ALIRAN JABARIYAH

download ALIRAN JABARIYAH

of 35

Transcript of ALIRAN JABARIYAH

ALIRAN JABARIYAHDiposkan oleh Bara di 20:15 | ALIRAN JABARIYAH A. PENGERTIAN JABARIYAH Sebelum kita memahami dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran Jabariyah ini, perlu saya paparkan pengertian dari kata Jabariyah itu sendiri, baik secara etimologi maupun sacara terminologi. Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. (Abdul Razak, 2009 : 63). Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Allah. (Harun Nasution, 1986 : 31) Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. B. SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN JABARIYAH Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor. Antara lain : 1. Faktor Politik Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya. 2. Faktor Geografi Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap Fatalisme. C. TOKOH-TOKOH SERTA DOKTRIN AJARAN 1. Ja'd Bin DirhamIa adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.Pendapat-pendapatnya : a. Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat An-Nisa ayat 164.b. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat An-Nisa. 2. Jahm bin ShafwanIa bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan dengan Bani Ummayah. Pendapat-pendapatnya:a. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.c. Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.d. Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia. D. CIRI-CIRI AJARAN JABARIYAH Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah : 1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah E. PENOLAKAN TERHADAP PAHAM JABARIYAHKelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal. DAFTAR PUSTAKA DR. Abdul Razak, M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung : 2009 Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta : 19863 komentar | Minggu, 15 November 2009Berand Etimologi Kata "Jabariyah" berasal dari kata bahasa arab "Jabara" yang artinya memaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah SWT. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti. Sejarah Jabariyah Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyade (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya. Awal Kemunculan Jabariyah Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia. Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah. Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya. Pemimpin Penganut Jabariyah 1.Ja'd Bin Dirham Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri. Pendapat-pendapatnya : a.Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat An-Nisa ayat 164.b.Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat An-Nisa. 2.Jahm bin Shafwan Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwa dengan Bani Ummayad. Pendapat-pendapatnya: a.Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.b.Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.c.Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia. Penolakan Terhadap Paham Jabariyah Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi. Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir. Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah. Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal. Dalil-Dalil Al Qur'an 1.Allah SWT berfirman, "tulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya." (QS. An Naba : 29)2.Firman Allah SWT : "Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana saja kamu kehendaki. (QS. Al Baqarah : 223) Fokus pengambilan dalil dari kedua ayat di atas, bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan yang dapat mengantarkannya menuju keridhaanNya. Allah juga memberikan mereka kebebasan untuk mendatangi istri-istri mereka pada tempat yang ditetapkan sekehendak mereka. Dalil-Dalil Dari As Sunnah Rasulullah SAW bersabda : "Setiap orang diantara kalian telah ditetapkan tempat duduknya di surga atau di neraka." Lalu mereka bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kita tidak bersandar kepada Kitab kita dan meninggalkan usaha?" Beliau menjawab, "Berusahalah karena semua itu akan memudahkan untuk menuju apa yang telah ditakdirkan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim) Dalil-Dalil Dari Akal Setiap orang tahu bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan keduanya sesuai dengan keinginannya dan meninggalkan apa yang diinginkannya. Dia bisa membedakan sesuatu yang terjadi karena keinginannya sendiri karena merasa bertanggungjawab terhadapnya dan sesuatu yang tanpa disengaja sehingga dia merasa lepas tanggung jawab terhadapnya. Seperti orang yang mimpi basah di siang bulan ramadhan, maka puasanya tidak batal karena hal itu terjadi karena bukan pilihan orang itu. Tetapi jika orang itu dengan sengaja melakukan onani sehingga keluar air mani, maka batallah puasanya karena hal itu terjadi akibat kehendak dan pilihannya. "(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir : 28-29) Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia mempunyai kehendak yang masuk dalam kehendak Allah SWT. Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang yang berkata bahwa Allah memaksa manusia atas semua perbuatan mereka. Beliau menjawab, "Kita tidak berpendapat demikian dan kami mengingkarinya." Beliau berkata, "Allah menyesatkan siapa yang berkehendak dan memberikan petunjuk kepada siapa yang berkehendak.." Lalu datanglah kepadanya seorang lelaki seraya berkata, "Seorang laki-laki berkata, "Allah memaksa manusia untuk taat." Beliau menjawab, "Alangkah buruknya apa yang dikatakannya." Ciri - Ciri Ajaran Jabariyah Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah : 1.Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.2.Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.3.Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)4.Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.5.Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.6.Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.7.Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.8.Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah. Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot yang disetir oleh remote kontrol. Perbuatan, Kehendak Manusia Dengan Qudrat Iradat Allah Menurut Jabariyah Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah. Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan kata lain manusia tidak mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar Allah, Kalau semua perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran: Artinya: " Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar". (QS: 4: An-Nisa': 13) Allah juga akan memberikan siksa kepada hambaNya yang selalu berbuat dosa artinya tidak mau ta'at kepada Allah dan rasul-Nya. Yakni tidak mau meninggalkan semua larangan-Nya dan tidak mau menjalankan semua perintah-Nya. Sebagaimana firman Allah: Arinya: "Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS: 4: An-Nisaa':14) Dilihat dari sisi lain pendapat 'Ulama Jabariyah kurang kuat karena: Untuk apa pula Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui para Rasul-Nya agar manusia dapat mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana firman Allah: Artinya: "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan" (QS:18: Al-Kahfi: 56) Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama Jabariyah menjadi lemah. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan tidak memandang keadilan dan kebijaksanaan-Nya; sehingga semua perbuatan yang dilakukan disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada pelanggar (durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama). Hal ini menurut Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang seperti pendapat aliran Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh untuk menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan perintah dan larangan. Jabariah sebagai penolakan terhadap pandangan kaum qadariyah, munculnya kaum Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu baik dan buruk, semuannya berasal dari Allah. Jika perbuatan tersebut disebut sebagai perbuatan manusia, maka hal ini hanya kiasan saja. Seperti saat kita menyatakan bahwa sungai itu mengalir, padahal pada hakikatnya Tuhanlah yang mengalirkannya. Manusia menurut pandangan kaum Jabariyah tak ubahnya seperti bulu ayam yang bertebangan ditiup angin (karena itulah maka kaum Jabariyah dan kaum qadariyah dikatakan dua golongan yang satu sama lainnya saling bertolak belakang. Berdasarkan keyakinan seperti ini maka kaum Jabariyah memiliki pandangan yang meniadakan sifat dan nama Allah, sementara Al-kalam (firman Allah) yang merupakan sifat Allah menurut pendapat mereka adalah hadis (sesuatu yang baru). Wassalamu'alaykum Wr.Wb > Oleh: Jenny HP Disarikan Dari: 1.A. Said Aqil Humam Abdurrahman, Penjelasan menyeluruh tentang Qadha dan Qadar, Al-Azhar Press, Bogor:20042.Abu Lubaba, Husein, Pemikiran Hadist Mu'tazilah, Pustaka Firdaus, Jakarta3.DR. Fuad Mohd. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, CV. Yasaguna, Jakarta: 19904.Dr. Said bin Musfin Al-Qahthani, Buku Putih Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, Penerbit Buku Islam Kaffah, Jakarta: 20035.Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc., Mengenal Aliran-aliran Islam dan ciri-ciri ajarannya, Pustaka Al-Riyadl, Jakarta: 20036.Sutrisna Sumadi, Sag. dan Rafi'udin, Sag., Kebebasan Manusia atas Takdir Allah berdasar Konsep Penciptaan Nabi Adam a.s, Pustaka Quantum, Jakarta: 2003 Milis Eramuslim Dikirim oleh: Jdp Senin, 13 Maret 2006 Kaum Jabariyah dan Kadariyah by Man Jadda Wa Jada on 03:07 PM, 06-Aug-11Category: File Islam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemikiran Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imn mulai dipertanyakan dan dianalisa. Al-Syahrastn menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ilmu al-kalm yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan. Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya. II. Jabariyah dan Qadariyah A. Pengertian Paham Jabariyah dan Paham Qadariyah Istilah Qadariyah mengandung dua arti, pertama, orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan aleh azal. Dengan demikian, qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib. Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri intuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya , dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah inggris paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. Dengan paham tersebut, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri, yang terlepas dari kehendak Allah. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah yang azali atas segala sesuatu sebelum terjadi. Sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan maupun penetapan. Menurut mereka manusia bebas dan bisa memilih apa saja yang akan dikerjakan atau ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa atas kemauannya , dia bisa berpindah kapan pun dia mau, dia bisa beriman atau kafir jika mau dan mengerjakan apa saja yang diinginkannya. Karena kalau tidak, maka dia bagaikan sebuah alat atau seperti halnya dengan benda-benda mati lainnya. Sehingga asas taklif atau pemberian tanggung jawab, pemberian pahala dan siksa tidak ada gunanya. Dengan perkataan lain, mereka berpendapat manusia itu bebas menentukan diri sendiri memilih beramal baik dan buruk, karena mereka harus memikul resiko, dosa kalau berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik dan taat. Sedangkan nama Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi filih, yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination. Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah. Namun demikian, Jabariyah terbagi atas dua kelompok utama, yaitu: 1. Jabariyah murni atau ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwn paham fatalisme ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majz atau kiasan. Seperti halnya perbuatan yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit mendung dan menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan sebagaimana halnya dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan. Kalau seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat demikian. 2. Jabariyah moderat, yang dibawa oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjr. Dia mengatakan bahwa Allah berkehendak artinya bahwa Dia tidak terpaksa atau dipaksa. Allah adalah pencipta dari semua perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah yang disebut dengan kasb. Paham ini juga dibawakan oleh Dhirr bin Amru. Ketika dia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan manusia juga pada hakikatnya memiliki bahagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan demikian, menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku. Paham moderat ini mengakui adanya intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia telah memiliki bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. B. Latar Belakang Paham Jabariyah dan Qadariyah Munculnya kedua paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawrij dan Murjiah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang bernama Washil bin Atha yang lahir di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mutazilah. Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan paham Jabariyah atau fatalisme. Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, bahwa golongan ini dimunculkan pertama kali dalam Islam oleh Mabad al-Juhany di Bashrah. Dikatakan bahwa yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk Islam di Irak. Kemudian darinyalah paham ini diambil oleh Mabad al-Juhany dan temannya Ghailn al-Dimasyqi. Mabad termasuk tabiin atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahmn Ibn al-Asyas, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Mabad al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H. Paham Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama dengan Mutazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Mabad al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah yang menyebarkan paham Qadariyah di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga merupakan guru Wshil bin Atha pendiri aliran Mutazilah. Paham free will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (irdah). Dia yang melekukan, dia pula yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Dari segi politik, Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap tindakan bani Umayyah yang negatif, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, walaupun ditekan terus oleh pemerintahan tetapi ia tetap berkembang. Paham ini tertampung dalam madzhab Mutazilah. Sepeninggal Mabad al-Juhany, Ghailn al-Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di sana dia mendapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azz (717-720 M). Setelah Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, hingga akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin Abdul malik (724-743 M/105-125 H). Ghailn mengembangkan ajaran Qadariyah sempai ke Iran. Adapun aliran sebaliknya, yaitu dikenal dengan paham Jabariyah sebagai antitesa dari paham Qadariyah. Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam buku Sarh al-Uyn dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang Yahudi di Sym, lalu mereka mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya kemudian mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut sebelumnya. Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Jad bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwn dari Khursn mempelajari paham ini dari al-Jad bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murjiah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwn. Sebagai sekretaris Syurayh ibn al-Hrits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H. Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik sesuatu tempat dan keadaan. Golongan Murjiah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan oleh Yzid bin Muwiyah waktu dia menerima kepala Sayidin Husain bin Abi Thlib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali Imrn(3) ayat 26. Dengan mengemukakan ayat ini, Yzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh Husain bin Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yzid bin Muwiyah dari dinasti Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yzid dan serdadunya. Agar umat yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu takdir Tuhan semata-mata. Inilah ajaran Murjiah yang sangat laku, di negeri yang dikuasai diktator despoot dan tirani. Hal ini ditentang oleh golongan Qadariyah, karena mereka menganggap bahwa tirani kekejaman dan penindasan oleh manusia atas manusia itu harus dilawan karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Dan penguasa yang tiran harus ditumbangkan, karena Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. C. Argumen-argumen Paham Jabariyah dan Qadariyah Baik Qadariyah maupun Jabariyah memiliki argumen-argumen yang dengan argumen tersebut, mereka mempertahankan paham dan aliran mereka masing-masing. Argumen-argumen tersebut ada yang berdasarkan nash-nash atau dalil-dalil naqli dan berbagai argumen yang bersifat rasional atau dalil-dalil aqli. Di antara ayat-ayat yang bisa membawa pada paham Qadariyah, misalnya: Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir. (Bukan demikian), yang benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan Menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Di antara ayat-ayat yang bisa membawa pada paham Jabariyah, misalnya: Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. ((ot-!' Bt uuk|e ot-!' Bt ~ #-!v (o-e|)) Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Selain berbagai argumen teks, mereka juga menggunakan argumen-argumen rasio. Di antara dalil-dalil aqli yang digunakan oleh paham Qadariyah, adalah: Golongan Qadariyah yang menampakkan dirinya pada Mutazilah ini menerima kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya. Karena mereka bebas, maka tanggung jawab mereka pikul sendiri. Pemikiran kebebasan manusia berpokok pada ajaran keadilan Tuhan yang dianut Mutazilah. Mutazilah dikenal sebagai kaum rasionalis Islam. Mereka melihat dua bentuk perbuatan manusia, yakni kebaikan dan keburukan. Tuhan sendiri menjanjikan pahala bagi kebaikan dan siksaan bagi kejahatan. Kalau kedua bentuk itu berasal dari kebebasan manusia memilih, maka janji pahala dan siksa itu layak dan merupakan keadilan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah yang menetapkan dan yang menciptakan perbuatan manusia akan membawa pada prinsip fatalisme atau keterpaksaan dan bukan free will atau bebas dan dapat memilih. Ini menjadikan pengutusan Rasul-rasul menjadi suatu yang sia-sia tiada guna, sehingga tidak diperkenankan adanya taklif, tidak adanya dasar pemberian pahala dan siksa, janji dan ancaman, serta pujian dan celaan. Mereka juga mengatakan bahwa tidak boleh Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, atau yang menginginkan setiap yang diperbuat manusia, karena kadang-kadang manusia berbuat zlim. Dan perbuatan zlim tidak diperkenankan berasal dari Allah SWT, dan Allah juga tidak mungkin menginginkan perbuatan zalim, karena Tuhan itu adil. Dan orang yang adil tidak mengerjakan kezaliman tidak pula menginginkan kezaliman. Di sini Qadariyah menganalogikan keadilan Tuhan dengan keadilan makhluk. Sebagaimana perbuatan zalim merupakan perbuatan buruk jika dilakukan oleh manusia, maka begitu pun ia adalah suatu keburukan pula jika berasal dari Allah SWT. Beginilah pendapat mereka. Wshil binAtha berkata tentang pokok ajaran keadilan Tuhan: Allah itu bijaksana dan Adil, keburukan dan kezaliman atau ketidak adilan tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Dan Tuhan tidak bisa berkehendak kepada makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Dia perintahkan kepada mereka. Dia tidak boleh menetapkan apa yang mereka kerjakan dan kemudian membalas mereka lantaran melakukan perintah itu. Oleh karena itu, manusia adalah pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran, kepatuhan dan pengingkaran, dan dialah yang akan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Oleh karenanya, Tuhan telah menganugerahkan kemampuan kepada manusia atas itu semua. Andaikata perbuatan-perbuatan manusia terjadi dengan qudrat dan irdat-Nya, dapatlah disandarkan kepada Allah perbuatan-perbuatan manusia seperti sembahnyang, puasa, dusta, mencuri dan lain-lain. Maha Suci Allah daripada yang demikian. Dan tentulah Allah benci dan ridha pada perbuatan-Nya sendiri bukan perbuatan manusia. Golongan Qadariyah juga mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang mereka dapati bertentangan dengan pendapat mereka, agar supaya ayat-ayat tersebut berjalan beriringan dengan apa pendapat mereka, minimal agar tidak menghantam madzhab mereka. Di antara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, baik atau buruk, dan terpuji atau tercela. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Anm (6): 102 (yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain dia; Pencipta segala sesuatu. Ayat ini yang pada lahirnya bertentangan dengan paham Qadariyah mengharuskan madzhab Mutazilah untuk menggeser nash ini dari makna lahirnya dan mentakwilkannya dengan sesuatu yang dapat diterima akal sehat atau sesuatu yang rasional yang sesuai dan mendukung madzhab yang dianutnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Jabbr seorang hakim yang beraliran Mutazilah, bahwa makna zhir ayat ini tidak boleh digunakan menurut kesepakatan, karena Allah SWT adalah termasuk dari sesuatu, dan Dia tidak menciptakan diri-Nya sendiri, maka tidak boleh bergantung pada makna lahir ayat ini. Ayat ini juga dikeluarkan dalam konteks pemberian pujian, dan tidak mungkin ada pujian jika dikatakan Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia yang mana dalam perbuatan manusia itu ada kekufuran, pengingkaran dan ketidak adilan, maka tidak pantas untuk menggunakan makna zahir ayat ini, sehinga ayat ini perlu ditakwilakan. Jadi yang dimaksud ayat ini adalah bahwa Allah Pencipta segala sesuatu maksudnya mayoritas sesuatu bukan segala sesuatu, seperti dalam firman Allah dalam kisah ratu Balqis dalam QS. al-Naml (27): 23 Dan dia dianugerahi segala sesuatu. Dalam ayat ini dinyatakan segala sesuatu, sedangkan pada kenyataannya dia tidak diberi banyak sesuatu. Sebagaimana Qadariyah, paham jabariyah juga menggunakan argumen-argumen rasional untuk mempertahankan pendapat yang dianutnya, di antara dalil-dalil aqli yang mereka gunakan ialah: Sekiranya manusia menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya berdasarkan kemauannya sendiri, tentulah perbuatan-perbuatan itu bukan dengan kehendak Allah dan kekuasaann-Nya. Karena mustahil berpautan dua kehendak dengan satu perbuatan dan menjadikan kekuasaan Allah terbatas. Dan Allah mempunyai sekutu dalam perbuatan-Nya. Hal ini tidak sesuai dengan kebesaran Allah SWT. Padahal kesempurnaan-Nya adalah mutlak. Jika dianggap manusia adalah pelaku yang mempunyai daya pilih apa yang disukai, tentulah ilmunya meliputi segala perincian apa yang dibuatnya, sedang Allah berfirman QS al-Mulk (67): 14 Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan) Maka kalau manusia menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya, tentulah dia mengetahui perincian dari perbuatan-perbuatannya itu; dia mengetahui apabila dia melangkah apa yang akan terjadi dari langkahnya itu?, dan dia mengetahui mengapa kakinya bergerak? Dan seterusnya. Akan tetapi manusia tidak mengetahui perincian itu. Kalau demikian, tidaklah manusia dikatakan mukhtr dalam perbuatannya. Segala perbuatan hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada yang melaksanakannya bukan kepada yang menciptakannya. Sesungguhnya Allah menciptakan warna dan Allah sendiri tidak bersifat dengan warna-warna itu. Yang bersifat dengan warna ialah tempat warnanya itu. Masalah taklif, pahala dan siksa tidaklah tunduk kepada aturan-aturan yang dengan aturan itu kita analogikan kepada perbuatan-perbuatan kita. Aturan-aturan itu berada di atas pengertian kita dan Allah tidak ditanyakan tentang perbuatan-Nya. Berbagai argumen yang dapat diterima akal sehat saling bertentangan. Berbagai ayat yang pada lahirnya saling bertentangan. Adalah tidak mengherankan kalau umat Islam mempertanyakan bagaimana sebenarnya perbuatan manusia itu, meskipun para pioner masing-masing paham Qadariyah dan Jabariyah yang pertama telah wafat. Di satu segi, manusia tampaknya memiliki hak memilih dan dituntut pertanggung jawaban atas setiap perbuatannya, baik atau jelek. Sementara itu harus diyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa karena pencipta segala makhluk. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh golongan Mutazilah sedang paham Jabariyah, meskipun tidak identik dengan paham yang dibawa oleh Jahm bin Shafwn atau dengan pahan yang dibawa al-Najjr dan Dirr, terdapat dalam aliran al-Asyariyah. LMU KALAM Kebebasan Menurut Perspektif Jabariyah dan Qadariyah A. Pengertian KebebasanWacanakebebasanmenemukanmomentumpengikraran,sekaligusjugameretasketidakpastianmakna kebebasan itu sendiri. Jika merujuk kepada pengertian sederhananya, dalam bahasa Indonesia, kebebasan yangberakarkatadaribebasmemilikibeberapapengertian,seperti:lepassamasekali,lepasdari tuntutan,kewajibandanperasaantakut,tidakdikenakanhukuman,tidakterikatatauterbatasoleh aturan-aturandanmerdeka(KamusBesarBahasaIndonesia,Depdikbud,1990,90).Pengertianetimologi initentutidakmemadaidanmemungkinkandijadikanpijakanhukumsecarapersonaldalamrealitas sosial. Karena jika itu terjadi maka akan melahirkan ketidak bebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertiankebebasansecaraakademikterikatolehaturan-aturan,baikagama,etikamaupunbudaya keterikatanmaknabebasdangankonsepsikeagamaan,etikadanbudayainilahmembuatpengertiannya menjadibiasdansubyetif.Karenasetiapagamadanbudayamemilikiatuarandannormayangmungkin berbeda sesuai titah yang di reduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu. Agama islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata kebebasan ( hurriyah ). Dalam kitab al-Mausuahal-Islamiyahal-Ammah,kebebasandidefinisikansebagaikondisikeislamandankeimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meningalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalamkoridorsistemislam,baikakidahmaupunmoral.Daripengertianiniterdapatduabentuk kebebasan :1.Kebebasaninternal(hurriyahdakhiliyah)yaitukekuatanmemilihantaraduahalyangberbedadan bertentangan2. Kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah) bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga : a.al-Tabiiyahyaitukebebasanyangterpatridalamfitrahmanusiayangmenjadikannyamampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat.b. al-Siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undaganc. al-Diniyah, kemampuan atas keyakina terhadap berbagai mazhab keagamaan. Darisinijelassudah,bahwakebebasanyangsedangberkeliarandinegeriiniterserabutdaridefinisi keagamaan.B. Ayat-ayat al-Quran yang membahas tentang kebebasanAyat-ayat yang membawa kepada paham QadariahArtiya : BahwasanyaAllah tidak bias merubah nasib suatu kaum, kalau tidak merekasendiri merubahnya (Ar-Rad:11) Perhatikanlahayatdiatas,katamerekaTuhantidakbiasaatautidakkuasamerubahnasibmanusiakecuali merekasendiriyangmerubahnasibnya.KekusaanTuhandalammasalahinitakadalagi,karenasudah diberikan nya kepada manusia, menurut kaum Qadariah. Dikemukan lagi sebuah ayat: Artinya:DanbarangsiapayangmengerjakankejahatanataumenganiyayaDirinyasendiri,kemudianiaminta ampunkepadaTuhan,nicayaakandiperolehnya,bahwasannyaTuhanitupengampundanpenyayang(An Nisa:110)Jelas dalam ayat ini, kata mereka bahwa orang-orang itu sendirilah yang membuat dosanya, bukan Tuhan. Kalau Tuhanyangmembuatdosahamba-NyatentulahIamenganiayahamba-Nyaitu,inimustahilkarenatuhantidak menganiaya hamba-Nya. Ayat-ayat yang membawa kepada paham Jabariyah Artinya:bagi manusia (upah) apa yang di usahakannya dan atas manusia (hukuman) apayang diusahakannya. (Al Baqarah: 286). Ayat di atas menjelaskan manusia akan dapat pahala kalau ia mengusahakan pekerjaan yang baik dan akan diberi azab (hukuman) kalau ia mengusahakan yang buruk. Di kemukakan lagi ayat: Artinya:padahariitu(hariakhirat)setiapdirimenerimabalasanmenurutyangdiusahakannya.Tidakada ketidakadilan pada hari itu. Sesungguhnya Tuhan amat cepat membuat perhitungan (Al Mumin : 17 )Melihatpadaayat-ayatsepertiyangtersebutdiatas,tidakmengherankankalaupahamQadariahdanpaham Jabariyah,walaupun penganjur-penganjurnyayang pertamatelah meninggal dunia,masih tetap terdapat di dalam kalangan umat Islam. C. Pandangan Kaum Jabariyah Tentang Kebebasan Manusia Kehendakdanperbutannya.ManusiadalampahaminiterikatpadakehendakKaumJabariyah berpendapat,manusiatidakmempunyaikemerdekaandalammenentukanmutlakTuhan.Dalamaliranini terdapatpahambahwamanusiamengerjakanperbuatannyadalamkeadaanterpaksa.Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kodar Tuhan.Menurut Jahm yang merupakan penganut paham Jabariyah ini mengatakan: manusia tidak mempunyai kekuasaanuntukberbuatapa-apa;manusiatidakmempunyaidaya,tidakmempunyaikehendaksendiridan tidakmempunyaipilihan;manusiadalamperbutan-perbuatannyaadalahdipaksadengantidakadakekuasaan, kemauandanpilihanbaginya.Perbuatan-perbuatandiciptakanTuhandidalamdirimanusiatakubahnya dengangerakyangdiciptakanTuhandalambenda-bendamati.Olehkarenaitu,manusiadikatakanberbuat bukan dalam arti sebenarnya,tetapi dalam artimajasi / kiasan: takubahnyasebagaimanadisebut,airmengalir, batubergerakmatahariterbitdanterbemamdansebagainya.Segalaperbuatanmanusiamerupakanperbuatan yangdipaksakanatasdirinyamasukdidalamnyaperbuatan-perbuatansepertimengerjakankewajiban, menerima pahala, dan menerima siksaan. D. Pandangan kaum Qadariah tentang kebebasan manusiaKaumQadariahberpendapatbahwamanusiamempunyaikemerdekaandankebebasandalam menentukanperjalananhidupnya.MenurutpahamQadariahmanusiamempunyaikebebasandankekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.Menurut Ghailan yang merupakan penganut paham Qadariah ini mengatakan, bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya : Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-pebuatan baik atas kehendak dan kekuasaannyasendiridanmanusiasendiripulayangmelakukan/menjauhiperbuatan-perbuatanjahatatas kemauandandayanyasendiri.Dalampahaminimanusiamerdekadalamtingkahlakunya.Iaberbuatbaik adalahataskemauandankehendaknyasendiri.Disinitakterdapatpahamyangmengatakanbahwamanusia dalam perbuatan-pebuatannya hanya betindak menurut nasibnya yang telah di tentukan semejak ajal. Merekabependapat,tidakadahubungannyadenganpekerjaanmanusiadanapayangdiperbuat manusiatidakdiketahuiolehAllahsebelumnya,tetapituhanmengetahuisetelahdiperbuatoleh manusia.Jadi,padawaktusekarangtidakbekerjalagikarenakodratnyadiberikannyakepadamanusiadania hanyamelihat danmemperhatikan saja. Kalaumanusiamengerjakan perbuatanyang baikmakaiaakan diberi pahalaolehTuhankarenaiatelahmemakaikodratyangdiberikantuhansebaik-baiknya,tetapiiaakandi hokum kalau kodrat yang diberikan Tuhan kepadanya tidak dipakai. E. Kesimpulan Menurutpandangansayabahwakebebasanyangsebenarnyaadalahketidakbebasanitusendiri. Karena,tidaksatupunprilakuyangterbebasdariaturandannorma,baikyangbersifitilahiyah(ketuhanan) maupuninsaniyah(kemanusiaan).Adanyaaturanterhadapsesuatu,merupakanpengikatyang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq (lepas) tapi muqayyad (terbatas)Kaumqadariahadalahkaumyangmemandangperbuatan-perbuatanmerekadiwujudkanolehdaya merekasendiribukanolehTuhan;lainhalnyadengankaumjabariah,kaumjabariyahadalahkaumyang memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh Tuhan bukan manusia. Kebebasandankekuasaanmanusiasebenarnyaterbatasdanterikatpadahukumalam.Kebebasn manusiasebenarnya,hanyalahmemilihhukumalammanayangakanditempuhdanditurutinya.Haliniperlu ditegaskankarenapahamQadariahbiasadisalahartikanmengandungpaham,bahwamanusiaadalahbebas sebebasnyadandapatmelawankehendakdankekuasaanTuhan.Hukumalampadahakikatnyamerupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.Daftar Pustaka : Ali, A. Mukti dkk (Ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988. Al-Quran Digital_(http://www.alquran-digital.com) K.H Abbas, Siradjuddin, Itiqad