ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN CIVIL VIOLENCE FPI DI …

21
ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN CIVIL VIOLENCE FPI DI MEDIA MASSA (Studi Analisis Framing Media Surat Kabar Harian Solopos Terhadap Pemberitaan Civil Violence FPI di Gandekan Solo) oleh : Okta Wijaya Jati Kusuma D 1210055 Disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat guna memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurusan Ilmu Komunikasi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014

Transcript of ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN CIVIL VIOLENCE FPI DI …

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN CIVIL VIOLENCE FPI

DI MEDIA MASSA

(Studi Analisis Framing Media Surat Kabar Harian Solopos Terhadap

Pemberitaan Civil Violence FPI di Gandekan Solo)

oleh :

Okta Wijaya Jati Kusuma

D 1210055

Disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat guna memperoleh

gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas

Maret Surakarta Jurusan Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

1

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN CIVIL VIOLENCE FPI

DI MEDIA MASSA

(Studi Analisis Framing Media Surat Kabar Harian Solopos Terhadap

Pemberitaan Civil Violence FPI di Gandekan Solo)

Okta Wijaya Jati Kusuma

Mursito BM

Sri Hastjarjo

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract One of communities organizations that often adorn the various reports in

the media is FPI (Islamic Defenders Front). FPI has a group named Islamic

Defenders’ Troops, the paramilitary group from this organization is a

controversial one for its actions of committing acts as "policing" (sweeping) the

activities that are considered as immoral or contrary to Islamic law, especially

during ramadhan and often lead to violence.

The study is aimed to investigate the framing of the news on civil violence

committed by the organizations on Solopos Newspaper. The type of the research

is descriptive research using qualitative approach. The object of the study is the

news of civil violence conducted by FPI organzation in Surakarta, especially the

news related to violences of FPI with the Gandekan people reported on Solopos.

The data collecting method was done using library research. The data analysis is

done using framing analysis employing constructionism paradigm.

Based on the analysis, the research concludes that: 1) the sequences of the

civil violence construction at Gandekan are reported partially without any

comprehensive reviews. It is indicated with the lack of detailed report on the

preceding events causing the civil violence; 2) Solopos tends to be neutral and

careful in its reports. It is indicated by the absence of the name of the group that

is involved in the civil violence that reported in its news. Other noticeable thing in

the Solopos news, is that it doesn’t provide any reviews and sharp opinion

concerning the events reported. It might be caused by the reason of the policy that

Solopos keeps, namely emphasizing to broadcast any writings, picture, sound and

images with certain benchmarks.

Keywords : framing analysis, civil violence, mass media

2

Pendahuluan

Kekerasan-kekerasan sipil seperti demonstrasi anarkistis, tawuran

antarpelajar, suporter, dan warga desa, dan tindakan-tindakan kekerasan yang

dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) beragama begitu mudah dijumpai

akhir-akhir ini baik di dalam pemberitaan di berbagai media baik media elektronik

maupun media non elektronik. Hal ini menimbulkan pertanyaan kalau-kalau

kekerasan sipil (civil violence) telah mulai menjadi syndrome baru di Indonesia.

Dalam terminologi ilmu sosial, pengertian sipil sering digiring ke dalam

wacana kontramiliter atau non-military (civilian). Berdasarkan pengertian

tersebut, Rule mendefinisikan kekerasan sipil dipahami sebagai bentuk kekerasan

yang dilakukan atau diaktori sendiri oleh warga sipil, dan kekerasan ini terjadi di

antara dan antarwarga sipil sendiri. Warga sipil dengan nyata melakukan tindak

kekerasan dan radikalisme terhadap warga lain, baik oleh kelompok masyarakat

atau ormas yang sudah lama eksis ataupun kelompok temporer (temporary

groups) yang dibentuk hanya untuk kepentingan sesaat atau momentum semata

(Epstein, 2002: 7243 – 7250).

Shaw mengupas militerisme ke dalam dua tipe. Pertama, militerisme tipe I

(build-up) yang terbatas pada kalangan elit, juga menghasilkan militerisme pada

tingkat elit. Artinya, militerisme build-up mempunyai ruang dan praktik

kemiliteran secara partikuler yang hanya khusus dan fokus dikembangkan oleh

tentara (hankam) dan urusan-urusan militer tingkat tinggi. Kedua, militerisme tipe

II (build-in) tampil dalam dua bentuk: (1) intervensi dan dominasi militer dalam

politik yang melahirkan militer pretoria dan rezim militer; dan (2) internalisasi

nilai, ideologi, perilaku, organisasi, wacana militer dalam masyarakat sipil

(dengan atau tanpa kehadiran militer) (Shaw, 1993: 112).

