[Agama] Makalah - Insan Kamil Dan Pluralisme

51
Insan Kamil dan Pluralisme | 1 INSAN KAMIL DAN PLURALISME DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Pendidikan Agama Islam” Dosen Pembimbing: Dra. Hj. Rahmah Alwi, M.Ag OLEH: Zulfitrawati K21114008 Herman K21114009 Irmayanti K21114010 Sutamara Lasurdi Noor K21114011 Nurhaswi K21114012 Putri Mutmainnah K21114013 Endah Pangesti Suprayitno K21114014 Rezki Fitriani Hamsah K21114015 ILMU GIZI

Transcript of [Agama] Makalah - Insan Kamil Dan Pluralisme

Insan Kamil dan Pluralisme | 1

INSAN KAMIL DAN PLURALISMEDI INDONESIA

MAKALAHDiajukan untuk memenuhi tugas mata kuliahPendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing:Dra. Hj. Rahmah Alwi, M.Ag

OLEH:ZulfitrawatiK21114008HermanK21114009IrmayantiK21114010Sutamara Lasurdi NoorK21114011NurhaswiK21114012Putri MutmainnahK21114013Endah Pangesti SuprayitnoK21114014Rezki Fitriani HamsahK21114015

ILMU GIZI

FAKLUTAS KESEHATAN MASYARAKATUNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR2014Kata Pengantar

Assalamualaikum. Wr. WbPuji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas idzin beliaulah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami hanturkan salam dan shalawat kepada idola kita, nabi dan rasul umat manusia, Muhammad SAW. Karena berkat beliaulah kita mampu terbebas dari zona gelapnya kehidupan menjadi zona terangnya kehidupan seperti saat ini.Kami sadar, makalah yang kami buat ini, jauh dari kata sempurna. Namun, semoga melalui pembuatan makalah ini, kami bisa membantu sekaligus menambah pemahaman kawan-kawan pembaca mengenai apa itu Insan Kamil dan apa itu Pluralitas.Mohon maaf jika ada kesalahan pengetikan, karena kami bukan manusia yang sempurna, karena yang namanya sempurna hanya milik Allah SWT.

Makassar, 27 Oktober 2014Hormat kami,aaaa

Penulis

DAFTAR ISI

SAMPUL.1 KATA PENGANTAR.2 DAFTAR ISI.3 BAB I : PENDAHULUAN.4 LATAR BELAKANG.4 RUMUSAN MASALAH.4 TUJUAN.4 BAB II : PEMBAHASAN.5 INSAN KAMIL.5 PLURALITAS.19 BAB III : PENUTUP.33 KESIMPULAN.33 SARAN.33 DAFTAR PUSTAKA.34

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANGDalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu arabi dan Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW.Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun-duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.Sesungguhnya orang-orang mumin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah:62).

B. RUMUSAN MASALAH1) Bagaimana Insan Kamil dalam Pandangan Islam ?2) Bagaimana Konsep Insan Kamil dalam Perspektif Ibnu Arabi ?3) Bagaimana Pluralitas dalam Pandangan Islam ?

C. TUJUAN1) Untuk mengetahui Insan Kamil dalam Pandangan Islam.2) Untuk mengetahui Konsep Insan Kamil dalam Perspektif Ibnu Arabi.3) Untuk mengetahui Pluralitas dalam Pandangan Islam.

