Analisis Framing
Transcript of Analisis Framing
Analisis Framing
Analisis Framing adalah bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang wacana persaingan antar kelompok yang muncul atau tampak di media. Dikenal konsep bingkai, yaitu gagasan sentral yang terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa framing device dan reasoning device. Framing device menunjuk pada penyebutan istilah tertentu yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan reasoning device menunjuk pada analisis sebab-akibat. Di dalamnya terdapat beberapa ‘turunan’, yaitu metafora, perumpamaan atau pengandaian. Catchphrases merupakan slogan-slogan yang harus dikerjakan. Exemplar mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau pengalaman masa silam. Depiction adalah “musuh yang harus dilawan bersama”, dan visual image adalah gambar-gambar yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Pada instrumen penalaran, Roots memperlihatkan analisis sebab-akibat, Appeals to principles merupakan premis atau klaim moral, dan Consequences merupakan kesimpulan logika penalaran
Analisis FramingUntuk mengetahui bagaimana perspektif wartawan ketika menyeleksi suatu isu/menulis berita, untuk menentukan fakta apa yang telah diungkapkan, bagian mana yang disiarkan/dihapus, dan untuk tujuan apa berita tersebut disiarkan.
MODEL ANALISIS FRAMING
Definisi MasalahBagaimana suatu peristiwa terjadi, sebagai apa/masalah apa yang terungkap?Contoh : demonstrasi keluarga korban akibat lumpur panas Lapindo setahun lalu (Mei 2007) di Sidoarjo, Jawa Timur berakhir dengan bentrokan dengan aparat keamanan. Apakah peristiwa tersebut dapat dipahami sebagai suatu tindakan mengarah “anarkisme” atau dapat juga sebagai tindakan “pengorbanan” perjuangan menuntut hak-haknya?
Mendiagnosis Sumber KasusPeristiwa yang terjadi disebabkan oleh apa? Apakah sebagai penyebab dari suatu masalah?
Membuat Keputusan MoralNilai moral apa yang digunakan untuk melegitimasi suatu tindakan tertentu?
Menurut Panuju (2003:1), frame analysis adalah analisis untuk
membongkar ideologi di balaik penulisan informasi. Robert N. Entman,
seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk
studi isi media, mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai
aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol
dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal seperti menyajikan
secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat,
evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu
digambarkan.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi
isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas
atau isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih
bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak.
Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi
khalayak dalam memahami suatu realitas.
Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan
menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, dan
menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai
strategi wacana, penempatan yang mencolok (headline depan atau
bagian belakang), pengulangan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi
terhadap simbol budaya, generalisasi dan simplifikasi. Semua aspek itu
dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi
bermakna dan diingat oleh khalayak.
Dengan framing kita juga bisa mengetahui bagaimana perspektif
atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi
dan menulis berita. Cara pandang atau persfektif ini pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan
dan hendak dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut.
Gamson dan Modigliani, peneliti yang konsisten
mengimplementasikan konsep framing, menyebut cara pandang itu
sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas
peristiwa yang akan diberitakan (Eriyanto, 2002:217-287). Menurut
mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang
terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.
Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang
menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang
relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman
yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan
yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang
ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai wadah atau struktur
data yang terorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi
atau kecendrungan politik, dan yang membantu komunikator untuk
menjelaskan muatan–muatan di balik suatu isu atau peristiwa.
Keberadaan suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral
yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana seperti
kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu atau proposisi
dan sebagainya, awalnya elemen dan struktur wacana tersebut
mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral suatu berita.
Proses pemberitaan dalam organisasi media akan sangat
mempengaruhi frame berita yang akan diproduksinya. Frame yang
diproses dalam organisasi media tidak lepas dari latar belakang
pendidikan wartawan sampai ideologi institusi media tersebut. Ada tiga
proses framing dalam organisasi media. Proses tersebut :
1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana
kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total,
melainkan dibalikkan secara halus, dengan memberikan sorotan
terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan
istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan
bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya.
2. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian
keredaksian media cetak. Redaktur, dengan atau tanpa
konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah
laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, serta menentukan
judul yang akan diberikan.
3. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi
juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu
yang masing-masing berusaha menampilkan sisi informasi yang
ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi lain). Proses
framing menjadikan media massa sebagai arena di mana
informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu
perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama
menginginkan pandangannya didukung pembaca.
Dalam proses framing pada akhirnya akan membawa efek.
Karena sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh
media, bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas
sosial yang kompleks penuh dimensi dan tidak beraturan, disajikan
dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan dan
memenuhi logika tertentu. Berdasarkan penyederhanaan atas
kompleksnya realitas yang disajikan media, menimbulkan efek
framing, yaitu: Pertama. Framing yang dilakukan media akan
menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain.
Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari
realitas, akibatnya ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian yang
memadai. Kedua. Framing yang dilakukan oleh media akan
menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan
menampilkan sisi tertentu dalam berita ada sisi lain yang terlupakan,
menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak
mendapat liputan dalam berita. Ketiga. Framing yang dilakukan media
akan menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang
lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang memfokuskan
pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam
pemberitaan menjadi tersembunyi.
Analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk
mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, atau apa saja)
dibingkai oleh media. Pembingkaian ini melalui proses yang disebut
konstruksi. Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan
makna tertentu.
Analisis ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan, kenapa
peristiwa yang satu diberitakan sementara peristiwa yang lainnya tidak
diberitakan? Mengapa sisi yang ini dibicarakan sementara sisi yang itu
tidak dibahas sama sekali? Mengapa realitas didefinisikan seperti itu?
Mengapa narasumber itu yang diwawancarai, bukan yang lain?
Pertanyaan itu adlalah bagaimana pentingnya melihat framing atau
bingkai dalam pemberitaan media.
Dalam analisis framing mengenai headline halaman depan surat
kabar harian Fajar dan Tribun Timur bertujuan untuk mengetahu
bagaimana realitas dikonstruksi antara kedua media tersebut. Juga
dengan cara apa peristiwa itu ditonjolkan. Apakah dalam
pemberitaannya ada bagian yang dihilangkan, luput atau disengaja
disembunyikan. Dengan cara seperti itu peneliti berharap mampu
mengidentifikasi ideologi yang diperjuangkan.
Analisi Framing adalah metode untuk melihat cara bercerita
(story telling) media atas suatu peristiwa. Cara bercerita itu tergambar
pada ’cara melihat’ terhadap realitas yang dijadikan berita. Sebagai
suatu metode, analisis framing banyak mendapat pengaruh dari
sosiologi dan psikologi. Dari sosiologi banyak mendapat sumbangan
pemikiran dari Peter Berger dan Ervin Goffman. Dari psikolg mendapat
sumbangan dari teori yang berhubungan dengan skema dan kognisi.
Dalam ranah penelitian media, Analisis ini masuk dalam paradigma
konstruksionis. Pandangan in banyak dipengaruhi Berger dan
Luckaman.
Media dilihat dari paradigma kontruksionis bahwa fakta/peristiwa
yang disajikan adalah hasil dari konstruksi realitas. Dalam media,
realitas bersifat subjektif. Realitas hadir karena konsep subjektifitas
dan sudut pandang tertentu dari wartawan.
Keterpilihan Boediono dan Format MeritokrasiMei 27, 2009 in essay, komunikasi media | Tags: essay, media, politic
Format Perpolitikan Indonesia
Menilik pada konstitusi Indonesia yang mengatasanamakan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, dapat dipastikan bahwa format demokrasi adalah landasan kegiatan politik di Indonesia. Sistem demokrasi ini selalu memberi tekanan mengenai keharusan adanya kebebasan pers (freedom of the press) dan berbicara (freedom of the speech), serta menyatakan pendapat (freedom of expression) (Nasution, 1990)[1]. Dengan demikian, masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah yang sedang menjalankan amanat rakyat dan memberi masukan yang mereka anggap perlu.