Salah satu organisasi kemasyarakatan yang sering menghiasi berbagai

pemberitaan dalam media adalah FPI (Front Pembela Islam). FPI memiliki

kelompok Laskar Pembela Islam, kelompok paramiliter dari organisasi tersebut

yang kontroversial karena melakukan aksi-aksi "penertiban" (sweeping) terhadap

kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam

terutama pada masa Ramadan dan seringkali berujung pada kekerasan.

3

FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak

tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar

Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan

tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga

negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik

dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering

diperlihatkan dalam media massa.

Salah satu pemberitaan yang menyoroti bentuk kekerasan sipil yang

dilakuka oleh organisasi massa FPI di harian Solopos adalah pemberitaan tentang

kasus bentrokan massa FPI dengan warga masyarakat Gandekan. Peristiwa

tersebut terjadi pada hari Kamis tanggal 3 Mei 2012.

Menurut pemberitaan di harian Solopos edisi Jum‟at 4 Mei 2012

diberitakan tentang ratusan massa yang mendatangi Kampung Bangunharjo RW

8, Gandekan, Jebres dengan membawa senjata tajam dan pentungan. Massa

tersebut kemudian mengeroyok dan membacok seorang warga yang sedang

berada di sebuah bengkel hingga terluka parah (Solopos, Jum‟at 4 Mei 2012: 1).

Pengemasan pemberitaan seperti tersebut di atas akan menimbulkan kesan

kepada pembaca bahwa organisasi massa tersebut sudah melakukan kekerasan

dengan mengabaikan hak-hak orang lain. Hal ini didukung dengan pemberitaan-

pemberitaan di berbagai media sebelumnya yang sudah membentuk opini publik

bahwa FPI identik dengan kekerasan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana framing

pemberitaan civil violence di surat kabar harian Solopos dalam pemberitaan

kekerasan di Gandekan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka tujuan dan manfaat

dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

4

Untuk mengatahui Bagaimana framing pemberitaan civil violence yang

dilakukan ormas di surat kabar harian Solopos.

Tinjaun Pustaka

a. Paradigma Konstruksionis

Perspektif konstruktivisme dan interpretisme sesungguhnya merujuk

pada maksud yang tidak jauh berbeda. Istilah interpretisme digunakan untuk

menjelaskan pendekatan yang berpangkal pada pemikiran sosiolog Jerman,

Max Weber, dan filosuf Jerman, Wilhem Dilthey. Ada dua tipe pendekatan

inti dari ilmu pengetahuan yang sangat fundamental yaitu pendekatan

“Naturwissenschaft” (natural science) dan Geistessenchaft (mental science).

Sedangkan berkaitan dengan pengetahuan sosial (social science), Weber

menyatakan bahwa social science menyelidiki “aksi sosial yang berarti”

(meaningful social action) atau aksi sosial yang memiliki maksud tertentu

(Zen, 2004: 44-45).

Paradigma konstruksionis diperkenalkan oleh Berger. Bersama

Thomas Luckman, ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai

konstruksi sosial atas realitas (Eriyanto. 2002: 14-15). Menurut Berger

manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural

secara terus menerus. Masyarakat merupakan produk manusia, dan sebaliknya

manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Keduanya secara terus

menerus memberikan aksi kembali terhadap penghasilnya.

Dikaitkan dengan pemberitaan, paradigma konstruktivisme

memandang pemberitaan bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti

yang riil (Eriyanto, 2002: 15). Ia adalah produk interaksi antara wartawan

dengan fakta. Dalam proses internalisasi wartawan dilanda oleh realitas.

Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan.

Dalam proses ekternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai

realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil

dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.

5

b. Konstruksi Realitas Sosial

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)

menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Berger dan Luckman. Menurut

Berger dan Luckman dikatakan bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta

kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.

Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena

yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak

tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah

kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik

yang spesifik (Berger & Luckman, 1990: 15).

Menurut Sobur, dikatakan bahwa realitas sosial sesungguhnya tidak

lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu (Sobur,

2009: 91). Berdasarkan teori tersebut dijelaskan bahwa individu menciptakan

secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara

subyektif.

Proses sosial dibentuk melalui tindakan dan interaksinya. Oleh karena

konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus

menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus proses-

proses yang membuat setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai

kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap

sebagai pengetahuan dalam masyarakat.

Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan

internalisasi. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger

menyebutnya sebagai momen.

c. Konstruksi Sosial Media Massa

Bahasa merupakan unsur utama dalam proses konstruksi realitas.

Terkait hal ini, Berger dan Luckman menganggap bahwa variabel atau

fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi,

subyektivasi, dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai

“konstruksi sosial media massa” (Hamad, 2004: 12).

6

Proses konstruksi sosial media massa melalui tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi. Dalam menyiapkan materi

konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut di atas,

namun pada umumnya keberpihakan pada kepentingan kapitalis menjadi

sangat dominan mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis

yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan.