BAB IIPEMBAHASAN

A. KONSEP INSAN KAMILPembicaraan mengenai insan kamil adalah pembicaraan yang menjadi titik tolak dalam pembicaaraan tentang ciptaan-ciptaaan Allah Swt khususnya dalam dunia tasawuf dan filsafat Islam. Karena itu pembicaraan mengenai insal kamil pada khazanah irfan adalah sisi batin dari manusia.Ada dua karya besar yang berbicara mengenai insan kamil, yaitu al-Insan al-Kamil fi Marifah al-Awakhir wa al-Awail karya Syekh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1366-1430 M) dan al-Insan al-Kamil karya Azizuddin Nasafi.Dalam dunia tasawuf, eksistensi selain Allah adalah eksistensi yang relatif atau nisbi. Pasalnya, segala sesuatu selain Allah Swt adalah pancaran dari diri Allah Swt. Disebutkan juga dalam dunia tasawuf bahwa alam semesta ini atau segala yang berkaitan diciptakan oleh Allah Swt. tidak lain adalah menifestasi dari Allah Swt. La maujudan illallah dan la mahbuban illallah dan la maqshudan illallah.Allah mengambarkan semua ini sebagai tanda-Nya atau ayat-Nya seperti dikatakan dalam ayat, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri. (QS 41:53)Mengapa Allah mengatakan semua ini sebagai tanda bagi diri-Nya ? Bukanlah hal ini adalah riil-Nya. Namun, ia hanyalah dapat mengantarkan kita kepada pemahaman sesuatu yang diisyaratkan-Nya dan sesuatu di balik dari semua ini tidak lain adalah Allah Azza wa Jalla.Karena itu, dalam keyakinan para arif dan sufi, apa yang muncul dari alam ini adalah wujud yang tidak nyata, hanya sebagai sebuah isyarat saja. Bahkan diri dan eksistensi kita bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan oleh sesuatu yang lain itu. Dari sinilah pembicaraan mengenai insan kamil itu muncul.Pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi sesuatu penting disebabkan, pertama, orang hanya dapat mengenai hakikat Allah yang sejati melalui pemahamannya terhadap insan kamil. Yang sebelumnya mungkin manusia mengenal Allah melalui bentuk dari tanda-tanda-Nya atau ciptaan-ciptaan-Nya, bukan melalui hakikat yang diisyaratkan-Nya. Hal ini disebabkan bahwa makrifat kita belum sempurna.Para sufi pun mengkritisi para filosof, yang berbasis pemahaman akal, dengan mengatakan bagaimana mungkin Anda memahami cahaya Allah dengan cahaya lilin, bagaimana mungkin pemahaman makhluk ini digandengkan dengan Tuhan. Bagaimana Anda akan memahami cahaya matahari yang luar biasa melalui cahaya lilin ? Anda harus membuka jendela rumah Anda dan di situ Anda akan menemukan cahaya matahari yang sesungguhnya. Anda harus mengangkat pemahaman Anda dari akal ini dan membuka pintu hati Anda. Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ali as, Bagaimana mungkin engkau menyembah Tuhan yang tidak engkau saksikan ? Imam Ali berkata, Bagaimana mungkin aku menyembah Dia sementara aku belum menyaksikan-Nya ?Dalam hal ini, Imam Ali sudah mencapai derajat kesempurnaannya. Derajat kedekatan kita ditentukan Kita mengenali hakikat kita yang sesungguhnya. Kemana kita akan berjalan atau kita memiliki tujuan dalam perjalanan hidup kita ? Tujuan yang paling mendasar dari hidup kita adalah Allah Swt. Bagaimana kita mampu berjalan menuju Allah ?Posisi insan kamil ini adalah orang-orang yang sudah melakukan proses perjalanan itu sehingga ia mampu mengikuti-Nya. Kita selalu berdoa, Bimbinglah kami ke jalan yang lurus. Jalan siapa itu ? Adalah jalan orang-orang yang Kami beri kenikmatan dan mereka tidak berada dalam kesesatan.Kita mampu melihat realitas diri Muhammad, diri para nabi para rasul dan kekasih Allah dengan makna yang benar. Apakah pandangan mereka salah ? Dikarenakan pandangan mereka (orang awam) selama ini adalah pandangan dalam bentuk fisiknya.Pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi penting. Pertama, adalah hakikat penciptaan manusia; kedua, tentang khalifah dan hakikat insan kamil; dan ketiga, ketergantungan seluruh semesta terhadap insan kamil dalam perjalanan menuju Allah Swt.

a. Hakikat Penciptaaan ManusiaBahwa Allah Swt pada hadis Qudsi berfirman, Aku adalah pembendaharaan yang tersembunyi dan cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakanlah beragam ciptaan.Allah mengisyaratkan tentang diri-Nya dengan kata Dia (Yang Tersembunyi), dalam ketunggalan-Nya, karena kecintaan diri-Nya untuk dikenal. Ibarat manusia yang selalu bercermin terhadap dirinya disebabkan manusia mencintai dirinya atau sebagai dorongan cinta terhadap dirinya dan beragam pengetahuaan manusia tentang dirinya itu muncul. Keberagaman pengetahuan yang muncul dari diri-Nya inilah memunculkan keberagaman hal. Allah Swt ketika memahami diri-Nya, munculnya pengetahuan tentang diri-Nya, baru dari pengetahuan inilah, muncul alam semesta ini. Maka Allah mengatakan, Maka Aku ciptakan beragam ciptaaan, baru fase atau proses ketiga muncul.Setiap kemunculan dari diri Allah itu, maka muncullah persepsi nama Allah yang indah dan mengantarkan pada kesempurnaan. Dalam ayat disebutkan, Katakanlah: Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) (QS 17: 110) Karena itu, beragam nama di sini, setiap nama ini memanifestasikannya ke alam semesta. Setiap alam ini menunjukkan gambaran atau manifestasi nama Allah Swt.

