BAB I KERANGKA-KERANGKA ALIRAN ILMU KALAM · Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran 2 A....

119
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran 1 BAB I KERANGKA-KERANGKA ALIRAN ILMU KALAM

Transcript of BAB I KERANGKA-KERANGKA ALIRAN ILMU KALAM · Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran 2 A....

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

1

BAB I

KERANGKA-KERANGKA

ALIRAN ILMU KALAM

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

2

A. Aliran-aliran ilmu kalam

Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami

kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam

menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Perbedaan kesimpulan satu dengan kesimpulan

lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural.1

Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada dua pendapat diantaranya,

yaitu:

1. Ad-Dahlawi; Tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai

pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia

mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya

beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat

keputusan.

2. Umar Sulaiman Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu

terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek

perbedaan pendapat, yaitu:

a. Persoalan keyakinan (aqa’id),

b. Persoalan syariah, dan

c. Persoalan politik.2

Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam,

yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional.

Metode berfikir secara rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini.3

1. Hanya terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebutkan dalam Al-

Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada

arti lain, selain arti harfinya).

2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan

daya yang kuat kepada akal.

3. Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga harus

lebih ekstra keras berupaya untuk menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang

lain.

1.Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 31. 2.Umar Sulaiman Al-Asyaqar. Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat: Perpecahan, akar masalah, dan

solusinya, Terj. Abu Fahmi, Wacana Lazuardi Amanah. Jakarta. Hlm. 39-55 3.Yunan Yusuf. Corak pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas, Jakarta. 1990. Hlm. 16-17

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

3

Jadi dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran

ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yan lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-

batas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa.

Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh

mengandung arti lain selain dari arti harfinya).

2. Tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

3. Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Ada tiga berometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran,

yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan

atau kehendak mutlak Tuhan.

Ciri teologi rasional adalah:

1. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi, karena dalam memahami wahyu, aliran ini

cenderung menggambar arti majazi,

2. Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mapu berdiri sendiri

3. Keadilan Tuhan menurut pendapat ini, terlatak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang

mengatur perjalanan alam ini.

4. Mengatakan bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala.

5. Mengatakan sabda Tuhan atau kalam bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan

diciptakan Tuhan.

Adapun ciri teologi tradisional:

1. Akal mempunyai kedudukan yang rendah. Karena dalam memahami wahyu, aliran ini

cenderung mengambil arti lafzhi atau literal.

2. Manusia tidak bebas bergerak dan berkehendak.

3. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukanlah sunatullah.

Namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.

4. Teologi ini menganggap Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di

akhirat nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai

sifat-sifat tajassum atau antropomorphisme, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama

dengan sifat jasmani manusia.

5. Mengatakan bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.

Teologi liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan

jiwa dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya

berpegang pada arti harfi dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya

ia menggunakan logika, kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

4

Teologi liberal, selanjutnya dengan pembahasanya yang bersifat filosofis, sukar dapat

ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil, dengan uraiannya yang sederhana,

mudah dapat diterima oleh kaum awam.

Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah

Mu’tazilah. Oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang bersifat rasional dan

liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah

Asy’ariyyah.

Disamping pengatagorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengatagorian

akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.4

1. Aliran Antroposentris

Aliran anroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat

intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos. Baik yang

natural mayupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya.Manusia adalah anak

kosmos.Unsur supranatural dalam diri merupakan sumber kekuatannya.Tugas manusia adalah

melepaskan unsur-unsur natural yang jahat.Dengan demikian manusia harus mampu

menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan

naturalnya.Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia

karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang

semua hasrat dan keinginannya.Sementara ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktek-

praktek pertapaan dan konsep-konsep magis.Tujuan hidupnya bermaksud menyusun

kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.5

Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah

mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat dinamis

karena menganggap realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang

kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yan

menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan mana yamg jahat. Manusia yang

memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang

memilih kejahatan, ia akan memeroleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya,

manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. aliran

teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

2. Teolog Teosentris

4.Muhammad Fazlur Rahman Ansari. Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Juniarso Ridwan, dkk., Risalah,

Bandung. 1984. Hlm. 92 5.Ibid., hlm. 92

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

5

Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat transenden bersifat suprakosmos, personal

dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia dengan

segala kekuasaan-Nya- mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat

muncul pada masyarakat kosmos. Amnusai adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus

berkarya hanya untuk-Nya.Didalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah migran

abadi yang aka segera kembali kepada Tuhan.Untuk itu manusia harus mampu meningkatkan

keselarasan denagn realitas tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan

ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan

naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang

mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam

inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.6

Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan

mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan. Baginya

segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. ia tidak mempunyai pilihan lain,

kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak

yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam

keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat

dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus (neraka).

Aliran teosentris menganggap daya menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia

bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan.Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu

melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya ia

mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala ia ada daya yang datang kepadanya.

Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak

ada daya sama sekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam

kategori ini adalah Jabbariyah.

3. Aliran Konvergensi atau Sintesis

Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus

intrakosmos personal dan impersonal.Lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan

jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat-sifat lainnya yang dikotomik.Ibnu

Arabi menamakan sifat-sifat yang semacam ini dengan insijam al-azali (prestabilished

harmony).7

6. Ibid. Hal 56 7 .Lihat Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush Al-Hikam, Komentar A.R. Nicholson, Jilid II,

t.t, hlm. 22

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

6

Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjahatau cermin asma dan sifat-sifat

realitas mutlak itu.Bahkan, seluruh alam (kosmos), termasuk manusia, juga merupakan

cermin asma dan sifat-Nya yang beragam.Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan

sebagai pencipta pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali.

Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, sagala sesuatu iyu berada dalam

ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal.Sesuatu substansial, sesuatu

mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah dan eternal (qadim) karena merupakan gambaran Al-

Haq.Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan

dan relatif.Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law

(hukum alam) yang berlaku.

Aliran ini berkeyakinana bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama

antar daya yang transendental (Tuhan) dalam bentuk kebijaksanaan dan daya temporal

(manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam

proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memproses suatu

peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan

dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah

berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transendental

dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari

Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.

Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya

membuat pendulum agar selalu tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah antara

ekstrimitas. Dilihat dari sisi ni, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau lebih luas lagi

bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini

karena, baik manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan

sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya,

kemerdekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan determinisme

transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat

dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.

4. Aliran Nihilis

Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi.Aliran ini

pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos.Manusia

hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba

kebetulan.Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

7

melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk.Idealnya, manusia mempunyai

kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.8

Semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah

sama mempergunakan akal dalam menyelesailkan persoalan-persoalan teologi yang timbul di

kalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam

derajat kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal

mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya

yang lemah.

Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini, perbedaan yang terdapat

antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat al-

Qur’an dan Hadis.Perbedaan interpretasi inilah yang sebenarnya menimbulkan aliran-aliran

yang berlainan itu. Hal ini juga tidak obahnya sebagai hal yang terdapat dalah bidang hukum

Islam atau Fiqih. Disana juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab

seperti yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan

mazhab Hambali.

8Ibid., hlm. 92

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

8

BAB II

HUBUNGAN ILMU KALAM, FILSAFAT

DAN TASAWUF

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

9

A. Ilmu kalam

1. Pengertian Ilmu kalam

Secara harfiyah, ilmu kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Dalam lapangan

pemikiran islam, istilah kalam memiliki dua pengertian : pertama, sabda Allah ( The Word

of God ), dan kedua, ‘Ilm Al-kalam ( The science of kalam ).9

Dalam Al-Quran istilah kalam ini dapat ditemukan dala ayat-ayat yang berhubungan

dengan salah satu sifat Allah, yakni lafazh kalamullah.dalam surat An-Nisa Ayat 164 :

١٦٤وكلم هللا مو سى تكليما )النسا:

Artinya : “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.”( QS.An-Nisa ;164 ).

Menurut syaikh muhammad abduh(1849-1905) ilmu tauhid atau disebut ilmu

kalam,adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah tentang sifat-sifat yang wajib

tetap bagi-Nya.sifat sifat yang jaiz disifatkan kepadanya dan tentang sifat mustahi dari

pada-Nya.dan membahas tentang rosul Allah untuk memetapkan kebenaran

risalahnya,apa yang diwajibkan atas dirinya,hal yang jaiz yang dihubungkan/dinisbatkan

pada diri mereka dan hal yang terlarang / mustahil menghubungkannya kepada diri

mereka.

Sebutan kalam, juga dipertegas oleh Nurcholish Madjid, yang mengutip Ali Asy-

Syabi bahwa antara istilah mantiq dan kalam secara historis ada hubungan. Keduanya

memiliki kesamaan, lalu antara kaum Mutakallimun ( ahli ilmu kalam ) dan para filosof

mengganti istilah mantiq dengan kalam, karena keduanya memiliki makna harfiyah yang

sama.

Ilmu ini disebut dengan ilmu kalam, disebabkan persoalan yang terpenting yang

menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan hijriyah ialah apakah kalam Allah ( Al-

Quran ) itu qadim atau hadits. Dan dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh

dalil pikiran ini tampak jelas dalam pembicaraan para Mutakallimin.

Mereka jarang mempergunakan dalil naqli ( Al-Quran dan Hadits ), kecuali sesudah

menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil pikiran.

Ilmu kalam kadang disebut dengan ilmu tauhid ( mengenai keesaan Allah Swt) , ilmu

usluhuddin ( membahas tentang prinsip-prinsip agama islam ) dan ilmu akidah

atau aqo’id ( membicarakan tentang kepercayaan islam ).

9.Adeng Muchtar G, perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern (Bandung : pustaka

setia,2005),19.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

10

2. Sumber-sumber ilmu kalam

Sumber utama ilmu kalam ialah Al-Quran dan Al-Hadis yang menerangkan tentang

wujudnya Allah Swt,sifat-sifat-Nya,dan persoalan akidah islam lainnya. tidaklah tepat

kalau ilmu kalam itu merupakan ilmu ke-islaman yang murni, karena diantara

pembahasan-pembahasannya banyak yang berasal dari luar islam, sekurang-kurangnya

dalam metodenya. Tetapi juga tidak benar kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu timbul

dari filsafat yunani, sebab unsur-unsur lain juga ada. Yang benar ialah kalau dikatakan

bahwa ilmu kalam itu bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis yang perumusan-

perumusannya didorong oleh unsur-unsur dari dalam dan dari luar.

Salah satu Faktor timbulnya ilmu kalam karena kebutuhan para mutakallimin

terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi,pen ) musuh- musuhnya,

mendebat karena dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, mereka terpaksa

mempelajari filsafat yunani dalam mengambil manfaat ilmu logika, terutama dari segi ke-

Tuhanannya. Kita mengetahui An-Nazham ( tokoh mu’tazilah ,pen ) mempelajari filsafat

aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya.

Barang siapa yang mengatakan bahwa imu kalam itu ilmu ke-Islam-an yang murni,

yang tidak terpengaruh oleh filsafat dan agama-agama yang lain, hal itu tidaklah benar.

Tetapi orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari filsafat yunani

semata mata itu juga tidak benar. Karena islam menjadi dasarnya dan sumber-sumber

pembahasannya. Nash – nash agama banyak dijadikan dalil, disamping filsafat yunani,

tetapi kepribadian islam adalah menonjol. Ilmu kalam merupakan puncak dari filsafat

islam.

B. Tasawuf

1. Awal munculnya tasawuf

Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemukakan, yang pasti,

istilah sufi muncul sebelum tahun 200 H.

Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai

ungkapan. Tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha

mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik,

hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.10

Ada yang mengatakan tasawuf dari kata “shafa”, artinya suci, bersih, atau murni.

Karena dari segi niatnya maupun tujuannya setiap tindakan kaum sufi, dilakukan dengan

10.Jaiz, Hartono Ahmad, Kumpulan Buku Hartono ( Tasawuf Belitan Iblis) Buku digital ( Jakarta, 2005)

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

11

niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT. Ada juga yang

menyatakan bahwa ahl ash-shuffah adalah komunitas yang hidup pada masa Rasulullah,

dan senantiasa menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya U’lum Ad-Din menyebutkan, Tasawuf adalah budi pekerti.

Berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Hamba yang jiwanya

menerima (perintah) untuk beramal karena mereka melakukan suluk dengan petunjuk

islam, orang-orang zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan sebagian

akhlak, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya. Mereka

memiliki ciri khusus dalam aktivitas dan ibadah mereka, yaitu atas dasar kesucian hati dan

untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka

adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.

2. Tujuan Tasawuf

Tasawuf banyak diminati oleh para ulama sebagai jalan atau latihan untuk

mengembankan kesucian batin atau hati. Ada dua aliran besar yang berkembang dalam

dunia tasawuf, yaitu Tasawuf falsafi (Ulama yang meminati dunia filsafat, namun

melibatkan diri dalam tasawuf berada dalam aliran ini) dan Tasawuf Sunni (Ulama yang

tidak melibatkan diri pada dunia pemikiran filsafat).

3. Syari'at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak

Ada golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri

tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair,

tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharah dan kebersihan.

Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-

topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari

ulama.

Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu

batin, dan mereka menyebut ilmu syari'at sebagai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang

mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil, mereka

menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka memba-

yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mereka. Mereka itu berada

di antara kufur dan bid'ah.

Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri,

dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang

adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

12

ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat

mereka dengan berbagai macam bid'ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi

mereka.

4. Perintis tasawuf tak diketahui pasti

Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab

was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi

sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi'i ketika memasuki kota Mesir mengatakan,

"Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran

yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke

dalam Islam, berpura-pura telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan

assama' (nyanyian).

Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi'i adalah orang-orang sufi. Dan assama'

yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana

dimaklumi, Imam Syafi'i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi'i ini

mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum

zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi'i sering berbicara

tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:

Dia (Imam Syafi'i) juga pernah berkata: "Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama

40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya."

Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum

berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yang di kalangan ulama

Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan

mutashawwifah (kaum sufi).

Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi'i (767-820M), dan

pada mulanya berguru kepada Imam Syafi'i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan

menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip

orang. Di antaranya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa tentang

perkataan Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad

bin Hanbal berkata:"Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka

(duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)".

Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis Al-

Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis --menurut

mereka untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu

kita cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan daurah/penataran atau

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

13

halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri, atau

mengadakan apa yang mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu,

bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah

Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).

Pada umumnya ajaran tasawuf berdasarkan pada pandangan filsafat bahwa alam

adalah merupakan pancaran Tuhan dan puncak pancaran tersebut adalah manusia (filsafat

emanasi).

Kajian tasawuf dalam islam tidak berbentuk sekaligus,tetapi berkembang menembus

perjalanan waktu melewati fase-fase tertentu secara bertahap.

Periodesasi tasawuf islam :

1. Tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud, seseorang meninggal dunia menuju akhirat

serta secara teguh berusaha melakukan hal-hal yang bisa menjadi taat dan dekat

(kepada Allah). Seperti rabi’ah al-Adawiyyah sebagai tokoh kaum zuhud wanita.

2. Melakukan kajian teoritis. Pertama mereka melakukan berorientasi pada jiwa untuk

disingkap rahasia-rahasianya.mereka membicarakan tentang keasyikan,kerinduan,

takut dan harapan. Mereka mencari cinta ilahi dimana saja bisa ditemukan.

C. FILSAFAT

Filsafat berasal dari bahasa yunani philosophia. Yang berarti adalah

cinta philia kebijaksanaan ( sophia ). Menurut analisis, kata ini muncul dari mulut

phytagoras yang hidup diyunani kuno pada abad ke-6 sebelum masehi. Oleh karena itu,

orang yang mencintai kebijaksanaan disebut sebagai philosophos atau filsuf. Orang yang

mencintai kebijaksanaan bukanlah orang yang sudah memiliki kebijaksanaan, melainkan

orang yang terus berupaya mencari kebijaksanaan. Menurut plato filsafat tidaklah lain dari

pada pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles kewajiban filsafat adalah

menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu yang

umum.11

Berbicara dengan berpikir sesungguhnya erat kaitannya dengan penggunaan sebuah

potensi terpenting yang dianugerahkan Allah SWT. Kepada satu-satunya makhluk yang

disebut manusia. Potensi terpenting yang dimaksud di sini adalah akal.

Dalam Al-Quran, kata “akal” (al’aqlu) diungkapkan dalam kata kerja (fi’il) yang

mengandung arti memahami dan mengerti. Seyogianya kita dapat mengoptimalisasi

potensi akal tersebut adalah dengan mempelajari salah satu bidang ilmu yang memang

11.Zuhaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2008)

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

14

banyak melibatkan akal sebagai alat untuk berpikir, yaitu filsafat. Kajian filsafat pun

sebetulnya bertujuan menemukan kebenaran yang sebenarnya. Dan hubungan antara

filsafat dengan ilmu pengetahuan menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha

menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan.

Keduanya menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang

tidak memihak, untuk mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk

mendapatkan pengetahuan yang teratur. Adapun titik temu antara agama dan filsafat

adalah keduanya pada dasarnya mempunyai kesamaan, yaitu memiliki tujuan yang sama,

yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud adalah agama samawi,

yaitu agama yang diwahyukan oleh Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dibalik

persamaan itu terdapat perbedaan pula. Dalam agama, ada hal-hal yang penting, misalnya

Tuhan, kebijakan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lainnya. yang juga diselidiki oleh

filsafat karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada, karena objek

penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada.

Alasan filsafat menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan

penyelidikan, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu,

tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan

penyelidikannya atas wahyu. Lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin

sama, tetapi dasarnya amat berlainan.

Filsafat pada dasarnya adalah perenungan yang mendalam mengenai sesuatu yanng

dianggap atau dinilai bermanfaat bagi kehidupan manusia.12

Menurut Titus, Smith dan Novland tentang definisi filsafat berdasarkan watak dan

fungsi adalah :

1. Informal : Sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang

biasanya diterima secara tidak kritis.

2. Formal : Suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang

sangat kita junjung tinggi.

3. Spekulatif : Usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, artinya filsafat

berusaha untuk mengkombinasikan bermacam-macam sains dan pengalaman

kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam.

12.Nina W. Syam, Filsafat sebagai akar ilmu komunikasi ( Bandung : Simiosa Rekatama Media, 2010), 79

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

15

Prinsip-prinsip berfilsafat :

1. Meniadakan kecongkakan maha tahu sendiri.

2. Perlu sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran.

3. Memahami secara sungguh sungguh persoalan-persoalan filsafat serta berusaha

memikirkan jawabannya.

4. Latihan intelektual itu dilakukan secara aktif dari waktu ke waktu dan diungkapkan ,

baik secara lisan maupun tulisan.

5. Sikap keterbukaan diri. (Nina W: 2010 )

D. HUBUNGAN ILMU KALAM, FILSAFAT DAN TASAWUF.

1. Persamaan

Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian

ilmu kalam adalah ke-Tuhanan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek

kajian filsafat adalah masalah ke-Tuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala

sesuatu yang ada.

Sedangkan objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-

Nya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan

dengan ke-Tuhanan.

Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu

kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan

dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha

menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia ( yang belum atau tidak

dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada diluar atau diatas jangkauannya ),

atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf- juga dengan metodenya yang tipikal –

berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju

Tuhan.

2. Titik perbedaan

Perbedaannya terletak pada aspek metodeloginya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang

menggunakan logika disamping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk

mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya.

Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika ( dialog keagamaan ). Berisi

keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen

rasional.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

16

Dan dari segi tempat berpijak, Ilmu kalam berpijak pada wahyu dan kesadaran

adanya Tuhan. Dari segi pembinaan, ilmu kalam timbulnya berangsur-angsur dan dimulai

dari beberapa persoalan yang terpisah-pisah, akhirnya tumbuh aliran-aliran ilmu kalam.

Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh

kebenaran rasional. Dan metode yang digunakan adalah rasional. Filsafat menghampiri

kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar), intelegral (

menyeluruh ) dan universal (mengalam), tidak terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh

ikatan tangan nya sendiri yang bernama logika. Dan berpijak dari akal pikiran dan

kesadaran akan wujud diri sendiri.

Dari segi pembinaannya, filsafat sejak semula sudah tumbuh diyunani dalam

keadaan utuh dan lengkap, sehingga ketika diterima kaum muslim tinggal memberi

penjelasan-penjelasan dan mempertemukannya dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.

Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang di hasilkan oleh kerja logika maka didalam

filsafat dikenal apa yang disebut:

a. kebenaran korespondensi (persesuaian antara apa yang ada dalam rasio dengan

kenyataan kebenaran yang ada dialam nyata).

b. filsafat koherensi (kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan

yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap

tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama

umum).

c. Kebenaran pragmatik (sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mengkin dapat dikerjakan

(workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu dianggap tidak benar jika

tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk dikerjakan).

