Amebiasis

7
Tinjauan Pustaka Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, colitis ameba) adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus. Entamoeba histolytica. Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia, terutama di Negara sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, hygiene individu, dan sanitasi lingkungan hidup serta kondisi ekonomi dan kultural yang menunjang. Sekitar 90% infeksi asimtomatik, sementara 10% lainnya menimbulkan berbagai sindrom kllinis, mulai dari disentri smapai abses hati atau organ lain. Epidemiologi Penyakit ini ditularkan baik secara fekal-oral baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba yang berasal dari carrier (cyst passer). Laju infeksi yang tinggi didapatkan di tempat-tempat penampungan anak cacat atau pengungsi dan di negara-negara berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang buruk. Di negara beriklim tropis lebih banyak didapatkan strain patogen dibandingkan di negara maju yang beriklim sedang. Oleh karena itu di negara yang sudah maju banyak dijumpai penderita asimtomatik, sementara di negara yang sedang berkembang beriklim tropis banyak dijumpai pasien yang simtomatik. Di Indonesia, laporan mengenai insidens amebiasis sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi berdasarkan kaporan mengenai abses hati ameba pada beberapa rumah sakit besar dapat diperkirakan cukup tinggi. Penularannya dapat terjadi lewat beberapa cara, misalnya: pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia, juru masak, vector lalat dan kecoak, serta kontal langsung seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi. Epidemi sering terjadi lewat air minum yang tercemar. Sekitar 10% populasi hidup populasi hidup terinfeksi entamoeba, kebanyakan oleh Entamoeba dispar yang non- infeksius. 1

description

Tinjauan pustaka, amebiasis, diare

Transcript of Amebiasis

Page 1: Amebiasis

Tinjauan Pustaka

Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, colitis ameba) adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus. Entamoeba histolytica. Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia, terutama di Negara sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, hygiene individu, dan sanitasi lingkungan hidup serta kondisi ekonomi dan kultural yang menunjang.

Sekitar 90% infeksi asimtomatik, sementara 10% lainnya menimbulkan berbagai sindrom kllinis, mulai dari disentri smapai abses hati atau organ lain.

Epidemiologi

Penyakit ini ditularkan baik secara fekal-oral baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba yang berasal dari carrier (cyst passer). Laju infeksi yang tinggi didapatkan di tempat-tempat penampungan anak cacat atau pengungsi dan di negara-negara berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang buruk. Di negara beriklim tropis lebih banyak didapatkan strain patogen dibandingkan di negara maju yang beriklim sedang. Oleh karena itu di negara yang sudah maju banyak dijumpai penderita asimtomatik, sementara di negara yang sedang berkembang beriklim tropis banyak dijumpai pasien yang simtomatik.

Di Indonesia, laporan mengenai insidens amebiasis sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi berdasarkan kaporan mengenai abses hati ameba pada beberapa rumah sakit besar dapat diperkirakan cukup tinggi. Penularannya dapat terjadi lewat beberapa cara, misalnya: pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia, juru masak, vector lalat dan kecoak, serta kontal langsung seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi. Epidemi sering terjadi lewat air minum yang tercemar.

Sekitar 10% populasi hidup populasi hidup terinfeksi entamoeba, kebanyakan oleh Entamoeba dispar yang non-infeksius.

Etiologi

E. histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengizinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup ameba ada dua macam bentuk, yaitu trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada dua macam, trofozoit komensal yang berukuran kurang dari 10 mm dan trofozoit patogen yang berukuran lebih dari 10 mm.

Trofozoit komensal dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop tampak trofozoit aktif dengan

1

Page 2: Amebiasis

pseudopodianya dan dibatasi oleh ektoplasma yang terang seperti kaca. Di dalamnya ada endoplasma yang berbutir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya. Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intra-intestinal) atau di luar usus (ekstra-intestinal) mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (bisa hingga 50mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab akan timbulnya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.

Bentuk kista ada dua macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda berinti satu mengandung satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatoid yang berbentuk batang berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijumpai di lumen usus, tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalam dinding usus atau di jaringan tubuh di luar usus.

Bentuk kista bertanggung jawab atas penularan penyakit, dapat hidup lama di luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor standard di system air minum. Diduga faktor kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. E. histolytica oleh beberapa penulis dibagi menjadi dua ras, yaitu ras besar dan ras kecil. Strain kecil ternyata tidak patogen bagi manusia, dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri yaitu E. hartmann.

Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung trofozoit dapat diketahui dengan pasti peranannya. Pola enzim dapat menunjukkan patogenitas ameba (zymodeme). Ameba yang didapat dari pasien dengan berbagai gejala penyakit yang invasive menunjukkan pola zymodeme.

Berdasarkan penelitian pada binatang dan manusia dapat dibuktikan bahwa E. histolytica dapat merangsang terbentuknya imunitas dan seluler. In vivo, imunitas humoral mampu membinasakan ameba, tetapi in vitro tidak. Antibody di dalam serum (terutama kelas IgG) terutama berperan dalam uji serologic.

