aliran ahmadiah
-
Upload
riza-hafizi -
Category
Documents
-
view
1.151 -
download
0
description
Transcript of aliran ahmadiah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ahmadiyah adalah sebuah aliran yang berkembang di benua India sekitar abad ke-20.
Aliran ini di deklarasikan oleh Mirza Gulam Ahmad Al-Qadiyani dengan ajaran-ajaran yang
menyimpang dari ajaran-ajaran mayoritas umat muslim. Mereka berpendapat bahwa Mirza
Gulam Ahmad adalah seorang pembaharu, kadang-kadang sebagai imam mahdi bahkan sebagai
nabi.
Aliran ini berhasil membangun tujuan utama untuk memecahbelahkan tali persaudaraan
umat muslim, dan menjauhkan umat muslim dari ajaran-ajaran yang di bawa oleh nabi
Muhammad SAW. Aliran ini di dukung oleh bangsa Inggris dengan segala sarana dan fasilitas,
baik yang bersifat materi ataupun non materi. Dan di Bantu oleh kalangan Yahudi dengan
berbagai argumentasi.
Makalah ini kami susun untuk mengetahui pokok-pokok ajaran-ajaran Ahmadiyah secara
umum, dan apakah ajaran-ajaran tersebut menyimpang dari ajaran-ajaran yang di bawa oleh nabi
agung Muhammad SAW.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Aliran yang seperti apakah ahmadiyah itu?
1.2.2 Bagaimana asal mula didirikanya ahmadiyah?
1.2.3 Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ahmadiyah?
1.2.4 Bagaimana pokok-pokok ajaran ahmadiyah?
1.2.5 Bagaimana pandangan ahmadiyah qadiyani dengan mayoritas umat islam?
1.2.6 Mengapa ahmadiyah dilarang?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pemgertain aliran ahmadiyah.
1.3.2 Mengetahui asal mula didirikanya aliran ahmadiyah.
1.3.3 Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ahmadiyah.
1.3.4 Mengetahui pokok-pokok ajaran ahmadiyah.
1.3.5 Mengetahui pandangan ahmadiyah qadiyani dengan mayoritas umat Islam.
1.3.6 Mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan ahmadiyah dilarang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan suatu aliran yang menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad
Adalah sebagai nabi terakhir atau nabi penutup Akhir zaman. Mereka tidak mempercayai bahwa
nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman. Selain itu aliran ini menganggap bahwa Tuhan tidak
berhenti menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad saja atau dari golongan Ahlu Baits (bangsa
Arab). Mereka meyakini bahwa Tuhan menurunkan wahyu kepada siapa saja dan tidak pilih-
pilih.
2.2 Awal Berdirinya Ahmadiyah
Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam islam, yang
kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi umat muslim sendiri pada saat itu.
Sejak kekalahan Turki ‘Usmania dalam serangannya kebenteng Wina tahun 1683, pihak
barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-
18. Selanjutnya diabad berikutnya bangsa eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan
ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka mampu mencipta senjata-senjata modern.
Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah islam disatu pihak, sedangkan dipihak lain
ummat muslim sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap apatis dan fatalistis.
Akhirnya inggris dapat merampas India dan mesir, perancis dapat menguasai afrika utara,
sedangkan bangsa eropa lainnya dapat menjarah daerah-daerah islam lainnya.
Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap ummat muslim yang masih
sangat tradisional dan fatalistis, dengan disertai semangat anti-pati dan fanatisme keagamaan
yang berlebihan dalam menghadapi tradisi barat, menyebabkan mereka semakin terisolasi.
Keadaan kaum muslimin India ini, semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan
Mutiny di tahun 1857.
Sebagai akibat pemberontakan tersebut, pihak Inggris menjadi lebih curiga dan bersikap
reaksioner terhadap ummat islam. Inggris berkeyakinan bahwa ummat islamlah yang menjadi
biang keladi pemberontakan tersebut, dan oleh karena itu harus bertanggung jawab. Selain itu ia
pun menuduh ummat muslim ingin mengembalikan hak-hak kemaharajaan mughal, disamping
itu Inggris menganggap oposisi ummat muslim adalah karena didorong oleh semangat
nasionalisme yang menyala-nyala, sedangkan kaum hindu tampak dapat menyembunyikannya,
sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah inggris. Dengan demikian, posisi
kaum Hindu jauh lebih baik bila dibandingkan dengan posisi ummat islam.
