Al Qaeda Dari Perang Afganistan Sampai ISIS

2
NU Online Al Qaeda: Dari Perang Afganistan sampai ISIS Senin, 01/12/2014 13:00 Buku Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya(2014) merupakan kelanjutan dari buku “Ideologi-Ideologi Pasca Reformasi” yang diterbitkan tahun 2012. Menurut penulisnya, As’ad Said Ali, kedua buku itu berangkat dari ambisi pribadnya untuk melakukan kajian menyeluruh tentang gerakan-gerakan radikal. Buku Al Qaeda terdiri dari 9 bab yang dimulai dengan cerita mengenai pengalaman pribadi penulis saat bertugas sebagai pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990. Selanjutnya penulis menyampaikan uraian panjang lebar mengenai ideologi kaum jihadi dan Al Qaeda secara khusus. Pertemuannya secara tidak sengaja dan perkenalannya dengan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden menjadi titik poin tersendiri. As’ad Ali mencatat bahwa Perang Afghanistan sebagai sebuah permulaan terbentuknya jaringan jihad internasional dan mengenai gagasan pembentukan Al Qaeda. Penulis juga mengungkap pola pengorganisasiannya, serta operasi-operasinya pada tahap awal. Bab 5 penulis menyampaikan uraian tambahan mengenai Jamaah Islamiyah dan hubungannya dengan Al Qaeda mengingat banyak orang salah kaprah, termasuk opini di sejumlah media, dalam memahami hubungan kedua organisasi ini. Bagaimana jaringan operasi dan rentetan aksi teror bom yang dilakukan Al Qaeda, disajikan dalam Bab 6 dan 7. Uraian dalam dua bab ini meliputi wilayah yang relatif luas, yakni Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara. Bab ini menggambarkan cukup menyeluruh mengenai operasi Al Qaeda di Asia Tenggara, dan bagaimana Asia Tenggara dijadikan pangkalan untuk menyerang sejumlah negara di kawasan lain. Bab 8, merupakan bagian paling penting yang menyoroti generasi pasca Osama dan bagaimana dinamikanya. Osama tewas ditembak anggota pasukan elit Navy SEAL Amerika Serikat di Pakistan, pada Mei 2011. Pada bab ini penulis memulai pembahasan dengan menanyakan apakah setelah kematiannya itu, apakah Al Qaeda ikut hancur dan mati? Bagaimana dengan gerakan-gerakan jihad lainnya? Kenyataannya, kaum jihadi kini menemukan medan jihad baru di Syria, Iraq, dan kawasan Afrika. Bahkan telah lahir ISIS/ISIL (The Islamic State of Iraq and the Levant). Bab terakhir, Bab 9 berisi uraian reflektif mengenai apa sesungguhnya penyebab Al Qaeda melakukan perlawanan global, dan mengapa akhirnya memilih cara kekerasan. Pada pagian epilog ini, penulis mengajukan rekomendasi, sebuah visi yang perlu dibangun untuk mengelola dan menciptakan perdamaian dunia. As’ad Said Ali yang juga Wakil Ketua Umum PBNU menilai bahwa masalah Al Qaeda sesungguhnya tidak bisa dipandang sekedar sebagai persoalan eksklusif negara semata. Atau lebih sempit lagi, urusan aparat keamanan. Al Qaeda adalah sebuah gerakan politik, dengan ideologi jihad yang kuat, mempunyai jaringan global dan skill militer. Visi politiknya terumuskan dalam sebuah kalimat yang sederhana: “menegakkan Islam dan melindungi kaum muslimin.” Esensi ideologi Al Qaeda adalah jihad, dan pembentukan khilafah Islamiyah adalah suatu yang mutlak. Dengan ideologi seperti itu, kaum jihadi menyalahkan pemaknaan para ulama yang telah menjadi ijma’ selama berabad-abad, yang mengartikan jihad dalam arti qital (perang) hanyalah salah satu jenis saja dari jihad. Menurut As’ad, jihad yang lebih besar adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Al Qaeda menganggap jihad qital (perang) adalah fardhu ‘ain, sebagai satu-satunya jihad yang berlaku mutlak sejak turunnya surat At Taubah. Sedangkan ayat-ayat lain, yang mengandung perintah jihad lainnya, telah terhapus. Ini berati, khususnya masalah jihad, Al Qaeda menganggap mayoritas umat Islam mengikuti ajaran yang salah. Kaum jihadi juga beranggapan bahwa pembentukan khilafah islamiyah adalah mutlak. Mereka menilai agama Islam tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melalui Daulah Islamiyah (pemerintah Islam). Dengan demikian terbentuknya Daulah Islamiyah akan menjadi menara api yang akan mengumpulkan kaum muslimin dari semua tempat menjadi satu kesatuan di bawah pemimpin khalifah, meskipun  memang tidak ada kesatuan pandangan di kalangan mereka sendiri mengenai

