analisis framing pemberitaan konflik tolikara pada harian kompas ...
Transcript of analisis framing pemberitaan konflik tolikara pada harian kompas ...
ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN KONFLIK TOLIKARA
PADA HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)
Oleh
NURLAELA
NIM: 1111051100017
KONSENTRASI JURNALISTIK
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016M
i
ABSTRAK
Judul :Analisis Framing Pemberitaan Konflik Tolikara pada Harian
Kompas dan Republika
Nama : Nurlaela
NIM : 111051100017
Konflik antar agama dan etnis di Indonesia semakin tinggi intensitasnya.
Berdasarkan hasil penelitian, pada 29 provinsi di Indonesia, terjadi 832 insiden
konflik dalam kurun waktu 1990-2008 yang mengakibatkan 55.080 korban jiwa
dan 1.993 kerugian materil. (Ihsan Ali, dkk.,: 2009). Data tersebut menunjukan
peristiwa konflik dapat dikategorikan sebagai kejadian luar biasa dan memiliki
nilai berita tinggi. Sehingga pemberitaan tentang konflik hampir dapat ditemukan
di berbagai media massa. Konflik Tolikara merupakan salah satu konflik
etnoreligius yang terbilang baru. Konflik antar umat Kristiani dengan umat Islam
ini terjadi pada 17 Juli 2015, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Konflik
Tolikara juga menjadi pemberitaan di berbagai media massa. Terlihat harian
Kompas dan Republika beberapa kali memberitakan peristawa tersebut.
Berdasarkan kerangka berfikir tersebut, penulis ingin mengkaji framing
pemberitaan pada Harian Kompas dan Republika dalam membingkai pemberitaan
terkait konflik Tolikara.
Teori yang digunakan adalah teori konstruksi realitas yang diperkenalkan
Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang menyatakan bahwa konstruksi media
massa atas realitas sosial melihat bagaimana realitas dipandang oleh individu
secara subjektif.
Metodologi Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan
pendekatan kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan ialah studi dokumen
dan wawancara. Studi dokumen diambil dari teks berita Kompas dan Republika
kemudian di analisis dengan teknik analisis framing model Zhongdang Pan dan
Gerald M. Kosicki. model framing tersebut menggunakan empat struktur dalam
membedah teks yaitu, sintaksis, skrip, tematik dan retoris.
Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa Kompas dan Republika
memiliki perbedaan perspektif dalam memberitakan konflik Tolikara. Kompas
memberitakan pada aspek perdamaian sebagai solusi terbaik. Penyebab dari
konflik ialah karena komunikasi yang tidak berjalan dengan baik anata kelompok
GIDI, umat muslim dan pemerintah. Sementara Republika lebih menekankan
pada penegakan hukum mutlak dilakukan bagi pelaku penyerangan, dan umat
Islam diposisikan sebagai pihak korban, anggota GIDI diposisikan sebagai pihak
yang bersalah.
Kata Kunci: Analisis Framing, Konflik, Tolikara, Republika, Kompas
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Puji syukur kehadiran Sang Maha Pengasih dan Penyayang Allah
Subhanahu Wataala yang telah memberikan ridho dan rahmat kepada penulis.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
senantiasa disanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh
keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Penulis menyadari dalam proses penulisan skripsi ini, begitu banyak
uluran bantuan dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karenanya, ucapan
terimakasih penulis ucapkan kepada;
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief
Subhan, M.A, Wakil Dekan Bidang Akademik, Suparto, M. Ed Ph.
D, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Dr. Hj Roudonah,
MA, serta Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dr. Suhaimi, M.
Si.
2. Ketua Prodi Jurnalistik, Kholis Ridho M.Si serta Sekertaris Prodi
Jurnalistik Hj. Musfirah Nurlaily M.A yang telah membantu penulis
selama massa pekuliahan.
3. Dosen Pembimbing Skripsi, Kholis Ridho M. Si yang telah
mengajarkan dan menuntun penulis selam proses penulisan skripsi,
hingga selesai dengan baik dan lancar.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas
segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
5. Segenap Pimpinan dan staf Harian Umum Kompas dan Republika.
Khususnya Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Sutta
Dharmasaputra dan Redaktur Halaman Utama Republika Fitriyan
Zamzami.
6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda H. Muhammad Tohir dan
Ibunda Siti Romlah atas segala curahan kasih sayang, semangat dan
doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan putrinya.
iii
7. Adik tercinta, Muhammad Ali Rohman dengan pertanyaan polosnya
“kapan embak wisuda?” mampu membakar semangat penulis untuk
gigih menyelesaikan skripsi.
8. Ahmad Ridwan Hakim yang selalu mengingatkan penulis untuk
mencintai proses dan jangan pernah lelah untuk berproses.
9. Teman terbaik yang siap membantu dalam massa sulit, Elsa
Faturahmah. Terimakasih telah meminjamkan notebook selama
penulisan skripsi.
10. Teman-teman jurnalistik A: Qurrota A’yuni, Nur Fatkhin Nisafitria,
Kartika Sari Dewi, Rama Virda Ayu, Arsita Murtisari dan Alm.
Nurul Rofah. Juga teman-teman jurnalistik B angkatan 2011,
keluarga KKN KAMI 2014, keluarga RDK 107,9 FM, penulis
bangga menjadi bagian dari kalian dan kalian inspirasi bagi penulis.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai
kesempurnaan.Oleh sebab itu, kritikan dan saran penulis harapkan demi
perbaikan kedepannya.Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, 22 Maret 2016
Nurlaela
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ........................... 8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ......................... 8
D. Metodologi Penelitian ........................................................ 9
E. Tinjauan Pustaka ................................................................ 14
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORITIS A. Teori Konstruksi Sosial ...................................................... 16
B. Framing Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki ............... 18
C. Konseptualisasi Berita ........................................................ 33
D. Konseptualisasi Surat Kabar .............................................. 36
E. Konseptualisasi Konflik ..................................................... 37
BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil Harian Kompas ........................................................ 40
B. Profil Harian Republika ..................................................... 45
BAB IV ANALISIS TEMUAN DAN INTERPRETASI A. Analisis Temuan Teks Berita Kompas dan Republika ...... 50
B. Perbedaan Bingkai Kompas dan Republika………………. 150
C. Interpretasi .......................................................................... 152
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 158
B. Saran ................................................................................... 159
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ ix
LAMPIRAN ............................................................................................... x
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Model Framing Zhongdang pan dan Gerald M Kosicki………… 12
Tabel 2. Konsep Framing Zhongdang pan dan Gerald M Kosicki ……… 23
Tabel 3.1 Headline Kompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015…………… 55
Tabel 3.2 Lead Kompas & Republika Edisi 20 Juli 2015………………….. 58
Tabel 3.3 Latar informasiKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………… 59
Tabel 3.4 Kutipan NarasumberKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…… 62
Tabel 3.5 Pernyataan Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…………….. 65
Tabel 3.6 PenutupKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………………… 66
Tabel 3.7 5W+1H Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………………... 66
Tabel 3.8 DetailKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…………………... 68
Tabel 3.9 Koherensi Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015……………… 69
Tabel 3.10 Bentuk Kalimat Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…......... 70
Tabel 3.11 Kata Ganti Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………......... 72
Tabel 3.12 LeksikonKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…………........ 73
Tabel 3.13 GrafisKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015……………......... 76
Tabel 4.1 HeadlineKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015………………... 82
Tabel 4.2 Lead Kompas& Republika Edisi 21 Juli 2015…………………..... 82
Tabel 4.3 Latar Informasi Kompas & Republika Edisi 21 Juli 201…………. 84
Tabel 4.4 Kutipan Narasumber Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015…. 85
Tabel 4.5 PernyataanKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015……………... 87
Tabel 4.6 Penutup Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015………………… 88
Tabel 4.7 5W+1H Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015………………... 89
Tabel 4.8 DetailKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015…………………... 91
Tabel 4.9 KoherensiKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015……………... 92
Tabel4.10 Bentuk Kalimat Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015………… 93
Tabel 4.11 Leksikon Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015……………… 94
Tabel 4.12 Grafis Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015…………………. 96
Tabel 5.1 Headline Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015……………… 100
Tabel 5.2 Lead Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015…………………... 102
Tabel 5.3 Latar InformasiKompas& Republika Edisi 24 Juli 2015……….. 106
Tabel 5.4 Kutipan Narasumber Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015…… 107
Tabel 5.5 Pernyataan Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015……………. 111
Tabel 5.6 PenutupKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015……………….. 112
Tabel 5.7 5W+1HKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015…………………. 113
Tabel 5.8 Detail Kompas& Republika Edisi 24 Juli 2015…………………... 115
Tabel 5.9 Koherensi Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………………. 117
Tabel 5.10 Kata GantiKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015……………... 119
Tabel 5.11 Leksikon Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………………. 120
Tabel 5.12 GrafisKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015…………………. 121
Tabel 6.1 Headline Kompas& Republika Edisi 25 Juli 2015……………....... 128
Tabel 6.2 Lead Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015…………………...... 128
Tabel 6.3 Latar Informasi Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015………… 130
Tabel 6.4 Kutipan Narasumber Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015..… 130
Tabel 6.5 Pernyataan Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015……………… 135
vi
Tabel 6.6 PenutupKompas & Republika Edisi 25 Juli 2015………………… 137
Tabel 6.7 5W+1HKompas & Republika Edisi 25 Juli 2015………………….. 138
Tabel 6.8 Detail Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015…………………... 141
Tabel 6.9 KoherensiKompas& Republika Edisi 25 Juli 2015………………… 144
Tabel 6.10 Bentuk Kalimat Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015……….. 145
Tabel 6.11 Kata Ganti Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015……………. 146
Tabel 6.12 Leksikon Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015……………… 147
Tabel 6.13 Grafis Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015…………………. 149
Tabel 7 Perbedaan Bingkai Kompas dan Republika……………………… 150
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari masyarakat
berbagai suku, budaya, ras dan agama. Selain itu, keberagaman masyarakat
Indonesia juga nampak dari tingkat pendidikan, ekonomi, dan sosial politik.
Perbedaan ini lah yang umumnya dapat berpotensi menjadi konflik sosial.1
Konflik sosial yang terjadi di Indonesia sebagian besar
diletarbelakangi isu etnoreligius. Seperti konflik ambon yang awalnya
dipengaruhi oleh persaingan distribusi ekonomi dan politik kemudian
berkembang menjadi perkelahian kelompok dan agama.2 Selanjutnya kasus
poso, bermula dari kekerasan terhadap seorang pemuda Muslim oleh tiga
pemuda Kristen yang sedang mabuk karena minuman keras. Sehingga
berbuntut panjang menjadi konflik antara kelompok agama Islam dan Kristen.
Kemudian konflik sambas yang terjadi antara penduduk lokal etnis Sambas
dengan penduduk pendatang asal Madura.3
Ihsan Ali Fauzi, Rudi Harisyah Alam dan Samsu Rizal Pangabean
menyatakan bahwa konflik atas nama agama menjadi sorotan utama karena
1 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropoligi Agama, (Ciputat: UIN Press,
2015), h. 70. 2Rusmin Tumangor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan
Pendekatan Riset Aksi Pertisipatori, (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan
Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan dan
Kemantrian Agama RI dan INCIS), h.31. 3Rusmin Tumangor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan
Pendekatan Riset Aksi Pertisipatori, h. 32.
2
intensitasnya yang tinggi dan pola persebaran konflik yang cukup merata di
Indonesia. Hasil penelitian Ikhsan Ali Fauzi dkk., tercatat terjadi 832 insiden
konflik pada 29 provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2008, yang
mengakibatkan 55.080 korban jiwa dan 1.993 kerugian materi.4
Dari hasil penelitian tersebut, konflik sosial di Indonesia dapat
dikategorikan sebagai kejadian luar biasa karena memiliki dampak yang cukup
besar dengan menelan banyak korban jiwa dan kerugian materil. Maka hampir
dapat dijumpai pemberitaan terkait konflik di berbagai media massa. Tentunya,
hal ini bersesuaian dengan nilai-nilai berita, diantaranya keluarbiasaan,
kebaruan, aktual, akibat, kedekatan, kejutan dan konflik.5
Peristiwa konflik sosial yang tak jauh berbeda dengan konflik-konflik
sebelumnya kembali terjadi di Indonesia. Pada 17 Juli 2015, bertepatan dengan
hari raya Idul Fitri terjadi peristiwa konflik di Tolikara, Papua. Konflik sosial
ini berlatar belakang isu etnoreligius. Konflik tolikara menyebabkan sejumlah
kios serta satu bangunan masjid terbakar.
Konflik Tolikara bermula dari beredarnya surat dari pihak kelompok
Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Papua terkait pelarangan penggunaan
pengeras suara dan shalat Ied di lapangan terbuka, dengan alasan di hari yang
sama akan diadakan seminar nasional GIDI. Namun umat Islam tetap
melaksanakan solat Ied di lapangan terbuka dengan dijaga pihak keamanan.
4 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UIN
Press, 2015), h. 73-78. 5 Pamela J Soemaker dan Stephen D. Reese, Mediating The Message Theories of
Influence on Mass Media Content, ((New York, USA: Longman Publisher, 1996), h. 111.
3
Buntut peristiwa tersebut terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah
besar massa dan berujung pada pada penyerangan yang dilakukan massa
tersebut pada pihak keamanan dan warga muslim yang hendak melaksanakan
shalat Ied. Kemudian pihak keamanan merasa terdesak hingga terpaksa
melepaskan tembakan dan menewaskan satu orang dari pihak GIDI. Hal
tersebut memicu kemarahan massa hingga massa menuju lokasi kios dan
membakarnya, kemudian api merebet ke sebuah masjid.6
Sejumlah media massa, baik media cetak, elektronik maupun online
turut menyoroti isu terkait konflik tolikara tersebut. Bahkan sebagian media
menjadikan pemberitaan ini sebagai headline. Pemberitaan terkait konflik
tolikara di media massa tentunya akan membawa pengaruh terhadap khalayak
banyak nantinya. Pengaruh tersebut dapat dikatakan apakah nantinya
pemberitaan konflik bisa menjadi hal positif atau justru sebaliknya. Hal ini
akan nampak dari cara media mengemas informasi terkait konflik, apakah
pemberitaan media akan membantu meredakan konflik dengan
menggambarkan situasi dan akar masalah yang bisa mendukung perbaikan
situasi dan perdamaian. Atau justru akan menyebabkan eskalasi konflik
semakin meluas dengan hanya menekankan pada aspek kekerasan dan
penggambaran yang tidak proporsional terhadap aktor yang berkonflik.
Sepatutnya konflik harus dihindarkan jika bisa dilakukan, setidaknya
berupaya untuk mencegah berulangnya konflik sosial di Indonesia. Peran
semua pihak diperlukan untuk menekan resiko konflik sosial di Indonesia,
6 “Muslim Papua Tak Terprovokasi, “ Republika, 20 Juni 2015, h. 1
4
termasuk peran pers. Peran pers dalam pengendalian konflik sosial tentunya
tidak secara langsung dalam upaya partisipasi lapangan ataupun upaya-upaya
memelihara perdamaian, membentuk perdamaian, membangun perdamaian,
dan penyelesaian nyata dari konflik yang telah terjadi. Namun peran pers
dalam pencegahan konflik dapat dilakukan sesuai dengan peranan pers yang
tertuang dalam undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers pasal 3 ayat 1
yang menyatakan fungsi pers diantaranya ialah sebagai media informasi dan
pendidikan.7
Terkait dengan pencegahan konflik dan fungsi pers sebagai media
informasi dan pendidikan. Maka seharusnya pers mampu menyajikan informasi
yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti menyajikan informasi dan
pendidikan terkait wawasan nusantara dan wawasan multikulturalisme.
Memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat bahwa interaksi
antar golongan memiliki potensi konflik. Namun, konflik merupakan suatu
keniscayaan dan suatu hal yang wajar dalam bermasyarakat yang perlu
dihadapi secara arif dan bijak.8
Namun, peran dan fungsi pers tersebut saat ini bias sebab
kepentingan-kepentingan yang bertarung didalamnya. Masing-masing media
dengan seperangkat pandangan, ideologi dan kebijakan media mencoba
membangun, menciptakan, mengembangkan, dan menyuguhkan pemberitaan
7Wina Armada Sukardi, Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik
Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2013), cet ke-II, h. 398. 8 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h. 71.
5
tersebut kepada masyarakat dengan angle yang berbeda. Sehingga peristiwa
yang sama memiliki sudut pandang yang warna-warni di berbagai media.
Kenyataan tersebut menandakan bahwa media saat ini mencoba
mengkonstruk pemberitaan. Berita sebagai konstruksi realitas, tentunya
dibangun atas penyusunan bahasa yang terbentuk dari kumpulan kata-kata.
Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur pertama dan instrument
pokok untuk mencitrakan realitas.9 Disini media dipandang sebagai agen
konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sosial sesuai dengan
kepentingannya.10
Media saat ini ditekan untuk menyajikan pemberitaan yang
sesuai kehendak dan kepentingan golongan tertentu. Media tidak lagi
memegang prinsip jurnalisme, dimana kewajiban pertama awak media ialah
kepada khlayak.11
Media mencoba mengkonstruk realitas dengan cara melakukan
penyeleksian isu, dimana media mencoba melakukan pemilihan fakta. Aspek
mana yang akan ditampilkan dan mana yang tidak. Mengalihkan fakta yang
satu dengan fakta lain, atau bahkan mungkin menutupi sisi tertentu. Selain itu,
media juga mencoba menonjolkan satu aspek tertentu dari pemberitaan,
sehingga tampak menarik dan melekat dihati khalayak.12
9Ibnu Hamad dan Agus Sudibyo, M. Qodari, Kabar-kabar Kebencian Prasangka di
Media Massa, (Jakarta: ISAI, 2001), h. 69. 10
Luwi Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2005), h. 177. 11
Bill Kovach dan Tom Rosenstill, Elemen-elemem Jurnalisme: Apa yang
Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik, (Jakarta: ISAI dan Kedutaan
Amerika Serikat, 2004), cet ke-II, h. 60. 12
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta:
LKiS, 2012), cet ke-VII, h. 224.
6
Jika demikian, bukan tidak mungkin jika masyarakat akan memiliki
gambaran tentang suatu peristiwa sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh
media yang ia lihat atau ia baca. Masyarakat bisa saja menganggap satu pihak
sebagai pahlawan dan pihak lain sebagai penyebab kekacauan, padahal belum
tentu pihak yang dianggap penyebab kekacauan melakukan kesalahan. Inilah
dampak dari pemaknaan yang disuguhkan media. Tanpa sadar khlayak digiring
untuk sepaham dan sependapat dengan media tertentu.
Bingkai pemberitaan dari media yang berbeda-beda ini akan
menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.13
Terlebih untuk memperkuat
kebenaran atas pemberitaannya, media mencoba menyuguhkan berbagai
argumentasi yang dinilai kuat untuk mendukung gagasannya tersebut.
Sehingga tak heran, jika hasil konstruksi atas realitas bentukan media nampak
benar dan terlihat apa adanya, sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.
Media yang mengangkat pemberitaan terkait insiden Tolokara
diantaranya ialah Harian Umum Republika dan Kompas. Kedua surat kabar
tersebut secara barturut-turut, edisi 20-25 Juli 2015 memberitakan isu terkait
insiden di Tolikara. Republika, dalam enam edisi menjadikan berita tersebut
sebagai headline. Tak jauh berbeda dengan Kompas, dari keenam edisi
tersebut, tiga diantaranya Kompas turut menjadikan pemberitaan ini sebagai
headline. Sedangkan sebagainnya lagi terdapat pada rubrik Politik dan Hukum.
Melihat dari penelitian sebelumnya terhadap pemberitaan di Harian
Kompas selama Januari 1990 hingga Agustus 2008 mengungkapkan fakta
13
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta:
LKiS, 2012), cet ke-VII, h. 225.
7
bahwa wilayah persebaran aksi damai terkait konflik keagamaan di Indonesia
lebih luas dibandingkan dengan aksi kekerasan.14
Kemudian terkait konflik di
tolikara, bagaimana Kompas membingkai pemberitaan konflik tolikara?
akankah Kompas kembali membingkai pemberitaan konflik pada aspek aksi
perdamai seperti yang diungkap dalam penelitian sebelumnya, atau justru
berbeda? Lalu, bagaimana dengan pembingkaian Republika dalam pemberitaan
konflik di tolikara?
Mengingat pemilihan media cetak Harian Republika dan Kompas
dalam penelitian ini menjadi menarik, tentunya didasari dengan alasan dari
penulis. Dilihat dari sumbu konflik yang terjadi di Tolikara terindikasi adanya
isu konflik yang dilatar belakangi isu konflik religius antara penganut agama
yang berbeda, yakni umat Nasrani dan Muslim. Maka pengangkatan kedua
media ini sangat mempengaruhi alasan penulis dari sisi kepemilikan dan
ideologi kedua media tersebut. Dimana Republika didirikan dari cita-cita para
cendekiawan Muslim se-Indonesia yang tergabung dalam organisasi Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Selain itu, Republika juga dikenal
dengan media beridiologi islam.15
Sedangkan Harian Kompas diterbitkan oleh
Yayasan Bentara Rakyat yang dipimpin oleh para pimpinan partai Katolik dan
pimpinan organisasi-organisasi Katolik, diantaranya ialah Jakob Oetama dan
Petrus Kanisius Ojong.16
14
Hasil Penelitian Ikhsan Ali Fauzi, dkk., dalam Rusmin Tumanggor dan Kholis
Ridho, Antropoligi Agama, h. 75. 15
Company Profile, Pusat Data Harian Umum Republika, h. 1. 16
F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2010), h. 2.
8
Pertanyaan dan pernyataan tersebut yang ada dibenak penulis,
sehingga penulis merasa tertarik untuk mengungkap jawaban atas pertanyaan
dan pernyataan tersebut. Oleh karena itu, penulis memilih kajian skripsi yang
berjudul “Analisis Framing Pemberitaan Konflik Tolikara Pada Harian
Kompas dan Republika”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penulisan ini lebih terarah, maka penulisan
skripsi ini dibatasi pada analisis tekstual dari berita “Konflik tolikara”. Adapun
media cetak yang akan dinalisis ialah Harian Umum Republika dan Kompas,
edisi 20, 21, 24, dan 25 Juli 2015.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada bagian
sebelumnya dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang
akan dibahas antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana bingkai pemberitaan konflik tolikara pada Harian Kompas dan
Republika?
2. Bagaimana perbedaan bingkai pemberitaan konflik tolikara pada Harian
Kompas dan Republika?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bingkai pemberitaan konflik tolikara pada surat kabar
Republika dan Kompas.
9
2. Mengetahui perbedaan bingkai pemberitaan konflik tolikara pada Harian
Kompas dan Republika
Dari tujuan penulisan di atas, maka penelitian ini memiliki manfaat
secara akademis dan praktis.
1. Manfaat Akademis
Dalam segi akademis penelitian ini dilakukan guna mengaplikasikan
teori analisis faraming Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki untuk memahami
bagaimana bingkai berita konflik tolikara pada harian Kompas dan Republika.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan refrensi terhadap kajian
analisis framing di media massa. Khususnya kajian analisis faraming model
Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki. Model analisis teks yang dikemukakan
Pan dan Kosicki ini melalui empat elemen (sintaksis, skrip, tematik, dan
retoris) dan setiap elemen memiliki unit-unit yang secara runtun membedah
teks mulai dari judul hingga penutup. Sehingga teks dapat diamati dengan lebih
rinci dan detail.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan oleh penulis dalam usaha memahami
pembingkaian pada media cetak Republika dan Kompas terkait pemberitaan
Konflik tolikara ialah paradigma kontruktivisme. Paradigma konstruktivisme
memandang bahwa realitas bukanlah suatu hal yang natural, melainkan hasil
10
dari sebuah konstruksi.17
Dengan paradigma ini penulis akan melihat dan
mengetahui bagaimana media mengkonstruksi realitas. Titik perhatian dalam
paradigma ini tidak terletak pada bagaiman seseorang mengirimkan pesan,
melainkan bagaimana masing-masing pihak terlibat proses komunikasi dalam
memproduksi dan mempertukarkan makna.
Penulisan dengan paradigma konstruktivis memiliki beberapa
karakteristik, diantaranya; memiliki tujuan untuk menentukan realitas yang
terjadi sebagai hasil interaksi antara penulis dengan objek penilitian, penulis
melibatkan dirinya dengan realitas yang diteliti, makna yang dihasilkan dari
suatu teks merupakan hasil negosiasi antara teks dengan penulis, hasil
penulisan merupakan interaksi antara penulis dan objek penulisan, subjektivitas
penulis menjadi dasar dari proses analisis, kualitas dilihat dari sejauh mana
penulis mamapu menyerap dan mengerti bagaimana individu mengkonstruksi
realitas.18
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mencari makna terhadap sesuatu.
Penelitian kualitatif berupaya menghimpun data, mengolah data, dan
menganalisa suatu data. Penelitian dengan metode ini dilakukan lebih
mendalam dalam penangkapan suatu makna atau masalah.19
Penelitian
17
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, (Yogyakarta:
PT LKiS Printing Cemerlang, 2012), cet. Ke-VII, h.43. 18
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 51-74. 19
Lexy J. Moleong, Metode Penulisan Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya,
2005), h. 13.
11
kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan data visual dan data
verbal di mana proses dalam penulisannya menggunakan metode pengumpulan
data dan metode analisis data.20
Dengan pendekatan kualitatif ini tidak
menghitung seberapa banyak data, namun diutamakan data yang diperoleh
kemudian dimaknai secara mendalam.
3. Subjek dan Objek Penulisan
Subjek dalam penulisan ini adalah harian Republika dan
Kompas.Sedangkan yang menjadi objek penulisan ialah berita seputar Konflik
tolikara edisi 20, 21, 24, dan 25 Juli 2015.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
Penulisan ini dilakukan mulai bulan Juli 2015. Tempat penulisan
dimulai dikediaman penulis sendiri kemudian dilanjutkan dengan
mewawancarai pihak redaksi dari kedua media tersebut. Berita terkait konflik
tolikara pada harian Republika dalam edisi yang diteliti selalu menjadi
headline. Sehingga, keterangan dari Redaktur Halaman Utama Republika,
Fitriyan Zamzami dirasa perlu. Karena, tentunya ia memiliki wewenang dalam
proses pembingkaian atas berita tersebut.
Begitupun dengan Kompas, pemberitaan terkait konflik tolikara dalam
beberapa edisi menjadi headline dan sebagian besar terdapat pada rubrik politik
dan hukum. Sehingga, keterangan dari pihak yang menangani rubrik poltik dan
hukum pada Harian Kompas perlu untuk mengetahui dan mengkonfrmasi hasil
temuan teks terkait pembingkaian berita tersebut. Oleh karenanya, penulis
20
M. Antonius Birowo, MetodePenulisan Komunikasi Teori dan Aplikasi, (Gitanyali:
Yogyakarta, 2004), h.2.
12
mewawancarai Redaktur Rubrik Politik dan Hukum Kompas, Sutta
Dharmasaputra.
5. Teknik Analisis Penelitian
Berdasarkan dari permasalah di atas penulis akan menghubungkan
fakta-fakta temuan dari kedua surat kabar tersebut terkait pemberitaan Konflik
tolikara dengan kerangka analisis framing. Analisi framing yang digunakan
oleh penulis ialah analisis framing yang dikemukakan oleh Zhongdang Pan dan
Gerald M. Kosicki. Dalam pendangan Pan dan Kosicki perangkat framing
dapat dibagi menjadi empat struktur besar, yakni struktur sintaksis yang
berhubungan dengan bagaimana wartawan menyususn peristiwa. Kemudian
struktur skrip yang berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan
atau menceritakan peristiwa kedalam bentuk berita. Struktur tematik,
berhubungan dengan bagaiman wartawan mengungkapkan pandangannya atas
peristiwa kedalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang
membentuk teks secara keseluruhan. Terakhir ialah struktur retoris, yang
berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam
berita.21
Table 1.1
Model Analisis Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
STRUKTUR PERANGKAT
FRAMING
UNIT YANG
DIAMATI
SINTAKSIS
Cara wartawan
menyusun fakta
1. Skema berita
Headline, lead, latar
informasi, kutipan,
sumber, pernyataan,
penutup
21
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h.294.
13
SKRIP
Cara wartawan
mengisahkan fakta
2. Kelengkapan berita 5W+1H
TEMATIK
Cara wartawan
menulis fakta
3. Detail
4. Koherensi
5. Bentuk kalimat
6. Kata ganti
Paragraf, proposisi,
kalimat, hubungan
antarkalimat
RETORIS
Cara wartawan
menekankan fakta
7. Leksikon
8. Grafis
9. Metafora
Kata, idiom,
gambar/foto, grafik
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Dokumentasi sebagai suatu metode pengumpulan data, bertujuan
menggali data-data secara sistematis dan objektif, ini merupakan instrument
pengumpulan data yang bertujuan mendapatkan informasi yang mendukung
analisis dan interpretasi data.22
Dokumentasi yang dimaksud dalam penulisan
ini didapatkan dari surat kabar Republika dan Kompas edisi 20, 21, 24, dan 25
Juli 2015 yang memuat berita terkait Konflik tolikara.
b. Wawancara
Wawancara dalam penulisan ini dilakukan dengan wawancara
mandalam, bebas namun dituttut pedoman wawancara.Wawancara dalam riset
kualitatif yang disebut sebagai wawancara intensif, bebas namun terarah sesuai
dengan konteks pembahasan.23
Penulis mewawancarai Redaktur Pelaksana Kompas Sutta
Dharmasaputra dan Redaktur Halaman Utama Republika Fitriyan Zamzami,
22
Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2008),
Edisi 1, cet ke-III, h. 100. 23
Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2008),
Edisi 1, cet ke-III, h. 36.
14
untuk mengkonfirmasi data sekunder yang berupa temuan dari beberapa
dokumantasi surat kabar Republika dan Kompas terkait pemberitaan Konflik
tolikara.
H. Tinjauan Pustaka
Sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada
beberapa penulisan yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa diantaranya
adalah penulisan skripsi berjudul “Analisis Framing Pemberitaan Gayus
Tambunan di Republika dan Media Indonesia” karya Ririn Restu Utami,
Mahasiswi Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta. Kemudian penulisan karya
Reza Andrian dengan judul “Analisi Framing Berita Konflik Muslim Rohingya
Dan Budha Rakhine Di Myanmar Pada Republika Online dan DetikCom
Periode Juni 2012”, skripsi karya Marisha Arianti Agustin mahasiswi
Jurnalistik, dengan judul “Wacana Mundurnya Luthfi Hasan Ishaaq pada
Pemberitaan Harian Kompas”. Serta skripsi karya Rahmadaniati Marchelina
dengan judul “Analisis Framing Pemberitaan Harry Tanoesoedibjo di Harian
Media Indonesia dan Seputar Indonesia”. Beberapa tinjauan pustaka tersebut
dijadikan acuan oleh penulis, karena terdapat persamaan jenis penelitian yakni
mengenai framing. Namun tentunya terdapat perbedaan antara skripsi tersebut
dengan skripsi penulis, yakni mengenai kasus yang diangkat, media massa
yang menjadi objek penelitian, serta konsep yang digunakan, hasil temuan dan
analisis data
15
I. Sistematika Penulisan
BAB I: Pada bab ini dijabarkan mengenai latar belakang masalah yang
diambil oleh penulis, batasan serta rumusan masalah, tujuan
serta manfaat penulisan, metodologi penulisan, tinjauan pustaka
dan bagian akhir dari bab ini ialah sistematika penulisan.
BAB II: Bab ini akan dibahas menenai landasan teori dan teknik analisis
framing yang digunakan sebagai mata pisau dalam menganalisis
data temuan.
BAB III: Pada bab ini pemb ahasan terkait gambaran umum dari kedua
media cetak, yakni gambaran keseluruan mengenai Harian
Umum Republika dan Kompas.
BAB IV: Bagian bab ini akan dibahas secara mendalam dan terperinci
hasil dari temuan serta hasil analisis dari pemberitaan Konflik
tolikara pada Harian Umum Republika dan Kompas edisi 20,21,
24 dan 25 Juli 2015 yang dihubungkan dengan argumentasi serta
teori-teori yang terdapat pada bab II.
BAB V: Bab penutup dari berbagai sub bab yang terdapat dalam
penyusunan skripsi ini merangkum seluruh kesimpulan dan
saran dari permasalahan yang diangkat.
16
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Teori
B. Teori Konstruksi Sosial
Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya “The
Social Construction of Reality, a treatise in the Socialogical of Knowledge”
berpandangan bahwa sebuah realitas merupakan suatu bentukan
(konstruksi). Konsturksi sosial menggambarkan dimana terjadinya proses
sosial melalui tindakan dan interaksi, individu menciptakan secara terus
menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.17
Konstruksi merupakan suatu teori yang dapat digunakan dalam
metode analisis framing. Teori ini mengenai pembentukan sebuah realitas
yang dilihat dari bagaimana sebuah realitas sosial itu memiliki makna.
Sehingga realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi oleh individu secara
subjektif kepada individu lainnya sehingga realitas tersebut dapat dilihat
secara objektif dan pada akhirnya individu akan mengkonstruksi realitas
yang ada dan merekonstruksikan kembali ke dalam dunia realitasnya.
Manusia memaknai dirinya dan objek di sekelilingnya berdasarkan
sifat-sifat atau sensasi yang dialaminya saat berhubungan dengan objek
tersebut. Pemaknaan tersebut berasal dari tindakan yang terpola dan terjadi
secara terus menerus yang pada akahirnya mengalami objektifasi dalam
kesadaran mereka yang mempersepsikannya. Dalam aspek psikologis
17
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Kencana: Jakarta, 2006. Cet ke-1, 193.
17
manusia melihat sebuah realitas akan memiliki persepsi yang berbeda sesuai
dengan apa yang dipahaminya. Oleh kerenanya, realitas yang sama bisa jadi
akan dipahami dan digambarkan secara berbeda pula oleh setiap individu.
Individu mampu secara aktif dan kreatif mengembangkan segala realitas
sesuai dengan stimulus dalam kognitifnya.
Berger dan Luckman menyatakan bahwa proses konstruksi sosial
ada melalui tiga moment simultan. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian
diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.18
Kedua,
obyektifasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif
yang dilembagakan.19
Dalam tahap ojektifasi yang terpenting adalah
pembuatan signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia.20
Ketiga, internalisasi, yaitu proses di mana individu mengidentifikasi dirinya
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di tempat individu
menjadi anggotanya.21
Proses pembentukan realitas dalam media massa memiliki tiga
tahap, yang terdiri dari tahap menyiapkan materi konstruksi, tahap sebaran
konstruksi dan tahap pembentukan konstruksi realitas. Dalam tahap
menyiapkan materi konstruksi yang terpenting adalah melihat keberpihakan
media massa kepada kapitalisme yang menjadi dominan, mengingat dimana
media massa adalah mesin produksi kapitalis yang harus menghasilkan
keuntungan. Pada tahap sebaran konstruksi, dilihat dari strategi media massa
18
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana: Jakarta, 2008, h.15. 19
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 15. 20
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 17. 21
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 15-16.
18
dalam menyebarkan informasi. Pada umumnya persebaran konstruksi sosial
media massa menggunakan model satu arah. Dimana media berkuasa penuh
terhadap penyebar informasi dan penonton atau pembaca tidak memiliki
pilihan selain mengonsumsi informasi tersebut. Selanjutnya, tahap
pembentukan konstruksi realitas, yang terdiri atas pembentukan konstruksi
realitas, pembentukan konstruksi citra. Tahapan terakhir mengkonfirmasi,
tahapan ini ketika media massa maupun pembaca memberi argumentasi dan
akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan
konstruksi.22
Realitas yang ditampilkan oleh media pada dasarnya merupakan
hasil konstruksi media itu sendiri. Realitas dalam media massa dikonstruksi
dengan melalui tiga tahap, yaitu tahap konstruksi realitas pembenaran,
kesediaan dikonstruksi oleh media massa dan sebagai pilihan konsumtif.
Pertama, konstruksi realitas pembenaran merupakan realitas yang dikonstuksi
media massa dan apa yang disajikan di media massa seluruhnya diangap
sebagai suatu kebenaran. Kedua, tahap kesediaan dikonstruksi oleh media
massa, kesediaan khalayak menjadi konsumen media. ketiga, tahap pilihan
konsumtif, yaitu ketergantungan individu terhadap media.23
2.Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
Gagasan mengenai framing pertama kali dikemukakan oleh Beterson
tahun 1995. Saat itu, framing dimaknai sebagai struktur konseptual atau
perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan,
22
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 195-197. 23
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h.212-213.
19
dan wancana, serta yang menyediakan ketegori-kategori standar untuk
mengapresiasi realitas. Kemudian konsep ini dikembangkan lebih jauh oleh
Erving Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-
kepingan prilaku (strip of behavior) yang membimbing individu membaca
realitas.24
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk
membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.
Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke
dalam berita agar bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat,
untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.25
Dari
pemahaman tersebut dapat diartikan bahwasaanya framing ialah suatu
pendekatan untuk mengetahui dan memahami bagaimana wartawan saat
memproduksi berita, yakni bagaimana wartawan menyeleksi dan
menuliskan berita. Cara pandang tersebut akhirnya menentukan mana fakta
yang akan diambil, mana bagian yang akan ditonjolkan atau sembunyikan,
serta hendak dibawa kemana berita tersebut.26
Kerenanya, berita menjadi
manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu
yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakan.27
24
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 161-162. 25
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h, 162. 26
Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita,
(Jakarta: ISAI, 1999), h. 21. 27
Teguh Irawan, Media Surabaya Mengaburkan Makna, (Jakarta: Pantau Edisi 9,
2000), h. 65-73.
20
Selain itu terdapat beberapa definisi mengenai framing yang
dikemukakan oleh para tokoh. Menurut William A. Gamson, framing ialah
cara bercerita atau gagasan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan
menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan
(package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang
digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia
sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
Menurut Robert N. Etnman framing ialah proses seleksi dari berbagai aspek
realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol ketimbang
aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam
konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar
dari pada sisi yang lain.28
Menurut George Junus Aditjondro dalam Arifatul Choiri Fauzi,
mengartikan framing sebagai sebuah penyajian realitas di mana kebenaran
tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tetapi dibelokak secara
halus, memberikan sorotan pada terhadap aspek-aspek tertentu saja,
menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, bantuan
foto, karikatur, dan menggunakan alat ilustrasi lainnya.29
Sejalan dengan hal tersebut, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
memaknai framing sebagai strategi konstruksi dan memproses berita.
28
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 77-78. 29
Arifatul Choiri Fauzi, kabar-kabar Kekerasan dari Bali, (Yogyakarta: LKIS,
2007), h. 28.
21
Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan
peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan
berita.30
Pengertian tersebut menegaskan bahwasnnya konsep framing akan
melihat bagaimana media membingkai isu-isu, sehingga akan nampak
kearah mana pemberitaan tersebut akan diarahkan.
Proses framing terkadang dibenturkan dengan alasan-alasan teknis
seperti keterbatasan kolom dan halaman (pada media cetak) dan waktu
(pada media elektronik), jarang ada media yang membuat berita secara utuh
mulai dari menit pertama kejadian hingga menit akhir. Atas nama kaidah
jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar dan rumit dicoba “disederhanakan”
melalui mekanisme pembingkaiaan fakta-fakta dalam bentuk berita
sehingga layak terbit atau layak tayang.31
Terdapat dua aspek dalam framing, yakni memilih fakta atau realitas
dan menuliskan fakta.32
Pertama, memilih fakta merupakan proses dimana
seorang wartawan melihat suatu peristiwa. Fakta dipilih berdasarkan asumsi
serta perspektif wartawan. Wartawan akan memilih realitas mana yang akan
diambil dan memilih angle tertentu. Dengan pemilihan ini artinya terdapat
aspek tertentu dari realitas yang tidak diberitakan dan aspek tertentu justru
ditonjolkan. Jika demikian, tentunya pemahaman dan konstruksi realitas
atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain.
Kedua, menuliskan fakta atau realitas. proses ini merupakan
bagaimana cara wartawan menyajikan fakta yang telah dipilih dengan cara
penonjolan realitas. Bagaimana wartawan menekankan fakta tersebut dalam
bentuk kata, kalimat dan proposisi tertentu serata dengan bantuan aksentuasi
30
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h.79. 31
Ibnu Hammad, Konstruksi Realitas Politik, (Jakarta: Granit, 2004), h.21. 32
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 81.
22
foto dan gambar. Selain itu fakta yang telah dipilih ditekankan agar nampak
lebih menonjol, misalnya dengan nempatkan sebagai headline depan atau
bagian belakang, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan
meperkuat penonjolan, pemakaian lebel tentu untuk mendeskripsikan orang
atau peristiwa, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi,
dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya.
Pemilihan fakta dan penulisan fakta yang menggunakan kata, kalimat
atau foto itu merupakan hubungan memilih aspek tertentu dari realitas.
Aspek tertentu yang sengaja ditonjolkan tersebut akan mendapatkan alokasi
dan perhatian yang besar dibanding aspek lain. Sehingga kemenonjolan
tersebut, memiliki peluang besar untuk sebuah berita diperhatikan, dianggap
lebih bermakna dan akan lebih diingat oleh khalayak.