b. Hakikat Manusia Dalam Matsnawi RumiKarena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting itu tumbuh justru demi buah. Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh, betapa pekebun itu akan menanam pohon. Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah (Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah. (al-Mastnawi 4:30)Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya membahas tentang banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha Muthahhari mengatakan, Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial dan irfan.Pembahasan tentang hakikat manusia adalah salah satu bahasan khusus yang dibahas oleh Rumi dalam Matsnawinya. Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi sebagian dari kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah mengatakan Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah sulit. Dengan mengetahui esensi manusia akan mengantarkan seseorang kepada pengetahuan akan Tuhan.Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya melalui alam dan dalam diri manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik maka hidup kita pun akan baik. Allah berfirman : Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran ini sebenarnya (dari Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas tiap-tiap sesuatu. (QS. Al-Ankabut : 53)Manusia adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti dan masih banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang merupakan inti dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan tentang keutamaan marifatun nafs ini (pengetahuan tentang hakikat diri). Misalnya, Imam Ali berkata, Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu., Janganlah kalian bodoh dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian, karena kalau kalian bodoh dengan itu berarti kalian bodoh dengan segala hal., Cukuplah pengetahuan seseorang itu kalau mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.Maulawi Rumi adalah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga dia mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam bait-bait syairnya. Dalam bait pertama dia mengatakan : Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.Dari segi fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita pun perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri dan tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun ? Atau makanan hanyalah sebagai penunjang saja agar kita bisa bertahan hidup ? Dan alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup manusia ?Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya) adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, Apakah kalian mengira kalian, hanya tubuh kecil ini,padahal kalian adalah alam yang sangat besar.Aneh memang manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan :Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Jadi yang paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon.Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai ridha Allah.Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam, materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada Tuhan.Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman, Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa yang panjang.Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : Kalau bukan mengharap dan menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon.Pohon hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan buah, karena buah tidak mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat manusia itu tidak akan bercahaya tanpa melalui perantara tubuh kasar ini, tubuh harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan ruh,jangan sampai tubuh dan tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.Kalau kita pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak bisa lepas dari alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, sepertinya pohon tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. Jadi sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya justru pohon itulah yang lahir dari buah.Maulawi belum menerangkan secara rinci akan hakikat manusia, dia baru menerangkan bahwa kita adalah alam yang lain (makrokosmos lain) dan bukannya bagian dari alam, karena alam yang ini diciptakan demi cintanya Allah pada manusia sebagai bukti, pengantar dan pengingat akan kebesaran-Nya.Hakikat manusia dalam kaca mata Rumi adalah debu, debu yang mengepul ketika kuda lewat, debu yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya.Debu yang diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda karena tidak mungkin jika debu diinjak kaki kuda menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia seharusnya menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. Manusia seharusnya merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi khalifah dan duta kebesaran-Nya. Adakah manusia yang seperti itu ?Jelas ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah mereka, mereka yang sudah mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga bumi, menjaga kelestarian alam dan penghuninya, merekalah yang senantiasa mengingatkan kita kepada Pencipta alam yaitu Allah, merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.Kita harus menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu adalah menjadi debu di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri seperti para wali Allah, supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, keagungan di atas keagungan.Setiap individu adalah debu, Hanya telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di atas debu, jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu agar engkau dapat menjadi Laksana mahkota di atas kepala raja.Namun bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri ini, setelah kita mengetahui bahwa kita adalah makrokosmos dan alam sebagai wasilah kemudian hakikat kita adalah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah agar supaya hakikat diri ini senantiasa ada dan terpatri kuat dalam jiwa? Sehingga kita bisa menjadi mahkota di atas kepala raja ?Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri tapi sayang hanya sekedar isapan jempol belaka, karena makrifat ini memiliki standar dan ciri tersendiri yang akan selalu tampak dalam sikap dan perbuatan kita sehari-hari, kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada di air. Kita terpaku dan terpana dengan melihat indahnya rembulan yang ada di air padahal hakikat bulan ada di langit.Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan tentang cara untuk mencapai makrifah diri ini, dia mengatakan bahwa untuk mencapai makrifah ini adalah dengan cara Taskiyatun nafs, membersihkan diri dari debu keegoisan, mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan dan mengosongkan diri dari selain-Nya.Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi jiwa dengan selalu berbuat baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak gelap.Sehingga dengan jelas akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok karena selalu dalam sinaran-Nya.Hanya dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita harus senantiasa berkontemplasi agar tahu hakikat diri kita dengan pasti. Rumi bertutur :Oh sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu dari sifat mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih tanpa noda, lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru.Itulah sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, telah mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah sampai kepada kedudukan debu di kaki-Nya. Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada kita cara mengetahui dan menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai manusia yang tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja harus kembali merenungi perkataan sang maulawi, agar kita seperti dia, menjadi debu di kaki-Nya.Akhirnya Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu dia merasa kesal karena tidak pernah bertemu dengan manusia.Dia hanya selalu bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin sekali bertemu dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang lama. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di tangannya. Ia berkata, aku bosan dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu manusia, hatiku jenuh melihat sahabat patah semangat. Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, mereka berkata : kami telah mencarinya dalam waktu yang panjang ia tak ditemukan ia Menjawab, Sesuatu yang tak ditemukan itulah yang senantiasa aku cari.