Sebagaimana diketahui, kaum hindu dibawah pemerintahan kolonial inggris, lebih
bersikap kooperatif daripada ummat islam, karena itu sikap nonkooperatif ummat muslim India
saat itu semakin memojokkan posisi mereka serta membawanya kedalam situasi keterasingan di
negri sendiri. Selain itu mereka semakin tenggelam dalam keterbelakangan dan perselisihan
dengan sesame muslim, karena masalah khilafiyyah di satu pihak, dan dipihak lain hubungan
antara mereka terutama yang telah mendapat didikan sistem barat, semakin jauh jarak yang
memisahkannya. Situasi ummat muslim di India saat ini, boleh jadi tidak jauh berbeda dengan
keadaan ummat muslim Indonesia dizaman pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam keadaan demikian, intelektual kaum ulama islam sebagai digambarkan oleh
Maulana Muhammad ‘Ali, telah tenggelam sampai ketingkat yang paling bawah. Sehingga
pertarungan antara sesame kelompok muslim, karena perbedaan paham yang kecil saja telah
dipandang sebagai pengabdian terhadap islam yang paling besar, dan menghukum muslim
lainnya sebagai kafir. Demikianlah situasi ummat muslim yang melatarbelakangi munculnya
gerakan Mahdiisme Ahmadiyah. Sebagai yang telah disinggung di muka, bahwa kemahdian
Ahmadiyah berorientasi pada pembaharuan pemikiran. Disini Mirza Ghulam Ahmad yang
mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi dan al-Masih oleh Tuhan, merasa merasa mempunyai
tanggung jawab moral untuk memajukan islam dan ummat muslim dengan memberi interpretasi
baru terhadap ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tuntutan zamannya, sebagai yang diilhami Tuhan
kepadanya. Motif Mirza ini tampaknya didorong oleh gencarnya serangan kaum misionarisme
Kristen dan propaganda kaum Hindu terhadap ummat Muslim saat ini.
Dalam hubungan ini, Wilfred Cantwell Smith menggambarkan bahwa Ahmadiyah yang
lahir menjelang akhir abad ke-19, ditengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dan
Infiltrsi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar kaum misionaris Kristen (terhadap
Islam), dan berdirinya Universitas Aligarh yang baru, maa lahirnya Ahmadiyah adalah sebagai
protes terhadap keberhasilan kaum misionaris kristan memperoleh pengikut-pengikut baru. Juga
sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad
Khan dengan Aligarh-nya. Disamping itu , disaat yang sama,demikian Smith menambahkan,
lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan islam pada umumnya. Sayangnya
pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini menyentuh keyakinan ummat Muslim yang sangat
sensitive, yaiti masih adanya Nabi dan Wahyu yang diturunkan Tuhan sesudah Al-Quran dan
sesudah kerasulan Nabi Muhammad. Inilah kiranya yang menyebabkan timbulnya reaksi keras
dan permusuhan ummat muslim terhadap aliran yang baru lahir itu.
2.3 Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah
Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase,
yaitu fase kebangkitan, fase menghadapi ujian, dan fase perpecahan. Dan pengembangan.
A. Fase Kebangkitan (1880-1900)
Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif
menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap
islam. Di samping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman
keagamaan dikalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran islam yang
didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh ummat islam
pada umumnya. Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan, bahwa Mirza dalam 1880,
pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga
mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka. Ia
berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan
kebenaran yang diyakininya itu.
Timbulnya reaksi keras tersebut amatlah mungkin, karena pernyataannya yang dipandang
aneh oleh masyarakat yaitu, bahwa untuk membangun suatu ummat yang telah mengalami
kemunduran sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih diperlukan wahyu Tuhan (yang baru).
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas di masa lampau saja, tetapi
Tuhan tetapberfirman kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, di saat yang
sama, ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujjadid atau renovator abad ke 14 H, karena ia
merasa telah ditunjuk oleh Tuhan unuk mempertahankan islam. Di Tahun itu pula pernyataan-
pernyataannya yang mengejutkan itu dikumpulkannya sendiri menjadi sebuah buku dan baru
diterbitkan di tahun 1884 yang dikenal dengan Barabin Ahmadiyah. Dalam buku ini dibicarakan
pula tentang kebenaran islam yang lebih bersifat apologis terutama berupa tangkisan-tangkisan
Mirza Ghulam Ahmad terhadap serangan-serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, dan kaum
misionaris.
Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara
terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima Baiat
dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat
menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan islam ke seantero dunia. Menurut
keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan islam tidak akan berhasil tanpa suatu
organisasi yang kuat. janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembai’atan, ia
mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam islam dengan nama Jemaat
Ahmadiyah.
Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini, akan tetapi
menurut Mikrza nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah, demikian
penjelasan Maulana Muhammad ‘Ali. Tentunya nama tersebut diambil dari surat as-Saf: 6, yang
isinya memuat informasi Nabi Isa kepada Bani Isra’il, bahwa sesudahnya nanti akan datang
seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya , Mirza sendiri kemudian mengklaim nama
sebagai yang disebutkan dalam as-Saf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh Tuhan untuk
menunaikan tugas kemahdiannya.
Adapun pernyataan Mirza yang mengejutkan dan sekaligus mengundang reaksi keras
adalah sebagai berikut:
“Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan),
ialah bahwa al-Masih ibnu Maryam itu telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para
rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya),” Bahwa al
Masih dan al-Mahdi yang di janjikan dan di tunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan
Kami (Allah) melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau tergolong
orang-orang yang membuat kedustaan”. Allah berfirman lagi:
”Sesungguhnya,Kami(Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam”. Maka
Allah pun melimpahkan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah
yang sekecil-kecilnya”.
Pengakuan sebagai al-Mahdi dan sekaligus merupakan penjelmaan ‘Isa al-Masih yang
menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah
merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan
tersebut menggelisahkan umat islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai bid’ah
dan karenanya mereka di kucilkan dari komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar
dari Islam.
Dari kenyataan di atas, aliran yang baru lahir ini harus menghadapi gelombang
permusuhan yang dahsyat terutama dari intern ummat Muslim sendiri,disamping ia harus
menghadapi tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis Hindu.Terpisahnya
kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para
pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golongan Mirzais atau Qodianis, dan sudah
dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi satu kelompok aliran baru dalam Islam. Nama
“Ahmadiyah”, oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal 4 November
1900,dan sejak itulah nama aliran ini di masukkan dalam catatan resmi pemerintah colonial
Inggris,
B. Fase Menghadapi Ujian (1900-1908)
Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan
ide kemahdian dan mencapai cita-citanya,mulailah para pengikut aliran ini secara trang-terangan
di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai :nabi”dan menghormatinya seperti
layaknya seorang rasul Tuhan.Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah
seorang propagandisnya,Maulawi ‘Abd al-Karim menyatakan dalam khutbah Jum’atnya sebagai
berikut:
“Ketahuilah olehmu,bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-
Mau’ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan,dan tidak
mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW,maka kalian
tergolong orang -orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut
Ahmadiyah.”
Namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi sebagai yang didakwahkan oleh
mubalighnya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang banyak,
tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru dakwahnya. Adapun istilah “nabi”yang dimaksud
adalah an-Nabiyyun- Naqis atau an-Nabiyyul- Muhatddas. Tampaknya sikap seperti inilah yang
menjadi salah satu faktor penyebab terpecahnya aliran ini menjadi dua golongan, sesudah
pendirinya wafat.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam
Ahmad sesudah
tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa mirza dalam
beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan kerasulannya denagn menggunakan term
tersebut di atas.
Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai al-masih
dan al-mahdi yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya
melalui majalah bulanan berbahasa inggris seperti Review of religions from Qadian, sebagai
media yang dianggap banyak menarik orang-orang Barat dengan mendapat tantangan melalui
berbagai mass media. Memang yang menjadi misi kemahdiannya di berbagai negeri di Barat
adalah untuk meneruskan pandangan mereka yang keliru terhadap islam. Rencananya ini lebih
lanjut dikembangkan oleh pengikutnya sesudah wafatkemudian di tahun 1912 didfirikan misi
islam di inggris, sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922. Keinginan menyebarkan
ide kemahdiannya di Eropa ini, telah ia canangkan dalam karyanya Nurul Haq yang ditulis dua
tahun sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan.
Disamping keberhasilannya yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya
dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern ummat islam. Lahirnya
tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat
kontradikktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh umat islam yaitu masih adanya nabi
sesudah nabi Muhammad SAW. Apa pun argument yang dimajukannya, hal itu sulit diterima
oleh mayoritas umat islam . akibat perbedaan yang principal ini, lahirlah permusuhan dan
fitnahan, sehingga terjadi saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini
kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah
dengan muslim lain yang non-muslim.Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad ‘Ali
menggambarkan, bahwa kekerasan dan permusuhan yang dialamatkan kepada aliran yang baru
lahir itu, tampaknya mereka tidak mendapatkan pembelaan dari siapa pun. Mereka dikucilkan
melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah dan barang-barang
milik mereka, halal dirampas tanpa dituntut di pengadilan. Akan tetapi mereka tetap tabah dan
berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dari golongan islam, Hindu dan Kristen itu.