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menekankan rasa dari pada rasio. Sebagian pakar

mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang

datang dari Tuhan. Kebenaran ini disebut sebagai hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang

objeknya datang dari subjek sendiri. Dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui

bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.

Ilmu kalam (teologi) perkembangannya menjadi teologi rasional dan teologi

tradisional. Dengan prinsip teologi rasional yakni hanya terikat pada dogma-dogma yang

jelas dan tegas dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, dan memberikan kebebasan kepada

manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

Prinsip tradisional adalah terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

17

selain arti harfiyah, tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan

berkehendak dan memberikan daya yang kecil pada akal.

Perbedaan metode ilmu kalam dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya :

1. Filsafat islam

Filsafat yunani telah menarik perhatian kaum muslimin, terutama sesudah ada

terjemahan buku-buku filsafat yunani kedalam bahasa arab sejak zaman khalifah al-

Mansur ( 754-775 M) dalam mencapai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833 M)

dari khalifah bani Abbasiyah. Antara ilmu kalam dan filsafat islam ada perbedaan cara

pembinaannya.

Ilmu kalam timbul secara berangsur-angsur dan mula-mula hanya berupa hal yang

terpisah. Tetapi filsafat ini seakan-akan serentak. Sebab bahan-bahannya diperoleh dari

yunani dan sebagaimana dalam keadaan sudah lengkap atau hampir lengkap. Mereka ahli-

ahli filsafat itu tinggal mempertemukan dengan ajaran-ajaran islam. Filsafat islam

memasuki seluruh ilmu-ilmu keislam dimana ilmu kalam adalah merupakan puncak

kepribadiannya.

2. Tasawuf

Ilmu kalam itu berlandasan nash-nash agama, dipertemukan dalil-dalil pikiran

dalam membahas akidah dan ibadah merupakan amal badaniyah yang diupayakan dapat

menetap kedalam hati nurani, sehingga bisa membentuk jiwa beragama. Tasawuf lebih

banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan latihan kejiwaan (riyadlah) dengan

memperbanyak amal ibadah. Kekuasaan bani abbasiyah yang telah mulai mantap pada

abad ke-2 H, dengan kekayaan negara yang berlimpah, menyebabkan sebagai khalifah dan

keluarhanya hidup berfoya-foya, banyak melanggar syara’ dan sebagainya. Keadaan

inilah yang mendorong pesatnya gerakan sufi. (Sahilun : 2012)

3. Hubungan Ilmu Kalam dengan Filafat

Filsafat yunani menarik sekali perhatian kaum muslimim, sejak zaman Khalifah Al-

Mansur (754-755 M) dan mencapai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833 M) dari

khalifah Abbasiyah. Ilmu rektorika, ilmu tentang cara berdebat atau adabul bahtsi wal

munadharoh sebagai bagian dari filsafat yunani mendapat perhatian tersendiri dari kaum

muslim, sebagai suatu yang membicarakan tentang cara berdebat. Karena ilmu kalam

bercorak filsafat yang menunjukkan ada pengaruh pikiran-pikiran dan metode filsafat,

sehingga banyak diantara para penulis menggolongkan ilmu kalam kepada filsafat.

Sebagai contoh Ibnu Khaldun ( Wafat 808 H/ 1406 M) mengatakan bahwa persoalan-

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

18

persoalan ilmu kalam sudah bercampur dengan persoalan-persoalan filsafat, sehingga

sukar dibedakan satu dengan lainnya.

demikian pula penulis barat Tenneman atau H. Ritter memasukkan mutakallimin ke dalam

filosof Islam.

4. Hubungan Filsafat dan Tasawuf

Keduannya sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia memahami

keberadaan Allah, sehingga bersedia melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.

Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat

mengantarkan manusia pada kesempurnaan jiwa.

Dan dapat disimpulkan bahwa, filsafat lebih bersifat teoritis, sementara tasawuf

lebih bersifat praktis. Artinya, antara filsafat islam dan tasawuf sama-sama berupaya

untuk mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah. Filsafat sebagai sarana

teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis

inilah yang menjadi wilayah tasawuf. Jadi, tujuan belajar filsafat islam adalah mencapai

wilayah tasawuf.13

5. Hubungan ilmu Tasawuf dengan ilmu Kalam

Kajian ilmu kalam akan lebih terasa maknanya jika diisi dengan ilmu

tasawuf. Sebaliknya, ilmu kalam pun dapat berfungsi sebagai pengendali tasawuf. Jika

ada teori-teori dalam ilmu tasawuf yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam tentang

Tuhan yang didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis, hal ini mesti dibetulkan. Demikian

terlihat hubungan timbal balik di antara ilmu tasawuf dan ilmu kalam.

13 Rozak, Filsafat Tasawuf, 57.

.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

19

BAB III

KHAWARIJ DAN MURJI’AH

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

20

A. Latar belakang kemunculan khawarij dan murji’ah

Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa arab kharaja yang berarti keluar,

muncul, timbul, atau memberontak.14 Berkenaan dengan pengertian etimologis ini,

Syahrastani menyebut orang yang memberontak imam yang sah disebut sebagai

khowarij.15 Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang

memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat islam.16

Adapun yang di maksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu

sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena

tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbitrase/tahkim dalam perang siffin pada tahun 37

H/648 M dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal

persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya

berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at

mayoritas umat islam, sementara Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena

memberontak kepada khalifah yang sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali

hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya

licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.

Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah

sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan pengikutnya seperti

Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan

sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan

peperangan.

Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas

sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka

beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka

mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan

perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya

sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali

sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa

14 .Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al Baghdadi, Al- Farq bain, Al Azhar, Mesir

15 .Abi Al Fath Muhammad Abd Al Karim bin Abi Bakar As Syahrastani Al Milal Wan Nihal, Dar Al Fikr

16. Ali Musthafa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah Wa Nasy’atu IlmiAl kalami ‘Inda Al Muslimin.

maktabah Wa mathbaah Muhammad ali Shabih Wa Auladuhu, Haihan al Azhar, mesir ,1958, hlm 264

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

21

kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi

Allah”. Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan

keliru”.Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju

Hurura.

Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok

khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat

seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.17

B. Doktorin-doktorin pokok khawarij

Doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh kaum khawarij dapat dikategorikan menjadi

tiga kategori yaitu: doktrin politik, teologi, dan sosial.

1. Doktrin politik

Melihat pengertian politik secara praktis-yakni kemahiran bernegara, atau kemahiran

berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar

belakang , motivasi, dan hasrat mengapa manusia ingin memperoleh kekuasaan. Khawarij

dapat dikatakan sebagai sebuah partai politik.

Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral Khawarij yang timbul sebagai reaksi

terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin negara, karena ia

adalah seorang tulaqa (bekas kaum musyrikin di Mekkah yang dinyatakan bebas pada hari

jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin).

Kebencian itu bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.

Mereka menolak untuk dipimpin orang yang di anggap tidak pantas. Jalan pintas yang

ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahakannya menjadi

khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka

Doktrin-doktrin dari segi politik yang dikembangkan oleh khawarij:

1. Khalifah atau imam harus di pilih secara bebas oleh seluruh umat islam.

2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang

muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.

3. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan

menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan di bunuh kalau melakukan

kezaliman

17 Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947,

hlm. 109.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

22

4. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa

kekhalifahannya, Utsman ra. Di anggap telah menyeleweng.Khalifah Ali adalah sah

tetapi setelah tahkim, ia di anggaptelah menyeleweng.Muawiyah dan Amr bin Ash

serta Abu Musa Al Asy’ari juga di anggap menyeleweng dan teleh menjadi kafir,

5. Pasukan perang Jamal yag melewati Ali juga kafir.18

2. Doktrin teologi

Selain itu juga dibuat pula doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada

poin di bawah berikut. Akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, khawarij harus

menanggung akibatnya. Mereka selalu dikejar-kejar dan di tumpas oleh pemerintah.

Kemudian perkembangannya, sebagaimana dituturkan Harun Nasution, kelompok ini

sebagian besar sudah musah. Sisa-sisanya terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia

Selatan.19

Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung dari

doktrin sentralnya, yakni doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya

mereka yang juga radikal serta asal-usul mereka yang berasal ari masyarakat badawi dan

pengembara padang pasir tandus. Hal itu menyebabkan watak dan pola pikirnya menjadi

keras, berani, tidak bergantung pada orang lain, dan bebas.

Namun, ,ereka fanatik dalam menjalankan agama. Sifat fanatik itu biasanya mendorong

seseorang berfikir simplistis, berpengetahuan sederhana, melihat pesan berdasarkan motivasi

pribadi, dan bukan berdasarkan pada data dan konsitensi logis, bersandar lebih banyak pada

sumber pesan ( wadah) daripada isi pesan, mencari informasi tentang kepercayaan orang lain

dari seumber kelompoknya dan bukan dari sumber kepercayaan orang lain, mempertahankan

secara kaku sistem kepercayaannya, dan menolak, mengabaikan, dan mendistorsi pesan yang

tidak konsisten dengan sistem kepercayaannya. Orang-orang yang mempunyai prinsip

khawarij ini menggunakan kekerasan dalm menyalukan aspirasinya. Sejarah mencatat bahwa

kekerasan pernah memegang peran penting. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung

dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam

darul harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri di anggap darul islam ( negara

islam).

18 Ibid, hlm.51 19 Ibid, hlm.53

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

23

Doktrin-doktrin dari segi teologi yang dikembangkan oleh khawarij:

1. Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus di bunuh, yang

sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat

menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah di anggap kafir

dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapakan pula.

2. Seseorang harus menghindari pimpinan yang menyeleweng.

3. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang

jahat masuk ke dalam neraka). 20

3. Doktrin teologis sosial

Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yakni kategori sebagai doktrin teologis sosial.

Doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok khawarij sehingga sebagian pengamat

menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin mu’tazilah, meskipun kebenarannya

adalah doktrin ini dalam wacana kelompok khawarij patut dikaji mendalam.

Dapat di asumsikan bahwa orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama,

sebagaimana dilakukan kelompok Khawarij, cenderung berwatak tekstualis/skripturalis

sehingga menjadi fundamentalis. Kesan skriptualis dan fundamentalis itu tidak nampak pada

doktrin-doktrin khawarij pada poindi bawah berikut.

Namun, bila doktrin teologis-sosial ini benar-benar merupakan doktrin khawarij, dapat

diprediksikan bahwa kelmpok khawarij pada dasarnya merupakan orang-orang baik. Hanya

saja, keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya

dikucilkan dan di abaikan penguasa, di tambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah

menjadikan mereka bersikap ekstrim.21

Doktrin-doktrin dari segi teologi sosial yang dikembangkan oleh khawarij:

a. Amar ma’ruf nahi mungkar

b. Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar).

c. Al Qur’an adalah makhluk

d. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan

4. Perkembangan Aliran Khawarij Pada saat ini

Secara formal, Khawarij sudah tidak ada, tetapi secara substansi paradigma

pemikiran dan ciri-ciri alirannya masih hidup dan berkembang hingga sekarang. Pada masa

sekarang, pemberontakan bersenjata dan praktik mengafirkan orang Islam telah terjadi di

wilayah Arab bagian timur laut pada peralihan abad ke-19 seperti yang ditulis oleh para

20 Ibid.hlm.51-52 21.Ibid.hlm.54

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

24

cendekiawan Islam: Istilah Khawarij berlaku bagi kelompok yang bersimpang jalan dengan

orang-orang Islam dan menganggap mereka sebagai orang-orang kafir, seperti yang terjadi

pada zaman sekarang ini dengan para pengikut Ibn ‘Abd al-Wahhâb yang muncul di Najd dan

menyerang dua tempat suci umat Islam.

Belakangan ini, beberapa ulama mengritik aliran Wahabi atau “salafî” sebagai

kelompok yang secara politik tidak benar. Praktik mengafirkan menjadi ciri utama yang bisa

dikenali dari kelompok neo-Khawarij pada masa modern ini. Mereka kelompok yang senang

menghantam orang-orang Islam dengan tudingan kafir, bidah, syirik, dan haram, tanpa bukti

atau pembenaran selain dari hawa nafsu mereka sendiri, dan tanpa memberikan solusi selain

dari sikap tertutup dan kekerasan terhadap siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka.

Mereka sama sekali tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap orang-orang

yang mereka tuduh kafir, sehingga mereka benar-benar telah meremehkan kesucian jiwa dan

kehormatan saudara-saudara mereka sendiri. Imam al-Nawawî berkata, “Orang-orang ekstrem

merupakan kelompok fanatik yang sudah melampaui batas, dalam ucapan maupun

perbuatan,” dan “keras pendirian.” Melakukan praktik takfîr terhadap sesama muslim

merupakan ciri kelompok Khawarij, entah mereka menyebut diri sebagai kelompok “salafi”,

Syiah, atau sufi.

Mereka mencampuradukkan berbagai hal menurut selera mereka, asalkan sesuai dengan

kepentingan mereka. Bahkan, mereka tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman

sedikit pun, dan mereka menggunakan ayat-ayat Al-quran mengenai orang-orang kafir keluar

dari konteksnya, dan menerapkannya kepada orang-orang Islam. Seperti yang disebutkan

sebelumnya, orang-orang Khawarij tidak terbatas pada masa tertentu, tetapi merupakan

karakter yang melekat pada kelompok atau orang yang keluar dari batas-batas agama, dengan

menuduh orang Islam sebagai kafir.

Inilah metode yang dikembangkan oleh kelompok Khawarij, dulu dan kini, dan

kemunculan anak-anak muda Khawarij yang menyesatkan itu telah disinggung 1400 tahun

yang lalu oleh Nabi Muhammad SAW. Kelompok Khawarij dewasa ini terdiri dari para

pengikut aliran Wahabi atau “Salafi”. Mereka sangat aktif menyebarluaskan kepalsuan ajaran

mereka dengan propaganda besar-besaran, melalui ceramah di masjid, internet, televisi, atau

penyebarluasan video, koran, buku, majalah, dan brosur. Sementara itu, mereka menekan dan

menyembunyikan kebenaran ajaran-ajaran Islam klasik yang menjadi arus utama umat Islam,

dan berkomplot untuk membungkam siapa pun yang menentang sikap ekstrem mereka.

C. latar belakang Asal-Usul Kemunculan Aliran Murji’ah

Asal-usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

25

1. Permasalahan Politik

Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas

usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah.Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu,

yang pro dan kontra. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an,

dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka

berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi

kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum

khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik

menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada

Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan

golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.

Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap

netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang

bertentangan ini.Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang

yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak

mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang

berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.

Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin

persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan

menghindari sekatrianisme.

2. Permasalahan Ke-Tuhanan

Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan

ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak

mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij

menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan

hukum mukmin.Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar

oleh kaum Khawarij ditentangsekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang

mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya

diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak. Aliran Murji’ah

menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di

hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

26

Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmindi

hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui

bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain

bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat

syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih tetap

mukmin, bukan kafir.

Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kataMurji’ah itu sendiri yang berasal

dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan

pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di

tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan

jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam

surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau

amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan,

dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang

melakukan dosa di hadapan Tuhan.

Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang

diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap

orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena

mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka

memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga. Golongan Murji’ah

berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan

kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir,

kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada

Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.

Nama murji’ah di ambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,

penangguhan, dan pengharapan.Yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk

memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di

belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena

itu murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa,

yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.

3. Doktrin-Doktrin aliran Murji’ah

Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau

nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok

murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sehingga membuat

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

27

murji’ah selalu diam dalam persoalan politik. Adapun di bidang teologi, doktrin irja

dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul pada

saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang di tanggapinya menjadi

semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-

Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, hukuman atas dosa (punishment of sins),

ada yang kafir (infidel) dikalangan generasi awal islam, tobat (redress of wrongs).

Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery watt merincinya sebagai

berikut ;

a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di

akhirat kelak.

b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-khalifah Ar-

Rasyidun.

c. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh

ampunan dan rahmat dari Allah.

d. Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptic dan empiris

dari kalangan Helenis.

Masih berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat

ajaran pokoknya, yaitu ;

1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary

yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.

2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.

3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.

4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh

ampunan dan rahmat dari Allah.

Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah,

yaitu

Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan

tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap di

anggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang di fardhukan dan melakukan dosa

besar. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat

tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan

pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam

keadaan akidah tauhid.22

22 Rozak, Abdul, 2006. Ilmu Kalam ,Bandung : CV.Pustaka Setia.hal: 56-61.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

28

4. Sekte-Sekte aliran Murji’ah

Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan murji’ah menjadi dua sekte, yaitu

golongan moderat dan golongan ekstrim.nMurji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa

besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka di siksa sebesar

dosanya, dan bila di ampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali.

Harun nasution menyebutkan bahwa subsekte murji’ah yang ekstrim adalah yang

berpandangan bahwa keimanan terletak didalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak

selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan

perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau

merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.

Adapun yang bergolongan ekstrim adalah Al-jahmiyah, Ash- Shalihiyah, Al-

Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Hasaniyah. Pandangan kelompok ini dapat di jelaskan seperti

berikut ;

a. AL-Jahmiyah, kelompok jahm bin shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa

orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan,

tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada

bagian lain dalam tubuh manusia.

b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah

mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan

ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti

mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan

sekedar menggambarkan kepatuhan.

c. Yunusiyah dan ubaidiyah melontarkan pertanyaan bahwa melakukan maksiat atau

perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan

perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.

Dalam hal ini, muqatil bin sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau

sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (polytheist)

d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “ saya tahu Tuhan melarang

makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, “

maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan

“saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah

di india atau di tempat lain.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

29

BAB IV

JABARIYAH DAN QODARIYAH

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

30

A. Jabariyah

1. Latar Belakang kemunculan Jabariah

Kata jabariah berasal dari kata jabara yang bearti “memaksa”. Didalam Al-munjid

dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengadung arti memaksa dan

mengharuskan melakukan sesuatu.23 Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabar (dalam

bentuk mubalaghah),artinya Allah maha memaksa. Ungkapan Al-insan majbur (bentuk isim

maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya kata jabarah

(bentuk pertama), Setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), artinya

adalah suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut asy-syahratsany menegaskan bahwa

paham al-jabr bearti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan

menyandarkannya kepada Allah SWT.24

Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatanya dalam keadaan terpaksa. Dalam

bahasa inggris, jabriyah disebut fatalism atau free destination, yaitu paham bahwa perbuatan

manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadhar tuhan. Untuk mengetahui lebih

lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariah, tampaknya perlu

dijelskan siapa sebenarnya yang melahirkan dan menyebar luaskan al-jabar serta dalam situasi

apa paham ini muncul.

Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) yang

kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari Kahurasan. Dlam sejarah teologi

islam, Jahm tercatat sebagai took yang mendirikan aliran Jamiah dalam kalangan Murjiah. Iya

duduk sebagai sekretaris Syuraih bin Alharis dan menemaninya dalam gerakan melawan

kekuasaan bani umayyah.

Dalam perkembanganya, paham ajabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh

diatas. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam mengembagkan paham ini,

diantaranya adalah Al-husain bin Muhammad An-najjar dan ja’d Dirar.

Mengenai kemunculan paham al-jabar para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui

pendekaatan geokurtural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud Ahmad Amin. Dia

menggambarkan kehidupan bangsa arab yang dikungkungboleh gurun pasir sahara yang

23 L. Mal’uf , Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-‘Alam,Dar Al-Masyriq,Beirut, 1998, hlm 78. 24 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, hlm.85.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

31

memberikan ipengaruh besar kedalam cr hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam

sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam.

Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat

arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai denagn

keinginannya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi kesukaran-

kesukaran hidup. akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini

membawa mereka pada sikap fatalism.25

Sebenarnya, benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas.

Benih-benih itu terlihat dalam sejarah berikut ini.

a. Suatu ketika, nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir

Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar

dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.

b. Khalifah Umar Bin khatab pernah menangkap seseorangi yang pernah mencuri. Ketika

diinterogasi, pencuri itu berkata “tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar

ucupan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan.

Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman pada pencuri itu. Pertama,

hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena mengunakan dalil

takdir Tuhan.

c. Khalifah Ali Bin Thalib sesuai Perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar

(ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya

“apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan,

tidak ada pahala sebagai balasannnya, “kemudian Ali menjelaskan bahwa qadhar dan

qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan

amal perbatan manusia. Ali selanjutnya mjelaska, sekiranya qhadar dan qadar merupakan

paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah maksa janji dan ancaman Tuhan, serta

tidak ada celaan Allah atas perlaku dosa dan ujiannya bagi orang-orang yang baik.

d. Pada pemerintah daulah bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat

kepermukaan. Abdullah Bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada

pendudukan Syiriah yang diduga berpaham “Jabariah”.