c. Proses Munculnya Insan KamilMunculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi.Pertama melalui tahap-tahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil.Kedua melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil.Tajalli Tuhan dalam pandangan Ibn Arabi mengambil dua bentuk: pertama tajalli gaib atau tajalli ti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhdi (penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.[11]Tajalli ti, menurut Ibn Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan kedua martabat wahdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga ia belum dikenal oleh siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu kata Ibn Arabi, hanya merupakan totalitas dari potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-am) yakni awan tipis yang membatasi langit ahadiyah dan bumi keserbagandaan makhluk, yang identik dengan nafs ar-Rahmn (nafas Tuhan yang Maha Pengasih).[12]Wujud Tuhan dalam martabat ahadiyah masih terlepas dari segala kualitas dan pluralitas apapun: tidak terkait dengan sifat, nama, rupa (rasm), ruang, waktu, syarat, sebab dan sebagainya. Ia betul-betul transenden atas segala-galanya. Di dalam transendensi-Nya itu, ia ingin dikenal oleh yang selain dari diri-Nya, maka diciptakan-Nya makhluk. Dari martabat ahadiyah tajalli Tuhan akan berlanjut pada martabat-martabat di bawahnya sampai pada martabat dimana Tuhan dapat dikenal oleh makhluk.[13]Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di luar batas ruang dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya.Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang berupa entitas-entitas laten (ayn sbitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari aspek ketuhanan, ia disebut asma ilhiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek kealaman (makhluk), ia disebut asma kiyniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena pada asma kiyniyah itu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (ain). Oleh karena itu, setiap kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma kiyniyah sebagai wadah tajalli-nya.[14] Ibn Arabi menjelaskan Tatkala (Allah) menghendaki adanya alam terjadilah dari iradat suci itu suatu hakikat yang disebut hab (materi prima).Kemudian Allah subhanahu ber-tajalli dengan nur-Nya pada hab itu, yang oleh ahli pikir disebut al-hayla al-kull (materi universal), yang alam semesta ini secara potensial dan serasi berada di dalamnya.Segala sesuatu dalam hab itu menerima (nur) Allah menurut potensi dan kesediaannya masing-masing, seperti sudut-sudut sebuah rumah menerima sinar lampu, yang lebih dekat kepada nur itu lebih terang dan lebih banyak menerimanya.Tiada yang lebih banyak menerimanya di dalam hab itu daripada hakikat Muhammad s.a.w., yang wujudnya dari nur ilahi itu, dari hab dan dari realitas universal.[15]Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zhir (Yang Maha Nyata). Kemudian jasad universal tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal) sebagai efek dari tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakm (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya Tuhan dengan nama-Nya al-Muhth (Yang Maha Melingkupi), asy-Syakr (Yang Maha Melipatgandakan pahala), al-Gni (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Memberi Kekuasaan) masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan, kursi, falak al-brj (falak bintang-bintang), dan falak al-manzil (falak berorbit). Setelah falak al-manzil, secara berturut-turut muncul langit pertama hingga langit keenam dan langit dunia. Kemudian muncul pula eter, api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia dan insan kamil. Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), al-Alm (Yang Maha Mengetahui), al-Qhir (Yang Maha Perkasa), an-Nr (yang bersinar), al-Musawwir (yang membentuk rupa), al-Muhs (yang mencatat), al-matn (Yang Maha Kokoh), al-Qbid (yang membatasi), al-Hayy (Yang Maha Hidup), al Muhy (Yang Menghidupkan), al-Mumt (Yang Mematikan), al-Azz (Yang Maha Mulia), ar-Razzq (Yang Memberi rezki), al-Muill (Yang Menghina), al-Qaw (Yang Maha Kuat), al-Latf (Yang Maha Halus), al-Jmi (Yang Menghimpunkan), Rfi ad-Darajt (Yang Maha tinggi derajatnya). Pada peringkat insan kamil itu sempurnalah tajalli Tuhan pada makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi segenap sifat dan asma-Nya.[16]Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk pertama dan yang sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang aktual dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas perhentian.Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai setelah melalui beberapa maqm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqmt). Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin (hl, jamaknya: ahwl).[17] Maqmt adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan ahwl sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.Di antara ahwl yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwl dialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqmt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut lamaat.[18] : ( ) Barwa Ahmad Tabanah berkata dalam Muqadimah Ihy Ulumudin karya al-Ghazali: Seperempat bagian yang menyelamatkan (maqmt) dalam bab khauf (takut), raj (berharap), sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu, mesra, dan rida.[19]Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqmt yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakal, rida, cinta dan makrifat.[20] Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqm makrifat dan mahabbah. Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan berarti mengenal Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya adalah wujud bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya hanya image belaka, sehingga yang benar-benar ada ialah wujud Tuhan.[21]Setelah menempuh segala maqm sampailah sufi kepada keadaan fan dan baq.Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak. Fan adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fan an sift al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baq) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fan yang mendahuluinya, yaitu:1) Fan an al-Mukhlaft (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nr al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).2) Fan an afl al-ibd (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya satu agen mutlak dalam alam ini, yakni Tuhan.3) Fan an sift al-makhlqn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.4) Fan an kull az-zt (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.5) Fan an kull al-alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.6) Fan an kull m siw l-lh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.[22]Ketika sufi mencapai fan tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti inilah yang dicapai insan kamil.d. Kedudukan Insan KamilInsan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya.Yang dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilfah az-zhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilfah al-manawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.Dalam pandangan Ibn Arabi, kedua bentuk khalifah diatas sama-sama mempunyai urgensi dalam eternalisasi eksistensi alam semesta. Namun demikian, khilfah manawiyyah menempati posisi paling asasi. Di satu sisi, ia merupakan fokus kesadaran diri Tuhan, sementara disisi lain, ia merupakan sebab muncul dan lestarinya alam semesta. Posisi demikian berlainan dengan khilfah zhiriyyah, yang fungsinya tidak lebih dari melestarikan masyarakat dan negara, dengan menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat.Dengan demikian, tugas khilfah zhiriyyah ini merupakan penunjang tugas khilfah manawiyyah. Ini bukan berarti khilfah zhiriyyah tersebut dapat diabaikan, karena tanpa dia niscaya akan terjadi kegoncangan pada khilfah manawiyyah.[23]Kedudukan khalifah pertama kali ditempati oleh Adam a.s. karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Bahkan jabatan yang diduduki oleh Adam a.s. itu (sebenarnya) tidak terlepas dari rekayasa Tuhan, seperti disebutkan dalam Alquran surat al-Baqarah: 30. Artinya:Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesunggguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. al- Baqarah: 30).[24]Jadi, keunggulan Adam a.s. yang menyebabkan ia diangkat oleh Tuhan sebagai khalifah di sini bukan karena kesalehannya, tetapi karena dirinya dapat memanifestasikan asma dan sifat-sifat Tuhan. Diakui bahwa malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berada dalam kesalehan, tetapi ia tidak dapat menyandang jabatan khalifah, karena dirinya tidak mampu menerima tajalli ilahi secara sempurna, ia hanya dapat memanifestasikan salah satu dari sifat dasar Tuhan: sifat jaml (maha indah) ataupun sifat jall (maha perkasa). Hal demikian berlainan dengan Adam a.s., pada diri Adam termanifestasi sifat-sifat jaml, seperti kasih sayang, santun dan pemurah; dan juga sifat jall, seperti perkasa, menjatuhkan hukuman atas yang bersalah, dan bangga. Oleh sebab itu ketika Tuhan memerintahkan segenap malaikat bersujud kepada Adam, maka semuanya bersujud kecuali Iblis. Ia menolak untuk melakukan sujud karena kesombongannya, sehingga ia termasuk golongan kafir.[25] Alasan iblis tidak mau sujud karena ia merasa dirinya lebih baik daripada Adam, ia dijadikan dari api sedangkan Adam dari tanah.[26]Iblis, kata Ibn Arabi, adalah suatu makhluk yang paling banyak dipengaruhi oleh daya ilusi (al-quwah al-wahmiyah), sehingga ia terhalang dari kebenaran karena daya ilusi tersebut. Maka ketika mendapat perintah dari Tuhan agar melakukan sujud kepada Adam, ia tidak mematuhinya. Iblis disebut juga jin, yakni suatu kelompok alam gaib yang rendah (al-malkt as-sufliyah), yang pada mulanya hidup bersama-sama malaikat-malaikat langit yang suci, tetapi tidak dapat mencapai kebenaran mutlak karena terhalang oleh kebenaran nisbi, maka ia pun termasuk golongan kafir.[27]Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (ilm al-asrr), ilmu ladunni atau pengetahuan gaib.Pengetahuan esoterik, pada dasarnya identik dengan pengetahuan Tuhan sendiri.Oleh karena itu orang yang bisa mencapainya hanyalah orang yang telah menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan, dalam hal fan dan baq. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[28] Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros). Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Qutb bisa pula disebut gaws (penolong), yang termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan, quthb dikitari oleh dua orang imam yang bertugas sebagai wazirnya.Di samping itu, ada pula empat orang awtd (pilar-pilar), yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi, masing-masing dari empat orang awtd itu berdomisili di arah timur, barat, utara, dan selatan dari kabah. Selain itu, terdapat tujuh orang abdl (pengganti-pengganti), yang bertugas mengurus tujuh benua; dua belas orang nuqab (pemimpin-pemimpin), yang mengatur perjalanan dua belas bintang; dan masih ada delapan orang nujab (orang-orang yang mulia), hawriyn (para penolong), dan rajbiyn (wali-wali yang hanya muncul pada bulan Rajab).[29]Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak pernah kering.e. Kedudukan Norma dalam Insan KamilTaklif syarak merupakan norma-norma keagamaan untuk menata kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan dengan makhluk lain. Kalau aturan-aturan ini dilanggar atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya niscaya akan terjadi kekacauan dalam kehidupan manusia. Pada aspek aksiologis, Tuhan merupakan wujud yang maha baik, yang menyukai kebaikan, dan ingin menyebarkan kebaikan. Karena itu, ia memanifestasikan diri-Nya dengan norma, hukum, atau wahyu. Jadi wahyu juga merupakan salah satu wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa syariat yang merupakan aktualisasi dari wahyu itu mengandung nilai-nilai keilahian.