2. Tahap Sebaran Konstruksi. Pada umumnya sebaran konstruksi sosial

media massa menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan

informasi sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali

mengonsumsi informasi itu.

3. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas. Tahap ini terdiri dari dua

tahapan, yaitu: a) Tahap pembentukan konstruksi realitas; dan b)

Pembentukan konstruksi citra.

4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa

maupun pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap

pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi

d. Media dan Berita

Media adalah agen konstruksi (Bungin, 2008: 12). Pandangan

konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam

menilai media. Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran.

Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke

penerima (khalayak). Media dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana

transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Pandangan

semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen melainkan hanya

saluran. Media dilihat sebagai sarana yang netral. Kalau ada berita yang

menyebutkan kelompok tertentu atau menggambarkan realitas dengan citra

tertentu, gambaran semacam itu merupakan hasil dari sumber berita

(komunikator) yang menggunakan media untuk mengemukakan pendapatnya.

Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas. Pandangan

konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas

jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan

7

sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah

produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang

atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya

menghasilkan realitas yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan

standar tidak bisa dipakai (Sobur, 2009: 30).

e. Konsep Framing

Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu

dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi

realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang

lebih menonjol dan lebih mudah dikenal.

Pada dasarnya, analisis framing merupakan versi terbaru dari

pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media.

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun

1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat

kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana,

serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi

realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada

1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang

membimbing individu dalam membaca realitas.

Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang

mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk

menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi. Analisis framing digunakan

untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta.

Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam

berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat,

untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektifnya (Sobur, 2001: 32).

f. Framing Model Entman

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan

penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Framing

dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu

8

yang lain. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana

perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi

isu dan menulis berita (Eriyanto, 2011: 124).

Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten

menawarkan sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication

text. Framing pada dasarnya merujuk pada pemberitaan definisi, penjelasan,

evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka

berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Entman membagi perangkat framing ke dalam empat elemen sebagai

berikut (Eriyanto, 2011: 126):

1. Define Problems (pendefinisian masalah)

Elemen pertama ini merupakan bingkai utama/master frame yang

menekankan bagaimana peristiwa dimaknai secara berbeda oleh wartawan,

maka realitas yang terbentuk akan berbeda.

2. Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah)

Elemen kedua ini merupakan elemen framing yang digunakan untuk

membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa.

Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa

(who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan

siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.

3. Make moral judgement (membuat pilihan moral)

Elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi

pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Setelah masalah

didefinisikan dan penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan

argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang

dikutip berhubungan denga sesuatu yang familiar dan dikenal oleh

khalayak.

4. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)

Elemen keempat ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh

wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah.

9

Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu

dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.

Metode Penelitian

Tipe penelitian ini ialah deskriptif dengan menggunakan pendekatan

Kualitatif. Menurut Creswell, pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk

membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif

(misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai

sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan

tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap

politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya (Creswell, 2005: 18).

Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan paradigma

atau pendekatan konstruksionis. Paradigma konstruksionis memandang bahwa

tidak ada realitas yang obyektif, karena realitas tercipta melalui proses konstruksi

dan pandangan tertentu.

Objek dalam penelitian ini adalah berita – berita mengenai kasus

kekerasan sipil (civil violence) yang dilakukan oleh ormas FPI di Surakarta

khususnya yang berkaitan dengan bentrok antara FPI dengan warga Gandekan

Surakarta yang dimuat di Harian Solopos.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penulis

berdasarkan kebutuhan analisis dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut sudah

dilakukan sejak penulis menentukan permasalahan apa yang sedang dikaji. Data

primer diperoleh dari dokumen berupa pemberitaan mengenai kasus kekerasan

sipil (civil violence) yang dilakukan oleh ormas FPI yang berkaitan dengan

bentrok antara FPI dengan warga Gandekan Surakarta yang dimuat di Solopos,

sedangkan data sekunder diperolehnya dari penelitian dokumen atau kepustakaan.

Proses analisis data dilakukan secara kualitatif dengan wawancara terbuka,

pendekatan kualitatif inilebih menekankan pada paradigma interpretatif, karena

ingin memahami apa yang ada di balik kesadaran individu subjek penelitian, yaitu

pengambil keputusan. Analisis data di lapangan dibedakan menjadi dua bagian (1)

bagian deskripsi yang berisi gambaran tentang latar belakang pengamatan,

10

tindakan dan pembicaraan dan (2) bagian reflektif yang berisi pendapat, gagasan,

komentar, tafsiran, analisis dan label yang diberikan oleh peneliti.