description

group

Transcript of Al Qaeda Dari Perang Afganistan Sampai ISIS

  • NU OnlineAl Qaeda: Dari Perang Afganistan sampai ISISSenin, 01/12/2014 13:00

    Buku Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014) merupakan kelanjutan dari buku

    Ideologi-Ideologi Pasca Reformasi yang diterbitkan tahun 2012. Menurut penulisnya, Asad Said Ali, kedua buku itu

    berangkat dari ambisi pribadnya untuk melakukan kajian menyeluruh tentang gerakan-gerakan radikal.

    Buku Al Qaeda terdiri dari 9 bab yang dimulai dengan cerita mengenai pengalaman pribadi penulis saat bertugas sebagai

    pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990. Selanjutnya penulis menyampaikan uraian

    panjang lebar mengenai ideologi kaum jihadi dan Al Qaeda secara khusus. Pertemuannya secara tidak sengaja dan

    perkenalannya dengan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden menjadi titik poin tersendiri. Asad Ali mencatat bahwa Perang

    Afghanistan sebagai sebuah permulaan terbentuknya jaringan jihad internasional dan mengenai gagasan pembentukan Al

    Qaeda. Penulis juga mengungkap pola pengorganisasiannya, serta operasi-operasinya pada tahap awal.

    Bab 5 penulis menyampaikan uraian tambahan mengenai Jamaah Islamiyah dan hubungannya dengan Al Qaeda mengingat

    banyak orang salah kaprah, termasuk opini di sejumlah media, dalam memahami hubungan kedua organisasi ini. Bagaimana

    jaringan operasi dan rentetan aksi teror bom yang dilakukan Al Qaeda, disajikan dalam Bab 6 dan 7. Uraian dalam dua bab ini

    meliputi wilayah yang relatif luas, yakni Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara. Bab ini menggambarkan cukup

    menyeluruh mengenai operasi Al Qaeda di Asia Tenggara, dan bagaimana Asia Tenggara dijadikan pangkalan untuk

    menyerang sejumlah negara di kawasan lain.

    Bab 8, merupakan bagian paling penting yang menyoroti generasi pasca Osama dan bagaimana dinamikanya. Osama tewas

    ditembak anggota pasukan elit Navy SEAL Amerika Serikat di Pakistan, pada Mei 2011. Pada bab ini penulis memulai

    pembahasan dengan menanyakan apakah setelah kematiannya itu, apakah Al Qaeda ikut hancur dan mati? Bagaimana dengan

    gerakan-gerakan jihad lainnya? Kenyataannya, kaum jihadi kini menemukan medan jihad baru di Syria, Iraq, dan kawasan

    Afrika. Bahkan telah lahir ISIS/ISIL (The Islamic State of Iraq and the Levant).

    Bab terakhir, Bab 9 berisi uraian reflektif mengenai apa sesungguhnya penyebab Al Qaeda melakukan perlawanan global, dan

    mengapa akhirnya memilih cara kekerasan. Pada pagian epilog ini, penulis mengajukan rekomendasi, sebuah visi yang perlu

    dibangun untuk mengelola dan menciptakan perdamaian dunia. Asad Said Ali yang juga Wakil Ketua Umum PBNU menilai

    bahwa masalah Al Qaeda sesungguhnya tidak bisa dipandang sekedar sebagai persoalan eksklusif negara semata. Atau lebih

    sempit lagi, urusan aparat keamanan. Al Qaeda adalah sebuah gerakan politik, dengan ideologi jihad yang kuat, mempunyai

    jaringan global dan skill militer. Visi politiknya terumuskan dalam sebuah kalimat yang sederhana: menegakkan Islam dan

    melindungi kaum muslimin.