[30]Untuk mencapai martabat insan kamil, sufi harus mematuhi aturan-aturan formal keagamaan, yang bersumber dari kitab suci Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Pengetahuan dan tindakan yang tidak didukung oleh kitab suci dan sunnah Nabi saw. merupakan pengetahuan dan tindakan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, bahkan menyesatkan. Oleh sebab itu, jika seseorang memperoleh ilham, dia harus mempertimbangkannya lebih dahulu atas kriteria kandungan Alquran dan sunnah; jika ilham yang diperolehnya itu sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah, menandakan ilham yang didapatnya itu datang dari Allah dan dia boleh melaksanakannya; tetapi kalau ilham itu tidak sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah dia tidak boleh mengamalkannya, karena boleh jadi ilham yang demikian bersumber dari bisikan iblis yang menyusup ke dalam lubuk hatinya.[31]Semakin tinggi martabat spiritual sufi bertambah sulit pula jalan yang ditempuh dalam suluknya. Jalan berliku menanjak, petir menyambar, hujan mengguyur dalam gelap gulita malam sementara tujuan belum tercapai ditambah godaan setan dari yang kasar sampai yang halus menghanyutkan, sufi yang sudah kebal dengan rayuan setan kelas teri tentu diburu oleh setan kelas kakap bahkan the big bos juga turun tangan. Dikisahkan pada suatu ketika Syekh Abd al-Qadir al-Jilny melihat cahaya terang, di dalamnya terdapat penampakan yang memanggil: Hai Abd al-Qadir, aku tuhanmu, aku halalkan untukmu segala yang diharamkan! Dia menjawab: Aku berlindung dengan Allah dari setan yang dirajam, pergilah hai terkutuk! Padamlah cahaya terang itu, setan yang mengaku tuhan itu berkata: Engkau telah selamat dariku dengan hukum Tuhanmu dan kepahamanmu dalam mempertahankan martabat spiritual. Padahal aku telah menyesatkan tujuh puluh ahli suluk dengan metode ini. Dia menjawab: hanya milik Tuhanku segala keutamaan dan anugerah. Syekh ditanya: Dengan apa engkau mengerti bahwa penampakan itu setan? Dia menjawab: Dengan ucapannya telah kuhalalkan, untukmu segala yang diharamkan, maka aku segera mengerti sesungguhnya Allah tidak memerintahkan dengan kejahatan.[32]Abu Bakar al-Makky berkata: Para salik (penempuh spiritual) harus melakukan syariah, thariqat, dan haqiqah. Syariah adalah perintah-perintah yang diperintahkan Allah dan larangan-larangan yang dilarang Allah.Thariqah adalah melakukan dan mengamalkan syariah.Haqiqah adalah memandang bahwa esensi dan penggerak perbuatan adalah Allah. Pernyataan hanya kepada-Mu aku menyembah merupakan dimensi syariah dengan memandang perbuatan lahir yang dilakukan hamba, dan pernyataan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan merupakan dimensi haqiqah karena hamba memfankan daya upayanya dengan menyadari segala perbuatan tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan kekuatan Allah.[33]Insan kamil sebagai manusia sempurna tentu mematuhi norma taklif yang dibebankan Allah. Tata laku lahir berupa norma taklif dirancang Allah untuk kebaikan manusia. Alquran surat al-Bayyinah: 5 menjelaskan: Artinya:Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Qs. al-Bayyinah: 5)[34]Pada aspek fikih bersuci atau tahrah merupakan syarat untuk melakukan berbagai ritual ibadah. Bisa dibayangkan apabila tidak wudu, mandi wajib, apalagi jarang mandi karena menjalani laku garingan tentu tubuh akan kotor, gatal dan ibadahpun menjadi tidak nyaman. Puasa Ramadhan yang berupa kewajiban bagi orang-orang beriman juga memiliki efek positif untuk kesehatan manusia. Demikian pula awmir (perintah-perintah) lain selalu menyimpan kemaslahatan lahir batin manusia. Pada sisi lain nawhy (larangan-larangan) secara akurat merusak fisik, moral dan tatanan sosial. Pencurian, korupsi, zina, penganiayaan terhadap makhluk hidup dan perilaku melanggar norma yang lain tentu merusak tatanan individual maupun kolektif.B. PLURALITASBersamaan dengan meninggalnya Gus Dur, isu pluralisme kembali menjadi perbincangan.Presiden SBY pun secara khusus memberikan gelar Bapak Pluralisme untuk Gus Dur.Padahal MUI sendiri dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Bagaimana sesungguhnya pluralisme itu dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya ?Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam -agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain.Kadang-kadang pluralisme juga diartikan sebagai paham yang menyatakan, bahwa kekuasaan negara harus diserahkan kepada beberapa golongan (kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya oleh satu golongan.Merujuk pada definisi kedua ini, Ernest Gellner menyebut model masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan hak-hak individu sebagai masyarakat sipil (civil society).Gellner juga menyatakan bahwa civil society merupakan ide yang menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara.Kemunculan ide pluralisme terutama pluralisme agama- didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.Inilah gagasan-gagasan penting seputar ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media, misalnya dialog lintas agama, doa bersama, dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan pemerintah yang harus mengacu kepada HAM dan asas demokrasi.Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.Setiap orang wajib menjunjung tinggi prinsip kebebasan berfikir dan beragama, seperti yang dicetuskan oleh para penggagas paham pluralisme.Argumentasi Para Penggagas Pluralisme Agama dan Koreksinya.Meskipun ide pluralisme baik yang beraliran agama global maupun kesatuan transenden ditujukan untuk meredam konflik akibat adanya keragaman agama, dan truth claim, namun ide ini ujung-ujungnya malah menambah jumlah agama baru dengan truth claim yang baru pula.Wajar saja jika ide ini mendapat tantangan keras dari agama beserta pemeluknya, terutama Islam dan kaum Muslim.Oleh karena itu, para pengusung gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut:A. Surat al-Hujurat Ayat 13Allah swt telah berfirman;

