Airway, Breathing, Circulation

25
BAB I PENDAHULUAN Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti : pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.

description

AIRWAY

Transcript of Airway, Breathing, Circulation

Page 1: Airway, Breathing, Circulation

BAB I

PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.

Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan

jalan napas untuk berjalan dengan baik.

Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi

endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena

syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas

dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah

ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi

yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti :

pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.

Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia.

Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah

dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini

dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.

Page 2: Airway, Breathing, Circulation

BAB II

Management Airway Breathing dan Circulation

2.1 Airway

Kurangnya pasokan oksigen yang dibawa oleh darah ke otak dan organ vital lainnya

merupakan penyebab kematian tercepat pada penderita gawat. Oleh sebab itu pencegahan

kekurangan oksigen jaringan (hipoksia) yang meliputi pembebasan jalan napas yang terjaga

bebas dan stabil, ventilasi yang adekuat, serta sirkulasi yang normal (tidak shock) menempati

prioritas pertama dalam penanganan kegawatdaruratan.

Sifat gangguan yang terjadi pada jalan napas bisa mendadak oleh karena sumbatan total,

atau bisa juga perlahan oleh karena sumbatan parsial (dengan berbagai sebab). Sumbatan

pada jalan napas dapat terjadi pada pasien tidak sadar atau pasien dengan kesadaran menurun

atau korban kecelakaan yang mengalami trauma daerah wajah dan leher.

Penanganan airway mendapat prioritas pertama karena jika tidak ditangani akan

mengakibatkan kematian yang cepat, dan penanganan segera perlu dilakukan. Pembebasan

jalan napas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tanpa alat (manual) maupun dengan alat.

Alat bantu pembebasan jalan napas yang digunakan ada berbagai macam disesuaikan dengan

jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang pada intinya bertujuan mempertahankan

jalan napas agar tetap bebas.

2.1.1 Sumbatan Jalan Napas

Ada beberapa keadaan di mana adanya sumbatan jalan napas harus diwaspadai, yaitu:

a. Trauma pada wajah

b. Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke

belakang dan gangguan jalan napas pada posisi terlentang.

c. Perlukaan daerah leher mungkin menyebabkan gangguan jalan napas karena

rusaknya laring atau trakea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang

menekan jalan napas.

d. Adanya cairan berupa muntahan, darah, atau yang lain dapat menyebabkan aspirasi

e. Edema laring akut karena trauma, alergi, atau infeksi.

Page 3: Airway, Breathing, Circulation

2.1.2 Pembebasan Jalan Napas

Pembebasan jalan napas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara normal

dengan cara membuka jalan napas sehingga pasien tidak jatuh dalam kondisi hipoksia dan

atau hiperkarbia.

Prioritas utama dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan napas dan

mempertahankan agar jalan napas tetap bebas untuk menjamin jalan masuknya udara ke

paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan jalan

napas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat (cara manual). Cara

manual dapat dilakukan di mana saja, dan kapan saja, walaupun hasil lebih baik bila

menggunakan alat namun pertolongan cara manual yang cepat dan tepat dapat

menghindarkan resiko kematian atau kecacatan permanen. Pada kasus trauma,

pengelolaan jalan napas tanpa alat dilakukan dengan tetap memperhatikan kontrol tulang

leher.

Langkah yang harus dikerjakan untuk pengelolaan jalan napas yaitu:

1. Pasien diajak berbicara. Jika pasien dapat menjawab dengan jelas itu berarti jalan

napasnya bebas. Pasien yang tidak sadar berpotensi terjadi sumbatan jalan napas sehingga

memerlukan tindakan pembebasan jalan napas. Penyebab obstruksi pada pasien tidak

sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang.

2. Berikan oksigen. Oksigen diberikan dengan sungkup muka (simple masker) atau masker

dengan reservoir (rebreathing/non rebreathing mask) atau nasal kateter atau nasal prong

walaupun belum sepenuhnya jalan napas dapat dikuasai dan dipertahankan bebas. Jika

memang dibutuhkan pemberian ventilasi bisa menggunakan jackson-reese atau BVM.