Paparan diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode

islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan

25 Nasution, loc. Cit.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

32

dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yaitu oleh

kedua tokoh yang telah disebutkan.26

Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariah dalam islam, ada teori yang mengatakan

kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi

bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Akan tetapi tanpa pengaruh-

pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan umat islam.

2. Para pemuka dan doktrin-doktrin pokok jabariah

Menurut Asyi-syahrastani, Jabariah ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu

ekstrem dan moderat. Diantara doktrin Jabariah ekstrem adalah pendapatnya bahwa segala

perbuaatan manusia bukan merupakan perbuatan yangbtimbul dari kemauannya melainkan

perbuatan yang dipaksa atas dirinya. Misalnya kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri

itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang

menghendaki demikian. Diantaranya pemuka Jabariah ekstrem adalah sebagai berikut.

a. Jahm Bin Shafwan

Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Kehurasan,

bertempat tinggal di Kufah. Ia seorang dai yang passih dn lincah (orator). Ia duduk sebagai

sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di

Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada hubungannya dengan

Agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariah, banyak usaha yang

dilakukan Jahm, antara antara lain menyebarka doktrinnya keberbagai tempat, seperti ke

Tirmiz dan Balk.

Diantara pendapat-pendapat Jahm beraitan dengan persoalan teologi adalah sebagai

berikut.27

1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak

mempunyai keehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tetang

keterpaksaan lebih terkenal dibandigkan pendapatnya tentang surga dan neraka,

konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu asifat), dan meliht Tuhan

diakhirat.

2. Surga dan neraka tidak kekal tidak ada yang kekal selain Tuhan.

26 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.37

27 Nasution, Op. Cit, hlm. 34.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

33

3. Iman adalah makripat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya

sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.

4. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala sifat dan keserupaan

dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak

dapat dilihat dengan indra mata diakhirat kelak.

Dengan demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat serupa dengan Murji’ah,

Mu’tajilah, dan Asy’ariah sehingga para mengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-

Mu’tajili, Al-murji’I dan Asy’ari.

b. Ja’d bin Dirham

Al-ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damakus. Ia dibesarkan

didalam lingkungan orang Kristen yang senang membicaraka teologi semula ia dipercaya

untuk mengajar dilingkungan Bani Umayyah, tetapi setelah pikiran-pikiran kontrol persial

terlihat, Bani Umayyah menolaknya sehing ia harus lari ke Kufah dan bertemu dengan Jahm

yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk mengembangkan dan

disebar luaskan.

Doktrin pokok ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm Al-Ghauraby menjelaskannya

sebagai berikut:

1. Al-quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang tidak dapat

ditafsirkan kepada Allah.

2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat,

dan mendengar.

3. Manusia terpaksa oleh Allah daan segala-galanya.

Berbeda dengan Jabariah ekstrem moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan

perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai

bagiaan didalamnya. Tenaga yang diciptaakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk

mewujudkan perbuatanya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (Acquistion). Menurut paham

kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Tuhan, tidak seperti wayang yang terkendali

ditangan dalam dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh

perbuatan yang diciptakan Tuhan.

Tokoh yang termasuk dalam Jabariah moderat sebagai berikut.

a. Al-najjar

Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-najjar (wafat 230 H). para

pengikutnya An-najjariah atau Al-husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah:

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

34

1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian

atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab

dalam teori Al-Asy’ari.28 Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-najjar.

Tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang. Sebab, tenaga

yang diciptakan Tuhan, dalam manusia mempunyai efek untuk mewujudkan

perbuatan-perbuatannya.

2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi, An-najjar menyatakan bahwa Tuhan

dapat memindahkan potensi hati (makripat) pada mata sehingga manusia dapat

melihat Tuhan.

b. Adh-Dhirar

Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia

sama dengan Husein An-najjar, yaitu bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang

digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya, dan tidak

semata-mata dipaksa daalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan satu

perbuatan dapat Ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia

tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan

dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Mengenai ru’yat Tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat

dikhirat melalui “indra ke-6” ia juga berpendapat bahwa hudjjah yang dapat diterima setelah

Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

B. Qadariah

1. Latar Belakang Kemunculan Qadariah

Qadariah berasal dari bahasa arab qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.29

Menurut pengertian terminology, Qadariah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan

manusia tidak diintervensi tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah

pencipta bagi segala perbuatannya ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas

kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariah

digunakan untuk nama aliran yang member penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia

dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution turut

menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai

28 Asy-Syahrastani, Op. Cit. hlm.89. 29 Luwis Ma’luf Al-Yusuf’i , Al-Munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut , 1945, hlm 346

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

35

qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian

bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Seharusnya, sebutan Qadariah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar

telah menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan

tersebut telah melekat pada aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan

berkehendak. Demikianlah pemahaman kaum sunni pada umumnya. Menurut Ahmad Amin,

sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk

pada hadist yang membuat negatif nama Qadariah. Yang artinya: Kaum Qadariah adalah

majusinya umat ini.

Kapan Qadariah muncul dan siapa tokoh-tokohnya merupakan dua tema yang masih

diperdebatka. Ahmad Amin, ada para ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariah pertama

dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani (w.80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah

seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al Bisri. Sementara

Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Ustman bin

Affan.

Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syart Al-uyun, seperti dikutip Ahmad Amin (1886-1954

M), memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham Qadariah adalah

orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali ke agama

Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham ini. Orang Irak yang

dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari

Al-Auzal adalah Susan.30

Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Helimut

Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der islam pada tahun 1933.

Artikel ini menjelaskan paham Qadariah yang terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk

khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728)

adalah seorang anak pada tahun 657 pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir dan

tinggal disana sampai akhir hayatnya.

Apakah Hasan Al-Basri orang Qadariah atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan.

Akan tetapi, yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia

percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin

bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.

Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qadariah

yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Apabila dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi

30 Al-Bagdadi, Al-Fark Bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo, hlm .18.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

36

dalam Mizan Al-i’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin tang menyatakan bahwa Ma’bad Al-

Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Basri. Jadi sangat mungkin paham Qadariah ini

mula-mula dikembangkan Hasan Al-Basri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh

Ibn Nabatah dalam Syarh Al-Uyun yang mengatakan bahwa paham Qadariah berasal dari

orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian kembali ke Kristen, ada kemungkinan di

rekayasa oleh orang yang tidak sependapat dengan paham ini, agar orang-orang tidak tertarik

dengan pikiran Qadariah. Menurut kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan gereja

timur ketika itu perdebatan tentang butir doktrin “Qadariah” mencekam pikiran para

teolognya.

Berkaitan dengan persoalan pertama kali Qadariah muncul, penting untuk melirik

kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para

peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai ini karena ketika itu penganut Qadariah

sangat banyak. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada

pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ibn Nabatah bahwa yang

mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang

telah masuk Islam dan dari orang ini diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian yang lain,

berpendapat bahwa paham ini mucul di Damaskus disebabkan oleh pengaruh orang-orang

Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.

Paham Qadariah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal

yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham Qadariah. Pertama, seperti

pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum Islam dipengaruhi oleh paham

fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka

selalu terpaksa mengalah pada keganasan Alam, panas yang yang menyengat serta tanah dan

gunung nya yang gundu. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi

kesukaran hidup yang ditimbulakan oleh alasan sekelilingnya. Paham itu terus dianut

meskipun mereka sudah beragama Islam. Oleh karena itu, ketika paham Qadariah

dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Paham Qadariah dianggap bertentangan

dengan doktrin Islam.

Kedua tantangan dari pemerintah. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para

pejabat pemerintah ketika itu menganut paham Jabariah. Ada kemungkinan juga pejabat

pemerintah menanggap gerakan paham Qadariah merupakan suatu usaha menyebarkan paham

dinamis dan daya kritis rakyat, yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang

dianggap tidak sesuai, bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.

2. Doktrin-doktrin Pokok Qadariah

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

37

Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, masalah Qadariah disatukan pembahasannya

dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah sehingga perbedaan antara kedua

aliran ini kurang jelas.31 Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin Qadar kiranya leebih luas

dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sehingga orang sering menamakan Qadarian dengan

Mu’tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk

mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariah bahwa

manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya manusia yang melakukan baik atas kehendak

maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan

jahat atau kemauan dan dayanya. Salah seorang pemuka Qadariah yang lain, An-Nazza,

mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariah pada dasarnya

menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia

dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas

kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, Ia berhak

mendapatkan pahala atas kebaikan- kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh

hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.

Dalam kaitan ini, apabila seorang diberi ganjaran, baik dengan balasan surga maupun

diberi ganjaran siksa sdengan balasan neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan pribadinya,

bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan

salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuan.

Paham takdir dalam pandangan Qadariah bukan dalam pengertian takdir yang umum

dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia

telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-pebuatannya, manusia hanya bertindak

menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Dalam paham Qadariah,

takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta

seluruh isinya semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatulla.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.

Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hokum alam.

Misalnya, manusia ditakdirkan tidak mempunyai sirip, seperti dimiliki ikan sehingga dapat

berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah

yang mampu membawa barang berates kilogram, tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya

pikir yang kreatif. Demikian juga dengan anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat

31 Al-Syahras, ani, Op. Cit , hlm. 85.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

38

tampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih

terampil, manusia dapat meniru yang dimiliki ikan sehingga dapat berenang dilaut lepas.

Demikian juga, manusia dapat memuat benda lain yang dapat membantunya membawa

barang seberat yang dibawa gajah bahkan lebih dari itu. Di sini, terlihat semakin besar

wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Bahkan suatu hal yang benar-benar tidak sanggup

diketahu, sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia, siapa dapat membatasi daya

imajinasi manusia, atau dengan pertanyaan lain dimana batas akhir kreativitas manusia?.

Dengan pemahaman seperti ini kaum Qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan

yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin

ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat

mendukung pendapat ini misalnya dalam surah Al-Kahf ayat 29, yang artinya: “Dan

katakanlah (Muhammad). ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menhendaki

(kafir) biarlah dia kafir…”

Dalam surah Al-Imran ayat 165 “Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah

(kekalahan pada perang uhud). Padahal kamu telah menimpahkan musibah dua kali lipat

(kepada musuh-musuhmu pada perang badar) kamu berkata. ‘dari mana dataangnya

(kekalahan) ini? ‘katakanlah. ‘itu dari (kekalahan) dirimu sendiri’…”

Dalam surah Ar-Ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan

suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan mereka sendiri….”

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

39

BAB V

MU’TAZILA

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

40

A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasala dari i’tazala yang berarti “berpisah” atau

“memisahkan diri” yang berati juga “menjauh” atau “menjauhkan diri.” 32 Secara teknis,

istilah Mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan.

Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah l) muncul sebagai respon politik

murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap yang

lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,

terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan yang

netral masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum Mu’tazilah karena mereka

menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok yang menjauhkan diri ini

bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang

tumbuh kemudian hari.

Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respons persoalan

teologis yang berkembang di kalangan kaum khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim.

Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij

dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.

Mu’tazilah II inilah yang akan di kaji dalam bab ini, yang sejarah timbulnya memiliki

banyak versi. Beberapa analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua

ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin ‘Atha ( ...-131 H) serta

temannya,’Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan Al-Basri ( 31-131 H ) di Basrah. Pada waktu Washil

mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al- Basri di Masjid Basrah, datang seseorang

yang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-

Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatak “saya

berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,

melainkan berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian,

Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi ketempat lain dilingkungan masjid. Di

sana, Washil mengulangi pendapatnya dihadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa

ini Hasan Al-Basri berkata, “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna).” Menurut Asy-

Syahrastani (474-548 H), kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa diatas disebut kaum

Mu’tazilah.

Versi lain yang dikemukakan oleh Al-Baghdadi menyatakan bahwa Washil dan

temannya, ‘Amr bin ‘ubaid bin Bab, di usir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnnya karena ada

pertikaian di antara tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya

32 Luis Ma’lif, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, t.t., hlm. 207.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

41

menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar

itu mukmin dan tidak kafir. Oleh karena itu, golongan itu dinamakan Mu’tazilah.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin

Da’amah pada suatu hari masuk Masjid Basrah dan begabung dengan majelis ‘Amr bin

‘Ubaid yang dikira adlah majelis Hasan Al-Basri. Setelah Qatadah mengetahuinya bahwa

majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil

berkata “ ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.

Al-Mas’Udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemuculan Mu’tazilah dengan

tidak menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al-Basri. Mereka

diberi nama Mu’tazilah, karena berpendapat bahwa orang berdosa bukan mukmin dan bukan

pula kafir, melainkan menduduki tempat di antara kafir dan mukmin( al-manzilah bain al-

manzilatain).33 Dalam arti, memberi status orang yang berbuat dosa besar jauh dari golongan

mukmin dan kafir.

Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1954 M) menerangkan bahwa

nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Washil dan Hasal Al-Basri, dan

sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan

kepada golongan orang-orang yang tidak mau inntervensi dalam pertikaian politik yang

terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana,

yaitu satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke

Kharbita. Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimkannya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais

menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut dengan Mu’tazilin, sedangkan Abu Al-

Fida’ menamakan dengan Mu’tazilah. Dengan demikian, kata i’tazala dan mu’tazilah telah

digunakan kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil dengan Hasan Al-Basri, yaitu

dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik pada zamannya.

Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain, seperti ahl al-adl yang

berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl at-tawhid wa al-‘adl yang

berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Adapun lawan

Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariah dengan alasan mereka menganut

paham free will and free act,yaitu bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat;

menamakan juga Al-Mu’aththilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan

tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud diluar dzat Tuhan; menamakan juga

wa’diyyah karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-

orang yang tidak taat hukum-hukum Tuhan.

33 Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, t.tp., Kairo, 1969, hlm. 75.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

42

B. Al-Ushul Al-Khamsah : Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah

Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah At-

Tauhid (pengesanaan Tuhan), Al-Adl (keadilan Tuhan), Al-Wa’d (janji dan ancaman Tuhan),

Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa

An-Nahy ‘an Al-Munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).

1. At-Tauhid

At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Mu’tazilah.

Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Akan tetapi, bagi

Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala

sesuatubyang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan satu-satunya Esa, yang unik

dan tidak satupun menyamai-Nya. Oleh karena itu. Hanya Dia-lah yang qadim. Apabila ada

yang qadim lebih dari satu, telah terjadi ta’adadud al-qudama’ (berbilangnnya dzat yang tidak

berpermulaan).

Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan

memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.

Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia

Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan Sebagainya. Akan tetapi, mendengar,

kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat, melainkan dzat-Nya. Menurut mereka,

sifat adalah sesuatu yang melekat. Apabila sifat Tuhan yang qadim, ada dua yang qadim, yaitu

dzat dan sifat -Nya. Washil bin Atha’ seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani berkata “siapa

yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan,” ini tidak dapat diterima

karena merupakan perbuatan syirik.

Apa yang bisa disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan. Abu Al-

Hudzail pernah berkata “ Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan, berkuasa

dengan kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah Tuhan”.34 Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-

Qur’an itu baru (diciptakan) Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Qur’an terdiri

atas rangkaian huruf, kata, dan bahsa yang antara satu mendahului yang lainya.

Harun Nasution mencatat ada sedikit perbedaan antara Al-Jubba’i(w. 321 H 933 M).35

Abu Hasyim atas pernyataan, “ Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya.” Tuhan tidak berhajat

pada sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Menurut Abu Hasyim, Tuhan

memiliki keadaan mengetahui. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak

memiliki sifat.

34 Syahrastani, Op. Cit, hlm. 49. 35 Abu Muhammad bin Abd Al-Wahhab Al-Jubbai wafat 195 H.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

43

Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-Hudzail mengambil konsep nafy ash-

shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles. Agaknya beralasan apabila para

pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adl wa at-tauhid (pengikut paham

keadilan dan keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah

dan menempatkan-Nya benar-benar adil.

Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat

menyamai Tuhan. Begitu pula sebalik-nya, Tuhan tidak serupa dengan Makhluknya. Tuhan

adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang

mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu

adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya,

Mu’tazilah menolak antropomorfisme.

Penolakan terhadap paham antroporfistik bukan atas pertimbangan akal, melainkan

memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berangkat dari pernyataan Al-

Qur’an yang berbunyi“ ... tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia .....” (Q.S. Asy-Syura

42:11)

Tidak dapat dimungkiri bahwa Mu’tazilah –sebagaimana aliran lain- telah terkena

pengaruh filsafat Yunani. Akan tetapi, hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta

Hellenisme. Usaha keras mereka telah mengahbiskan banyak waktu dan energi telah

membuahkan hasil. Dengan di dorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran

Hellennistik yang telah mereka pelajari di jadikannya senjata mematikan terhadap serangan

para penentangnya, yaitu para muhadditsin, rafidhah, dan berbagai aliran keagamaan India.

Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi

takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan

cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Tentu,

pemindahan arti ini tidak dilakukan dengan semena-mena, tetapi merujuk pada konteks

kebahasaan yang lazim digunakan bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini.

Misalnya, kata tangan (Q.S. Shad 38 : 75 ) di artikan kekuasaan dan pada konteks yang lain

tangan (Q.S. Al-Maidah 5:64 ) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Ar-Rahman 55:27) di

artikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha 20 : 5 ) diartikan kekuasaan.

Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata kepala

merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropormofisme. Tuhan adalah

Immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk.

Yang dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun dapat dilihat oleh mata

kepalla. Oleh karena itu, kata melihat (Q.S. Al-Qiyamah 75:22-23) ditakwilkan dengan

mengetahui (know).

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

44

2. Al-Adl

Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adlah al-adl yang berarti Tuhan Mahaadil. Adil

adalah suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukan kesempurnaan. Karena Tuhan maha

sempurna, sudah pasti Dia adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar

adil menurut sudut pandang manusia.

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai

berikut :

a. Perbuatan manusia

Manusia Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari

kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak.36 Manusia benar-benar

bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Akan tetapi, perlu diketahui

bahwa Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang

disuruh tuhan pastilah baik dan yang dilarang-Nya tentulah buruk.

b. Berbuat baik dan terbaik

Kewajiban tuhan untuk bebruat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak

mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan penjahat dan

penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang

dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil.

c. Mengutus rasul

Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan

berikut ini.

1. Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali

dengan mengutus Rasul kepada mereka.

2. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih

kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara’ 26:29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut

adalah dengan pengutusan Rasul.

3. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut

berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.37

3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id

Ajaran ini erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-Wa’d wa Al-wa’id berarti

janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksana, demikian kata Mu’tazilah,

36 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Iskamiyah, Dar Al-Manar, Kairo, 1991, hlm. 122. 37 Mazru’ah, Op. Cit., hlm. 128.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

45

tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya. Janji

Tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan

siksa neraka atas orang yang durhaka pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi

pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya.

Memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan dosa bagi orang yang durhaka

tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh Tuhan karena sudah dijanjikan. Ini sesuai dengan prinsip

keadilan. Jelasnya, siapa pun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat

jahat akan dibalas dengan siksa yang sangat pedih.

Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu

memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang

yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali yang telah tobat.

Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabbkan pelauknya masuk neraka adalah kejahatan

yang termasuk dosa besar. Terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini

tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak main-main dengan

perbuatan dosa.

4. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain

Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman yang melakukan dosa besar. Seperti

tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir, bahkan musyrik. Menurut

Murji’ah, orang itu tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada tuhan. Mungkin dosa

tersebut di ampuni Tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ mungkin dosa tersebut di ampuni

Tuhan. Pendapat Wahil bin Atha’ lain lagi. Orang tersebut diantaradua posisi (al-manzilah

bain al-manzilatain). Karena jaran inilah, Washil bin Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid harus

memisahkan diri(i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia

membangun mazhabnya.

Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum

bertobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasiqulutsu dennga mengutip Ibn Hazm,

mengatakan “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiq. Ia bukan mukmin, bukan kafir,

bukan pula munafik (hiporkit). Mengomentari pendapat tersebut, izutsu menjelaskan bahwa

sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan pernikahan warisan anatar mukmin pelaku

dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.

Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai

mukmin secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup

hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan

kedurhakaan. Orang ini tidak dikatakan kafir secara mutlak karena masih percaya kepada

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

46

Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya, jika meninggal sebelum

bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya karena akhirat hanya terdapat dua

pilihan, yaitu surga dan neraka. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka.

Orang fasiq dimasukan ke neraka hanya siksaannya lebih ringan daripada orang yang lebih

dari pada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih

rendah dari mukmin sejati ? Tampaknya Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak

menyepelakn perbuatan dosa, terutama dosa besar.

5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar

Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran.

Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan

konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan

perbuatan baik, di antaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari

kejahatan.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-amar ma’ruf nahi

munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya. Abd Al-Jabbar ( w.1024), yaitu:

a. Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang dilarang itu munkar.

b. Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah dilakukan orang.

c. Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa

madharat yang lebih besar;

d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan

membahayakann diri dan hartanya.