Davison (1965) dalam Nasution (1990)[2] menjelaskan bahwa idealnya terdapat karakteristik dari demokrasi yang tergantung pada adanya akses yang bebas bagi masyarakat terhadap saluran komunikasi, baik sebagai sumber maupun khalayak, sebagai berikut: Pertama, kompetisi yang bersifat non-kekerasan (non-violence competition) diantara kekuatan politik dalam suatu bangsa, dan adanya mekanisme yang teratur untuk peralihan kekuasaan dari satu kelompok ke kelompok lain. Kedua, kemampuan dari mereka yang berada di luar pemerintahan untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Ketiga, pemerintah yang lebih mengandalkan persuasi dan bukannya pada kekuatan untuk mencapai tujuan kebijakan-kebijakan dalam negeri.
Pertanyaannya adalah apakah selama ini demokrasi yang secara terang terpatri dalam konstitusi tersebut benar-benar berjalan secara ideal dalam format perpolitikan Indonesia? Ataukah muncul format perpolitikan lain yang berlindung di balik makna demokrasi? Denny JA memberikan sebuah contoh yang menarik dalam tulisannya yang berjudul “Mengawali Agenda Perubahan” di Harian Kompas edisi hari Kamis, 1 Agustus 1996, mengenai format politik di masa Orde Baru. Denny dalam hal ini mengacu pada pendapat Harold Crouch yang mengatakan bahwa pada masa tersebut, format politik Indonesia memiliki elemen neo patrimonialisme[3]. Dalam format ini, stabilitas sistem terjaga bukan karena sistem ini rasional, efisien dan adil, tapi karena kemampuan sang pemimpin untuk merekatkan berbagai kelompok kepentingan di sekitarnya melalui distribusi pemenuhan kepentingan berbagai kelompok kepentingan itu yang terselenggara dengan baik. Format ini selalui ditandai oleh personalism, yaitu besarnya peran dan kewibawaan pemimpin untuk mendistribusikan benefit dalam rangka mendapatkan loyalitas politik.
Format neo patrimonialisme[4] sendiri akan berjalan baik apabila memenuhi dua syarat utama, yaitu adanya keseragaman pandangan politik dan ideologi di kalangan elit dan kekuatan utama dan depolitisasi massa, dimana massa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan (Denny, 1996)[5]. Selama Orde Baru, proses homogenisasi elit dan depolitisasi massa ini berhasil karena ditopang kesuksesan pembangunan ekonomi. Keberhasilan ekonomi ini
memudahkan pemimpin untuk mendistribusikan benefit ke aktor politik utama berupa reward ekonomi maupun jabatan strategis. Konsep ini kemudian lebih dikenal dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Menapak ke masa Reformasi, tatanan mapan dari format neo patrimonial pun seketika runtuh. Sayangnya meskipun amanat demokrasi ideal (seperti terselenggaranya Pemilu sebagai alat peralihan kekuasaan yang teratur (1999, 2004, dan 2009) dan kebebasan pers, berpendapat, serta berekspresi sudah terlaksana) sudah dilaksanakan, Indonesia sepertinya belum menemukan format perpolitikan yang sesuai. Yang muncul justru format yang serba tanggung dan canggung. Dikatakan tanggung dan canggung karena selain tidak menegaskan bagaimana format perpolitikan Indonesia yang ingin dicapai, para aktor politik baik media maupun politisi justru sibuk menjalin hubungan dengan kepentingannya masing-masing.
Mengenai tarik ulur kepentingan media dan aktor politik dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, bagi aktor politik, publisitas dan profil adalah bahan bakar untuk meraih kesuksesan (Louw, 2005)[6]. Ini terjadi karena adanya komersialisasi berita politik yang secara dramatis meningkatkan permintaan terhadap cerita politik yang telah diolah sedemikian rupa dimana aktor politik ditempatkan dengan baik. Bisa ditebak kemudian popularitas yang diraih melalui publisitas medialah yang akan memenangkan aktor politik tersebut dalam pemilihan umum. Secara umum pada hampir semua pemberitaan mengenai Pemilu Legislatif yang lalu, media di Indonesia menyebut hal ini sebagai kemenangan popular vote. Kedua, masih menurut Louw (2005)[7], kekuatan jurnalis (media) dalam mempengaruhi proses politik didapat bukan dengan menjadi watchdog (pengawas), tapi dari fakta bahwa aktor politik membutuhkan media.