3. Nilai jalan napas. Sebelum melakukan tindakan untuk membebaskan jalan napas lanjut

maka yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan napas sekaligus

melakukan pembebasan jalan napas secara manual apabila pasien tidak sadar atau kesadaran menurun berat (coma). Cara pemeriksaan *Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan, menilai jalan napas sekaligus fungsi pernapasan:

Page 4: Airway, Breathing, Circulation

L – Look (lihat) Lihat pengembangan dada, adakah retraksi sela iga otot-otot

napas tambahan lain, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat apakah korban

mengalami kegelisahan (agitasi), tidak dapat berbicara, penurunan kesadaran,

sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia. Sianosis

dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan bibir.

L – Listen (dengar). Dengar aliran udara pernapasan. Adanya suara napas

tambahan adalah tanda ada sumbatan parsial pada jalan napas. Suara mendengkur,

berkumur, dan stridor mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada daerah

faring sampai laring. Suara parau (hoarseness, disfonia) menunjukkan sumbatan

pada faring.

F – Feel (rasakan). Rasakan ada tidaknya udara yang hembusan ekspirasi dari

hidung dan mulut. Hal ini dapat dengan cepat menentukan apakah ada sumbatan

pada jalan napas. Rasakan adanya aliran udara pernapasan dengan menggunakan

pipi penolong.

4. Obstruksi jalan napas

Obstruksi jalan napas dibagi macam, obtruksi parsial dan obstruksi total.

a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya suara napas tambahan yaitu:

Mendengkur (snoring), disebabkan oleh pangkal lidah yang jatuh ke

posterior. Cara mengatasinya dengan head tilt, chin lift, jaw thrust,

pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal,

pemasangan Masker Laring (Laryngeal Mask Airway).

Suara berkumur (gargling), penyebabnya adalah adanya cairan di daerah

hipofaring. Cara mengatasi: finger sweep, suction atau pengisapan.

Crowing Stridor, oleh karena sumbatan di plika vokalis, biasanya karena

edema. Cara mengatasi: cricotirotomi, trakeostomi.

b. Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernapasan “see saw” pada menit-

menit pertama terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing

antara dada dan perut. Dan jika sudah lama akan terjadi henti napas yang ketika

diberi napas buatan tidak ada pengembangan dada.

Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada dugaan trauma leher, yang ditandai

dengan adanya trauma wajah/maksilo-facial, ada jejas di atas clavicula, trauma dengan

riwayat kejadian ngebut (high velocity trauma), trauma dengan defisit neurologis dan

multiple trauma.

Page 5: Airway, Breathing, Circulation

Pembebasan Jalan Napas Tanpa Alat.

Pada pasien yang tidak sadar, lidah akan terjatuh ke posterior, yang jika didengarkan seperti suara

orang ngorok (snoring). Hal ini mengakibatkan tertutupnya trakea sebagai jalan napas. Untuk

penanganannya ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas, yaitu head

tilt, chin lift dan jaw thrust.

head-tilt (dorong kepala ke belakang).

chin-lift Maneuver (tindakan mengangkat dagu).

jaw-thrust Maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah ke atas).

Head Tilt

Dilakukan dengan cara meletakkan 1 telapak tangan pada dahi pasien, pelan-pelan

tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi ke arah belakang sehingga kepala

menjadi sedikit tengadah (slight Extention).

Chin Lift

Dilakukan dengan cara menggunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang

tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan. Jika korban

anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan di bawah dagu, jangan terlalu

menengadahkan kepala.

Chin lift dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.

Tindakan ini sering dilakukan bersamaan dengan tindakan head tilt. Tehnik ini

bertujuan membuka jalan napas secara maksimal.

Perhatian : Head Tilt dan Chin Lift sebaiknya tidak dilakukan pada pada pasien

dengan dugaan adanya patah tulang leher; dan sebagai gantinya bisa digunakan teknik

jaw thrust.