Al-Amr bi al-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-munkar bukan monopoli konsep Mu’tazilah.

Frase tersebut sering digunakan di dalam Al-Qur’an. Arti asal al-ma’ruf adalah yang telah di

akui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih

spesifik lagi, al-ma’ruf adalah yang diterima dan di akui Allah. Adapun al-munkar adalah

sebaliknya. Yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut yaitu

berarti seruan untuk berbuat sesuatu yang muncul dan sesuai dengan keyakinan yang sebenar-

benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan

dengan norma Tuhan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran

kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang

diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Lalu, sejarah telah

mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

47

BAB VI

SYI’AH

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

48

A. Pengertian dan latar belakang kemunculan syi’ah

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”,

sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam

bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau

disebut ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin syi’ah adalah pernyataan bahwa segala

petunjuk agama bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak pertunjukan-pertunjukan

keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.i

Menurut Ath-Thabathaba’I (1903-1981 M), istilah “syi’ah untuk pertamakalinya

ditujukan pada para pengikut’ Ali (syi’ah’ Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa

Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut syi’ah, diantaranya adalah Abu Dzar

Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-aswad, dan Ammar bin yasir’i

Pengertian bahasa dan terminologis diatas boleh dikatakan hanya merupakan dasar

yang membedakan syi’ah dengan kelompok islam yang lain. Mengenai kemunculan syi’ah

dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahra, syi’ah

mulai ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Selanjutnya,

aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib.i Watt

menyatakan bahwa syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara “Ali dan Mu’awiyah

yang dikenal dengan perang shiffin.

Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang

ditawarkan mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok

mendukung sikap Ali di sebut syi’ah dan kelompok lain menolak sikap ali di sebut khawarij.

Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir khumm.

Di ceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari mekah ke

madinah, dipadang pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih sebagai penggantinya

di hadapan massa yang penuh sesah menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya

menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat- I amali), tetapi juga menjadikan Ali

sebagaima Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka.

B. Syi’ah itsna’Asyariah (Syi’ah Dua Belas/syi’ah Imamiah)

1. Asal-usul penyebutan imamiah dan syi’ah itsna’Asyariah

Dinamakan syi’ah imamiah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan

iman dalam arti pemimpin religio-politik.i yaitu bahwa ‘Ali berhak menjadi khalifah bukan

hannya kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi ia telah ditunjukan dan dipantas

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

49

menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.i Ide tentang hak ‘Ali dan

keturunannya untuk menduduki jabatan imam atau khalifah telah ada semenjak Nabi wafat,

yaitu dalam perbincangan politik di saqifah Bani Sa’idah.i

2. Doktrin-doktrin syi’ah itsna’Asyariah

Di dalam sekte syi’ah itsna’Asyariah dikenal konsep Usul Ad-Din.konsep ini menjadi

akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima akar, yaitu sebagai

berikut.

a. Tauhid (the devine unity)

Tauhid adalah Esa, baik esensi maupun eksistensi-nya. Keesaan tuhan adalah

mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya, tuhan

bereksistensi sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh tuhan.

Tuhan mahatahu, maha mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar,

dan bebas berkhendak. Keesaan Tuhan tidak murrakab (tersusun). Tuhan tidak

membuthkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-nya. Tuhan tidak

dapat dilihat dengan mata biasa.

b. Keadilan (the devine justice)

Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak pernah

menghiasi ciptaan-nya dengan ketidak adilan. Karna ketidak adilan dan kezalliman

terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidak mampuan, sementara

Tuhan adalah mahatau dan mahakuasa. Segala macam keburukan dan

ketidakmampuan adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.

Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui benar dan salah melalui

perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indralainnya

untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi,

manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah tuhan untuk

mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Nubuwwah (apostleship)

Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga masih

membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia. Rasul

merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus member

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

50

acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam

keyakinan syi’ah itsna’Asyariah, tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk

memberikan petunjuk kepada manusia.i

Syi’ah itsna’Asyariah percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak adam

hingga Muhammad, dan tidak ada nabi atau rasul setelah Muhammad. Mereka percaya

dengan kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Quran jauh dari tahrif, perubahan, atau

tambahan.

d. Ma’ad (the last day)

Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat,

setiap muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan

bersih dan luas dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan

dunia menuju kehidupan akhirat.

e. Imamah (the devine guidance)

Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk

manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim didegelasikan kepada keturunan

Muhammad sebagai Nabi Rasul terakhir.i

Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, syi’ah itsna’Asyariah berpihak

pada delapan cabang agama yang disebut dengan furu’ ad-din. Delapan cabang

tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari

penghasilan, jihad, al-ma’ruf, dan an-nahuyu’an al-munakir.

C. Syi’ah sab’iah (syi’ah Tujuh)

1. Asal usul penyebutan syi’ah sab’iah

Istilah syi’ah sab’iah “syi’ah tujuh” dianalogikan dengan syi’ah itsna Asyariah. Istilah

itu memberikan pengerian bahwa sekte syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam.i Tujuh

imam itu ialah Ali ,Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, ja’far Ash-

shadiq, dan Islmail bin ja’far Ash-Shadiq, syi’ah sabiah disebut juga syi’ah ismailiyah.i

Berbeda dengan syi’ah sab’iah, syi’ah itsna Asyariah membatalkan ismail bin ja’far

sebagai iman ketujuh karena di samping Ismail berkebiasaan tidak terpuji juga karena dia

wafat (143 H/760 M) mendahului ayahnya, ja’far (w. 765). Sebagai gantinya adalah Musa Al-

kadzim, adik Ismail.i Syi’ah sab’iah menolak pembatalan di atas berdasarkan sistem

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

51

pengangkatan imam dalam syi’ah dan menganggap Ismail tetap sebagai imam ketujuh dan

sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail’i

2. Doktrin imamah dalam pandangan syi’ah sabi’ah

Para pengikut syi’ah sab’iah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti

dijelaskan Al-qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut adalah:

a. Iman,

b. Taharah,

c. Shalat,

d. Zakat,

e. Saum,

f. Menunaikan haji,

g. Jihad.

Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M)

memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan

Muhammad utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari

kebangkitan; iman kepada hari pengadilan; iman kepada para nabi dan rasul; imam kepada

imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.i

Tentang imam zaman, syi’ah sab’iah mendasarkan pada sebuah hadis Nabi

Muhammad SAW. Yang terjemahan bahasa inggrisnya, “he who dies without knowing of

time when still alive dies in ignorance” (ia telah wafat dan waktu kewafatannya masih

belum diketahui sampai kini). Hadis yang seperti ini juga terdapat dalam sekte sunni dan

syi’ah itsna Asyariah, tetapi tidak mencantumkan iman zaman.i

Dalam pandangan kelompok syi’ah sab’iah, keimanan hanya bisa diterima apabila

sesuai dengan keyakinan mereka, yaitu melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman.

Imam adalah seorang yang menuntun pada pengetahuan (ma’rifat) dan dengan

pengetahuan tersebut seorang muslum akan menjadi seorang mukmin yang sebenar-

benarnya. Untuk itu, mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan

spiritual, kehidupan formal-materiil sebagai individu dan kehidupan sosial yang semuanya

memerlukan aturan. Manusia tidak dapat melalui kehidupan itu, kecuali dengan

bimbingan. Bimbingan tersebut meliputi kepemimpinan dan pembaharuan kehidupan,

pengetahuan, aturan-aturan, dan bimbingan pemerintahan yang semuanya harus

berdasarkan Islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

52

yang ditunjuk Allah dan Rasul-nya. Rasul pun menunjukkan atas perintah Allah. Imam

adalah penunjukan melalui wasiat.i

Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan syi’ah adalah sebagai berikut.

a. Imam harus dari keturunan ‘Ali melalui perkawinan dengan Fatimah yang kemudian

dikenal dengan Alhul Bait.i

b. Beberapa aliran kaisaniah,pengikut mukhtar Ats-Tsaqafi, mempropagandakan bahwa

keimaman harus dari keturunan ‘Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari

Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanifiyah.i

c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash.i Syi’ah sab’iah menyakini bahwa setelah

nabi wafat, ‘Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi

sebelum wafat. Sukses keimanan menurut doktrin dan tradisi syi’ah harus berdasarkan

nash oleh imam terdahulu.

d. Keimanan jauh dari anak tertua. Syi’ah sab’iah menggaris bawahi seorang imam

memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity) dan seharusnya merupakan anak

paling tua. Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paing tua.i

e. Imam harus maksum (immunity from sin an error).i Sebagaimana sekte syi’ah lainnya,

syi’ah menggariskan bahwa seorang iamam harus terjaga dari salah satu dosa. Bahkan,

lebih dari itu, syi’ah sab’iah berpendapat bahwa jika imam melakukan perbuatan salah,

perbuatan itu tidak salah.i Keharusan maksum bagi imam dapat ditelusuri dengan

pendekatan sejarah. Pada sejarah iran pra-islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa

ajaran merupakan keturunan Tuhan;atau seorang raja adalah penguasa yang dapat tetesan

ilahi (Devine Grace) dan dalam bahasa Persia adalah farr-I izadi.iOleh karna itu, seorang

raja harus maksum.

f. Imam harus dijabat oleh seseorang yang paling baik (best of men). Berbeda dengan

Zaidah, syi’ah sab’iah, dan syi’ah dua belas tidak membolehkan adanya imam mafdhul.

Dalam pandangan syi’ah sab’iah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh bertentangan

dengan syariat. Seorang imam harus sama sifat dan kekuasaannya dengan nabi.

Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa nabi mendapatkan wahyu, sedangkan imam

tidak mendapatkannya.i

3. Ajaran syi’ah sab’iah lainnya

Ajaran-ajaran sab’iah yang lainnya pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte

syi’ah lainnya. Perbedaannya terletak pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek pada

setiap yang lahir dan penolakannya terhadap Al-mahdi Al-muntazhar. Apabila dibandingkan

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

53

dengan sekte syi’ah lainnya, sab’iah sangat ekstrem ketika menjelaskan kemaksuman imam.

Sebagaimana telah dijelaskan, sab’iah berpendapat bahwa walaupun terlihat melakukan

kesalahan dan meyimpan dari syariat, seorang imam sesungguhnya tidak dimiliki manusia

biasa. Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logis dari doktrin

sab’iah tentang pengetahuan iamam akan ilmu batin.

Ada satu sakte dalam sab’iah yang yang berpendapat bahwa tuhan mengambil tempat

dari dalam iamm. Oleh karna itu, imam harus disembah. Salah seorang khalifah Dinasti

Fatimah, Al-Hakim bin Amrillah (I. 375 H), berkeyakinan bahwa dalam dirunya terdapat

tuhan bahwa dirinya terdapat tuhan karena ia memaksa rakyat supaya menyembahnya.

D. Syi’ah Zaidah

1. Asal-usul penamaan syi’ah zaidiah

seketika ini mengakui zaid bin ‘ali sebagai imam V, putra imam IV,’Ali zaidah abidin.

Ini berbeda dengan sakte syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, anak zainal

abiding yang lain, sebagai imam V. dari nama zaid bin ‘Ali inilah nama zaidah diambil.i

Syi’ah zaidinmerupakan sakte syi’ah yang moderat.i Bahkan, Abu Zahra menyatakan bahwa

syi’ah zaidah merupakan sakte paliang dekat dengan sunni.

2. Doktrin imamah menurut syi’ah zaidiah

Imamiah sebagaimana telah disebutkan doktrin fundamental dalam syi’ah secara umum.

Berbeda dengan doktrin imamah yang tipikal. Kaum zaidah menolak pandangan yang

menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditemukan sifat-sifatnya. Ini

jelas berbeda dengan sakte syi’ah yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW. Telah

menunjuk ‘Alisebagai yang pantas sebagai imam setelah Nabi wafatkarena sifat-sifat itu tidak

dimiliki oleh orang lain, selain ‘Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani Hasyim, wara’

(saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat untuk

mengajak mereka hingga mengakuinya sebagi imam.

3. Doktrin-doktrin syi’ah zaidiah lainnya

Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdul, syi’ah zaidiah berpendapat bahwa

khalifahan Abu Bakar dan Umar bin khaththab adalah sah dari sudut pandang islam. Dalam

pandanagn zaidiah, mereka tidak merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib.

Dalam pandangan mereka pun,jika ahl al-ahll wa al-‘aqd telah memilih seseorang imam dari

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

54

kalangan kaum muslim meskipun orang yang terpilih itu tidak memenuhi sifat-sifat keimanan

yang ditetapkan oleh zaidiah, padahal mereka telah membaitnya, keimanannya menjadi sah

dan rakyat wajib berbait kepadanya.i Selain itu, mereka juga tidak mengafirkan seorang pun

sahabat. Mengenai ini, zaidd sebagaimana dikutip Abu zahrah mengatakan:

“sesunguhnya ‘Ali bin Thalib adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahannya

diserahkan kepada Abu Bakar karena mempertimbanagkan kemaslahatan dan kaidah

agama yang mereka pelihara, yaiyu untuk meredam timbulnya fitnah dan memenangkan

rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru berlalu. Pedang Amir Al-

Mu’minin ‘Ali belum lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitupula kedengkian

suku tertentu ntuk menuntut balas dedam belum surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas

untuk cenderung kesana. Jangan sampai ada lagi leher yang terputus karna masalah itu.

melaksanakan pandangan inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal

dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih

dahulu memeluk islam, serta yang dpat dengan rasulullah.

4. Syi’ah Ghulat

1. Asal-usul penaman syi’ah ghulat

Istilah “ghulat” berasal dari kata ghala-yaghlu-ghulan artinya “bertambah” dan “naik”.

Ghala bi ad-din artinya memperkuat da menjadi ekstrem sehingga melampaui batas.i Syi’ah

Ghulat berartikan kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sikap berlebihan atau skstrem.

Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang

menempatkan ‘Ali pada derajat krtuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian,

bahkan lebih tinggi dari nabi Muhammad.

2. Doktrin-doktrin syi’ah ghulat

Menurut syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh,

beda’, raj’ah, dan tasbih. Moojan menambahkannya dengan hulul dan ghaybai. Tanasukh

adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Paham ini

diambil dari falsafah Hidup. Penganut agama Hind berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan

cara berpindah ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah

dengan satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi.i Syi’ah ghulat merupakan paham ini

dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan –seperti Abdullah bin Mu’awiyah

bin Abdullah bin Ja’far- bahwa roh Allah berpindah kepada Adam dan kepada imam-imam

secara turun-menurun.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

55

BAB VII

SALAF

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

56

A. Sejarah Singkat Salaf

1. Definisi salaf

Banyak beragam definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf

dan khalaf berikut akan dikemukakan beberapa diantaranya.menurut Thablawi Mahmud

Sa’ad,salaf artinya ulama terdahulu.salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi

sahabat,tabii,tabi tabiin,para pemuka abad ke-3 H,dan para pengikutnya pada abad ke -4 yang

terdiri atas para Muhadditsin dan sebagainya.salaf berarti para ulam-ulam saleh yang hidup

pada tiga abad pertama islam.imenurut Asy-Syahratsani (474-548 H), ulama salaf tidak

menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat)dan tidak mempunyai

paham tasybih(antrofomorfisme).iMahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah

mendefinisikan salaf sebagai sahbat,tabiin dan tabi tabiin yang dapat diketahui dari sikapanya

menolak penafsiran yang dalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu

yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.

W. Montgomery Watt mwnyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di

Baghdad pada abad ke-13.pada masa itu,terjadi gairah yang menggebu-gebu yang diwarnai

fanatisme kalangan kaum Hanbali.sebelum akhir abad itu,terdapat sekolah-sekola Hanbali di

Jerussalem dan Damaskus.di Damaskus kaum Hanbali semakin kuat dengan kedatangan para

pengungsi dari Irak yang disebakan serangan Mongol atas Irak.diantara para pengungsi itu

terdapat satu keluarga dari Harran,yaitu keluarga Ibn Taimiah (1263-1328 M) adalah seorang

ullam besar penganut Imam Hanbali yang ketat.

Berdasarkan uraian Ibrahim Madzkur,karakteristik-karakteristik ulama salaf atau

salafiyah dapat dikemukakan sebagai berikut.i

1. Lebih mendahulukan riwayat(naql)daripada dirayah(aql)

2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin)dan persoalan-persoalan cabang

agama (furu’ ad-din), hanya bertolak dari penjelasan-penjelasan Al-Kitab dan Ash-

Sunnah.

3. Mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentanng Dzat-nya) tidak pula

mempunyai paham antropomorfisme.

4. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, tidak berupaya untuk

mewakilinya.

Melihat karakteristik yang di kemukakan ibrahim madzkur di atas,tokoh tokoh berikut

dapat di kategorikan sebagai ulama salaf.tokkoh yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

57

Abbas(68 H),Abdullah bin Umar(74 H), Umar bin Abdul Aziz(101 H),Az-Zuhri(124H), Jafar

Ash-Shidiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi,Maliki,Syafi’i, dan

Imam Ahmad bin Hambal).Harun Nasution menganggap bahwa secara kronologis,salafia

bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal.lalu,ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimia,di

suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab,dan akhirnya berkembang di dunia Islam

secara sporaris.idi Indonesia,gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan

gerakan Persatuan Islam (Persis),bahkan Muhammadiyah.gerakan gerakan lainnya,pada

dasarnya juga menganggap sebagai gerakan salaf,tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh

pemikiran yang dikenal dengan istilah logika.sementara itu,para ulama menyatakan mereka

sebagai ulama salaf,mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah

teologi(ketuhanan).

Berikut ini akan dijelaskan beberapa ulama salaf dengan pemikirannya, terutama

berkaitan dengan persoalan persoalan kalam.

B. Imam Ahmad bin Hanbal (780-855)

1. Riwayat hidup singkat Ibn Hanbal

Ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241/855 M.ia

sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bersama Abdillah.ia lebih

dikenal dengan nama Imam Hanbali kerena menjadi pendiri mazhab Hanbali .ibunya bernama

Shahifa binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah binti Hindur Asy-

Syaibani,bangsawan Bani Amir.ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas

bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdulllah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin

Syaiban bin Dahal bin Aqabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin

Nizar.di dalam keluarga Nizar ini tampaknya Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek

moyangnya,Nabi Muhammad SAW.

Ayahnya meninggal ketika Ibn Hambal masih berusia muda.meskipun demikian

ayahnya telah mengawalinya memberikan pendidikan Al-Quran.pada usia 16 tahun,ia belajar

Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad.lalu mengunjungi

ulama-ulama terkenal di Kufah,Basrah,Yaman,Mekah dan Madinah.diantara guru-gurunya

adalah Hammad bin Khalid,Ismail bin Aliyyah,Muzaffar bin Mudrik,Walid bin

Muslim,Muktamar bin Sulaiman,Abu Yusuf Al-Qadi,Yahya bin Zaidah,Ibrahim bin

Sa’id,Muhammad bin Idris Asy-Syafi’,Abdul Razaq bin Humam dan Musa bin Thariq.dari

guru-gurunya,Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh,hadis,tafsir,kalam,ushul,dan bahasa Arab.i

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

58

Ibnu hambal dikenal sebagai seorang zahid hampir setiap hari ia berpuasa dan tidur

hanya sedikit pada malam hari.ia juaga dikenal sebagai seorang dermawan.pada suatu

ketika,Khalifa Makmun Ar-Rashid membagikan beberapa keping emas untuk diberikan

kepada para ulama hadis,yang merupakan kebiasaan para Khalifa masa itu.Ibn Hanbal justru

menolaknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syaikh Abdul Razak datang untuk

menengoknya yang sedang dalam kesulitan keuangan di Yaman.gurunya itu mengambil

segenggam dinar dari kantongya dan diberikan kepada Ibn Hanbal,tetapi Ibn Hanbal

mengatakan bahwa,”saya tidak membutuhkannya.”

Sebagai seorang yang teguh pendirian,ketika Khalifa Al-Makmun mengembangkan

mazhab Mu’tazilah,Ibn Hanbal menjadi korban”minhah”(inquistition)i karena tidak mengakui

bahwa Al-Quran itu makhluk,sehingga ia harus masuk penjara.nasib serupa dialaminya pada

masa pemerintahan para pengganti Al-Makmun,yaitu Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq.setelah Al-

Mutawakil naik tahta,Ibn hanbal memperoleh kebebasan.pada masa ini,ia memperoleh

penghormatan dan kemuliaan.

Diantara murid murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiah, Hasan bin Musa,Al-

Bukhari,Muslim,Abu Dawud,Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi,Abu Zuhrah Ar-Razi,Ibn Abi Ad-

dunia,Abu Bakar Al-Asram,Hanbal bin Isahak Asy-Syaibani,Shaleh,dan Abdullah.kedua

orang yang di sebutkan terakhir merupakan putranya.