Dua penyataan dari Louw tadi memang seakan membuat media memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi orang untuk membuat sebuah pilihan politik. Namun patut diperhatikan, bahasan Louw lebih menekankan media sebagai industri yang mencari keuntungan komersial bukan sebagai media yang idealis. Maka, efektifitas hubungan antara aktor politik dan media dalam mempengaruhi preferensi masyarakat pun kemudian dapat dipertanyakan. Cattelani (1996)[8] menyatakan bahwa media hanyalah salah satu perangkat yang berkaitan dalam political interest seseorang yang berfungsi memberikan pengetahuan mengenai peristiwa politik yang terjadi pada saat itu dan masih dibutuhkan faktor-faktor lain untuk mencapai tahap political activity.
Ditambahkan oleh Hamad (2004)[9], fungsi media umumnya cenderung bersifat merangsang pengetahuan (kognisi) dan atau memperkuat sikap yang telah ada (recognition); selanjutnya untuk menciptakan rasa suka (afeksi) dan perilaku (konasi) harus didukung oleh komunikasi secara personal. Jadi bisa dikatakan, kesibukan para aktor politik di Indonesia yang berpikir bahwa hanya dengan meraih popularitas lewat media mereka bisa mendapatkan kesuksesan di Pemilu -padahal sejatinya media hanyalah salah satu faktor penentu pilihan politik individu- dan kepentingan komersil media telah membuat dua elemen penting demokrasi ini melupakan fungsinya sebagai pembentuk format perpolitikan yang menjadi dasar legitimasi kegiatan politik di Indonesia.
Di ranah inilah, media yang otonom dalam kerangka kebebasan pers memainkan peran penting dalam memberikan penegasan mengenai format politik apa yang sebenarnya coba dibangun.
Lebih lanjut, dengan sistem media yang otonom maka proses komunikasi yang tertutup di kalangan birokrat ataupun kelompok kepentingan dan partai politik dapat dipantau melalui pemberitaan media. Peran media ini ditunjang oleh adanya kebutuhan akan interaksi yang konstan antara lembaga-lembaga politik dengan para pemimpin di satu pihak dan dengan komponen sosial yang lebih luas di lain pihak[10]. Selain itu, adanya pengakuan bahwa media massa dapat berperan lebih dari sekedar menyanpaikan informasi politik, yang juga berarti bahwa media massa dapat dibuktikan mempunyai efek politik dalam suatu kelangsungan sistem politik suatu masyarakat, membuat analisis mengenai bagaimana fungsi media (komunikasi) dalam sebuah sistem politik menjadi hal yang esensial untuk menentukan seperti apa format politik yang sedang dibangun di suatu masyarakat (Nasution, 1990)[11].
Pada tulisan ini saya mencoba melakukan analisis framing terhadap pemberitaan Majalah Tempo mengenai Capres-Cawapres, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, untuk kemudian mengambil kesimpulan mengenai format politik seperti apakah yang coba ditegaskan oleh Tempo. Penulis memilih Majalah Tempo karena menganggap majalah ini cukup konsisten dalam usahanya menjadi media otonom di dalam demokrasi Indonesia. Sebagai awalan, penulis memfokuskan pada bagian Opini Majalah Tempo yang menyatakan bahwa terpilihnya Boediono sebagai cawapres SBY sebagai bentuk penghargaan terhadap meritokrasi. Pembahasan framing artikel-artikel berikutnya pada edisi yang sama, edisi 18-24 Mei yang bertajuk Plus-Minus Boediono, digunakan untuk mencari penegasan mengenai format meritokrasi yang telah diungkapkan di bagian Opini Majalah Tempo.