Langkah-langkah yang ditempuh untuk proses selanjutnya adalah

mengikuti model yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman (1984) sebagai

berikut: Pertama, dari bagian deskripsi atau catatan langsung dari lapangan yang

berupa hasil wawncara dan diskusi dengan subjek penelitian dan informan

disesuaikan dengan tujuan penelitian, serta bagian refleksi atau hasil renungan

peneliti terhaap deskripsi itu peneliti melakukan “reduksi data”, yang berupa

pokok-pokok temuan, dan selanjutnya dikembangkan sajian datanya secara

naratif.

Validitas data dilakukan dengan menggunakan triangulasi data.

Triangulasi merupakan cara pemeriksaan keabsahan data yang paling umum

digunakan dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk pengecekan

atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam hal ini digunakan triangulasi

sumber data dan triangulasi metode pengumpulan data. Triangulasi sumber data

menurut Patton (1970) dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek

derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan sumber

yang berbeda dalam metode kualitatif (Sutopo, 2006: 92). Trianggulasi adalah

teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

(Moleong, 2009: 330). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik

trianggulasi data (sering kali juga disebut dengan trianggulasi sumber), yaitu cara

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi atau

data yang telah diperoleh melalui wawancara dengan data sekunder berupa

dokumen-dokumen terkait.

Sajian dan Analisis Data

a. Frame Harian Solopos terkait Peristiwa Bentrok di Gandekan

Pemberitaan yang terkait dengan bentrok massa berjudul “Polisi

Tetapkan 2 Tersangka Imbauan Jokowi Diabaikan”, Dalam pemberitaan ini,

Solopos lebih banyak memberitakan tentang diabaikannya himbauan Jokowi

untuk tidak terpancing provokasi oleh massa dibandingkan dengan penetapan

11

ke dua tersangka tersebut. Hal ini dituliskan oleh Solopos dalam pemberitaan

sebagai berikut.

Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), mendatangi warga di Gandekan,

Jebres dan kelompok massa di Semanggi, Pasarkliwon, Solo, untuk

meredam kedua belah pihak agar tidak terjadi bentrok susulan, Jum’at

(4/5). Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. Bentrokan antara

warga dan kelompok massa terjadi beberapa saat setelah Jokowi

mendatangi kedua belah pihak

Dari pemberitaan tersebut dapat diketahui bahwa harian Solopos kurang

komprehensif dalam memberikan ulasan dan analisis sehingga pemberitaan

terkesan parsial dan tidak berkaitan satu sama lain dengan peristiwa yang

mendahuluinya. Hal ini menunjukkan adanya kesan bahwa harian Solopos

kurang tajam dalam melakukan ulasan terhadap suatu peristiwa.

Dalam pemberitaan Solopos edisi Jum‟at 06 Juli 2012 dengan judul

berita “Pemindahan Sidang Kasus Gandekan Disoal”, Solopos memberitakan

tentang kedatangan Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) ke Balaikota Solo

dan Mapolresta Solo untuk mempertanyakan rencana pemindahan lokasi

sidang kasus Gandekan.

Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), Kamis (5/7), mendatangi

Balaikota dan Mapolresta Solo untuk mempertanyakan rencana

pemindahan lokasi sidang kasus Gandekan. Di Balaikota, LUIS yang

berniat menemui Walikota Solo, Jokowi, diterima Sekretaris Daerah

(Sekda) Solo Budi Suharto dan Kabag Kesejahteraan Rakyat Setda

Kadarwati. Jokowi absen karena sedang cuti. Pertemuan berlangsung di

Ruang Rapat Sekda. Sedangkan di Mapolresta Solo, LUIS diterima

Kapolresta Kombes Pol. Asjima’in.

Solopos menuliskan tentang adanya alasan keamanan sebagai alasan

pemindahan sidang yang dipandang mengada-ada oleh LUIS. Menurut LUIS

selama persidangan berlangsung tidak pernah ada ancaman yang serius yang

dapat mengganggu jalannnya persidangan. Hal ini dituliskan dalam

pemberitaan sebagai berikut:

“Dalam pernyataan sikapnya, LUIS memandang tempat sidang

seharusnya tetap di Solo. Alasannya tempat kejadian perkara (TKP)

berada di Solo, kasus tersebut merupakan kasus kriminal murni. Selain

itu, lanjut Edi, fakta empiris persidangan di Solo selama ini tidak ada

ancaman serius yang mengganggu persidangan.

12

“Dengan usulan pemindahan tempat ini ada kesan kekhawatiran dan

ketakutan yang berlebihan dari Walikota dan Polresta, yang justru

mencitrakan Kota Solo seolah-olah tidak aman, tidak terkendali dan

tidak kondusif,” jelas Edi Penilaian moral yang disampaikan oleh Harian Solopos dalam

pemberitaan tersebut adalah bahwa pencegahan akan lebih baik daripada

penanganan. Pesan moral ini disampaikan secara implisit dalam pemberitaan

sebagai berikut:

Mendengar aspirasi tersebut, Kapolresta Solo, Kombes Pol. Asjima’in,

menegaskan pemindahan lokasi sidang kasus bentrok Gandekan

merupakan hasil musyawarah dan keputusan dari jajaran Muspida.