2. Pemikiran Teologi Ibn Hanbal

a. Ayat-ayat mutasyabihat

Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an,Ibn Hanbal lebih menyukai pendekatan lafdzi

(tekstual) daripada pendekatan takwil,terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan

ayat-ayat mutasyabihat.ihal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat “(Yaitu)

Yang Maha Pengasih,yang bersemayam diatas ‘Arsy.” (Q.S.Thaha 20:5)

Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:

اصف.غ ها و يل ي ستوى على العرش كيف شأ وكما شأ بل حد ول صفة إ

Artinya:

“Istiwa’ diatas arasy terserah Dia dan bagaiman Dia kehendaki dengan tiada batas dan

tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

59

Kemudian,ketika ditanya tentang makna hadis nuzul(tuhan turun ke langit

dunia),ru’yah (orang-orang melihat tuhan di akhirat),dan hadis tentang telpak kaki tuhan,Ibn

Hanbal menjawab:

ق ها ول كيف ول معنى. من بها ون صد ن وٴ

Artinya:“kita mengimanii dan membenarkannya, tanpa mencari perkelasan cara dan

maknanya.”

Dari pernyataan diatas, Ibn Hanbal tampaknya bersikap menyerahkan(tafwidh) makna-

makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya dari keserupaan dengan

makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.

b. Status Al-Qr’an

Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal Yng kemudian membuatnya

dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-Qur’an,apakah diciptakan(makhluk)karena

hadis(baru) ataukah tidak diciptakan karena qadim.paham yang diakui oleh pemerintahan

resmi pada saat itu,yaitu Dinasti ‘Abbasiah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-

Makmun,Al-Mu’tashim,dan Al-Watsiq adalh paham Mu’tazilah,yaitu Al-Qur’an tidak

bersifat qadim,tetapi baru dan diciptakan.sebab,paham adanya qadim di samping tuhan,bagi

Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan.menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang

tidak diampuni Tuhan.

Tampaknya,Ibn Hanbal tidak sependapat denagn paham resmi diatas.oleh karena itu,ia

kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah.pandangannya tentang status Al-

Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim,Gubernur Irak:

Ishaq : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?

Ibn Hanbal : Sabda Tuhan

Ishaq : Apakah ia diciptakan?

Ibn Hanbal : Sabda Tuhan.saya tidak mengatakan lebih dari itu

Ishaq : Apa dari ayat:Maha Mendengar (sami’) dan Maha Melihat (basir)?(ishaq

Ingin menguji Ibn Hanbal tentang paham antropomorpisme).

Ibn Hanba : Tuhan menyipatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu).

Ishaq : Apa artinya?

Ibn Hanbal : Tidak tahu.Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan pada diri-Nya.

Berdasarkan dialog diatas, Ibn Hanbal tidak ingin membahas lebih lanjut tentang

status Al-Qur’ann.ia hanya mengatakan bahwa Al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

60

Qur’an tidak diciptakan,ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang

berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah danRasul-Nya.

C. Ibn Taimiah (661-729 H)

1. Riwayat Hidup Singkat Ibn Taimiah

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiah.

Dilahhirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal

di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzulqaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah

menggetarkan seluruh penduduk Damaskus,Syam,dan Mesir,serta kaum muslim pada

umumnya.Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam Ibn

Abdillah bin Taimiah, seorang syekh, khatib, dan hakim di kotanya.

Dikatakan oleh Ibrahim Madzkur bahwa Ibn Tamiah merupakan seorang tokoh salaf

ekstrem kareana kurang memberikan ruang gerak pada akal.ia murid mutaqqi,wara,dan

zuhud.ia seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani denganmengangkat

senjata.ia dikenal sebagai seorang muhaddits,mufasir,faqih,teolog,bahkan banyak mengetahui

tentang filsafat.ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Ali binAbi Thalib.ia juga menyerang

Al-Ghazali dan ibn Arabi.kritikannya ditujukkan kepada kelompokn-kelompok agama

sehingga mebangkitkan kemarahan pada ulama pada zamannya.berulang Ibn Taimiah hanya

karena bersengketa dengan para ulama pada zamannya.i

Ibn Taimiah terkenal dengan kecerdesannya sehingga pada usia 17 tahun telah

dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan pandangan mengenai masalah hukum

secara resmi.para ulama lawan Ibn Taimiah yang sangat risau oleh serangan serangannya,serta

iri hati pada kedudukannyadi istana Gubernur Damaskus,telah menjadikan pemikiran-

pemikiran Ibn Taimiah sebagai landasan untuk menyerangnya.dikatakan oleh lawan lawannya

bahwa pemikiran Ibn Taimiah sebagai klenik,antropomorfisme,sehingga pada awal 1306 Ibn

Taimiah dipanggil ke Kairo.sesuai keputusaan pengadilan kilat,akhirnya di penjarakan.i

Harus dimaklumi bahwa masa hidup Ibn Taimiah bersamaan dengan kondisi dunia

islam yang sedang mengalami disentegrasi,dislokasi sosial,dan dekandasi moral dan

ahklak.kejadianya terjadi setelah lima tahun Baghdad dihancurkan pasukan Mongol,Hulagu

Khan.oleh karena itu, sangat pantas apabila Ibn Taimiah dalam upayanya mempersatukan

umat islam banyak tantangan,bahkan harus wafat di dalam penjara.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

61

2. Pemikiran Teologi Ibn Taimiah

Pikiran-pikiran Ibn Taimiah,seperti dikatakan Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:

a. Berpegang teguh pada nash (teks Al-Qur’an dan Al-Hadis).

b. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal.

c. Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama.

d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin,dan tabi tabiin)

e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-

Nya.

f. Ibn Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila kalamullah

qadim, kalamnya pasti qadim pula.

Ibn Taimiah adalah seorang tektualis. Oleh karena itu, pandangannya dianggap oleh

ulama mazhab Hanbali, Al-Khatib Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorfisme)

Allah, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,oleh karena itu,Al-Jauzi berpendapat

bahwa pengakuan Ibn Taimiah sebagai salaf perlu ditinjau lagi.

Berikut pandangan-pandangan Ibn Taimah tentang sifat-sifat Allah.i

a) Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya

menyipati.sifat-sifat yang dimaksud adalah:

1) Sifat salbiah,yaitu qidam,baqa’,mukhalafatu lil hawaditsi,qiyamuhu bi nafsihi,dan

wahdaniyyah;

2) Sifat ma’ani,yaitu qudrah,iradah,sama’,bashar,hayat,ilmu,dan kalam;

3) Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis meskipun akal

bertanya-tanya tentang maknanya),seperti keterangan yang menyatakan bahwa

Allah di langit;Allah diatas ‘arasyi;Allah turun ke langit dunia;Allah dilihat oleh

orang beriman di surga kelak,wajah,tangan.dan mata Alllah

4) Sifat dhafiah,meng-idhafat-kan atau menyadarkan nama-nama Allah pada alam

makhluk,seperti rabb al-‘alamin,khaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa an-nawa

b) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya,yang Allah atau Rasul-Nya

sebutkan,seperti al-awwal,al-akhir,azh-zhahir,al-bathin,al-‘alim,al-qadir,al-hayy,al-

qayyum,al sami’ dan al- bashir.

c) Menerima sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nam Allah dengan:

1) Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz(min ghair

tahrif);

2) Tidak menghilangkan pengertian lafaz(min ghir ta’thil);

3) Tidak mengingkarinya(min ghair ilhad);

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

62

4) Tidak menggambarkan bentuk Tuhan,baik dalam pikiran,hati maupun dengan indra

(min ghair takyif at-takyif);

5) Tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat

makhluk-Nya (min ghair tamsir rabb al-‘alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada

sesuatupun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada

Berdasarkan alasan-alasan diata, Ibn-Taimiah tidak mennyetujui setiap penafsiran ayat-

ayat mutasyabihat. menurutnya, ayat-ayat atau hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah

harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak

menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu. Ibn Taimiah

mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta

segala sesuatu; hamba pelaku perbuatan sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak

secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya;Allah

meridhoi perbuatan baik dan tidak meridhoi perbuatan yang buruk.

Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiah mencapai klimaksnya dalam

sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.masalah pokoknya terletak pada upayanya

membedakan manusia dengan tuhannya yang mutlak.oleh karena itu,,masalah tuhan tidak

dapat diperoleh dengan metode rasional,baik dengan metode filsafat maupun teologi.demikian

juga,keingina manusia untuk menyatu dengan tuhan sebagai suatu yang mustahi.oleh karena

itu,Ibn Taimiah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Qur’an berisi dalil

khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuas hati);Aliran Mu’tazilah yang selalu

mendahulukan dalil rasional daripada dalil Al-Qur’an,sehingga banyak menggunakan

takwil;ulama yang memercayai dalil Al-Qur’an,tetapi hanya dijadikan sebagai pangkal

penyelidikan akal,meskipun untuk memperkuat isi Al-Qur’an dan Al-Maturidi;mereka yang

memercayai dalil-dalil Al-Qur’an,tetapi menggunakan pula dalil-dalil akal disamping Al-

Qur’an (seperti Al-Asy’ari)i

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

63

BAB VIII

KHALAF: AHLUSUNNAH

(AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

64

A. Latar Belakang Khalaf: Ahlusunnah

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad ke-

III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimiliki salaf. Karakteristik

yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa

dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.i

Adapun ungkapan Ahlusunnah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi

dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah – sebagaimana

juga Asy’ariah – masuk dalam barisan Sunni. Adapun Sunni dalam pengertian Khusus adalah

mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian

kedua inilah yang digunakan dalam pembahasan ini.

Selanjutnya, termasuk Ahlusunnah banyak digunakan sesudah timbulnya aliran

Asy’ariah dan Maturidiah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.i Dalam

hubungan ini, Harun Nasution –dengan meminjam keterangan. Tasy Kubra Zadah-

menjelaskan bahwa aliran Ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-

Asy’ari sekitar tahun 300 H.

B. AL-Asy’ari (875-935)

1. Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkap Al—Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim

bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Lahir di bashrah

pada tahun 260 H/875 M. setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan

wafat disana pada tahun 324 H/935 M.

Al-Asy’ari menganut paham Mu’tzilah selama 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia

mengumumkan dihadapan jamaah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan

paham Mu’tazilah dan akan menunjukan keburukan’keburukannya. Menurut Ibn ‘Asakir,

yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-

Asy’ari bermimpi betemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam

ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW.

Memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela

paham yang telah diriwiyatkan dari beliau.

2. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari

Formulasi pemikiran Al-Asy’Ari, secara essensial menampilkan sebuah upaya sintesis

antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

65

etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat artodoks. Aktualitas formulasinya jelas

menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilh, sebuah reaksi yang tidak bisa 100%

menghindarinya.i Corak pemikiran yang sintetsis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi

Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab) (w.854 m).

Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:

a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya

Perbedaan pendapat dikalangan mutakilimin mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat

dihindarkan meskipun merka setuju bahwa mengesakanAllah adalah wajib. Al-Asy’ari

dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada suatu pihak, ia berhadapan dengan

kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomorfis), dan kelompok

musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan

dalam Al-Qur’an dan Sunnah bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnnya.

Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-

sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya., dan tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi

tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi haus dijelaskan secara alegoris.

Menghadaipi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa

Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti

mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh dirtika secara harfih, tetapi secara simbolis

(berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa

sifat-sifat Allah unik dan tidak dapt dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang

tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi –sejauh menyangkut

realitasnnya (haqiqah)- tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda

dengan-Nya.

b. Kebebasan dalam berkehndak (free-will)

Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta

mengaktualisasikan perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antara dua

pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra-

determinisme semata-mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan

berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Untuk mengetahui dua

pendapat di atas, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah

pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya

(muktasib). Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan

manusia).

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

66

c. Akal dan wahyu dan criteria baik dan buruk

Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnnya akal dan

wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persolan yang memperoleh penjelasan

konntradiktif dari akal dan wahyu. Al Asy-ari mengutamakan wahyu, sementara

Mu’tazilah mengutamakan akal.

d. Qadimna Al-Qur’an

Al-Asy ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal qadimnya Al-

Qur’an: Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (Makhluk), dan tidak

qadim; serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an

adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Bahkan, Zahiriah berpendapat

bahwa semua huruf kata-kata, dan buyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka

mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari bahwa walaupun

Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi

Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidak

diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat ”sesungguhnya firman terhaadap

sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, Jadilah!

Maka jadilah sesuatu itu.” (Q.S. An-Nahl 16: 40)

e. Melihat Allah

Al-asy’ari tidak sepemdapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama Zahiriah,

yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah

bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang

meningkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. iAl-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat

dilihat di akhiran, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika

Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptkan kemampuan penglihatan

manusia untuk melihat-Nya.

f. Keadilan

Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya

berbeda dalam cara pandangan makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran

Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang

salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

67

Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah

mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari

visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.

g. Kedudukan orang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah. Mengingat

kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu di

antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa

mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab ia tidak mungkin hilang

karena dosa selain kufur.

C. Al-Maturidi (w.944 M )

1. Riwayat Hidup Singkat Al-Maturidi

Abu masnsyur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah

Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.

Tahun kelahirannya tidak diketahi secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad

ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi

bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Ia hidup pada masa Al-

Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.

Karier pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi

daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham

teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai

dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.

Pemikiran-pemikirannya sudah banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, di

antaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ma’khaz, Asy-Syara’I, Al-Jadl, Ushul fi

ushul Ad-Din, Maqalatat fi Al-Ahkam, Radd Awa’il Al-Adillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul

Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li al-Ba’ad Ar-Rawafidh, dan

Kitab Radd ‘ala Al-Qaramithah. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang dikatakan dan

diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

68

2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi

a. Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal.

Dalam hal ini, ia sama denggan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal

lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.

Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat

diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan

ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam

usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan

pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak

mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak akan

memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan

akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarrti meninggalkan

kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak

mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari

wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan dengan akal pada tiga macam,

yaitu:

1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;

2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;

3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk

ajaran wahyu.

Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat

dengan Mu’Tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban

melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk didasarkan pada pengetahuan akal.

Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran

wahyu. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut

Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang

baik atau buruk karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi,

yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk karena larangan Allah. Pada

konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-

Asy’ari.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

69

b. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu

dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia,

kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki

kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya

dappat dilaksanakan. Dalam hal ini,

Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan

qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam

diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan dengan

perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang

menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian,

karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah

perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya manusia.iBerbeda

dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan

karena ia memandang perbuatan manuisa adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan

Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum

perbuatan itu sendiri.

Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adnya

masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik atau

buruk tetap dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak

diridai-Nya. Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas

kehendak Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham

Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara Mu’tazilah.

c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud

ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-

Maturidi bukan berate Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta

sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan

dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah

ditetapkan-Nya.

d. Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara

pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat

bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

70

begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-

Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat. Menurut Al-Maturidi,

sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad

bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ‘ain adz-dzat wa la hiya

ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian

antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang

sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).i

Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati

paham Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang

adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

e. Tuhan

Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang

melihat Tuhan ini dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam surat Al-

Qiyamah ayat 22 dan 23.

Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap

dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat

Tuhan kelak di akhirat tidak meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan

diakhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f. Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara

dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah

sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah

baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata

adalah baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia tidak dapat mendengar atau

membacanya, kecuali dengan perantara.i

Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari

huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna

abstrak. Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan

sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-Nya.

Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan

Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, tetapi Al-

Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk sebutan

Al-Quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

71

Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak,

tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.

g. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali

semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau

membatasinya, kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya.

Oleh karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik

bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-

kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan

yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain.

(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar

kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia

juga diberi Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.

(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan

tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

h. Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan

kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk serta kewajiban

lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa

akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-

kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai

sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul, berarti

manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannya.

Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang

berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban

Tuhan, agar manuisa dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan

ajaran para Rasul.

i. Pelaku dosa besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak kekal

didalama neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah

menjanjikan akan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di

dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar

selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar

(selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi,

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

72

iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman.

Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esesnsi iman, kecuali

menambah atau mengurangi pada sifatnya.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

73

BAB IX

PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN

TENTANG PELAKU DOSA BESAR

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

74

A. Perbandingan Antara Aliran Tentang Pelaku Dosa Besar

1.Menurut khawarij tentang pelaku dosa besar

Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan

persoalan-persoalan kalam. Kaun khawarij umunya terdiri dari orang-orang arab badawi.

sebagai orang badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran islam sebagai

terdapat dalam alquran dan hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan

sepenuhnya. Kaum khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang kafir dan keluar dari

islam.dan siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap

dalam, islam. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah

keluar dari islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal ini tidak

selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan khawarij.

a).Al-muhakkimah

Golongan ini adalah golongan asli pengikut-pengikut asli yang memisahkan diri dan

yang menganggap bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi

kafir. Orang yang melakukan hal yang keji seperti membunuh, memperkosa dsb, menurut

faham mereka orang yang melakukan itu dianggap keluar dari Islam dan menjadi kafir.

b).Al-azaqirah

Subsekte tentang pelaku dosa golonagan ini menggunakan istilah yang lebih

mengerikan dari pada kafir yaitu polytheist atau musyrik. Dan di dalam Islam syirik atau

polytheist merupakan dosa yang terbesar, lebih dari-kufr.

c).Al-Najdat

Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam

neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun

pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada

akhirnya akan masuk surga juga. Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalau

dikerjakan terus-menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.

d).Al-Sufriah

Subsekte Al-Sufriah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada

sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak ada sanksinya di

dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

75

tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori kedua dipandang

kafir.

e).Al-Ibadah

Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan

Khawarij. Menurut mereka orang islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah

mukmin dan bukanlah musyrik, tetai kafir. Sedangkan orang islam yang berbuat dosa besar

adalah muwahhid, yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukian mukmin dan kalaupun kafir

hanya merupakan kafir al-ni mah dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama. Dengan

kata lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat orang ke luar dari Islam.

2. Menurut Murji’ah tentang pelaku dosa besar

Pandangan aliran murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari

defimisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte murji’ah berbeda pendapat

dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status

pelaku dosa besar pun berbeda-beda-pula.

Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan

perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij menjatuhkan hukum kafir

bagi orang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang

serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda (arja’a) penyelesaiannya

kehari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan dalam hal ini ialah bahwa orang

Islam yang berdosa besar itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama

dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap-

mukmin,dan-bukan-kafir.

Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang

berpendapat bahwa orang islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap

mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang

berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah. Pada umumnya kaum murji’ah dapat dibagi

dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim Golongan moderat

berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka,

tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada

kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk

neraka sama sekali.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

76

Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al-Hasan Ibn ’Ali Ibn Abi Talib, Abu

Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli HadisDi antara golongan ekstrim yang dimaksud ialah

al-Jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang Islam yang

percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir ,

karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh

manusia. Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah

berhala, menjalankan ajaran–ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah

salib, menyatakan percaya kepada trinity, dan kemudian mati.

Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna

imannya. Golongan ini berpendapat bahwa, jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan

perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.

Karena itu perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan iman seseorang, dan

sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seseorang musyrik atau

politheist.

3. Menurut Mu’tazilah Tentang Pelaku Dosa Besar

Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah

yang hampir sama dengan Khawarij dan Murji’ah, yaitu mengenai status dosa besar; apakah

masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaanya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa

besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan

status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir,

kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain almanzilataini. Setiap

pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan

kafir.

Posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan

tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi

Muhammad; tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan

mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tidak mesti

masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Tetapi karena di

akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa harus dimasukan ke

dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham

Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan

ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar

tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

77

Tempat satu-satunya ialah neraka. Dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah

segala perbuatan yng ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil

adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas.

Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar bagi dosa besar maupun

kecil.

4.Menurut Asyariyah Tentang Pelaku Dosa Besar

Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak

mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl-Qiblah) walaupun melakukan dosa

besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang

beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Adapun

balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat

bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha

Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu

mendapaat syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu

tuhan memberikan siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun

begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir.

5.Menurut Maturidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar

Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang

yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak

di akhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah kaum Mu’tazilah.

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di

dalam neraka walaupun ia mati sebelim bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan

akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam

neraka adalah balsan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar

(selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Aliran Maturidyah terdapat

dua golongan, yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara. Aliran maturidyah adalah

teologi yang banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.

6.Menurut Syiah Zaidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar

Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal

dalam neraka, jika dia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah

Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan aneh mengingat Wasil bin Atha, salah

seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dekat dengan Zaid. Moojan Momen

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

78

bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Selain itu, secara etis

mereka boleh dikatakan anti-Murjiah.