Jaw Thrust

Jika dengan head tilt dan chin lift pasien masih ngorok (jalan napas belum terbuka

sempurna) maka teknik jaw thrust ini harus dilakukan. Begitu juga pada dugaan patah

tulang leher, yang dilakukan adalah jaw thrust (tanpa menggerakkan leher). Walaupun

tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk pasien

trauma dengan dugaan patah tulang leher.

Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah atas sehingga

barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Tetap pertahankan mulut korban

Page 6: Airway, Breathing, Circulation

sedikit terbuka, bisa dibantu dengan ibu jari.

Page 7: Airway, Breathing, Circulation

Gambar 2.1 Manuver jaw thrust hanya dilakukan oleh orang terlatih

Pembebasan Jalan Napas Dengan Alat

Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat yaitu secara manual tidak berhasil

sempurna atau pasien memerlukan bantuan untuk mempertahankan jalan napas dalam

jangka waktu lama bahkan ada indikasi pasien memerlukan definitive airway. Alat yang

digunakan bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien

yang intinya bertujuan mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka.

a. Oropharyngeal Tube (pipa orofaring)

Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan napas tetap terbuka

dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan

napas pada pasien tidak sadar. Yang perlu diingat adalah bahwa pipa orofaring ini

hanya boleh dipakai pada pasien yang tidak sadar atau penurunan kesadaran yang

berat (GCS ≤ 8).

Page 8: Airway, Breathing, Circulation

Teknik Pemasangan Oropharyngeal Tube

Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya. Bersihkan dan basahi agar licin.

Ukuran yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa orofaring yang

panjangnya sama dengan jarak dari sudut bibir sampai ke tragus atau dari

tengah bibir sampai ke angulus mandibula pasien.

Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk).

Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatum). Masuk

separoh, putar 180º (sehingga lengkungan mengarah ke arah lidah).

Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat. Pada anak-anak arah lengkungan

tidak perlu menghadap ke palatum tapi langsung menghadap bawah dan

untuk lidahnya ditekan dengan tongue spatle.

Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lihat, dengar, dan raba

napasnya.

b. Nasopharyngeal Tube (pipa nasofaring)

Untuk pipa nasofaring kontra indikasi relatifnya adalah adanya fraktur basis cranii

yang ditandai dengan adanya brill hematon, bloody rhinorea, bloody otorea, dan

battle sign.

Teknik Pemasangan Nasopharyngeal Tube

1. Nilai lubang hidung, septum nasi, tentukan pilihan ukuran pipa.

2. Ukuran pipa yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa

nasofaring yang panjangnya sama dengan jarak dari ujung hidung sampai

ke tragus dan diameternya sesuai dengan jari kelingking tangan kanan

pasien.

3. Pakai sarung tangan.

4. Beri jelly pada pipa dan kalau ada tetesi lubang hidung dengan obat tetes

hidung atau larutan vasokonstriktor (efedrin).

Page 9: Airway, Breathing, Circulation

5. Hati-hati dengan kelengkungan tube yang menghadap ke arah depan,

ujungnya diarahkan ke arah telinga.

6. Masukkan pipa nasofaring ke lubang hidung dengan posisi ujung yang

tajam menjauhi septum nasi. Masukkan sekitar 2 cm.

7. Kemudian lihat arah lengkungan dari pipa nasofaring, jika sudah

menghadap bawah maka pipa nasofaring tinggal dimasukkan secara tegak

lurus dengan dasar. Tapi jika arah lengkungan pipa nasofaring menghadap

atas maka putar pipa nasofaring tersebut 180º sehingga lengkungannya

menghadap ke bawah.

8. Kemudian dorong pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, lalu pasang

plester (kalau perlu).