Setelah Mirza merasa sudah dekat ajalnya, ia menyerahkan tugas kemahdiannya kepada
penggantinya yang masih muda usianya, untuk menyebarkan kebenaran islam yang telah
didakwahkannya. Ia pada akhir April 1908, pergi ke lahore dan menjalin hubungan
persaudaraan antara orang-orang hindu dan islam. Ia menderita sakit diare yang kronis, dan pada
26 Mei 1908, ia menghembuskan nafas terakhirnya dan jenazahnya dimakamkan di Qadian.
Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwasannya Mirza Ghulam Ahmad adalah
seorang yang banyak menderita berbagai macam penyakit, sebagaimana yang diceritakan lewat
tulisan-tulisan Mirza sendiri dan para pengikutnya.
Dalam kegiatan dakwahnya, aliran Ahmadiyah ini tampaknya cukup mendapat sambutan
di kalangan masyarakat Kristen di Barat yang sedang dilanda oleh krisisi spiritual di satu pihak,
dan di pihak lain masyarakat barat yang telah memperoleh kemajuan berpikir dan tidak loyal lagi
terhadap Gereja, karena ajarannya yang Dogmatis dan sulit mereka cerna itu. Hal ini
mengingatkan kita pada keberhasilan aliran Baha’I di Eropa dan Amerika Serikat di bawah
pimpinan ‘Abbas Affandi yang menfokuskan kegiatan propagandanya di kalangan Kristen dan
Yahudi, sesudah aliran ini gagal mempengaruhi ummat islam.
C. Fase perpecahan dan Pengembangan (1908-1924)
Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya terbatas pada masa hidup pendirinya,
Mirza Ghulam Ahmad, sekalipun aliran ini hanya bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada
pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan “Khalifah”
sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nurrudin sampai wafatnya tahun 1914. Selama
itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di
kalangan umat islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada
saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang. Dimana
pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan
pemikiran kedua berkisar masalah pengkafiran terhadap sesama muslim.
Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian
Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memilih jangkauan luas, baik di kalangan Muslim
sendiri maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah satu factor penyebab
perpecahan dari dalam. Dan pada pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan deengan doktrin
Mahdiisme Ahmadiyah saja, Akan tetapi juga berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam.
Pemikiran kedua ini rupanya merupakan sebab utama perpecahan di kalangan Ahmadiyah,
terutam sesudah Maulawi Nurrudin wafat. Dalam kaitan ini, Maulana Muhammad ‘Ali
menjelaskan, bahwa golongan pertama mempertahankan keyakinannya yaitu : Barangsiapa yang
tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar namanya atau tidak,
apakah (Mirza ) sebagai muslim, atau Mujaddid. Atau sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang
dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari islam, kecuali mereka secara formal
telah membaiatnya. Golongan kedua berpendapat, bahwa setiap orang yang telah mengucapkan
dua kalimah syahadat, mereka adalah muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam
islam, dan tak seorang pun dari mereka keluar dari islam, kecuali jika ia mengingkari kerasulan
Nabi Muhammad. Adapun masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan
masalah yang dipertentangkan di antara kedua golongan tersebut.
Sejak munculnya dua pendapat yang controversial dari intern Ahmadiyah ini, maka
secara riilnya di tahun 1914, terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte. Pertama adalah sekte
Ahmadiyah Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain sebagai kafir, dan sekte ini
berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW. Sekte ini dipimpin oleh
Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak
hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati
dan dipatuhi seluruh ajarannya.
Adapun golongan kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan
Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini di kenal denagn
gerakan Ahmadiyah Indonesia (GIA). Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh
Maulawi Muhammad ‘Ali.an Syafi R. Batuah sebagai pengikut sekte Qadian berpendapat ,
bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bewrmula dari kegagalan Maulawi
Muhammad ‘Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia
dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore. Akan
tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah.
Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan,
akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte
tersebut sulit dipersatukan kembali. Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam
usaha mewujudkan cita-cita kemahd iannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen barat.
Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan,
menterjemahkan al-Quran dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing.
2.4 Pokok-pokok ajaran Ahmadiyah
1. Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya Nabi dan Rasul utusan Tuhan. Dia
mengaku dirinya menerima wahyu yang turunnya di India, kemudian wahyu-wahyu
itu dikumpulkan seluruhnya, sehingga merupakan sebuah kitab suci dan mereka beri
nama kitab suci Tadzkirah. Tadzkirah itu lebih besar dari pada kitab suci Al-Quran.