B. Perbandingan Antar Aliran Tentang Iman Dan Kufur

1. Khawarij

Iman dalam pandangan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada allah. Mengerjakan

segala kewajiban perintah agama juga merupakan bagian dari keimanan. Semua perbuatan

yang berbau religious, termasuk didalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan.

Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya iman kepada allah dan bahwa

Muhammad adalah rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewaiban agama dan malah

melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir

2. Murji’ah

Untuk murji’ah yang ekstrim, mereka berpandangan bahwa keimanan terletak didalam

kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam

kalbu. Untuk murji’ah moderat, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidakalah

menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa

yang dilakukannya.

3. Mu’tazilah

Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsure

terpenting dalam konsep iman. Bahkan hamper mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah

dimengerti karena konsep mereka tentan amal-sebagai bagian penting keimanan-memiliki

keterkaitan langsung dengan masalah janji dan ancaman yang merupakan salah satu dari

“pancasila” mu’tazilah.

4. Asy’ariyah

Al-asy’ari berkata, iman adalah membenarkan dalam kalbu. Sedangkan mengatakan

dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama hanyalah merupakan cabang-cabang

iman. Oleh sebab itu, siapapun yang memberikan keesaan tuhan dengan kalbunya dan juga

membenarkan utusan-utusannya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman yang semacam

itu merupakan iman yang sahih dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia

mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.i

5. Maturidiyah

Maturidiyah samarkad berpendapat bahwa iman adalah tasdiq bi al-qalb, bukan semata-

mat iqrar bi al-lisan. Sedangkan maturidiyan bukhar berpendapat bahwa iman tidak dapar

berkurang, tetapi bias bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

79

C. Perbandingan Antar Aliran Tentang Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia

Kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia:

Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajibah-kewajiban terhadap manusia.

Bagi kaum asy’ariyah paham tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena

hal itu bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan yang mereka anut.

Kaum maturidiyan golongan bukhara sepaham dengan kaum asy’ariyah. Sedangkan

maturidiyan bukhara dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan.

Mu’tazilah berpendapat kewajibah tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia.

Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi

manusia.

Kaum maturidiyan dengan keduan golongannya, juga tidak sepaham dengan kaum

mu’tazilah dalah hal ini.Mu’tazilah tak dapat menerima paham bahwa tuhan dapat

memberikan kepada manusia beban yang tak dapat dipikul.Asy’ariyah dapat menerima paham

pemberian beban yang diluar kemampuan manusia ini.Maturidiyah golongan bukhara

sependapat dengan kaum asy’ariyah, sedangkan golongan samarkand sependapat dengan

mu’tazilah.Bagi kaum mu’tazilah dengan kepercayaan mereka bahwa akal dapat mengetahui

hal-hal terntang alam ghaib, pengiriman rasul-rasul sebebarnya tidak begitu penting.Kaum

asy’ariyah, sungguhpun pengiriman rasul-rasul dalam teologi mereka mempunyai arti penting

menolak sifat wajibnya pengiriman demikian, karena hal itu bertentangan dengan keyakinan

mereka bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.Maturidiyah

samarkand sepaham dengan kaum mu’tazilah, sedangkan golongan bukhara yang berpendapat

bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.

Mu’tazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman merupakan salah satu dari salah satu

lima dasar kepercayannya.Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban

menepati janji dan menjalankan ancaman.maturidiyah golongan bukhara berpendapat tidak

mungkin tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yag berbuat baik, tetapi

sebaliknya bukan tidak mungkin tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman

terhadap orang yang jahat.Golongan samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang

sama dengan mu’tazilah.Dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak berkuasa

atas perbuatannya.

Hanya allah sajalah yang memutuskan segala amal perbuatan manusia. Aliran qadariyah

memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya.Dalam persoalan ini aliran

mu’tazilah sependapat dengan aliran qadariyah.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

80

Aliran asy’ariyah dalam persoalan ini dengan dengan paham jabariyah daripada paham

mu’tzilah. Untuk menggambarkan pahamnnya, mengenai perbuatan manusia asy’ari

menggunakan teori al-kasb. Ada perbedaan antar maturidiyah samarkand dan maturidiyah

bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekan dengan mu’tazilah,

sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan fahan asy’ariyah.

D. Perbandingan Antar Aliran Tentang Sifat-Sifat Tuhan

Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Jika tuhan mempunyai

sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat

kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak.

1. Asy’ariyah

Kaum asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari tidak

dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat karma perbuatan-perbuatannya.

2. Maturidiyah

Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat. Sedangkan

golongan samarkand dalam hal ini tidak sepaham dengan mu’tazilah karena al-maturidi

mengatakan bahwa sifat bukanlah tuhan, tetapi tidak lain dari tuhan.

3. Syi’ah Rafidhah

Sebagian besar syi’ah rafidhah menolak bahwa allah senantiasa bersifat tahu. Mereka

menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Mereka berpendapat bahwa allah

tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.

E. Perbandingan Antar Aliran Tentang Kehendak Mutlak Dan Keadilan Tuhan

Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi.

Seperti terkandung dalam uraian nadzir, kekuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh

kebebasan yang menurut paham mu’tazilah yang telah diberikan kepada manusia dalam

menentukan kemauan dan perbuatan.

Bagi kaum asy’ariyah tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak. Tuhan tidak tunduk

kepada siapapun diatas tuhan tidak ada suatu dzat lain yang dapat membuat hokum dan dapat

menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat tuhan.

Maturidiyah golongan bukhara menganut pendapat bahwa tuhan mempunyai

kekuasaan mutlak. Sedangkan golongan samarkand tidaklah sekeras golongan bukhara dalam

mempertahankan kemutlakan kekuasaan tuhan.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

81

A 1. Aliran Mu’tazilah

Kaum mu’tazilah karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta

kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari rasio dan

kepentingan menusia. Memang dalam paham mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan

tuhan untuk kepentingan manusia.

2. Aliran sy’ariyah

Kaum asy’ariyah menolak paham mu’tazilah bahwa tuhan mempunyai tujuan-tujuan

dalam perbuatannya. Bagi mereka perbuatan tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam

arti sebab yang mendorong tuhan untuk berbuat sesuatu.

3. Aliran Maturidiyan

Dalam hal ini kaum maturidiyah golongan bukhara mempunyai sikap yang sama dengan

kaum asy’ariyah. Menurut al-badzdawi, tidak ada tujuan yang mendorong tuhan untuk

menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatinya.

Kaum matuaridiyah golongan samarkand dalam hal ini lebih dekat dengan kaum mu’tazilah

daripada kaum mu’tazilah daripada kaum asy’ariyah.

1. Menurut aliran Khowarij

Semua pelaku dosa besar murtabb al- kabiroh , menurut semua sub sekte dari

golongan khowarij, kecuali subsekte najah, adalah kafir dan akan disiksa didalam neraka

untuk selamanya, bahkan sub sekte yang dikenal ekstrim, yaitu sub sekte azzariqoh’

menggunakan istilah yang lebih mengrikan dari kata kafir, kelompok tersebut menggunakan

istilah musyrik. Tuduhan mengkafirkan saudara muslim itu pun sangat biasa dikalangan

khowarij bahkan Nafii Bin Azraq, yang digelari Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij

menfatwakan bahwa sekalian orang yang membantahnya adalah kafir dan halal darahnya,

hartanya, dan anak isterinya. Dalam hal ini mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat

Nuh 26-27).

“Nuh berdoa: wahai Tuhanku janganlah engkau biarkan orang-orang kafir itu

bertempat dimuka bumi. Sesungguhnya jika engkau biarkan tinggal, niscaya mereka

akan menyesatkan hamba-hamba Engkau, dan mereka hanya akan melahirkan anak-

anak yang jahat dan tidak tahu berterima kasih.

Meskipun secara umum subsekte Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar

dianggap kafir, namun masing-masing sub sekte tersebut masih berbeda pendapat tentang

pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran

surat Al-Maidah 44:

” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alllah, maka

mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( Q.S Al-Maidah 44 )

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

82

Disinilah letak penjelasannya sebagaimana mudahnya golongan Khowarij terpecah

belah menjadi subsekte-sub sekte yang banyak, serta dapat pula dimengerti tentang sikap

mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap para penguasa pada zamannya.

a. Al-Muhakkimah

Golongan ini adalah golongan Khowarij dan terdiri dari para pengikut Ali, menurut

golongan ini Ali, Mu’wiyah, dan kedua utusan dari kedua belah pihak yaitu Amr Ibn Al-

Ash, dan Abu Musa Al Asyari, dan semua yang terlibat dalam arbitrase, dianggap

bersalah dan mereka menghukuminya kafir.

Menurut golongan ini, hukum kafir diluaskan artinya sehingga pelaku dosa besar pun,

seperti berbuat zina, membunuh tanpa adanya alasan yang sah termasuk dalam golongan

orang yang berbuat dosa besar dan dihukumi keluar dari islam dan menjadi kafir.

b. Al-Azariqoh

Sub-sekte Az-zariqah ini, bersikap lebih radikal lagi dibanding subskte Al-

Muhakimmah, golongan ini tidak lagi memakai istilah kafir dalm menghukumi pelaku

dosa besar, tapi mereka menggunakan term musyrik polytheist, yang mana musyrik

merupakan dosa yang paling tinggi tingkatanya. Yang mereka anggap musyrik ialah semua

orang isam yang tidak paham dengan mereka, meskipun orang islam yang sepaham dengan

golongan ini, tapi tidak mau berhijrah kedalam barisan mereka juga dianggap musyrik dan

wajib dibunuh. Karena dalam pandangan golongan ini hanya daerah merekalah yang

merupakan negara isam dan yang lain dianggap dar al-kufr. yang mereka anggap harus

diperangi. Dan yang mereka anggap musyrik bukan hanya orang dewasa dan anak anakpun

ikut mereka anggap musyrik (yang bukan dari golongan mereka).

c. Al-Najdad

Najdah Ibn ‘Amr al-Hanafi dari Yamamah adalah pimpinan sub sekte ini. Kelompok

ini berlainan pendapat dengan kedua kelompok diatas dalam mensikapi pelaku dosa besar,

menurut pendapat subsekte ini pelaku dosa besar yang menjadi kafir dan yang kekal

didalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan golongan mereka,

adapun jika pengikutnya melakukan dosa besar , tetap dimasukkan kedalam neraka dan

mendapat siksaan tetapi tidaklah kekal didalamnya dan kemudian akan dimasukkan

kedalam surga.Dosa kecil bagi mereka bisa menjadi besar apabila dikerjakan secara

berulang-ulang,dan pelakunya akan menjadi musyrik.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

83

Dalam kalangan golangan Khawarij subsekte An-Najdad inilah yang pertama kali

memperkenalkan faham taqiah yaitu merahasiakan atau tidak menyatakan keyakinan demi

untuk keselamatan seseorang, taqiah menuru mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan

saja tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata atau

melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan bahwa dirinya bukanlah seorang

meslim tapi hakikatnya dia adalah seorang yang tetap menganut agam Islam. Tapi dalam

hal ini tidak semua dari pengikut An-Najdad yang bisa menyetujui faham tersebut diatas,

terutama pada doktrin yang menyatakan bahwa dosa besar tidak menjadikan pengikutnya

menjadi kafir dan dosa kecil dapat menjadi besar apabila dilakukan secara berulang-ulang.

d. Al-Ajaridah

Subsekte ini adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad, yang menurut al-

Syahrastani dalamal-Milal adalah salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi.Menurut faham

golongan Al-jaridah, anak kecil tidak dapat dikatakan berdosa dan musyrik dikarenakan

orang tuanya dianggap berdosa dan musyrik.

e. Al-Sufriyah

Golongan ini mempunyai pemimpin Zaid Ibn Al-Asfar. Dalam faham mereka lebih

cenderung dekat kepada subsekte Al-Azariqah, dan oleh sebab itu mereka dikatakan

termasuk golongan yang extrim, tapi dalam beberapa hal mereka agak lunak dalam

berpendapat. Dalam sub bahasan berikut penulis akan menyebutkan beberapa pendapat

subsekte ini :

1. Orang-orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap kafir.

2. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.

3. Mengenai orang yang melakukan dosa besar, tidak semua dari mereka berpendapat

bahwa pelaku dosa besar menjadi musyrik dan dimasukkan kedalam neraka, dalam

hal ini ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, yaitu

dosa yang ad sangsinya didunia ini, seperti melakukan perkosaan, membunuh

tanpa adnya alasan yang dapat mengesahkan. Dan dosa yang tidak mempuanyai

efek sangsi didunia ini, seperti meninggalkan shalat, meninggalkan puasa dan lain-

lain. Menurut pandangan sebagaian golongan ini orang yang melakukan dosa pada

kategori dosa yang pertama tidaklah dapat dipandang kafir, dan hanyalah orang

yang melakukan dosa pada kategori dosa yang kedua itulah yang dapat dikatakan

kafir.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

84

4. Daerah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka bukalah dar harb yaitu

daerah yang wajib diperangi tetapi yang wajib diperangi hanyalah camp

pemerintah, dan anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.

5. Kafir bagi mereka ada dua macam, yaitu kufur ni’mat kurf bi inkar al-

nim’ah dan kurf bi inkar al-rububiyah atau menginkari Tuhan, dengan demikian

mereka beranggapan bahwa istilah kafir tidak selamanya harus dikatakan keluar

dari agama Islam.

Disamping pendapat-pendapat yang telah penulis paparkan diatas, ada beberapa pendapat

yang lebih spesifik sifatnya.

1. Ta qiah, atau merahasiakan keyakinan demi keselamatan seseorang, hanya boleh

dilakukan dalam perkataan dan tidak boleh dilakukan dalam bentuk perbuatan.

2. Meskipun demikian, demi keselamatan dirinya seorang muslimah dibolehkan menikah

dengan laki-laki kafir.

Al-Ibadiah

Diantara beberapa subsekte dari golongan Khawarij, subsekte inilah yang dapat

dikatakan yang paling moderat. Paham kemoderatan mereka dapat dilihat dari doktrin

ajaran mereka, dibawah ini penulis akan menyebutkan beberapa ajaran-ajaran mereka :

1. Orang yang tidak sama fahamnya dengan mereka tidaklah dikatakan mu’min dan tidak

pula dikatakanmusyrik tapi dikatakan kafir. Dengan orang islam yang demikian itu

boleh diadakan ikatan perkawinan dan hubungan waris, Syahadad mereka dianggap

masih dapat diterima. Dan orang yang seperti ini haram untuk dibunuh.

2. Daerah orang islam yang tidak sefaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah

adalah dar tawhidatau daerah orang yang meng Esakan Allah, tidak boleh diperangi.

Dan yang harus diperangi hanyalah ma’askar pemerintah atau camp pemerintah.

3. Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan senjata, sedangkan emas

perak dan harta- harta yang lainnya harus dikembalikan kepada yang mempunyai.

4. Sedangkan dalam persoalan dosa besar, subsekte ini menganggap pelaku dosa besar

adalah muwahhid yang meng-Esakan Tuhan, tetapi tidaklah mu’min. Dan juga

bukan kafir millah atau kafir agama, dengan demikian subsekte ini berpendapat bahwa

pelaku dosa besar tidak berarti keluar dari agama Islam.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

85

Menurut ajaran Murji’ah

Persoalan perbedaan faham terhadap pelaku dosa besar yang ditimbulkan oleh golongan

Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan bahan pembahasan bagi para tokoh-

tokoh Murji’ah. Kalau pada umumnya kaum Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, lain

lagi yang diajarkan golongan Murji’ah, golongan ini menghukumi Tetap Mu,min bagi orang

islam yang melakukan dosa besar, adapun masalah dosa yang mereka perbuat, itu ditunda

penyelasaiannya/pembalasannya pada hari perhitungan kelak.Argumen yang mereka gunakan

dalam mensikapi hal tersebut ialah.

Bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain

Allah dan bahwa nabi Muhammmad adalah utusan Allah, dengan kata lain mereka masih

mengakui bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar tetap mu’min karena masih

mengucapkan dua kalimat syahadad yang menjadi dasar utama dari iman, oleh karena itu

pelaku dosa besar tetap mu’min dan bukan kafir.

Oleh karena itu dalam hal tahkim, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang

bersalah dan yang benar, mereka menunda bagaimana hukum persoalan tersebut arja’a atau

diserahkan kepada Allah. Dengan demikian kelompok Murji’ah pada mulanya merupakan

golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika

itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirkah orang-

orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.

Arja’a selanjutnya mempunyai arti memberi pengharapan bagi yang telah melakukan

perbuatan dosa besar untuk mendapatkan rahmad Allah, dihari perhitungan kelak. Ada juga

pendapat yang mengatakan bahwa nama murji’ah diberikan kepada golongan ini bukan

karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada

Allah dihari perhitungan kelak dan bukan karena memandang perbuatan mengambil tempat

kemudian dari pada iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan kepada para pelaku

dosa besar untuk dapa masuk kesurga.

Secara umum pandangan kaum Murji’ah dalam mensikapi pelaku dosa besar adalah

menunda atau menanguhkan persoalan dihadapan Allah nanti dihari pembalasan, namun

untuk lebih jelasnya golongan ini memberi hukum pada status pelaku dosa besar penulis akan

menyebutkan rincian bagaimana golongan ekstrim dan golongan moderat memberi satatus

pada pelaku dosa besar.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

86

a. Golongan Murji’ah ekstrim

Golongan murji’ah ekstrim berpandangan bahwa iman adalah didalam kalbu, bukan

secara demonstartif, baik dalam ucapan ataupun dalam tindakan perbuatan, oleh karena itu

menurut golongan ini kalau seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap

sebagai seorang mu’min sekalipun menampakkan sikap seperti seorang nasrani atau yahudi.

jadi menurut golongan ekstrim, kalau melihat dari konsep iman mereka , perbuatan dosa

sekalipun dosa itu adalah dosa besar tidak mempunyai pengaruh hukum pada status pelaku

dosa besar.

b. Aliran Murji’ah Moderat

Golongan Murji’ah moderat berpandangan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir,

dan tidaklah kekal didalam neraka, tetapi akan dihukum didalam neraka hanya sesuai dengan

besarnya dosa yang mereka perbuat dan ada kemungkinan Tuhan akan memberi ampunan atas

dosa yang mereka perbuat, sehingga mereka bisa tidak dimasukkan kedalam neraka sama

sekali dikarenakan kehendak / ampunan Tuhan.

c. Aliran Mu’tazilah

Perbedaan golongan Mu’tazilah dengan golongan lain yaitu bila golongan Khawarij

memberi status kafir kepada pelaku dosa besar, dan jika murji’ah menanguhkan setatus orang

yang melakukan dosa besar dihadapan Allah kelak dihari pembalasan. Sedang aliran

Mu’tazilah tidak menentukan status atau predikat yang pasti bagi para pelaku dosa besar.

Jika kita melihat sedikit sejarah tentang masalah berpisahnya seorang tokoh sentral

Mu’tazilah yaitu Washil Bin Atha’ dengan sang guru yaitu Hasan Basri seorang Tabiin dari

Basrah yang wafat pada tahun 110 H. Pangkal persoalannya yaitu masalah seorang mu’min

yang melakukan dosa besar tapi tidak bertaubat sebelum meninggal.

Dalam pendapat Imam Hasan Basri, apabila seorang muslim telah melakukan dosa

besar seperti melakukan pembunuhan tanpa adanya alasan yang dibenarkan, atau melakukan

perbuatan zina, atau mendurhakai orang tuanya, Dan lain lain, menurutnya seorang itu

tidaklah dikatakan kafir tetapi dikatakan sebagai mu’min yang durhaka. Jika dia meninggal

dalam keadaan belum bertaubat, ia akan dihukum didalam neraka beberapa waktu, dan

kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan surga setelah selesai menjalani hukuman

atas dosanya.

Sedangkan Washil Bin Atha’ berpendapat lain tentang hal tersebut, menurut tokoh

aliran Mutazilah ini bahwa seorang yang telah melakukan dosa besar dan mati atas dosanya

tidaklah mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tapi diantara mu’min dan kafir. Pelaku dosa

besar tersebut akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, seperti hukuman

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

87

untuk orang kafir, tetapi hukumannya diringankan ” nerakannya tidak sepanas untuk orang

kafir ”

Jadi aliran Mu’tazilah menetapkan status bagi pelaku dosa besar ialah diantara kafir

dan mu’min atau dalam istilah merka yang terkenal yaitu manzilah bain al

manzilatain, dikarenakan istilah itulah mereka dikatakan aliran Mu’tazilah (menurut salah

satu versi), dikarenakan mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari ( tidak masuk )

dalam golongan mu’min ataupun kafir.