Framing Majalah Tempo Terhadap Boediono; Penegasan Format Politik Meritokrasi
Seperti telah dijelaskan di atas, saya mencoba melakukan analisis framing terhadap pemberitaan Majalah Tempo mengenai Capres-Cawapres, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, untuk kemudian mengambil kesimpulan mengenai format politik seperti apakah yang coba ditegaskan oleh Tempo. Tempo sendiri mengungkapkan bahwa terpilihnya Boediono sebagai cawapres SBY merupakan bentuk penghargaan terhadap meritokrasi. Meritokrasi sendiri merujuk pada suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Sistem ini kerap dianggap sebagai suatu sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin. Analisis ini dilakukan untuk menegaskan pernyataan Nasution (1990) bahwa analisis mengenai bagaimana fungsi media (termasuk melakukan framing terhadap peristiwa politik) dalam sebuah sistem politik menjadi hal yang esensial untuk menentukan seperti apa format politik yang sedang dibangun di suatu masyarakat.
Pada analisis framing ini saya memilih menggunakan metode framing dari Entman (1993)[12] yang melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan sendiri dimaksudkan sebagai proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, atau diingat oleh khalayak. Seleksi isu lebih menekankan pada aspek yang berhubungan dengan pemilihan fakta dimana dari proses ini akan diputuskan mana bagian berita yang dimasukan dan mana yang dikeluarkan. Sementara penonjolan aspek tertentu dari isu berhubungan dengan penulisan fakta yang berkaitan dengan pemakaian kata, gambar, dan citra tertentu. Tahapan analisis framing Entmant ini dilakukan dengan melakukan beberapa tahapan, yaitu: (1) define problem (pendefinisian masalah), (2)
diagnose cause (memperkirakan masalah atau sumber masalah), (3) make moral judgement (membuat keputusan moral), (4) treatment recommendation (menekankan penyelesaian)
Berikut analisis framing pada artikel-artikel di Majalah Tempo 18-24 Mei yang bertajuk Plus-Minus Boediono mengenai pasangan Capres-Cawapres, SBY-Boediono[13]:
1. Problem Identification (Define Problem)
Majalah Tempo mengidentifikasi pemberitan pasangan SBY-Boediono ini dalam kerangka politik. Ini dibuktikan dengan masuknya artikel-artikel tenatng pasangan ini ke dalam rubrik politik dengan tajuk Liputan Khusus SBY-Boediono. Selebihnya dapat dilihat di tabel bahwa kebanyakan bahasan framing tentang pasangan ini, khususnya polemik pemilihan Boediono sebagai cawapres, selalu dikaitkan dengan dinamika perpolitikan seperti koalisi dan resistensi di DPR.
Judul Isi Berita/Wawancara Sumber Berita
“Plus-Minus Budiono”
Pemilihan Boediono oleh SBY mengindikasikan peletakan pertimbangan kualitas dan prestasi seseorang di atas kepentingan membangun koalisi. Ini merupakan penghargaan terhadap meritokrasi. Juga ditulis keberhasilan dan kemapuan Boediono di bidang moneter dan menaklukkan inflasi
Opini Redaksi
“Panggung Kecil Untuk Orang Besar”
Proses pemilihan Boediono sebagai cawapres pendamping SBY yang melalui riset dan penilaian integritas, loyalitas, kapabilitas, akseptabilitas, dan kemampuan membangun koalisi.
Rizal Mallareng, Hatta Rajasa (Mensesneg), M. Nuh (Menkominfo), Hilmu Aminudin (Ketua Majelis Syura PKS), Heru Lelono (Staff khusus Presiden), Kuskridho Ambardi (Direktur Riset LSI), Boediono (Cawapres)
“Boediono No, Delapan Kursi Yes”
Kekecewaan sejumlah partai anggota koalisi karena kadernya tidak terpilih sebagai cawapres dan penolakan atas keterpilihan Boedono sebagai cawapres
Muhammad Najib (FPAN), Ahmad Farhan Hamid (FPAN), Tjatur Sapto Adi (FPAN), Suripto (PKS), Mardani (FPKS), Tifatul Sembiring (Presiden PKS)
“Jalan Lurus Pak Boed”
Profil perjalanan hidup dan karier Boediono serta pencitraan pribadinya yang sedehana dan selalu hemat
Agam Embun Surapati (Staff khusus Menteri Koordinator Perekonomian), Boediono (Cawapres)
“Saya Tidak Bercita-
Jawaban Boediono mengenai kemungkinan resistesi di DPR, isu agen neoliberalisme, dan kebijakan
Boediono (Cawapres)
cita Menjadi Kaya”
perekonomian Indonesia berikutnya
2. Causal Interpretation (diagnose cause)
Polemik dan resistensi yang berkembang dalam pengambilan keputusan oleh SBY untuk memilih Boediono dapat dianggap sebagai bahan utama pembahasan dalam liputan khusus tersebut. Sejumlah partai anggota koalisi pun mengungkapakn kekecewaannya karena kadernya tidak terpilih sebagai cawapres. Lebih dari itu mereka beranggapan bahwa:
“Boediono dinilai tidak mewakili pakem koalisi Jawa-Non Jawa dan Nasionalis-Agamis…SBY dan Budiono sama-sama Jawa dan sama-sama nasionalis. Budiono dinilai tidak punya basis dukungan politik.”