Bila dengan pemasangan jalan napas buatan pipa orofaring atau pipa

nasofaring ternyata masih tetap ada obstruksi jalan napas, pernapasan belum juga

baik atau karena indikasi cedera kepala berat; maka dilakukan pemasangan definitive

airway yaitu pipa endotrachea (ETT – Endotracheal Tube). Pemasangan pipa

endotrachea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan

memudahkan tindakan bantuan pernapasan.

c. Laringeal Mask Airway (LMA)

LMA adalah alat pembebasan jalan napas yang non-invasif yang dipasang di

supraglotis. Secara umum terdiri dari 3 bagian: airway tube, mask, dan Inflation line.

LMA disebut juga sebagai alternative airway, karena bagi tenaga yang belum

berpengalaman melakukan intubasi endotrachea maka LMA inilah yang menjadi

alternatif pilihan yang paling baik untuk membebaskan jalan napas.

Page 10: Airway, Breathing, Circulation

Indikasi penggunaan LMA:

Keadaan di mana terjadi kesulitan menempatkan masker (BVM) secara tepat

Dipergunakan sebagai back up apabila terjadi kegagalan dalam intubasi

endotracheal

Dapat dipergunakan sebagai “second-last-ditch airway“ apabila pilihan

terakhir untuk secure airway adalah dengan pembedahan

Kontraindikasi pemasangan LMA:

Usia kehamilan lebih dari 14-16 minggu

Pasien dengan trauma masif atau multipel

Cedera dada masif

Trauma maksilofasial yang masif

Efek Samping Pemasangan LMA:

Nyeri tenggorokan

Rasa kering pada ternggorokan ataupun mukosa sekitarnya

Efek samping lebih banyak berhubungan dengan penempatan LMA yang tidak

tepat

Peralatan yang diperlukan untuk pemasangan LMA:

LMA dengan ukuran yang sesuai

Syringe untuk mengembangkan cuff LMA

Water soluble lubricant

Perlengkapan ventilasi

Stetoskop

Tape

Page 11: Airway, Breathing, Circulation

Persiapan untuk pemasangan LMA:

1. Pemilihan Ukuran sesuai dengan pasien

Ukuran yang direkomendasikan (disesuaikan dengan berat badan):

Size 1 : < 5 kg

Size 1.5 : 5 s.d 10 kg

Size 2 : 10 s.d 20 kg

Size 2.5 : 20 s.d 30 kg

Size 3 : 30 kg s.d Small adult

Size 4 : Adult/Dewasa

Size 5 : Large adult(dewasa besar)/poor seal with size 4

2. Pengecekan LMA

Sebelum digunakan, periksa dulu apakah ada kebocoran/tidak dengan cara

mengembang kempiskan cuffnya

3. Pemberian jelly (water soluble) pada bagian belakang Mask LMA

4. Ekstensikan kepala dan fleksikan daerah leher.

Teknik Pemasangan LMA:

1. Pegang tube LMA, seperti memegang pena sedekat mungkin dengan bagian

akhir masker LMA.

2. Letakkan ujung LMA pada bagian dalam mulut pasien, di atas gigi (hard

palate)

3. Dengan sedapat mungkin melihat secara langsung Tekan ujung masker ke arah

atas menyusuri hard palate

4. Dengan jari telunjuk, tetap susuri searah dengan palatum sampai masker LMA

masuk faring. Pastikan ujung LMA tetap kempes dan hindari mengenai lidah

5. Jaga leher tetap dalam posisi fleksi dan kepala eksntensi, Tekan masker ke

arah dinding faring posterior dengan menggunakan jari telunjuk

6. Lanjutkan mendorong LMA dengan jari telunjuk, arahkan mask LMA ke

bawah sesuai posisi yang diharapkan

Page 12: Airway, Breathing, Circulation

7. Pegang tube LMA dengan tangan yang lain, Tarik jari telunjuk dari faring

8. Secara gentle tangan yang lain menekan LMA ke bawah sampai benar-benar

mask LMA sudah masuk sepenuhnya.