Model analisis framing diperkenalkan oleh banyak tokoh, salah
satunya ialah model analisis framing yang dikenalkan oleh Zhongdang Pan
dan Gerald M. Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki terdapat dua konsepsi
framing yang berkaitan, yakni konsep psikologi dan konsep sosiologi.
Konsep psikologi lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses
berita dalam dirinya. Sedangkan konsep sosiologis menekankan pada
bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan
menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di
luar dirinya.
Framing dimaknai sebagai suatu strategi atau cara wartawan dalam
mengkonstruksi dan memproses peristiwa untuk disajikan kepada khalayak.
23
Dalam proses konstruksi berita, wartawan tidak hanya dibekali oleh pikiran
yang ada dalam dirinya saja. Namun, proses mengkonstruksi berita akan
melibatkan nilai-nilai sosial yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana
realitas akan dipahami. 33
Pendekatan framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki terbagi
kedalam empat struktur besar; struktur sintaksis, struktur skrip, struktur
tematik dan struktur retoris.34
Melalui keempat struktur ini, dapat dilihat
bagaimana kecondongan wartawan dalam memahami suatu peristiwa dan
menginterpretasikan pemahamannya ke dalam bentuk berita. Pendekatan-
pendekatan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai
berikut:
Table 1.2
Konsep Analisis Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
STRUKTUR PERANGKAT
FRAMING
UNIT YANG
DIAMATI
SINTAKSIS
Cara wartawan
menyusun fakta
1. Skema berita
Headline, lead, latar
informasi, kutipan,
sumber, pernyataan,
penutup
SKRIP
Cara wartawan
mengisahkan fakta
2. Kelengkapan
berita
5W+1H
TEMATIK
Cara wartawan
menulis fakta
3. Detail
4. Koherensi
5. Bentuk kalimat
6. Kata ganti
Paragraf, proposisi,
kalimat, hubungan
antarkalimat
RETORIS
Cara wartawan
7. Leksikon
8. Grafis
9. Metafora
Kata, idiom,
gambar/foto, grafik
33
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 292. 34
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media,h. 294.
24
menekankan fakta
Tabel tersebut merupakan gambaran struktur dari perangkat framing
Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pertama, struktur sintaksis
berhubungan dengan bagaimana wartwan menyusun peristiwa, menyususn
pernyataan, opini, kutipan pengamatan atas peristiwa kedalam bentuk
susunan berita. Sintaksis dalam pengertian umum adalah susunan kata atau
frase dalam kalimat.35
Dalam wacana berita, sintaksis merujuk pada
pengertian susunan dan bagian berita seperti headline, lead, latar informasi,
sumber, penutup yang terdapat dalam satu kesatuan teks berita secara
keseluruhan.36
Biasanya struktur sintaksis yang paling populer dalam teks
berita ialah bentuk piramida terbalik, dimana bagian yang atas ditampilkan
lebih penting dibanding dengan bagian bawahnya. Selain itu struktur
piramida terbalik ini mengacu pada pengorganisasian bagian-bagian struktur
yang runtut, seperti headline (judul utama), lead (kepala berita atau
penduhuluan), episode (runtutan cerita), background (latar belakang), dan
ending or conclusion (penutup atau kesipulan).
Headline merupakan aspek sintaksis yang menunjukan tingkat
kemenonjolan dan kecenderungan berita. Pembaca cenderung mengingat
headline ketimbang bagian berita. Headline mempengaruhi bagaimana
35
Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2000), h. 36. 36
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 296.
25
kisah dimengerti untuk kemudian digunakan dalam membuat pengertian isu
dan peristiwa sebagaimana media paparkan.37
Headline biasanya menjadi pusat perhatian pembaca sebelum bagian
berita lainnnya, oleh sebab itu kemasan dan variasi dari headline dibutuhkan
untuk lebih menarik bagi pembaca. Terdapat beberapa jenis headline yang
didasarkan pada kepentingan berita, keserasian (susunan), baris headline-
nya (deks), tipografi, penempatan berita (di halaman surat kabar atau
majalah). Beberapa jenis headline tersebut ialah;38
1. Banner headline, digunakan untuk berita yang dianggap sangat penting.
Headline dibuat dengan jenis dan ukuran huruf yang mencerminkan sifat
gagah dan kuat, dalam arti hurufnya lebih besar dan lebih tebal
ketimbang jenis headline lainnya, serta menduduki tempat lebih dari
empat kolom surat kabar.
2. Spread headline, untuk berita penting. besar dan tebal hurufnya lebih
kecil dari jenis banner headline. tempat yang diperlukannya pun hanya
tiga atau empat kolom saja.
3. Secondary headline, untuk berita yang kurang penting. Ukuran dan
ketebalan hurufnya lebih kecil dari spread headline. tempat yang
disediakan untuk headline jenis ini tidak lebih dari dua kolom.
4. Surbordinated headline, untuk berita yang dianggap tidak penting.
kehadirannya terkadang dibutuhkan hanya untuk menutup tempat kosong
pada halaman yang bersangkutan. Kosong dalam arti sisa tempat pada
halaman yang memuat berita-berita lain yang dianggap lebih penting.
karena itu tempatnya pun tidak lebih dari satu kolom dan dengan ukuran
huruf serta ketebalan lebih rendah ketimbang jenis lainnya.
Selain headline, lead juga merupakan perangkat sintaksis lain yang
sering digunakan. Lead pada umumnya menunjukan sudut pandang dari
berita serta menunjukan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan.
Lead yang disebut juga teras atau intro dalam berita ialah sebuah kalimat
37
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 297. 38
Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk & Kode
Etik, (Bandung: Nuansa, 2004), h. 115-116.
26
atau sejumlah kalimat pertama pada sebuah berita yang dimaksudkan untuk
menarik minat agar khlayak mengikuti berita tersebut. Lead juga
dimaksudkan untuk membuat jalan supaya alur berita tersusun dan untuk
menekankan arti berita.39
Lead berita terbagi menjadi beberapa macam. Pada berita yang ditulis
dengan cara piramida terbalik lead terbagi menjadi dua macam. Pertama,
formal lead yaitu lead yang mengandung unsur (5W+1H). Kedua, informal
lead yaitu lead yang hanya mengandung sebagian unsur berita.40
Selain headline dan lead ada pula aspek sintaksis lain yakni latar atau
latar belakang dari sebuah peristiwa. Melalui latar yang dipilih akan
menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa. Kenampakan
latar biasanya berada pada awal bagian berita sebelum pendapat wartawan
yang sebenarnya muncul. Hal ini memberikan kesan bahwa pendapat
wartawan dalam berita nantinya bukanlah pandangan subjektif dari
wartawan, namun padangannya sangat beralasan. Melalui latar dapat
diketahui bagaimana wartawan memberi pemaknaan atas suatu peristiwa.
Kemudian yang termasuk dalam struktur sintaksis ialah pengutipan
sumber berita. Bagian ini dalam penulisan berita dimaksudkan untuk
membangun objektivitas. Pengutipan sumber berita juga bertujuan untuk
memberikan penekanan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan bukanlah
39
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, Desember 2005), h.
97-98. 40
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, h. 97-98.
27
pendapat wartawan melainkan pendapat dari orang yang mempunyai
otoritas tertentu.41
Pengutipan sumber ini menjadi prangkat framing atas tiga
hal. Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang
dibuat dengan mandasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Kedua,
menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang
berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang
dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan
tersebut tampak sebagai menyimpang. 42
Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur
yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa kedalam bentuk
berita.43
Umumnya bentuk skrip yang dibuat wartawan memenuhi pola
5W+1H (who, what, when, where, why, dan how). Namun, terkadang tidak
semua pemberitaan terkandung unsur-unsur tesebut. Unsur kelengkapan
berita ini akan menjadi penanda penting dari framing. Melalui skrip
wartawan mampu mengkonstruksi berita, bagaimana suatu peristiwa
dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-bagian peristiwa
dengan urutan tertentu.44
Melalui skrip wartawan mampu memberikan
tekanan bagian mana yang didahulukan dan bagian mana yang
disembunyikan. Cara penyembunyian tersebut dapat dilakukan dengan
41
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 298. 42
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 298-299. 43
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 175. 44
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 300.
28
menaruh bagian tersebut diakhir paragraf teks berita, sehingga memberi
kasan informasi tersebut tidak atau kurang penting.
Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan
mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat
atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.45
Tematik menurut Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis:
peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip, dan pernyataan yang
diungkapkan, semua perangkat itu digunakan untuk membuat dukungan
yang logis bagi hipotesis yang dibuat.46
Struktur tematik melihat bagaimana
fakta tersebut ditulis, bagaimana kalimat yang digunakan, bagaimana
menempatkan dan menulis sumber ke dalam teks berita secara keseluruhan.
Elemen dari struktur tematik diantaranya ialah koherensi. Koherensi
ialah pertalian atau jalinan antarkata, proposisi atau kalimat.47
Koherensi ini
berfungsi intuk menggabungkan dua kalimat atau dua proposisi dari fakta
yang berbeda, sehingga kedua fakta tersebut tampak memiliki kaitan
(berhubungan). Jelasnya, koherensi memberikan kesan kepada khlayak
bagaimana dua fakta diabstraksikan dan dihubungkan.Terdapat beberapa
jenis koherensi; pertama, koherensi sebab-akibat. Kalimat atau proposisi
satu dipandang sebagai akibat atau sebab dari proposisi lain. Contoh kata
penghubungnya ialah “mengakibatkan” atau “menyebabkan”. Kedua,
45
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 176 46
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 301. 47
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 302.
29
koherensi penjelas. Kalimat atau proposisi yang satu sabagai penjelas dari
proposisi lain. Koherensi penjelas ini ditandai dengan kata “dan”, “lalu”,
atau “yang”. Ketiga, koherensi pembeda. Proposisi atau kalimat satu
dipandang sebagai lawan dari proposisi atau kalimat lain. Koherensi
pembeda ini ditandai dengan kata hubung “dibandingkan” atau
“sedangkan”.
Kemudian yang termasuk kedalam struktur tematik adalah detail.
Detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan wartawan.48
Melalui elemen detail dapat diketahui bagaimana wartawan
mengekspresikan sikapnya secara tersembunyi. Melalui detail akan nampak
seberapa besar ruang yang disediakan wartawan untuk menguraikan aspek
tertentu dari pemberitaan. Detail dapat diketahui dengan melihat
keseluruhan dimensi peristiwa, bagian mana yang diuraikan secara panjang
lebar dan bagian mana yang diuraikan dengan detail sedikit. Mengapa
wartawan lebih memilih menguraikan dimensi tertentu dan bukan dimensi
lain? Apa efek dari penguraian detail itu terhadap seseorang atau kelompok
atau gagasan yang diberitakan oleh wartawan.49
Elemen berikutrnya dalam prangkat tematik ialah bentuk kalimat.
Bentuk kalimat ialah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir
logis, yaitu prinsip kausalitas. Logika kausalitas jika diterjemahkan ke
dalam bahasa menjadi susunan subjek (kata yang menerangkan) dan
predikat (yang diterangkan). Dari bentuk kalimat dapat diamati makna yang
dibetuk dalam susunan kalimat. Dalam kalimat berstruktur aktif, seseorang
menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan kalimat berstruktur pasif
seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Struktur kalimat dapat dibuat
48
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 238. 49
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 239.
30
aktif maupun pasif, namun umumnya pokok yang dipandang penting selalu
ditempatkan diawal kalimat.50
Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek dieksperesikan secara
implisit atau eksplisit dalam teks. Penempatan kalimat diawal atau diakhir
dapat mempengaruhi makna yang timbul karena akan menunjukan bagian
mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak. Bentuk kalimat dapat pula
diamati dalam teks berita dari bentuk kalimat yang digunakan. Apakah
berita tersebut menggunakan bentuk deduktif atau induktif. Kalimat
deduktif ialah kalimat yang inti kalimatnya (umum) berada diawal kalimat
dan kemudian kalimat khusus. Sedangkan kalimat induktif sebaliknya,
dimana kalimat khusus diletakan diawal, dan inti kalimat diletakkan di
akhir. Dalam bentuk kalimat deduktif, penonjolan terhadap aspek tertentu
lebih terlihat sementar dalam bentuk induktif inti kalimat nampak samar
dan tersembunyi, karena diletakan diakhir kalimat.51
Kemudian dari elemen kata ganti. Kata ganti merupakan alat yang
dipakai oleh komunikator untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam
wacana. Pemakaian kata ganti “kita” atau “kami” mempunyai gambaran
menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik
dan oposisi hanya kepada diri sendiri. Selain itu kata ganti “kami”
menandakan batas antara komunikator dan khalayak dengan sengaja
dihilangkan untuk menunjukan apa yang menjadi sikap komunikator juga
menjadi sikap khalayak. Berbeda jika menggunakan kata “saya” atau “kita”,
50
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 251. 51
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 252.
31
seolah menunjukan sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator
semata-mata. Begitupun dengan kata ganti “kami” dan “mereka” justru
menciptakan jarak dan memisahkan antara pihak “kami” dan “mereka”.
Untuk yang dianggap sependapat dengan wartawan maka digunakan kata
ganti “kami”, tetapi bagi yang tidak sependapat digunakan kata ganti
“mereka”.52
Kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa
dengan menciptakan suatu komunitas inmajinatif.53
Struktur retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan
menekankan arti tertentu kedalam berita.54
Struktur retoris dari wacana
berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan
untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan.
Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra,
meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran
yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga
menunjukan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah
suatu fakta dan kebenaran bukan sekedar persuasi.55
Terdapat beberapa elemen dari struktur retoris yang dipakai oleh
wartawan. Elemen tersebut ialah elemen leksikon, grafis dan metafora.
Leksikon merupakan elemen terpenting, leksikon melihat pada pemilihan
dan penggunaan kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan
peristiwa.56
Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang memiliki
sinonim kata. Diantara beberapa sinonim kata tersebut, komunikator bebas
52
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 253-254. 53
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 254. 54
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 176. 55
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 304. 56
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 304-305.
32
memilih kata mana yang akan digunakan. Namun, pilihan kata yang
digunakan tidak semata-mata hanya sebuah kebetulan, tetapi juga secara
ideologis menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap
realitas.57
Bahkan tak jarang apabila suatu peristiwa yang terjadi mengenai
keburukan komunikator, penggunaan kata yang dipilih akan nampak lebih
halus dengan menggunakan kosakata yang dihaluskan (eufemisme). Pilihan
kata tersebut menunjukan sikap dan ideologi tertentu.
Elemen kedua dari retoris ialah grafis. Selain lewat kata, penekanan
pesan dalam berita juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis.
Grafis biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat berdeda
dibandingkan tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian
garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar.Termasuk di
dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, foto, gambar, atau tabel
untuk mendukung arti penting suatu pesan. Bagian-bagian yang ditonjolkan
ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Bagian yang
dicetak berbeda tersebut adalah bagian yang dianggap penting oleh
komunikator, dimana ia menghendaki khlalayak menaruh perhatian lebih
pada bagian tersebut. Elemen grafik memeberikan efek kognitif, ia
mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukan
apakah suatu informasi itu dianggap penting dan menarik sehingga harus
dipusatkan atau difokuskan.58
57
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h.305. 58
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 306.
33
Elemen retoris yang terakhir ialah metafora. Dalam suatu wacana
berita, wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi
juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai bumbu
pelengkap dari suatu berita. Akan tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa
jadi menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.
Metefora tertentu dipakai oleh wartawan secara strategis sebagai
landasan berfikir, alasan pembenaran atas pendapat atau gagasan tertentu
kepada publik.Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan
sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan
mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci, yang semuanya dipakai
untuk memperkuat pesan utama.59
C. Konsep Teori
1. Berita
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departeman
Pendidikan Nasional Balai Pustaka terdapat pengertian berita, yaitu cerita
atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat, kabar,
laporan, pemberitahuan, pengumuman.60
Satu kata terakhir memberi
tekanan bahwa berita ialah sebuah peristiwa yang hangat, dalam artian baru
saja terjadi dan penting untuk diketahui oleh khalayak.61
Beberapa tokoh juga mnedefinisikan kata berita. Menurut Tom
Clarke, seorang direktur sebuah institut jurnalistik mengatakan bahwa
NEWS (berita) berasal dari suatu akronim (singkatan) yaitu: N(orth), E(ast),
W(est), S(outh). Dari akronim tersebut Clarke ingin menggambarkan bahwa
59
Eriyanto,Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 259. 60
R. Masri Sareb Putra, Teknik Menulis Berita dan Featur, (PT. Indeks, 2006), h. 11. 61
Suhaimi dan Rulli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009), cet ke-I, h. 27-28.
34
berita sebagai suatu hal yang dapat memenuhi kebutuhan naluri
keingintahuan manusia dengan memberi kabar dari segala penjuru dunia.
Maksudnya adalah sifat berita yang menghimpun keterangan atau informasi
dari empat penjuru arah.62
Menurut Sudirman Tebba berita adalah jalan cerita tentang
peristiwa.63
Bagi Jakob Oetama dalam bukunya “Perspektif Pers Indonesia”
mendefinisikan berita bukalah suatu fakta, tapi laporan tentang fakta itu
sendiri. Suatu peristiwa menjadi berita hanya apabila ditemukan dan
dilaporkan oleh wartawan atau membuatnya masuk dalam kesadaran publik
dan dengan demikian menjadi pengetahuan publik.64
Paul De Maeseneer
dalam buku Here’s the News juga menyebutkan bahwa berita merupakan
informasi yang memiliki pengaruh pada khalayak serta relevan dan layak
dinikmati oleh khlayak.65
Sejalan dengan pandangan di atas, Menurut prof. Mitchel V. Charney
dikutip oleh Onong Uchjana Efendi dalam bukunya “Ilmu, Teori, dan
Filsafat Komuikasi” menyatakan bahwa news is the time of fact or opinion
of either interest of importance, of both, to a considerable number of people
(berita adalah laporan tercepat menganai fakta atau opini yang mengandung
hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah
besar penduduk).66
Definisi berita menurut Dean M. Lyle Spencer adalah
62
Sedia Willing Barus, Jurnalistik:Petunjuk Teknis Menulis Berita, (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 25. 63
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, h. 55. 64
Sedia Willing Barus, Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita, h. 26. 65
Helena Olii, Berita dan Informasi, (PT. Indeks, 2007). Cet ke-1, h. 25. 66
Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komuikasi, h. 131
35
setiap fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat menarik perhatian bagi
sejumlah besar pembaca.67
Disamping itu, definisi berita dalam praktiknya, menurut AS Haris
Sumadiria berita adalah semua hal yang terjadi di dunia, apa yang ditulis
dalam surat kabar, apa yang disiarkan di radio, dan apa yang ditayangkan
oleh televisi. Berita menyampaikan fakta tetapi tidak setiap fakta merupakan
berita, berita menyangkut orang-orang walau tidak setiap orang menjadi
berita, dan berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi
sebagian kecil yang dilaporkan.68
Menurut Torben Brandt, Eric. S dan Arya
Gunawan dalam buku mereka “Jurnalisme Radio”, berita ialah informasi
yang aktual, memiliki akibat pada kehidupan orang banyak, mengandung
unsur ketokohan, langka, mengandung konflik dan mengandung unsur
entrtainment.69
Dari beberapa pengertian pakar tersebut, penulis menyimpulkan
bahwasannya berita ialah jalan cerita atau laporan tentang suatu peristiwa
baik sekitar kita maupun di seluruh penjuru dunia. Peristiwa tersebut
merupakan fakta disekitar kita atau diseluruh penjuru dunia yang baru
terjadi, aktual, mengandung unsur keluarbiasaan, ketokohan, langka,
konflik, entertainment dan penting diketahui khlayak serta memiliki
pengaruh terhadap khalayak. Laporan peristiwa tersebut dimuat di media
tertentu, baik media cetak, elektronik maupun online
67
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktik, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), h.68. 68
AS. Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature,
(Bandung: Rosdakarya, 2008), cet ke-III, h. 63. 69
Helena Olii, Berita dan Informasi, h. 25-31.
36
2. Surat Kabar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surat kabar
diartikan sebagai, “Lembaran kertas bertuliskan kabar atau berita dan
sebagainya, terbagi dalam kolom-kolom (8-9 kolom), yang terbit setiap
hari secara periodik.”70
Menurut Indah Suryawati, dari segi periode terbit
tidak hanya harian namun juga terdapat surat kabar mingguan. Dari segi
ukurannya, terdapat surat kabar yang terbit dalam bentuk plano dan ada
pula yang terbit dalam bentuk tabloid.71
Dilihat dari fungsinya, Surat kabar yaitu media komunikasi yang
berbentuk cetak yang menitikberatkan pada penyebaran informasi (fakta
maupun peristiwa) agar diketahui publik. Dari segi ruang lingkupnya,
terdapat surat kabar lokal dan surat kabar nasional.72
Sedangkan menurut Dja’far H. Assegaf, surat kabar tidak hanya
dilihat sebagai media yang berisikan berita saja, namun juga berisi iklan-
iklan. “Penerbitan yang berupa lembaran-lembaran yang berisi berita-
berita, karangan-karangan dan iklan, yang dicetak dan diterbitkan
secara tetap atau periodik dan dijual untuk umum”.73
Selain itu Surat
kabar dianggap memiliki kelebihan dari media massa lainnya, yakni mampu
70
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka 2003), h.28 71
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktik, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), h, 40.
72Syarifudin Yunis, Jurnalistik Terapan, (Ghalia Indonesia, 2010), h. 29.
73Dja’far H. Assegaff, Jurnalistik Masa Kini, Pengantar ke Praktek
Kewartawanan, (Jakarta : Ghali Indonesia, 1985), h.63
37
menyajiakan informasi atau berita secara komprehensif, bisa dibawa
kemana-mana, bisa didokumentasikan, dan dapat dibaca berulang-ulang.74
3. Konflik
Konflik merupakan bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan
oleh individu atau kelompok, karena mereka terlibat memiliki perbedaan
sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Konflik juga merupakan suatu
proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak
lain, dengan melakukan kekerasan psikis atau fisik yang membuat perasaan
orang lain dan fisik orang lain terganggu.75
Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih, baik
individu maupun kelompok yang merasa dirugikan atau diperlakukan secara
tidak adil dalam berbagai aspek kehidupan agama, ekonomi, ilmu
pengetahuan, teknologi, keorganisasian sosial, bahasa dan komunikasi,
kesenian dan lainnya.76
Dari penyataan di atas, konflik dapat terjadi karena pihak-pihak yang
berlawanan merasa dirugikan dan diperlakukan tidak adil. Oleh karenanya
satu atau kedua pihak berupaya untuk mendapatkan keadilan dalam segala
aspek kehidupan. Dapat dikatakan bahwa pihak yang berlawanan ini
berupaya untuk memperoleh sumber daya yang terbatas. Perebutan
sumberdaya ini tidak selalu berbentuk materi, namun juga dapat berbentuk
74
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktik, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), h, 40. 75
Alo Liliweri, M.S., Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultural, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 249. 76
Rusmin Tumanggor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan
Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, h. 6.
38
perebutan yang sifatnya ideologis, seperti rasa ingin dihargai, atau
penghormatan terhadap kepercayaan yang dianut.
Dilihat dari tipe dasar konflik, menurut Lewis Coser terbagi menjadi
dua tipe. Pertama, konflik realistik. Konflik realistik memiliki sumber yang
konkrit atau bersifat matrial, seperti sengketa sumber ekonomi dan wilayah.
Kedua, konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional
dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar etnis dan agama.
Coser menambakan bahawa konflik jenis pertama dapat diatasi dengan baik
jika sumber daya dari masing-masing pihak dapat terpenuhi secara adil.
Namun, untuk jenis konflik kedua cenderung sulit untuk menemukan solusi
konflik untuk mencapai perdamaian. Dalam suatu konflik juga
memungkinkan memiliki kedua tipe dasar konflik tersebut.77
Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa konflik dapat disebabkan
karena multi faktor. Konflik bisa dipicu oleh sebab-sebab lain yang melatar
belakangi peristiwa konflik. Misalnya dalam konflik keagamaan, penyebab
dari konflik ini bisa berawal dari kesenjangan ekonomi kemudian hingga
menyulut tindak kekerasan atas nama agama secara massif.
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya suatu
konflik. Terdapat empat faktor dominan penyebab terjadinya konflik;
pertama, Kesenjangan distribusi ekonomi dan sumberdaya natural yang
tidak merata atau tidak seimbang. Kedua, kebijakan politik nasional dan
internasional, diantaranya tentang pola migrasi dan tata ruang wilayah yang
kurang terarah dan rawan konflik. Ketiga, persoalan perbedaan identitas dan
pola adaptasi sosial yang beragam sehingga memunculkan sentimen
keagamaan, etnisitas dan golongan. Keempat, adanya profokasi atau
penyulut konflik.78
77
Rusmin Tumanggor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan
Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, h. 42. 78
Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h. 79.
39
Faktor perbedaan identitas dan pola adaptasi sosial dapat menjadi
penyebab konflik karena setiap individu tentunya memiliki perbedaan
pendirian dan perasaan akan suatu hal. Ini yang menyebabkan sesorang
terkadang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Kemudian, adanya
perbedaan latar belakang kebudayaan yang membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda yang dapat memicu konflik jika tidak bersesuaian dengan
lingkungan sosialnya. Selanjutnya, terdapat perbedaan kepentingan antar
individu dan kelompok yang menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Terakhir, terjadinya perubahan nilai yang cepat dan mendadak
dalam masyarakat, perubahan yang cepat dapat membuat individu atau
kelompok dalam lingkungan sosial sulit kembali untuk beradaptasi. Atau
bahkan mungkin terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan
karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat setempat.79
Dari faktor –faktor tersebut, jika dianalogikan seperti bagian sebuah
bom. Maka kesenjangan ekonomi dan sumber daya menjadi sebuah bahan
utama atau menjadi isinya. Kemudian bahan utama tersebut dibungkus oleh
persoalan kebijakan politik. Kemudian sumbunya ialah perbedaan identitas
sepeti perbedaan etnis, suku dan agama yang mampu menyulut konflik. Dan
terakhir jika bom tersebut disulut dengan api, atau adanya aksi provokator,
maka ledakan konflik akan terjadi.80
79
Rusmin Tumanggor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan
Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, h. 43-45. 80
Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h. 80.
40
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Profil Kompas
Menjelang awal tahun 1965, suhu politik di Indoneisa kembali
memanas dengan hadirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sering
melakukan kegitan sepihak. PKI bahkan menyuarakan perlunya dibentuk
angkatan kelima untuk menghadapi alat-alat keamanan negara yang sah
(ABRI). Bahkan saat itu PKI adalah salah satu partai besar di Indonesia
pada 1950-an dan 1960-an, serta PKI memenangkan tempat keempat dalam
pemilihan umum 1955, sehingga partai ini memiliki pengaruh besar di
masyarakat kala itu.70
Hingga suatu hari, Letjen Ahmad Yani selaku
Panglima TNI-AD menelpon rekan sekabinetnya yakni Drs. Frans Seda.
Letjen Ahmad Yani melemparkan ide untuk menerbitkan surat kabar untuk
menandingi wacana PKI yang berkembang.71
Selanjutnya, Frans Seda menanggapi ide tersebut dan kemudian
membicarakan hal itu dengan rekanya Ignatus Josef Kasimo (sesama rekan
di Partai Katolik) dan dengan rekannya yang lain yakni Petrus Kanisisus
Ojong dan Jakob Oetama yang saat itu sebagai pemimpin majalah Intisari.
Namun secara pribadi Jakob Oetama dan beberapa pemuka agama Katolik
seperti Monsignor Albertus Soegijapranata, Ignatius Joseph Kasimo tidak
70
F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2010), h. 1. 71
F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, (h. 2.
41
mau menerima begitu saja mengingat kontekstual politik, ekonomi dan
infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.72
Namun tekad Pertai Kotolik menerbitkan koran semakin bulat. PK
Ojong dan Jakob Oetama menerima ide tersebut dan segera mempersiapkan
penerbitan surat kabar. Surat kabar tersebut semuala akan dinamai “Bentara
Rakyat” yang memiliki arti pembela rakya. Nama tersebut dipilih dan
dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa pembela rakya
sebenarnya bukanlah PKI.Akan tetapi menjelang penerbitan, Frans Seda
yang saat itu menjabat sebagai menteri perkebunan rakyat menghadap ke
Istana Merdeka untuk menemui Presiden Soekarno. Saat itu Soekarna telah
mendengar bahwa Frans Seda akan menerbitkan surat kabar, kemudian
Presiden mengajukan usulan nama yakni “Kompas” yang memiliki arti
“pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba”, arti ini
merupakan sebuah harapan bahwa Surat Kabar Kompas dapat menjadi
petunjuk arah dan juga petunjuk jalan bagi masyarakat. Kompas mampu
menyajikan pemberitaan yang menjadi petunjuk atau mencerahkan
masyarakat. Maka nama usulan presidenlah yang resmi digunakan, yakni
“Kompas”. Sementara nama“Bentara Rakya” digunakan sebagai nama dari
yayasan penerbitan dimana Kompas bernaung dibawahnya.73
Meski mendapat restu Presiden Soeharto, bahkan nama “Kompas”
merupakan ide presiden pula, namun diawal berdirinya Kompas melewati
72
Diakses dari http://www.fimadani.com/sejarah-harian-Kompas-sebagai-pers-
partai-katolik/ yang dikutip dari Jakob Oetama, “Mengantar Kepergian P.K. Ojong”,
KOMPAS, 22 juni 1980. 73
F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, (, h. 1-2.
42
banyak rintangan, terutama pihak yang tidak senang dari partai komunis.
Izin sudah ditangan namun Kompas tak kunjung terbit.Rupanya rintangan
belum semuanya berlalu, masih ada satu halangan yang mesti dilalui, yakni
izin dari Panglima Militer Jakarta yang saat itu dijabat oleh Letnan Kolonel
Dachja. Dari Markas Militer Jakarta, diperolehlah jawaban atas izin tersebut
baru akan disetujui jika syarat dari 5.000 tanda tangan pelanggan terpenuhi.
Hingga akhirnya pada wartwan mengumpulkan tanda tangan dari anggota
petani, gutu sekolah, anggota koprasi di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten
Sikka dan Kabupaten Flores Timur yang mayoritas penduduknya beragama
Katolik, pada akhirnya persyaratan tersebut terpenuhi.74
Tak henti sampai disitu, PKI mulai menghasut masyarakat dengan
mengartikan kata “Kompas” sebagai singkatan dari “komando pastor”. Hal
ini berusaha mereka kaitkan dengan kondisi sebagaian besar kepengurusan
Kompas yang berasal dari para pemimpin organisasi Partai Katolik, wanita
katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Diantara nama-nama yang tercatat, antara lain; IJ. Kasimo (Ketua Yayasan
Bentara Rakyat), Drs. Frans Seda (Wakil Ketua Yayasan Bentara Rakyat),
penulis 1: Palaunsuka, penulis II: Jakob Oetama, dan bendahara: Petrus
Kanisius Ojong.
Harian Kompas lahir tanggal 28 Juni 1965 dengan moto “Amanat
Hati Nurani Rakyat”.Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara
yang merupakan bagian dari kelompok usaha Kompas Gramedia (KG), yang
74
Diakses dari http://www.fimadani.com/sejarah-harian-Kompas-sebagai-pers-
partai-katolik/ yang dikutip dari Daniel Dhakidae, “THE STATE, THE RISE OF
CAPITAL’, HAL. 237-244
43
didirikan oleh PK. Ojong (almarhum) dan Jakob Oetama.75
Kompas pertama
kali terbit empat halaman berisi sebelas berita luar negeri dan tujuh berita
dalam negeri di halaman pertama. Berita utama di halam satu, saati itu
berjudul “KAA Ditunda Empat Bulan”. Dihalaman pertama pojok kiri atas
tertulis nama Pemimpin Redaksi : Drs. Jakob Oetama. Staf Redaksi; Drs. J.
Adisubrata. Lie Hwat Nio SH, Marcel Beding, Th. Susilastuti, Tan Soei
Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Yh. Ponis Purba, Tinon Prabawa, dan
Eduard Liem.76
Sementra itu istilah tajuk rencana ketika itu belum ada, namun
halaman 2 terdapat kisah lahirnya Kompas dan berita luar negeri serta dua
berita dalam negeri. Serta terdapat kolom hiburan senyum simpul.Di
halaman 3 terdapat tiga artikel, satu diantaranya mengenai luar
negeri.Terdapat pula ulasan mengenai penyakit ayan dari Dr. Kompas.
Sedangkan di halaman terakhir terdapat dua berita olahraga mengenai
“Persiapan Team PSSI ke Pyongyang”, dan dua artikel luar negeri dan satu
dari dalam negeri. Saat itu iklan masih kurang, dari enam iklan diantaranya
dari redaksi Kompas mengenai permintaan menjadi langganan Kompas.
Kompas terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Oplah
Kompas selalu naik dari semula hanya 4.800 eksemplar menjadi 8.003
eksemplar. Saat ini rata-rata 500.000 eksemplar pada hari Senin hingga
Jumat, dan berkisar 600.000 eksemplar pada weekand. Oplah terbesar
75
Diakses dari http://profile.print.kompas.com/profil/, diakses pada 20 September
2015. 76
F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, h.2-3
44
dicapai pada saat bertepatan dengan ulang tahun Bung Karno ke 100 tahun
dengan oplah 750.000 eksemplar dalam edisi khusus.77
Dengan moto “Amanat Hati Nurani Rakyat” menggambarkan visi
dan misi bagi disuarakannya hati nurani rakyat. Kompas ingin berkembang
sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan
pengotakan latar belakang, suku, agama, ras, dan golongan. Ingin
berkembang sebagai "Indonesia Mini”, karena Kompas sendiri adalah
lembaga yang terbuka dan kolektif. Ingin ikut serta dalam upaya
mencerdaskan bangsa. Kompas ingin menempatkan kemanusiaan sebagai
nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai yang
transenden atau mengatasi kepentingan kelompok.78
Sesuai dengan moto tersebut, visi Kompas ingin menjadi institusi
yang memberikan pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia
yang demokratis dan bermartabat, serta menjungjung tinggi asas dan nilai
kemanusiaan. Kompas juga turut berpartisipasi membangun masyarakat
Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui prinsip persatuan dalam
perbedaan dengan menghormati individu dan masyarakat yang adil dan
makmur. Begitupun dengan misi Kompas, mengantisipasi dan merespon
dinamika masyarakat secara profesional, sekaligus memberi arah perubahan
(Trend Setter) dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi
terpercaya.” Hal ini diperjelas dalam lima sasaran oprasional; Kompas
adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka. Kompas tidak
77
F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, h. 3. 78
Tim Penyusun Kompas, 35 tahun, (Jakarta, Brosur Kompas, 2000).
45
melibatkan diri dalam kelompok-kelompok tertentu baik politik, agama,
sosial atau golongan dan ekonomi. Kompas secara atif membuka dialog dan
berinteraksi positif dengan segala kelompok. Kompas adalah koran nasional
yang berusaha mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa, Kompas bersifat
luas dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan tetapi selalu
memperhatikan konteks struktur kemasyarakatan dan pemerintahan yang
menjadi lingkungan. 79
B. Profil Republika
Sejarah kehadiran Harian Umum Republika tidak dapat dipisahkan
dari sejarah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Republika tercetus dari pemikiran para anggota ICMI. ICMI berdiri pada 5
Desember 1990. Sebagai komunitas cendekiawan muslim, ICMI menilai
bahwa hingga tahun 1990-an belum ada media atau pers islam yang cukup
berpengaruh di Indonesia, media islam yang mampu mendorong bangsa
menjadi kritis dan berkualitas dan mendorong masyarakat untuk menjadikan
bangsa Indonesia menjadi maju dengan berpegangan pada nilai-nilai
spiritualitas sebagai perwujudan pancasila yang menjadi filsafat bangsa,
serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD 1945.80
Dalam mewujudkan hal tersebut, ICMI membentuk suatu program
yang berorientasi pada tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
program yang dikenal dengan 5K, yakni; dengan peningkatan kualitas iman,
79
F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, h. 4-5 80
Company Profile, Pusat Data Harian Umum Republika, h. 2
46
kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya dan kualitas pikir. ICMI
mengelompokan program kerja mereka dengan nama pancalogi (program
kerja) yang terdiri dari program pengkajian, pengembangan produktivitas
sumber daya manusia, pengembangan dialog dan komunikasi, aksi
kemasyarakartan, dan hubungan internasional.81
Untuk merealisasikan
tujuan tersebut, maka pada tanggal 17 Agustus 1992 berkumpulah para
tokoh dari berbagai elemen pemerintahan dan masyarakat yang berdedikasi
pada pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia untuk mendirikan
yayasan yang diberi nama Abdi Bangsa.
Anggota yang tergabung dalam yayasan Abdi Bangsa ini awalnya
berjumlah 48 orang, yang terdiri dari beberapa menteri kabinet
pemerintahan Soeharto, pejabat tinggi negara, cendekiawan tokoh
masyarakat, serta pengusaha. Nama-nama yang tercantum diantara mereka
ialah, penasehat yayasan dijabat oleh Presiden Soeharto.Ketua yayasan
dijabat oleh Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie (saat itu masih tercatat pula seagai
ketua ICMI). Angota-anggota yayasan tersebut antara lain; Ir. Drs. Ginanjar
Karta Sasmita, H. Harmoko, Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Tien
Soeharto, dan Ir. Abu Rizal Bakri.
Yayasan Abdi Bangsa menyususn tiga program utamanya yaitu;
pertama, pengembangan islamiccenter. Kedua, pengembangan Center for
Information and Development Studies (CIDES).Ketiga, penerbitan Harian
Umum Republika.Saat itu sistem pers di Indonesia bercorak sistem pers
81
Idris Thaha, Posisi ICMI Di Tengah Arsu Perubahan Dalam Abrar Muhammad,
ed., ICMI Harapan Umat, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam, 1991), h. 175.
47
otoriter, sehingga pengurusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers kala itu
cukup sulit. Namun berbeda dengan sejarah pendirian Republika. Republika
terbilang cukup mudah untuk mendapatkan SIUPP. Terbukti setelah
pendirian Yayasan Abdi Bangsa, disusul pada tanggal 28 November 1992
dengan peresmian PT. Abdi Bangsa. Setelah itu, secara sah tertanggal 19
Desember 1992 PT. Abdi Bangsa mendapatkan SIUPP dari Departeman
Penerangan Republik Indoneisa dengan nomor 283/SK/MENPEN/A.7/1992
untuk mendirikan perusahan pers. Inilah sebagai modal awal penerbitan
Harian Umum Republika.82
Kemudahan pengeluara SIUPP ini dilatarbelakangi dengan adanya
Menteri Penerangan, Harmoko di tubuh ICMI dan kedekatan tersendiri
dengan Presiden Soeharto. Bahkan nama Republika tersendiri merupakan
ide Presiden Soeharto yang disampaikannya saat beberapa pengurus ICMI
Pusat menghadap padanya untuk menyampaikan rencana peluncuran
harian umum tersebut. Sebelumnya, surat kabar ini akan deberi nama
“Republik”.83
Namun pada akhirnya surat kabar ini resmi diberinama
“Republika” dan terbit perdana pada tanggal 4 Januari 1993. Republika
merupakan surat kabar pertama bagi komunitas Muslim di Indonesia. Tahun
2002 merupakan tahun penting dalam sejarah berdirinya Mahaka Media,
dimana perusahaan ini pertama kali mencatatkan sahamnya sebagai PT Abdi
Bangsa Tbk pada tanggal 3 April 2002 di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan
82
Company Profile, Pusat Data Harian Umum Republika, h. 4. 83
Company Profile, Pusat Data Harian Umum Republika, h.5.
48
menjadikannya sebagai perusahaan penerbitan surat kabar pertama yang
menjadi perseroan publik.84
Mulai tahun 2004, Republika dikelola oleh PT. Republika Media
Mandiri (RMM) dibawah perusahaan induk Mahaka Media. Di bawah PT.
Republika Media Mandiri, Republika terus melakukan inovasi penyajian
untuk kepuasan pelanggan. Menurut data company profile republika, saat
Harian Umum Republika terbit paa 4 Januari 1993, penjualan oplah terus
meningkat. Hanya dalam sepuluh hari sejak terbit, oplah Republika
mencapai 100.000 eksemplar. Hal ini menandakan peningkatan 2,5 kali lipat
dari rencan awal terbit dengan oplah rata-rata 40.000 per hari pada semester
pertama tahun 1993. Hingga akhir semester kedua, pada desember 1993,
oplah republika sudah mencapai 130.000 eksemplar per hari. Sebagian besar
oplah republika beredar di Jakarta sebesar 50,31%, di Jawa Barat 17,30%, di
Jawa Tengah 6,90%, di Jawa Timur 4.36% dan sisanya tersebar di daerah
lain di luar Pulau Jawa.
Sedangkan menurut Nielsen Consumer Media View Survey pada
November 2012, pembaca Republika berasal dari 70% laki-laki dan
30%perempuan. Pembaca terbanyak adalah mereka dengan usia antara 30-
39 tahun, yaitu sebanyak 26% sisanya adalah mereka dengan usia antara 15-
19 tahun berjumlah 6%, usia 40-49 tahun berjumlah 21%, dan usia >50
tahun berjumlah 20%. Mereka berasal dari beragam profesi, diantaranya
84
Diakses dari http://www.mahakamedia.com/about_us, artikel diakses pada 20
Sepetmber 2015.