“Bukan polisi takut akan pengamanan saat pelaksanaan sidang, namun

kami mempertimbangkan banyak hal. Bisa jadi, dari kubu ini menjamin

aman, sementara kubu lain terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab dan menimbulkan permasalahan baru,” kata

Kapolresta.

Dari berbagai pemberitaan yang diturunkan, Solopos merekomendasikan

agar pemerintah membuka dialog dengan masyarakat. Menghentikan

pendekatan keamanan dan menegakkan hukum bagi siapapun yang terlibat.

Pendekatan keamanan di Solo harus dihentikan karena tidak efektif dan

membuat konflik kian berlarut-larut. Solopos cenderung mendekati

masyarakat. Masyarakat yang bukan saja bergerak dan berkembang, tetapi

masyarakat yang pergerakan dan perkembangannya memang disengaja dan

diarahkan.

Di dalam masyarakat demikian, apalagi bila masyarakat itu bersifat

majemuk seperti masyarakat Indonesia diperlukan adanya suatu pemerintahan

kuat, efektif, bersih, terbuka. Kriterium pertama bukan ada tidaknya

keseimbangan dalam alokasi kekuasaan. Kriterium itu menjadi ada tidaknya

korespondensi antara pemerintah dan masyarakat, ada tidaknya dialog terus

menerus antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan korespondensi

yang dimaksudkan Solopos adalah ada tidaknya saling pengertian dan saling

percaya antara pemerintah dan masyarakat. Bahwa masyarakat memahami,

mengerti, dan percaya pemerintah yang melaksanakan program dan

menempuh kebijaksanaan yang melayani kepentingan mereka. Bahwa

13

pemerintah memahami dan menyalurkan pendapat dan perasaan masyarakat

(Oetama, 1987: 82).

b. Kecenderungan Solopos terhadap Pemberitaan Peristiwa Bentrok di

Gandekan

Kecenderungan Harian Solopos terhadap pemberitaan peristiwa bentrok

di Gandekan dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Netral

Netralitas media dalam pemberitaan di harian Solopos

dimanifestasikan dalam bentuk pemberitaan yang berimbang. Pers

merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang

melaksanakan dan melahirkan media massa tersebut. Media massa dapat

berbentuk pengaturan mengenai lembaga pers tersebut diatur dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Undang-Undang

Pers). Dalam Undang-Undang Pers, ditekankan adanya kemerdekaan pers

sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat

penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara yang demokratis. Kemerdekaan pers tersebut dikoridori melalui

prinsip dan asas serta tanggung jawab memenuhi peraturan perundang-

undangan serta kode etik yang berlaku.

Kenetralan Solopos diwujudkan dalam pemberitaan yang berupaya

meminimalisir unsur SARA yang dapat mengakibatkan konflik kian meluas.

Hal ini dijelaskan oleh Kurniawan, Wartawan Solopos, ketika ditanya tentang

tidak disebutkannya pihak-pihak yang bertikai dalam kasus bentrok massa di

Gandekan.

“Kalau soal penyebutan kelompok yang bertikai, khususnya yang

kontra warga gandekan itu disebut dengan ormas. Kalau saya

menyebut bahwa itu ormas Islam. Kami tidak meyebut ormas islam

karena hal ini merupakan bagian dari sebuah kode etik.

Setiap reporter itu tahu bahwa sebuah berita kendati itu fakta tapi

kalo itu sudah menyentuh ranah suku, agama itu kita akan coba

mengeliminasi resiko konflik tersebut meluas.”

(Wawancara dengan Kurniawan, Wartawan Solopos, pada hari

Sabtu, 28 September 2013)

14

Solopos sangat berhati-hati dalam merepresentasikan kelompok

massa pada setiap pemberitaannya, hal ini ditunjukkan dengan tidak

adanya penyebutan nama kelompok dalam setiap pemberitaan. Penyebutan

hanya dilakukan ketika pemberitaan tidak menyebutkan aksi kekerasan.

Apabila diamati secara garis besar, pemberitaan Solopos mengenai aksi

kekerasan di Gandekan, maka dapat dikatakan bahwa Solopos cenderung

memposisikan diri pada pihak netral. Solopos tetap konsisten untuk

menjadi dinamisator masyarakat dengan beberapa pemberitaan yang

diturunkan Solopos terlihat berbagai upaya yang dilakukan untuk

„membujuk‟ masyarakat agar selalu memelihara kondisi yang kondusif.

Pada berita edisi Sabtu 5 Mei 2012 dengan judul “Polisi Harus

Tegas” dan “Polisi Tetapkan 2 Tersangka Imbauan Jokowi Diabaikan”.