Patogenesis dan Patofisiologi

Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar dapat berubah menjadi patogen, menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini masih belum diketahui pasti. Diduga baik kerentanan tubuh pasien, virulensi ameba, maupun lingkungannya berperan. Faktor-faktor yang dapat menurunkan ketahanan tubuh misalnya kehamilan, kurang gizi, penyakit keganasan, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid. Sifat keganasan ameba ditentukan oleh strainnya. Strain ameba di daerah tropis ternyata lebih ganas daripada strain di daerah sedang. Akan tetapi sifat keganasannya tidak stabil, dapat berubah bila keadaan lingkungan mengizinkan.

Beberapa faktor lingkungan yang diduga berpengaruh misalnya, suasana anaerob dan asam (pH 0,6-6,5), adanya bakteri, virus, dan diet tinggi kolesterol,

2

Page 3: Amebiasis

tinggi karbohidrat, dan rendah protein. Ameba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus ameba sangat khas, yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus yang menonjol dan hanya terjadi peradangan minimal. Mukosa antar ulkus tampak normal. Gambaran ini sangat berbeda dengan disentri basiler, dimana mukosa usus antar ulkus meradang. Pada pemeriksaan mikroskopik eksudat ulkus tampak sel leukosit dalam jumlah banyak, tetapi lebih sedikit dari disentri basiler. Tampak pula Kristal Charcot Leyden dan kadang-kadang ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan muscular dapat terjadi perforasi dan peritonitis. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urutan tempatnya adalah sekum, kolon asendens, rectum, sigmoid, apendiks, dan ileum terminalis. Infeksi kronik dapat menimbulkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi yang disebut ameboma, yang sering terjadi di daerah sekum dan sigmoid. Dari ulkus di dalam dinding usus besar, ameba mengadakan metastasis ke hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru, otak, atau limpa – dan menimbulkan abses di sana (jarang terjadi).

Klasifikasi:

Berdasarkan berat-ringannya gejala yang ditimbulkan maka amebiasis dapat dibagi menjadi carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan), amebiasis intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba berat, dan disentri ameba kronik.

Manifestasi Klinis:

Carrier (cyst passer)

Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan oleh ameba yang berada di dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus.

Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan)

Timbulnya penyakit (onset) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare 4-5kali sehari, dengan tinja yang berbau busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri tekan di sigmoid. Jarang nyeri di epigastrium yang mirip ulkus peptic. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien lebih baik, tanpa atau disertai demam ringan (subfebril). Kadang-kadang terdapat hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.

3

Page 4: Amebiasis

Amebiasis Intestinal Sedang (Disentri Ameba Sedang)

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat disbanding disentri ringan. Tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja disertai darah dan lendir. Pasien mengeluh kram perut, demam dan lemah badan, serta hepatomegali yang nyeri ringan.

Disentri Ameba Berat

Keluhan dan gejala klinis lebih hebat. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (40-40,5oc), disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan sigmoidoskopi karena dapat menyebabkan perforasi usus.

Disentri Ameba Kronik

Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan periode normal atau asimtomatik. Keadaan dapat berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala-gejala neurasthenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam, atau makanan yang sulit dicerna.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang amat penting. Pada disentri ameba biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal tiga kali seminggu, dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila direncanakan menggunakan foto kolon dengan barium enema pemeriksaan tinja harus dilakukan sebelumnya atau tiga hari setelahnya. Pada pemeriksaan tinja yg berbentuk, perlu dicari kista, karena bentuk trofozoit tidak akan ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat, berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang, berujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak. Untuk melihat intinya dibuat sediaan dengan larutan lugol. Sebaliknya badan-badan kromatoid tidak tampak pada sediaan lugol ini. Bila jumlah kista sedikit dapat dilakukan pemeriksaan dengan metode konsentrasi yaitu larutan dengan seng sulfat dan eterformalin, kista akan terapung di permukaan, sedang larutan eterformalin, kista akan mengendap.

Di dalam tinja pasien akan ditemukan bentuk trofozoit. Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar. Apabila pemeriksaan ditunda untuk beberapa jam, maka tinja dapat disimpan di lemari pendingin (4oc) atau dicapur dengan larutan polivinil alcohol. Sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong, dengan menggunakan pseudopodianya yang

4

Page 5: Amebiasis

seperti kaca. Jika tinja berdarah akan tampak ameba dengan eritrosit di dalamnya.

Bentuk inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin. Untuk membedakan dengan leukosit (makrofag), perlu dibuat sediaan dengan cat supravital misalnya, buffered methylene blue. Dengan menggunakan micrometer, dapat disingkirkan kemungkinan E.hartmanni.

Pemeriksaan prostokopi, sigmoidoskopi, dan kolonoskopi berguna untuk pemeriksaan tinja yang tidak ditemukan ameba. Pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Tampak ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antar ulkus tampak normal. Pemeriksaan mikroskopis bahan eksudat atau bahan biopsy jaringan usus akan ditemukan trofozoit.

Foto rontgen kolon tidak banyak membantu karena ulkus sering tidak tampak. Kadang pada amebiasis kronis foto rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma.

Pemeriksaan uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebic danepidemiologis. Uji serologi positif apabila ameba menembusjaringan (invasive). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri ameba, dan negatif pada earner. Hasil uji serologi positif belum tentu menderita amebiasis. Indirect fluorescent antibody (IFA) dan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) merupakan uji paling sensitive. Sedang uji serologi yang cepat hasilnya adalah latex agglutination test dan cellulose acetate diffusion. Oleh karena antibody yang terbentuk lama sekali menghilang, maka nilai diagnostiknya di daerah endemis rendah.

5