49
pembaca yang berprofesi sebagai pegawai swasta atau profesional
berjumlah paling banyak yaitu 28%, sisanya berasal dari Pegawai Negeri
Sipil (PNS), dosen atau guru, wiraswasta, ibu rumah tangga, pelajar atau
mahasiswa, dan lainnya.85
Dengan motto Republika “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”,
mencerminkan tujuan dari Republika yaitu bersemangat untuk
mempersiapkan masyarakat memasuki era baru, dengan keterbukaan dan
perubahan telah dimulai dan tak ada langkah untuk kembali, jika seluruh
bangsa bersepakat mencapai kemajuan. Meski demikian, usaha untuk
mengupayakan perubahan yang juga berarti pembaharuan, tidak harus
mengganggu stabilitas yang telah susah payah dibangun. Republika
berpihak pada sebesar-besarnya penduduk negeri ini. Dengan latar belakang
tersebut, visi Republika terdapat pada berbagai bidang kehidupan
dimasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan agama.
Disamping itu, untuk menunjang visi tersebut, Republika juga
memiliki beberapa misi dalam keberlangsungan oprasional media tersebut,
diantara misi tersebut ialah menciptakan dan menghidupkan sistem
menejemen yang efisien dan efektif, serta mampu dipertanggungjawabkan
secara profesional. Menciptakan budaya kerja yang sehat dan transparan.
Meningkatkan penjualan iklan dan koran, sementara menekan biaya
oprasional (dengan memiliki mesin cetak). Merajut tali persaudaraan dengan
organisasi-organisasi Islam di Indonesia.
85
Eastspring (Member Of Prudential), Konsumsi Media Massa Di Kalangan
Masyarakat, artikel diakses pada 20 September 2015 dari
http://eastspring.co.id/dms/files/spring-of-life---april-2013_20130423184912.pdf
50
BAB IV
ANALISIS TEMUAN TEKS DAN INTERPRETASI
A. Analisis Hasil Temuan Teks BeritaKompas dan Republika
Skripsi ini akan membandingkan bingkai pemberitaan konflik
tolikara pada Harian Kompas dan Republika. Perbandingan bingkai kedua
surat kabar ini menggunakan teknik analisis framing model Zongdang Pan
dan Gerald M Kosicki yang meliputi empat aspek analisis: sintaksis, skrip,
tematik dan retoris. Berikut akan dipaparkan hasil analisis framing
pemberitaan konflik tolikara pada surat kabar Kompas dan Republika:
Berita 1: Teks Berita Kompas Edisi 20 Juli 2015
INSIDEN TOLIKARA
Langkah Hukum Tegas Perlu Diambil
JAKARTA, KOMPAS – Wakil Presiden Jusuf Kalla, Minggu (19/7)
malam, menginstruksikan Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti
mengambil langkah hukum yang tegas untuk segera menyelesaikan insiden
di Kabupaten Tolikara, Papua.
―Untuk meredam insiden tersebut, hanya satu cara, yaitu langkah
hukum yang tegas, selain juga mempertemukan semua tokoh, ― ujar Kalla
seusai menerima laporan tertulis Badrodin di rumah pribadinya di Makasar,
Sulawesi Selatan, semalam.
Insiden di Kabupaten Tolikara, Papua, terjadi Jumat pekan lalu dan
mengakibatkan puluhan bangunan kios dibakar, termasuk mushala, serta
sejumlah orang ditembak oleh aparat. Peristiwa tersebut menewaskan
seorang warga dan melukai 10 orang.
Menurut Kalla, saat kejadian, di Tolikara ada dua acara yang
dilaksanakan berdekatan. Selain perayaan Lebaran yang ditandai dengan
shalat Idul Fitri, juga ada pertemuan pemuka gereja. Inisden itu semestinya
tidak terjadi jika ada komunikasi yang baik di antara kedua pihak dan
pemerintah.
Kabupaten Tolikara dibentuk tahun 2002, pemekaran dari Kabupaten
Jayawijaya. Derah dengan luas 6.129,66 kilo meter persegi ini tercatat
dihuni 125.325 orang.
Dari langkah hukum itu, lanjut Kalla, 19 orang diperiksa polri.
Sebanyak 9 orang adalah warga sipil dan 10 anggota Polri.
―Jadi yang menyerbu dan yang melakukan penembakan harus
diperiksa. Kalau salah, akan dihukum seberat-beratnya,‖ ujar Kalla.
Terhadap 61 kios yang dibakar dan dirusak, pemerintah daerah dan
Kementrian Sosial akan mengganti, berikut memberikan modal usaha.
51
Kallaa berkeyakinan, kepolisisan dan pemerintah daerah dapat
menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Jaga Toleransi Presiden Joko Widodo dan sejumlah tokoh agama juga mengatajan
bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki banyak keragaman, baik
tradisi, budaya, maupun agama. Oleh karena itu, semua pihak perlu terus
menjaga persatuan dan toleransi antar agama.
―Pesan saya, kita semua bersama, saling toleransi. Dengan cara itu,
kita dapat membangun daerah ini,‖ kata Presiden Joko Widodo, Sabtu
(18/7).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ULama (PBNU) Said Aqil
Siroj dalam kesempatn terpisah juga menuturkan, perbedaan agama bukan
barang baru di Indonesia. sebelum Indonesia merdeka, sudah disepakati
bahwa negara ini merangkul semua komponen bangsa. kerukunan lintas
umat beragama harus digalakkan lagi dalam jalur moderasi.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii
Maarif juga berharp persaudaraan lintas agama di Papua dan di seluruh
wilayah di Indonesia yang sudah terjalin dengan baik dapat tetap dijaga.
―Jagan sampai rusak tali persaudaraan yang sudah sangat bagus itu,‖ kata
Syafii, Minggu.
Masyarakat juga diharapkan tidak terprovokasi dengan insiden itu.
―Untuk umat Islam, jangan sampai terpancing emosi, dan tetap menjaga
perdamaian,‖ ujar Syafii.
Sekertaris Jendral International Confrence of Islamic Scholars Hasyim
Muzadi berharap pemerintah bertindak adil bukan karena agama, melainkan
karena pelanggaran hukum.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Henritte T
Huttabarat- Lebang juga menyesalkan terjadinya peristiwa Tolikara. inisden
tersebut telah menodai ketenangan dan kehusyukan serta kegembiraan umat
Islam merayakan Idul Fitri.
PGI juga berharap aparat kepolisian dan keamanan bisa bertidak cepat
memulihakan rasa aman masyarakat.
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Yotje Mende mengatakan,
pihaknya dan Kodam XVII/Cendrawasih akan memeriksa anggotanya yang
mengeluarkan tembakan sehingga mengenai 11 warga dalam insiden di
Tolikara.
―Anggota kami terpaksamengeluarkan tembakan. Mereka sudah
mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, 500 warga yang membakar
kios tidak menggubrisnya dan melempar aparat dengan batu,‖ ujar Yotje.
Kepala Bagian Humas Pemda Tolikara Derwes Jikwa menuturkan,
dari 11 warga yang terkena tembakan, 1 orang meninggal yaitu Lenis
Wanimbo. Sebnayak 10 orang lainnya masih dirawat di Rumah Sakit
Daerah Wanena.
Komandan Kodim 1720/Jayawijaya Letnan Kolonen Inf Andreas
mengatakan, 154 korban dalam peristiwa itu masih mengungsi di Markas
Komado Rayon Militer Karubaga.
52
Berita 1: Teks Berita Republika Edisi 20 Juli 2015
Seret Pelaku ke Pengadilan
Kapolri berjanji mengejar aktor intelektual penyebar surat larangan
shalat id.
JAKARTA, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
meminta kepolisian menyelidiki hingga tuntas peristiwa kerusuhan di
Tolikara, Papua, secara terbuka. Komisioner Komnas HAM Manager
Nasution menegaskan, pelaku pembakaran masjid saat Idul Fitri itu diseret
ke pengadilan.
―Ini kan pelakunya sudah terang benderang. Negara harus hadir untuk
menyelamatkan kasus ini ke meja persidangan,‖ ujar Manager, Ahad (19/7).
Manager setuju dengan pandangan sejumlah tokoh yang menyatakan tragedi
Tolikara setingkat dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Manager menerangkan, jika pelanggaran hak asasi paling tinggi
dilakukan otoritas negara trhadap sipil, yang trjadi di Tolikara ialah aksi
penolakan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Apalagi, dikatakan dia, penolakan tersebut berujung pada kasi
vandalisme dengan melakukan perusakan dan pembakaran rumah ibadah
umat yang diakui keberadaannya oleh negara.
Karena itu, menurut dia, tidak ada alasan bagi negara untuk absen
dalam pertikaian di Tolikara, baik hadir dalam penegakan hukum dan harus
hadir pula dalam upaya rekonsiliasi dua pihak. sebab, dikatakan olehnya,
peristiwa tersebut berpotensi panjang lantaran melibatkan agama sebagai
persoalan. ―Yang kita khawatir, pembakaran masjid itu berimbas pada
persoalan sama di lain tempat. Ini sangat berbahaya bagi negara ini,‖ ujar
dia.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan telah
memerintahkan jajarannya untuk bertolak ke Karubaga, Tolikara, Papua.
Nantinya, tim tersebut akan bergabung dengan tim Kanwil Kemenag
Provinsi Papua dan Tolikara.
―Saya telah menginstruksikan drijen Bimas Kristen, Kabalitbang-
Diklat dan tim untuk berangkat ke Tolikara,‖ kata Lukman, di Jakarta,
kemarin.
Lukman mengakui, Kemenag juga telah melakukan rapat dengan
Menkopolhukam, Kapolri, Kepala BIN, Drijen Pol Mendagri, dan Korsahli
Panglima TNI terkait pembakaran. Salah satu hasil pertemuan itu,
pemerintah sepakat untuk melakukan beberapa langkas strategis guna
memulihkan situasi di Tolikara.
Pertama, pemerintah pusat dan daerah akan melakukan perbaikan
terhadap masjid dan bangunan kios yang dibakar. Selain itu, pemerinth juga
akan merawat pera korban kerusuhan.
Kemudian, Polri akan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku
kerusuhan dan aktor intelektual di balik kerusuhan. Ketiga, Polri juga kaan
melakukan penyelidikan terhadap tindakan yang dilakukan oleh aparat
53
keamanan saat kerusuhan. ―Apakah sesuai prosedur atau tidak saat
penanganan. Namun, untuk saat ini situasi sudah kondusif,‖ kata Lukman.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengunjungi Karubaga, Tolikara,
guna meninjau perkembangan pengusutan kasus pembakaran, kemarin.
Dalam kunjungan itu, ia mengiyakan bahwa aparat keamanan sempat
melepaskan tembakan ke arah massa yang memprotes pelaksanaan shalat Id.
―Para korban ditmbaki karena mereka melempari jamaah sholat Id,‖
kata Badrodin selepas mengunjungi Karubaga. Meski begitu, menurutnya,
kepolisian masih dalam tahap penyelidikan kasus tersebut. Kapolri
menyatakan, seorang tewas dan sebelas terluka dalam penembakan.
Ia mengaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan mereka-
mereka yang bersalah akan diadili. Terkait hal itu, ia meminta dukungan
tokoh masyarakat dan pemerintah untuk membantu mengungkap insiden
tersebut.
Ia menjanjikan, kepolisian juga akan mengejar aktor intelektual di
balik beredarnya surat larangan shalat Ied yang disebut diedarkan pihak
GIDI. Ia mengatakan, surat itu diduga menyebablkan miskomunikasi dan
sedianya diklarifikasi, tapi kericuhan terlebih dahulu terjadi.
1. SINTAKSIS
a. Skema Berita
Dilihat dari struktur sintaksis, susunan dalam teks berita Republika
diawali dengan judul kemudian pernyataan selanjutnya lead, kutipan
narasumber, latar informasi, terakhir penutup (judul-pernyataan-lead-
kutipan narasumber-latar informasi-penutup).
Pernyataan yang diletakkan setelah judul dan dicetak dengan ukuran
lebih besar dari isi berita, merupakan pernyataan janji Kapolri, berikut
kutipan pernyataan dalam teks Republika ―Kapolri berjanji mengejar aktor
intelektual penyebar surat larangan sholat Id.‖ Selain itu pernyataan
tersebut merupakan pernyataan yang sama dengan penutup, berikut kutipan
lengkap penutup dalam teks Republika ―ia menjanjikan (Kapolri),
kepolisian juga akan mengejar aktor intelektual di balik beredarnya surat
54
pelarangan shalat Ied yang disebut diedarkan pihak GIDI. Ia mengatakan,
surat itu diduga menyebabkan miskomunikasi dan sedianya diklarifikasi,
tapi kericuhan terlebih dahulu terjadi.‖
Dengan demikian, Republika menggunakan alur berita yang diawali
dengan pernyataan yang sama dengan penutup. Jika dalam cerita, alur ini
disebut alur sorot balik. Hal ini menekankan bahwa Republika menganggap
penting kalimat tersebut hingga perlu diletakan di awal dan penutup berita.
Republika menggambarkan bahwa aspek penting dari berita tersebut terletak
pada aktor yang menyebarkan surat larangan shalat Ied sehingga
menyebabkan kericuhan.
Sedangkan Kompas memiliki susunan skematis yang paling umum
digunakan, yakni bentuk piramida terbalik dimana teks beritadiawali dengan
judul kemudian lead, kutipan narasumber, pernyataan, latar informasi,
terakhir penutup.88
Sekema berita pada Kompasmenempatkan aspek
terpenting diposisikan di awal teks, kemudian penjelasan tambahan
dijadiakan sub judul yang berbeda berikut penutup di dalamnya. Bentuk
skema demikian menegaskan bahwa Kompas menekankan aspek yang
dianggap penting ada pada bagian lead, yakni mempertanyakan kehadiran
dan posisi pemerintah sebelum peristiwa konflik.Kompas hendak
menggiring pembaca untuk memahami kesalahan tidak dapat ditimpakan
seluruhnya kepada pelaku penyerangan, karena pemerintah dinilai lemah
dalam upaya preventif untuk mencegah terjadinya konflik.
88
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, h. 97-99.
55
Tabel 3.1
Headline Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Headline/Judul Langkah Hukum Tegas
Perlu Diambil
Seret Pelaku ke
Pengadilan
Tabel 3.1 menunjukan bahwa Kompas dan Republika mengangkat
judul yang sama yakni terkait langkah hukum dalam menangani konflik di
Tolikara. Namun, kedua judul tersebut memiliki perbedaan secara
redaksional.Kata ―seret‖ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
onlinewww.yufid.orgmemiliki arti tarik (menarik dengan paksa).Dengan
menggunakan kata ―seret‖ Republika menggambarkan bahwasannya para
pelaku penyerangan harus ditarik paksa menuju meja pengadilan. Republika
mengajak pembaca berfikir bahwasannya para pelaku kericuhan di Tolikara
telah bertindak anarkis sehingga harus diseret ke pengadilan.Sedangkan
judul pada Kompas menekankan bahwa pemerintah juga harus bertanggung
jawab dalam penyelesaian konflik Tolikara.
Selain itu, berita konflik tolikara di kedua media diposisikan sebagai
headline (halaman utama). Namun Jika merujuk pada jenis-jenis headline
dalam berita, headline yang digunakan Kompas merupakan jenis
subordinate headline. Dilihat dari penggunaan ukuran huruf dan ketebalan
lebih rendah dari berita lain di halaman utama, kehadirannya terkadang
dibutuhkan untuk menempati sisa tempat pada halaman yang memuat berita
lain yang dianggap lebih penting. karena itu, tempatnyapun tidak lebih dari
56
satu kolom.89
Posisi berita ini dalam Harian Kompas berada di pojok kiri
bawah. Namun, pihak Kompas menyatakan bahwa posisi berita tersebut
lebih tepat dinamakan second headline. berikut pernyataan pihak Kompas:90
―Penempatan di halaman utama karena dianggap peristiwa tersebut
penting dan memiliki dampak paling besar pada hari itu. Karena di halaman
utama hanya terdapat empat sampai lima berita, kita memilih dari sekian
banyak berita mana yang perlu dikedepankan ya itu diletakkan di halaman
utama. Ini masuknya sebagai second headline bukan headline utamanya.‖
Kompas menempatkan peristiwa Tolikara sebagai second headline
karena Kompas menganggap berita Insiden Tolikara ini merupakan berita
konflik yang apabila terlalu ditonjolkan dikhawatirkan memicu dampak
yang lebih besar jika ditempatkan menjadi banner headline. Berikut
pernyataan pihak Kompas:91
―Banyak media di luar menjadikan ini sebagai headline, bahkan
dengan pemberitaan yang memberikan nada mebesar-besarkan. Bagi kami
berita ini juga penting dan menarik. Tapi biasanya kalau penting namun
mengandung unsur konflik atau kekerasan kita tidak akan menaruhnya
sebagai headline, bahkan kami cenderung akan menaruhnya dihalaman 15.
Jikapun di halaman satu, ya seperti ini kami berhati-hati menaruhnya pada
berita kedua bukan yang utama. Kami tidak ingin pemberitaan kami memicu
dampak yang lebih besar, menyulut konflik semakin berkepanjangan karena
efek media yang ditimbulkan.‖
Republika juga menyajikan pemberitaan konflik Tolikara pada
halaman utama. Merujuk pada jenis-jenis headline maka jenis headline
Republika dalam berita konflik Tolikara termasuk jenis spread headline,
dimana jenis headline ini untuk berita yang dinilai penting. menduduki tiga
89
Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk & Kode
Etik, (Bandung: Nuansa, 2004), h. 115-116. 90
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015 91
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015
57
kolom dari empat berita di halaman utama.Berdasarkan hasil wawancara,
Republika memiliki alasan mengapa berita Tolikara diposisikan sebagai
headline.
―Karena pembaca terbesar kami terutama komunitas Islam. Jadi
lebih kepada proximity (kedekatan) hati mereka. Selain informasi ini penting
untuk seluruh masyarakat Indonesia, terutama ini penting untuk umat Islam.
Agar umat Islam tahu informasi sebenarnya, supaya umat islam tidak
terprovokasi. Mereka bisa memahami kalau kasus ini sudah ditindak hukum,
tahu bagaimana menyikapi hal ini untuk kedepannya. Kami khawatir jika ini
hanya disampirkan saja beritanya meraka akan salah memahami terhadap
kejadian di Tolikara, kami tidak menginginkan umat Islam melakukan hal-
hal yang akan merugikan citra umat islam sendiri. Kita membuat
pemberitaan pada posisinya orang Islam. Tapi bagaimana pemberitaan ini
bisa merayu mereka untuk tidak melakukan tindakan yang dedukstrif, hal-
hal untuk tidak melakukan pembalasan. Ini yang membuat berita ini layak
menjadi headline.92
Pernyataan pihak Republika tersebut jelas menerangkan bahwa
pemberitaan Republika dipengaruhi oleh konsumen atau pembaca.
Republika jelas mengikuti selera atau kebutuhan pembacanya. Sehingga
Republika menganggap perlu menjadikan berita konflik Tolikara sebagai
headline.Menurut Republika selain ini berita penting. Peristiwa ini tentunya
mengandung kedekatan di hati umat Islam. Kedekatan dalam hal ini tidak
sesuai dengan teori nilai berita bahwa kedekatan diukur dari letak geografis.
Namun kedekatan yang dimaksud Republika ialah kedekatan hati umat
Islam karena keimanan yang sama. Merasa simapati ketika saudara seiman
sedang tertimpa musibah.
92
Wawancara dengan Fitriyan Zamzami, Redaktur Halaman Utama Republika,
Jakarta 12 Januari 2016.
58
Tabel 3.2
Lead Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Lead JAKARTA, KOMPAS –
Wakil Presiden Jusuf
Kalla, Minggu (19/7)
malam, menginstruksikan
Kepala Polri Jenderal
(Pol) Badrodin Haiti
mengambil langkah
hukum yang tegas untuk
segera menyelesaikan
insiden di Kabupaten
Tolikara, Papua.
JAKARTA – Komisi
Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas
HAM) meminta
kepolisian menyelidiki
hingga tuntas peristiwa
kerusuhan di Tolikara,
Papua, secara terbuka,
Komisioner Komnas
HAM Manager Nasution
menegaskan, pelaku
pembakaran masjid saat
Idul Fitri itu diseret ke
pengadilan.
Lead dalam teks berita Kompasmengarahkan pada aspek posisi
pemerintah, Kompas menegaskan bahwa negara harus hadir dalam
penyelesaian konflik. Dimana pemerintah harus bertanggung jawab dan
berperanmenjamin keamanan negara serta langkah yang perlu diambil
dalam menyelesaikan konflik Tolikara. Sedangkan Republika mengarahkan
pada aspek humanistik yakni terkait pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Republika menggunakan pernyataan dari Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Dengan mengusung pernyataan Komnas HAM ini,
Republika meletakan konflik Tolikara ini sebagai sebuah pelanggaran hak
asasi manusia. Sehingga penyelesaian kasus ke meja persidangan dianggap
mutlak bagi pelaku pelanggar hak asasi manusia.
Lead Kompas jelas menekankan arah pemberitaan akan digiring
pada pemahaman bahwa konflik Tolikara bukan semata menjadi tanggung
jawab pelaku kerusuhan, melainkan pemerintah juga bertanggung jawab
59
untuk menertibkan dan menjamin keamanan demi penyelesian kasus
tersebut. Sedangkan Republika menekankan bahwa konflik Tolikara ini
merupakan tanggung jawab pelaku perusakan.
Tabel 3.3
Latar Informasi Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Latar
Informasi
Menurut Kalla, saat
kejadian, di Tolikara ada
dua acara yang
dilaksanakan berdekatan.
Selain perayaan Lebaran
yang ditandai dengan
shalat Idul Fitri, juga ada
pertemuan pemuka
gereja. Insiden itu
mestinya tidak terjadi
jika ada komunikasi yang
baik di antara kedua
pihak dan pemerintah.
Menejer menerangkan,
jika pelanggaran hak
asasi paling tinggi
dilakukan otoritas negara
terhadap sipil yang
terjadi di Tolikara ialah
aksi penolakan kelompok
mayoritas terhadap
kelompok minoritas.
―Jadi yang menyerbu dan
yang melakukan
penembakan harus
diperiksa. Kalau salah,
akan dihukum seberat-
beratnya,‖ ujar Kalla.
Latar informasi yang ditampilkan Kompas mengenai penyebab
terjadinya insiden di Tolikara akibat dari komunikasi yang kurang berjalan
dengan baik antar umat beragama dan pemerintah setempat. Kompas
menggambarkan apabila komunikasi antar kedua belah pihak dan
pemerintah berjalan dengan baik—ada dialog dan musyawarah sebelumnya
antar para tokoh agama dan pemerintah melakukan tindakan preventif
terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi maka insiden di Tolikara
tidak akan terjadi.
60
Selain itu, latar Kompas terkait langkah penegakan hukum mengarah
pada semua pihak yang terlibat dalam insiden tersebut.Bukan hanya pada
pelaku tindak perusakan, kekerasan, dan pengahasutan.Namun, juga terkait
oknum aparat yang melakukan penembakan.Dari latar yang dikemukakan
Kompas menyatakan bahwasannya Para pelaku perusakan diakui melakukan
kesalahan.Namun, dalam hal ini pemerintah seharusnya lebih peka dan
berdaya melakukan tindakan preventif dengan mempertemukan perwakilan
tokoh agama dari kedua pihak sebelumnya, melakukan negoisasi terhadap
pihak GIDI dan melakukan antisipasi keamanan akan segala kemungkinan
yang terjadi. Dengan demikian latar Kompas memberikan penilaian negatif
terhadap kedua pihak, yakni pemerintah dan pelaku perusakan.
Dengan pemaknaan atas realitas yang demikian, Kompas
memberikan penonjolan aspek negatif dari pemerintah dan melakukan
pengaburan terhadap aspek kesalahan dari pelaku penyerangan. Hal ini
diakui pula oleh pihak Kompas, berikut pernyataan pihak Kompas:93
―Pemerintah jelas ya, aparat setempat kan sudah menerima surat
larangan menggunakan pengeras suara pada solat Ied dari pihak gereja
kepada umat Islam tersebut kan sudah lama, tetapi pemerintah tidak
mengambil tindakan. Sebetulnya, peran pemerintah semestinya besar dalam
usaha mencegah konflik sosial. Itu yang selalu dikritik oleh Kompas. Peran
intelejen, baik itu TNI, Polri harusnya kan bekerja, bisa melihat kondisi dan
prediksinya seperti apa. Namun, yang kita tidak setuju itu, bahwa semata-
mata persoalan ini disebabkan oleh pihak gerejanya saja. Kita tidak milihat
hal itu. Kita tidak menyalahkan satu pihak saja, kita lebih melihat kemana
pemerintah setempat pada saat itu atau mana kinerja pemerintahnya.
93
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015.
61
Pemangku kepentingan itu kita perhitungan betul, karena mereka memiliki
tanggung jawab untuk menjaga keamanan.‖
Sedangkan latar Republika mengemukakan insiden Tolikara
setingkat dengan pelanggaran hak asasi manusia. Republika mengambil
pernyataan Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution yang
mengatakan bahwa insiden yang terjadi di Tolikara adalah aksi penolakan
kelompok mayoritas (umat Kristiani) terhadap kelompok minoritas (umat
Islam) yang berujung pada tindakan anarkis dengan melakukan perusakan
dan pembakaran rumah ibadah yang diakui keberadaannya oleh negara.
Dalam hal ini Republika juga menggambarkan adanya sentimen keagamaan
sebagai faktor penyebab konflik. penolakan terhadap penganut agama
tertentu mampu menyulut konflik.94
Pernyataan dari Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution,
yang dikutip Republika memberikan kesan otoritas intelektual bahwasannya
insiden Tolikara itu benar merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia karena pernyataan ini dinyatakan oleh tokoh yang kemampuan
akademis dibidang HAM. Berikut kutipan lengkap latar yang dipakai
Republika:
Manager menerangkan, jika pelanggaran hak asasi paling
tinggi dilakukan negara terhadap sipil, yang terjadi di Tolikara ialah
aksi penolakan kelompok mayoritas terhadap kelompok minioritas.
Apalagi, dikatakan dia, penolakan tersebut berujung pada
aksi vandalisme dengan melakukan perusakan dan pembakaran
rumah ibadah unat yang diakui keberadaannya oleh negara.
94
Rusmin Tumangor, dkk.,Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan
Pendekatan Riset Aksi Pertisipatori, h. 46.
62
Republika menggolongkan tindakan penyerangan ini sebagai
pelanggaran terhadap konstitusi dan hak asasi manusia, karena dianggap
mencederai hak beribadah umat beragama yang jelas dilindungi oleh
konstitusi. Berikut penuturan pihak Republika:95
―Ini peristiwa penyerangan saat umat melaksanakan ibadah solat
Ied, jadi ini masuk dalam pelanggaran HAM, terkait kebebasan beribadah.‖
Tabel 3.4
Kutipan NarasumberKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur
diamati
Kompas Republika
Kutipan
Narasumber
―Untuk meredam insiden
tersebut, hanya satu cara,
yaitu langkah hukum yang
tegas, selain juga
mempertemukan semua
tokoh.‖ (Wakil Presiden
Jusuf Kalla)
―Ini kan pelakunya sudah
terang benderang. Negara
harus hadir untuk
menyelesaikan kasus ini ke
meja persidangan.‖
(Komisioner Komnas
HAM Manager Nasution)
―Pesan saya, kita semua
bersatu, saling toleransi.
Dengan cara itu, kita dapat
membangun daerah ini.‖
(Presiden Joko Widodo)
―Saya telah instruksikan
dirjen Bimas Kristen,
Kabalitbang-Diklat dan tim
untuk berangkat ke
Tolikara.‖ (Menteri Agama
Lukman Hakim Syaifudin)
―Untuk umat Islam, jangan
sampai terpancing emosi,
dan tetap menjaga
perdamaian.‖ (Mantan
Ketua Umum PP
Muhamaddiyah Ahmad
Syafii Maarif)
―Para korban ditembaki
karena mereka melempari
jamaah shalat Id.‖ (Kapolri
Jenderal Badrodin Haiti)
―Anggota kami terpaksa
mengeluarkan tembakan.
Mereka sudah
mengeluarkan tembakan
peringatan. Namun, 500
warga yang membakar kios
tidak menggubrisnya dan
95
Wawancara dengan Fitriyan Zamzami, Redaktur Halaman Utama Republika,
Jakarta 12 Januari 2016.
63
melempar aparat dengan
batu.― (Kapolda Papua
Inspektur Jenderal Yotje
Mende)
Dalam teks berita tersebut, Kompas mewawancarai enam
narasumber; Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden Joko Widodo, Ketua
Umum PBNU Said Aqil Siroj, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum PGI di Indonesia Henritte T Hutabarat,
dan Kapolda Papua Inspektur Jendral Yotje Mende. Namun dari keenam
narasumber tersebut hanya dua diantaranya yakni Jusuf Kalla dan Inspektur
Jenderal Yotje Mende berbicara terkait langkah hukum yang perlu diambil
dalam mengatasi indisiden Tolikara. Sementara, sumber Kompas lainnya
menanggapi perihal perlunya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta
menjaga toleransi antar umat beragama.
Dengan demikian kelengkapan narasumber yang di sajikan Kompas
untuk membahas langkah hukum terkait insiden Tolikara ini terbatas.
Kompas hanya mewawancarai satu narasumber yang memiliki otoritas
dibidang hukum, yakni Kapolda Papua Inspektur Jenderal Yote Mende.
Pernyataan Yotje Mende, yang dikutip Kompas pun hanya terkait
pemeriksaan terhadap pihak aparat yang mengeluarkan tembakan saat
peristiwa Tolikara terjadi. Dalam teks berita Kompas, tidak ditemukan
narasumber yang relevan berbicara terkait hukum atau jenis pelanggran bagi
64
para pelaku penyerangan dan pembakaran.Ketika diklarifikasi kembali
terkait temuan teks tersebut, pihak Kompas menyatakan:96
―Setiap berita mungkin ada kekurangannya ya. dugaan saya, itu
pendekatan komprehensifnya belum kena. Idealnya semua pemangku
kepentingan di sana utuh. tapi ada kondisi dimana terkadang berita yang kita
terima kok hanya sebatas itu, tidak ada waktu lagi untuk mencari berita
tambahan terkait tersebut. Mungkin ini kelemahan kami ya, tapi ini bisa
dipastikan sangat jarang terjadi. Biasanya itu juga terjadi ketika editor
mendapat berita yang telat dari beberapa wartawan. Editor yang karena
sudah terlalu lelah dan karena sudah terlalu malam, maka editor asal
memotong berita dari laporan sejumlah wartawan kemudian digabungkan.
Dugaan saya, mungkin wartawan ada yang mendapatkan hasil wawancara
dengan pakar hukum, namun karena kurang ketelitian editor dalam
memotong sehingga hal tersebut tidak masuk dalam teks. Itu mungkin lebih
kepada kesalah teknis, dan itu menjadi kelemahan Kompas. Intinya tidak
ada unsur kesengajaan menghilangkan dari segi hukumnya.‖
Republika mewawancari tiga narasumber; Komisoner Komnas HAM
Manager Nasution, Menteri Agama Lukman Hakim syaifudin, dan Kapolri
Jenderal badrodin Haiti.Dalam teks berita tersebut Republika mengarahkan
wacana bahwasannya kericuhan yang terjadi di Tolikara merupakan
pelanggaran HAM.Oleh karena itu, Republika memilih sumber yang ahli di
bidang hukum dan HAM.Maka secara tidak langsung Republika
menekankan kepada khalayak bahwa kasus ini benar pelanggaran terhadap
HAM dengan didukung pernyataan dari orang yang relevan untuk menilai
masalah hukum dan HAM, yakni Komisisoner Komnas HAM Manager
Nasution. Berikut kutipan dari Manager Nasution dalam teks Republika:
―Ini kan pelakunya sudah terang benderang.Negara harus
hadir untuk menyelesaikan kasus ini ke meja persidangan,‖ ujar
Manager, Ahad (19/7).Meneger setuju dengan pandangan sejumlah
96
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015.
65
tokoh yang menyatakan tragedi di Tolikara setingkat dengan
pelanggaran hak asasi manusia.
Tabel 3.5
Pernyataan Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Pernyataan ―Jadi, yang menyerbu dan
yang melakukan
penembakan harus
diperiksa. Kalau salah,
akan dihukum seberat-
beratnya,‖ ujar Kalla.
Manager setuju dengan
pandangan sejumlah
tokoh yang menyatakan
tragedi di Tolikara
setingkat dengan
pelanggaran hak asasi
manusia.
Pada tabel pernyataan, Kompasmemandang bahwa konflik ini
merupakan tindak kriminal.Kompas dalam pernyataan tersebut hanya
menggambarkan sebuah instruksi bukan pada tataran langkah hukum tegas
apa yang harus diambil untuk menyelesaikan kasus di Tolikara. Kata
―dihukum seberat-beratnya‖ tidak spesifik menunjukan hukuman apa yang
pantas bagi pelaku.
Sedangkan, Republika mamakai pernyataan dari Komisiner Komnas
HAM, yang langsung menggolongkan kerusuhan di Toliara temasuk pada
pelanggaran hak asasi manusia. Framing Republika tidak sekedar membahas
pada tataran instruksi pemeriksaan atau langkah hukum seperti apa yang
akan diambil, tapi Republika sudah berbicara bahwasannya ini adalah
pelanggaran HAM—pelaku dan kesalahan sudah jelas. Secara tidak
langsung, Republika menilai bahwa sudah seharusnya pemerintah bertindak
tegas kepada para pelaku untuk membawa ke meja persidangan.
66
Tabel 3.6
Penutup Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Penutup Komandan Kodim
1702/Jayawijaya Letnan
Kolonel Inf Andreas
mengatakan, 154 korban
dalam peristiwa itu masih
mengungsi di Markas
Komando Rayon Militer
Karubaga.
Ia menjanjikan, Ia
menjanjikan, kepolisian
juga akan mengejar aktor
intelektual di balik
beredarnya surat
pelanggaran shalat Ied
yang disebut diedarkan
pihak GIDI ….
Dibagian akhir Kompasmemaparkan dampak dari konflik Tolikara
melalui pernyataan dari Kolonel Inf Andreas terkait jumlah korban yang
masih mengungsi.
Sedangkan, Penutup Republika lebih menekankan pada penyelesaian
konflik dengan memaparkan upaya kepolisian yang akan mencari tahu aktor
dibalik beredarnya surat pelarangan shalat Id yang disebut diedarkan pihak
GIDI. Bagian akhir Republika ini mempertegas bahwasannya Republika
konsisten membahas penegakan hukum bagi pelaku kerusuhan di Tolikara.
2. SKRIP
a. Kelengkapan Berita
Tabel 3.7
5W+1H Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur
diamati
Kompas Republika
5W+1H Apa yang terjadi? (what):
Wakil Presiden Jusuf Kalla
menginstruksikan Kapolri
Badrodin Haiti untuk
mengambil langkah hukum
tegas dalam menyelesaikan
Apa yang terjadi?
(what):
Komnas HAM meminta
kepolisian menyelidiki
hingga tuntas peristiwa
kerusuhan di Tolikara.
67
insiden di Tolikara.
Siapa yang harus diperiksa?
(who): massa yang
menyerbu dan aparat yang
melakukan penembakan
harus diperiksa.
Siapa yang harus
dihukum tegas? (who):
penegakkan hukum
terhadap pelaku
kerusuhan dan aktor
intelektual di balik
kerusuhan dan
melakukan penyelidikan
terhadap tindakan yang
dilakukan aparat
keamanan saat
kerusuhan.
Kapan instruksi tersebut
diberikan? (when): Minggu
(19/7).
Kapan permintaan
tersebut dilayangkan?
(when): Ahad (19/7).
Dimana instruksi tersebut
diberikan oleh Jusuf Kalla?
(where): di rumah
pribadinya di Makasar,
Sulawesi Selatan.
Dimana permintaan
tersebut dilayangkan oleh
Komnas HAM? (where):
-
Mengapa instruksi tersebut
diberikan? (why): untuk
meredam insiden Tolikara.
Mengapa permintaan
tersebut dilayangkan
Komnas HAM? (why):
karena kekahwatiran
insiden ini akan
berpotensi panjang
lantaran melibatkan
agama sebagai persoalan.
Bagaimana proses langkah
hukum yang diambil?
(how): Dari langkah hukum
tersebut, Jusuf Kalla
menuturkan 19 orang yang
diperiksa Polri. Sebanyak 9
orang adalah warga sipil dan
10 anggota Polri.
Bagaimana proses hukum
yang perlu diambil?
(how): kepolisian akan
mengejar aktor
intelektual di balik
beredarnya surat
pelanggaran shalat Ied
yang disebut diedarkan
pihak GIDI.
Dari struktur skrip ini pembingkaian kedua media akan nampak
dari unsur skrip mana yang coba dihilangkan kedua surat kabar tersebut.
Teks berita Kompas secara lengkap memaparkan setiap unsur skrip yang
68
memenuhi unsur 5W + 1H. Namun dalam teks Kompas unsur who lebih
mengarah pada siapa yang akan diperiksa bukan pada siapa yang harus
dihukum. Berbeda dengan Republika yang menyatakan Polri akan
melakukan penegakan hukum pada pelaku perusakan. Dalam hal ini
Kompas mengajak pembaca untuk berfikir bahwasannya pelaku perusakan
dan aparat yang menembak belum dipastikan bersalah, karena masih dalam
proses pemeriksaan. Sedangkan Republika mengajak pembaca berfikir
bahwa pelaku perusakan mutlak melakukan kesalahan sehingga harus
mendapatkan hukuman. Sedangkan, terhadap tindakan dari aparat
keamanan belum dipastikan bersalah, masih dalam proses penyelidikan.
Berikut kutipan lengkapnya:
Kutipan teks berita Kompas: ―Jadi yang menyerbu dan yang
melakukan penembakan harus diperiksa. Kalau salah akan dihukum
seberat-beratnya,‖ ujar Kalla.
Kutipan teks berita Republika: Kemudian, Polri akan melakukan
penegakan hukum terhadap pelaku kerusuhan dan aktor intelektual
di balik kerusuhan. Ketiga, Polri juga akan melakukan penyelidikan
terhadap tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan saat
kerusuhan.
3. TEMATIK
a. Detail
Tabel 3.8
Detail Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur
diamati
Kompas Republika
Kalimat …―Anggota kami terpaksa
mengeluarkan tembakan.
Mereka sudah
mengeluarkan tembakan
peringatan. Namun, 500
warga yang membakar kios
tidak menggubrisnya dan
…―Para korban (pelaku
perusakan yang
meninggal) ditembaki
(aparat) karena mereka
melempari jamaah
shalat Id,‖ kata
Badrodin Haiti…..
69
melempar aparat dengan
batu,‖ ujar Yotje.
Detail yang coba dipaparkan Kompas dan Republika sama-sama
terkait pada alasan mengapa aparat keamanan sampai mengeluarkan
tembakan saat insiden itu terjadi sehingga menewaskan satu orang dan 11
orang terluka. Aparat sampai mengeluarkan tembakan karena massa yang
melakukan penyerangan terlebih dahulu melempari batu. Detail tersebut
menyebabkan posisi massa terlihat bersikap anarkis, dan berada pada pihak
yang salah. Namun, diakhir kalimat terdapat keterangan yang berbeda yang
dipaparkan Kompas dan Republika.Jika Kompas menyatakan sasaran massa
yang melempari batu ialah aparat. Berbeda dengan Republika, menyatakan
sasaran massa ialah jamaah shalat Ied. Republika seolah menguraikan fakta
berbeda bahwasannya sasaran massa sengaja ditunjukan kepada jamaah
shalat Ied.
b. Koherensi
Tabel 3.9
KoherensiKompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Hubungan
antar kalimat
- Ia menjanjikan,
kepolisian juga akan
mengejar aktor
intelektual di balik
beredarnya surat
pelanggaran shalat Ied
yang disebut diedarkan
pihak GIDI. …..
Dalam teks berita Republika terdapat koherensi atau jalinan kata
pada kalimat ―yang disebut diedarkan pihak GIDI‖.Koherensi pada
kalimat tersebut disebut koherensi kondisional (penjelas).Koherensi
70
kondisional ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas.
Disini terdapat dua kalimat, kalimat pertama ―kepolisian juga akan mengejar
aktor intelektual di balik beredarnya surat pelanggaran shalat Ied‖ kemudian
dihubungkan dengan kata konjungsi ―yang‖ pada kalimat kedua ―yang
disebut diedarkan pihak GIDI‖. Fungsi kalimat kedua ini hanya sebagai
anak kalimat (penjelas). Sebenarnya tanpa anak kalimat ini tidak akan
mengurangi arti kalimat—bahwasannya polisi akan mengejar aktor
intelektual di balaik beredarnya surat pelarangan shalat Ied.
Anak kalimat tersebut menjadi cerminan kepentingan komunikator
(Republika) karena dapat memberi keterangan baik atau buruk terhadap
suatu pernyataan.97
Secara tidak langsung, dalam hal ini Republika memberi
makna penyudutan (kesan negatif) pada pihak GIDI.
c. Bentuk Kalimat
Tabel 3.10
Bentuk kalimat Kompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Paragraf dan
Kalimat
Insiden di Kabupaten
Tolikara, Papua, terjadi
Jumat pekan lalu dan
mengakibatkan puluhan
bangunan kios dibakar,
termasuk mushala, serta
sejumlah orang ditembak
oleh aparat. Peristiwa
tersebut menewaskan
seorang warga dan
melukai 10 orang.