    Esensi ideologi Al Qaeda adalah jihad, dan pembentukan khilafah Islamiyah adalah suatu yang mutlak. Dengan ideologi

    seperti itu, kaum jihadi menyalahkan pemaknaan para ulama yang telah menjadi ijma selama berabad-abad, yang mengartikan

    jihad dalam arti qital (perang) hanyalah salah satu jenis saja dari jihad. Menurut Asad, jihad yang lebih besar adalah

    mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Al Qaeda menganggap jihad qital (perang) adalah fardhu ain, sebagai

    satu-satunya jihad yang berlaku mutlak sejak turunnya surat At Taubah. Sedangkan ayat-ayat lain, yang mengandung perintah

    jihad lainnya, telah terhapus. Ini berati, khususnya masalah jihad, Al Qaeda menganggap mayoritas umat Islam mengikuti

    ajaran yang salah.

    Kaum jihadi juga beranggapan bahwa pembentukan khilafah islamiyah adalah mutlak. Mereka menilai agama Islam tidak bisa

    dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melalui Daulah Islamiyah (pemerintah Islam). Dengan demikian terbentuknya

    Daulah Islamiyah akan menjadi menara api yang akan mengumpulkan kaum muslimin dari semua tempat menjadi satu

    kesatuan di bawah pemimpin khalifah, meskipun memang tidak ada kesatuan pandangan di kalangan mereka sendiri mengenai

  • NU Onlineapa yang dimaksud khilafah. Namun doktrin kekhalifahan tersebut telah menghasilkan doktrin lanjutan lainnya yang

    menyeramkan, yakni pengkafiran terhadap umat Islam yang tidak mendukung prinsip kekhalifahan tersebut. Padahal,

    umumnya para ulama berpendapat bahwa kata-kata khalifah atau khilafah yang terdapat dalam Al-Quran berarti

    kepemimpinan umat dalam arti yang luas, tidak berarti model pemerintahan.

    Sementara itu fakta menunjukkan bahwa negara-negara muslim masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik

    yang dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian

    saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab. Indonesia

    adalah contoh unik, bagaimana para ulama madzhab (madhzab maslahat) khususnya, NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya,

    bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial

    sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan dapat dikatakan pada basis prinsip-prinsip itulah negara

    ini ditegakkan atas dasar pesan moral rahmatan lil-alamin. Itulah Pancasila, sebuah rumusan cerdas mengatasi problem

    dikotomis, sekuler versus teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil

    itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.

    Penting dicatat, bahwa gerakan jihadis dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang

    oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi

    amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis. Sementara, kaum pembaharu Islam yang

    mulai berkibar menjelang runtuhnya khalifah Usmaniyah Turki, dinilai telah gagal membangun sistem politik yang memadai

    dengan situasi baru pasca perang dunia I. Derita Palestina dan sejumlah kawasan Islam lainnya, juga ditunjuk sebagai bukti

    bahwa penguasa-penguasa negeri muslim secara politik makin lemah dan kehilangan sikap independen; kemudian dicap

    sebagai thoghut yang mesti diperanginya.

    Dengan demikian, dilihat dari sisi ini, secara moral lahirnya gerakan-gerakan radikal tidak dapat dipersalahkan. Sama halnya

    kita tidak dapat mempersalahkan lahirnya gerakan-gerakan liberal-sekuler. Keduanya adalah produk sejarah, yakni

    modernisasi.

    Menurut Asad, tugas penyelenggara negara dan kaum intelektual adalah menumbuhkan sistem politik yang mampu

    memperbaharui dirinya secara terus-menerus, untuk merespons kritik dan tuntutan-tuntutan baru yang juga terus lahir. Dalam

    kasus Indonesia, reformasi jangan justru menimbulkan disorientasi pada bangsa ini. Ini bukan sekedar persoalan membangun

    hubungan antara inisiatif pemerintah dengan partisispasi rakyat, atau bagaimana membangun tingkat kemampuan sistem

    politik mendorong proses perkembangan di bidang lain, namun semacam proses nation and character building dengan

    kedalaman dan dimensi yang lebih kekinian.

    Data Buku

    Judul : Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya

    Penulis : DR H Asad Said Ali

    Penerbit : LP3ES Jakarta

    Tahun : Cetakan I, September 2014

    Tebal : xxvi + 438 hlm

    ISBN : 978-602-7984-11-0

    Harga : Rp. 80.000,-

    Peresensi : A.Khoirul Anam