Solopos tidak menuliskan bentuk ketegasan yang harus dilakukan aparat

atau pun penetapan ke dua tersangka tersebut. Solopos justru lebih banyak

menuliskan tentang bentuk upaya mendamaikan kedua kelompok yang

bentrok pada judul pertama, dan diabaikannya imbauan Jokowi pada judul

pemberitaan kedua. Hal ini dapat dilihat pada pemberitaan sebagai berikut:

“Aparat keamanan dinilai kurang tegas menangani bentrokan

warga dengan kelompok massa yang terjadi di Kelurahan

Gandekan Kecamatan Jebres, Solo selama dua hari berturut-turut,

Kamis – Jum’at (3 – 4/ 5)”

Sementara itu, Jum’at siang, bentrok kembali pecah antara warga

dan kelompok massa di ruas Jl. RE Martadinata tepatnya di salah

satu gang di RW. 009 Kampung Bangunharjo, Gandekan, Jebres.

Bentrokan itu mengakibatkan dua korban terluka, yaitu Ngatiman

Anto Suwignyo, 63, warga RT 001/RW 008 Gandekan dan Haris

Kusdibyo, 43, warga Kampung Bangunharjo. Sebelum bentrokan

terjadi, sekitar pukul 14.00 WIB, ratusan orang yang berkumpul di

Semanggi bergerak menuju Jl. Sampangan. Massa mengenakan

tanda kain putih dan sebagian besar dari mereka menggunakan

helm.

Sosiolog UNS, Drajat Tri Kartono, menjelaskan konflik horizontal

yang terjadi di Gandekan mestinya dapat diantisipasi dengan

cepat. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan guna

menghindari bentrok susulan, yakni segera membuat jarak antara

kedua kelompok (zona bebas). Selanjutnya, kedua kelompok harus

difasilitasi bersama demi rekonsiliasi. “Di sini, peran aparat

15

keamanan atau tokoh masyarakat sangat penting. Mereka harus

difasilitasi dengan duduk bersama demi rekonsiliasi tadi,”

katanya.

Sementara itu, Front Pembela Islam (FPI) Kota Solo meminta

polisi mengusut pelaku yang terlibat dalam bentrokan di

Gandekan.

(Pemberitaan Harian Solopos dengan judul “Polisi Harus Tegas”)

Ketidaktegasan pihak berwajib menurut wartawan Solopos menjadi

salah satu faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya bentrokan

antarwarga. Secara implisit, Solopos mengharapkan agar aparat lebih tegas

dalam menegakkan hukum. Hal ini diartikan bahwa siapa pun yang

melanggar hukum harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa

pandang bulu karena semua warga negara adalah sama di depan hukum.

“Ketegasan yang di maksud di berita itu adalah polisi harus tegas

menjalankan proses hukum, artinya gini Negara ini Negara hukum

artinya polisi harus menindak pelanggar-pelanggar hukum itu

sesuai kaidah hukum yang ada. Misalkan ada warga yang

melanggar hukum atau ada orang-orang dari kelompok massa itu

melanggar hukum, polisi itu harus tegas.”

(Wawancara dengan Danang Nur Ikhsan, Redaktur Harian

Solopos, pada hari Jum‟at, 4 Oktober 2013)

Netralitas Solopos tercermin dari kehati-hatian dalam

pemberitaannya yang cenderung datar dan tidak adanya wacana yang

berusaha memblow up terjadinya upaya-upaya salah satu pihak dalam

menonjolkan show of force untuk menuntut penyelesaian kasus tersebut.

Seperti halnya media dalam paradigma konstruksionis, media tidak

bertindak sebagai suatu institusi yang netral dalam menyampaikan pesan.

Media bukanlah saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi

realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya (Eriyanto,

2011: 26).

Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan wartawan

Solopos sebagai berikut:

Kami selaku wartawan solopos selalu sersikap netral dalam

memberitakan, makanya di awal kami tegaskan bahwa kami tidak

mau memojokkan salah satu pihak baik siapa pelakunya dan siapa

korbannya. Karena di satu sisi kami menegaskan bahwa solopos

16

selaku media yang berdiri secara netral, tidak memihak kelompok

tertentu ataupun komunitas tertentu, kami mencoba untuk bersikap

cerdas. Di awal kami tidak meyebut itu bukan karena kami takut

ataupun kami tidak berani mem-blow-up menulis apa adanya. Tapi

kami juga punya kode etik tersendiri nyang harus di miliki oleh

seorang wartawan.”

(Wawancara dengan Mohammad Hamdi, Wartawan Solopos pada

hari Kamis, 26 September 2013)

2. Menghindari Isu-isu Primordial

Solopos dalam pemberitaannya mempunyai kecenderungan untuk

menghindari isu-isu yang berkaitan dengan primordialisme. Isu-isu

primordialisme merupakan permasalahan yang berkaitan dengan ikatan

seseorang terhadap kelompok yang pertama dengan segala nilai yang

diperolehnya melalui sosialisasi. Isu ini dapat membuat individu atau

kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung

bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain.