Manager menerangkan,
jika pelanggaran hak
asasi paling tinggi
dilakukan otoritas negara
terhadap sipil, yang
terjadi di Tolikara ialah
aksi penolakan
kelompok mayoritas
terhadap minoritas.
Apalagi, …..
Presiden Joko Widodo
dan sejumlah tokoh
Lukman mengakui,
Kemenag juga telah
97
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 244.
71
agama juga mengatakan
bahwa Indonesia adalah
negara yang memiliki
banyak keragaman, baik
tradisi, budaya, maupun
agama. Oleh karena itu,
semua pihak perliu terus
menjaga persatuan dan
kesatuan dan toleransi
antar agama. ….
melakukan rapat dengan
Menkopolhukam,
Kapolri, Kepala BIN,
Dirjen Pol Mendagri, dan
Korsahli Panglima TNI
terkait pembakaran. Salah
satu hasil pertemuan
itu,……
Bentuk kalimat yang digunakan Kompas dan Republika dalam teks
ini memakai bentuk deduksi, dimana inti kalimat diletakan di awal lalu
kemudian dilengkapi dengan kalimat-kalimat keterangan yang
terperinci.Tema inti Kompas yang pertama memaparkan dampak dari
peristiwa insiden di Tolikara yang mengakibatkan bangunan kios terbakar
hingga jatuhnya korban jiwa lantaran bentrok dengan pihak aparat. Sehingga
kemudian Kompas menyatakan bahwasannya penegakan hukum harus
diterapkan kepada massa serta aparat yang saat itu bentrok dilokasi
kejadian. Tema kedua, himbauan dari berbagai pihak untuk menjaga
toleransi serta persatuan dan kesatuan bangsa.Tema ini dalam teks didukung
oleh kutipan Presiden Joko Widodo, Said Aqil Siroj, Ahmad Syafii Maarif.
Jika diamati dari struktur keseluruhan teks berita ini, 8 paragraf awal
membahas tema utama—perlunya langkah hukum tegas—jumalah ini lebih
kecil dibandingkan dengan jumlah paragraf yang membahas perlunya
menjaga toleransi dipaparkan sebanyak 12 paragraf dari total keseluruhan
20 paragraf.Hal ini menunjukan Kompas memeberikan ruang lebih kecil
dalam membahas langkah hukum bagi pelaku kerusuhan di Tolikara.
72
Tema inti teks yang diuraikan Republika adalah mengenai
pelanggaran HAM yang dilakukan para pelaku insiden Tolikara.Dengan
mengguraikan hal ini di awal teks seolah diarahkan bahwa penyerbuan dan
perusakan tersebut sebuah pelanggaran HAM.Ketentuan atas pelanggaran
HAM seolah sesuai untuk menentukan teks berupa tindakan tepat untuk
menyeret para pelaku ke pengadilan.Jika dilihat dari struktur teks berita,
sejak paragraf awal hingga akhir, Republika fokus terhadap tema inti
tersebut.
Selain itu, dalam bentuk kalimatnya terdapat prinsip sebab
akibat.Dimana prinsip kausal ini berada dalam kalimat yang tersusun atas
subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Susunan
kalimat ini menentukan makna yang akan dibangun. Kalimat ―aksi
penolakan kelompok mayoritas terhadap minoritas,‖kelompok
mayoritas dalam struktur ini menjadi subjek, penempatan kalimat seperti ini
memberi penilaian negatif kepada kelompk yang disebut dalam teks sebagai
kelompok mayoritas.
d. Kata Ganti
Tabel 3.11
Kata ganti Kompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kalimat
―Pesan saya, kita semua
berstu, saling toleransi.
Dengan cara itu, kita
dapat membangun daerah
ini‖ kata Presiden Joko
Widodo.
Apalagi, dikatakan dia
penolakan tersebut
berujung pada aksi
vandalisme dengan
melakukan perusakan
dan pembakaran rumah
73
ibadah umat yang diakui
keberadaannya oleh
negara.
Kata ganti saya dalam pernyataan Joko Widodo yang dikutip oleh
Kompas menggambarkan bahwa ini merupakan sikap resmi dari Joko
Widodo. Kompas hanya sebagai penyamapai dari apa yang diungkapkan
oleh Jokowi. Kata ganti kita dalam pernyataan Jokowi menunjukan sikap
tersebut sebagai representasi dari sikap bersama, bahwasannya kata kita itu
merujuk pada seluruh warganegara Indonesia. Jokowi memberikan
himbauan untuk menjaga toleransi kepada seluruh warganegara Indonesia.
Kata ganti dia atau iayang digunakan Republika menggambarkan
bahwa pandangan atau sikap tersebut merupakan ungkapan
narasumber.Republika mempertegas dengan menggunakan kata ganti dia
agar memberikan nada bahwasannya pandangan tersebut bukanlah
pandangan Republika secara subjektif, namun itu merupakan pandangan
narasumber.
4. RETORIS
a. Leksikon
Tabel 3.12
Leksikon Kompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kata/ Frasa Langkah hukum tegas
perlu diambil
Seret pelaku ke
pengadilan
Puluhan bangunan kios
temasuk mushala
terbakar
Pembakaran masjid
74
Kompas menggunakanan kalimat ―langkah hukum tegas perlu
diambil‖.Kata ―Langkah‖ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat pula
diartikan sebagai tindakan, jadi Kompas ingin menggambarkan
bahwasaanya para pelaku insiden Tolikara perlu ditindak dengan hukum
yang tegas. Sedangkan Republika menggunakan kalimat judul ―seret pelaku
ke pengadilan‖. Kata ―seret‖ memiliki arti menarik dengan paksa, dalam hal
ini Republika menyatakan pelaku inisden tolikara harus dibawa ke
pengadilan.
Kompas menggunakan kata terbakar sedangkan Republika
menggunakan kata pembakaran.Kedua kata tersebut berasal dari kata bakar
yang memiliki arti menghanguskan.Namun kedua kata ini diberi imbuhan.
Jika imbuhan termaka memiliki arti sudah atau sedang berkobar atau habis
dihanguskan api. Sedangkan jika kata ―bakar‖ diberi imbuhan pe-an, maka
pembakaran memiliki arti proses, cara, perbuatan membakar. kata
pembakaran yang digunakan Republika menggambarkan sebuah proses atau
perbuatan pembakaran, secara tidak langsung kata pembakaran ini hendak
menunjukan bahwa pembakaran tersebut dilakukan oleh subjek pembakar.
Dengan demikian, Republika mencoba menekankan bahwa peristiwa
tersebut adalah peristiwa pembakaran masjid yang sengaja dibakar.
Selanjutnya, Kompas menggunakan kata mushala sedangkan
Republika menggunakan kata masjid. Kedua kata tersebut memiliki makna
yang sama, yakni sebagai tempat ibadah umat muslim. Namun dalam kamus
bahasa Indonesia, kata musala memiliki arti bangunan tempat salat yang
75
lebih kecil dari pada masjid.98
Dengan demikian Kompas mencoba
menyampaikan kepada pembaca bahwa yang terbakar ialah tempat ibadah
yang memiliki ukuran lebih kecil. Sedangkan, Republika ingin
menyampaikan sebalikya, yang terbakar ialah tempat ibadah yang besar.
Terkait perbedaan penggunaan frasa tersebut, pihak Kompas
memberikan keterangan sebagai berikut:99
―Terkait kata mushala. setau saya, saya meyakini itu mushala. Kita
ada teman di lapangan dan kita mengikuti data resmi juga. Jadi kita
mengikuti jika ada pejabat atau otoritas pemerintah setempat menyebutkan
mushala maka kita ikuti itu. Kita yakini itu mushala bukan masjid.‖
―Kayanya kalau saya tidak salah, Kompas awalnya juga berasumsi
dibakar, wartawan kami dilapangan awalnya mendapatkan data musolah itu
dibakar. Namun, setelah tahu kronologis sebenarnya maka kami ganti
menjadi terbakar.Tapi kronologi sebenarnya bahwa itu terbakar bukan
dibakar ya, wartawan kita juga mengecek. Jadi ricuh dulu kemudian terjadi
pembakaran pada kios-kios, sedangkan mushala ada dalam lingkungan kios
tersebut, sehingga apinya merembet. Faktanya yang kita yakini itu
merembet bukan dibakar.‖
Begitupun dengan Republika terkait pemilihan diksi tersebut. Pihak
Republika menyatakan:100
―Tergantung siapa yang bicara. Kalau orang-orang islam di sana
menyebutnya itu masjid. Di sana ada tulisan dari plang yang selamat dari
pembakaran kita lihat itu ada tulisannya masjid. Kita punya foto plangnya,
itu bertuliskan masjid Baitul Muttaqin. Sebenarnya tergantung siapa ynag
bicara, kalau ada kutipan itu musolah maka kebawahnya kita ngikutin itu
musolah. Tapi reporter kami yang disana melihat itu masjid. Jadi kita
menggunakan keduanya.‖
98
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Moderen English Press, 2002), cet. Ke-III, h. 1012. 99
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015. 100
Wawancara dengan Fitriyan Zamzami, Redaktur Halaman Utama Republika,
Jakarta 12 Januari 2016.
76
―Tentu berbeda sekali makna kata ‗terbakar‘ dan ‗dibakar‘.
Ditengah-tengah, kalau ada kata ditengah terbakar dan dibakar itu lah yang
sebenarnya atau kata yang paling tepat untuk mewakili kejaian yang
sebenarnya. Karena itu kalau dibilang terbakar itu bukan terbakar tanpa
sebab, itu terbakar karena memang ada pembakaran yang dilakukan terlebih
dahulu. Jadi kan dalam artian dibakar. Tapi kalau menggunakan kata
dibakar, masjid itu bukan sasaran utama, sasaran utamanya ialah kios,
itulah ekses dari pembakaran kios. Ini kasusunya membingungkan antara
dibakar atau terbakar. Tapi dilapangan kedua kata tersebut kurang tepat.
Terus terang kami tidak punya kerangka pikiran kenapa kita memakai
terbakar dan dibakar. Karena kejadiannya unik. Kita tidak bisa mengklaim.
Jadi kita menggunakan kedua-duanya. Kalau misalnya karena listrik itu
terbakar. Tapi kalau ini kan ada pelaku pembakarannya.‖
b. Grafis
Tabel 3.13
Grafis Kompas dan Republika Edisi 20 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Foto,
pemakaian
huruf tebal dan
unkuran huruf
lebih besar
Kalimat judul dicetak
dengan ukuran besar dan
diberi ketebalan
Kalimat judul dicetak
dengan ukuran besar dan
diberi ketebalan.
Di bawah judul terdapat
kalimat ―Kapolri berjanji
mengejar aktor
intelektual penyebar
surat larangan shalat Id‖
yang diberikan ketebalan
Di samping kiri sejajar
dengan teks berita
terdapat foto Direktur
Jenderal Bimas Kristen
Kementrian Agama
Oditha R Hutabarat dan
Kepala Bagian Humas
PGI Jeirry Sumampow
yang memberikan
keterangan permintaan
maaf atas peristiwa yang
melukai umat Islam
tersebut. Terdapat
caption di bawah foto,
didahului oleh kata
―Minta Maaf‖ yang
dicetak tebal.
77
Dari segi grafis, Republika mencoba memberikan penekana dengan
membubuhkan pernyataan Kapolri—―Kapolri berjanji mengejar aktor
intelektual penyebar surat larangan shalat Id‖ setelah judul dan diberi
ketebalan yang berbeda dari isi teks berita. Penggunaan huruf tebal serta
peletakan posisi setelah judul ini merupakan bagian yang sengaja dibuat
mencolok, karena ini untuk mendukung arti penting suatu pesan
bahwasannya tedapat okum yang memang meyebarkan surat larangan shalat
Ied kepada umat Muslim, bahkan pernyataan ini sengaja dibuat dengan
kalimat pernyataan janji Kapolri untuk mencari oknum tersebut.
Disamping itu, penggunaan foto pada Republika dimana terdapat
foto Direktur Jenderal Bimas Kristen Kementrian Agama Oditha R
Hutabarat dan Kepala Bagian Humas PGI Jeirry Sumampow dengan caption
permintaan maaf atas peristiwa yang melukai umat Islam. Caption di bawah
foto, didahului oleh kata ―Minta Maaf‖ yang dicetak tebal. Kata maaf yang
dicetak tebal untuk mendukung arti penting suatu pesan, selain itu untuk
menarik perhatian pembaca agar berpusat pada kata tersebut. Republika
ingin menekankan bahwasannya tokoh-tokoh umat kristiani meminta maaf
atas kesalahan umat kristiani di Tolikara yang telah menyebabkan
kerusuhan yang berujung pada terbakarnya rumah ibadah umat muslim.
Berita 2: Teks Berita KompasEdisi 21 Juli 2015
INSIDEN TOLIKARA
Pemerintah Jamin Biaya Rekonstruksi
JAYAPURA, KOMPAS – Pemerintah menjamin tersedianya
anggaran untuk biaya rekonstruksi akibat insiden di Kabupaten Tolikara,
Papua. Sementara itu, kepolisian telah memeriksa 32 saksi dalam kasus
78
yang terjadi Jumat pekan lalu itu, dan beberapa di antaranya merupakan
calon tersangka.
―Banyak mekanisme yang bisa dipekai (untuk biaya pembangunan),
seperti dana hibah atau talangan. Kita semua sepakat, membangun kembali
mushala itu penting,‖ kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam
pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Forum Koordinasi
Pimpinan Daerah Provinsi Papua di Jayapura, Senin (20/7).
Kemarin, kehidupan di Tolikara telah berangsur normal. Warga telah
bebas beraktivitas. Sejumlah warga pendatang dan penduduk lokal yang
ditanya soal insiden Jumat pekan lalu itu mengatakn tak tahu pasti
penyebabnya. Mereka mengatakan selama ini tidak pernah ada keributan
terkait persoalan agama. ―Jangan sampai ada balas dendam. Kami hanya
berharap janji pembangunan secara permanen (kios dan mushala) itu bisa
benar-benar dilaksanakan,‖ kata Ali Mukhtar, pemuka agama Islam di
Kabupaten Tolikara.
Nemun, sekitar 250 orang masih mengungsi di tenda darurat di depan
Markas Koramil 1720 II/Karubaga setelah kios sekaligus tempat itnggal
mereka terbakar dalam insiden Jumat pekan lalu. Menurut rencana, mereka
akan direlokasi ke kantor lama Bupati Tolikara yang saat ini kosong. ―Saat
ini kondisi telah kondusif,‖ kata Ustaz Ali Mukhtar, perwakilan pengungsi.
Panglima Kodam XVII/Cendrawasih Mayor Jendral Fransen G
Siahaan menyatakan tidak keberatan apabila lapangan Koramil dipakai
sementara untuk menampung pengungsi. Di tempat itu juga akan dibangun
mushala sementara.
Pihak gereja, lanjut Fransen, sudah sepakat untuk memprioritaskan
rekonstruksi mushala yang terbakar. TNI siap menurunkan 90 anggotanya
untuk membantu pembangunan.
Sementara itu, Mentri Sosial Khofifah Indar Perawansa menuturkan,
kementriannya akan merenovasi semua ruko dan mushala yang terbakar.
Kementrian Sosial juga menyaiapkan logistik dan fsilitas trauma healing
bagi korban insiden Tolikara. menurt rencana, seluruh bantuan akan dikirim
pada Rabu besok setelah Kementrian Sosial mengirim bantuan kepada
korban cuaca dingin di Lanny Jaya, Papua.
Proses Hukum
Kepala Polri Jendral (Pol) Badrodin Haiti menuturkan, dalam
penanganan insiden Tolikara, polisi punya tiga tugas. Pertama,
menghentikan dan melokalisasi kerusuhan. Kedua, menjamin dan
memelihara keamanan. Ketiga, melakukan penegakan hukum terhadap
pembakar kios dan pembubaran saat shalat Id.
Pelaku insiden Tolikara, lanjut Badrodin, dapat dikenai dengan
tidakan penodaan agama dan perusakan fasilitas umum.
Wakil Kepala Polda Papua Brigjen (Pol) Rudolf Albert Rodja
menuturkan, Polri sudah memeriksa 32 saksi dalam insiden Tolikara.
sebagian dari saksi itu merupakan calon tersangka. ―Sesuai perintah
Presiden, ini akan ditindak agar tidak berdampak luas di daerah lain,‖
katanya.
79
Direktur Jendral Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri
Soedarmo mengatakan, untuk mencagah terjadinya insiden seperti yang
terjadi di Tolikara, pemerintah daerah harus meningkatkan fungsi deteksi
dini.
Terkait hal ini, ke depan, perlu dibentuk tim terpadu penanganan
konflik sosial ditingkat pusat maupun daerah. Penanggung jawab tim ini
adalah gubernur, didampingi wakil dari panglima kodam, kepala polda, dan
kepala BIN daerah. ―Mulai 2016, konsep tim ini akan disosialisasikan ke
seluruh daerah. Arahnya, supaya kita bisa lebih tajam mendeteksi. Kalau
kita hanya mengetahui potensi konflik tanpa mencegahnya, yang terjadi
adalah seperti di Tolikara ini,‖ kata Soedarmo.
Sementara itu, komunitas kerukunan umat beragama di Jombang,
Jawa Timur, semalam berkumpul untuk berdoa bersama dan refleksi demi
pulihnya suasana kerukunan di antara umat beragama di Tolikara. Acara itu
berlangsung di tumah KH. Suudi Yatmo, Padepokan Djagat Besi di Betek,
Mojoagung, Jombang.
Koordinator komunitas Gus Durian Jombang, Aan Anshori, yang ikut
menggags pelaksanaan acara itu, mengatakan, pertemuan dengan tajuk
―Ketupat untuk Tolikara‖ ini dimaksudkan untuk makin menguatkan dan
meneguhkan prinsip kebinekaan di antara umat beragama di Tanah Air.
―Agar kita saling menyadari bahwa Indonesia bisa berdiri tegak karena
semangat keragaman atau kebinekaan itu,‖ katanya.
Berita 2: Teks Berita Kompas Edisi 21 Juli 2015
Masjid Tolikara Butuh Bantuan
Berbagai lembaga amal menggalang dana untuk masjid di Tolikara.
TOLIKARA – Pengurus Masjid Baitul Mutaqqin, di Karubaga,
Kabupaten Tolikra, Papua, meminta uluran tangan kepada berbagai pihak
untuk bisa membangun kembali rumah ibadah tersebut. Masjid tersebut kini
tersisa puing-puing setelah terbakar dalam kericuhan massa Gereja Injili di
Indonesia (GIDI), Jumat (19/7).
Permintaan bantuan tersebut tercantum dalam surat yang
dilayangkan pengurus Masjid Baitul Mutaqqin yang ditunjukan kepada
Ketua Badan Amil Zakat Daerah Jayawijaya. Dalam surat itu, Koordinator
Seksi Dakwah Masjid Baitul Mutaqqin Zackson Djohan menegaskan fakta
soal terbakarnya masjid dan perlunya bantuan.
―Dalam surat ini, kami memohon bantuan, uluran tangan, dan
perhatian dari Bazda Kabupaten Jayawijaya untuk dapat membantu
meringankan beban penderitaan saudara-saudara kita sesama Muslim di
Karubaga,‖ tertulis dalam surat yang beredar Senin (20/7) tersebut.
Sejak kabar terbakarnya Masjid Baitul Mutaqqin mengemuka,
pemerintah telah menjanjikan akan membangun kembali masjid setra rumah
dan kios yang terbakar id sekitarnya. ―Pemerintah daerah akan membantu
untuk mendirikan kios di sana, juga mushala yang terbakar. Kita juga akan
siapkan bantuan untuk korban kios yang terbakar berupa modal usaha,‖ ujar
Wakil Presiden Jusuf Kalla.
80
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Tolikara juga telah menyerahkan
bantuan awal sebesar Rp 100 juta buat para pengungsi insiden Tolikara.
Pemkab Tolikara juga berjanji akan membantu pembangunan kembali
masjid, kios, dan rumah yang terbakar.
Kendati demikian, berbagai lembaga amal juga menginisiasikan
pengump[ulan dana untuk membantu membangun kembali Masjid Baitul
Mutaqqin. Lembaga filantropi, Dompet Dhuafa, sudah memulai
pengumpulan dana sejak hari kedua kejadian.
―Sudah terkonfirmasi memang benar adanya bahwa masjid tersebut
terbakar. Oleh karena itulah, kami berinisiatif ingin membangun kembali
masjid tersebut agar Muslim di sana dapat menikmati fasilitas ibadah yang
nyaman,‖ kata Ahmad Juwaini, presiden direktur Dompet Dhuafa, Sabtu
(18/7). Ia mengatakan, target pengumpulan dana itu adalah sebesar Rp 5
miliar.
Aktivis NU Papua juga melakukan penggalangan dana untuk
masjid di Karubaga, Tolikara, Papua. ―Kami sedang membuka
penggalangan dana untuk membangun masjid di Karubaga tersebut,‖ kata
Abdul Wahab selaku kordinator Sarkub Papua. Untuk tahap pertama, aktivis
NU Papua sudah menyerahkan sumbangan dana Rp 6 juta.
Sedangkan, selebritis Pandji Pregiwaksono menggalang dana untuk
membangun masjid melalui laman kitabisa,com/masjidtolikara, pandji
menargetkan dana yang terkumpulo mencapai Rp 200 juta. Hingga kemarin,
donasi yang diterima mencapai Rp.36.743.130. menurut Pandji, dana itu
nantinya akan disalurkan ke Bulan Sabit Merah Indonesai (BSMI) cabang
Jayawijaya Papua.
BSMI Jayawijaya sejauh ini terus melaporkan hasil penggalangan
dana yang mereka lakukan untuk membangun masjid di Karubaga. Dalam
akun Twitter resmi BSMI Jayawijaya tertulis bahwa dana yang terkumpul
hingga Senin (20/7) siang Rp 277 juta.
Lembaga amil zakat Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
menyatakan akan turut serta berkoordinasi untuk bisa segara memberikan
bantuan bagi mereka yang terdampak insiden pembakan masjid di Tolikara.
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin
Hafidhuddin juga menyatakan siap berpartisipasi membangun rumah ibadah
baru bagi umat Islam di Tolikara. pernyataan serupa disampaikan pimpinan
Daarul Quran, Yusuf Mansur.
1. SINTAKSIS
a. Skema berita
Struktur sintaksis yang terdapat dalam teks berita Kompas edisi 21
Juli 2015 membentuk skema yang umum yakni bentuk piramida terbalik.
81
Dimana yang dianggap aspek paling penting diletakan diawal, kemudian
disusul dengan fakta-fakta tambahan. Skema teks berita Kompas dimulai
dengan judul, kemudian lead, kutipan narasuber, latar informasi, pernyataan
dan penutup. Skema demikian menujukan bahwa aspek yang dianggap
penting terletak pada lead.
Berbeda dengan Kompas, skema teks berita Republika diawali dengan
judul, kemudian pernyataan, lead, latar informasi, kutipan narasumber,
penutup. Sturktur berita Republika menekankan bahwa pernyataan dianggap
lebih penting dari lead. Hal ini dibuktikan dengan posisi pernyataan dalam
teks ditempatkan lebih dulu dari lead, selain itu pernyataan ini dicetak
dengan ketebalan, jenis huruf dan ukuran huruf yang berbeda dari lead
maupun isi berita secara keseluruhan.
Berikut kutipan pernyataan Republika: ―Berbagai lembaga amal
menggalang dana untuk masjid di Tolikara.‖ Melalui kutipan ini pembaca
diajak untuk menyadari bahwa banyak pihak yang mendukung
pembangunan kembali masjid di Tolikara. Hal ini juga merupakan cara
mempengaruhi masyarakat untuk turut membantu atau menggalang dana
untuk pembangunan masjid di Tolikara. Sehingga Republika menempatkan
kalimat ini sebagai aspek terpenting dari teks berita secara keseluruhan.
Kemudian dihubungkan dengan lead yang menggambarkan situasi masjid
yang tinggal tersisa puing-puing, gambaran seperti ini merupakan cara
menarik simpati pembaca untuk turut simpati dengan kondisi umat islam di
82
Tolikara yang membutuhkan tempat ibadah yang aman dan nyaman pasca
insiden Tolikara.
Tabel 4.1
Headline/Judul Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Headline/judul Pemerintah Jamin Biaya
Rekonstruksi
Masjid Tolikara Butuh
Bantuan
Judul dari kedua surat kabar tersebut memiliki titik persamaan pada
inti tema yang diusung yakni pembangunan berbagai fasilitas pasca insiden
Tolikara. Judul Kompas mengarah pada rekonstuksi bangunan secara
global. Sedangkan, Republika fokus pada rekonstruksi masjid. Selain itu,
dari judul Kompas menampilkan bahwa pemerintah telah menjamin seluruh
biaya rekonstruksi, artinya Kompas ingin menggambarakan kepada khlayak
bahwa persoalan rekonstruksi di Tolikara tidak memiliki kendala dari segi
biaya, karena pemerintah telah menanggung semua biayanya. Sedangkan
Republika menampilkan sebaliknya, rekonstruksi di Tolikara masih menjadi
persoalan, terutama untuk realisasi pembangunan masjid di Tolikara masih
membutuhkan bantuan biaya. Dengan penggambaran semacam ini,
Republika mengajak pembaca untuk simapti dengan kondisi umat Islam di
Tolikara.
Tabel 4.2
Lead Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Lead JAYAPURA, KOMPAS
– Pemerintah menjamin
TOLIKARA – Pengurus
Masjid Baitul Mutaqqin,
83
tersedianya anggaran
untuk biaya rekonstruksi
akibat insiden di
Kabupaten Tolikara,
Papua. Sementara itu,
kepolisian telah
memeriksa 32 saksi
dalam kasus yang terjadi
Jumat pekan lalu itu, dan
beberapa di antaranya
merupakan calon
tersangka.
di Karubaga, Kabupaten
Tolikara, Papua, meminta
uluran tangan kepada
berbagai pihak untuk bisa
membangun kembali
rumah ibadah tersebut.
Masjid tersebut kini
tersisa puing-puing setelah
terbakar dalam kericuhan
massa Gereja Injili di
Indonesia (GIDI), Jumat
(17/7).
Lead yang ditampilkan Kompas terbagai menjadi dua tema yakni.
Pertama,pemerintah menjamin biaya rekonstruksi pasca insiden Tolikara.
Kedua, pemeriksaan polisi terhadap 32 saksi, dan diantaranya merupakan
calon tersangka. Lihat bagaimana Kompas menyusun kedua fakta ini dalam
satu lead. Kompas menekankan bahwa pemerintah berada pada posisi utama
yang harus hadir dan bertanggung jawab membiayai rekonstruksi pasca
insiden Tolikara, sedangkan pemeriksaan terhadap calon tersangka menjadi
fakta yang diletakan setelah tanggung jawab pemerintah. Dengan susunan
demikian Kompas mengajak pembaca untuk berfikir bahwa dalam insiden
tolikara kesalahan dan tanggung jawab tidak semata-mata ditimpakan
kepada tersangaka penyerangan, namun peran pemerintah juga harus hadir
dan bertanggung jawab dalam peneylesain konflik.
Sedangkan Republika memiliki satu inti tema dalam lead-nya yakni,
memohon uluran tangan dari berbagai pihak untuk mendirikan kembali
masjid baru di Tolikara pasca insiden Tolikara.LeadRepublika juga
mendeskripsikan kondisi masjid pasca insiden yang hanya menyisakan
puing-puing. Deskripsi tersebut membawa pesan akan pentingnya
84
pembangunan masjid baru, melihat kondisi rumah ibadah yang sudah tak
dapat difungsikan kembali sebagai tempat ibadah.
Dalam kalimat penutup lead Republika menjelaskan penyebab
terbakarnya masjid tersebut karena kericuhan massa GIDI. Pernyataan sebab
akibat ini membawa kesadaran pembaca untuk memberikan kesan negatif
terhadap massa GIDI, karena mereka digambarkan sebagai penyebab atau
aktor dibalik terbakarnya masjid tersebut.
Tabel 4.3
Latar informasi Kompas danRepublika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Latar informasi Kemarin, kehidupan di
Tolikara telah berangsur
normal. Warga telah
bebas beraktivitas.
Sejumlah warga
pendatang dan penduduk
lokal yang ditanya soal
insiden Jumat pekan lalu
itu mengatakan tak tahu
pasti penyebabnya.
Mereka mengatakan
selama ini tidak pernah
ada keributan terkait
persoalan agama.
―Jangan sampai ada balas
dendam. ….
…..‖meringankan beban
penderitaan saudara-
saudara kita sesama
muslim di Karubaga‖
―…. Kami berinisiatif
membangun kembali
masjid tersebut agar
Muslim di sana dapat
menikmati fasilitas
beribadah yang
nyaman.‖
Latar yang dipilih Kompas menggambarkan kondisi kehidupan di
Tolikara yang telah kembali normal dan kondusif dengan mengutip
pernyataan dari warga setempat. Kutipan pendapat masyarakat ini Kompas
gunakan untuk memperkuat argumennya dalam menyatakan kebenaran
kondisi di Tolikara sehingga memberikan nada objektif. Aspek yang
85
ditekankan Kompas pada latar informasi mengajak pembaca untuk berfikir
bahwa kondisi di Tolikara telah aman dan tentram, dan jangan samapai
terdapat aksi balas dendam. Kompas mengajak pembaca untuk berfikir
kearah perdamaian.
Sebaliknya, Latar yang ditampilkan Republika menggambarkan
kondisi menyedihkan para korban pasca insiden Tolikara, terutama yang
ditekankan adalah korban dari umat muslim. Republika juga
menggambarkan masjid yang tidak dapat difungsikan kembali sehingga
tidak ada lagi fasilitas yang nyaman bagi umat muslim untuk beribadah.
Dengan latar informasi yang dibangun Republika jelas menempatkan umat
muslim sebagai Korban.
Tabel 4.4
Kutipan Narasumber Kompas danRepublika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kutipan
narasumber
―Jangan sampai ada
balas dendam. Kami
hanya berharap janji
pembangunan secara
permanen (kios dan
mushala) itu bisa benar-
benar dilaksanakan,‖
kata Ali Mukhtar,
Pemuka agama Islam di
Kabupaten Tolikara.
―Pemerintah daerah akan
membantu untuk
mendirikan kios di sana,
juga mushala yang
terbakar. Kita juga akan
siapkan bantuan untuk
korban kios yang terbakar
berupa modal usaha.‖
(Wakil Presiden Jusuf
Kalla)
―Sudah terkonfirmasi
memang benar adanya
bahwa masjid tersebut
terbakar. Oleh karena
itulah, kami berinisiatif
ingin membangun kembali
masjid tersebut agar
Muslim di sana dapat
menikmati fasilitas ibadah
86
yang nyaman.‖ (Presiden
Direktur Dompet Dhuafa
Ahmad Juwaini)
―Kami sedang membuka
penggalangan dana untuk
membangun masjid di
Karubaga tersebut.‖
(Koordinator Sarkub
Papua Abdul Wahab)
Dari kutipan narasumber Kompas, terdapat ketidak berimbangan
dalam pemilihan narasumber. Dalam teks berita digambarkan bahwa
kehidupan di tolikara telah berangsur normal, bahkan penduduk lokal dan
warga pendatang telah kembali melakukan aktivitas. Kemudian Kompas
mengutip pernyataan harapan dari masyarakat setempat, namun Kompas
hanya menyajikan satu narasumber yang berasal dari tokoh umat Islam, Ali
Mukhtar. Hal ini tidak sesuai dengan pendekatan yang ingin disapaikan
Kompas. Ketika Kompas mengatakan bahwa kehidupan di Tolikara telah
kembali normal, artinya sudah tidak ada lagi konflik dan telah terjadi
perdamaian antar pihak yang berkonflik. Seharusnya Kompas menyajikan
pernyataan dari kedua pihak. Berikut kutipan teks berita Kompas:
Kemarin, kehidupan di Tolikara telah berangsur normal.
Wrga telah bebas beraktivitas. Sejumlah warga pendatang dan
penduduk lokal yang ditanya soal inisden Jumat pekan lalu itu
mengatakan tak tahu pasti penyebabnya. Mereka mengatakan selama
ini tidak pernah ada keributan terkait persoalan agama. ―Jangan
sampai ada balas dendam. Kami hanya berharap janji pembangunan
secara permanen (kios dan mushala) itu bisa benar-benar
dilaksanakan,‖ kata Ali Mukhtar, Pemuka agama Islam di Kabupaten
Tolikara.
Republika mewawancarai tiga narasumber: Wakil Presiden Jusuf
Kalla, Presiden Direktur Dompet Dhuafa Ahmad Juwaini, Koordinator
87
Sarkub Papua Abdul Wahab.Dua diantara narasumber mengarah pada
pentingya pembangunan masjid, dan satu narasumber mengarah pada
rekonstruksi bangunan secara keseluruhan, baik pembangunan sejumlah
kios dan masjid yang terbakar.Dengan lebih banyaknya narasumber yang
berbicara terkait pentingnya pendirian masjid.Republika membingkai
pemberitaan ini seolah pembangunan masjid harus menjadi prioritas utama.
Tabel 4.5
Pernyataan Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Pernyataan Pihak Gereja, lanjut
Fransen, sudah sepakat
untuk memprioritaskan
rekonstruksi musolah
yang terbakar.
Kami berinisatif ingin
membangun kembali
masjid tersebut agar
muslim di sana dapat
menikmati fasilitas
ibadah yang nyaman
Pernytaan kedua surat kabar tersebut memiliki inti yang sama
terkait rekonstruksi rumah ibadah umat Muslim. Jika dilihat dalam teks
Kompas, pernyataan Fransen menyebutkan pihak gereja memprioritaskan
rekonstruksi mushala yang terbakar. Kompas ingin nmenekankan pesan
tertentu bahwa pihak gereja turut memperioritaskan kebutuhan umat
Muslim, hal ini memberikan kesan bahwa pihak gereja memiliki jiwa
toleransi sebab menghargai hak umat lain untuk mendapatkan fasilitas
rumah ibadah. Secara tidak langsung Kompas menampilkan citra positif
bagi pihak gereja.
Sedangkan, pernyataan yang dikutip republika dalam teks berita
menekankan pada alasan perlunya mendirikan masjid. Republika mengajak
88
pembaca untuk memahami bahwasannya setiap orang harus memberikan
hak kebebasan dalam beribadah termasuk mendirikan tempat ibadah bagi
pemeluk agama lain. Sehingga Republika memberikan penekanan bahwa
pendirian masjid baru merupakan hal urgen untuk segera direalisasikan.
Tabel 4.6
Penutup Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Penutup Koordinator komunitas
Gus Durian Jombang,
Aan Anshori, yang ikut
menggagas pelaksanaan
acara itu, mengatakan,
pertemuan dengan tajuk
―Ketupat untuk Tolikara‖
ini dimaksudnkan untuk
makin menguatkan dan
meneguhkan prinsip
kebinekaan di antara
umat beragama di Tanah
Air. ―Agar kita saling
menyadari bahwa
Indonesia hanya bisa
berdiri tegak karena
semua karagaman atau
kebinekaan itu,‖ katanya.
Ketua Umum Badan
Amil Zakat Nasional
(Baznas) Didin
Hafidhuddin juga
menyatakan siap
berpartisipasi
membangun rumah
ibadah baru bagi umat
Islam di Tolikara.
Pernytaan serupa
disampaikan pimpinan
Daarul Quran, Yusuf
Mansur.
Penutup teks berita Kompas menggambarkan pentingnya
masyarakat untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Argumen
Kompas ini diwujudkan dengan menampilkan pernyataan narasumber dari
komunitas kerukunan antar umat beragama sebagai pendukung gagasannya
tersebut. Penutup ini semakin memperjelas arah Kompas yang lebih
menenkankan pada perdamaian serta menjaga persaudaraan antar umat
beragama.
89
Penutup Republika manggambarkan dukungan terhadap pendirian
masjid baru di Tolikara. Dukungan ini Republika tampilkan dengan
banyaknya pihak dari berbagai lembaga amal yang berpartisipasi dalam
penggalangan dana untuk masjid di Tolikara.
2. SKRIP
a. Kelengkapan Berita
Tabel 4.7
5W+1H Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
5W+1H Apa yang terjadi? (what):
jaminan biaya
rekonstruksi akibat
insiden Tolikara.
Apa yang terjadi?
(what): pengurus Masjid
Baitul Mutaqqin
meminta uluran tangan
kepada berbagai pihak
untuk bisa membangun
kembali rumah ibadah di
Tolikara.
Siapa yang akan
menjamin biaya
rekonstruksi? (who):
Pemerintah
Kapada siapa permintaan
bantuan tersebut
dilayangkan? (who):
Badan Amil Zakat
Daerah Jayawijaya,
pemerintah dan
Pemerintah Kabupaten
Tolikara serta berbagai
lembaga amal.
Bagaimana proses
rekonstruksi tersebut?
(how): pemerintah akan
melakukan rekonstruksi
ruko dan mushala yang
terbakar
Kapan pemohonan
bantuan tersebut
dilayangkan? (when):
Senin (20/7)
Mengapa permohonan
bantuan tersebut
dilakukan? (why): untuk
dapat membantu
meringankan beban
penderitaan saudara-
90
saudar sesama Muslim di
Karubaga
Bagaimana proses
penggalangan dana
tersebut? (who): berbagai
lembaga amal membantu
untuk menggalang dana,
di antaranya dari Domper
Dhuafa, aktivis NU
sudah menyerahkan Rp 6
juta, ….
Dalam berita tersebut Kompas mencoba membentuk sebuah
pembingkaian yang menghasilkan kesan tertentu kepada masyarakat dengan
cara menghilangkan satu atau lebih unsur penting dalam berita tersebut.
Unsur yang hilang yang dimaksud penulis ialah unsur where, why dan when.
Kompas tidak menjelaskan alasan mengapa rekonstruksi tersebut penting
untuk dilakukan, dan tidak menyajikan dimana dan kapan rekonstruksi
ulang bangunan kios dan mushala tersebut akan dilakukan.
Sejak awal inti utama berita Kompas hanya pada jamian yang
diberikan pemerintah untuk biaya rekonstruksi bukan pada alasan mengapa
rekonstruksi tersebut perlu dilakukan. Dengan cara seperti ini tidak nampak
hal penting yang melatarbelakangi perlunya rekonstruksi di Tolikara.
Sebaliknya, Republika memaparkan alasan terkait pentingnya
pembangunan masjid. Dengan penyajian alasan secara rinci ini menekankan
kesadaran kepada pembaca bahwa pendirian masjid ini sangat penting,
karna ini menyangkut menghormati serta memberikan hak kebebasan
91
beribadah bagi umat Muslim dengan cara mendirikan fasilitas ibadah yang
nyaman.
3. TEMATIK
a. Detail
Tabel 4.8
DetailKompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kalimat
Kemarin, kehidupan di
Tolikara telah berangsur
normal. Warga telah
bebas beraktivitas.
Sejumlah warga
pendatang dan penduduk
lokal yang ditanya soal
inisden Jumat pekan lalu
itu mengatakan tak tahu
pasti penyebabnya.
Mereka mengatakan
selama ini tak pernah ada
keributan terkait
persoalan agama. ―Jangan
sampai ada balas
dendam…..‖ kata Ali
Mukhtar, Pemuka agama
Islam di Kabupaten
Tolikara.
Pengurus Masjid Baitul
Mutaqqin, di Karubaga,
Kabupaten Tolikara,
Papua, meminta uluran
tangan kepada berbagai
pihak untuk bisa
membangun kembali
rumah ibadah tersebut.
Masjid tersebut kini
tersisa puing-puing
setelah terbakar dalam
kericuhan massa Gereja
Injili di Indonesia
(GIDI), Jumat (17/7).
Detail yang dijabarkan Republika ialah kondisi bangunan masjid
yang hanya tersisa puing-puing. Selain itu terdapat detail lain yang
ditampilkan Republika pada kalimat ―setelah terbakar dalam kericuhan
massa Gereja Injili di Indonesia‖. Penulisan semacam ini menekankan
posisi massa GIDI pada posisi tidak legitimate, seakan massa yang ricuh
(GIDI) sebagai pihak yang bersalah.
92
Sedangkan detail yang ditampilkan Kompas adalah penjelasan
panjang terkait kondisi di Tolikara yang telah kondusif dan aman. Dengan
detail seperti ini seolah Kompas menekankan pesan bahwa masalah ini
semestinya tidak dibesar-besarkan, karena kondisi di Tolikara sendiri telah
kondusif.
b. Koherensi
Tabel 4.9
Koherensi Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Proposisi Pemerintah menjamin
tersedianya anggaran
untuk biaya rekonstruksi
akibat insiden di
Kabupatan Tolikara,
Papua.