Ahlu Sunah Wal Jamaah, Bandung : Karya Nusantara, 1987 Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta : Universitas Indonesia ( UI Press ), 2007. SPIRITUALIS PARANORMAL GASA REKOMENDASI BOYKE BIKIN ISTRI KETAGIHAN!ANDA MAU KUAT DIRANJANG? BELI FOREDI Rp. 200.000SEX KUAT TAHAN LAMA REKOMENDASI BOYKE, MAU?FOREDI UNTUK KUAT TAHAN LAMA SEX REKOM BOYKE!METODE ALAMIAH TAMBAH UKURAN PENISGASA UTK EREKSI KERAS LEBIH KENCENG BIKIN ISTRI KEMAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL CUMA 95RIBUWOW! SAYA DAPAT 1,5 JUTA/HARI, MODAL HANYA 95RIBUINVESTASI 95 RIBU HASIL 30 JUTA/BULAN, MAU ? MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL CUMA 95RIBUOLES HERBAL UTK TAHAN LAMA SEX REKOMENDASI BOYKE!Ku alil Naqli dan Aqli Landasan Jabariyah dan QadariyahSetelahadminmengulassedikittentangsejarahJabariyahdanQadariyahdanhalyang melatarbelakanginya.Kesempatankaliini,sebagaibahanmaterialmakalahakandiulas sedikit dari landasan naqly (alasa yang diambil dari al-Quran dan Hadis) dan aqly (alasan yang bersandarpadaakalataurasionalsemata)yangmenjadipegangansekaligusalasan"ada"nya kedua aliran teologi ini.1. Dalil-dalil naqliy sebagai dasar aliran Jabariyah-QS. Ash-Shafaatayat96 : Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".QS.-Al-Anfal ayat17 : Artinya:......danbukankamumelemparketikakamumelempar,tetapiAllah-lahyang melempar.- QS.al-Hadid ayat 22: Tiada suatu nubaba neb yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan TelahtertulisdalamKitab(LauhulMahfuzh)sebelumkamimenciptakannya.Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. -QS. Al-Insan30: Artinya:Dankamutidakmampu(menempuhjalanitu),kecualibiladikehendakiAllah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 2.Adapun dalil-dalil aqliy yangdijadikanlandasan bagi kaumJabariyah antara lainsebagai berikut:-Makhluktidakbolehmempunyaisifat samadengansifatTuhan,dankalauituterjadi, berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Mereka menolak keadaan AllahMaha HidupdanMahaMengetahui,namuniamengakuikeadaanAllahYangMahaKuasa. Allahlahyangberbuatdanmenciptakan,olehkarenaitu,makhluktidakmempunyai kekuasaan. -Manusiatidakmemilikikekuasaansedikitjuapun, manusiatidakdapatdikatakan mempunyaikemampuan(Istitha`ah).Perbuatanyangtampaknyalahirdarimanusiabukandariperbuatanmanusia karenamanusiatidakmempunyaikekuasaan,tidak mempunyaikeinginandantidakmempunyaipilihanantaramemperbuatatautidak memperbuat.Semua perbuatanyangterjadipadamakhluk adalahperbuatanAllahdan perbuatanitudisandarkankepadamakhlukhanyapenyandaranmajazi.Samaseperti katapohonberbuah,airmengalir,batubergerak,matahariterbitdantenggelamdan biji-bijian tumbuh dan sebagainya. 1. Dalil-dalil naqliy yang menjadi dasar aliran Qadariyah-QSAr- Ra`du ayat 11 : Artinya:SesungguhnyaAllahtidakmerobahkeadaansesuatukaumsehinggamerekamerobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri.. QS An Nisa` ayat 110: Artinya:...... Danbarangsiapayangmengerjakankejahatandanmenganiayadirinya,Kemudian iamohonampunkepadaAllah,niscayaiamendapatiAllahMahaPengampunlagiMaha Penyayang. 2. dalil-dalil aqliy yang dijadikan sebagai landasan kaum Qadariyah adalah:-JikaperbuatanmanusiadiciptakanataudijadikanolehAllahswtmengapamenusia diberipahalajikaberbuatbaikdandisiksajikaberbuatmaksiyatdandosa,bukankah yangmembuatataumenciptakan perbuatanituadalahAllahswt sendiri.Jika demikian halnyaberartiAllahswttidakbersikapadilterhadapmanusia,sedangmanusiaitu sendiri adalah adalah ciptaan-Nya.-Melihatbahwa terdapat ayatayatal-Qurandandalil-dalil aqlimenjadilandasankedua golongantersebut,tidakmengherankan,sekalipunpenganjurpahamJabariyahdan Qadariyahtelahlamameninggal,akantetapimasihterdapatdikalangankaum muslimin. Dalam sejarah teologi Islam selanjutnya, paham Qadariyah dianut oleh kaum MuktazilahsedangkanpahamJabariyahmoderatmasihterdapatdalamaliran Asyariyah. SurgaMakalah *Dikutip dari berbagai sumberTulisan dengan kategori yang sama : -Qadariyah; Warisan Nasrani? -Sebab Munculnya Aliran al-Maturidi -Ketuhanan dan Filsafat Jiwa al-Kindi -Maqam Ittihad Abu Yazid al-Bustami -Memahami Konsep Wajib al-Wujud (1) -Asal Mula Lahirnya Muktazilah -Pendapat Aliran-aliran Teologi -Material Makalah; Mengenal Syiah Ismailiyah -Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur -Mengenal Teologi; Suatu Pengantar Anda barusan melihat/membaca posting dengan ju BAGIAN KEEMPAT Penutup Di Saat Pengetahuan Allah Berbalik Menjadi Ketidaktahuan Pada akhir pembahasan ini, tidak ada salahnya kita menunjuk kepada kemusykilan-kemusykilan kaum Jabariyah yang paling terkenal, untuk kita analisis bersama agar jawaban atasnya menjadi jelas. Kaum Jabariyah menyebutkan berbagai dalil dan bukti secara aqli (rasional) maupun naqli (nukilan dari Al-Quran, hadis dan sebagainya), untuk menguatkan anggapan mereka. Mereka berpegang pada beberapa ayat tentang qadha dan qadar dalam Al-Quran dan kadang-kadang beberapa hadis dinukilkan dari Rasul yang mulia saw. ataupun dari para Imam di bidang ini. Cukup banyak dalil aqli dikemukakan oleh kaum Jabariyah untuk menguatkan anggapan mereka ini.[1] Syubhah (keraguan argumentatif) paling terkenal dari paham Jabariyah ialah yang berkaitan dengan qadha dan qadar dalam pengertian konsep Ilahi atau ilmu Allah. Yaitu bahwa Allah SWT adalah 'Alim (Zat Yang Maha Mengetahui) tentang segala yang telah dan akan terjadi secara azali (sejak permulaan zaman); tak sesuatu pun tersembunyi bagi Allah dan Ilmu-Nya yang azali. Dari segi lainnya pula, ilmu Allah tidak mengalami perubahan ataupun pertentangan dengan yang telah terjadi. Karena itu, suatu kejadian tidak mungkin berubah bentuk menjadi sesuatu lainnya, sebab perubahan seperti itu bertentangan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Zat Wajibul Wujud (yakni Allah SWT). Tidak mungkin pula pengetahuan-Nya, sejak azali, bertentangan dengan apa yang terjadi, sebab yang demikian itu berarti bahwa pengetahuan-Nya itu bukan pengetahuan, melainkan ketidaktahuan (kebodohan). Ini pun berlawanan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Wujud yang mutlak. Berdasarkan kedua muqaddimah (premise) ini: a. bahwa Allah Maha mengetahui segalanya; b. bahwa ilmu Allah tidak dapat tersentuh perubahan dan tantangan. Maka tidak diragukan lagi kita beroleh natijah (konklusi) bahwa semua peristiwa dan kejadian di alam ini harus berlangsung dengan cara yang bersesuaian dengan ilmu (pengetahuan) Allah, secara terpaksa dan deterministis. Khususnya bila kita tambahkan lagi bahwa ilmu Ilahi adalah ilmu yang aktif dan positif, yakni pengetahuan yang merupakan sumber dari segala yang diketahui; bukannya pengetahuan yang reaktif dan pasif, yakni pengetahuan yang memperoleh esensinya dari esensi sesuatu lainnya yang diketahui sebelumnya, seperti pengetahuan manusia akan kejadian-kejadian alamiah. Berdasarkan itu, seandainya seseorang tertentu; menurut ilmu yang azali, akan melakukan pelanggaran maksiat tertentu pada jam tertentu, maka pelanggaran itu pasti terjadi secara deterministis dan terpaksa dan dengan cara seperti yang telah ditentukan itu. Tak ada kemungkinan bagi si pelaku tersebut untuk mengubahnya ke dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apa pun dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apapun dalam wujud ini yang mampu mengubahnya. Atau, jika tidak demikian, maka pengetahuan Allah akan beralih menjadi ketidaktahuan (kebodohan)!! Umar Khayyam berkata dalam syairnya: Sungguh nikmat mereguk minuman khamr, bagi mereka yang terbiasa meminumnya. Allah telah mengetahui perbuatan ini. Jika Anda kini menolaknya, hai kawan, Pengetahuan-Nya itu beralih menjadi ketidaktahuan. Jawaban atas syubhah (keraguan argumentatif) ini sungguh mudah bagi yang telah menguasai pengertian yang benar tentang qadha dan qadar. Sebab, syubhah itu muncul hanya setelah diadakannya pertimbangan terpisah antara pengetahuan Allah di satu pihak, dan sistem sebab-akibat di pihak lainnya. Dalam arti bahwa ilmu (pengetahuan) Ilahi, di masa azali, diperkirakan telah berkaitan secara kebetulan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa dan ciptaan-ciptaan. Nah, agar