2. Mereka meyakini bahwa kitab suci Tadzkirah sama sucinya dengan kitab sici Al-
Quran karena sama-sama wahyu Tuhan.
3. Wahyu tetap turun sampai hari Kiamat begitu juga Nabi dan Rasul tetap diutus sampai
hari kiamat juga.
4. Mereka mempunyai tempat suci tersendiri yaitu Qadian dan Rabwah.
5. Mereka mempunyai surga sendiri yang letaknya di Qadian dan Rabwah dan sertivikat
kavling surga tersebut dijual kepala jamaahnya dengan harga yang sangat mahal.
6. Wanita Ahmadiyah haram nikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyah, tetapi lelaki
Ahmadiyah boleh kawin dengan perempuan yang bukan Ahmadiyah.
7. Tidak boleh bermakmum dengan (dibelakang) imam yang bukan Ahmadiyah.
8. Ahmadiyah mempunyai tanggal, bulan, dan tahun sendiri yaitu :
1) Suluh
2) Tabligh
3) Aman
4) Syahadah
5) Hijrah
6) Ikhsan
7) Wafa
8) Zuhur
9) Tabuk
10) Ikha
11) Nubuwah
12) Fatah
Sedangkan nama tahun mereka adalah Hijri Syamsyi (disingkat HS).
2.5 Perbandingan faham Ahmadiyah Qadiyani dengan Mayoritas umat islam
Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan masalah-masalah yang terkait agama dengan
perbandingan pandangan Ahmadiyah Qadiyani dengan mayoritas umat islam.
Dalam masalah Al-Mahdi Al-Masih,menurut pandangan Ahmadiyah Al-Qadaniyah Al
Masih yang dijanjikan kedatanganya bukanlah pribadi nabi Isa yang diutus kepada Bani Israil,
melainkan salah seorang umat Muhammad yang mempunyai persamaan dengan Isa al-Masih.
Dengan demikian tokoh itu pulalah yang disebut al-Mahdi. Jadi al-Masih dan al-Mahdi itu satu
pribadi.Tokoh yang diyakini sebagai Imam Mahdi sekaligus al-Masih itu adalah Mirza Ghulam
Ahmad. Sedangkan menurut Mayoritas Umat Islam meyakini bahwa Imam Mahdi dan Nabi Isa
adalah dua manusia yang berbeda. Imam Mahdi itu bukan Mirza Ghulam Ahmad karena dia
bukan keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW dan tidak pula sempat mehnjadi pemimpin di
wilayah Arab. Rasulullah bersabda: ”Dunia ini tidak akan berlalu sampai suatu masa akan
hadir di muka bumi ini keturunan dari keluargaku, yang namanya akan menggunakan namaku
dan memimpin wilayah jazirah Arab”.
Untuk masalah Kenabian (Nubuwwat) menurut Ahmadiyah Qadiyani, Visi dan misi
kenabian tidak pernah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, tetapi terus berlanjut
sehingga memungkinkan untuk menghadirkan kembali nabi-nabi yang lain pasca Muhammad.
Dalam hal ini menurut Ahmadiyah Qadiyani, kata “khatam” yang disematkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Sebagai Nabi penutup bukan bermakna “penutup atau terakhir” melainkan
“lebih mulia”. Adanya ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang khatam tersebut harus
dimaknai sebagai “lebih hebat dan mulia diantara nabi-nabi sebelumnya”, tetapi bukan berarti
kenabian telah selesai. Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi pasca Muhammad kendati sebatas
Nabi Zhilli Ghair al-Tsyri’ (Nabi Buruzi). Menurut mayoritas umat Islam Nabi Muhammad
SAW adalah Nabi penutup.
Untuk masalah wahyu Ahmadiyah Qodiani menilai keberadaan wahyu tidak hanya terbatas
sampai pada nabi Muhammad SAW, setelah nabi Muhammad meninggal wahyu Tuhan akan
masih tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir. Wahyu tidak hanya diperuntukan bagi para
nabi dan para Rasul saja, tetapi juga untuk manusia, binatang, dan bahkan benda mati. Wahyu
yang terputus sesudah Rosulullah adalah wahyu tasyri’ atau wahyu syariat, bukan wahyu mutlak,
dimana jenis wahyu terakhir itu tidak dikhususkan untuk nabi saja, akan tetapi diberikan juga
untuk selain mereka. Sedang menurut mayoritas umat islam wahyu terputus sejak wafatnya nabi
Muhammad SAW.