Masjid tersebut kini
tersisa puing-puing
setelah terbakar dalam
kericuhan massa Geraja
Injili di Indonesia
(GIDI), Jumat (17/7)
Kata ‗akibat‘ pada teks berita Kompas ini merupakan jenis koherensi
sebab-akibat.Kalimat ini jelas mengandung makna bahwa sejumlah
bangunan kios dan mushala yang terbakar tersebut akibat insiden di
Kabupaten Tolikara.Namun, dari kalimat ini terdapat bentuk
nominalisasi.Nominnalisasi ini dalam teks Kompas ditunjukan dengan
menghilangkan subjek atau tokoh tertentu.
Nominalisasi tidak membutuhkan subjek, karena nominalisasi pada
dasarnya adalah proses mengubah kata kerja yang bermakna tindakan
menjadi kata benda yang bermakna peristiwa insiden Tolikara. Kompas
tidak menampilakan aktor atau subjek pelaku pembakaran di Tolikara
sehingga menyebabkan sejumlah bangunan terbakar.Karena yang
93
ditekankan Kompas ialah hanya memberitahu kepada pembaca bahwa
bangunan yang terbakar tersebut merupakan imbas dari insiden Tolikara.
Sebalinya, koherensi pada teks berita Republika terdapat pada
kalimat ―Masjid tersebut kini tersisa puing-puing setelah terbakar dalam
kericuhan massa Geraja Injili di Indonesia (GIDI), Jumat (17/7)‖. Jenis
koherensi yang digunakan adalah koherensi kondisional yang terletak pada
kata ―dalam‖.Kata ―dalam‖ merupakan penjelas darikalimat sebelumnya.
Berbeda dengan Kompas yang menyembunyikan aktor atau subjek pelaku
pembakaran. Sebaliknya, Republika justru menampilkan subjek secara jelas
(massa GIDI). Secara tidak langsung, Republika memberikan penilaian
negative kepada massa GIDI, Karena telah bertindak ricuh sehingga
mengakibatkan terbakarnya masjid.
c. Bentuk Kalimat
Tabel 4.10
Bentuk Kalimat Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kalimat Pemerintah menjamin
tersedianya anggaran
untuk biaya rekonstruksi
akibat insiden di
Kabupaten Tolikara,
Papua. Sementara itu,
kepolisian telah
memeriksa 32 saksi
dalam kasus yang terjadi
Jumat pekan lalu itu, dan
beberapa di antaranya
merupakan calon
tersangka.
Pengurus Masjid Baitul
Muttaqin, di Karubaga,
Kabupaten Tolikra,
Papua, meminta uluran
tangan kepada berbagai
pihak untuk bisa
membangun kembali
rumah ibadah tersebut.
Masjid tersebut kono
tersisa puing-puing
setelah terbakar dalam
kericuhan massa Gereja
Injili di Indonesia
(GIDI), Jumat (19/7).
94
Bentuk kalimat yang digunakan Kompas dan Republika berpola
kalimat Deduktif, dimana inti kalimat (umum) ditempatkan dibagian muka,
kemudian disusul dengan keterangan tambahan (khusus) yang diposisikan
kemudian.
Kutipan bentuk kalimat pada Kompas diambil daribagian lead. Lihat
bagaimana Kompas menyusun dua fakta yang berbeda. Pertama, terkait
pemerintah menjamin anggaran untuk biaya rekonstruksi. Kedua, terkait
pemeriksaan terhadap calon tersangka. Fakta yang ditampilkan lebih dahulu
dianggap merupakan aspek yang lebih penting. Hal ini menekankan
Kompas menganggap penting kehadiran pemerintah untuk bertanggung
jawab dalam penyelesaian konflik ketimbang membahas pada aspek
pertanggungjawaban hukum para pelaku perusakan.
Kemudian, bentuk kalimat Republika juga diambil dari lead. Jika
diamati pada kalimat terakhir dari bentuk kalimat Republika. Penyusunan
kalimat ini berbentuk logika kausal (sebab akibat). Republika terlebih
dahulu menggambarkan kondisi masjid yang tersisa puing-puing, setelah itu
menjabarkan penyebabnya karena terbakar dalam kericuhan massa GIDI.
Bentuk kalimat semacam ini menyandangakan kesan negtif terhadap massa
GIDI karena dianggap sebagai penyebab dari terbakarnya masjid.
4. RETORIS
a. Leksikon
Tabel 4.11
Leksikon Kompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kata Insiden di Tolikara Kericuhan massa Gereja
Injili di Indonesia (GIDI)
95
Kompas memaknai peristiwa ini sebagai insiden di
Tolikara.Penggunaan kata insiden Tolikara ini menggunakan
nominalisasi.Nominalisasi merupakan strategi yang dipakai untuk
menghilangkan kelompok atau aktor sosial tertentu.101
Kata ―insiden
Tolikara‖ ini merupakan kata benda yang menunjukan sebuah
peristiwa.Sebuah nomina (kata benda) tidak membutuhkan subjek, karena
dapat hadir mandiri dalam kalimat.Kata ―insiden Tolikara‖ ini lebih dipilih
Kompas karena dapat mewakili informasi peristiwa di Tolikara tanpa
menampakan aktor atausubjek pelaku penyerangan tersebut.
Terkait hal ini, pihak Kompas memberikan keterangan sebagai
berikut:102
―Kata insiden merupakan pilihan diksi agar tidak menimbulkan
kesan kemarah atau menimbulkan balas dendam. Dalam tanda kutip jauh
lebih aman jika mengunakan kata ―insiden‖ tersebut. Nah mungkin melalui
diksi tersebut Kompas berupaya untuk memberikan efek meredam konflik,
sehingga tidak ada suasana saling menyalahkan.‖
Sebaliknya, Republika justru secara jelas menyebutkan bahwa
kericuhan tersebut dilakukan oleh massa dari GIDI. Berikut kutipam
lengkap Republika: ―Masjid tersebut kini tersisa puing-puing setelah
terbakar dalam kericuhan massa Geraja Injili di Indonesia (GIDI),
Jumat (17/7).‖ Dengan penggunakan kata kericuhan massa GIDI ini jelas
Republika memberikan nada negatif terhadap pihak GIDI sebagai aktor
penyebab kericuhan di Tolikara.
101
Eriyanto, Analsis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.175. 102
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015.
96
b. Grafis
Tabel 4.12
GrafisKompas dan Republika Edisi 21 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Penggunaan
Huruf
Judul dicetak dengan
ukuran huruf lebih besar
dan diberi ketebalan.
Judul dicetak dengan
ukuran huruf lebih besar
dan diberi ketebalan.
Terdapat pula kalimat
―Berbagai lembaga
amal menggalang dana
untuk masjid di
Tolikara” dibawah judul
yang dicetak tebal.
Grafis yang ditampilkan Kompas dan Republika pada judul yang
diberi ketebalan dan menggunakan ukuran huruf yang lebih besar. Hal ini
bertujuan untuk menekankan inti tema yang akan dibahas pada teks berita
tersebut. Pada teks Republika terdapat kalimat―Berbagai lembaga amal
menggalang dana untuk masjid di Tolikara”dibawah judul yang diberi
ketebalan. Hal tersebut menekankan makna bahwapendirian masjid di
Tolikara menuai dukungan dari berbagai pihak.Secara tidak langsung ini
menggambarkan gagasan Republika yang turut mendukung pendirian
masjid baru di Tolikara.
Berita 3: Teks Berita Kompas Edisi 24 Juli 2015
Presiden: Jaga Persaudaraan
Polri Tetapkan Dua Tersangka Perusakan, Kekerasan, dan
Pengahasutan di Tolikara
JAKARTA, KOMPAS – Presiden Joko Widodo mengingatkan,
keanekaragaman suku, bahasa, dan agama dari wilayah Sabang hingg
merauke menuntut bangsa Indonesia harus terus berjuang mewujudkan
persaudaraan, kerukunan, dan toleransi. Demi masa depan, tak ada kata
terlambat untuk membenahi keadaan yang terusik.
Dalam pertemuan dengan 30 tokoh lintas agama, Kamis (23/7), di
Istana Negara, Jakarta, Presiden Joko Widodo yang didampingi Wakil
Presiden Jusuf Kalla beserta sejumlah menteri mengatakan, selama 70 tahun
97
kemerdekaan, bangsa Indonesia berhasil menjaga keselarasan hidup
bersana. Ke depan, masyarakat diharapkan lebih maju dan bijak sehingga
tak terprovokasi melakukan tindakan yang merusak keharmonisasn bangsa.
Selain Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, tokoh lintas agama
lain yang hadir di antarnya Ketua MUI Selamet Efendi Yusuf, Ketua Umum
PGI Pendete Henritte Tabita Lebang, Ketua Presidium KWI Mgr Ign
Suharyo, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Nyoman
Suwisima, Ketua Umum Matakin Uung Sendana.
―Peran semua pemuka agama ini sangat penting. bangsa ini akan maju
jika berhasil menghapuskan sekat-sekat suku, ras, dan agama. Kita akan
maju kalau bisa bersatu padu,‖ ujar Jokowi.
Menurut persiden, apa yang terjadi di Tolikara, Papua, tak seharusnya
terjadi jika komunikasi dan silaturahmi terjalin baik. ―Meskipun demikian,
tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan agar ke depan setiap
gesekan sekecil apa pun dapat diselesaikan dengan baik,‖ katanya.
Presiden menyatakan, Indonesia penuh dnegan keberagama, ―dalam
kebinekaan itu, bangsa Indoensia bisa bersatu, rukun, toleran, serta saling
menghormati dan menghargai. Oleh kerena itu, bangsa Indonesia harus terus
berjuang keras agar toleransi, persaudaraan, dan kerukunan agama terus
dijaga,‖ ucapnya.
Mengawali, pertemuan, Said Aqil yang didampingi tokoh lintas agama
membacakan lima pernyataan sikap terkait insiden di Tolikara. selain harus
menjadikan pelajaran berharga, pemerintah dituntut mengungkap faktor
penyebabnya. Pemerintah juga dituntut secepetnya berlakukan rehabilitasi
dengan membangun fasilitas rumah ibadah, sarana umum, dan
perekonomian, setra menangani korban.
―Semua pihak harus menjunjung tinggi konstitusi, mempererat
persatuan dan kesatuan bangsa, juiga menjaga kerukunan dan kedamaian.
Media massa juag dihimbau turut menciptakan suasana kondusif melalui
pemberitaan objektif, akurat, dan pempraktikan jurnalisme damai atau sadar
konflik,‖ tutur Said aqil.
Terakhir, tembahan semua pihak harus meningkatkan dialog untuk
menjaga keharmonisan dan merawat kerukunan hidup anatar umat
beragama.
Saat ditanya seusai peretemuan, ia berharap media massa tak lagi
embesar-besarkan peristiwa Tolikara agar tak semakin meluas. ―Apalagi,
situasi di Tolikara sekarang sudah kondusif,‖ katanya.
Informasi menyesatkan
Sebelumnya, di rumah dinas Kepala Badan Intelejen Negara
Sutiyoso, Kapala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti juaga meminta
masyarakat tidak terprofokasi oleh informasi menyesatkan terkait insiden
Tolikara yang beredar di media sosial. ―Dalam situasi seperti ini, isu-isu
yang memperofokasi, baik di media sosial maupun layanan pesan singkat,
belum etntu benar. Jadi, masyarakat jangan sampai terprovokasi,‖ uajarnya.
98
Ketua komisi Informasi Pusat Abduhamid Dipropramono juga
berharap pemerintah satu suara dalam memberikan pernyataan terkait
peristiwa Tolikara agar tak membingungkan publik.
Sementara itu, dari 31 orang yang diperiksa menyusul insiden
Tolikara pada Jumat (17/7) lalu, Polri menetapkan dua orang dari kalangan
Gerja Injili di Indonesia (GIDI) di Tolikara sebagai tersangka. ―Ada dasar
dan alat bukti yang cukup untuk menetapkan (mereka) sebagai tersangka.
AK dan JW diduga melakukan perusakan, kekerasan, penganiayaan, serta
penghasutan,‖ jelasnya. Sebelumnya, empat aktivis GIDI diperiksa
Kepolisian Daerah Papua.
Berita 3: Teks Berita Republika Edisi 24 Juli 2015
Dua Tersangka Tolikara Diringkus
Kepolisian tak menutup kemungkinan jumlah tersangka bertambah
JAKARTA – Pihak Kepolisian Daerah (Polda) Papua meringkus dua
orang terkait insiden kericuhan yang berbuntut terbakarnya masjid di
Karubaga, Tolikara, Papua. Kedua orang tersebut dijadikan tersangka
karena diduga memerintahakan penyerangan ke lokasi shalat Id di Tolikara,
Jumat (17/7) lalu.
―betul, sudah ditangkap pukul 17.00 (WIT), saat ini sedang dibawa
ke Wamena,‖ kata Kapolda Papua Inspektur Jenderal Yotje Mende, Kamis
(23/7). Ia mengatakan, kedua tersangka tersebut berinisial HK dan JW.
Menurut Yotje, dari rekaman yang dimiliki kepolisian, keduanya
terlihat memberikan perinta kepada jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
untuk menyerang umat Islam yang tengah melakukan shalat Idul Fitri di
lapangan Koramil Karubaga.
Yotje menjelaskan, masing-masing pelaku ditangkap oleh personel
Polda Papua di rumahnya. Penangkapan itu, kata Yotje, tidak sulit lantaran
keduanya kooperatif.
Ia mengungkapkan, keduanya dibawa ke Wamena terlebih dahulu.
Selanjutnya mereka akan diterbangkan ke Jayapura untuk menjalani
pemeriksaan, Jumat (24/7) ini. ―Dari dua orang ini kita akan kembangkan ke
calon tersangka lainnya,‖ kata Yotje. Ia meminta masyarakat sabar menanti
pungkasnya proses hukum tersebut.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti kemarin menjelaskan, insiden di
Tolikara bermula dari beredarnya surat edaran dari Badan Pekerja Wilayah
Tolikara Gereja Inijili di Indinesia (GIDI). Suart itu berisi larangan bagi
umat Islam agar tidak mengadakan shalat Idul Fitri pada Jumat (27/7) di
Tolikara. alasannya, pada saat bersamaan GIDI akan melaksanakan seminar
dan KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) Pemuda GIDI Internasional.
Menurut Badrodin, Kapolres Tolikara AKBP Suroso menerima
surat itu pada 13 Juli. Surat itu diteken Sekertaris GIDI Wilayah Tolikara
Marthen Jingga dan Ketua GIDI Tolikra Nayus Wenda.
99
Kapolres kemudian menayakan kepada Presiden GIDI Dorman
Wandikmbo soal surat itu. Dorman mengatakan tak sepakat dengan isi surat
dan menyatakan suart itu tak resmi.
Mendapt jawaban itu, Suroso menghunungi Bupati Tolikara,
Usman Wanimbo. Bupati kemudian menyakan pada panitia lokal acara
GIDI yang menjawab sudah menerima surat klarifikasi dari Presiden GIDI.
Menganggap masalah sudah beres, kata Kapolri, kapolres Tolikara
mengizinkan umat Islam shalat Id di lapangan Koramil Karubaga. Meski
begitu, Badrodin mengatkan, saat shalat tengah berlangusng, massa dari
GIDI datang berbondong-bondong meminta pelaksanaan ibadah itu
dibubarkan.
―Kapolsek Tolikara kemudian lakukan negosiasi minta (shalat
dilaksanakan) sampai pukul 08.00 WIT, tapi massa tak mau kemudian
semakin banyak yang datang dan melempar batu,‖ ujar Badrodin di
kediaman Kepala BIN Sutiyoso, kemarin. Kepolisian kemudian
mengeluarkan tembakan untuk membubarkan massa yang menyebabkan
seorang warga tewas dan 11 luka-luka.
Berang atas penembakan itu, massa menuju kios-kios milik umat
Islam. Mereka kemudian melakukan pembakaran yang menjalar hingga ikut
menghanguskan Masjid Baitul Mutaqqin.
Sebelumnya, Presiden GIDI Dorman WAndikmbo mengatakan bahwa
penembakan oleh aparat itulah yang sejatinya memicu pembakaran. Ia
mengungkapkan bahwa yang diprotes massa GIDI bukan pelaksanaan shalat
Id, melainkan penggunaan pengeras suara oleh jamaah shalat Id.
Sejauh ini, menurut Imam Masjid Baitul Mutaqqin Ali Muchtar, umat
Islam dan jemaat GIDI sudah sepakat untuk berdamai di Tolikara. ia
meminta masyarakat di luar Tolikara tak memanas-manasi keadaan. Kendati
demikian, ia masih mengaharapkan jaminan keamanan dari aparat.
Ketua Majlis Syuroa Komite Umat (Komat) untuk Tolikara Didin
Hafidhuddin mengatatakan, kesalahan terkait insiden Tolikakara tak bisa
begitu saja ditimapakn kepada jemaat GIDI secara keseluruhan.
―Buktinya masyarakat yang ikut melempar itu menyesal karena
enggak tahu-menahu. Mereka melempar saja, digiring-giring. Ini temuan
tim kami,‖ kata Didin, kemarin. Menurut dia, tim pencari fakta dari Komat
Tolikara juga menemukan bahwa masyarakat yang terlibat pelemparan dan
pembakaran menyesali perbuatannya.
1. SINTAKSIS
a. Skema Berita
Struktur sintaksis Kompasedisi 24 Juli 2015 memiliki bentuk
piramida terbalik, dimana aspek yang dianggap penting diletakkan di awal
teks (lead). Sekema teks berita Kompas diawali dengan judul, kemudian
100
lead, latar informasi, kutipan narasumber, pernyataan, sub judul, penutup.
Dari susunan sintaksi ini Kompas menekankan aspek terpenting diposisikan
pada lead. Dengan demikian Kompas menginginkan pembaca menaruh
perhatian besar pada aspek yang dibahas dalam lead.
Skema pada teks berita Republika diawali dengan judul, kemudian
pernyataan, lead, kutipan narasumber, latar informasi, penutup. Pernyataan
yang diletakakn setelah judul sebelum lead dan dicetak dengan jenis huruf
yang sama dengan judul, diberi ketebalan merupakan cara dari republika
menojolkan aspek tersebut. Hal yang nampak lebih menonjol ini, tentunya
akan menarik perhatian pembaca untuk fokus pada bagian tersebut.Jika
diamati dari judul ―Dua Tersangka Tolikara Diringkus‖, setelah judul
tersebut baru dikutip pernyataan ―Kepolisian tak menutup kemungkinan
jumlah tersangka bertambah‖. Artinya Republika memberikan kesan bahwa
sebenarnya tersangka dalam inisden Tolikara ini bisa saja bertambah bukan
hanya dua orang.
Tabel 5.1
Headline/Judul Kompas& Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Headline/Judul Presiden: Jaga
Persaudaraan,
Polri Tetapkan Dua
Tersangka Perusakan,
Kekerasan, dan
Penghasutan di Tolikara
Dua Tersangka Tolikara
Diringkus
Tabel 5.1, dari judul yang digunakan Kompas dan Republika,
keduanya membahas tema yang sama yakni mengenai pihak kepolisian yang
101
telah menetapkan dua tersangka Tolikara. Namun kedua judul tersebut
memiliki dua perbedaan.Pertama, judul pada Republika fokus pada
penetapan dua tersangka Tolikara, berbeda dengan judul yang digunakan
Kompas. Judul Kompas didahului dengan pernyataan ―Presiden: Jaga
Persaudaraan‖. Kedua judul ini jelas menunjukan pandangan yang berbeda
dari masing-masing surat kabar tersebut.
Judul pada Kompas ―Presiden: Jaga Persaudaraan, Polri Tetapkan
Dua Tersangka Perusakan, Kekerasan, dan Penghasutan di Tolikara‖.
Penempatan kalimat ―Presiden: Jaga Persaudaraan‖ di awal kalimat,
mempengaruhi makna yang akan timbul karena akan menunjukan aspek
inilah yang sebenarnya ingin ditonjolkan kepada pembaca. Jika diamati, dua
buah kalimat tersebut tersusun atas dua proposisi yang menampilkan fakta
yang kontras.Pertama, fakta mengenai pernyataan Presiden tentang menjaga
persaudaraan serta persatuan dan kesatuan Bangsa.Fakta kedua, mengenai
penetapan dua tersangka Tolikara. Namun kedua fakta tersebut disajikan
bersandingan dalam satu judul berita. Proposisi mana yang diletakkan di
awal dan proposisi mana yang diletakan di akhir menunjukan mana fakta
yang lebih di tonjolkan.103
Sejalan dengan hal di atas, Kalimat ―Presiden: Jaga Persaudaraan‖
dicetak dengan huruf tebal dan ukuran huruf yang lebih besar ketimbang
kalimat selanjutnya. Bagian tulisan yang dibuat berbeda ini, menandakan
bagian yang hendak ditekakkan oleh Kompas. Sehingga titik perhatian
103
Eriyanto, Analisi Wacana: Pengantar AnalisisTeks Media, h. 252.
102
pembaca akan lebih tertuju pada aspek persatuan bangsa dibandingkan
informasi dua tersangka tolikara yang telah ditetapkan polisi.
Berbeda dengan Kompas, judul berita Republika sudah sangat jelas
menunjukan pandangan Republika.Judul tersebut sacara jelas mewakili
informasi yang hendak disampaikan, yakni terkait tertangkapnya dua
tersangka Tolikara.
Tabel 5.2
Lead Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Lead JAKARTA, KOMPAS –
Presiden Joko Widodo
mengingatkan,
keanekaragaman suku,
bahasa, dan agama dari
wilayah Sabang hingga
Merauke menuntut
bangsa Indonesia harus
terus berjuang
mewujudkan
persaudaraan, kerukunan,
dan toleransi. Demi masa
depan, tak ada kata
terlambat untuk
membenahi keadaan yang
terusik.
JAKARTA – Pihak
Kepolisisan Daerah
(Polda) Papua meringkus
dua orang terkait insiden
kericuhan yang berbuntut
terbakarnya masjid di
Karubaga, Tolikara,
Papua. Kedua orang
tersebut dijadikan
tersangka karena diduga
memerintahkan
penyerangan ke lokasi
shalat Id di Tolikara,
Jumat (17/7) lalu.
Lead yang digunakan Kompas dan Republika nampak sangat
kontras. Lead yang digunakan Kompas sangat menunjukan perspektif
Kompas yang lebih menekankan informasi tentang pentingnya menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa. Berbeda dengan sudut pandang yang
digunakan Republika, yang secara eksplisit memaparkan informasi
103
penangkapan dua tersangka Tolikara. Kedua lead tersebut menampakan
sudut pandang berbeda dari kedua media tersebut.
Disamping itu, dalam lead-nya, Republika juga menggunkan
kelengkapan unsur why yang menjelaskan mengapa dua tersangka tersebut
diringkus. Berikut kutipannya:
―Kedua orang tersebut dijadikan tersangka karena diduga
memerintahkan penyerangan ke lokasi shalat Id di Tolikara, Jumat
(17/7) lalu.‖
Kelengkapan unsur why dalam lead ini berfungsi untuk kelengkapan
informasi yang disajikan. Hal ini juga mengindikasikan makna yang
sebenarnya ingin ditekankan Republika agar sejak awal pembaca tertuju
pada alasan mengapa kedua orang tersebut diringkus.Lead Republika ini
jelas menunjukan sudut pandang serta kearah mana pemberitaan ini akan
dikembangkan.
Di lain sisi, leadKompas hanya terdapat satu unsur lead, yakni what
lead. Kompas hanya menjelaskan peristiwa apa yang terjadi, dan peristiwa
yang dijelaskan tidak terakait dengan penangkapan dua tersangka insiden
Tolikara, melainkan memaparkan pernyataan presiden.Kompas mengajak
pembaca untuk berfikir bahawa menjaga persaudaraan jauh lebih penting
ketimbang mencari-cari aktor penyebab kericuhan.
104
Kompas tidak mendetailkan fakta terkait pelaku penyerangan dan
kronologis kejadian. Berikut kutipan wawancara dengan Sutta
Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Rubrik Politik dan Hukum:104
―Kompas bisa dipastikan tidak akan menojolkan fakta tertentu, jika
dianggap fakta tersebut bisa menyulut masalah semakin besar. Ketika terjadi
konflik, kemudian kita mendetailkan apa yang terjadi maka itu akan
menimbukan dampak sebaliknya, orang akan semakin mudah terbakar
emosi. Sekalipun dengan alasan menyampaikan fakta bukan hendak
memprovokasi, Kompas tidak akan melakukan hal itu. Biasanya ketika
terjadi sebuah konflik SARA, Kompas cenderung hanya melihat pada sisi
korban, kemudian Kompas mencari solusi bagaimana konflik tersebut dapat
terselesaikan. Apa yang terjadi, bagaimana terjadinya. Kemudian siapa
pelakunya Kompas tidak berusaha masuk ke arah sana, karena biasanya
menurut versi Kompas, hal tersebut terkadang malah menyulut konflik
semakin berkepanjangan. Kita langsung mencoba memaknai peristiwa
tersebut dengan menanyakan sejumlah pengamat terkait keberhasilan
bangsa Indonesia dalam menjaga toleransi selama ini. Kita tidak mengejar
siapa pelakunya, itu biar aparat saja yang menangani, kita lebih mendorong
masyarakat kepada bagaimana kedepannya. Kita lebih memfokuskan pada
solusi perdamaian.‖
Jika Kompas tidak menonjolkan pada aspek pelaku, Republika justru
sebaliknya. Teks berita Republika menampilkan informasi identitas dari
pelaku penyerangan dan kronologis penangkapan tersangka. Selain itu,
dalam setiap edisi yang dianalisi, Republika selalu menyajikan kronologi
kejadian yang menunjukan bahwa peristiwa ini terjadi akibat aksi anarkis
oknum anggota GIDI. Peneliatian terhadap teks ini juga sesuai dengan
pernyataan pihak Republika, berikut hasil wawancaranya:105
―Informasi dari identitas pelaku ya harus ditonjolkan. Ada satu hal,
atau satu fenomena umum di semua konflik etnis, agama, konflik sosial di
Indonesia. Bagaimana konflik tersebut menjadi melebar. Kuncinya hanya
satu, karena tidak pernah ada pelaku yang ditangani secara hukum. Itu
104
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015. 105
Wawancara dengan fitriyan Zamzami, Redaktur Halaman Utama Republika,
Jakarta 12 Januari 2016.
105
menjadi alasan mengapa kita harus tegaskan, pelakunya ini, tolong
ditindak hukum. Karena kalau dia tidak ditindak hukum, pihak lain akan
merasa polisi tidak menangani ini, ya sudah kalau begitu banyak yang
akan main hakim sendiri.‖
―Jadi memang benar setiap edisi ada kronologikonflik Tolikara. tapi
ini bertujuan hanya untuk mempertegas konteks yang sedang diberitakan.
Saya kira ini bukan bagian dari framing, ini bangunan beritanya,
kronologis itu seperti leher dalam tubuh berita.‖
Dengan demikian, Kompas melakukan seleksi terhadap isu. Kompas
menojolkan sisi perdamaian dan menghilangkan fakta terkait pelaku
penyerangan. Aspek yang ditonjolkan ini akan lebih mendapat perhatian
pembaca dan tentunya akan lebih melekat dihati pembaca. Kompas
membawa pembaca untuk lebih memahami pentingnya menjaga
kerukunan dan perdamaian ketimbang mengetahui siapa pelaku
penyerangan tersebut. Berbeda dengan Republika yang justru membawa
pembaca untuk mengetahui secara terperinci siapa sebenarnya dalang
dibalik aksi penyerangan dan peneyebaran surat larangan sholat Ied
tersebut. Meski dalam penuturannya, Republika memiliki alasan bahwa
tujuan dari menampilkan informasi aktor penyerangan bukan semata-mata
untuk memberikan kesan negative kepada pihak tertentu, namun
Republika lebih kepada tujuan agar masyarakat mendapatkan informasi
bahwa pelakunya sudah tertangkap dan telah ditindak oleh polisi. sehingga
diharapkan tidak ada aksi main hakim sendiri yang membuat konflik
semakin berkepanjangan.
106
Tebel 5.3
Latar Informasi Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Latar
Informasi
Dalam pertemuan dengan
30 tokoh lintas agama,
Kamis (23/7), di Istana
Negara, Jakarta, Presiden
Jokowi yang didampingi
Wakil Presiden Jusuf
Kalla beserta sejumlah
menteri mengatakan,
selama 70 tahun
kemerdekan, bangsa
Indonesia berhasil
menjaga keselarasan
hidup bersama. ……
Menurut Yotje, dari
rekaman vidio yang
dimiliki kepolisian,
keduanya terlihat
memberikan perintah
kepada jemaat Gereja
Injil di Indonesia (GIDI)
untuk menyerang umat
Islam yang tengah
melakukan shalat Idul
Fitri di lapangan Koramil
Karubaga. (paragraf 3)
Kapolri Jendral
Badrodin Haiti kemarin
menjelaskan, insiden di
Tolikara bermula dari
beredarnya surat dari
Badan Pekerja Wilayah
Tolikara Gereja Injil di
Indonesia (GIDI). Surat
itu berisi larangan bagi
umat Islam agar tidak
mengadakan shalat Idul
Fitri pada Jumat (17/7)
di Tolikara. Alasannya,
pada saat bersamaan
GIDI akan
melaksanakan seminar
dan KKR (Kebaktian
Kebangunan Rohani)
Pemuda GIDI
Internasional. …..
(paragraf 6)
Latar informasi yang ditampilkan Kompas mengenai keberhasilan
bangsa Indonesia selama 70 tahun dalam menjaga keselarasan hidup
ditengah perbedaan.Latar semacam ini digunakan sebagai argumen atau
107
fakta-fakta yang digunakan Kompas untuk menegaskan arah pembritaannya
pada aspek perdamaian
Berbeda dengan Kompas, latar informasi yang ditampilkan oleh
Republika mengajak masyarakat untuk lebih melihat dari sisi kronologis
tertangkapnya dua tersangka Tolikara.Selain itu Republika juga
menggambarkan kronologis terjadinya insiden di Tolikara yang diawali dari
beredarnya surat larangan sholat ied oleh pihak GIDI kepada umat muslim
di Tolikara. Republika secara tidak langsung mengarahkan pembaca untuk
berfikir bahwa anggota GIDI tidak memahami toleransi sehingga melarang
umat muslim melaksanakan solat Ied.
Tebel 5.4
Kutipan Narasumber Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kutipan
narasumber
―Peran semua pemuka
agama ini sangat penting.
bangsa ini akan maju jika
berhasil menghapuskan
sekat-sekat suku, ras, dan
agama.‖….. (Presiden
Jokowi). (paragraf 3)
―Betul, sudah ditangkap
pukul 17.00 (WIT), saat
ini sedang dibawa ke
Wamena,‖ kata Kapolda
Papua Inspektur Jendral
Yotje Mende, Kamis
(23/7).‖ Ia mengatakan,
kedua tersangka tersebut
berinisian HKdan JW.
(paragraf 2)
108
―Semua pihak harus
menjungjung tinggi
konstitusi, mempererat
persatuan dan kesatuan
bangsa, juga menjaga
kerukunan dan
kedamaiaan. Media
massa juga diimbau turut
menciptakan suasana
kondusif melalui
pemberitaan objektif,…‖
tutur Said Aqil (Ketua
Umum PBNU) (Paragraf
7)
―Kapolsek Tolikara
kemudian lakukan
negosiasi minta (shalat
dilaksanakan) sampai
pukul 08:00 WIT, tetapi
masa tak mau kemudian
semakin banyak yang
datang dan melempar
batu,‖ ujar Badrodin di
kediaman Kepala BIN
Sutiyoso, kemarin.
(paragraf 11)
..... ―Dalam situasi seprti
ini, isu-isu
yangmemprovokasi, baik
di media sosial maupun
layanan pesan singkat,
belum tentu benar. Jadi,
masyarakat jangan
sampai terprovokasi.‖
(Kepala Polri Jendral Pol
Badrodin Haiti)
―Buktinya masyarakat
yang ikut melempar itu
menyesal karena enggak
tahu-menahu. Mereka
melempar saja, digiring-
giring. Ini temuan tim
kami.‖ (Ketua Majlis
Syura Komite Umat
untuk Tolikara, Didin
Hafidhuddin)
―Ada dasar dan alat bukti
yang cukup untuk
menetapkan (mereka)
sebagai tersangka. AK
dan JW diduga
melakukan perusakan,
kekerasan, penganiayaan,
serta penghasutan.‖
(Ketua Komisi Informasi
Pusat, Abdulhamid
Dipopramono)
Dalam teks berita, Kompas mewawancarai empat narasumber,
presiden Joko Widodo, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, Kapolri
Badridin Haiti, dan Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid
109
Dipopramono. Dari keempat narasumber tersebut tiga diantaranya
(Presiden Jokowi, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan Kapolri
Badrodin Haiti) berpandangan bahwa menjaga persatuan dan kesatuan serta
kerukunan menjadi point penting yang harus dijunjung oleh semua pihak.
Sementara sumber Kompas yang menyatakan informasi tekait dua
tersangka Tolikara hanya satu narasumber yakni Abdulhamid
Dipopramono—ia bukan dari pihak kepolisian daerah Papua. Abdulhamid
ialah Ketua Komisi Informasi Pusat.
Jika dilihat dari susunan kutipan narasumber dalam teks
Kompas.Sepuluh paragraf diisi oleh pandangan yang menilai bahwa insiden
Tolikara ini harus dijadikan pelajaran untuk kedepannya, bahwa seharusnya
bangsa Indonesia mampu berdampingan dalam perbedaan serta menjunjung
persatuan dan kesatuan serta persaudaraan.Hanya satu paragraf terakhir
yang menyatakan informasi terkait dua tersangka Tolikara yang telah
ditetapkan pihak kepolisian.
Sekema semacam ini bukan hanya menempatkan pernyataan terkait
informasi dua tersangka tersebut menjadi tidak mencolok, melainkan juga
menjadi minorotas diantara pandangan yang menghimbau untuk lebih
menjaga persaudaraan dan perdamaian.Namun Kompas justru mengatakan
bahwa medianya selalu memberikan porsi yang berimbang dalam
menempatkan setiap pernyataan narasumber dari semua pihak. Berikut
pernyataan dari pihak Kompas:
110
―Kita cenderung memilih narasumber yang pendekatannya
perdamaian. Karena ini menyangkut masyarakat pasti pakar sosiologi yang
mengerti fenomena masyarakat, pejabat setempat, aparat yang terkait,
pemerintah yang mewakili negara, tokoh-tokoh agama, pakar-pakar konflik
sosial, biasanya kita jadikan parameter untuk melihat sebagai narasumber.
Intinya tidak akan memilih narasumber yang justru memprovokasi.
Biasanya juga ini kita berusah cover both side. Karena konflik ini antar
agama, maka narasumbernya dari dua pihak. yakni dari tokoh agama umat
Islam dan tokoh agama umat Kristiani.‖106
Meski Kompas menyatakan demikian, namun pernyataan Kompas
sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Karena, dari analisis teks yang ada
justru hasilnya berbanding terbalik dari pernyataan pihak Kompas.
Berbeda dengan teks berita Kompas, Republika mewawancarai tiga
orang narasumber Kapolda Papua Inspektur Jendral Yotje Mende, Kapolri
Jendral Badrodin Haiti, dan Ketua Majelis Syura Komite Umat untuk
Tolikara Didin Hafidhuddin. Teks berita Republika terdiri dari 16paragraf.
Paragraf awal hingga paragraf 12 dan paragraf 14-15berisi tentang
informasi penangkapan dua tersangka Tolikara dan kronologis konflik
tolikara.Hanya satu paragraf akhir yang dinilai berbeda. Kalimat di paragraf
terakhir ini mengutip pernyataan Ketua Majelis Syura Komite Umat untuk
Tolikara Didin Hafidhuddin yang mengatakan bahwa kesalahan terkait
insiden Tolikara tak bisa begitu saja ditimpakan kepada jemaat GIDI secara
keseluruhan, terdapat pula masyarakat yang turut melempar dalam insiden
tersebut. Namun, menurut penulis pernyataan ini belum jelas, karena
didalamnya tidak dicantumkan masyarakat mana yang dimaksud.Selain itu,
pada kalimat ―Mereka lempar saja, digiring-giring,‖ kalimat inipun dirasa
106
Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas,
Jakarta 28 Desember 2015.
111
penulis belum jelas, karena Republika tidak mencantumakan siapa yang
menggiring masyarakat untuk melakukan aksi pelemparan batu tersebut.
Justru dengan kalimat ―tidak menyalahkan pihak GIDI sepenuhnya‖,
semakin mempertegas bahwa sebagian oknum GIDI benar-benar terlibat
dalam aksi peneyerangan tersebut. Ini jelas memberikan penilaian negatif
terhadap pihak GIDI.
Tabel 5.5
Pernyataan Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Pernyataan Sementara itu, dari 31
orang yang diperiksa
menyusul insiden
Tolikara pada Jumat
(17/7) lalu, Polri
menetapkan dua
tersangka dari kalangan
Gereja Injil di Indonesia
(GIDI) di Tolikara
sebagai tersangka.
(paragraf 12)
―Dari dua orang ini akan
kita kembangkan
kecalon tersangka
lainnya,‖ kata Yotje.
(paragraf 5)
Pernyataan Kompas dan Republika sekilas tidak memiliki
perbedaan.Kedua pernyataan tersebut mengandung arti bahwa sementara ini
dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, secara redaksional
pernyataan tersebut berbeda, lihat pernyataan Kompas berikut:
Sementara itu, dari 31 orang yang diperiksa menyusul insiden
Tolikara pada Jumat (17/7) lalu, Polri menetapkan dua tersangka
dari kalangan Gereja Injil di Indonesia (GIDI) di Tolikara sebagai
tersangka.
Kemudian lihat pernyataan Republika berikut:
―Dari dua orang ini akan kita kembangkan kecalon
tersangka lainnya,‖ kata Yotje.
112
Pernyataan yang dibuat Kompas menyatakan dari jumlah calon
tersangka yang banyak (31 orang), pihak kepolisian menetapkan dua
tersangka dari kalangan GIDI. Ini mengindikasikan bahwa Kompas seolah
menekankan jumlah yang sedikit atas tersangka dari kalangan GIDI.Kompas
tak menjelaskan secara eksplisit dari kalangan mana yang belum ditetapkan
sebagai tersangka, apakah 29 orang sisanya berasal dari kalangan GIDI atau
di luar kalangan GIDI.Selain itu, Kompas seolah mengkrucutkan jumlah
bilangan, dari 31 orang baru dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka.
Sebaliknya, Republika justru memberikan nada memperluas dan
membesar-besarkan jumlah tersangka dengan mengutip pernyataan Kapolda
Papua Yotje Mende ―Dari dua orang ini akan kita kembangkan kecalon
tersangka lainnya‖. Ini mengindikasikan bahwa Republika ingin
menonjolkan bagian ini dan menekankan kepada pembaca bahwa jumlah
tersangka di Tolikara sejatinya lebih dari dua, akan ada kemungkinan calon-
calon tersangka baru.
Tabel 5.6
Penutup Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Penutup Sementara itu, dari 31
orang yang diperiksa
menyusul insiden
Tolikara pada Jumat
(17/7) lalu, polri
menetapkan dua orang
dari kalangan Gereja Injil
di Indonesia (GIDI) di
Tolikara sebagai
tersangka.
Didin Hafidhuddin
mengatakan, kesalahan
terkait Insiden Tolikara
tak bisa begitu saja
ditimpakan kepada
jemaat GIDI secara
keseluruhan…..
113
Dari table 4.6, Kompas menempatkan informasi terkait penetapan
tersangka perusakan pada bagian penutup. Bagian penutup merupakan
bagian yang tidak dianggap sebagai aspek yang penting, berbanding terbalik
dengan lead. Artinya aspek Informasi terkait penetapan tersangka yang
bersal dari kalangan GIDI ini tidak ditonjolkan atau dianggap tidak terlalu
penting. sehingga Kompas meletakan pada penutup.
Tidak jauh berbeda dengan Kompas, Republika dalam penutupnya
juga nampak memeberikan pembelaan terhadap pihak GIDI, namun
pembelaan ini diletakan di penutup sehingga aspek ini nampak sengaja tidak
ditonjolkan.
2. SKRIP
a. Kelengkapan Berita
Tabel 5.7
5W+1H Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Who (siapa
yang ditetapkan
sebagai
tersangka?)
AK dan JW, dari
kalangan Gereja Injil di
Indonesia (GIDI) di
Tolikara
HK dan JW
When (kapan
penangkapan itu
terjadi?)
__________________ Ditangkap pukul 17:00
(WIT), Kamis (23/7)
Where (dimana
penangkap
tersebut terjadi?)
__________________ Dirumah masing-masing
tersangka
Why (mengapa
dua orang
tersebut
ditetapkan
sebagai
tersangka?)
AK dan JW diduga
melakukan perusakan,
kekerasan, penganiayaan,
serta penghasutan.
Kedua orang tersebut
dijadikan tersangka
karena diduga
memerintahkan
penyerangan ke lokasi
shalat Id di Tolikara,
Jumat (17/7) lalu.
How
(bagaimana
___________________
Masing-masing pelaku
ditangkap oleh personel
114
kronologi
penangkapan
dua tersangka
tersebut?)
polda Papua dari
rumahnya. Kemudian
kedua tersangka dibawa
ke Wamena lebih
dahulu. Selanjutnya
mereka akan
diterbangkan ke
Jayapura untuk
menjalani pemeriksaan.
Dari elemen skrip yang menjelaskan bagaimana wartawan
mengisahkan sebuah peristiwa.Wartawan dapat mengisahkan suatu
peristiwa melalui kelengkapan 5W+1H.