3. Moral Evaluation
Penilaian yang dilakukan oleh Majalah Tempo terhadap Boediono dapat dikatakan positif dengan berulang kali muncul pembahasan mengenai prestasi dan kemampuan Boediono dalam hal pereko- nomian maupun pola kehidupannya yang sederhana, cendekia, dan tidak memiliki kepentingan.
“Budiono yang dikenal kalem dan santun, malam itu berani berolah kata. Dengan cerdik ia menangkis tudingan bahwa ia penganut pandangan ekonomi neoliberal. Ia berani menyentil kanan-kiri dengan mengatakan tidak punya bisnis dan konflik kepentingan. Jabatan, kata dia, tidak untuk mencari muka.”
Terkait dengan masalah agamisme Tempo menulis:/s
"Dahinya tak menghitam, ia pun yak memelihara janggut, tapi banyak yang menyatakan ia sangat “islami” dalam bertindak dan berkata-kata.”
Dibagian lain Tempo menyatakan:
“Tudingan itu kelihatan kurang memiliki dasar yang kukuh. Boediono, misalnya, ikut berperan dalam pengucuran Bantuan Langsung Tunai, tindakan yang dalam paham neoliberal dianggap intervensi serius terhadap ekonomi domestik. Tak adil juga menempelkan gelar antek asing untuk Boediono, yang justru membebaskan kita dari utang Dana Moneter Internasional (IMF).”
Dari dua kutipan pemberitaan di atas, dapat dilihat bahwa Boediono yang ditempatkan dalam posisi yang terpojok oleh beberapa kalangan yang tidak menyetujui pemilihannya sebagai cawapres mendapat bingkai dari sisi yang lain yang coba diangkat oleh Tempo.
4. Treatment Recommendation
Atas semua paparan mengenai Boediono tersebut, Tempo merekomendasikan agar dengan melihat prestasi yang telah disumbangkan, Boediono layak mendapat perlakuan dan kesempatan
yang sama dengan calon lain. Ini menunjukkan bahwa Tempo secara tidak langsung berusaha meredam resistensi terhadap Budiono.
Frame: Pemberitaan Mengenai Cawapres Boediono adalah Masalah Politik
Problem Identification
Masalah politik
Causal Interpretation
Boediono. Boediono sempat megalami resistensi dari banyak pihak terkait isu neoliberalisme, tidak mewakili pakem representasi Jawa-Non Jawa Nasionalis-Agamis, dan latar belakang nonpolitiknya
Moral Evaluation Boediono orang yang memiliki kemampuan dan prestasi di bidang moneter dan perekonomian. Sederhana, cendekia, dan tidak memiliki kepentingan.
Treatment Reccomenda-tion
Dengan prestasi dan kemampuan yang sudah ditunjukkan oleh Boediono selama ini, ia layak untuk mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dengan calon lain sebagai cawapres.
Boediono
Kesimpulan
Hasil analisis framing di atas yang menunjukkan bagaimana Tempo berusaha meredam resistensi terhadap keterpilihan Boediono sebagai cawapres melalui pengangkatan isu tandingan mengenai kemampuan, prestasi, dan kesederhanaan personalnya. Disebut tandingan karena polemik yang berkembang belakangan lebih karena urusan koalisi poitik, representasi politik dan isu neoliberalisme. Ketiga hal tersebut sangat bersifat politis dan justru tidak memberikan kesempatan pada para profesional yang telah menyajikan prestasi dan membuktikan kemampuannya dalam mengatasi permasalahan bangsa.