pengetahuan ini benar-benar menjadi pengetahuan, dan agar tidak terjadi sesuatu yang lain daripadanya, haruslah pengetahuan Ilahi ini memaksakan kekuasaannya atas sistem alami, dan menundukannya di bawah pengawasan amat ketat, sehingga ia bersesuaian dengan konsep dan perencanaan yang telah mendahuluinya itu. Dengan kata lain, diperkirakanlah bahwa pengetahuan Ilahi, dengan mengabaikan sistem sebab-akibat, telah berkaitan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa maupun dengan tidak terjadinya; dan bahwa sudah seharusnya menjadikan pengetahuan ini dengan cara apa pun, bersesuaian antara 'yang diketahui' dan 'yang terjadi'. Untuk itu, haruslah diadakan pengaturan sistem sebab-akibat di alam ini, sehingga pada beberapa konteks kejadian, sistem ini harus dicegah dari aktifitasnya yang menurut wataknya dapat memberikan pengaruh. Atau harus dilakukan pembatalan aktifitas kehendak dan ikhtiar siapa saja yang ingin menggunakan keduanya. Agar dengan demikian, segala sesuatu yang telah ada dalam pengetahuan Allah yang azali, menjadi sesuai dengan apa yang terjadi dan tidak berlawanan dengannya. Untuk itu, haruslah terjadi pencabutan ikhtiar, kebebasan, kemampuan dan kemauan diri manusia, agar semua perbuatannya berada di bawah kekuasaan Ilahi dan agar pengetahuan Allah tidak berubah atau beralih menjadi ketidaktahuan. Konsep mengenai pengetahuan Ilahi seperti ini, adalah puncak kejahilan dan ketidaktahuan! Mungkinkah pengetahuan Allah berkaitan, secara kebetulan, dengan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa-peristiwa. Lagi pula, supaya pengetahuan itu bersesuaian dengan kenyataan yang terjadi, maka ia (yakni pengetahuan Ilahi), harus bertindak mencampuri urusan sistem sebab-akibat yang teratur rapi dan pasti, lalu melakukan perubahan-perubahan padanya serta menghapus beberapa khasiat (karakteristik) berbagai tabiat, atau mencabut ikhtiar dan kebebasan si pelaku yang seharusnya memiliki ikhtiar itu?! [2] Pada hakikatnya, pengetahuan Ilahi yang azali tidak terpisah dari sistem sebab-akibat yang berlaku atas alam semesta ini. Pengetahuan Ilahi adalah pengetahuan akan sistem tersebut. Dan yang termasuk kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi adalah seluruh alam ini beserta sistem-sistem tersebut. Pengetahuan Ilahi tidaklah berkaitan dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa secara langsung dan tanpa lantaran. Melainkan, ia berkaitan dengan suatu peristiwa, hanya melalui sebab dan pelaku khususnya. Keterikatannya dengan itu Tidaklah bersifat mutlak, tanpa berkaitan dengan sebab-sebabnya. Sebab-sebab dan lantaran-lantaran itupun berbeda-beda, di antaranya ada yang kausalitas dan aktifitasnya bersifat alamiah. Ada yang bersifat emosional, ada yang bersifat majbur (terpaksa) dan ada pula yang bersifat berikhtiar (bebas memilih). Yang diharuskan oleh pengetahuan Ilahi adalah timbulnya pengaruh aktifator yang bersifat alami dari aktifator yang alami itu sendiri, timbulnya pengaruh aktifator emosional dari aktifator yang emosional, timbulnya pengaruh aktifator majbur dari yang majbur, dan timbulnya pengaruh aktifator berikhtiar dari yang berikhtiar. Jadi, tidak ada kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi pada timbulnya pengaruh aktifator yang sama sekali bebas dai aktifator tersebut, secara paksa dan deterministis. Dengan kata lain, ilmu (pengetahuan) Ilahi yang azali adalah pengetahuan sepenuhnya akan sistem tersebut, yakni timbulnya akibat-akibat dari sebab-sebabnya yang khusus. Sehubungan dengan itu, dan mengingat adanya perbedaan jenis berbagai sebab itu dalam sistem alam rill atau alam eksternal, yakni yang bersifat alamiah, emosional, berikhtiar ataupun majbur, maka sistem yang berkaitan dengan ilmu Ilahi pun memiliki asas yang sama, dalam arti keharusan adanya setiap aktifator tertentu dalam alam ilmu Ilahi, seperti adanya masing-masing aktifator dalam alam riil. Sebaliknya, mengingat adanya aktifator tersebut di alam ilmu Ilahi, seharusnyalah ia juga ada di alam riil. Ilmu Ilahi yang berkaitan dengan timbulnya pengaruh dari suatu aktifator adalah dalam arti bahwa ia berkaitan dengan timbulnya pengaruh aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas, serta pengaruh aktifator yang majbur dari suatu aktifator yang majbur. Adapun yang merupakan kepentingan dan keharusan ilmu Ilahi ialah timbulnya tindakan aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas serta tindakan aktifator yang majbur dari aktifator yang majbur; dan bukannya memaksa aktifator yang bebas menjadi majbur dan yang majbur menjadi bebas. Manusia dalam sistem alam semesta, seperti yang telah kami uraikan sebelum ini, dari sejak semula telah memiliki sejenis kebebasan dan ikhtiar serta kemampuan tertentu dalam aktifitasnya. Kemampuan-kemampuan seperti itu tidak terdapat pada maujud-maujud lainnya, termasuk binatang. Dan mengingat bahwa eksistensi sistem alam riil bersumber pada sistem ilmu Ilahi, dan bahwa sumber alam ciptaan adalah alam Rabbani (Ketuhanan), maka pengetahuan azali yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia berarti bahwa Ia mengetahui, sejak mula pertama, tentang siapa-siapa yang akan taat, dengan ikhtiar dan kebebasannya, dan siapa-siapa yang bermaksiat, dengan kebebasannya pula. Jadi, yang merupakan keharusan dan konsekuensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari orang yang taat, dengan kemauannya sendiri; ataupun maksiat dari si pelaku maksiat, dengan kemauannya sendiri pula. Inilah makna ucapan sebagian orang bahwa "manusia adalah makhluk yang mukhtar dan ijbar", yakni memiliki kebebasan secara terpaksa. Maka ia tak mungkin kecuali menjadi mukhtar (bebas). Ilmu Ilahi yang azali tidak sedikit pun ikut campur dalam mencabut kebebasan dan ikhtiar dari siapa pun yang dalam sistem Ilmu Ilahi dan sistem riil telah ditetapkan menjadi mukhtar (memiliki ikhtiar). Ilmu Ilahi itu juga tidak sedikit pun berkepentingan dalam pencabutan ikhtiar dan kebebasan manusia dengan cara memaksanya agar berbuat ketaatan ataupun kemaksiatan. Berdasarkan ini, maka benarlah kedua muqaddimah (premise) yang telah disebutkan sebelum ini, tiada keraguan lagi padanya. Demikian pula halnya dengan pokok masalah yang kami tambahkan, yaitu bahwa ilmu Allah adalah aktifdan positif bukannya reaktif dan pasif. Akan tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia bersifat majbur dan tidak memiliki ikhtiar, dan bahwa disaat melakukan kemaksiatan, ia berada di bawah paksaan untuk bermaksiat, dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Yang benar ialah bahwa maujud, yang telah dicipta dalam tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang memiliki kebebasan, ia pulalah yang dalam tatanan ilmu Ilahi bersifat bebas dan berikhtiar. Jika ia melakukan sesuatu secara deterministis, hal ini justru berarti bahwa pengetahuan Allah telah beralih menjadi ketidaktahuan. Karena itu, kita harus mengajukan pertanyaan kepada si penyair, yang berkata: "....Allah telah mengetahui ini...," apa sebenarnya yang diketahui oleh Allah sejak azali? Apakah perbuatan minum khamr yang bersifat sukarela dan sesuai dengan kecenderungan kemauan serta pilihan pribadi tanpa paksaan, ataukah yang bersifat paksaan oleh suatu kekuatan yang berada di luar keberadaan manusia? Sesungguhnya yang telah diketahui oleh Allah SWT sejak azali, bukannya adanya perbuatan minum khamr yang dipaksakan, ataupun sebarang minum khamr, melainkan perbuatan minum secara sukarela (ikhtiari). Oleh sebab pengetahuan Allah seperti itulah, maka seandainya orang tersebut dipaksa, dijadikan majbur untuk tidak minum, atau sebaliknya, dipaksa untuk minum, hal ini tentunya mengalihkan dan mengubah pengetahuan Allah menjadi ketidaktahuan. Kesimpulan yang bisa ditarik berdasarkan hal tersebut adalah, bahwa pengetahuan Allah yang azali tentang perbuatan-perbuatan segala sesuatu yang ada di alam ini, dan yang memiliki kemauan dan ikhtiar, sama sekali bukanlah jabr (determinisme), melainkan justru berlawanan dengan jabr. Sebab, konsekuensi ilmi Ilahi ialah tetapnya sesuatu yang mukhtar (yang