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. (al-Hujurat:13).Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme.

Koreksi:Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan oleh kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui klaim-klaim kebenaran (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan peradaban-peradaban selain Islam. Ayat ini juga tidak mungkin dipahami, bahwa Islam mengakui keyakinan kaum pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama yang ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, seperti Tuhan yang disembah oleh kaum Muslim. Ayat ini juga tidak mungkin diartikan, bahwa Islam telah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan memeluk agama global (pluralisme). Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.Agar kita bisa memahami makna ayat tersebut di atas, ada baiknya kita simak kembali penjelasan para mufassir yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan.Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka.Kemudian Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih.Mujahid berkata, Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu. Syekh Zadah berkata, Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain.Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, Barangsiapa menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa surat Hujurat ayat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan lain-lain. Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara alami.Hanya saja, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bahkan, Islam menolak klaim kebenaran yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama selain Islam, dan menyeru seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin selamat dari siksa api neraka. Perhatikan ayat-ayat berikut ini;

() () () () ()

Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu.Engkau berada di atas jalan yang benar. Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu.Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela. (al-Hajj:67-71).Ayat ini dengan tegas menyatakan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) agama.Hanya saja, Islam tidak pernah mengakui kebenaran (truth claim) agama-agama selain Islam.Tidak hanya itu saja, ayat ini juga menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah swt. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya, dan menyembah kepada Tuhan yang sama?Di ayat yang lain, al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah agama Islam.

Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam. (Ali Imron:19).

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi. (Ali Imron:85).

Pada tempat yang lain, Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya.Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas.

Dan diantara manusia ada yang mendewa-dewakan selain daripada Allah, dan mencintainya sebagaimana mencintai Rabb, lain dengan orang yang beriman, mereka lebih mencintai Allah.Kalau orang lalim itu tahu waktu melihat adzab Allah niscaya mereka sadar sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah, dan Allah amat pedih siksaNya.(al-Baqarah:165).

Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang Nasrani berkata: Al Masih itu putera Allah.Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (al-Taubah:30)

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (al-Taubah:31)

Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Katakanlah: Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu? (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya.Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). (al-Maidah:18)

Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.(al-Maidah:72)

Ayat-ayat di atas dan masih banyak ayat yang lain menyatakan dengan sangat jelas (qathiy), bahwa Islam telah menolak truth claim semua agama selain Islam. Islam juga menyatakan dengan tegas, bahwa konsepsi Ketuhanan Islam berbeda dengan agama selain Islam yang ada pada saat ini, alias tidak sama. Sedangkan agama Yahudi dan Nashraniy sebelum disimpangkan oleh penganutnya, dahulunya masih memiliki konsepsi ketuhanan yang sama dengan agama Islam, yakni tauhid. Hanya saja, karena keculasan para penganutnya, akhirnya dua agama menyimpang jauh dari konsepsi tauhid. Dari sini bisa dipahami, bahwa Islam tidak sama dengan agama yang lain yang ada pada saat ini, baik dari sisi cara penyembahan (bentuk empirik), maupun konsepsi ketuhanannya (aspek gnosis). Fakta nash telah menunjukkan kesimpulan ini dengan sangat jelas. Oleh karena itu, menyamakan Islam dengan agama selain Islam jelas-jelas keliru dan menyesatkan, bahkan terkesan dipaksakan.Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di dalam neraka. Perhatikan ayat berikut ini.