Hal ini dikemukakan oleh Kurniawan, Wartawan Solopos yang

menjelaskan bahwa wartawan harus selalu berpegang pada kode etik

jurnalistik dan menghindarkan pemberitaan yang mengandung isu SARA.

Hal ini dijelaskan dalam wawancara berikut ini:

“Setiap reporter itu tahu bahwa sebuah berita kendati itu fakta tapi

kalo itu sudah menyentuh ranah suku, agama itu kita akan coba

mengeliminasi resiko konflik tersebut meluas. termasuk dengan

tidak menyebutkan dari ormas mana kelompok ini, dalam hal ini di

gandekan kan ormas Islam”

(Wawancara dengan Kurniawan, Wartawan Solopos pada hari Sabtu,

28 September 2013)

3. Menganut Asas Cover both sides

Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau

sebaliknya, mengaburkan dan mengelimirnya. Hal itu terjadi pada peristiwa

bentrok antara kelompok massa dengan warga yang terjadi di Kampung

Gandekan dan meluas dengan berdatangannya anggota kelompok massa in

dari berbagai wilayah ke Solo. Dalam pemberitaannya Solopos cenderung

melakukan berupaya bermain secara „aman‟ dengan tidak melakukan

17

analisis dan ulasan yang tajam yang kemungkinan dapat menimbulkan

protes dari kelompok yang berseteru.

Kelompok massa yang sebenarnya adalah sayap dari FPI tidak

pernah diberitakan secara gamblang oleh Solopos. Di sisi lain, kelompok

preman yang disebut diketuai oleh Iwan Walet juga hanya disebut sebagai

warga Kampung Gandekan. Ini merupakan salah satu bentuk pengaburan.

Dalam pemberitaannya, Solopos selalu berusaha mematuhi kode etik

jurnalistik. Ini terlihat bagaimana Solopos selalu memposisikan diri sebagai

media yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok yang

terkait konflik dalam peristiwa kekerasan di Gandekan tersebut.

Konsep ini dikuatkan dengan pendapat wartawan Solopos yang

menyatakan bahwa tidak menyebutkan nama merupakan salah satu standar

moral yang diterapkan Solopos. Hal ini diketahui dari hasil wawancara

sebagai berikut:

“Itu sadah menjadi sebuah standart moral kita, enggak tau kalo

media lain ya, mungkin. Kami bukannya takut tetapi kami memang

punya etika moral kita.”

(Wawancara dengan Kurniawan, Wartawan Solopos pada hari Sabtu,

28 September 2013)

Dalam pemberitaan dan pemaparan masalahnya Solopos

menerapkan konsep cover both sides. Bagi Solopos, cover both sides sesuai

dengan arus masyarakat karena mereka ingin memperoleh informasi dan

interpretasi tentang peristiwa serta arah kejadian yang lengkap tidak apriori

memihak, dan karena itu memberikan hormat pada penilaian masyarakat

sendiri (Oetama, 1987: 27).

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Wright, sebagai

lembaga sosial, pers dikenal ampuh menjadi jembatan komunikasi antara

masyarakat, pemerintah, aktivis sosial, pihak media sendiri, pengusaha,

serta pihak-pihak kepentingan lainnya (interst group) (Saripudin &

Quisyaini Hasan. 2003: 11). Pada posisi ini pers berperan sebagai sarana

penjalin hubungan publik (agent of public relations) dengan melakukan

18

interaksi sosial dan mengartikulasikan berbagai kepentingan masing-masing

kelompok.

4. Menganut Asas Jurnalisme Humanis

Harian Solopos dalam melakukan framing berita cenderung

mengindikasi sikap dari perusahaan pers bersangkutan. Hal ini dapat dilihat

dari proses pemilihan judul, lead, visual image, serta penempatan sebagai

headline maupun paging. Dalam dunia jurnalistik, berita dan framing adalah

dua hal yang tidak dapat dipisahkan bahkan satu sama lain tidak bisa berdiri

sendiri. Solopos yang menganut patron journalism humanisme yang

digunakan untuk membangun sebuah konfigurasi wacana yang

mempresentasikan sisi-sisi kemanusiaan. Memang ada kriteria jurnalistik

untuk memilih suatu kejadian atau suatu masalah menjadi berita. Namun

pemilihan dan presentasinya sebagai berita, tidak akan terlepas dari visi

dasar serta kerangka referensinya. Dalam makna itulah media massa

senantiasa aktif, kejadian dan permasalah dipilih dan disusun menjadi berita.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa framing pemberitaan civil violence di surat kabar harian

Solopos dalam pemberitaan kekerasan di Gandekan, Solo dapat dipaparkan

sebagai berikut:

1. Konstruksi peristiwa kekerasan yang terjadi di Kampung Gandekan

diberitakan secara sepotong-sepotong dengan tidak memberikan ulasan yang

mendalam tentang peristiwa persebut. Konstruksi framing pemberitaan

Solopos tentang bentrok di Gandekan dideskripsikan ke dalam empat aspek

framing sesuai dengan pendapat Entman, yang terdiri dari define problem,

diagnose cause, Make Moral Judgement, dan Treatment Recommendation.