Dilihat dari sisi kelengkapan informasi terkait penetapan dua
tersangka Tolikara. Kompas membentuk sebuah pembingkaian yang
menghasilkan kesan tertentu kepada pembaca dengan cara menghilangkan
unsur When, Where, dan How. Kompas tidak menceritakan kronologis
penetapan dua tersangka tersebut.
Sejak awal memang Kompas mengarahkan pembaca untuk lebih
mamahami pentingnya menjaga persaudaraan.Yang menjadi sorotan
Kompas ialah imbauan untuk pembaca agar menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa ketimbang mengarahkan pada informasi terkait penangkapan dua
tersangka tersebut.
Sebaliknya, Republika menggunakan elemen skrip secara lengkap
terkait informasi penengkapan dua tersangka Tolikara.Republika
menjelaskan secara runtun kronologis penangkapan dua tersangka, mulai
dari waktu, tempat, kondisi, serta alasan penangkapan dua tersangka
tersebut. Dengan memberikan alasan penangkapan dua tersangka tersebut
115
dapat memberikan gambaran kepada pembaca bahwa apa yang dilakukan
tersangka merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan beribadah karena
menyerang umat yang hendak melaksanakan ibadah.
A. TEMATIK
a. Detail
Tabel 5.8
Detail Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Paragraf ―Dalam kebinekaan itu,
bangsa Indonesia bisa
bersatu, rukun, toleran,
serta saling menghormati
dan menghargai. Oleh
karena itu, ……‖
(presiden Joko Widodo)
(paragraf 6)
―Dari dua orang ini kita
akan kembangkan ke
calon-calon tersangka
lainnya,‖ kata Yotje.
(paragraf 5)
―Semua pihak harus
menjungjung tinggi
konstitusi, mempererat
persatuan dan kesatuan
bangsa, juga menjaga
kerukunan dan
kedamaiaan. Media
massa juga diimbau…..‖
(KH. Said Aqil Siroj)
(paragraf 7)
―Kapolsek Tolikara
kemudian lakukan
negosiasi minta (salat
dilaksanakan) sampai
pukul 08:00 WIT, tetapi
massa tak mau kemudian
semakin banyak yang
datang dan melempar
batu,‖ ujar Badrodin
Haiti (paragraf 11)
―Ada dasar dan alat bukti
yang cukup untuk
menetapkan (mereka)
sebagai tersangka. AW
dan JW diduga melakuka
perusakan, kekerasan,
penganiayaan, serta
penghasutan.‖ (Ketua
Komisi Informasi Pusat,
Abdulhamid
Dpopramono) (Paragraf
12)
…., Presiden GIDI
Dorman Wandikmbo
mengatakan bahwa
penembakan oleh aparat
itulah yang sejatinya
memicu pembakaran. Ia
mengungkapkan bahwa
yang diperotes massa
GIDI bukan pelaksanaan
shalat Id, melainkan
pengguaan pengeras
suara oleh jamaah shalat
Id. (Paragraf 13)
116
Dari teks berita Kompas dan Republika, elemen detail yang
digunakan kedua media ini sangat nampak.Dalam teks berita Kompas,
pendapat Presiden Joko Widodo, KH. Said Aqil Siroj dan Kapolri Jenderal
Badrodin Haiti terkait imbauan kepada masyarakat agar tetap menjaga
persaudaraan, persatuan dan kesatuan bangsa, serta imbauan untuk tidak
terprovokasi diuraikan dengan detail yang panjang. Sementara pernyataan
yang mengungkapkan informasi terkait penetapan tersangka Tolikara
diuraikan dengan detail yang kecil, yakni hanya satu paragraf dari total
keseluruhan 12 paragraf. Susunannya pun diletakan di akhir
paragraf.Dengan detailyang singkat, pembaca tidak mempunyai kesempatan
untuk mengetahui lebih dalam informasi terkait penetapan dua tersangka
Tolikara tersebut.Pernyataan Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid
Dipopramono terkait informasi penetapan dua tersangka Tolikara tidak
dilengkapi dengan kronologis kejadian secara jelas. Kompas hanya
mengutip pernyataan singkat dari Abdulhamid Dipopramono sebagai
berikut:
―Ada dasar dan alat bukti yang cukup untuk menentukan (mereka)
sebagai tersangka.AK dan JW diduga melakukan perusakan,
kekerasan, penganiayaan, serta penghasutan.‖
Detail yang ditampilkan Republika justru sebaliknya. Dari total
keseluruhan 16 paragraf, 5 paragraf awal berisi informasi penangkapan
kedua tersangka Tolikara.Paragraf 6 sampai 12 berisi pernyataan Kapolri
Jenderal Badrodin Haiti terkait kronologis insiden Tolikara. Kemudian,
diselingi dengan pernytaan Presiden GIDI Dorman Wandikmbo yang
117
menyanggah bahwa massa GIDI tidak melarang pelaksanaan shalat Id
melainkan hanya melarang penggunaan pengeras suara oleh jamaat shalat
Ied. Pernyataan Dorman ini hanya diberikan ruang satu paragraf saja.
Dengan detail yang pendek ini, pembaca tidak mempunyai kesempatan
untuk mempertimbangkan sebenarnya apa yang menjadi tuntutan kalangan
GIDI sebelum insiden Tolikara itu terjadi.
b. Koherensi Tabel 5.9
Koherensi Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Proposisi,
Hubungan
antar kalimat
Saat ditanya seusai
pertemuan, ia berharap
media massa tak lagi
membesar-besrkan
peristiwa Tolikara agar
tak semakin meluas.
“Apalagi, situasi di
Tolikara sekarng sudah
kondusif,‖ katanya.
(paragraf 9)
―Kapolsek Tolikara
kemudian lakukan
negosiasi minta (shalat
dilaksanakan) sampai
pukul 08.00 WIT, tetapi
massa tak mau kemudian
semakin banyak yang
datang dan melempar
batu,‖ ujar Badrodin …
(paragraf 11)
Sejauh ini, menurut
Imam Masjid Baitul
Mutaqqin Ali Muchtar,
umat Islam dan jemaat
GIDI sudah sepakat
untuk berdamai di
Tolikara. Ia meminta
masyarakat di luar
Tolikara tak memanas-
manasi keadaan. Kendati
demikian, ia masih
mengharapkan jaminan
keamanan dari aparat.
(paragraf 14)
118
Dari teks berita Kompas, pada paragraf sembilan terdapat
pernyataan dari Said Aqil Siroj yang menyatakan bahwa kondisi di Tolikara
sudah kondusif.Kalimat pernyataan ini diawali dengan kata―apalagi‖.Kata
ini merupakan koherensi atau jalinan kata.Jenis jalinan kata ini disebut
koherensi penegasan, dimana kata ―apalagi‖ ini menjadi penegas dari
proposisi sebelumnya. Menurut penulis kalimata ―apalagi, situasi di
Tolikara sekarang sudah kondusif ‖ menjadi penegasan atas imbauan
yang dinyatakan Said Aqil Siroj kepada awak media untuk tidak membesar-
besarkan peristiwa di Tolikara. Kalimat ini memberikan kesan penguat
bahwasannya tidak ada gunanya memperbesar masalah sedangkan kondisi
di Tolikara sendiri telah kondusif. Hal ini memperkuat arah pemberitaan
Kompas yang menekankan aspek perdamaian.
Koherensi dalam teks berita Republika terdapat pada paragraf
sebelas.Dalam pernyataan Kapolri Jenderal Badrodi Haiti saat menjelaskan
kronologis insiden Tolikara, terdapat kata ―tetapi‖.Kata tersebut termasuk
dalam jenis koherensi pertentangan.Kata ―tetapi‖ dalam kalimat ini
menghubungkan fakta dari dua proposisi yang bertentangan.Proposisi
pertama, Kapolsek yang menginginkan adanya kesepakatan melalui
negosiasi. Proposisi kedua, massa yang menolak dan langsung melempari
batu. Dua fakta ini bertentangan, namun keduanya dihubungkan dengan kata
―tetapi‖. Kutipan dalam teks Republika semacam ini menggambarkan
kepada khalayak bahwa massa yang dimaksud dalam teks tersebut tidak
menginginkan adanya negosiasi. posisi kata ―tetapimassa tak mau
119
kemudian semakin banyak yang datang dan melempar batu‖
mempertegas sikap massa yang anarkis.
Kemudian, dalam teks berita Republika paragraf 14 terdapat kata
―kendati demikian‖.Kata tersebut termasuk jenis koherensi
pertentangan.Jika diamati dari pernyataan Imam Masjid Baitul Mutaqqin Ali
Muchtar yang menyatakan bahwa umat Islam dan jemaat GIDI telah
berdamai, namun masih berharap jaminan keamanan dari aparat.Terdapat
aspek yang tersembunyi dari penyataan tersebut, Republika seolah
menyetujui pendapat bahwasannya telah ada perdamaian antara uamat Islam
dan Jemaat GIDI. Namun kalimat ―Kendati demikian, ia masih
mengharapkan jaminan keamanan dari aparat,” mengisyaratkan bahwa
keaadaan di Tolikara belum sepenuhnya kondusif dan masih ada
kekhawatiran masyarakat akan terjadinya penyerangan kembali.
c. Kata Ganti
Tabel 5.10
Kata Ganti Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur
diamati
Kompas Republika
Kalimat “….. kita akan maju
kalau bisa bersatu padu,‖
ujar Jokowi
…..―Dari dua orang ini
akan kita kembangkan ke
calon-calon tersangka
lainnya,‖ kata Yotje. Ia
meminta masyarakat sabar
menanti pungkasnya proses
hukum tersebut.
Elemen kata ganti dalam Kopas terdapat dalam pernyataan Presiden
Jokowi menggunakan kata ―kita”. Kata ganti ―kita‖ seolah mengajak
pembaca untuk menyetujui pendapat Presiden. Kata ganti “kita”menjadikan
120
sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu
komunitas tertentu.107
Dalam hal ini kata ganti “kita” seolah menjadi sikap
bersama atau kewajiban bersama sebagai warga negara Indonesia untuk
bersatu padu.
Republika dalam teks beritanya menggunakan kata ganti ―kita‖,
Kata ganti ―kita‖ dalam pernyataan Yotje Mande yang dikutip Republika
dirasa janggal oleh penulis.Karena, apabila kata ganti ―kita‖ yang dimaksud
ialah pihak kepolisian, maka seharusnya kata ganti tersebut diubah mnejadi
―kami‖.
B. RETORIS
a. Leksikon
Tabel 5.11
Leksikon Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kata Polri Tetapkan Dua
Tersangka
Dua Tersangka
TolikaraDiringkus
Penggunaan leksikon pada Kompas terdapat pada kata
“tetapkan”.Kata tetapkan memiliki kata dasar tetap dan diberi imbuhan
kan. Kata tetapkan dalam kamus bahasa Indonesia off line sama dengan
menetapkan yang memiliki arti memastikan, memutuskan, menentukan.
Makna menetapkan yang digunakan Kompas memepertegas alur cerita dari
teks tersebut hanya pada level penetapan dua orang tersebut sebagai
tersangka. Kompas tidak berbicara pada level proses penangkapan. Oleh
karenanya Kompas hanya menjelaskan informasi terkait identitas dan alasan
107
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 254.
121
kedua orang tersebut dijadikan tersangka. Kompas sama sekali tidak
menceritakan bagaimana kronologi penangkapan dua tersangka tersebut.
Sedangkan kata diringkus berasal dari kata ringkus yang berarti
menangkap atau membekuk. Makna diringkus yang digunakan Republika
mempertegas alur cerita teks tersebut pada level proses penangkapan. Oleh
karenanya dalam teks Republika secara eksplisit menjabarkan kronologis
penangkapan dua tersangka Tolikara.Unsur 5W+1H secara lengkap
dipaparkan Republika untuk memperdalam informasi terkait penangkapan
dua tersangka Tolikara tersebut.
b. Grafis Tabel 5.12
Grafis Kompas dan Republika Edisi 24 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Foto dan
penggunaan
huruf
Satu foto Presiden Joko
Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla
yang sedang menyalami
satu per satu tokoh agama
yang hadir dalam
pertemuan tokoh lintas
negara di Istana Negara.
Pada caption nama
beserta jabatan Joko
Widodo bertinta hitam
dan ditebalkan.
Penggunaan huruf tebal
dan ukuran huruf yang
besar pada judul ―Dua
Tersangka Tolikara
Diringkus‖
122
pemakaian huruf tebal
pada judul yang
dikususkan pada kalimat
―Presiden: Jaga
Persaudaraan‖, selain
itu, kata ini juga
mengugnakan ukuran
yang lebih besar dari
kalimat ―Polri Tetapkan
Dua Tersangka
Perusakan, Kekerasan,
dan Penghasutan di
Tolikara.
Satu kalimat pernyataan
di bawah judul dicetak
dengan huruf tebal.
Kalimat tersebut
berbunyi ―Kepolisisan
tak menutup
kemungkinan jumlah
tersangka bertambah.
Penggunaan foto saat acara pertemuan dengan tokoh lintas agama di
Istana Negara memperkuat data pendukung atas gagasan Kompas yang
menyatakan bahwa dalam perbedaan tetap bisa berjabat tangan,
menghormati, toleransi dan bersatu. Selain foto gagasan Kompas juga
didukung dengan judul yang yang dicetak tebal serta penggunaan ukuran
huruf yang lebih besar pada kalimat ―Presiden: Jaga Persaudaraan‖
menunjukan gagasan ini yang dianggap penting dan sengaja ditonjolkan
Kompas. Sehingga perhatian pembaca akan tertuju pada kalimat yang dibuat
lain tersebut. Sedangkan anak kalimat dari judul tersebut yakni kalimat
―Polri Tetapkan Dua Tersangka Perusakan, Kekerasan, dan Penghasutan di
Tolikara‖ dicetak dengan ukuran yang lebih kecil dan tidak ditebalkan. Hal
ini menandakan bahwasaannya bagian ini sengaja tidak ditonjolkan
Kompas, agar pembaca lebih memfokuskan perhatian pada kalimat judul
―Presiden: Jaga Persaudaraan‖.
Grafis yang digunakan Republika tak jauh berbeda. Kalimat judul
dicetak dengan huruf besar dan diberikan ketebalan. Hal ini digunakan
123
Republika untuk mempertegas gagasan Republika yang fokus pada
informasi penangkapan kedua tersangka. Selain itu, dalam teks Republika
terdapat satu kalimat pernyataan yang diambil dari kutipan Kapolda Papua
Inspektur Jendral Yotje Mende dan diletakan di bawah judul dengan dicetak
menggunakan huruf yang lebih tebal dari isi teks berita. Berikut kutipan
pernyataan yang dibuat lain tersebut:
―Kepolisian tak menutup kemungkinan jumlah tersangka
bertambah.‖
Dalam hal ini Republika ingin menyamapaikan bahwasannya masih
ada sejumlah calon tersangka penyerangan di Tolikara.Secara tidak
langsung Republika mengungkapkan perkiraan tersangka dalam jumlah
besar. Sekaligus mencoba menggambarkan bahwasannya jumlah massa
yang cukup banyak saat itu menyerang umat Islam yang tengah
melaksanakan shalat Ied.
Berita 4: Teks Kompas Edisi 25 Juli 2015
TNI Diminta Percepat Renovasi di Tolikara
Ketua FBU Papua: Penyabab Insiden karena Komunikasi Tak Jalan
JAKARATA, KOMPAS – Panglima TNI Jenderal gatot Nurmantyo
diberi waktu satu bulan untuk mempercepat penyelesaian renovasi
pembangunan kios dan mushala yang rusak akibat inisden Tolikara, Papua,
pada Jumat (17/7) lalu. Terkait dengan percepatan tersebut, TNI
menambahkan jumlah personel prajurit TNI sebanyak 100 Orang.
―Jadi, sekarang ini, pembangunan kembali (di Tolikara) sudah
dilakukan. Beliau (Presiden Joko Widodo) meyakinkan lagi agar dari 60
kios (yang dibakar dan terbakar, harus dibangun 75 kios. Sebanyak 15 kios,
untuk warga setempat (asli Tolikara),‖ usai sholat Jumat bersama presiden
Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Masjid Baitulrohim,
Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (24/7).
Menurut Gatot, Presiden Jokowi menargetkan selesai dalam waktu
satu bulan sejak pembangunan sekarang. ―Karena (harus selesai) satu bulan
agar ekonomi segera bisa berjalan, kita tambah personel 100 orang prajurit,‖
katanya.
124
Gatot menegaskan, Tolikara saat ini sudah aman sehingga tidak
perlu lagi mendirikan pos-pos pengamanan TNI.
Hal senada diutarakan Ketua Forum Kerukunan Antar Umat
Beragama di Papua, Lipiyus Biniluk, yang juga Ketua Persekutuan Gereja-
gereja dan Lembaga-lembaga Injili di Indonesia (PGLII) Papua, seusai
diterima Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jumat sore. Dalam pertemuan
itu, selain hadir Tim Komunikasi Publik Presiden Teten Masduki, juga hadir
staf khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogaya.
―Kondisi di Tolikara saat ini, sudah sangat kondusif dan aman
bahkan, sangat aman, tidak seperti diberitakan sejumlah media massa dan
media sosial, ―ujar Lipiyus, dalam keterangan pers di Kantor Presiden,
bersama tokoh agama Kristen dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara.
Menurut Lipiyus, iniden Tolikara yang terjadi sebenarnya
disesbakan karena persoalan komunikasi yang tak jalan. Bukan karena
adanya pihak luar atau pihak asing yang ikut bermain. ―Selama 50-an tahun
Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, belum
pernah ada konflik antar-umat beragama. Secara budaya masyarakat Papua
memegang adat bahwa haram hukumnya membakar tempat ibadah.
―Tempat ibadah apapun milik bersama, dari agama manapun bisa
duduk bersama. Jadi, kalau bakar tempat ibadah, maka haram hukumnya.
Papua yang mayoritas Kristen, mereka menjaga hal itu,‖ tuturnya, seraya
menjelaskan aksi warga yang membakar kios akhirnya merembet mushala.
Terkait penahanan oleh polisi terhadap dua warga dari kalangan
Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Lipiyus membenarkan. ―Mereka bertindak
(rusuh) karena komunikasi yang tak jalan meskipun sudah ada
kesepakatan,‖ ujarnya.
Lipiyus berharap, setelah penahanan kedua tersangka insiden
Tolikara, polisi diharapkan tak lagi melakukan penangkapan-penangkapan
terhadap warga. ―Tak perlu menangkap-menangkap lagi. Nanti eksesnya
jadi tak baik saya minta kepada Presiden begitu agar tak ada lagi
penangkapan. Selain sudah diselesaikan secara damai, pihak korbanpun
sudah menerima kesepakatan damai,‖ kata Lipiyus.
Dititipkan di Polda Papua
Sementara itu, setelah ditetapkan sebagai tersangka, Kamis (23/7)
lalu, YW dan HK yang diduga menjadi pelaku perusakan,kekerasan,dan
penghasutan saat insiden Tolikara, menghuni Rumah Tahanan (Ruran)
Kepolisian Daerah Papua di Jayapura, Jumat.
Keduanya dari Wamena tiba di Bandar Udara Sentani pada pukul
12.03 WIT. Penjeputan kedua tersangka dipimpin Kepala Kepolisian Resor
Jayapura Ajun Komisaris Besar Sondang Siagian beserta angota Brigade
Mobil Papua.
Kpala Polda Papua Inspektur Jenderal yotje Mende saat dihubungi
dari Karubaga mengatakan, YW dan HK diduga menghasut saat insiden
terjadi. ―Kami mendapatkan bukti keterlibatan keduanya melalui rekaman
vidio saat peristiwa. Kedua oknum tersebut adalah pegawai salah satu bank
di Tolikara,‖ tutur Yotje.
125
Menurut dia, keduanya melanggar pasal 170 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) tentang penyerangan yang mengakibatkan kerugian
korban jiwa dan harta benda. Selain itu, YW dan HK, tambah Yotje masih
ada sejumlah calon tersangka lainnya dalam kasus tersebut. Hal ini
berdasarkan bukti rekaman vidio yang dimiliki polri.
Pantauan Kompas, kemarin, sekitar 100 Umat Muslim
menjalankan ibadah shalat dengan aman di Markas Koramil 1702-11
Karubaga. Ustadz Fazlan Garamatan dari Fak-fak, Papua Barat, tampil
sebagai khotib dalam shalat tersebut. Ali usman (30), jemaah shalat, merasa
lega dapat mengikuti shalat meski baru seminggu terjadi insiden.
Berita 4: Teks Republika Edisi 25 Juli 2015
TNI Jamin Pendirian Masjid Tolikara
TOLIKARA – Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjamin
pembangunan masjid baru di Karubaga, Tolikara, pascakerusuhan dan
pembakaran 17 Juli lalu. Jaminan TNI ini menyusul kekhawatiran akan
terjadi penolakan oleh sejumlah pihak untuk membangun masjid baru.
Masjid baru ini menggantikan Masjid Baitul Mutaqqin yang dibakar warga
selepas protes shalat Id, pekan lalu.
―Panglima TNI (Jenderal Gatot Nurmantyo) menjamin itu (pendirian
masjid). Kita semua harus menjaga kebebasan menjalankan ibadah sesuai
keyakinan masing-masing,‖ kata Komandan Kodim Jayapura Kolonel Tri
Yunarto kepada Republika di Tolikara, kemarin. Menurutnya, TNI
menjamin bahwa masjid yang baru akan dibangun di lokasi lapangan voli
Koramil Karubaga.
Sedangkan, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
mengungkapkan, pihaknya telah menambah 100 personel untuk
membangun kembali masjid serta sejumlah kios yang hangus usai peristiwa
Tolikara. Gatot mengatakan, penambahan personel tersebut sesuai dengan
instruksi Presiden Jokowi yang memint agar pemulihan kegiatan
perekonomian di Tolikara dipercepat.
―Kita tambah 100 personel. Karena, dituntut satu bulan harus selesai
sehingga ekonomi berjalan,‖ kata Gatot di Istana Negara, Jumat (24/7).
Menurut Gatot, total ada 75 kios yang dibangun kembali. Sebanyak 60 unit
untuk menggantikan kios yang terbakar dan 15 unit sisanya dibangun untuk
masyarakat setempat.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meletakkan batu
pertama pembangunan masjid baru di Karubaga, Tolikara, pada Selasa
(21/7) kemarin. Peletakan batu pertama pembangunan masjid tersebuit di
tempat yang berbeda dari masjid sebelumnya yang terbakar.
Peletakan tersebut dilakukan di lahan kosong di KOmpleks Koramil
Kerubaga dengan ukuran sekitar 40 kali 15 meter. Belum jelas apakah
masjid baru tersebut akan digunakan secar permanen.
Kendati demikian, Bupati Tolikra Usman G wanimbo mengatakan,
belum bisa menjamin perizinan pendirian masjid di wilayah Tolikara.
126
menurutnya, perizinan harus sesuai dengan kesepakatan Gereja Injili Di
Indonesia (GIDI) dan masyarakat adat di Tolikara.
Pihak-pihak di Tolikara mengatakan, tanah di lokasi terbakarnya
Masjid Baitul Mutaqqin diklaim milik GIDI. Demikian juga dengan tanah di
KOramil Karubaga. Selain itu, tanah itu juga diklaim milik maraga Kagoya
yang lebih dulu tinggal di Karubaga, Tolikara. ―Iya, itu mama (saya) punya
tanah, kita sekarang sudah jadi pengungsi,‖ kata Alberttini Kagoya (60) saat
diwawancarai Republika, kemarin.
Albertini menegaskan, tanah wilayah Pasar Karubaga dan markas
Koramil adalah milik keluarga Kagoya. Sebagian diberikan kepada TNI
dengan syarat anggota keluarga itu diberi kemudahan menjadi anggota TNI
untuk bertugas di Koramil Karubaga.
Selain itu, Ketua Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga
Injili Indonesia (PGLII) Lipiyius Biniluk juga mengiyakan adanya peraturan
daerah (perda) tentang laranganmembangun rumah ibadah baru di Tolikara.
meurutnya, Perda itu sesuai dengan kearifan lokal di kabupaten yang
mayoritas penduduknya beragama Kristen tersebut.
Terlebih, katanya, Papua memiliki keistimewaan otonomi khusus.
―Perda itu dalam konteks otonomi khusus Papua. Perda itu sesuai dengan
local content yang ada,‖ katanya usai menemui Presiden Joko Widodo
(Jokowi) di Istana Merdeka, Jumat (24/7).
Dalam kesempatan yang sama, Sekertaris Daerah Kabupaten
Tolikara Dance Y Flassy menambahkan, kendati perda tersebut sudah
disetujui DPRD Kabupaten Tolikkara, tapi belum diketuk palu pleh DPRD
Provinsi Papua.
Dance mengatakan, jika pemerintah pusat ingin mengevaluasi Perda
tersebutmaka seharusnya sevaluasi serupa juga dilakukan pada perda-perda
sejenis yang ada di sejumlah daerah. ―Kalau menteri mau cabut perda,
evaluasi juga dong perda-perda lain di seluruh Indonesia,‖ ucap dia.
Selain bantuan dari pemerintah, pembangunan masjid baru di
Tolikara juga akan dilakukan oleh Komite Umat untuk Tolikara (Komat
Tolikara). Wadah tersebut akan mengorganisasi bantuan yang dikumpulkan
sejumlah lembaga amil zakat untuk membangun kembali masjid. Sejauh ini,
dana yang terkumpul dari berbagai lembaga amil zakat setidaknya telah
mencapai Rp 2 miliar.
Juru Bicara Komat Tolikara Adnan Arnas mangakui, pembangunan
masjid di Tolikara berpotensi diganjal pihak-pihak tertentu di Tolikara.
Namun, menurutnya, itu tak menjadi maslah karena pihak-pihak tersebut
harus mengikuti kebijakan pemerintah yang sudah membolehkan
pembangunan masjid.
127
1. SINTAKSIS
a. Skema berita
Struktur sintaksis Kompas edisi 25 Juli 2015 diawali dengan judul,
kemudian pernyataan narasumber, lead, kutipan narasumber, latar
informasi, penutup. Posisi pernyataan yang diletakkan setelah judul dan
dicetak dengan jenis huruf serta ukuran huruf yang berbeda dari isi teks
keseluruhan memberikan kesan bahwa aspek tersebut sengaja ditonjolkan
oleh Kompas. Berikut pernyataan narasumber dalam teks berita Kompas:
―Ketua FUB Papua: Penyebab Insiden karena Komunikasi Tak Jalan‖.
Pernyataan ini mengajak pembaca untuk berfikir bahwa peneyebab konflik
tolikara karena komunikasi yang tak jalan, bukan karena sentimen terhadap
penganut agama tertentu.
Kemudian struktur sintaksis pada berita Republika berbentuk
piramida terbalik, diawali dengan judul, lead, latar informasi, kutipan
narasumber, pernyataan dan penutup. Struktur piramida terbalik ini
menempatkan aspek yang dianggap penting diawal kemudian bagian
selanjutnya dilengkapi dengan keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang
mendukung.
Tabel 6.1
Headline Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Headline/ judul TNI Diminta Percepat
Renovasi di Tolikara,
Ketua FUB Papua:
Penyebab Insiden karena
Komunikasi Tak Jalan
TNI Jamin Pendirian
Masjid Tolikara
Tabel 5.1 menunjukan kedua surat kabar tersebut mengangkat inti
tema yang sama, yakni mengenai tugas TNI untuk menangani pembangunan
serta renovasi berbagai fasilitas pasca konflik tolikara. Perbedaan terletak
pada sisi objek pemberitaan yang diangkat. Jika Kompas mengangkat
128
renovasi terhadap seluruh bangunan yang rusak secara
keseluruhan.Republika fokus terhadap pendirian masjid pasca terbakar
dalam insiden Tolikara tersebut. Hal ini menunjukan Republika
menekankan bahwa pendirian masjid yang menjadi prioritas dalam
pembangunan kembali pasca insiden tersebut.
Kompas juga menyajikan pernytaan yang berdapingan dengan judul
utama. Judul utama Kompas berbunyi ―TNI Diminta Percepat Renovasi di
Tolikara‖ dengan pernyataan―Ketua FUB Papua: Penyebab Insiden karena
Komunikasi Tak Jalan‖. Struktur demikian seolah Kompas ingin membagi
fokus perhatian pembaca pada dua fakta, pertama tentang renovasi di
Tolikara dan kedua pernyataan ketua FUB Papua tentang penyebab insiden
tersebut karena komunikasi yang tak jalan. Dua fakta yang disajikan
beriringan seperti ini seolah mengajak pembaca untuk memahami bahwa
rusaknya sejumlah bangunan merupakan imbas dari sebuah insiden yang
disebabkan karena komunikasi yang tak jalan bukan semata-mata karena
tindakan penyerangan. Jika logika dari kalimat ini dibalik, maka akan
dipahami bahwa tindakan penyerangan tidak akan terjadi jika ada
komunikasi yang baik antar kedua belah pihak sehingga tidak terjadi sebuah
insiden yang menyebabkan terbakarnya sejumlah bangunan dan fasilitas
ibadah.
Tabel 6.2
Lead Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Lead JAKARTA, KOMPAS--
Panglima TNI Jenderal
TOLIKARA—
TentaraNasional
129
Gatot Nurmantyo diberi
waktu satu bulan untuk
mempercepat
penyelesaian renovasi
pembangunan kios dan
mushala yang rusak
akibat insiden Tolikara,
Papua, pada Jumat (17/7)
lalu. Terkait dengan
percepatan tersebut, TNI
menambah jumlah
personel prajurit TNI
sebanyak 100 orang.
Indonesia (TNI)
menjamin pendirian
bangunan masjid baru di
Karubaga, Tolikara,
pasca kerusuhan dan
pembakaran 17 Juli lalu.
Jaminan TNI ini
menyusul kekhawatiran
akan terjadi penolakan
oleh sejumlah pihak
untuk membangun
masjid. Masjid baru ini
menggantikan Masjid
Baitul Muttaqin yang
dibakar warga selepas
protes shalat Id, pekan
lalu.
Lead yang digunakan Republika dan Kompas jelas menunjukan
pandangannya masing-masing. Kompas menggunakan jenis what lead yang
mengungkapkan peristiwa apa yang terjadi. Kompas hanya menjabarkan
peristiwa yang terjadi mengenai TNI yang diminta untuk mempercepat
penyelesaian renovasi kios dan mushala yang rusak akibat insiden Tolikara.
Sedangkan, lead Republika jelas menunjukan pandangannya dalam
lead dengan tidak hanya memparkan dari segi what lead tetapi juga
memaparkan dari segi why lead yang mengungkapkan alasan TNI
memberikan jaminan dan pengamanan tehadap pendirian Masjid di Tolikara
karena berpotensi diganja sejumlah pihak di Tolikara.Hal ini memberikan
nada negatif terhadap pihak yang mengganjal pendirian masjid karena
dianggap tidak memberikan hak kebebasan beribadah.
130
Tabel 6.3
Latar Informasi Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Latar
Informasi
Menurut Lapiyus, insiden
Tolikara yeng terjadi
sebenarnya disebabkan
karena persoalan
komunikasi yang tak
jalan. Bukan karena
adanya pihak luar atau
pihak asing yang ikut
bermain, ―selama 50-an
tahun Papua bergabung
dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia,
belum pernah ada konflik
antar-umat beragama.
Secara budaya,
masyarakat Papua
memegang adat bahawa
haram hukumnya
membakar tempat
ibadah.‖
―Panglima TNI (Jenderal
Gatot Nurmantyo)
menjamin itu (pendirian
masjid). Kita semua
harus menjaga kebebasan
menjalankan ibadah
sesuai keyakinan
masing-masing,‖ kata
Komandan Kodim
Jayapura Kolonel Tri
Yunarto…
Latar informasi yang dipilih oleh Kompas mengarah pada penyebab
terjadinya insiden Tolikara karena komunikasi yang tak jalan. Selain itu,
Kompas juga memakai latar sejarah keberhasilan warga Papua selama 50
tahun dalam menjaga persatuan tanpa adanya konflik antar umat
beragama.Secara rinci Kompas juga memaparakan hukum adat masyarakat
Papua—yang mayoritas Kristen—mengharamkan membakar tempat ibadah.
Pemberitaan semacam ini akan membentuk kesadaran khlayak bahwa
terbakarnya sejumlah kios dan mushala ini bukan karena kemarahan umat
Kristiani terhadap umat Muslim, karena tak mungkin umat Kristiani
melanggar hukum adat yang mengharamkan membakar rumah ibadah.
Namun Insiden ini terjadi lebih dikarenakan komunikasi yang tidak berjalan
131
dengan baik bagi kedua belah pihak, dan tidak ada unsur kesengajaan dalam
pembakaran rumah ibadah tersebut, warga membakar kios yang akhinya
merembet ke mushala. Dengan demikian, Kompas berupaya menyuguhkan
pandangan positif terhadap umat Kristiani (masyarakat Papua). Berikut
kutipan latar informasi Kompas:
Menurut Lapiyus, insiden Tolikara yeng terjadi sebenarnya
disebabkan karena persoalan komunikasi yang tak jalan. Bukan
karena adanya pihak luar atau pihak asing yang ikut bermain,
―selama 50-an tahun Papua bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, belum pernah ada konflik antar-umat beragama.
Secara budaya, masyarakat Papua memegang adat bahawa haram
hukumnya membakar tempat ibadah.‖
―Tempat ibadah apa pun milik bersama, dari agama mana pun
bisa duduk bersama.Jadi, kalau bakar tempat ibadah, maka haram
hukumnya.Papua yang mayoritas Kristen, mereka menjaga hal itu,‖
tuturnya, seraya menjelaskan aksi warga yang membakar kios
akhirnya merembet mushala.
Sedangkan Republika lebih mengarahkan latar informasi pada
pentingnya pendirian masjid. Republika memaparkan bahwa setiap orang
harus menjaga kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-
masing. Sehingga Republika menilai pembangunan masjid harus menjadi
prioritas utama untuk menjaga dan menghormati kebebasan umat muslim
dalam menjalankan ibadah dengan fasilitas ibadah yang nyaman. Dengan
demikian, teks Republika dipandang menyuarakan dukungan terhadap hak
umat muslim.
Tabel 6.4
Kutipan Narasumber Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kutipan
Narasumber
―Jadi, sekarang ini,
pembangunan kembali (di
―Panglima TNI
(Jenderal Gatot
132
Tolikara) sudah dilakukan.
Beliau (Presiden Joko
Widodo) meyakinkan lagi
agar 60 kios (yang dibakar
dan terbakar), harus
dibangun 75 kios.
Sebanyak 15 kios, untuk
warga setempat (asli
Tolikara).‖ (Gatot
Nurmantyo)
Nurmantyo) menjamin
itu (pendirian masjid).
Kita semua harus
menjaga kebebasan
menjalankan ibadah
sesuai keyakinan
masing-masing,‖ kata
Komandan Kodim
Jayapura Kolonel Tri
Yunarto
―Tempat ibadah apa pun
milik bersama, dari agama
mana pun bisa duduk
bersama. Jadi, kalau bakar
tempat ibadah, maka
haram hukumnya. Papua
yang mayoritas Kristen,
mereka mejaga hal itu.‖
―Mereka bertindak (rusuh)
karena komunikasi yang
tak jalan meskipun sudah
ada kesepakatan.‖ Lipiyus
Biniluk
―Kita tambah 100
personel. Karena,
dituntut satu bulan harus
selesai sehingga
ekonomi berjalan.‖
(Jenderal Gatot
Nurmatyo)
―Kami mendapat bukti
keterlibatan keduanya
melalui rekaman video
pada saat peristiwa. Kedua
oknum tersebut adalah
pegawai salah satu bank di
Tolikara.‖ (Kapolda Papua
Inspektur Jenderal Yotje
Mende
―Iya, itu Mama (saya)
punya tanah, kita
sekarang usdah jadi
pengungsi.‖ (Albert Tini
Kogoya)
―Perda itu dalam
konteks otonomi khusus
Papua. Perda itu sesuai
dengan local content
yang ada.‖ (Ketua
Persekutuan Gereja-
gereja dan Lembaga-
lembaga Injili Indonesia
Lipiyus Biniluk)
133
―Kalau menteri mau
cabut preda, evaluasi
juga dong perda-perda
di seluruh Indonesia.‖
(Sekertaris Daerah
Kabupaten Tolikara
Dance Y Flassy)
Dari tabel 6.4 itu, Kompas mewawancarai tiga orang: Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo, Ketua Forum Kerukunan antar-Umat Beragama
dan Ketua Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili di
Indonesia Papua Lapiyus Biniluk, Kapolda Papua Yotje Mende.
Jika diamati, pandangan Ketua Forum Kerukunan antar-Umat
Beragama Lipiyus Biniluk yang menyatakan masyarakat Papua yang
mayoritas kristen tidak mungkin melakukan pembakaran rumah ibadah. Dan
ia juga menyatakan alasan dua warga dari kalangan GIDI yang ditahan
polisi, dua warga tersebut betindak rusuh karena komunikasi yang tak jalan.
Anggapan Lipiyus Biniluk dianggap benar karena Kompas menyandangkan
otoritas Lapiyus Biniluk sebagai Ketua Forum Kerukunan Antar-Umat
beragama di Papua. Sehingga penilaian ini dianggap relevan, karena
Lapiyus berbicara mewakili forum kerukunan antar umat beragama. Padahal
Lapiyus Biniluk juga tercatat menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-
gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII). Kompas lebih
memilih menyandangkan jabatan pertama bagi Lipyus agar memberikan
nada otoritas Lipiyus tidak berada pada salah satu pihak. Padahal jelas dari
kutipan yang diambil Kompas memberikan kesan mencoba menghapus
134
penilaian negatif terhadap GIDI. Berikut kutipan lengkap Lipiyus Biniluk
dalam teks Kompas:
Hal senada diutarakan Ketua Forum Kerukunan antar-Umat
Beragama di Papua, Lipiyus Biniluk…. ―Tempat ibadah apa
punmilik bersama, dari agama mana pun bisa duduk bersama. Jadi,
kalau bakar tempat ibadah, maka haram hukumnya. Papua yang
mayoritas Kristen, mereka mejaga hal itu,‖ seraya menjelaskan aksi
warga yang membakar kios akhirnya merembet mushala.
Terkait penahanan oleh polisi terhadap dua warga dari
kalangan GIDI, Lipiyus membenarkan. ―Mereka bertindak (rusuh)
karena komunikasi yang tak jalan meskipun sudah ada kesepakatan,‖
ujarnya.
Lipiyus berharap, setelah penehanan kedua tersangka insiden
Tolikara, polisi diharapkan tak lagi melakukan penangkapan
terhadap warga. ―tak perlu menangkap-menangkap lagi. Nanti
eksesnya jadi tak baik. Saya minta kepada Presiden begitu agar tak
ada lagi penengkapan. Selain sudah diselesaikan secara damai, pihak
korban pun sudah meneriman kesepakatan damai,‖ kata Lipiyus
Dalam teks berita itu, Republika mewawancarai enam narasumber:
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Bupati Tolikara Usman G
Wanimbo, Alberttini Kagoya (keluarga Kagoya pemilik tanah di lokasi
masjid yang terbakar), Ketua PGLII Lapiyus Biniluk, Sekda Kabupaten
Tolikara Dance Y Flassy, dan Juru Bicara Komat Tolikara Adnin Arnas.
Teks berita Republika itu secara umum berisi tentang dua pandangan—satu
pihak menjamin pendirian masjid di Tolikara, sementara pihak lain
mengganjal pendirian masjid tersebut. Sekarang kita amati bagaimana
Republika menyusun kutipan wawancara dua pandangan tersebut dalam
teks. Sumber Republika yang menjamin pendirian masjid adalah Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Juru bicara Komat Tolikara Adnin
Arnas.Sementara sumber Republika yang mengganjal pendirian masjid
135
adalah Bupati Tolikara Usman G Wanimbo, Albertini Kagoya, Ketua PGLII
Lapiyus Biniluk, Sekda Kabupaten Dance Y Flassy.Dua pandangan yang
bersebrangan tersebut disusun dalam suatu skema yang menghasilkan berita
bahwa lebih banyak pihak yang berpotensi mengganjal pendirian
masjid.Dua paragraf awal dan satu paragraf di akhir diisi dengan pandangan
yang menjamin pendirian masjid.Paragraf selebihnya adalah pandangan dari
pihak yang berpotensi mengganjal pendirian masjid.
Skema semacam ini membuat pandangan yang setuju dengan
pembangunan masjid menjadi minoritas diantara pandangan yang tidak
setuju pembangunan masjid.Republika menekankan pesan tertentu
bahwasanya pendirian masjid di Tolikara berpotensi diganjal berbagai pihak
sehingga perlu jaminan keamanan dari TNI dan pemerintah.Hal ini
mengajak pembaca berfikir bahwa pemerintah daerah Tolikara dan sebagian
besar warga Tolikara tidak menghormati hak umat muslim untuk
mendapatkan fasiltas ibadah yang layak.
Tebel 6.5
Pernyataan Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur
diamati
Kompas Republika
Pernyataan Gatot menegaskan,
Tolikara sekarang ini sudah
aman sehingga tidak perlu
lagi mendirikan pos-pos
pengamanan TNI.