Masalah tentang khalifah, menurut Ahmadiyah Qadaniyah setelah Mirza Ghulam Ahmad
meninggal (1908), berdirilah khalifah dalam Jemaat Ahmadiyah yang kemudian dikenal dengan
sebutan khalifah Al-Masih. Doktrin kholifah Al Masih didasarkan pada wasiat Mirza Ghulam
Ahmad sendiri tentang harus adanya khalifah sepeninggal dia. Bagi Ahmadiyah Qadaniyah,
khalifah yang akan berfungsi menggantikan seorang nabi setelah beliau wafat dan sebelum
datangnya nabi berikutnya adalah khalifah. Dialah yang mewarisi tampuk pimpinan jemaat, dan
sekaligus mewarisi kesucian rohani sehingga akan menerima pula wahyu dari Allah. Sedang
menurut mayoritas umat islam khalifah adalah seseorang yang dijadikan pengganti dari yang lain
atau seseorang yang diberi wewenang untk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-
ketentuandari yang memberi wewenang. Sesudah Rasulullah SAW meninggal, para pengganti
beliau disebut khalifah, yakni sebagai kepala negara dan sekaligus pemimpin agama. Tetapi,
tidak mengganti kedudukan Rasulullah SAW sebagi penerima “wahyu”, kecuali hanya
pemimpin negara dan penggerak dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.
Tentang Jihad Ahmadiyah Qadiyani pada awalnya Ahmadiyani Qadiyani memahami bahwa
dalam jihad bisa terkandung makna qital (perang) yang disebut dengan jihad asghar. Akan
tetapi, sekarang ini (abad ke20), Ahmadiyah Qadiyani menganggap tidak ada lagi jihad asghar,
yang ada hanya jihad akbar dan jihad kabir, yang mana hal itu bisa dilakukan dengan pena atau
dengan lisan. Menurut mereka, untuk saat ini, jihad dalam bentuk perang sudah tidak sesuai lagi.
Dalam kaitannya dengan pemerintah, Ahmadiyah Qadiyani berpandang bahwa umat Islam harus
setia dan taat meski terhadap pemerintah penjajah, asal pemerintah itu tidak mengganggu
dakwahnya.Menurut mayoritas umat Islam Jihad tetap bisa dipahami bisa dalam bentuk jihad
akbar, kabir dan asghar. Tetapi mereka tidak sependapat kalau jihad identik dengan qital atau
perang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran Ahmadiyah adalah ajaran yang meyakini bahwa Rasulullah bukanlah nabi yang
terakhir, namun ada nabi lain setelah nabi Muhammad. Adalah Mirza Ghulam Ahmad, pendiri
aliran ini yang diyakini bagi kaum Ahmadiyah sebagai pengganti Rasulullah. Ajaran ini juga
meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas dari Isa al-Masih dan al-Mahdi. Selain
itu mereka menganggap bahwa Tuhan tidak berhenti menurunkan wahyu kepada nabi
Muhammad saja atau dari golongan Ahlu Baits (bangsa Arab). Mereka meyakini bahwa Tuhan
menurunkan wahyu kepada siapa saja dan tidak pilih-pilih. Keyakinan ini mereka jadikan prinsip
akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut.
Banyak ciri-ciri yang ada pada aliran ini, sehingga membuat aliran ini dianggap
mempunyai ajaran yang menyimpang. Antara lain yaitu Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya
Nabi dan Rasul utusan Tuhan. Dia mengaku dirinya menerima wahyu yang turunnya di India,
kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan seluruhnya, sehingga merupakan sebuah kitab suci dan
mereka beri nama kitab suci Tadzkirah. Tadzkirah itu lebih besar dari pada kitab suci Al-Quran
dan sama sucinya dengan Al-Quran. Mereka mempunyai tempat suci tersendiri yaitu Qadian dan
Rabwah. Mereka mempunyai surga sendiri yang letaknya di Qadian dan Rabwah dan sertivikat
kavling surga tersebut dijual kepala jamaahnya dengan harga yang sangat mahal. Wanita
Ahmadiyah haram nikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyah, tetapi lelaki Ahmadiyah boleh
kawin dengan perempuan yang bukan Ahmadiyah. Tidak boleh bermakmum dengan
(dibelakang) imam yang bukan Ahmadiyah. Ahmadiyah mempunyai tanggal, bulan, dan tahun
sendiri.