relevansi
untuk Kasus Indonesia,” Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik,
Universitas Gajah Mada, Th XIV, Nomor 1, (Januari 2001).
Casram. “Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural,”
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, Volume 1, Nomor 2, (Juli 2016).
Nasution, Ismail Fahmi Arrauf. “Minoritas dan Politik Perukunan (FKUB,
Ideologi Toleransi dan Relasi Muslim-Kristen Aceh Tamiang),” Jurnal
Substantia, IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Volume 19, Nomor 1, (April
2017).
Qodir, Zuly. “Kaum Muda, Intoleransi dan Radikalisme Agama,” Jurnal Studi
Pemuda Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 5 Nomor 1, (Mei
2016).
Rasmuji. “Pengaruh Efektivitas Kepemimpinan dan Lingkungan Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan dengan Peran Mediasi Kepuasan Kerja,” Jurnal Media
Ekonomi dan Manajemen Universitas 17 Agustus Semarang, Volume 32,
Nomor 2, (Juli 2017).
Ronald Helweldery, “Gereja dalam Konteks Kerukunan Beragama dalam
Masyarakat”, (Jurnal Studi Agama dalam Masyarakat, Universitas Kristen
Satya Wacana Vol. 4, No. 3, Maret 2018).
Setiadi, Ozi “Civil Society dalam Permasalahan Toleransi di Masyarakat”, (Jurnal
Koordinat, Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman, Vol XVI No.1 April
2017).
Suharko. “Masyarakat Sipil, Modal Sosial dan Tatanan Pemerintahan yang
Demokratis,” Jurnal Sosial dan Politis, Fisipol UGM Volume 8, Nomor 3,
(Maret 2005).
Dokumen dan Laporan
Lembar Pengorganisasian Forum Lintas Ormas Kecamatan Jagakarsa Jakarta
Selatan Periode 2016-2021.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9
Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
xv
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah
Ibadat.
Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 1990 tentang Pemekaran Wilayah Kecamatan
Pasar Minggu.
UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) dan (2) tentang Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan.
Media Online
Bakesbangpol, “Organisasi Kemasyarakat di Wilayah Provinsi DKI Jakarta tahun
2017,” diakses pada 30 Januari 2019 dari http://bakesbangpoljakarta.com.
Fathiyah Wardah, “Pelanggaran atas Kebebasan Beragama Masih Mencemaskan,”
artikel diakses pada 3 Maret 2019 dari https://www.voaindonesia.com.
Herianto Batubara, “Ini Surat Walikota Jaksel Larang Peribadatan GBKP Pasar
MInggu,” artikel diakses pada 29 Oktober 2019 dari https://news.detik.com.
Humas, “Inilah Perppu No 2/2017 tentang Perubahan UU No 17/2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan,” artikel diakses pada 4 Januari 2019 dari
http://setkab.go.id.
Humas, “Kemendagri: Jumlah Ormas di Indonesia ada 344.039,” artikel diakses
pada 4 Januari 2019 dari http://setkab.go.id.
Julkifli Marbun, “Forum Lintas Ormas Jadi Ruang Silaturahim Antarormas dan
LSM,” artikel diakses pada 17 Mei 2019 dari https://www.republika.co.id.
KIP JS, “FLO Kecamatan Jagakarsa Dikukuhkan,” artikel diakses pada 17 Mei
2019 dari http://selatan.jakarta.go.id.
Nibras Nada Nailufar, “Soal GBKP Pasar Minggu, Ini Kata Kesbangpol,” Artikel
diakses pada 29 Oktober 2019 dari https://megapolitan.kompas.com.
Ning Rahayu, “Kemenkop dan UKM Dukung Ormas Tingkatkan Kewirausahaan
dengan Teknologi,” artikel diakses pada 5 Februari 2019 dari
https://www.wartaekonomi.co.id.
Prasojo, “AEON Mall Bakal Hadir di Tanjung Barat”, artikel diakses pada 30
Oktober 2019 dari http://housingestate.id.
xvi
Setara Institute, “Indeks Kota Toleran tahun 2017,” artikel diakses pada 3 Januari
2019 dari http://setara-institute.org.
Tim BPS, “Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Sealatan,” artikel diakses pada 17
Mei 2019 dari http://jakselkota.bps.go.id.
Tim Dokumentasi, “Pelantikan Pengurus FLO Jagakarsa,” artikel diakes pada 30
Oktober 2019 dari http://selatan.jakarta.go.id.
Tim Poskota, “Forum Lintas Ormas Cegah Maraknya Konflik” artikel diakses
pada 29 Oktober 2019 dari https://poskotanews.com.
Karya Ilmiah
Skripsi Rahmat Sahputra, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
dalam Menangani Konflik Rumah Ibadat tahun 2015 di Kabupaten Aceh
Singkil”, Tangerang: Skripsi Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Program Sarjana Sosial 2017.
Wawancara
Wawancara dengan Abi Hardono sebagai ketua Karang Taruna Kecamatan
Jagakarsa, tanggal 13 April 2019 melalui aplikasi Whatsapp.
Wawancara dengan Alfi Wartaif sebagai masyarakat Kecamatan Jagakarsa,
tanggal 13 April 2019 di rumah pribadi, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Wawancara dengan Budi Setiawan Ketua RT 14 RW 04 Keluarahan Tanjung
Barat, Jagakarsa, tanggal 14 September 2019 di rumah pribadi, Tanjung
Barat, Jakarta Selatan.
Wawancara dengan H. Purwanto S.H, sebagai Ketua Forum Lintas Ormas (FLO)
Jagakarsa, tanggal 14 September 2019 di kantor Bravo Lima Sera,
Jatipadang, Jakarta Selatan.
Wawancara dengan H. Hamzah Wahab sebagai Divisi Agama FLO Jagakarsa,
tanggal 1 September 2019 di rumah pribadi, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Wawancara dengan Hasyim Ashari sebagai Koordinator Lapangan FLO
Jagakarsa, tanggal 6 September 2019 di rumah pribadi, Jagakarsa, Jakarta
Selatan.
xvii
Wawancara dengan Napolo Siangian Tokoh Agama GBKP, tanggal 11 September
2019 di rumah pribadi, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.