9. Kembangkan masker LMA sesuai dengan udara sesuai volume yang

direkomendasikan. Berikut volume maksimal dari pengembangan cuff:

Size 1 : 4 ml

Size 1.5 : 7 ml

Size 2 : 10 ml

Size 2.5 : 14 ml

Size 3 : 20 ml

Size 4 : 30 ml

Size 5 : 40 ml

10. Hubungkan LMA dengan BVM atau low pressure ventilator

11. Ventilasi pasien sambil mendengarkan suara napas simetris atau tidak,

pastikan tidak ada suara udara masuk ke lambung

12. Masukkan bite block atau kasa gulung untuk mencegah oklusi tube karena

tergigit pasien

13. Fiksasi LMA

d. Endotracheal Tube

Pipa Endotracheal berbagai ukuran

Intubasi endotrachea adalah gold standard untuk pembebasan jalan napas. Sehingga

Intubasi endotrachea disebut juga definitive airway. Intubasi endotrakhea adalah

proses memasukkan pipa endotrakheal ke dalam trakhea, bila dimasukkan melalui

mulut disebut intubasi orotrakhea, bila melalui hidung disebut intubasi

nasotrakhea. Intubasi endotrakhea.

Page 13: Airway, Breathing, Circulation

Peralatan Intubasi

1. Pipa oro/nasofaring.

2. Suction/alat pengisap.

3. Sumber Oksigen

4. Kanula dan masker oksigen.

5. BVM/Ambu bag, atau jackson reese.

6. Pipa endotrakheal sesuai ukuran dan stylet.

7. Pelumas (jelly).

8. Forcep magill.

9. Laringoscope (handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai&lampu)

10. Obat-obatan sedatif i.v.

11. Sarung tangan.

12. Plester dan gunting.

13. Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia)

Teknik Intubasi

1. Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan jalan

napas terbuka (hati-hati pada cedera leher).

2. Siapkan endotracheal tube (ETT), periksa balon (cuff), siapkan stylet, beri jelly.

3. Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus menyala terang.

4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan

mulut pasien, geser lidah pasien ke kiri.

5. Tekan tulang rawan krikoid (untuk mencegah aspirasi = Sellick Maneuver).

6. Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi, gusi,

bibir). Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lendir/cairan lebih dahulu.

7. Masukkan ETT sampai batas masukny di pita suara, keluarkan stylet dan

laringoskop secara hati-hati dan kembangkan balon (cuff) ETT.

8. Pasang pipa orofaring, periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar (auskultasi

suara pernapasan atau udara yang ditiupkan). Hubungkan dengan pipa oksigen

Amankan posisi (fiksasi) ETT dengan plester.

Page 14: Airway, Breathing, Circulation

2.2Breathing

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang

digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang

harus dikeluarkan secara terus-menerus. Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan

hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian. Pada

keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke

seluruh tubuh. Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula.

Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.

Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk

memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis.

Frekuensi/jumlah pernapasan 12-20x/menit (dewasa), anak (20-30x/menit), bayi (30-40x/menit)

Pernapasan dikatakan tidak baik/tidak normal jika terdapat keadaan berikut ini:

o Ada tanda-tanda sesak napas : peningkatan frekuensi napas dalam satu menit

o Ada napas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas)

o Ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut)

o Warna kebiruan pada sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan

o Tidak ada gerakan dada

o Tidak ada suara napas

o Tidak dirasakan hembusan napas

o Pasien tidak sadar dan tidak bernapas

Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan bila pernapasan seseorang terganggu:

o Cek pernapasan dengan look, listen and feel.

o Bila korban masih bernapas namun tidak sadar maka posisikan korban ke posisi mantap

(posisikan tubuh korban miring ke arah kiri) dan pastikan jalan napas tetap terbuka;

segera minta bantuan dan pastikan secara berkala (tiap 2 menit) di cek pernapasannya

apakah korban masih bernapas atau tidak

Page 15: Airway, Breathing, Circulation

Jika korban bernapas tidak efektif (bernapas satu-satu, ngap-ngap, atau tidak bernapas) :

o Aktifkan sistem gawat darurat (bila ada orang lain minta orang lain untuk

mencari/menghubungi gawat darurat)

o Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban dan menopang dagu korban