memiliki kebebasan memilih) menjadi mukhtar, secara tetap dan pasti. Karena itu, dapatlah dibenarkan ucapan si penyair: Menjadikan dosa sebagai sesuatu yang disebabkan oleh pengetahuan Ilahi. Menurut anggapan orang berakal adalah sama dengan ketidaktahuan. Semua ini perlu disertai catatan seandainya bidang pembahasan kita sekarang ini adalah pengetahuan Ilahi yang azali dan terdahulu, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran al-Karim dengan nama Al-Kitab, al-Lauh al-Mahfuzh, Qalam dan lain sebagainya; dan seandainya yang menjadi kemusykilan adalah ilmu ini pula. Namun seandainya kita tidak menganggap semua maujud serta sistem sebab-akibat di alam ini seluruhnya sebagai suatu obyek yang diketahui oleh Allah SWT dengan ilmu-Nya yang azali pun, pada hakikatnya, sistem yang telah diketahui oleh Allah ini adalah bagian dari ilmu Allah juga. Alam semesta ini, sengan segala sistemnya adalah ilmu Allah, Sang Pencipta Agung, dan juga merupakan suatu obyek yang diketahui-Nya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa Zat-Nya meliputi zat-zat segala sesuatu, sejak azali sampai abadi, dan bahwa zat segala sesuatu selalu hadir di hadapan-Nya. Tak mungkin ada suatu maujud, di antara maujud-maujud di seluruh alam semesta ini, yang tersembunyi daripada-Nya. Sungguh, Ia berada di setiap tempat dan meliputi segala sesuatunya (imanen). Kemanapun kamu berpaling, di sana wajah Allah. (QS 2 :115) Kami, Allah lebih dekat kepadanya dari urat lehernya. (QS 50 : 16) Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia tahu segala sesuatu. (QS 57 : 3) Atas dasar ini, alam beserta segala segala karakteristik dan tatananya, termasuk dalam peringkat ilmu pengetahuan Allah SWT. Pada peringkat pengetahuan ini, pengetahuan dan segala obyek yang diketahui adalah satu, tak terbilang, sehingga tidaklah perlu adanya hipotesis tentang ada atau tidaknya keserasian antara pengetahuan yang diketahui, ataupun timbulnya pernyataan: "Jika terjadi yang 'ini', maka pengetahuan Allah adalah benar-benar pengetahuan, tapi jika terjadi yang 'itu', maka hal tersebut menunjukkan ketidaktahuan-Nya...."[] [1] Kesemuanya telah kami sebutkan dan kami sanggah dalam berbagai catatan pinggir buku Ushulul Falsafah, jilid 3. [2] Karena itulah, kami meragukan bahwa syair yang telah kami nukilkan sebelum ini benar-benar merupakan ucapan Umar Khayyam yang, paling sedikit, adalah seorang "setengah filosof". Mungkin saja itu adalah syair yang dinisbahkan kepadanya setelah ia tiada. Atau, mungkin saja itu benar-benar merupakan ucapannya, hanya saja waktu itu ia tidak bermaksud berbicara dengan sungguh-sungguh dan secara filosofis, melainkan ia hanya ingin memberikan bentuk syair pada salah satu khayalannya. Memang seringkali kita jumpai banyak peneliti dan pemikir, pada saat memasuki dunia syair, meninggalkan pikiran-pikiran ilmiah dan filosofis, lalu menciptakan selubung-selubung syair yang indah untuk khayalan-khayalan lembut mereka. Dengan kata Lain, mereka berbicara sebagai sastrawan dan bukannya sebagai ilmuwan. Demikian itu yang sering kita lihat pada berbagai syair yang dinisbahkan kepada Umar Khayyam. Kemasyhuran amat luas yang diraih oleh Khayyam adalah berkat penggambaran-penggambaran seperti itu, yang tertuang dalam susunan kata-kata yang indah. ilmu kalamPengertian Ilmu Kalam Ilmu kalam merupakan ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat allah yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya serta membicarakan tentang rosul-rosul Allah, untuk menetapkan kerosulan nya, mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam ialah ilmu yang berisi beberapa alasan untuk mempertahankan keimanan dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang yang menyeleweng dari kepercayaan aliran salaf dan ahli sunah. Ada beberapa pandangan bahwa ilmu ini di sebut sebagai ilmu kalam, yaitu antara lain: A. Pokok persoalan yang menjadi pembicaraan ialah firman Allah dan non azalinya Quran (khaliq al-quran) B. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran para mutakalimin, dalam hal ini nampak jelas dalam pembicaraan-pembicaraan para mutakalimin, mereka terkadang tidak langsung kembali kepada dalil naql (quran hadis), kecuali sesudah menetapkan kebenaran pokok persoalan tersebut. C. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan logika dalam filsafat. BAB II PEMBAHASAN 1. Latar belakang berdirinya Ilmu Kalam Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu keislaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (metafisika). Kita tidak akan dapat memahami persoalan persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian-kejadian politis dan historis yang menyertai p-ertumbuhannya. Faktor-faktor itu sebenarnya banyak, akan tetapi dapat digolongkan kepada dua bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari dalam islam dan kaum muslimin sendiri dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka, karena adanya kebudayaan lain dari agama-agama yang bukan islam.2. Aliran-Aliran Kalam A. Asal-usul munculnya aliran-aliran kalam Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Umat islam sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu mulai reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar memegang kekhalifahan, mulai timbul kembali perpecahan yang di hembuskan oleh orang-orang murtad dari islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzab, Thulaihah, Sajah dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping itu ada pula golongan-golongan yang tidak membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal tadinya mereka semua membayar zakat pada nabi. Akan tetapi persilahan itu segera dapat diatasi dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar. Selanjutnya perjalanan kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Ustman tidak begitu menghadapi persoalan, tetapi setelah islam meluas kemana-mana, tiba-tiba di akhir Khalifah Ustman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Ustman yang kurang mendapat simpati dari sebagian pengikutnya. Tindakan Ustman yang kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu mengakibatkan difitnah dan terbunuhnya Sayyidina Ustman. Setelah itu maka Ali terpilih menjadi Khalifah, tetapi tidak memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat islam, hingga menjadi beberapa golongan.di antaranya sebagai berikut: 1. Golongan yang setuju atas pemangkatan Ali. 2. Golongan yang mula-mula patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka berpendirian tidak mau mengikuti Ali, tidak pula memerangi Ali. Karena mereka meyakini bahwa keberpihakkan kepada salah satu dari dua golongan tersebut tidak berakibat baik. 3. Golongan yang terang-terangan menentang ali, yaitu Tholhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semua nya bersatu, dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai pemimpin untuk menumpas Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai Ali di basrah di bunuh, perbendaharaan di rampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan yang dipimpinnya sendiri menuju basrah, dan akhirnya terjadi pertempuran hebat. Tholhah dan Zubair terbunuh, Aisyah tertangkap dan dipulangkan ke Madinah. Dan tentara lainnya banyak yang melarikan diri dan bergabung dengan tentara Muawwiyah di Syam, yang sama-sama menentang Ali. Terjadinya pertempuran-pertempuran antara Muawwiyah dan Ali, hingga pertempuran Shifin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Muawwiyah. 4. Perpecahan yang memisahkan diri dari tentara Ali. Golongan ini dinamakan Khawarij. Mereka tidak setuju dengan gencatan senjata antara Ali dan Muawwiyah. Demikianlah beberapa golongan politik yang muncul dimasa Khalifah Ali. Kemudian sesudah Ali, timbul lah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam (aliran tentang aqidah) yang di akibatkan oleh timbulnya golongan-golongan politik tersebut di atas yaitu golongan Syiah, Qodariah, Jabariah, Murjiah, Karamiyah, Khawarij, Mutazilah, dan Ahli Sunah Wal Jamaah. B. Aliran-aliran ilmu kalam 1. Aliran Mutazilah a. Pokok-pokok ajaran Mutazilah. 