Tempo secara konsisten menampilkan berbagai prestasi dan kemampuan Boediono yang dengan segala kapasitasnya berhasil menangani masalah ekonomi dan moneter yang dihadapi Indonesia (seperti telah di bahas di bagian framing moral evalution). Intinya, Tempo dengan lugas ingin menegaskan bahwa pilihan SBY terhadap Boediono telah menunjukkan sebuah format politik yang ingin dibangun oleh sistem demokrasi di Indonesia, yaitu Meritokrasi. Bukan tidak mungkin, kerterpilihan professional seperti Boediono akan membuka kesempatan bagi para profesonal lain yang juga memiliki prestasi dan kemampuan untuk duduk di posisi stragtegis di dalam pemerintahan kelak. Gejala seperti inilah yang coba ditangkap dan ditegaskan oleh Majalah Tempo mengenai arah format perpolitikan Indonesia, Meritokrasi, seperti terlihat pada kutipan Rubrik Opini yang ditulis redaksi Tempo di halaman 23:
“Dengan memilih Boediono…SBY yang serba terukur itu meletakkan kualitas dan prestasi seseorang di atas kepentingan membangun koalisi…Hal terpenting, ini penghargaan terhadap meritokrasi meskipun “ongkos politiknya” tidak sedikit…Pemihakan Yudhoyono terhadap meritokrasi ini kelihatan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.”
[1] Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia: Yogyakarta. Hal. 18
[2] Ibid.
[3] Term "patrimonialisme" digunakan untuk mengistilahkan bentuk organisasi sosial yang belum mencapai karakter birokrasi modern yang impersonal dan rasional. Sedangkan term "neo" menunjukan perkembangan baru suatu organisasi sosial yang sudah menggunakan berbagai sarana modernitas namun masih mempunyai karakter patrimonialisme. Denny, JA. 1996. Artikel “Mengawali Agenda Perubahan” di Harian Kompas edisi hari Kamis, 1 Agustus 1996.
[4] Redi Panuju (1997) dalam bukunya Sistem Komunikasi Indonesia walaupun tidak secara jelas menyebut format politik Orde Baru sebagai neo patremonialistik juga menyebut beberapa ciri pemikran politik Indonesia yang mengarah ke format tersebut, salah satunya: masyarakat Indonesia masih bersifat patrenalistik sehingga segala sesuatu yang menyangkut inisiatif, tauladan dan kewenangan harus dimulai dari elite politik. Rentetan dari sifat paternalistik ini menyebabkan pola komunkasi politik cenderung dari atas ke bawah (top-down). Panuju, Redi. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal. 39
[5]Denny, Op. cit.
[6] Louw, Erick. 2005. The Media and Political Process. SAGE Publication: London. Hal.71
[7] Ibid. hal. 90
[8] Cattelani, Patrizia. 1996. “Political Psychology” dalam Applied Social Psychology. Editor Gon R. Semin dan Klaus Fiedler. SAGE Publication: London. Hal. 293, Bagan ekuasi struktural mengenai hubungan antara pengetahuan politik dan partisipasi politik.
[9] Hamad, Ibnu. 2004.Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit.
[10] Hal ini yang oleh Eisenstadt (1962) dalam Nasution (1996) adalah juga yang disebut sebagai hal yang membedakan sistem politik modern dengan sistem politik tradisional (baca: patrenalistik). Nasution, Op.cit hal. 61
[11] Nasution, Op.cit. hal. 62.
[12] Entman, Robert N. 1993. “Framing Toward Clarification of a Fractured Paradigm”, Journal of Communication, Vol. 43, No. 4.
[13] Penulis menggunakan format framing model Entmant sesuai dengan contoh yang disajikan Eriyanto dalam bukunya Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Eriyanto. 2002. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKiS: Yogyakarta. Hal.204-209