Mengenai perbuatan apa saja yng di katagorikan sebagai dosa besar, aliran mu’tazilah

memaparkan lebih dan merumuskannya dengan lebih konseptual dari pada aliran Khawarij,

yang dimaksud dosa besar menurut pandangan aliran ini adalah segala perbuatan yang

ancamannya telah ditegaskan dalam nash, sedangkan menurut aliran Mu’tazilah yang di

kategorikan dosa kecil adalah dosa atau ketidak patuhan yang ancamannya tidak ditetapkan

dalam nash.Tampaknya kaum Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar untuk

menentukan dosa besar atau dosa kecil.

Masih menurut aliran Mu’tazilah pelaku dosa besar bukanlah kafir seperti yang

dihukumkan oleh kelompok Khawarij, dan bukanlah dapat dikatakan tetap mu’min seperti

kaum Murji’ah memberikan status untuk pelaku dosa besar. Menurut Mu’tazilah pelaku dosa

besar dikategorikan fasik, yaitu posisi yang menduduki antara mu’min dan kafir, kata mu’min

menurut Washil Ibn Atha’ merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan

fasik dengan dosa besarnya, tapi predikat kafir tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena

dibalik dosa besar yang dilakukannya ia masih mengucapkan dua kalimat syahadad dan masih

melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.

d. Aliran Asy’ariyah

Dalam menghukumi pelaku dosa besar, aliran Asy’ariyah tidak mengkafirkan orang-

orang yang sujud kebaitulloh walupun dia melakukan dosa seperti, membunuh tanpa adanya

alasan yang mengesahkan. Menurut aliran ini pelaku dosa besar itu masih tetap sebagai orang

yang mu’min dengan keimanan yang mereka miliki, sakalipun dia berbuat dosa besar. Tetapi

jika perbuatan dosa itu dilakukan dengan anggapan bahwa perbuatan dosa itu dibolehkan atau

dihalalkan maka dan tidak meyakini keharaman perbuatan tersebut maka yang demikian itu

dihukumi kafir,Adapun balasan bagi pelaku dosa besar nanti diakherat, apabila dia meninggal

dalam keadaan tidak sempat bertaubat, menurut aliran ini tergantung akan kebijakan Tuhan

Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat mengampuni dosa pelaku dosa besar, dan atau

pelaku dosa besar bisa mendapatkan Syafaat Nya Nabi Muhammad, sehingga ia dapat bebas

dari siksaan atau sebaliknya Tuhan Menghukumnya dengan memberi siksaan neraka sesuai

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

88

dengan dosa yang telah dilakukannya. Meskipun demikian ia tidak akan kekal didalam neraka

seperti orang kafir lainnya, dan setelah selesai disiksa ia akan dimasukkan kedalam syurga.

Akan lebih jelasnya penulis akan menyapaikan doktrin-doktrin aliran Asy’ariyah

mengenai pelaku dosa besar. Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan meninggal

sebelum taubat, maka orang tersebut masih dianggap mu’min, dalam urusan hak saudara

muslim, seperti memandikan, mengkafani, dan mensholatkan jenazah orang mu’min yang

melakukan dosa besar tersebut, dan mengkuburkan secara mu’min adalah kewajiban kita.

Tapi secara hakikat dia adalah orang mu’min yang durhaka.i

Mu’min pelaku dosa besar, diakherat nanti akan mendapat beberapa kemungkinan :

1. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dengan sifat pemurahNya Tuhan, karena

Tuhan Maha Pemurah, dan ia lansung dimasukkan kedalam surga tanpa hisab.

2. Boleh jadi dia mendapatkan syafaat dari nabi Muhammad. yakni dibantu oleh nabi

Muhammad, sehingga dia dibebaskan Tuhan dari segala siksaan,dan lansung

dimasukkan kedalam surga.

3. Kalau kemungkinan dua diatas tidak terjadi pada pelaku dosa besar maka dia akan

disiksa didalam neraka sesua kadar dosanya, dan kemudian dia akan dibebaskan dari

siksaan dan dimasukkan surga dan kekal didalamnya karena saat didalam dunia dia

adalah seorang yang beriman.

Itulah tiga kemungkinan yang diyakini oleh aliran ini untuk orang mu’min yang

berdosa besar dan tidak sempat bertaubat.

Adapun dasar dalil yang digunakan aliran ini adalah dalam Al-Quran surat An-Nisa’

ayat: 48.

“Bahwasannya Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau Ia dipersekutukan, tapi

diampuninya selain dari pada itubagi siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang

mempersekutukan Tuhan sesungguhnya dai memperbuat dosa yang sangat besar (An-

Nisa’ 48)

Menurut ayat diatas barang siapa yang melakukan perbuatan dosa besar ataupun kecil,

kalau dosa itu tidak mempersekutukan Tuhan, maka dia bisa diampuni dan mereka

menggunakan hadist dibawah ini sebagai sandaran dalil atas i’itiqad aliran ini mengenai

mu’min yang berdosa besar.

“Maka Tuhan berfirman: maka demi kegagahan-Ku, demi kebesaran-Ku, demi

Ketinggian-Ku, dan demi keagungan-Ku, aku keluarkan dari neraka sekalian

orang yang mengucapkan “Tiada Tuhan Melainkan Allah ” (H.R. Bukhori)

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

89

Menurut hadits ini, ada sekumpulan orang yang sudah kena hukuman didalam neraka

lantas dikeluarkan lagi dan dimasukkan kedalam surga. Menurut aliran ini, itu adalah mereka

orang-orang mu’min yang durhaka, dengan melakukan perbuatan dosa semasa hidupnya.

Selain dalil diatas, Nabi Muhammad menerangkan pada suatu hari :

“Dari Abu Dzar RA, ia berkata: Berkata Rosullulah SAW: Datang pesuruh Tuhan

mengabarkan kepada say, bahwa barang siapa meninggal, sedang ia tidak

mensekutukan Tuhan sedikitpun, lalu Abu Dzar berkata: walau dai pernah dan

mencuri ? jawab Rosulullah: Ya, wlaupun ia pernah melakukan zina dan

mencuri” (HR Bukhori Muslim)

Aliran ini mengunakan dalil-dalil diatas untuk menguatkan I’itiqad mereka bahwa

mu’min pelaku dosa besar tidaklah berada didalam neraka selamanya. Dan penulis menambah

cuplikan dari kitab kifayatul Awam, bahwa penganut aliran ini berkewajiban i’itikad bahwa

dosa besar tidak menyebabkan kekafiran.

“Dan diantara perkara yang wajib mengi’tiqadkannya adalah bahwa jatuh dalam dosa-

dosa besar tidak mengkafirkan (dalam arti) tidak mewajibkan kekafiran. Dan wajib

taubat seketika itu walaupun itu dosa kecil berdasarkan qaul yang mu’tamad padanya (

dosa yang kecil) Dan tidak menjadi batal taubat itu dengan sebab kembalinya kepada

dosa melainkan wajib bagi dosa itu melainkan dosa yang baru”

Pada intinya terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-

Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun

melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai

orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.

Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan

(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat

kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut

al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkehendak

mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi

yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para

pelaku dosa besar.

3. Menurut Aliran Maturidiyah

Menurut aliran maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan

bahwa pelaku dosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya, Adapun

balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukan nya di

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

90

dunia.Al-maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak dapat

dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat . hal itu

di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai

dengan perbuatanya. kekal dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik.

4. Menurut Aliran Syi’ah Zaidiyah

Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal

di dalam neraka, jika ia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini,

Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat

washil bin Atha’, mempunyai hubungan dengan zaid bahkan ada pendapat yang mengatakan

bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin Atha’.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

91

BAB X

PERBANDINGAN ANTARA

IMAN DAN KUFUR

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

92

Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islamadalah masalah Iman

dan Kufur.Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum khawarij ketika mencap kafir

sejumlah tokoh sahabat NabiMuhammad SAW yang dipandang telah berbuat dosa besar,

antara lain ‘Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, ‘Amr bin

‘Ash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam,Dan ‘Aisyah, istri Rasulullah

SAW.Masalah ini lalu dikembangkan oleh khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap

pelaku dosa besar adalah kafir.

Pernyataan teologis Khawarij seperti itu selanjutnya bergulir menjadi bahan

perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh, termasuk aliran

Murji’ah, Mu’tazillah, Assa’riyah, dan Mturidiah mengambilbagian dalam polemik tersebut.

Bahkan, di dalam setiapaliran tersebut terdapat nuansa perbedaan pandangan di antara sesama

pengikutnya.

Perbincangan konsep Iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seperti

yang terlihat dari berbagai literatur ilmu kalam, sering nampak menitik beratkan hanya pada

satu aspek dari dua tema, yaitu iman dan kufur. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan

tentangkonsep kufur. MenurutHasan (I. 1935 M)setidaknya ada empat istilah kunci yang

biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu :

(1) marifah bi al-aql, mengetahui dengan akal; (2) amal, perbuatan baik atau patuh; (3) iqrar,

pengakuan secara lisan ;dan (4) tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk di dalamnya

marifah bii al-qalb (mengetahui dengan hati.

Keempat istilah kunci di atas, misalnya terdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW.

Yang di riwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri

Artinya :

“Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, maka hendaklah kamu

mengambiltindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, maka lakukanlah dengan

ucapanmu.Jika itu pun engkau tidak mampu melakukannya, maka lakukanlah dengan

kalbumu (akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

93

A. Aliran Khawarij

Sebagai kelompok yang terlahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij

terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur sebenarnya lebih bertendensi politis

daripada ilmiah teoritis. Kebenaranpernyataan ini tidak bisa di sangkal karena seperti yang

telah di ungkapkan sejarah bahwa khawarij mula-mula memunculkan persoalan teologis

seputar masalah, “apakah ‘Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin? “Apakah

muawiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas pertanyaan ini

kemudian menjadi pijakan dasar dari teologi mereka. Mereka berpendapat bahwa ‘Alidan

Muawiyah telah melakukan tahkim kepada manusia, mereka telah berbuat dosa besar.i

Iman dalampandangan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Akan tetapi,

melakukan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Oleh

karena itu, segala perbuatan yang religius, termasuk didalamnya masalah kekuasaan adalah

bagian darikeimanan (al-‘amal juz al-iman). Siapa pun yang menyatakan dirinya beriman

kepada Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban

agama, bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh khawarij di pandang kafir.

Lain halnya dengan subsekta khawarij yang sangat moderet, yaituIbadiyah.Subsekte ini

memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetapsebagai muwahhid (pandangan

mengesan tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebutkafir, tetapi hanya

merupakan kafir nikmat dan bukan kafir billah (agama).Siksaan yang akan mereka terima di

akhirat nanti adalah kekal di dalam nerakabersama orang-orang kafir lainnya.

B. Aliran Murji’ah

Abu Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi murji’ah berdasarkan

pandangannya tentang iman sebanyak 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiah, Ash- Shalihah, Al-

Yunusiah, Asy Syimriah, As- Saubaniyah, An-Najariah, Al-Kailaniahbin Syabibdan

pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniah, Al-Marisiah, dan Al-Karamiah.

Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrahmembedakan Murji’ah menjadi dua kelompok

utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah sunnah) dan Murji’ah ekstrem (Murji’ah Bid’ah).

Iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq.

Ditambahkannya pula bahwa iman bertambah dan tidak berkurang.7Hal ini merupakan

sikap umum yang di tunjukkan oleh murji’ah, baik ekstrem maupun moderat, seperti Al-

Jahmiah, Asy Syimriah, dan Al-Ghailaniah.Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

94

seluruh umat Islam sama dalam tauhid dan keimanan. Meskipun demikian, mereka berbeda

dari segi intensitas amal perbuatannya.Satu hal yang patut di catat adalah seluruh subsekte

Murji’ah yang di sebut oleh Asy’ari, kecuali As-Saubaniah, At-Tuminiah, dan Al-Karramiah,

memasukkan unsur ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka.Pertanyaannya, apa

yang mereka maksudkan dengan ma’rifah? Mereka beranggapan bahwa yang di maksud

dengan ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya (al- mahabbah wa al-

khudhu’)

C. Aliran Mu’tazilah

Seluruh pemikir mu’tazilah tampaknya sepakat menyatakan bahwa amal perbuatan

merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir mengidentikannya.

Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan

memilikiketerkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman) yang

merupakan satu dari “pancasila” mu’tazilah.Aspek penting lain dalam mu’tazilah tentang

iman adalah yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dengan

akal).Ma’rifah menjadi unsur penting dari iman karena pandanganmu’tazilah yang bercorak

rasional.

Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman dalam pandangan mu’tazilah

berimplikasi pada sikap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain. (al-iman bi at-

taqlid).13Disini mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan

akalbagi keimanan. Apalagibagi mu’tazilah, seperti dijelaskan Harun Nasution, segala

pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat

diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, bagi mu’tazilah,iman seorang

dikatakan benar apabila berdasarkan akal, bukan taqliq kepada orang lain.i

Pandangan mu’tazilah seperti di atas,menurut Thoshihiko Isuzu, pakar teologi Islam

asal Jepang, sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal.Sebab,hanya

para mutakkallim (teologi) yang benar-benar menjadi orang yang beriman. Sama halnya

masyarakat awam yang mayoritas umat biasa dengan pemikiran teologis, menurut konsepsi

mu’tazilah tersebut tidak dipandang memenuhi sebagai orang yang benar-benar beriman.

Masalah fluktuasi iman yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran

Murji’ahdisinggung pula oleh Mu’tazillah. Mu’tazilah berpendapat bahwa seorang manusia

meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

95

Sebaliknya, apabila setiap kali berbuat maksiat, imannya semakin berkurang.15 Kenyataan ini

dapat dipahami seperti halnya Khawarij, memasukkan unsur amal sebagai unsur penting

dalam iman (al-‘amal juz’min al-iman).

D. Aliran Asy’ariah

Agak pelik sebenarnya memahamimakna iman yangdi berikan oleh Abu Hasan Al-

Asy’ari. Sebab, di dalam karya-karyanya, seperti maqalat Al-Ibanah dan Al-Luma’,iman di

definisikannya secara berbeda satu sama lain. Dalam maqalat dan Al-Ibanah disebutkan

bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma’

iman di artikan sebagai tasdhiq bi Allah. Argumentasinya bahwa kata”mukmin” seperti di

jumpai dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 17 memiliki hubungan makna dengan kata

shadiqin dalam ayat itu. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi al-

qalb (membenarkan dengan hati)Diantara definisi definisi Iman yang sesungguhnya di

inginkan Al-Asy’ari dapat diperoleh dari penjelasan yang di kemukakan oleh Asy-

Syahrastani, salah seorang teologi Asy’riah. Asy-Syahrastani menulis :

Al-Asy’ari berkata,”...Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-qalb bi a-janan

(membenarkan dengn qalbu) sedangkan mengatakan (qawl) dengan lisan dan melakukan

berbagai kewajiban utama (amalbi al-arqan) sekedar dengan melakukan furu’(cabang-

cabang) iman.Oleh sebab itu,siapapun yang membenarkan keesaanTuhandengan kalbu nya

dan membenarkan utusan-utusan-Nya beserta yang mereka bawa darinya, imanorang

semacam itu merupakan iman yang shahih...dan seseorang tinggal keimananya, kecuali jika

mengingkari salah satu dari hal tersebut,”

Keterangan Ast-Syahrastani di atas, di samping mengonvergensikan kedua definisi yang

diberikan Al-Asy’ari dalam maqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma’ pada satu titik pertemuan, yang

menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, qawl, dan amal) pada posisinya masing-masing.

Jadi, bagi Asy’ari dan Asy’ariah, persyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah tashdiq,

yang diekspresikan secara verbal akan berbentuk syahadatain.

E. Aliran Maturidiah

Dalam masalah iman, aliran maturidiah samarkand berpendapat bahwa iman adalah

tashdiq bukan semata-mata ikqrar bi al-lisan. Pengertian semacam ini dikemukakan oleh Al-

maturidi sebagai bantahan terhadap Al- Karamiah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

96

berargumentasi dengan Al-Qur’an surah Al-Hujurat. Menurut Al-Maturidi sebagai suatu

penegasan bahwa iman tidak hanya cukup dengan perkataan, semantara kalbu tidakberiman.

Apa yang diucapkan dengan lidah dalambentuk pernyataan iman menjadi bantal apabila hati

tidak mengakuiucapan lidah. Meskipun demikian, Al-Maturidi tidak berhenti sampai di sana.

Tashdiq seperti yang di pahami di atas adalah yang harus di peroleh dari ma’rifah. Tasdhiq

hasil ma’rifah menurut Al-Maturidi adalah yang didapatkan melalui penalaran akal. Bukan

sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasaripandangannya dengan dalil

naqli surah Al-Baqarah ayat 260.

Al-Maturidi menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada tuhan untuk

memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim

tersebut, tidak berarti Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, yang dimaksud dengan Ibrahim

adalah agar iman yang dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, bagi

Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah

bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab hadirnya iman.

Adapun pengertian iman menurut Maturidiah Bukhara, seperti yang di jelaskan oleh Al-

Bazdawi adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi lisan. Lebih lanjut di jelaskannya bahwa

yang di maksud demgan tasdhiq bial-qalbadalah meyakini dan membenarkan dalamhati akan

keesaan Allah dan Rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang di bawa dari-Nya.

Adapun tashdiq bi lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran Islam secara

verbal. Jadi, iman adalah tashdiq yang berisikan pembenaran denagan kalbu dan pengakuan

secara verbal.

Pendapat Maturidiah Bukhara tampak nya tidak banyak berbeda dengan Asy’riah yang

sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan, meskipun dengan

pengungkapan yang berbeda pula.

Dari penelaahankarya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan pendapatnya berkenaan

dengan masalah fluktuasi iman. Meskipun demikian, komentarnya terhadap Al-fiqh Al-Akbar

karya Abu Hanifah tentang fluktuasi iman bisa di jadikan referensi sebagai pendapatnya. Al-

Maturidi tidak mengakui adanya fluktuasi iman. Al-Maturidi berbeda dengan Abu Hanifah

dalam hal menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Halitu dilakukukan dengan

sikap penerimaannya terhadap hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa skala

iman Abu Bakar lebih berat dan lebih besar daripada skalaiman seluruh manusia.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

97

Maturidiah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda dengan di atas. Al-

Badzawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan

ibadah-ibadah yang di lakukan. Al-Badzawi menegaskan hal tersebut dengan membuat

analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan tidak lebih sebagai bayangan dari iman. Jika

bayangan itu hilang, yang di gambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang esensinya.

Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang(ibadah), iman menjadi bertambah.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

98

BAB XI

ANTARA PERBUATAN TUHAN DAN

PERBUATAN PERBANDINGAN MANUSIA

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

99

A. Perbuatan Tuhan

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa tuhan melakukan perbuatan-

perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari Dzat yang memiliki kemampuan

untuk melakukannya.

1. Aliran mu’tazilah

Aliran mu’tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa

perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini bukan berarti bahwa

tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk tidak dilakukan-Nya karena

ia mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Bahkan, didalam al quran dikatakan bahwa

tuhan tidak berbuat zalim.i Ayat-ayat al quran yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah untuk

mendukung pendapat diatas adalah surat al anbiya ayat 23 dan ar-rum ayat 8.

Qadi abd al-jabbar, seorang tokoh mu’tazilah, mengatakan bahwa ayat tersebut memberi

petunjuk bahwa tuhan tidak akan ditanya mengenai perbuatan-Nya, tetapi manusia yang

ditanya tentang yang mereka perbuat. Al jabbai menjelaskan bahwa tuhan hanya berbuat baik

dan maha suci dari perbuatan buruk dengan demikian, tuhan tidak perlu ditanya. Al jabbai

menjelaskan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik,

sebenarnya tidak perlu ditanya kenapa perbuatan itu dilakukan.iAyat terakhir dikatakan al

jabbai mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-

perbuatn buruk. Apabila tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan

langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentu tidak benar atau merupakan berita

bohong.

Dasar pemikiran di atas serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar

dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong

kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban

terhadap manusia kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu

kewajiban berbuat baik bagi manusia. Paham kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang

terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran mu’tazilah memunculkan paham

kewajiban-kewajiban allah.

a). Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia

Memberi beban Di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan

dengan paham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu, aliran mu’tazilah tidak dapat

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

100

memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul. Hal ini juga bertentangan

dengan paham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat adil jika ia memberi beban

yang terlalu berat kepada manusia.

b). Kewajiban mengirimkan rasul

Bagi aliran mu’tazilah dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib,

pengiriman rasul seharusnya tidak begitu penting. Akan tetapi mereka memasukkan

pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban tuhan. Argument yang

dimajukan mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui yang harus diketahui

manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, tuhan berkewajiban berbuat yang baik

dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, tidak dapat memperoleh

hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.

c). Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id)

Sebagaimana diketahui bahwa janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar

kepercayaan aliran mu’tazilah. Hal ini erat hubungan nya dengan dasar keduanya, yaitu

keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala

kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat.

Selanjutnya, keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan

dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan

ancaman adalah wajib bagi tuhan.