Bupati Tolikara Usman G
Wanimbo mengatakan,
belum bisa menjamin
perizinan pendirian masjid
di wilayah Tolikara.
Menurutnya, perizinan
harus sesuai dengan
kesepakatan Gereja Injili di
Indonesia (GIDI) dan
masyarakat adat di
136
Tolikara.
Ketua Persekutuan Gereja-
gereja dan Lembaga-
lembaga Injili Indonesia
(PGLII) lipiyus Biniluk
juga mengiyakan adanya
peraturan daerah (perda)
tentang larangan
membangun rumah ibadah
baru di Tolikara.
Menurutnya, Perda itu
sesuai dengan kearifan
lokal di kabupaten yang
mayoritas penduduknya
beragama Kristen tersebut.
Juru Bicara Komat Tolikara
Adnin Arnas mengakui,
pembangunan masjid di
Tolikara berpotensi diganjal
pihak-pihak tertentu di
Tolikara.
Dalam tabel 6.5, pernyataan Kompas menegaskan bahwa kondisi di
Tolikara telah aman.Dengan penggambaran semacam ini, Kompas
mengarahkan pandangan publik agar tidak cemas dan terprovokasi, karena
kondisi di Tolikara telah kembali kondusif dan normal.
Sedangkan, Republika menulis tanggapan dari Bupati Tolikara
Usman G Wanimbo dan Ketua Persatuan Gereja-gereja dan Lembaga-
lembaga Injili di Indonesia (PGLII) Lipiyus Biniluk terkait belum adanya
jaminan pendirian masjid bahkan larangan pendirian rumah ibadah baru.
Dengan menggunakan pernyataan tersebut Republika mengarahkan
pembaca untuk memahami bahwasannya pendirian masjid di Tolikara
terancam diganjal oleh berbagai pihak. Penggunaan narasumber yang
berlatar belakang dari pihak Kristen—Ketua PGLII Lipiyus Biniluk,
137
memberikan nada negatif terhadap pihak yang mengganjal yakni organisasi
PGLII.
Tabel 6.6
Penutup Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Penutup Pantauan Kompas,
kemarin, sekitar 100 umat
Muslim menjalankan
ibadah shalat dengan
aman di Markas Koramil
1702-11 Karubaga. Ustaz
Fazlan Garamatan dari
Fakfak, Papua Barat,
tampil sebagai khatib
dalam shalat tersebut. Ali
Usman (30), jemaah
shalat, merasa lega dapat
mengikuti shalat meski
baru seminggu terjadi
insiden.
Juru Bicara Komat
Tolikara Adnin Arnas
mengakui, pembanguan
masjid di Tolikara
berpotensi diganjal
pihak-pihak tertentu di
Tolikara. Namun,
menurutnya, itu tak
menjadi masalah karena
pihak-pihak tersebut
harus mengikuti
kebijakan pemerintah
yang sudah
membolehkan
pembangunan masjid.
Dalam penutupnya, Kompas menegaskan kembali kondisi di
Tolikara telah kondusif, setelah sebelumnya pada paragraf empat Kompas
juga telah mengutip pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo tentang
kondisi Tolikara yang telah aman. Dalam penutup ini Kompas menulis
pernyataan warga muslim yang merasa lega dapat menjalankan ibadah
dengan rasa aman. Kompas mengajak pembaca untuk mengetahui
perkembangan kondisi di Tolikara yang telah kembali kondusif pasca
insiden Tolikara.Kompas kembali mengajak pembaca berfikir untuk
mengedepankan persaudaraan dan perdamaian.
Teks berita Republika diakhiri dengan penegasan terhadap jaminan
pendirian masjid akan tetap dilaksanakan sekalipun banyak pihak yang tidak
138
menyetujui. Bahkan melalui pernyataan Juru Bicara Komat Tolikara Adnin
Arnas yang dikutip Republika menyatakan bahwa pendirian masjid telah
disetujui pemerintah, karena dari segi hukum pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan atas izin pendirian masjid baru. Pernyataan tersebut
diambil Republika sebagai penguat sikap Republika yang sejatinya
mendukung pendirian masjid baru di Tolikara.
2. SKRIP
a. Kelengkapan berita
Tabel 6.7
5W+1H Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
5W+1H Apa yang terjadi
(what): Renovasi
Pembangunan kios dan
mushala yang rusak
akibat insiden Tolikara
Apa yang terjadi (What):
Pembanguan masjid baru di
Karubaga serta sejumlah kios
yang hangus usai peristiwa
Tolikara
Siapa yang merenovasi
(who): Personel prajurit
TNI
Siapa yang mendirikan
(who): Personel prajurit TNI
Kapan pelaksanaan
renovasi tersebut
(when): target selama
satu bulan pasca
insiden Tolikara
Kapan pelaksanaan renovasi
tersebut (when): terget satu
bulan pasca insiden Tolikara
Dimana pelaksanaan
renovasi dilakukan
(where):
Dimana pelaksanaan
pembangunan dilakukan
(where): masjid baru akan
dibangun di tempat yang
berbeda dari masjid
sebelumnya yang terbakar,
yakni di lahan kosong di
Kompleks Koramil
Karubaga dengan ukuran
sekitar 40 kali 15 meter.
139
Namun, belum ada kejelasan
apakah masjid baru tersebut
akan digunakan secara
permanaen.
Mengapa pembangunan
tersebut dilaksanakan
(why): agar
perekonomian di derah
tersebut segera berjalan
Mengapa pembangunan
tersebut dilaksanakan (why):
pembanguan masjid karena
harus menghargai dan
menjaga kebebasan
menjalankan ibadah sesuai
keyakinan masing-masing,
serta pembangunan kios agar
perekonomian di daerah
tersebut kembali berjalan.
Bagaimana proses
renovasi tersebut
(how):
Bagaimana proses
pembangunan tersebut
(how): belum jelas apakah
masjid tersebut akan
dibangun secara permanen
atau sebaliknya. Hal ini
karena Bupati Tolikara
belum bisa menjamin
perizinan pendirian masjid di
wilayah Tolikara. Selain itu
masih terdapat sengketa atas
hak milik tanah di lokasi
yang rencananya akan
dibangun masjid tersebut.
Selain itu terdapat perda
yang melarang pambangunan
rumah ibadah baru di
Tolikara,
Dalam berita tersebut Kompas mencoba membentuk pembingkaian
yang menghasilkan kesan tertentu kepada masyarakat dengan cara
menghilangkan satu atau lebih unsur penting dalam berita tersebut. Unsur
yang dihilangkan Kompas ialah unsur where dan how. Pemberitaan yang
ditulis oleh Kompas tidak memaparkan lokasi kios dan mushala yang akan
direnovasi, apakah akan dibangun dilokasi yang sama atau berbeda dari
lokasi awal sebelum insiden itu terjadi. Selain itu, Kompas juga tidak
140
menjabarkan bagaimana proses renovasi sejumlah kios dan mushala itu
berlangsung.
Sedangkan Republika mencakupi seluruh unsur 5W+1H. Republika
melengkapi unsur where dan howyang tidak terdapat dalam Kompas.
Republika memaparkan bagaiman proses pendirian masjid tersebut
berlangsung, dimana pendirian masjid berpotensi diganjal beberapa pihak
serta terjadi pertentangan mengenai kepemilikian tanah dari lokasi yang
akandidirikan masjid. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya pembangunan
kembali pasca insiden Tolikara belum berjalan lancar sepenuhnya, meski
dikatakan pemerintah dan TNI menjamin pembangunan yang terbakar
secara keseluruhan.Dari teks berita Republika seolah mengajak pembaca
untuk memahami bahwa masih ada pihak-pihak di Tolikara bahkan Perda di
Tolikara sendiri melarang pendirian bagi rumah ibadah baru. Republika
menggambarkan bahwa masyarakat papua yang mayoritas kristen belum
memahami atau belum manghargai hak untuk memberikan kebebasan
menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Dalam hal ini,
Republika memeberikan kesan negatif kepada pihak-pihak yang kontra dan
umat Kristiani. Berikut kutipan lengkap teks berita Republika yang
menjelaskan bagaimana proses pendirian masjid itu terganjal oleh beberapa
pihak:
Kendati demikian, Bupati Tolikara Usman Wanimbo
mengatakan, belum bisa menjamin perizinan pendirian masjid di
wilayah Tolikara. Menurutnya, perizinan harus sesuai dengan
kesepakatan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dan masyarakat adat di
Tolikara.
141
Pihak-pihak di Tolikara mengatakan, tanah di lokasi terbakarnya
Masjid Baitul Muttaqin diklaim milik GIDI.
Selain itu, Ketua Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-
lembaga Injili Indonesia (PGLII) Lipiyus Biniluk juga mengiyakan
adanya peraturan daerah yang melarang membangun rumah ibadah
baru di Tolikara. Menurutnya, Perda itu sesuai dengan kearifan lokal
di kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama kristen
tersebut.
3. TEMATIK
a. Detail
Tabel 6.8
Detail Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur
diamati
Kompas Republika
Paragraf
dan
kalimat
Menurut Lapiyus, insiden
Tolikara yang terjadi
sebenarnya disebabkan
karena persoalan
komunikasi yang tak jalan.
Bukan karena adanya pihak
luar atau pihak asing yang
ikut bermain…..
Tentara Nasional Indonesia
(TNI) menjamin pendirian
bangunan masjid baru di
Karubaga, Tolikara,
pascakerusuhan dan
pembakaran 17 Juli lalu.
Jaminan TNI ini menyusul
kekhawatiran akan terjadi
penolakan oleh sejumlah
pihak untuk membangun
masjid. Masjid baru ini
menggantikan Masjid
Baitul Muttaqin yang
dibakar warga selepas
protes shalat Id, pekan lalu.
―Tempat ibadah apa pun
milik bersama, dari agama
mana pun bisa duduk
bersama. Jadi, kalau bakar
tempat ibadah, maka haram
hukumnya. Papua yang
mayoritas Kristen, mereka
menjaga hal itu,‖ tuturnya,
seraya menjelaskan aksi
warga yang membakar kios
akhirnya merembet
mushala.
Bupati Tolikara Usman G
Wanimbo mengatakan,
belum bisa menjamin
perizinan pendirian masjid
di wilayah Tolikara.
Menurutnya, perizinan
harus sesuai dengan
kesepakatan Gereja Injili di
Indonesia (GIDI) dan
masyarakat adat di
Tolikara
Terkait penahanan oleh Pihak-pihak di Tolikara
142
polisi terhadap dua warga
dari kalangan Gereja Injili
di Indonesia (GIDI),
Lipiyus membenarkan.
―mereka bertindak (rusuh)
karena komunikasi yang tak
jalan…
mengatakan, tanah lokasi
terbakarnya Masjid Baitul
Mutaqin diklaim milik
GIDI……
―Lipiyus berharap, setelah
penahanan kedua tersangka
insiden Tolikara, polisi
diharapkan tak lagi
melakukan penangkapan-
penangkapan terhadap
warga. ―Tak perlu
menangkap-menangkap
lagi. …
Ketua Persekutuan Gereja-
gereja dan Lembaga-
lembeaga Injili Indonesia
(PGLII) Lapiyus Biniluk
juga mengiyakan adanya
peraturan daerah tentang
larangan membangun
rumah ibadah baru di
Tolikara……
Juru Bicara Komat
Tolikara Adnin Arnas
mengakui pembangunan
masjid di Tolikara
berpotensi diganjal pihak-
pihak tertentu di Tolikara.
Namun, menurutnya, itu
tak menjadi masalah
karena pihak-pihak
tersebut ……
Tiga paragraf dalam teks berita Kompas memaparkan secara lengkap
penyebab insiden karena komunikasi yang tak jalan.Kompas seolah
menggambarkan bahwa satu-satunya penyebab insiden tersebut hanya
karena masalah komunikasi antar kedua belah pihak.Kompas menulis
pernyataan Ketua PGLII Lapiyus Biniluk yang memaparkan data mengenai
sejarah 50 tahun Papua bergabung dengan NKRI tak pernah terjadi konflik
antar umat beragama. Bahkan secara jelas menyebutkan bahwa budaya
masyarakat Papua yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen
mengharamkan membakar tempat ibadah, secara tidak langsung Kompas
bermaksud mengatakan bahwasannya tidak mungkin umat Kristiani berniat
143
membakar tempat ibadah umat muslim. Dengan detail demikian maka
Kompas seolah ingin menciptakan citra positif umat Kristiani kepada
khalayak.
Detail Republika memaparkan pendirian masjid yang
berpotensi diganjal berbagai pihak di Papua, mulai dari Bupati Tolikara
yang belum bisa memeberikan jaminan perizinan pendirian masjid karena
harus sesuai dengan kesepakatan GIDI dan masyarakat adat. Dilain sisi,
terdapat pihak-pihak yang megkalaim kepemilikan tanah dari lokasi yang
rencananya akan dibangun masjid baru. Selain itu pernyataan Ketua PGLII
Lapiyus Biniluk dan Sekda Kabupaten Tolikara Dance Y Flassy yang
mengiyakan adanya Perda tentang larangan membangun rumah ibadah
baru.Sehingga Republika menyatakan perlu jaminan dari TNI dan
pemerintah untuk melakukan pembangunan masjid baru tersebut.
Detail Republika seolah membawa kesadaran publik akan minimya
kesadaran masyarakat Papua untuk menghormati kebebasan menjalankan
ibadah bagai setiap umat beragama, serta tidak memeberikan hak bagi umat
muslim untuk mendapatkan fasilitas beribadah yang nyaman. Detail
Republika ini menampakan citra negatif terhadap masyarakat papua dan
umat kristiani yang tidak mendukung pendirian rumah ibadah bagi kaum
Muslim.
144
b. Koherensi
Tebel 6.9
Koherensi Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Proposisi dan
hubungan
antar kalimat
―Tempat ibadah apapun
milik bersama, dari
agama mana pun bisa
duduk bersama. Jadi,
kalau bakar tempat
ibadah, maka haram
hukumnya. Papua yang
mayoritas Kristen,
mereka menjaga hal
itu.‖
….. Lapiyus Biniluk juga
mengiyakan adanya
peraturan daerah (perda)
tentang larangan
membangun rumah ibadah
baru di Tolikara.
Menurutnya, perda itu
sesuai dengan kearifan
lokal di kabupaten yang
mayoritas penduduknya
beragama Kristen
tersebut.
Koherensi yang digunakan Kompas yakni jenis koherensi
kondisional (penjelas).Koherensi kondisional ditandai dengan penggunaan
anak kalimat sebagai penjelas.Disini ada dua kalimat dimana kalimat kedua
adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama.Kata konjungsi yang
digunakan Kompas ialah kata “yang” pada kalimat “yang mayoritas
Kristen”.Anak kalimat ini apabila dihilangkan sebenarnya tidak akan
mengurangi arti kalimat. Anak kalimat itu mencerminkan kepentingan
Kompas karena ia dapat memberikan kesan tertentu terhadap suatu
pernyataan. Jika diamati kalimat “Papua (masyarakat Papua) yang
mayoritas Kristen menjaga hal itu”.Arti kalimat diatas tidak akan
berubah kalau anak kalimat dihilangkan menjadi “Papua (masyarakat
Papua) menjaga hal itu”.Anak kalimat “yang mayoritas Kristen”
berfungsi sebagai penjelas tapi juga memberi makna penilaian positif
terhadap umat Kristen, karena secara tidak langsung Kompas menyetujui
145
bahwa umat Kristen tidak mungkin melakukan pembakaran rumah ibadah
umat Muslim.
Begitupun dengan Republika menggunakan koherensi kondisional
(penjelas) pada anak kalimat ―yang mayoritas penduduknya beragama
Kristen tersebut‖. Sebenarnya arti kalimat tidak akan berubah apabila kata
ini dihilangkan menjadi ―perda itu sesuai dengan kearifan lokal di
kabupaten Tolikara‖ anak kalimat dalam teks ini berfungsi sebagai
estetika sebuah kalimat untuk menghindari pengulangan nama kabupaten
Tolikara tersebut. Namun anak kalimat ini juga berfungsi untuk
memberikan label atau citra negatif terhadap umat Kristen di Tolikara
karena dianggap tidak memberikan hak kepada umat Muslim untuk
mendapatkan fasilitas ibadah yang nyaman.
Tabel 6.10
Bentuk Kalimat Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Bentuk kalimat Panglima TNI Jenderal
Gatot Nurmantyo diberi
waktu satu bulan untuk
mempercepat
penyelesaian renovasi
pembangunan kios dan
mushala yang rusak
akibat insiden Tolikara,
Papua, pada Jumat (17/7)
lalu. Terkait dengan
percepatan tersebut, TNI
menambah jumlah
personel prajurit TNI
sebanyak 100 orang.
Tentara Nasional
Indonesia (TNI)
menjamin pendirian
bangunan masjid baru di
Karubaga, Tolikara,
pascakerusuhan dan
pembakaran 17 Juli lalu.
Jaminan TNI ini
menyusul kekhawatiran
akan terjadi penolakan
oleh sejumlah pihak
untuk membangun
masjid. Masjid baru ini
menggantikan Masjid
Baitul Muttaqin yang
dibakar warga selepas
146
protes shalat Ied, pekan
lalu.
Bentuk kalimat dalam teks berita Kompas dan Republika
menggunakan bentuk kalimat deduktif, dimana inti kalimat (umum)
diletakan di awal kemudian disusul dengan kalimat-kalimat keterangan
(khusus).Kemudian bentuk kalimat yang digunakan Republika seperti pada
tabel menggunakan bentuk kalimat pasif pada kalimat ―Masjid baru ini
menggantikan Masjid Baitul Muttaqin yang dibakar warga selepas protes
shalat Ied, pekan lalu‖.Kalimat ini menunjukan kata ―warga‖ ditempatkan
menjadi subjek atau pelaku pembakaran masjid. Hal ini menunjukan kesan
negatif kepada warga karena terdapat unsur kesengajaan terhadap
pembakaran masjid.
c. Kata Ganti
Tabel 6.11
Kata Ganti Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kalimat Menurut dia, keduanya
melanggar Pasal 170
Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP)
tentang penyerangan
yang mengakibatkan
kerugian korban jiwa dan
harta benda
―Panglima TNI (Jenderal
Gatot Nurmantyo)
menjamin itu (pendirian
masjid). Kita semua
harus menjaga kebebasan
manjalankan ibadah
sesuai keyakinan masing-
masing.‖
Kata ganti yang digunakan Kompas ialah kata ganti dia, ―dia‖
menciptakan jarak antara wartawan (Kompas) dengan
narasumber.Kompasingin memberikan kesan objektif dengan menyatakan
bahwa ini adalah pernyataan narasuber bukan pernyataan subjektif media.
147
kata ganti yang digunakan Republika ialah kita. Dalam tabel 5.11
kolom Republika bagian pertama, Republika menggunakan kata ganti kita.
Kata ganti kita ini merujuk pada representasi bagi sikap bersama.Pada
kalimat ―Kita semua harus menjaga kebebasan manjalankan ibadah sesuai
keyakinan masing-masing‖ Republika menyatakan bahwa seluruh
masyarakat harus menyadari bahkan harus menjaga kebebasan setiap umat
dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.Hal ini
menekankan bahwasanya seluruh masyarakat harus mengormati serta
menjamin hak antar umat beragama dalam beribadah termasuk didalamnya
hak untuk mendirikan fasilitas rumah ibadah.Secara tidak langsung,
Republika mendukung hak umat muslim.
4. RETORIS
a. Leksikon
Tabel 6.12
Leksikon Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Kata Panglima TNI Jenderal
Gatot Nurmantyo diberi
waktu satu bulan untuk
mempercepat
penyelesaian renovasi
pembangunan kios dan
mushala yang rusak
akibat insiden Tolikara,
Papua, pada Jumat (17/7)
lalu.
…. Pihaknya telah
menambah 100 persoel
untuk membangun
kembali masjid serta
sejumlah kios yang
hangus usai peristiwa
Tolikara.
Dari tabel 5.12, pilihan kata yang digunakan Kompas ialah
renovasi.Kata renovasi lebih menekankan pada makna perbaikan,
peremajaan, penyempurnaan.Kata ini menunjukan bahwa bangunan yang
148
terbakar pasca insiden Tolikara tidak hangus sepenuhnya, namun hanya
mengalami kerusakan.Artinya, Kompas seolah memberikan gambaran
kepada pembaca bahwa sejumlah kios dan mushala rusak akibat insiden
Tolikara sehingga hanya perlu direnovasi. Berbeda dengan Republika yang
menggunakan kata pendirian, kata ini mengandung arti proses, perbuatan
mendirikan atau membangun. Dengan demikian, Republika ingin
menekankan melalui kata tersebut, bahwasannya bangunan yang terbakar
pasca insiden Tolikara itu hangus sehigga perlu pendirian dan pembangunan
dari awal (ulang), tidak sekedar pada perbaikan bangunan.
Kompas juga menggunakan kata rusak yang memiliki arti bentuk
yang tidak sempurna.Sedangkan Republika menggunakan kata hangus yang
memiliki arti terbakar habis.Pilihan kata ini menunjukan bagaimana
pemaknaan komunikator terhadap fakta atau realitas.Dengan kata yang
dipilih Kompas seolah mengesankan bahwa bangunan yang terbakar
tersebut hanya mengalami kerusakan, bentuk bangunan yang tidak lagi
sempura sehingga hanya perlu perbaikan untuk menyempurnakannya
kembali.Sedangkan kata yang dipilih Republika justru menunjukan realitas
sebaliknya, bangunan yang terbakar benar-benar hangus secara keseluruhan,
sehingga tidak nampak bentuk bangunan seperti sebelumnya, sehingga
diperlukan untuk membangun ulang bangunan kios dan masjid yang baru.
149
b. Grafis Tabel 6.13
Grafis Kompas dan Republika Edisi 25 Juli 2015
Unsur diamati Kompas Republika
Penggunaan
huruf
Kalimat judul ― TNI
Diminta Percepat
Renovasi di Tolikara‖ di
cetak dengan ukuran
besar dan dicetak tebal.
Kemudian, terdapat
pernyataan di bawah
judul berbunyi ―Ketua
FUB Papua: Penyebab
Insiden karena
Komunikasi Tak Jalan‖
dicetak dengan ukuran
yang lebih kecil dari
judul namun, lebih besar
dari isi teks berita.
Judul ditulis dengan
ukuran yang lebih besar
dan diberi ketebalan
Grafis yang terdapat dalam teks berita Kompas menunjukan dua
bagian yang dibuat berbeda.Pertama, penulisan judul yang dicetak dengan
ukuran yang lebih besar dan diberi ketebalan.Kedua, dibawah judul terdapat
pernyataan yang dicetak dengan ukuran yang lebih besar dari isi teks
berita.Bagian-bagian yang ditonjolkan ini adalah bagian yang dianggap
penting oleh Kompas sehingga bagian tersebut dibuat berbeda.Kompas ingin
khalayak menaruh perhatian lebih pada dua bagian tersebut.Kompas
membagi dua titik perhatian agar perhatian pembaca terbagi, tidak hanya
fokus pada percepatan renovasi bangunan pasca insiden Tolikara, namun
juga menginginkan pembaca memperhatikan realitas bahwa bangunan yang
rusak tersebut imbas dari sebuah insiden yang terjadi karena komunikasi
yang tak jalan.Jadi Kompas ingin mencitrakan bahwa bangunan yang rusak
150
tersebut terjadi bukan karena sentimen dan penyerangan yang disebut datang
dari anggota GIDI kepada umat muslim, melainkan disebabkan karena
miskomunikasi antar kedua belah pihak sebelumya.
B. PERBEDAAN BINGKAI KOMPAS DAN REPUBLIKA
Perbedaan framing Kompas dan Republika terkait pemberitaan
konflik tolikara secara keseluruhan akan dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel 7: Perbedaan Bingkai Pemberitaan Konflik Tolikara pada
Harian Kompas dan Republika.
Edisi Surat kabar
dan Judul
Fram
20
Juli
2015
KOMPAS
―Langkah
Hukum Tegas
Perlu
Diambil‖
(1) Kompas menyatakan bahwa konflik
Tolikara merupakan kesalahan akibat
komunikasi yang tidak berjalan baik antara
kedua belah pihak (umat Islam dan Kristen)
dan pemerintah. (2)Kompas menggolongkan
tindakan perusakan ini sebagai pelanggaran
atas perusakan fasilitas umum dan keamanan.
(3) Kompas menekankan bahwa kesalahan
tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada pelaku
penyerangan dan perusakan. Justru Kompas
melemahakan kinerja pemerintah dianggap
tidak melakukan upaya preventif dalam
pencegahan konflik.
REPUBLIKA
―Seret Pelaku
ke
Pengadilan‖
(1) Republika menekankan bahwa konflik
Tolikara merupakan aksi penolakan kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas yang
berujung pada aksi vandalisme dengan
melakukan perusakan dan pembakaran rumah
ibadah yang diakui keberadaannya oleh negara.
(2) Republika menilai konflik tolikara lebih
humanistik, yaitu meletakan peristiwa tersebut
sebagai pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. (3) Framing Republika memberikan
nada negatif kepada anggota Gereja Injili di
Indonesia.
151
21
Juli
2015
KOMPAS
―Pemerintah
Jamin Biaya
Rekonstruksi‖
(1) Berita Kompas menekankan pada aspek
rekonstruksi secara keseluruhan baik kios,
rumah penduduk maupun mushala yang hancur
pasca konflik Tolikara. (2) Dalam teks berita
Kompas juga mengunakan pilihan kata mushala
bukan kata masjid. (3) Selain itu, Kompas juga
menekankan pada kondisi kehidupan
masyarakat pendatang dan penduduk lokal di
Tolikara yang telah berangsur normal.
REPUBLIKA
―Masjid
Tolikara
Butuh
Bantuan‖
(1) Republika menekankan pada aspek
pentingnya membangun kembali masjid yang
telah terbakar dalam kericuhan massa Gereja
Injili di Indonesia (GIDI). (2) Pilihan kata yang
digunakan ialah masjid bukan mushala (3)Umat
Muslim digambarkan sebagai korban dari
konflik tolikara.
24
Juli
2015
KOMPAS
―Presiden:
Jaga
Persaudaraan,
Polri
Tetapkan Dua
Tersangka
Perusakan,
Kekerasan,
dan
Penghasutan
di Tolikara‖
Kompas lebih menekankan pada aspek
pentingnya toleransi dan menjaga persaudaraan
bangsa, serta kerukunan antar umat beragama.
Sedangkan informasi terkait tersangka tolikara
hanya diberikan ruang satu paragraf pada
penutup.
REPUBLIKA
―Dua
Tersangka
Tolikara
Diringkus‖
Republika memaparkan secara detail identitas
dua tersangka Tolikara yang telah ditetapkan
Polri serta alasan mengapa dua orang tersebut
ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan
Republika memaparkan kronologis
penangkapan serta menampilkan kembali
kronologis konflik Tolikara. Sedangkan, aspek
perdamaian dan kerukunan diberikan ruang tiga
paragraf di akhir teks berita.
25
Juli
2015
KOMPAS
―TNI Diminta
Percepat
Renovasi di
Tolikara‖
(1) Kompas menekankan pada aspek target
penyelesaian renovasi kios dan mushala yang
rusak di Tolikara (2) menegasakan kembali
bahwa penyebab insiden Tolikara karena
komunikasi yang tak jalan antara kedua belah
pihak dan pemerintah (3) Kompas dalam
beritanya menegaskan bahwa masayarakat
Papua yang mayoritas beragama Kristen sangat
memegang aturan adat yang mengharamkan
152
membakar temapat ibadah. Ini menampilakan
kesan bahwa tidak mungkin umat kristiani
Papua sengaja membakar rumah ibadah umat
Islam.
REPUBLIKA
―TNI Jamin
Pendirian
Masjid
Tolikara‖
(1) Republika menekankan pada aspek jamian
yang diberikan TNI untuk membangun kembali
masjid yang terbakar. Jaminan TNI ini
ditekankan Republika karena terdapat pihak-
pihak yang kontra terhadap pembangunan
kembali masjid tersebut. (2) Republika
menyebutkan bahwa pihak-pihak yang tidak
setuju terhadap pendirian masjid berasal dari
pihak GIDI, Bupati Tolikara, dan terdapat
Perda tentang larangan membangun rumah
ibadah baru di Tolikara. Dengan demikian
Republika menggambarkan bahwa pemerintah
daerah Tolikara dan pihak GIDI tidak
menghargai hak kebebasan beribadah dengan
tidak memberikan izin pembangunan fasilitas
ibadah bagi umat Islam.
C. INTERPRETASI
Secara garis besar Hasil analisis teks dengan menggunakan model
framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki menunjukan tampak ada
perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh Kompas dan Republika
dalam membingkai peristiwa konflik Tolikara.
Dari keseluruhan analisi teks berita, Kompas dan Republika
mengembangkan bingkai dan konstruksi yang berbeda soal konflik Tolikara.
Dalam bingkai Republika, penegakkan hukum terhadap aktor penyebar surat
larangan solat Ied dan pelaku perusakan hingga kemeja pesidangan menjadi
solusi terbaik untuk mengatasi konflik Tolikara, agar tidak terulang konflik
yang sama di lain tempat. Rangkaian peristiwa insiden Tolikara dikonstruksi
oleh Republika sebagai tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
153
Inisden Tolikara ini merupakan aksi penolakan kelompok mayoritas
(Kristen) terhadap kelompok minoritas (Islam) yang berujung pada aksi
perusakan dan pembakaran rumah ibadah umat Islam yang diakui
keberadaanya oleh negara. Umat islam diposisikan sebagai korban dalam
peristiwa ini, sehingga dipandang perlu dibantu dan diperhatikan. Aktor
yang berasal dari anggota Gereja Injili di Indonesia (GIDI) disebut sebagai
aktor yang menyebarkan surat larangan solat Ied, dan penyebab dari
kekacauan di Tolikara. Sementara Kompas mempunyai konstruksi yang
berbeda atas peristiwa yang terjadi di Tolikara. Dalam konsepsi dan
konstruksi Kompas, solusi terbaik dalam menyelesaikan persoalan konflik
tolikara ialah dengan jalan damai mempertemukan dua tokoh dari kedua
belah pihak (Kristen dan Islam) di Tolikara. Terkait langkah hukum tegas
atas insiden tersebut, Kompas menekankan bahwa tidak hanya massa yang
melakukan penyerangan yang ditindak tegas, namun pihak keamananyang
melakukan penembakan terhadap massa juga harus diproses hukum. Selain
itu, dalam pemberitaannya Kompas mempertannyakan posisi pemerintah
atau kinerja pemerintah karena dianggap tidak melakukan upaya preventif
dalam pencegahan konflik. Sehingga Kompas menilai bahwa kesalahan
tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada pelaku penyerangan, namun disini
pemerintah juga dinilai harus bertanggung jawab atas peristiwa konflik
tersebut.
Terkait perbedaan framing tersebut, kedua media memiliki alasan
yang berbeda. Kompas lebih mengarahkan pada aspek perdamaian, tidak
154
mendetilkan pada aspek kronologis kejadian dan pengungkapan tersangka
perusakan di Tolikara yang berasal dari anggota GIDI (Gereja Injili di
Indonesia). Framing Kompas yang lebih menonjolkan aspek perdamaian
justru mengaburkan fakta-fakta terkait kronologis kejadian konflik dan juga
mengaburkan fakta terkait pelaku penyerangan yang berasal dari anggota
GIDI.
Kompas memiliki asumsi tersendiri dalam mengemas pemberitaan
konflik tolikara. Kompas beranggapan jika fakta-fakta sebenarnya
dibeberkan secara mendalam justru berpotensi menyulut masalah semakin
besar. Dengan dalih mempertimbangkan sikologi massa, Kompas tidak
menginginkan pembaca akan semakin terbakar emosi. Kompas tidak
menginginkanhasil pemberitaannya justru memprovokasi massa.
Meski berbanding terbalik dengan Kompas, framing Republika
justru lebih mengarah pada pengungkapan tersangka tolikara, penonjolan
dari aspek kronologis. Republika menggambarkan bahwa umat Muslim
diserang sekelompok massa dari anggota GIDI saat pelaksanaan shalat Ied
berlangsung. Bahkan secara jelas Republika menempatkan posisi umat
Muslim sebagai korban dan pihak GIDI sebagai tersangka atau pembuat
kekacauan atas konflik tolikara.
Republika beranggapan bahwa penjabaran kronologis kejadian
konflik tolikara pada setiap edisi bertujuan untuk kepentingan khalayak.
Khalayak berhak mengetahui kebenaran tentang kejadian tersebut. Selain
itu, informasi terkait pelaku penyerangan di Tolikara dinilai penting oleh
155
Republika karena pihaknya berpendapat bahwa terdapat satu fenomena yang
selalu terjadi dalam konflik sosial di Indonsesia yang pada akhirnya konflik
tersebut justru semakin berkembang dan besar. Hal tersebut dikarenakan
tidak pernah terungkap pelaku atau tersangka dari setiap kericuhan dan tidak
adanya hukum yang tegas terhadap para pelaku. Padahal jika pelaku
ditindak secara tegas, tentunya mengurangi dampak adanya main hakim dari
pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan. Republika justru bertujuan
agar masyarakat mendapatkan informasi terkait pelaku, tentunya informasi
ini dilengkapi dengan informasi bahwa pelaku sudah ditindak hukum oleh
pihak berwenang. Sehingga tidak ada lagi aksi main hakim sendiri, karena
kasus ini telah ditangani pihak berwajib.
Dengan dalih menyamapaikan fakta dan Realitas sebenarnya
kepada khalayak, Republika secara gamblang memberikan penekanan
pada aspek kronologi kejadian dan informasi tersangka pelaku
penyerangan yang berasal dari anggota GIDI. Dengan demikian,
Republika menggiring pembaca untuk memahami bahwa dalam hal ini
dalang dibalik kerusuhan di Tolikara ialah anggota GIDI, tentunya ini
memiliki efek penyudutan dan penilaian negatif terhadap pihak GIDI.
Begitupun dalam hal pemilihan diksi atau kata. Kompas melebeli
peristiwa ini sebagai ―insiden tolikara‖, sedangkan Republika melabeli
peristiwa ini sebagai ―kericuhan massa Gereja Injili di Indonesia‖.
Penggunaan kata insiden Tolikara ini menggunakan nominalisasi.
Nominalisasi merupakan strategi yang dipakai untuk menghilangkan
156
kelompok atau aktor sosial tertentu.108
Kata ―insiden Tolikara‖ ini
merupakan kata benda yang menunjukan sebuah peristiwa. Sebuah nomina
(kata benda) tidak membutuhkan subjek, karena dapat hadir mandiri dalam
kalimat. Kata ―insiden Tolikara‖ ini lebih dipilih Kompas karena dapat
mewakili informasi peristiwa di Tolikara tanpa menampakan aktor atau
subjek pelaku penyerangan tersebut. Sedangakan label yang diberikan
Republika secara jelas menunjukan bahwa peristiwa ini merupakan sebuah
kericuhan dengan aktor penyebab kericuhan ini ialah massa Gereja Injili di
Indonesia.
Pembingkaian kedua media ini juga nampak dari pernyataan
narasumber yang ditampilkan. Baik Kompas maupun Republika keduanya
terindikasi adanya ketidak berimbangan dalam pemberian ruang kepada
masing-masing pihak secara proporsional. Dalam hal ini, dari setiap edisi
Kompas yang mengangkat pemberitaan konflik tolikara, hanya sebagian
kecil ruang yang diberikan kompas untuk menampilkan pernyataan dari
narasumber yang mamberikan pembelaan terhadap umat Islam, sebaliknya
Kompas lebih banyak memberikan ruang untuk narasumber yang berasal
dari pihak GIDI untuk melakukan pembelaan. Sebaliknya, ruang yang
diberikan Republika sebagian besar diberikan untuk pernyataan-pernyataan
dari narasumber yang membela umat Islam di Tolikara.
Dengan demikian kedua media membingkai pemberitaan konflik di
Tolikara dengan tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah jurnalisme yang
108
Eriyanto, Analsis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.175.
157
diatur dalam kode etik jurnalistik pasal 3 yang menyebutkan bahwa
―wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampur adukan fakta dan opini yang menghakimi,
serta menerapkan asas praduga tak bersalah.‖ Penafsiran dari kata
memberitakan secara berimbang ialah memberikan ruang atau waktu
pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.109
Media mengkonstruksi berita dengan cara tertentu sehingga
masyarakat melihat sebuah realitas dari pandangan yang berbeda-beda
sesuai dengan cara pandang media. Kompas dan Republika tanpa bisa
dihindari juga melakukan keberpihakan meski dengan alasan kebijakan dari
media atau kondisi dan situasi saat itu. Kompas dan Republika memandang
Konflik Tolikara dengan cara yang berbeda, mengkonstruksinya dengan
cara mereka masing-masing, sehingga menghasilkan pemaknaan yang
berbeda. Berita di media massa tidak sepenuhnya menggambarkan realitas
yang sesungguhnya, karena berita ada melalui proses panjang yang
didalamnya terdapat pertarungan kepentingan dan ideologi. Posisi dilematis
media inilah yang seharusnya menjadi alasan pembaca untuk kritis terhadap
isi pemeberitaan di media massa.
109
Wina armada sukardi, Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab, UU Pers dan Kode Etik
Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2013), cet ke- II, h. 389
158
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menganalisa teks berita Kompas dan Republika, kemudian
didukungdata hasil wawancara dari pihak Kompas dan Republika. Maka
dapat disimpulakan hasil analisis framing berita konflik tolikara pada surat
kabar Kompas dan Republika dengan menggunakan model analisis
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki sebagai berikut:
Dalam bingkai Republika, penegakkan hukum terhadap aktor
penyebar surat larangan salat Ied dan pelaku perusakan hingga kemeja
persidangan menjadi solusi terbaik untuk mengatasi konflik tolikara, agar
tidak terulang konflik yang sama di lain tempat. Rangkaian peristiwa
insiden Tolikara dikonstruksi oleh Republika sebagai tindakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Inisden Tolikara ini merupakan
aksi penolakan kelompok mayoritas (Kristen) terhadap kelompok
minoritas (Islam) yang berujung pada aksi perusakan dan pembakaran
rumah ibadah umat Islam yang diakui keberadaanya oleh negara. Umat
Islam diposisikan sebagai korban dalam peristiwa ini, sehingga dipandang
perlu dibantu dan diperhatikan. Aktor yang berasal dari anggota Gereja
Injili di Indonesia (GIDI) disebut sebagai aktor yang menyebarkan surat
larangan salat Id, dan penyebab dari kekacauan di Tolikara. Republika
jelas memberikan penilaian negatif terhadap pelaku penyerangan dan
penyebar surat larangan salat Id. Sementara Kompas mempunyai framing
159
yang berbeda atas peristiwa yang terjadi di Tolikara. Dalam konsepsi dan
konstruksi Kompas, solusi terbaik dalam menyelesaikan persoalan konflik
tolikara ialah dengan jalan damai mempertemukan dua tokoh dari kedua
belah pihak (Kristen dan Islam) di Tolikara. Mencari-cari akar
permasalahan danaktor yang bersalah hanya akan membuatdampak yang
takbaik, justru membuat suasana semakin terprovokasi dan dampak
konflik yang berkepanjangan. Sehingga Kompas dalam teks beritanya
tidak mendetailkan informasi terkait aktor atau pelaku penyerangan.
Kompas lebih mengarahkan peristiwa konflik Tolikara pada aspek solusi,
yakni dengan jalan damai.
B. Saran
1. Kompas dan Republika sebagai surat kabar nasional seharusnya dapat
memberikan pemberitaan yang berimbang. Pemberian atau
menampilkan porsi yang berimbang terhadap narasumber dari kedua
belah pihak. Menyajikan pemberitaan yang sesuai dengan kaidah
jurnalistik.
2. Kompas dan Republika sebagai harian nasional dengan kelompok
media besar sebagai pengelolanya, sebaiknya menyajikan informasi
dengan mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan
pihak-pihak lain.
3. Bagi masyarakat harus mampu menjadi pembaca yang kritis dalam
melihat pemberitaan di media massa. Karena realitas yang ditampilkan
dalam berita belum tentu realitas yang rill di lapangan.
ix
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alwi, Hasan, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. 2000. Balai Pustaka:
Jakarta
Assegaff, Dja’far H. Jurnalistik Masa Kini, Pengantar ke Praktek
Kewartawanan. 1985. Ghali Indonesia: Jakarta
Barus,Sedia Willing. Jurnalistik:Petunjuk Teknis Menulis Berita. 2010. Erlangga:
Jakarta
Birowo, M. Antonius. Metode Penulisan Komunikasi Teori dan Aplikasi. 2004.
Gitanyali: Yogyakarta
Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa. 2008. Kencana: Jakarta
. Sosiologi Komunikasi. 2006. Kencana: Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2003.
Balai Pustaka: Jakarta
Efendi, Onong Uchjana. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komuikasi.
Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Cet ke-VII.
2012. LKiS:Yogyakarta
_______.Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Cet ke- IX. 2011.
LKiS: Yogyakarta
Fauzi, Arifatul Choiri. Kabar-Kabar Kekerasan dari Bali.2007. LKiS:Yogyakarta
Hammad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik. 2004. Granit: Jakarta
Hamad, Ibnu, Agus Sudibyo, M. Qodari. Kabar-kabar Kebencian Prasangka di
Media Massa. 2001. ISAI: Jakarta
Irawan, Teguh.Media Surabaya Mengaburkan Makna. 2000. Pantau: Jakarta
Ishwara, Luwi. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. 2005. Penerbit Buku Kompas:
Jakarta
Kovach, Bill dan Tom Rosenstill. Elemen-elemem Jurnalisme: Apa yang
Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Cet ke-II.