(head tilt dan chin lift)

o Pastikan tidak ada sumbatan dalam mulut korban, bila ada sumbatan dapat dibersihkan

dengan sapuan jari-balut dua jari anda dengan kain dan usap dari sudut bibir sapu ke

dalam dan ke arah luar

o Berikan napas buatan dengan menarik napas biasa lalu tempelkan bibir anda ke bibir

korban dengan perantaraan alat pelindung diri (face mask, face shield) lalu hembuskan

perlahan >1 detik sambil jari tangan anda menutup hidung korban dan mata anda

melihat ke arah dada korban untuk menilai pernapasan buatan yang anda berikan

efektif atau tidak (dengan naiknya dada korban maka pernapasan buatan dikatakan

efektif)

o Berikan nafas buatan 2x lalu periksa arteri carotis, bila tidak ada denyut maka masuk ke

langkah RJP. Bila ada denyut nadi maka berikan napas buatan dengan frekuensi

12x/menit/1 tiap 5 detik sampai korban sadar dan bernapas kembali atau tenaga

paramedis datang, dan selalu periksa denyut nadi korban.

2.3Circulation

Sistem sirkulasi atau pompa darah pada tubuh manusia dilakukan oleh jantung. Jantung

terdiri dari empat ruangan, yaitu atrium kanan, atrium kiri, bilik kanan dan bilik kiri. Jantung

berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Pada keadaan henti jantung dimana jantung

berhenti berdenyut dan berhenti memompakan darah ke seluruh tubuh, maka organ-organ

tubuh akan kekurangan oksigen. Organ yang paling rentan untuk terjadi kerusakan akibat

kekurangan oksigen adalah otak. Hal ini disebabkan karena sel-sel otak mengkonsumsi energi

yang berasal dari oksigen saja. Tanpa oksigen, proses hidup sel otak akan terganggu. Dalam

waktu 4-6 menit tanpa oksigen, sel-sel otak akan mulai mengalami kerusakan. Setelah 8-10

menit sel otak akan rusak permanen. Tindakan resusitasi jantung paru dapat membantu

mengalirkan darah ke seluruh tubuh walaupun tidak seoptimal kerja jantung. Untuk membantu

sirkulasi dapat dilakukan kompresi jantung atau kompresi dada.

Page 16: Airway, Breathing, Circulation

Langkah-langkah kompresi jantung :

1. Letakkan korban di tempat yang datar dan keras

2. Bebaskan dada korban dari baju yang dikenakan korban

3. Perlu diingat sebelum melakukan kompresi dada jalan nafas harus dipastikan tetap bebas

4. Letakkan punggung telapak tangan kanan atau tangan yang dominan tepat di tengah-

tengah tulang dada diantara kedua puting susu.

5. Letakkan tangan yang satu lagi diatas tangan yang dominan tadi.

6. Pastikan kedua tangan dapat saling terkait dengan stabil

7. Arahkan bahu agar tepat berada diatas kedua telapak tangan tersebut hingga lengan

menjadi lurus

8. Dengan menggunakan bantuan berat badan, lakukan penekanan ke dada korban hingga

kedalaman 4-5 cm.

9. Lakukan kompresi ini sebanyak 30 kali kemudian diselingi dengan nafas buatan sebanyak

2 kali. Ini merupakan satu siklus.

10. Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah sudah ada denyut jantung. Bila belum

ada, ulangi kembali siklus.

Page 17: Airway, Breathing, Circulation

DAFTAR PUSTAKA

1. Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange

Medical Book. 2014.

2. Eddy Rahardjo. Kumpulan Materi Kuliah Kegawatdaruratan Anestesi untuk S1

Kedokteran Universitas Airlangga. 2015.

3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis

Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy 4th

ed. McGraw-Hill; 2007