Define Problem, Pemberitaan yang disampaikan lebih mengemukakan fakta

yang disampaikan pihak berwajib. Solopos membingkai pemberitaan

kekerasan di Gandekan sebagai konflik horisontal antara kelompok massa

19

yang tidak ada kaitannya dengan isu SARA. Diagnose Causes, Kekerasan

sipil yang terjadi disebabkan karena kekurangtegasan pihak berwajib dalam

menangani permasalahan keamanan. Make Moral Judgement, Solopos

mengemukakan penilaian moral bahwa bentrok massa atau kekerasan sipil

lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Treatment Recommendation,

Solopos merekomendasikan agar pemerintah membuka dialog dengan

masyarakat. Menghentikan pendekatan keamanan dan menegakkan hukum

bagi siapapun yang terlibat.

2. Solopos dalam pemberitaannya cenderung bersikap netral dan sangat hati-hati.

Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya pemberitaan yang tidak menyebutkan

nama kelompok massa yang terlibat dalam bentrokan tersebut. Hal lain yang

terlihat adalah bahwa dalam pemberitaannya, Solopos tidak memberikan

ulasan dan opini yang tajam atas peristiwa tersebut. Hal ini dilandasi adanya

kebijakan Solopos yang lebih mengedepankan patut tidaknya menyiarkan

tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar dengan tolok ukur: Hal yang

dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara ialah memaparkan

atau menyiarkan rahasia negara atau rahasia militer, dan berita yang bersifat

spekulatif. Gambaran ini sejalan dengan prinsip kode etik jurnalistik

sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik.

Saran

Sesuai dengan simpulan di atas, selanjutnya dapat dikemukakan beberapa

saran sebagai berikut:

1. Limitasi atau keterbatasan penelitian ini adalah penelitian ini hanya terbatas

pada analisis teks media saja, tanpa meneliti faktor lain terkait di dalam media

yang mempengaruhi agenda pemberitaan media. Peneliti mengharapkan pada

penelitian selanjutnya lebih menitikberatkan pada seluruh komponen framing,

bukan hanya pada teks saja.

2. Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita.

Khalayak diharapkan lebih kritis dalam melihat, memahami dan menyikapi

sebuah berita yang dhadirkan media massa. Jadi hendaknya sebuah teks berita

20

tidak ditelan mentah-mentah dan mengakibatkan reaksi spontan yang hanya

berdasarkan pemahaman dangkal. Oleh karena itu, khalayak pembaca

sebaiknya lebih selektif dalam memilih media sesuai dengan fakta atau

kejadian yang sebenarnya.

3. Solopos diharapkan dapat meningatkan kualitas pemberitaan yang

menitikberatkan pada asas jurnalistik, objektif, dan pembentukan opini

terhadap masyarakat yang sesuai dengan realitas. Alasannya karena Solopos

merupakan harian umum lokal yang paling berpengaruh dan memiliki

pembaca yang dominan serta sering dijadikan referensi oleh masyarakat untuk

mengetahui perkembangan informasi di wilayah Solo dan sekitarnya.

Daftar Pustaka

Bungin, Burhan. (2008). “Konstruksi Sosial Media Massa”. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Creswell, John W. (2005). Research Design: Qualitative and Quantitative

Approaches. London: Sage Publications.

Eriyanto. (2011). “Analisis Framing”: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media.

Yogyakarta: Lkis.

Epstein, Joshua M. (2002). “Modeling civil violence: An agent-based

computational approach” Journal of Social and Economic Dynamics Vol.

99 No.3, 2002, pp: 7243 – 7250.

Hamad, Ibnu. (2004). Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa Sebuah

Studi Critical Discopurse Analisis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta:

Granit.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif.

Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy. J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Penerbit

PT. Remaja Rosdakarya.

Saripudin & Quisyaini Hasan. (2003). “Tomy Winata Dalam Citra Media:

Analisis Berita Pers Indonesia”. Jakarta: JARI.

Shaw, Martin. (1993). Post-Military Society: Militarism, Demilitarization and

War at the End of the Twentieth Century. London: Temple University

Press.

Sobur, Alex. (2009). “Analisis Teks Media : Suatu Pengantar analisis wacana,

analisis semiotika, dan analisis framing”. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.