2004. ISAI dan Kedutaan Amerika Serikat: Jakarta
x
Kriyantono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Edisi 1.Cet ke-III. 2008.
Kencana: Jakarta
Moleong, Lexy J. Metode Penulisan Kualitatif. 2005. PT. Rosda Karya: Bandung
M.S., Alo Liliweri.Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultural. 2009. LKiS: Yogyakarta
Nugroho, Bimo, Eriyanto, Frans Sudiarsis.Politik Media Mengemas Berita. 1999.
ISAI: Jakarta
Olii, Helena. Berita dan Informasi.Cet ke-1. 2007. PT. Indeks
Putra, R. Masri Sareb. Teknik Menulis Berita dan Featur. 2006. PT. Indeks
Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Besar Indonesia Kontemporer. Cet. Ke-III.
2002. Moderen English Press: Jakarta
Santoso, F. A. Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas. 2010. Kompas
Gramedia: Jakarta
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. 2009. Cet ke-V. PT Remaja
Rosdakarya :Bandung
Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan. 2006. LKiS: Yogyakarta
Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik. 2009. Lembaga Penelitian UIN:
Jakarta
Suhandang, Kustadi. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk & Kode
Etik. 2004. Nuansa: Bandung
Sukardi, Wina Armada. Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik
Jurnalistik. Cet ke-II . 2013. Dewan Pers: Jakarta
Sumardiria, AS. Haris. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Cet ke-
III. 2008. Rosdakarya: Bandung
Suryawati, Indah. Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktik. 2011. Ghalia
Indonesia: Bogor
Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. 2005. Kalam Indonesia: Ciputat
Thaha, Idris. Posisi ICMI Di Tengah Arsu Perubahan Dalam Abrar Muhammad,
ed., ICMI Harapan Umat. 1991. Yayasan Pendidikan Islam: Jakarta
xi
Tumanggor, Rusmin dan Kholis Ridho.Antropoligi Agama. 2015. UIN Press:
Ciputat
___, dkk. Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan Pendekatan
Riset Aksi Pertisipatori. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan
Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan
Pelatihan dan Kemantrian Agama RI dan INCIS
Vivian, Jhon. Teori Komunikasi Massa.Edisi ke- VIII. 2008. Kencana: Jakarta
Yunis, Syarifudin. Jurnalistik Terapan. 2010. Ghalia Indonesia
Company Profile, Surat Kabar dan Brosur
Company Profile, Pusat Data Harian Umum Republika
Tim Penyusun Kompas,. 35 Tahun Kompas. 2000. Brosur Kompas: Jakarta
Kolom Redaksi, Republika, Edisi 21 Juli 2015
Artikel dari Internet
http://www.fimadani.com/sejarah-harian-Kompas-sebagai-pers-partai-katolik/
yang dikutip dari Jakob Oetama, “Mengantar Kepergian P.K. Ojong”,
KOMPAS, 22 juni 1980
http://www.fimadani.com/sejarah-harian-Kompas-sebagai-pers-partai-katolik/
yang dikutip dari Daniel Dhakidae, “THE STATE, THE RISE OF
CAPITAL’.
http://profile.print.kompas.com/profil/,
http://www.mahakamedia.com/about_us
http://eastspring.co.id/dms/files/spring-of-life---april-2013_20130423184912.pdf
Konsumsi Media Massa Di Kalangan Masyarakat. Eastspring (Member Of
Prudential).
LAMPIRAN-LAMPIRAN
t' l.,.(* ,&'a*
ca.F"k^ :
4*(n A h
NomorLampiranPerihal
: Istimewa: I Lembar: Pengajuan Judul Skripsi
NamaNIMSemesterFakultasJurusan
Nurlaela11r 1051100017xIlmu Dakrvah dan Ilmu KomunikasiKonsentrasi Jurnalistik
&@Nurlaela1111051100017
Drr*-
A s s al amu al aikum Wr. Wb.
Salam sejahtera saya sampaikan, semoga Bapak/lbu dalam
SWT, serta selalu sukses dalam menjalankan aktivitas sehari-hari'
yang bertandatangan di bawah ini:
Bermaksud mengajukan .iudul skipsi dengan ju<iul "ANALIS6 FRAMING
PEMBERITAAN N.ISIDSN TOLIKARA PADA HARIAN UMUM REPUBLIKA
DAN KOMPAS". Proposal skripsi ini selanjutnya diharapkan dapat dilanjutkan
sebagai syarat untuk mer.rclapat gelar S.Kom. I dalam jenjang Strata 1 (satr:) di UNSyarif Hidayullah Jakarta. Dengan ini saya lampirkan;
l. Proposal SkliPsi2. Daftar Puslaka Semcntara
Demikian perrnohonan ini saya sampaikan. Atas segala peihatian Bapak/lbu,
saya ucapkan tcrimakasili.I1' as olannnl aikunt. IYr. ll' b
N{engetahrii,Penasehat Akademik
turokhn.rah, SS, NI. Si
NiP: 198306102009122001
Kepada yang Terhormat,Ketua Dowan Pertimbangan SkiPsiUIN Syarif HidaYah:llah Jakarta
Di Tempat
\4* "L yln{gr ro n
Jakarta, Agustus 2015
t<!"-'t luSU , Mgt
Pemohon
KEMENTERIAN AGAMAUNIVBRSITAS ISLAM NBGERI (UIN)SYARTF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASITelepon/Fax : 1021) 7432728 / 71701580
Jl. lr. H..luandaNo. 95 Ciputar l54l2 lndonesia Websie $\\ d[',i,irir.' ri I !1, E-,,,iir
Nomor : Un.0l/F5/PP.00 g6S)?AOsLamp : I ( satu) bundelHal : Bimbingan Sl<ripsi
Kepada Yth.Kholis Ridho, M.SiDosen Fakultas Ilmu Dakwah dar.r llmu KomunikasiUIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Assalantu 'alaikum lltr. I4/b.
Bersama ini kami sampaikanmahasiswa Fakultas llmu Dakwahsebagai berikut,
NamaNomor Pokok.lurusan/KonsentrasiSemesterTelp.Judul Skripsi
Jakarta, ] September 20 I 5
outline dan naskah proposal skripsi yang diajukan olehdan llrnu Konrunikasi UIN Syaril Hidayatullah Jakarta
Nurlela1111051100017Komunikasi dan Penyiaran Islam/JurnalistikIX (Sembilan)089625823735Analisis Framing Pemberitaan Insiden Tolikara pada
Harian Umum RepLrblika dan Kon.rpas
Kami mohon kesediaannya untuk membimbing mahasiswa tersebut dalan.r
penyusunan dan penyelesaian skripsinya selan.ra 6 (enam) bulan dari tanggal 02 September2015 s.d. 02 Maret 2015.
Demikian. atas perhatian dan kesediaannya kami sampaikan terima kasih.
Wassalamu' a laikum trl/r. Wb.
an. Dekan,Wakil Dekan Bidang Akademik
b Supa
Tembusan :
1 . Dekan2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik
lM.Ed, Ph.D q10330 l9q80l llNIP. 004
Transkip Wawancara Kompas
Waktu wawancara : 28 Desember 2015
Narasumber : Sutta Dharmasaputra
1. Bagaimana Kompas menyikapi atau menilai sebuah isu konflik sosial ataupun
SARA, terutama terkait konflik Tolikara?
Pandangan Kompas mungkin berbeda dengan media lain. Kompas bisa
dipastikan tidak akan menojolkan fakta tertentu, jika dianggap fakta tersebut bisa
semakin menyulut masalah semakin besar. Kompas menyadari bahwa masyarakat
Indonesia, terkadang belum siap menerima fakta yang sesungguhnya. Ketika terjadi
konflik, kemudian kita mendetailkan apa yang terjadi maka itu akan menimbukan
dampak sebaliknya, orang akan semakin mudah terbakar emosi, dan akihirnya justru
akan menyulut konflik jauh lebih panjang. Sekalipun dengan alasan menyampaikan
fakta bukan hendak memprovokasi, Kompas tidak akan melakukan hal itu. Saya merasa
betul itu (yang dilakukan Kompas) karena saya biasa di lapangan dan meliput-meliput
konflik. Kompas sangat hati-hati untuk memberitakan fakta yang terkait dengan konflik
SARA. Biasanya ketika terjadi sebuah konflik, Kompas cenderung hanya melihat pada
sisi korban, kemudian Kompas mencari solusi bagaimana konflik tersebut dapat
terselesaikan. Apa yang terjadi, bagaimana terjadinya, kemudian siapa pelakunya
Kompas tidak berusaha masuk ke arah sana, karena baisanya menurut versi Kompas, hal
tersebut terkadang malah menyulut konflik semakin berkepanjangan. Kompas berusaha
untuk tidak membesar-besarkan, bahkan biasanya kita langsung mencoba memaknai
peristiwa tersebut dengan menanyakan sejumlah pengamat terkait keberhasilan bangsa
Indonesia dalam menjaga toleransi selama ini. Kita tidak mengejar siapa pelakunya, itu
biar aparat saja yang menangani, kita lebih mendorong masyarakat kepada bagaimana
kedepannya. Itu yang membedakan Kompas dengan media-media lain.
Fakta kronologis insiden Tolikara tetap ada tapi dalam bentuk grafis dan
dikemas dengan pertimbangan penampilan yang tidak memprovokasi tentunya. Tetapi,
Kompas tidak mengusut pada sisi seperti apa pimpinan gereja sampai menyebarkan
surat larangan solat Id tersebut. Biarkan saja itu menjadi tanggung jawab kepolisian.
Lagi pula, pertimbangannya terletak pada seberapa penting hal tersebut bagi
masyarakat, sehingga kita harus mengusut sejauh itu. Justru jika didetailkan alasannya,
hal tersebut akan berdampak pada masalah yang lebih besar.
2. Mengapa Kompas menyajiakan berita Insiden Tolikara pada halaman utama
dan pada rubrik Politik dan Hukum?
Memang biasanya terkait peristiwa konflik sosial seperti SARA itu pasti
masuknya rubrik politik dan hukum dan nasional karena didalamnya pendeketannya ada
politik, hukum, keamanan, dan konflik sosial. Jadi pendekatannya kasus tersebut yang
menangani juga menkopolhukam, kemudian yang melakukan penyelidikannya juga
kepolisian. Jika terkait hukum maka masuknya dalam rubrik politik dan hukum.
Biasanya kalau insidennya kecil kita masukkan dalam rubrik nusantara. Tetapi ketika
dilihat memiliki dampak secara nasional, kita masukan di politik dan hukum, karena
disitu bersifat nasional.
Mengapa dihalaman satu atau utama, pasti karena dianggap peristiwa tersebut
besar pada hari itu. Karena biasanya kita melihat peristiwa yang paling besar di hari itu.
Berita apa yang memiliki dampak paling besar maka ditempatkan di halaman utama.
Karena di halaman utama hanya terdapat empat sampai lima berita, ya kita memilih itu
jadi dari sekian banyak berita, yang menurut kita perlu dikedepankan ya itu diletakan di
halaman utama. Ini termasuk second headline ya. bukan headline utamanya.
Menurut ajaran pak Yakob, jika menarik dan penting maka yang pilihan utama
ialah yang penting, baru yang menarik. Sekalipun, tidak menarik tapi penting maka kita
akan memberitakan hal itu.
3. Mengapa Kompas Menggunakan diksi insiden tolikara bukan kata lain seperti
“konflik tolikara” dan sebagaiannya?
Kata insiden merupakan pilihan diksi agar tidak menimbulkan kesan kemarah
atau menimbulkan balas dendam. Kita memilih diksi dengan mempertimbangkan
kondisi tersebut. Terutama dalam peristiwa konflik, biasanya merupakan peristiwa
yang panjang, jadi kita belum bisa mengatakan itu sebuah konflik. Ketika kita telah
menyebutkan bahwa ini konflik, belum tentu masyarakat Tolikara disana menerima
bahwa kondisi tersebut merupakan konflik. Misalnya pada insiden Tolikara ini,
masyarakat disana belum tentu setuju bahwa peristiwa tersebut merupakan konflik.
Justru yang kita lihat, umat islam merasa menematkan diri sebagai korban, dan dilihat
lagi umatnya apakan seluruh umat keristen disitu setuju dengan adanya surat larangan
solat Id tersebut, itu mungkin hanya sebagain kecil saja yang setuju. Masyarakat sana
belum tentu setuju bahwa ini sebuah konflik antar umat islam dan kristen. Dalam tanda
kutip jauh lebih aman jika mengunakan kata “insiden” tersebut. Nah mungkin melalui
diksi tersebut Kompas berupaya untuk memberikan efek meredam konflik, sehingga
tidak ada suasana saling menyalahkan. Begitu juga dengan pemilihan foto,
pendekatannya lebih meredam bukan yang membakar emosi.
4. Mengapa Kompas lebih menekankan pada aspek penyebab konflik karena
komunikasi yang tak jalan antara kedua belah pihak (umat Islam dan Kristen)
dan pemerintah, bahkan Kompas dengan jelas tidak sepenuhnya menyalahkan
oknum yang melakukan penyerangan, tapi justru pemerintah juga turut
dipandang negatif oleh Kompas?
Pemerintah jelas ya, aparat setempat kan sudah menerima surat larangan
menggunakan pengeras suara pada solat Id dari pihak gereja kepada umat Islam tersebut
kan sudah lama, tetapi pemerintah tidak mengambil tindakan. Sebetulnya, peran
pemerintah semestinya besar dalam usaha mencegah konflik sosial. Itu yang selalu
dikritik oleh Kompas. Peran intelejen, baik itu TNI, Polri harusnya kan bekerja, bisa
melihat kondisi dan prediksinya seperti apa. Pasti dalam konteks pendekatan keamanan
kita pasti mendesak pemerintah untuk memperbaiki. Dan dalam konteks masyarakat,
ketika terjadi kerusuhan itu pasti ada provokasinya. Kompas berfikir ketika terjadi
konflik maka bukan hanya satu pihak yang rugi, melainkan semua pihak, nah oleh
karenanya konflik juga harus diatasi oleh semua pihak, berikutnya kita mendorong
tokoh-tokoh masyarakat untuk bangun.
5. Dalam harian Kompas Indisen Tolikara juga masuk dalam rubrik politik dan
hukum, bagaimana tanggapan Kompas dengan media lain yang menganggap
bahwa konflik ini sepenuhnya merupakan kesalahan pelaku penyerangan dan
melihat bahwa konflik ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia?
Ibadah itu persoalan yang penting. bahwa melarang umat beragama untuk
beribadah apalagi itu hari besar, itu juga merupakan persoalan HAM. Namun, yang kita
tidak setuju itu, bahwa semata-mata persoalan ini disebabkan oleh pihak gerejanya saja.
Kita tidak milihat hal itu. Kita tidak menyalahkan satu pihak saja, kita lebih melihat
kemana pemerintah setempat pada saat itu atau mana kinerja pemerintahnya. Pemangku
kepentingan itu kita perhitungan betul, karena mereka memiliki tanggung jawab untuk
menjaga keamanan.
6. Kemudian, pada harian Kompas edisi 20 Juli 2015 dengan judul “Langkah
Hukum Tegas Perlu Diambil”, fokus berita ini terletak pada langkah hukum
dalam menangani konflik Tolikara. Namun, mengapa tidak ada satupun
narasumber yang memiliki kapasitas akademis di bidang hukum yang dikutip oleh
Kompas? Misalanya jika tadi anda sebutkan setuju bahwa konflik ini tergolong
dalam pelanggaran HAM, mengapa Kompas tidak mengutip pernyataan pakar
hukum HAM dan sebagaiannya?
Setiap berita mungkin ada kekurangannya ya. dugaan saya, itu pendekatan
komprhensifnya belum kena. Idealnya semua pemangku kepentingan di sana utuh. tapi
ada kondisi dimana terkadang berita yang kita terima ko hanya sebatas itu dan itu sudah
malam, tidak ada waktu lagi untuk mencari berita tambahan terkait tersebut. Mungkin
ini kelemahan kami ya, tapi ini bisa dipastikan sangat jarang terjadi. Biasanya itu juga
terjadi ketika editor mendapat berita yang telat dari beberapa wartawan. Editor yang
karena sudah terlalu lelah dan karena sudah terlalu malam, maka editor asal memotong
berita dari laporan sejumlah wartawan kemudian digabungkan. Dugaan saya, mungkin
wartawan ada yang mendapatkan hasil wawancara dengan pakar hukum, namun karena
kurang ketelitian editor dalam memotong sehingga hal tersebut tidak masuk dalam teks.
Biasanya yang kita konsentrasikan penuh pada headline tapi terkadang itu masih ada
saja yang lepas dari kontrol. Itu mungkin lebih kepada kesalah teknis, dan itu menjadi
kelemahan kompas. Jadi tidak ada dari kita ohh ini jangan dimasukan. Initnya tidak ada
unsur kesengajaan menghilangkan dari segi hukumnya.
7. Mengapa Kompas menggunakan Diksi “mushala yang dibakar” pada edisi 20
Juli 2015, sedangakan edisi selanjutnya menggunakan diksi “mushala yang
terbakar”. Mana sebenarnya yang Kompas gunakan, karena keduanya memiliki
arti yang berbeda?
Kayanya kalau saya tidak salah, Kompas awalnya berasumsi dibakar, wartawan
kami dilapangan awalnya mendapatkan data musolah itu dibakar. Namun, setelah tahu
kronologis sebenarnya maka kami ganti menjadi terbakar setelah edisi 21 kebawah.
Tapi kronologi bahwa itu terbakar wartawan kita juga mengecek. Jadi ricuh dulu
kemudian terjadi pembakaran pada kios-kios dan mushala ada dalam lingkungan kios
tersebut, sehingga apinya merembet. Faktanya yang kita yakini itu merembet bukan
dibakar.
8. Terkait diksi mushala yang digunakan Kompas, mengapa Kompas memilih
diksi mushala, sedangkan ada bebrapa media yang menyebutkan bahwa itu
masjid?
Terkait mushala setau saya, saya meyakini itu mushala. Kita ada teman di
lapangan dan kita mengikuti data resmi juga, jadi kita mengikuti jika ada pejabat atau
otoritas pemerintah setempat menyebutkan mushala maka kita ikuti itu.. kita yakini itu
9. Bagaimana kriteria narasumber dalam peliputan insiden Tolikara ini?
Yang jelas bukan narasumber yang ngomporin. Kita cenderung memilih
narasumber yang pendekatannya perdamaian. Karena ini menyangkut masyarakat pasti
pakar sosiologi yang mengerti fenomena masyarakat, pejabat setempat, aparat yang
terkait, pemerintah yang mewakili negara, tokoh-tokoh agama, pakar-pakar konflik
sosial, biasanya kita jadikan parameter utuk melihat sebagai narasumber. Intinya tidak
akan memilih narasumber yang justru memprovokasi. Biasanya juga ini kita berusah
cover both side. Karena konflik ini antar agama, maka narasumbernya dari dua pihak.
yakni dari tokoh agama umat Islam dan tokoh agama umat Kristiani.
10.Terkait pemilihan narasumber yang berimbang. Pada koran Kompas edisi 21
Juli mengapa Kompas hanya menampilkan harapan damai dari pihak Islam, dan
pada edisi 24 Juli 2015, berbicara terkait jaga persaudaraan. Mengapa dalam teks
tersebut, narasumber Kompas hanya Jokowi dan Said Aqil Siroj, tidak ada
pernyataan dari pihak tokoh umat Kristiani ?
Ngecek lama sekali…. 5 menit waktu untuk mengecek. Ini kan halaman 4, kita
lihat halaman awal, baiasanya kalau begini, diambil sebagian dari halaman utamanya.
Coba kita lihat dulu Ya. oh ini berita ini berita sendiri kok, bukan sambungan. Dugaan
saya ini kan di Istana Negara, Said Aqil Siroj itu berbicara bukan mewakili diri sendiri,
tapi ia adalah juru bicara dari lima tokoh agama. Kalau di Istana Negara itu setiap
rombongan yang datang itu satu saja yang bicara sebagai juru bicara, disini Said Aqil
bukan sebagai dirinya, tetapai dia mewakili sikap dari tokoh lintas agama yang berjejer
di belakangnya. Karena kalau di Istana Negara tempatnya tidak memungkinkan untuk
meminta pandangan dari tokoh agama lain. Namun, jika tempatnya terpisah kami pasti
mewawancarai dua pihak. Selamet saya karena kedaannya demikian.
11. Bagaimana proses peliputan sampai dengan proses redaksi pemberitaan
insiden Tolikara ini? Seberapa besar peran wartawan dalam proses pemberitaan?
Kompas mengirim bebrapa wartawan untuk terjun ke lapangan (ke Tolikara).
Kemudian wartawan yang kami kirim melaporkan kepada kami yang ada di kantor
redaksi.
12. Artinya wartawan tidak mengikuti rapat redaksi ya pak? Iya tentu tidak.
Kemudian, bagaimana cara menyamakan interpretasi antara wartawan dengan
para pimpinan yang mengikuti rapat redaksi?
Kalau diredaksi itu, kita tertolong ya. Jadi sebelum wartawan terjun ke lapangan
kita ada pendidikan satu tahun. Biasanya nilai-nilai itu sudah relatif sama, ketika ada
konflik kita tidak boleh provokasi dan lebih memekeankan jurnalisme damai. Tinggal
kondisi di lapangan saja. Kadang-kadang masih ada perbedaan interpretasi. Tapi itu
jarang sekali. Proses editing di redaksi kompas itu, wartawan menulis, kemudian masuk
ke editor desk. Kemudian dikirim ke redaktur pelaksana semacam saya ini. Redaktur
melihat pada aspek substansinya saja, tapi teknisnya itu yang mengedit ialah editor.
Terakhir itu proses penyuntingan di malam hari, aspek yang dilihat pada proses
penyuntingan ini sangat spesifik menyikapi kasus-kasus tertentu, salah satunya adalah
kasus SARA. Ketika dilihat substansinya dan gaya bahasanya ini ngomporin, bisa saja
diksinya diganti. Bisa saja wartawan tidak setuju dengan pemberitaan, tapi paling terjadi
esok harinya, ketika wartawan membaca “loh kok ini ditulisnya begini sih”. Dia akan
komunikasikan itu dengan editornya bahkan bisa naik ke redaktur pelaksana bahkan ke
bisa sampai tembus ke pemimpin redaksi. Dari diskusi itu nati akan ketemu hasilnya.
Tapi untuk yang terbit besok, pasti wartawan itu tak berdaya kan. Memang di media itu
umumnya pasti ada hirarkinya. Itulah kelebihan surat kabar menurut saya, karena
banyak saringannya, lebih lolos sensor deh. Beda sama penulis blog apa yang penulis
rasa maka ditulis dan diposting semau dan sekehendak penulisnya. Apalagi tentang
konflik kita akan kenceng sekali mengontrol itu bahkan kita cut jika ada pemberitaan
yang dikhawatirkan akan meyulut masalah menjadi lebih besar.
Bahkan ketika liputan konflik biasanya kita menempatkan dua wartawan pada
dua versi, ada yang di basis muslim dan ada yang di basis kristen. Kita tempatkan dua
wartawan agar kita mengetahui atau mendapatkan dua informasi, kemudian kita saring
sendiri mana yang informasinya benar kemudian kita gabungkan dengan porsi yang
seimbang.
13. Bagaimana proses rapat redaksi redaksi tersebut, dan siapa saja yang
mengikuti rapat redaksi?
Kepala-kepala desk. Kita ada rapat pagi jam 10 membicarakan untuk prediksi
berita besok dan acara yang terjadi hari ini. Sore jam 4 rapat kembali, untuk memastikan
apa informasi yang terbaru di lapangan dan untuk membicarakan angle berita besok.
Jika terkait dengan konflik SARA itu maka didiskusikan dan dibicarakan betul-betul.
Jika ada yang meragukan dan menghawatirkan maka yang mejadi landasan kita bersama
ialah dengan melihat jangan sampai berita Kompas menimbulkan provokasi di
masyarakat. Jadi yang menentukan sebuah berita layak terbit maupun tidak itu
berdasarkan hasil diskusi dalam rapat redaksi ini.
14. Seberapa besar peran serta wewenang pemimpin redaksi dalam penentuan
berita sehingga dikatakan layak terbit?
Biasanaya pemimpin redaksi turun tangan apabila terdapat isu yang sangat
sensitif. Pemimpin redaksi memiliki hak veto untuk dapat meng-cut berita, tetapi itu
sangat jarang sekali terjadi. Tapi pada proses penyuntingan, Pemimpin redaksi juga
punya otoritas ketika malam hari dicek untuk berita yang akan terbit esok hari dan
ditemukan ada keraguan kebenaran dari berita tersebut, pemimpin redaksi memiliki hak
untuk menunda berita untuk besok dan diganti dengan berita lain. Berita yang ditunda
akan diterbitkan lusa, hal ini dimungkinkan untuk memastikan kebenaran dari berita
tersebut. Pimred punya hak veto seperti itu.
15. Jika diamati inti dari pemeberitaan insiden Tolikara yang disajikan Kompas
mengarah pada pentingnya menjaga toleransi, dan mengarahkan detail pada
pesatuan dan kesatuan bangsa, sehingga informasi terkait pelaku penyerangan
mendapat ruang yang kurang memadai. Adakah keberpihakan Kompas terhadap
pihak tertentu?
Pancasila kita sangat pegang, Pancasila mengajarkan kebhinekaaan dan
persatuan bangsa. Kita independen kok. Dalam artian seperti ini, ketika Kompas
melakukan pemihakan terhadap materi-materi tertentu, itu karena diyakini
kebenarannya, bukan adanya sub ordinasi dari sebuah lembaga atau pihak tertentu.
Keberpihakan Kompas bukan karena dibawah sub ordinasi.
Keberpihakan kompas itu pada saat-saat tertentu karena kita meyakini bahwa itu
yang terbaik pada saat itu, bisa salah sih. Misalnya konflik ini, kalau semua fakta pelaku
diberitakan, akan membuat suasana semakin terprovokasi dan berdampak pada konflik
yang semakin berkepanjangan. Lebih baik kita meredam.Tapi memang media kan harus
berpihak. Tapi berpihaknya itu tidak dibawah pengaruh siapapun, apalagi dibayar. Saya
bisa pastikan hal itu tidak terjadi di Kompas.
Transkip Wawancara Republika
Waktu wawancara : 12 Januari 2016
Narasumber : Fitriyan Zamzami
1. Bagaimana Republika menyikapi atau menilai sebuah isu konflik sosial ataupun SARA,
terutama terkait konflik Tolikara?
Saya pikir Tolikara ini cermin yang bagus untuk menggambarkan bahwa kita ini hidup di
Negara yang muslimnya menjadi mayoritas. Banyak masyarakat memandang bahwa Indonesia
ini Negara yang mayoritas penduduknya islam, tapi dia lupa kalau Indonesia ini terbagai-bagi.
Aceh ada di sana, jawa ada di sini, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Nah justru di daerah Timur
sana muslim itu menjadi minoritas. Nah itu, dimana-mana toleransi itu memang harus dijaga. Ini
merupakan cerminan yang bagus, bahwa muslim di sini harus baik-baik dan menghormati umat
yang minoritas, karena disana kita minoritas, seperti di Manado, di Papua Islam minoritas.
Kenapa kami melihat insiden ini perlu diangkat. Tentu dengan kadar kehati-hatian yang luar
biasa sebenarnya. Karena ini isu sensitif kan, sebenarnya gampang sekali kalau Republika
menyulut orang. Katakanlah media yang lain dampaknya tidak begitu besar. Tapi ketika
Republika yang memberitakan dampaknya akan lebih besar. langsung pada ikut perang nanti.
Makannya kita di sini sangat hati-hati. Dilihat angle pertama yang kita angkat di headline yaitu
“Muslim Papua Tak Terproviokasi,” jadi kita mau kasih lihat muslim disana aja ga apa-apa loh,
jangan sok-sok tau tentang masalah disana, jangan sok-sok datang mau kesan, di sana sudah
baik-baik saja.
2. Mengapa dalam teks berita Republika, lebih banyak menempatkan informasi tentang
pelaku penyerangan atau aktor penyebab konflik Tolikara?
Informasi dari identitas pelaku ya harus ditonjolkan. Ada satu hal, atau satu fenomena
umum di semua konflik etnis, agama, konflik sosial di Indonesia. bagaimana konflik tersebut
menjadi melebar. Kuncinya hanya satu, karena tidak pernah ada pelaku yang ditangani secara
hukum. Seperti kasus di Ambon tahun 2011, tidak ada yang ditangkap disana. Hal-hal itu yang
kemudian membuat sebelah pihak merasa punya hak untuk main hakim sendiri. Itu menjadi
alasan mengapa kita harus tegaskan, pelakunya ini, tolong ditindak hukum. Karena kalau dia
tidak ditindak hukum, pihak lain akan merasa polisi tidak menangani ini, ya sudah kalau begitu
kita tangani saja sendiri. Ini penyelesaian sederhana tapi tidak pernah dilakukan dimana-mana.
Banyak yang akan main hakim sendiri, jika tidak ada penegakan hukum. Maka semua pihak akan
merasa pemerintah tidak menjaga, terintimadasi oleh Negara.
Kami tidak sekedar menyebutkan identitas pelaku, ini pihak GIDI loh yang melakukan.
Ini jauh dari tujuan kami. Kami hanya ingin mempertegas ini pelakunya dan ini sudah ditindak
hukum oleh polisi. Sehingga kita yang disini harusnya adem-adem saja. Sudah ditangani polisi
kok yang bersalah. Kita hidup normal saja seperti biasa. Tapi, jika pemberitaan republika hanya
menyebutkan pelaku namuntidak menyuguhkan bahwa ini sudah ditindak, maka saya berani
bertanggung jawab. Karena itu memang salah. Kami memberitahu pelakunya siapa, namun kami
juga mengakomodir pembelaan dari gidi, dan kami juga menyertakan kepada masyarakat bahwa
penanganannya seperti ini.
Tidak ada niat dari kami, atau intervensi dari manapun untuk memposisikan pihak
tertentu sebagai pihak yang dipandang negative. Kami hanya ingin memngungkapkan fakta yang
sebenarnya. Tidak ingin memberikan klaim tertentu kepada satu pihak. Namun, jika pembaca
melihatnya berbeda, ya itu diluar kuasa kami. Allahu a‟lam bi showab
3. Mengapa seolah Republika justru terkesan memberikan penilaian positif kepada
pemerintah, dengan menjabarkan informasi bahwa BIN telah bekerja, Kepolisian telah
mengantisipasi dengan melakuakan penjagaan saat solat Id berlangsung?
Justru sebenarnya yang mau kita perlihatkan sebaliknya. BIN, Menkopolhukam bilang
sudah bekerja tapi itu omongan mereka doang. Justru fakta di lapangan tidak demikian. kita mau
menyampaikan sebaliknya, kita mau membuat analogi terbalik BIN megaku sudah bekerja, apa
gunanya kerja kalau masih terjadi konflik seperti itu. Jika terkesan membela pemerintah, berarti
itu salah kami, tapi kami tidak bermaksud seperti itu. Kita mau membalik. Kami menggunakan
taktik tertentu menegaskan ketidak becusan. Dia sebagai pihak yang salah punya hak bicara, tapi
fakta yang membuktikan justru kejadiannya tidak sesuai. Kami juga berfikir bahwa pemerintah
juga andil bersalah, karena tidak maksimal dalam upaya tindakan pencegahan.
4. mengapa dalam setiap pemberitaan terkait konflik Tolikara, dalam setiap edisinya
Republika selalu menyajiakan kronologis dari konflik Tolikara?
Jurnalistik, itu alasan jurnalistik. Di dalam jurnalistik itu kan berita ada bagiannya, ada kepala,
ada leher. Kronologis itu leher, supaya orang paham ini konteksnya apa. Saya kira ini bukan
bagian dari framing, ini bangunan beritanya. Jadi memang benar setiap edisi ada kronologi
konflik Tolikara. tapi ini bertujuan hanya untuk mempertegas konteks yang sedang diberitakan.
Susunan berita Republika itu terdapat lead satu paragraph dua kalimat, kemudian quotation yang
menguatkan lead tersebut, kemudian paragraph penerang, background (kronologis), penjelasan
lebih rinci atau penjabaran yang lainnya.
5. Dengan menampilkan kronologis kejadian konflik Tolikara, tidakkah Republika
berfikir ini justru akan menyulut emosi para pembaca?
Lebih baik kita sandingkan kronologis yang asli, dari pada pembaca salah paham dengan
penafsiran yang ga jelas. Kami ingin menekankan ini resmi kejadiannya seperti ini, jangan
terpancing oleh pemberitaan yang terkesan dibumbu-bumbui atau dilebih-lebihkan. Kami
menekankan kronologi untuk memperkuat dan memberikan penegasan, bahwa kejadian yang
sebenarnya seperti ini.
6. mengapa Republika menggunakan kedua dikisi ini ‘Masjid’ dan ‘Mushala’, ‘dibakar’
dan ‘terbakar’, mana yang diyakini benar oleh Republika?
Tergantung siapa yang bicara. Kalau orang-orang islam di dana menyebutnya itu masjid.
Di sana ada tulisan dari plang yang selamat dari pembakaran kita lihat itu ada tulisannya masjid.
Kita punya fotonya itu bertuliskan masjid Baitul Muttaqin. Sebenarnya tergantung siapa ynag
bicara, kalau ada kutipan itu musolah maka kebawahnya kita ngikutin itu musolah. Tapi reporter
kami yang disana melihat itu masjid.
Iya beda-beda sekali makna kata „terbakar‟ dan „dibakar‟. Ditengah-tengah, kalau ada
kata ditengah terbakar dan dibakar itu lah yang sebenarnya. Karena itu kalau dibilang terbakar
itu bukan terbakar tanpa sebab, itu terbakar karena memang ada pembakaran yang dilakukan
terlebih dahulu. Jadi kan dalam artian dibakar. Tapi kalau menggunakan kata dibakar, masjid itu
bukan sasaran utama, sasaran utamanya ialah kios, itulah ekses dari pembakaran kios. Ini
kasusunya membingungkan antara dibakar atau terbakar. Tapi dilapangan kedua kata tersebut
kurang tepat. Terus terang kami tidak punya kerangka pikiran kenapa kita memakai terbakar dan
dibakar. Karena kejadiannya unik. Kita tidak bisa mengklaim. Jadi kita menggunakan kedua-
duanya. Kalau misalnya karena listrik itu terbakar. Tapi kalau ini kan ada pelaku
pembakarannya.
7. bagaimana tanggapan Republika jika ada media yang menilai bahwa insiden Tolikara
ini merupakan tindak pidana kriminal bukan pelanggaran terhadap HAM?
Ini peristiwa penyerangan saat umat melaksanakan ibadah solat Id kan, jadi ini masuk
dalam pelanggaran HAM, terkait kebebasan beribadah. Tapi itu terserah dia yah, itu kan media-
media dia. Kita ga masalah. Semua media berhak memiliki agendanya masing-masing. Tapi
yang ingin saya kasih tau, media sedikit yang mengirim wartawan kesana, bahkan yang dapet
foto Tolikara sampai dua minggu awal pasca kejadian Republika yang dapat. Justru ketika kita
menaikan foto itu di Republika Online, banyak media punya nama yang mau beli foto kita dan
menelpon ke biro foto Republika. Jadi kita yakin dengan berita-berita kita sendiri.
Tapi gini, ketika kita mengatakan itu tindakan kriminal, kita harus melepaskan kejadian
tersebut dari penyerangan solat Id-nya. Itu baru bisa dibilang kriminal, kalau itu dilihat
pembakaran kiosnya saja, padahal sebelumnya ada penyerangan saat umat muslim
melangsungkan solat Id kan.
8. Mengapa Republika selalu menempatkan berita konflik Tolikara ini menjadi headline?
Karena pembaca terbesar kami terutama komunitas Islam. Jadi lebih kepada proximity
(kedekatan) hati mereka. Selain informasi ini penting untuk seluruh masyarakat Indonesia,
terutama ini penting untuk umat Islam. Agar umat Islam tahu informasi sebenarnya, supaya umat
islam tidak terprovokasi. Mereka bisa memahami kalau kasus ini sudah ditindak hukum, tahu
bagaimana menyikapi hal ini untuk kedepannya. Kami khawatir jika ini hanya disampirkan saja
beritanya meraka akan salah memahami terhadap kejadian di Tolikara, kami tidak menginginkan
umat Islam melakukan hal-hal yang akan merugikan citra umat islam sendiri. Kita membuat
pemberitaan pada posisinya orang Islam. Tapi bagaimana pemberitaan ini bisa merayu mereka
untuk tidak melakukan tindakan yang dedukstrif, hal-hal untuk tidak melakukan pembalasan. Ini
yang membuat berita ini layak menjadi headline.
Orang Isalm itu unik, teori awal media menyatakan bahwa nilai berita proximity itu
karena kedekatan lokasi. Tapi islam itu proximity-nya bukan lokasi tapi lebih kepada iman, dia
merasa lebih dekat karena kelekatan iman. Meskipun jarak kejadiannya jauh, mereka lebih peduli
dengan berita di Tolikara saat itu, ketimbang berita di Jakarta. Ini karena mereka merasa
kelekatann iman dengan saudara mereka di Tolikara yang sedang tertimpa musibah.
9. Bagaimana dengan alasan penempatan berita tersebut pada Rubrik Publik?
Jadi Publik pada halaman sembilan itu sambungan dari halaman satu. Itu in depth news.
Biasanya berita-berita besar kan tidak bisa dirangkum dalam satu halaman. Sisanya kita taruh
dihalaman sembilan publik itu.
10. Mengapa Republika menempatkan narasumber dari organisasi islam lebih dominan
dari pihak non Islam atau GIDI ketika membahasa solusi perdamaian?
Karena bahaya, ketika Republika bilang „GIDI ingin berdamai‟. Pasti timbul komentar
dari pihak islam enak aja lo, sikologi massa yang kita pertimbangkan. Saat itu, yang paling perlu
ditenangkan hatinya ialah orang islam. Makanya kita ambil sumber-sumber dari bos-bosnya
orang islam. NU bilang tenang, Muhamadiyah, MUI bilang tenang. Maka akan manut umat
Islam karena ketua-ketua yang punya otoritas yang bicara seperti itu. Tetapi, lain hal kalau
Republika bilang „GIDI mendorong perdamain‟, itu dihati orang isalm tentu tidak sedemikian
enak. Memang lebih tepat ditampilkan permohonan maaf dari pihak GIDI atau umat Kristiani.
Ini mungkin bisa lebih diterima.
11. Bagaimana proses peliputan dalam konflik Tolikara? apakah Reporter turut serta
dalam rapat redaksi?
Kami menurunkan dua orang. Satu reporter satu cameramen yang kita tempatkan selama
seminggu di sana. Mereka di Tolikara mana mungkin ikut rapat. Memang sehari-hari seperti itu.
Teknis penyusunan agendanya pada malam hari kita sudah menyusun, hal-hal apa yang akan
menarik untuk ditaruh dihalam satu besok. Kemudian dari malam hari tersebut, kita kirim ke
newsroom. Newsroom itu bagian yang mengatur lalau lintas reporter. Jam dua siang kita rapat
lagi melihat apa yang diperoleh oleh reporter. Jadi kalau sudah lengkap, maka artinya selesai.
Jika kami setuju jadi halanma depan kami pakai, tapi kalau kurang bahan berita tersebut untuk
halaman satu, kami minta reporter untuk menambahkan kembali.
12. bagaimana menyamakan persepsi atau interpretasi antara wartawan di lapangan
dengan para redaktur di ruang redaksi?
Berbeda persepsi antara wartawan dengan redaktur itu menjengkelkan. Mengatasinya?
Suruh balik lagi, suruh cari beritanya lagi, tadi bukan seperti ini yang diinginkan. Ini bukan
demokrasi. Ketika ordernya sesuai dengan yang kami inginkan Alhamdulillah, tapi kalau belum
sesuai dengan apa yang kami ingikan, kami minta ditambah.
Tapi untuk berita yang terkait peristiwa biasanya kami ikut apa yang dilaporkan
wartawan. Itu bentuk penghargaan kami kepada waratawan. Kami percaya dengan wartawan
kami. Apa yang dia bilang itu yang terjadi dilapangan, kami akan tanyakan kepastian dan
keyakinan dari wartawan. Ketika wartawan kami yakin, maka kami mengikuti. Tapi kalu untuk
isu itu pasti beda lagi, karena kita tahu, itu pasti salah mengajukan pertanyaan reporternya.
Kami meminta reporternya menayakan kembali.
13. Siapa saja yang ada dalam rapat redaksi?
Redaktur pelaksana, asisten redaktur pelaksana, redaktur, newsroom, pemimpin redaksi.
14. Siapa yang menentukan keputusan kelayakan terbit suatu berita?
Musyawarah mufakat. Bukan demokrasi di sini. Tapi pemimpin redaksi lebih sering dia sepakat
sama kita. Selama saya menjadi redaktur dua tahun bisa dihitung jari. Hanya pada saat tertentu
aja. Kami relatif bebas dari intervensi.