2 Aliran asy’ariah

Bagi aliran asyariah paham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia

(ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran mu’tazilah tidak dapat diterimanya

karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Hal ini ditegaskan

al ghazali (1055-1111) ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan

terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran asy’ariah tidak menerima paham tuhan

mempunyai kewajiban. Paham mereka bahwa tuhan dapat berbuat sekendak hati-Nya

terhadap makhluk, mengandung arti bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa.

Sebagaimana dikatakan al ghazali, perbuatan-perbuatan tuhan bersifat tidak wajib (jaiz) dan

tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

101

Karena percaya pada kekuasaan mutlak tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak

mempunyai kewajiban, aliran asy’ariah dapat menerima paham pemberian beban yang diluar

kemampuan manusia. Al asy’ari dengan tegas mengatakan dalam al-luma’ bahwa tuhan dapat

meletakkan beban yang tidak dapat dipikul manusia. Al ghazali mengatakan demikian juga

dalam al iqtishad.

Meskipun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran asy’ariah

menolaknya sebagai kewajiban tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa

tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Paham serupa ini dapat membawa

akibat yang tidak baik.

Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup mereka akan

mengalami kekacauan karena tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik

dan buruk. Manusia berbuat yang dikehendakinya. Sesuai dengan paham asy’ariah tentang

kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi

mereka. Tuhan berbuat yang dikehendaki-Nya. Apabila ia menghendaki manusia hidup dalam

masyarakat kacau, itu tidak menjadikan apa-apa. Tuhan dalam paham aliran asy’ariah tidak

berbuat untuk kepentingan manusia.i

Karena tidak mengakui kewajiban-kewaiban tuhan, aliran asy’ariah berpendapat bahwa

tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut

dalam al-quran dan hadist. Akan tetapi, disini timbul persoalan bagi aliran asy’ariah karena

dalam al quran dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan

siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata arab man,

alladzina dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh asy’ari diberi interpretasi

“siapa” dalam ayat “barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, ia

sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya” mengandung arti bukan seluruh,

malainkan sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan

mendapat hukuman bukan semua orang, melainkan sebagian orang yang menelan harta anak

yatim piatu. Adapun yang sebagian interpretasi demikian, al- asy’ari mengatasi persoalan

wajib nya tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.i

3. Aliran maturidiah

Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara maturidiah

Samarkand dan maturidia Bukhara. Aliran maturidiah Samarkand, yang juga memberikan

batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya

menyangkut hal-hal yang baik. Dengan demikian, tuhan mempunyai kewajiban melakukan

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

102

yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang maturidiah Samarkand

sebagai kewajiban tuhan.i

Maturidiah Bukhara sejalan dengan pandangan asy’ariah mengenai paham bahwa tuhan

tidak mempunyai kewajiban. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan oleh badzawi, tuhan harus

menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, meskipun tuhan

membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan maturidiah

Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan

kehendak mutlak tuhan, tidak bersifat wajib, tetapi bersifat mungkin. Aliran samarkhand

memberi batasan-batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan demikian

dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan, sekurang-kurangnya

kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan hukuman.

Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemapuannya (taklif ma la

yutaq) aliran maturidiah Bukhara dapat menerimanya. Al-bazdawi berkata tuhan tidak

mustahil meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dipikulnya.

Aliran maturidiah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan mu’tazilah. Menurut

syarh al-fiqh al-akbar al maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran asy’ariah karena al

quran mengatakan bahwa tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang

tidak terpikul. Pemberian beban yang tidak terpikul sejalan dengan paham golongan

Samarkand bahwa manusia sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, bukan tuhan.

Tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dalam aliran maturidiah golongan

Bukhara mempunyai paham yang sama dengan aliran asy’ariah. Pengiriman rasul menurut

mereka tidak bersifat wajib, dan hanya bersifat mungkin. Adapaun pendapat aliran maturidiah

Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan al-bayadi. dalam isyarat al-

maram, al-bayadi menjelaskan bahwa keumuman maturidiah sepaham dengan mu’tazilah

mengenai wajibnya mengirim rasul.

Mengenai kewajiban tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran maturidiah

Bukhara tidak sepaham dengan aliran asy’ariah. Dalam pendapat mereka sebagaimana

dijelaskan oleh badzawi, tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah

kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya tuhan tidak mungkin membatalkan

ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, nasib

orang yang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak tuhan. Jika tuhan

berkehendak untuk memberi ampunan kepada orang yang berdosa, tuhan tidak

memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara atau untuk selama-lamanya. Bukan tidak

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

103

mungkin bahwa tuhan memberi ampunan kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampunan

kepada orang lain meskipun dosanya sama.

Uraian bazdawi di atas mngandung arti bahwa tuhan wajib menepati janji untuk

memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian tuhan dalam paham al bazdawi

mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang

dijelaskan sebelumnya bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Menurut

paham al-bazdawi, kekuasaan dan kehendak tuhan mutlak, seperti yang dianut oleh aliran

asy’ariah. Bagi aliran asy’ariah, tuhan boleh melanggar jani-janji Nya. Bagi maturidiah

golongan Bukhara, tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada

orang orang yang berbuat baik golongan samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang

sama dengan aliran mu’tazilah. sebagaimana dilihat bahwa upah dan hukuman tuhan tidak

boleh terjadi kelak.

B. Perbuatan manusia

Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh

kelompok jabariah (pengikut ja’d bin dirham dan jahmbin safwan) dan kelompok qadariah

(pengikut ma’bad al-juhani dan ghailan ad-dimasyqi), yang kemudian dilanjutkan dengan

pembahasan yang lebih mendalam oleh filosofis aliran mu’tazilah, asy’ariah, dan maturidiah.

Akar masalah dari perbuatan manusia. Selanjutnya, tuhan bersifat mahakuasa dan

mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini, timbul pertanyaan, sampai dimanakah

manusia sebagai ciptaan tuhan bergantung pada kehenak dan kekuasaan tuhan dalam

menentukan perjalanan hidupnya oleh tuhan? Apakah manusia terikat seluruhnya pada

kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan?

1. Aliran jabariah

Tampaknya ada perbedaan pandangan antara jabariah ekstrem dan jabariah moderat

dalam masalah perbuatan manusia. Jabariah ekstrem berpendapat bahwa segala perbuatan

manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan

yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, apabila seseorang mencuri, perbuatan itu bukan

terjadi atas kehendak sendiri, melainkan timbul karena qadha dan qadar tuhan yang

menghendaki. demikian.Bahkan, jahm bin shafwan, salah satu tokoh jabariah ekstrem

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

104

mengatakan bahwa manusia tidak mampu untuk bebuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,

tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.

Berbeda dengan jabariah ekstrem, jabariah moderat mengatakan bahwa tuhan

menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia

mempunyai bagian didalam nya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek

untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquition).i Menurut

paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang

dikendalikan tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia

memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.i

2. Aliran qadariah

Aliran qadariah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas

kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan

atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu ia berhak

mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan berhak mendapatkan

hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Berkaitan dengan ini, apabila seseoang

diberi ganjaran, baik dengan balasan surga di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan

neraka di akhirat. Itu berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir tuhan. Sungguh tidak

pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan

dan kemampuannya.

Paham takdir dalam pandangan qadariah bukan dalam pengertian takdir yang umum

dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah

ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut

nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Dalam paham qadariah, takdir

adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh

isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah al quran adalah sunatullah.

Aliran qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala

perbuatan manusia pada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan

dalam doktrin islam. Banyak ayat-ayat al quran yang dapat mendukung pendapat ini,

misalnya dalam surat al-kahf ayat 29.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

105

Artinya :

“Dan katakanlah (Muhammad), kebenaran itu datangnya dari tuhanmu, barangsiapa

menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah

dia kafir.”

Dalam surat al imran ayat 165

Artinya :

“dan wahyu kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang uhud),

padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmupada perang

badar) kamu berkata dari mana datangnya (kekalahan) ini? Katakanlah, itu dari kesalahan

dirimu sendiri.”

Dalam surat Ar-rad ayat 11

Artinya

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah

keadaan diri mereka sendiri”

Dalam surat an-nisa ayat 111

Artinya :

“Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk

(kesulitan)dirinya sendiri.

3. Aliran mu’tazilah

Aliran mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh

karena itu, mu’tazilah menganut paham qadariah atau free will. Menurut al-jubba’I dan abd

al-jabbar, manusia lah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia yang berbuat baik

dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada tuhan adalah atas kehendak dan

kemauan sendiri. Daya (al-istithah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri

manusia sebelum adanya perbuatan.i

Perbuatan manusia bukan diciptakan tuhan pada diri manusia, melainkan manusia yang

mewujudkan perbuatan. Lalu, bagaiman dengan daya? Apakah diciptakan tuhan untuk

manusia, atau berasal dari manusia? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan pendapatnya bahwa

daya berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

106

perbuatan. Jadi, tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.i Aliran mu’tazilah

mengecam dengan keras paham yang mengatakan bahwa tuhan yang menciptakan perbuatan.

Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?Dengan

paham diatas, aliran mu’tazilah masih mengakui tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan

manusia berperan sebagai pihak yang mempunyai kreasi untuk mengubah bentuknya.

Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak

pula menentukannya, kalangan mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang

mengetahui segala yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang

membedakannya dari penganut qadariah murni.

Untuk membela pahamnya, aliran mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut

Artinya;

“yang memperindah segala sesuatu yang dia ciptakan” (QS As-sajdah(32):7)

Kata ahsan pada ayat di atas adalah semua perbuatan tuhan itu baik. Dengan demikian

perbuatan manusia bukan perbuatan tuhan karena di antara perbuatan-perbuatan manusia

terdapat perbuatan-perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa

manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah

perbuatan tuhan, balasan dari tuhan itu tidak ada artinya.

Di samping argumentasi naqilah diatas, aliran mu’tazilah mengemukakan argumentasi

rasional berikut ini:

a. Jika Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia tidak mempunyai

perbuatan, batal lah taklif syar’I karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan

keduanya merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak dapat terlepas dari kemampuan,

kebebasan, dan pilihan.

b. Jika manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannnya, runtuhlah teori pahala dan

hukuman yang muncul dari konsep paham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman)

karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak

sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.

c. Jika manusia tidak mempunyai kebebasandan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada

gunanya. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah, dan dakwah harus disertai

dengan kebebasan dan pilihan.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

107

Konsekuensi lain dari paham di atas, mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat

dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam. Pertama, al-ajal ath thabi’i. ajal seperti

inilah yang dipandang mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak tuhan untuk menentukannya.

Kedua, ajal yang dibuat manusia, misalnya membunuh seseorang, bunuh diri di tiang

gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.

4.Aliran asy’ariah

Dalam paham asy’ariah manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan

anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran asy’ariah

lebih dekat dengan paham jabariah daripada dengan paham mu’tazilah.i Untuk menjelaskan

dasar pijakannya, asy’ari menggunakan teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al kasb

asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang

diciptakan, dan menjadi perolehan bagi orang muktasib (yangmemperoleh kasab) sehingga

perbuatan itu timbul. Sebagai konsekuensi dari teori kasab, manusia kehilangan keaktifan,

sehingga bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.

Argument yang dimajukan oleh al-asy’ari untuk membela keyakinannnya adalah firman

allah

Artinya

“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (qs as-

saffat (37):96)

Wa ma ta’malun pada ayat di atas diartikan al-asy’ari dengan “apayang kamu perbuat”,

bukan “apa yang kamu buat”. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti bahwa Allah

menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham asy’ariah

yang mewujudkan kasab atau perbuatan manusia sebenarnya adalah tuhan.

Pada prinsipnya aliran asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan

Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Alah menciptakan

perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan

perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi manusia.

Dengan begitu, kasab mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia

yang baru. Ini berimplikasi pada penerimaan bahwa perbuatan manusia disertai dengan daya

kehendaknya, dan bukan atas daya kehendak-Nya.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

108

5.Aliran maturidiah

Sebagaimana masalah perbuatan tuhan, terdapat perbedaan antara maturidiah

Samarkand dengan maturidiah Bukhara. Jika yang pertama lebih dekat dengan paham

asy’ariah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut maturidiah Samarkand

adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti kiasan.

Perbedaannya dengan mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak

sebelumnya, tetapi bersama-sam dengan perbuatan bersangkutan. Daya yang demikian

porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam paham mu’tazilah. Oleh karena itu,

manusia dalam paham al-maturidi tidak sebebas manusia dalam mu’tazilah.

Maturidiah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiah Samarkand.

Hanya, golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya, untuk

perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan

perbuatan, hanya tuhan yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan

yang telah diciptakan tuhan baginya.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

109

BAB XII

ILMU KALAM MASA KINI

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

110

A. Ismail Al-Faruqi (1921-1986)

1. Biografi Singkat Ismail Al-Faruqii

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan

dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres,

dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American

University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun

1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea.

Pada tahun 1948, Palestina dijarah Israel. Faruqi terusir dari tanah kelahirannya. Ia

tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah Palestina. Satu tahun menganggur,

pada tahun 1949, Faruqi hijrah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat

gelar master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat

kembali ia raih dari Universitas Harvard.

2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi

Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its

Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:

3. Tauhid sebagai inti pengalaman agama

Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadatmenempati

posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran

Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-

benar merupakan obsesi yang agung.

4. Tauhid sebagai pandangan dunia

Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan

waktu, sejarah manusia, dan takdir.

5. Tauhid sebagai intisari Islam

Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi islam adalah tauhid atau

pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam islam yang dapat dilepaskan dari tauhid.

Tanpa tauhid, islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah Nabi yang patut

diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

111

6. Tauhid sebagai prinsip sejarah

Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika

ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang

dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu.

7. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan

Berbeda dengan iman Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada

pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau

proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak

masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional.

8. Tauhid sebagai prinsip metafisika

Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis,

sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa

yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai

kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan

meringkas pandangan umat Islam tentang alam.

9. Tauhid sebagai prinsip etika

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu

amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi

tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan

bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya

makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari

agama dan bahkan dibangun di atasnya.

10. Tauhid sebagai prinsip tata sosial

Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat

Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia

akan kehilangan klaim keislamannya.

11. Tauhid sebagai prinsip ummah

Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya

kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

112

universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir

suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-

cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia.Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan

setiap bidang kegiatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas

manusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa

dan tempat.

12. Tauhid sebagai prinsip keluarga

Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari

gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang

selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang

lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan

erat dengan tauhid.

13. Tauhid sebagai tata politik

Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan

sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak

(ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal).

14. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi

Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu:

pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu

kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan

tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.

15. Tauhid sebagai prinsip estetika

Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kreativitas manusia, tidak juga

menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan

mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam

firman-firman-Nya.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

113

B. Hassan Hanafi (1935-)

1. Biografi Singkat Hassan Hanafi

Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya diawali

pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di

Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan

Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo.

Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam

Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.

Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami)

merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri

Islam,meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah

memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya

sumbangan agama bagi kesejahteraan umat

2. Pemikiran Kalam Hassan Hanafi

a. Kritik terhadap teologi Tradisional

Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisiobal, Hanafi menegaskan

perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks

politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir

dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara

kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami

kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptual lama pada masa-

masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang

baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.

Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam

kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik

teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk

pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliau

tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan,

karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam Sabda-Nya yang

berupa wahyu.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

114

Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan

yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat

manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya

dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan

keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.

b. Rekontruksi Teologi

Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama

tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan

saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi

sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:

1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan globalisasi

ideologi.

2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada

kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.

3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yang secara nyata

diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya

teologi dunia, yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu

orde.

C. H.M. Rasjidi (1915-2001)

1. Biografi Singkat H. M. Rasjidi

H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) adalah

mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas

Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru

pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar

Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap Dr.

Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi

Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan

Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan

Bintang, 1982.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

115

2. Pemikiran Kalam H.M. Rasjidi

Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal

ini dilihat dari keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis

besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Tentang Perbedaan Ilmu Kalam dan Teologi.

Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu

kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah

teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen.”i Selanjutnya Rasyidi menelurusi

sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk

menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri

dari dua perkataa, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi

berarti ilmu ketuhanan. adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah

ketuhananNabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi

kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang

benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.

b. Tema-Tema Ilmu Kalam

Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah

deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam

sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya

perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun

Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Rasyidi mengakui bahwa soal-soal

yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan

untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang,

demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya

adalah keberadaan Syi’ah.

c. Hakikat Iman

Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan

Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap

apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini

disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinyu dengan Tuhan. Apresiasi

ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

116

menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.”i Menanggapi pernyataan di

atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan

Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia

dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan

tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta

orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan

kemasyarakatan.

D. Harun Nasution (1919-1998)

1. Biografi Singkat Harun Nasution

Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian

bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun

1937, lulus dari MIK (Moderne Islamietische Kweekschool). Ia melanjutkan pendidikan di

Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada menjadi pegawai Deplu RI di

Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di

Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah

dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah.Hasan

Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai

tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam

kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim

Indonesia berpikir secara rasional.

Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai

dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai

tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar

agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.

2. Pemikiran Kalam Harun Nasution

a. Peranan akal

Harun Nasution memilih problematika akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh

sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar

kecilnya peranan akal dalam system teologi dalam suatu aliran sangat menentukan

dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran islam. Berkenaan dengan

akal ini, Harun Nasution menulis, “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal,

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

117

manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk lain

disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi kesanggupannya untuk

mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan manusia, bertambah rendah pula

kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain.

Tema islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam semua tulisan-

tulisan Harun Nasution, terutama dalam buku akal dan wahyu dalam islam,teologi islam:

aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan, dan Muhammad Abduh dan teologi rasional

Muhammad Abduh.

Dalam ajaran islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak digunakan, bukan

dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan juga dalam

perkembangan ajaran-ajaran keagamaam islam. Penggunaan akal dalam islam diperintahkan

Al-Quran. Bukan tidak ada dasar jika ada penulis-penulis, baik dikalangan islam maupun

dikalangan non islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama yang rasional.

b. Pembaharuan teologi

pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun

diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat islam Indonesia disebabkan

“ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum

modernis pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer

Ali, dan lainnya) yang memandangan perlu untuk kembali pada teologi islam yang sejati.

Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistic,

irasional, predeterminisme, serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju

kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat

islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendak mengubah teologi mereka menuju

teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori

modernisasi ini menemukan teologi dalam khazanah islam klasik, yaitu teologi

mu’tazilah.

c. Hubungan akal dan wahyu

salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu.

Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal menimbulkan pertanyaan, tetapi

keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

118

Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-

segalanya. Wahyu tidak menjelaskan bahwa semua permasalahan keagamaan.

Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu

fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu

tetap dianggap mutlak benar. Akal digunakan hanya untuk memahami teks wahyu dan tidak

untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan

kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Pertentangan dalam sejarah pemikiran

islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, melainkan penafsiran tertentu dari teks wahyu

dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam

adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

119

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, CV Pustaka Setia, Bandung.

Umar Sulaiman Al-Asyaqar. Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat: Perpecahan, akar

masalah, dan solusinya, Terj. Abu Fahmi, Wacana Lazuardi Amanah. Jakarta.

Yunan Yusuf. Corak pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas, Jakarta. 1990.

Muhammad Fazlur Rahman Ansari. Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Juniarso

Ridwan, dkk., Risalah, Bandung. 1984.

Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush Al-Hikam, Komentar A.R.

Nicholson, Jilid II, t.t.

Adeng Muchtar G, perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern (Bandung :

pustaka setia,2005).

Jaiz, Hartono Ahmad, Kumpulan Buku Hartono (Tasawuf Belitan Iblis) Buku digital

(Jakarta, 2005).

Zuhaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2008).

Nina W. Syam, Filsafat sebagai akar ilmu komunikasi ( Bandung : Simiosa Rekatama

Media, 2010), 79

Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al Baghdadi, Al- Farq bain, Al Azhar, Mesir

Abi Al Fath Muhammad Abd Al Karim bin Abi Bakar As Syahrastani Al Milal Wan Nihal,

Dar Al Fikr.

Ali Musthafa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah Wa Nasy’atu IlmiAl kalami ‘Inda Al

Muslimin. maktabah Wa mathbaah Muhammad ali Shabih Wa Auladuhu, Haihan

al Azhar, mesir ,1958.

Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif,

Mesir 1947.

L. Mal’uf , Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-‘Alam,Dar Al-Masyriq,Beirut, 1998.

Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986.

Luwis Ma’luf Al-Yusuf’i , Al-Munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut , 1945.

Al-Bagdadi, Al-Fark Bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo.

Luis Ma’lif, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, t.t.

Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, t.tp., Kairo, 1969.

Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Iskamiyah, Dar Al-Manar, Kairo, 1991.