1. Tauhid (keesaan Allah SWT) 2. Keadilan Allah SWT. 3. Janji dan ancaman 4. Posisi diantara dua posisi (al-manzilatu baina manzilatain) 5. Amar maruf nahyi munkar b. Tokoh_tokoh Aliran Mutazilah 1. Washil bin atha (80-131 H/ 699-748 M) 2. Al-allaf (135-236 H/ 753-850 M) 3. An-Nazzam (wafat 231 H/845 M) 4. Al-JubbaI (wafat 303 H/915 M) 5. Bisyr bin al-Mutamar (wafat 226 H/ 840 M) 2. Aliran asyariyah (ahli sunah wal jamaah) Imam Asyari (260-324 H), menurut Abu Bakar Ismail Al-Qairawani, adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun. Kemudian ia menyatakan diri keluar dari Muktazilah. Setelah itu, ia mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan-gagasan Muktazilah. Ajarannya kemudian di kenal sebagai aliran Ahl al-Sunnah Wa al-jamaah. Ajaran pokok aliran tersebut adalah kemaha kuasaan Tuhan yang keadilannya telah tercakup dalam kekuasaannya. Suatu gagasan yang mirip dengan gagasan jabariah. Adapun pendapat Imam Asyari yaitu bercirikan pengambilan jalan tengah antara pendapat pihak-pihak yang berlawanan pada masanya, seperti pendapatnya dalam soal sifat tuhan terletak antara aliran Mutazilah yang tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqo dan wahdaniyah dan aliran Hasywiyah dan Mujassimah yang mempersamakan sifat-sifat makhluk. Al-asyari mengakui sifat-sifat Allah tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya. 3. Aliran Maturidiyyah Dalam perkembangan ajaran ahli sunnah wal jamah, ajaran tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan imam Al-Asyari. Para pelanjutnya, antara lain Imam Abu Mansyur al-Maturidi mendirikan aliran Maturidiyah yang ajaranya, menurut Harun Nasution lebih dekat dengan Mutazilah. Dalam bidang fiqh, Al-Maturidi mengikuti mazhab Hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal-soal Theologi Islam dan menganut Aliran Fuqoha dan Muhaddisin, seperti yang dilakukan Al-Asyari. Sungguh pun demikian pendapat-pendapatnya tidak terikat dengan aliran tersebut Meskipun metode yang dipakai oleh Al-maturidi berbeda dengan Al-Asyari, namun hasil pemikirannya banyak yang sama. Menurut ulama-ulama Hanafiyah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang aqidah sama dengan pendapat-pendapatnya imam Abu Hanifah Meskipun pendapat-pendapat Al-asyari dan Al-maturidi sering berdekatan, karena persamaan lawan yang dihadapinya, namun perbedaan-perbedaannya masih selalu ada, adapun perbedaan yang tegas antara Al-asyari dan Al-Maturidi antara lain: 1. Menurut aliran asyariah, mengetahui akan adanya Allah merupakan kewajiban Syara, sedangkan menurut Maturidiyyah merupakan kewajiban akal. 2. Menurut golongan Asyariyah, sesuatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak lain karena di perintahkan atau dilarang syara. Menurut Maturidiyah, pada tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat baik dan buruk. Dengan demikian aliran Maturidiyah lebih mendekati aliran Mutazilah4. Aliran Syiah Syiah ialah golongan umat islam yang terlalu mengagungkan keturunan Nabi, mereka meyakini bahwa hanya keturunan Nabi yang lebih berhak untuk menjadi khalifah sepeninggal nabi. Syiah maknanya ialah sahabat atau pengikut. Syiah berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah wafatnya nabi ialah Ali. Ali adalah guru yang ulung. Alilah yang mewarisi segala pengetahuan yang ada pada nabi, Ali adalah manusia yang mempunyai ciri-ciri istimewa, Ali dianggap mashum dari kesalahan.oleh karena itu, menurut mereka menaati dan mempercayai Ali termasuk rukun iman juga. Sesudah Ali kekhalifahan itu turun-temurun kepada anak cucunya dan ini seolah merupakan ketetapan Allah, tetapi dalam menentukan keturunan itu timbul pula perbedaan pendapat. Ali mempunyai anak, Hasan dan Husein. Hasan dan Husein memiliki keturunan beberapa orang pula, akhirnya timbul pertikaian, kepada siapa jatuh kekhalifahan itu. Akibatnya lahir lah beberapa golongan seperti Az-Zaidiyah, Al-Imamiyah (Al-istna Asyriyah), Al-Ismailliyah. Aliran Syiah memiliki pandangan sebagai berikut: 1. Tauhid. Golongan Syiah percaya sepenuhnya kepada Allah, bahwa Allah itu Maha Esa. 2. Keadilan. Golongan syiah percaya bahwa allah itu maha adil, konsep keadilan golongan syiah sama dengan ajaran mutazilah. 3. Kenabian. Keyakinan syiah terhadap kenabian tidak berbeda dengan pemikiran muslim lainnya antara lain: a. Jumlah nabi dan Rosul yang di utus Allah berjumlah 124 ribu b. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW. c. Nabi Muhammad adalah nabi yang mashum atau suci dari aib apapun. d. Istri-istri nabi tergolong orang yang suci dan terhindar dari keburukan. e. Al-Quran merupakan mukjizat nabi yang kekal. 5. Aliran Khawarij Khawarij ini timbul setelah perang Shifin antara Ali dan Muawiyah. Peperangan itu di akhiri dengan gencatan senjata, untukmengadakan perundingan antara kedua belah pihak. Golongan Khawarij adalah pengikut Ali, yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perudingan itu.Seorang yang bernama Abu Muslim Al- Khurasani, dapat mempengaruhi golongan ini untuk menggulingkan pemerintahan Muawiyah di Parsi. Setelah Khawrij ini berkembang selama dua abad, datang pulalah saat runtuhnya, yang akhirnya lenyap sampai sekarang. Pada masa jayanya, dalam aliran ini timbul beberapa perpecahan. Tetapi dalam beberapa pandangan pokoknya, tetap pada pendirian yang sama, yaitu: a. Ali, ustman dan orang-orang yang turut dalam perang jamal, dan orang-orang yang setuju adanya perundingan antara Ali dan Muawiyyah, semua di hukumkan oarang-orang kafir. b. Setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar,hingga matinya belum tobat, orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka.c. Boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu seorang yang zalim dan khianat. Beberapa golongan khawarij antara lain: a. Golongan Azariqoh Menurut mereka, bahwa orang yang tidak sefaham dengan mereka tergolong orang yang musyrik, Azariqoh tidak akan mengembalikan benda-benda amanah golongan-golongan lain. Negara ataupun daerah yang diduduki oleh lain dari Azariqoh, dihukumkan negara kafir atau daerah kafir. b. Golongan IbadhiyahGolongan ini berpendapat, bahwa haram memakan makanan Ahli kitab. Hal ini bertentangan dengan golongan islam lainnya yang membolehkan memakan makanan ahli kitab. Mereka mewajibkan mengqodho puasa, kepada orang yang bermimpi dalam keadaan berpuasa saat tidur siang pada bulan Romadhon. Adapun golongan khawarij yang dianggap keluar islam adalah sebagai berikut: a. Golongan Yazidiyah Golongan ini menyatakan, bahwa seseorang laki-laki boleh mengawini cucu perempuannya, baik dari anaknya yang laki-laki maupun dari anak yang perempuan. Alasannya, bahwa al-quran tidak menyebutkan mereka seorang yang di nikahi. b. Golongan Maymuniah Ada yang meriwayatkan bahwa golongan ini mengingkari adanya surat Yusuf dalam Al-Quran. c. Golongan Syabibiyah Golongan ini membolehkan wanita menjadi kepala negara atau imam,asal saja bekerja untuk kepentingan rakyat dan tidak bekerja sama dengan golongan-golongan yang bukan Syabibiyah. 6. Aliran Murjiah Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriyah. Dinamai Murjiah karena sesuai dengan makna istilah tersebut yaitu menunda atau mengembalikan. Mereka berpendapat, bahwa orang-orang mukmin yang berbuat dosa besar hingga matinya tidak juga tobat, orang itu belum dapat kita hukumi sekarang, tersaerah atau di tunda serta di kembalikan saja urusannya kepada Allah kelak pada hari kiamat. Jadi, pendapat ini adalah kebalikan dari faham Khawarij. Ada dua pokok ajaran yang dianut oleh aliran ini, yaitu: a. Pengakuan iman seseorang cukup di hati saja, tidak di tuntut membuktikan keimanannya dengan perbuatan. b. Selama meyakini dua kalimah syahadat, seorang muslim yang berbuat dosa besar tidak tergolong kafir. Hukuman terhadap perbuatan ini ditangguhkan di akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukumnya. 7. Aliran Jabaryah Golongan ini adalah gerakan yang menentang Qodariyah. Pendirinya yaitu Jaham bin Shafwan. Jaham, selain penggerak Jabariyah juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat. Menurut Ja