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar. (al-Baqarah:111)

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Hujurat ayat 13 bukanlah pembenar bagi ide pluralisme agama. Ayat tersebut hanya berbicara pada konteks pluralitas suku, bangsa, dan agama, dan sama sekali tidak berbicara pada konteks gagasan pluralisme, seperti yang diklaim para pengusung ide pluralisme. Bahkan, nash-nash al-Quran jelas-jelas telah menyatakan pertentangan Islam dengan ide pluralisme.Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme, baik ide agama global maupun kesatuan transenden. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka.Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui kebenaran (truth claim) agama selain Islam.Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap dan pandangan yang jelas; yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan melenyapkan identitas agama-agama selain Islam, seperti gagasan kelompok pluralis pertama (global religion).Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan aqidah Islam.Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani masuk ke surga, maka dia telah murtad dari Islam.B. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam

Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah:256)

Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui pluralitas (keragaman) agama.

Koreksi:

Sesungguhnya, ayat ini tidak bisa digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Ayat ini hanya berbicara pada konteks tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk masuk Islam. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Oleh karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Islam membenarkan keyakinan dan ajaran agama selain Islam. Bahkan, ayat ini telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya saja, kaum Muslim tidak diperbolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mutaqid wa al-millah (keyakinan dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum pluralis. Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah.

Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu.Engkau berada di atas jalan yang benar. (al-Hajj:67)C. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62

Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:

Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(al-Maidah:69)

Sesungguhnya orang-orang mumin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah:62).

Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabiun, yang taat kepada ajaran agamadan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).

Untuk menafsirkan surat al-baqarah ayat 62, ada baiknya kita simak penuturan ahli tafsir berikut ini:Menurut al-Sudiy, ayat ini (al-Baqarah: 62) turun berkenaan dengan shahabat-shahabatnya (pendeta-pendeta) Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan mereka. Salman ra bercerita kepada Nabi saw, Mereka mengerjakan sholat, berpuasa, dan beriman kepada kenabian Anda, dan bersaksi bahwa Anda akan diutus oleh Allah swt sebagai seorang Nabi. Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka. Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, makaia akan mengalami kebinasaan.Imam Ibnu Katsir menyatakan, Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.[Ali Imron:85]. Ibnu Abbas menyatakan, Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syariatnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan. Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.Dari uraian di atas jelaslah, dua ayat di atas ditujukan kepada umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Topiknya sangat jelas, bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten pada zaman itu; semisal umat Yahudi yang konsisten mengikuti kitab Taurat, menyakini dan menjalankan isinya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Adapun setelah Nabi Mohammad saw diutus di muka bumi ini, maka tidak ada satupun agama selain Islamyang mampu menyelamatkan pemeluknya dari kekafiran, kecuali jika mereka mau memeluk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa ahlul kitab dan kaum musyrik setelah diutusnya Mohammad sawterkategori muslim, dan berhak memperoleh pahala dari Allah swt.Selain itu, pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan sabda Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi, dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka. [HR. Muslim dan Ahmad]Rasulullah saw bersabda, Tidak ada nabi, di antara aku dan ia, yakni Isa as, sesungguhnya ia adalah tamu. Bila kalian melihatnya, maka kalian akan mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan, maka akan basah, Dan ia akan memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi, mengambil jizyah, saat itu Allah menghancurkan seluruh agama kecuali Islam, sedangkan Isa as menghancurkan Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya. (HR. Abu Dawud)Al-Quran sendiri telah memberikan predikat Ahli Kitab Yahudi dan Nashranisebagai orang-orang musyrik. Allah swt berfirman: Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (al-Taubah:31). Redaksi sebelumnya dinyatakan, bahwa orang-orang Yahudi berkata, Uzair adalah putera Allah dan orang Nashrani berkata, Al Masih putera Tuhan.Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani terkategori kaum musyrik, bukan Muslim.Lantas, bagaimana bisa disimpulkan; kaum Yahudi dan Nashrani yang ada sekarang ini terkategori Muslim dan berhak mendapatkan pahala dari Allah swt, sementara itu mereka telah kafir dan musyrik? Bukankah Allah swt telah berfirman di dalam al-Quran:

Oleh karena itu, siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak diperkenankan oleh Allah masuk surga, dan tempat kembalinya adalah neraka.(al-Maidah:72).

Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan bahwa Tuhan itu ketiga dari yang ke tiga, padahal Tuhan itu hanya satu.Jika mereka belum berhenti berkata demikian, tentulah mereka yang kafir itu, akan mendapat siksa yang sangat pedih. (al-Maidah:73)

Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.(Ali Imron:19)

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi. (Ali Imron:85).

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Baqarah ayat 62 dan surat al-Maidah ayat 59 sama sekali tidak berhubungan dengan paham pluralisme.D. Ayat Tentang Kalimatun SawaPara pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun sawa.

Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Ali Imron:64])

Para pengusung gagasan pluralisme mengatakan, bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka pun menyimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashraniy dalam masalah ketuhanan.Semua menyembah kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kalimat sawa. Dengan kata lain, Islam pun pada dasarnya mengakui kebenaran konsep ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sekarang ini. Akhirnya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama-sama benarnya dan sama-sama punya kans masuk ke surganya Allah swt. Sesungguhnya, penafsiran kaum pluralis tersebut, benar-benar telah menyimpang jauh dari makna sebenarnya.Untuk mengetahui makna hakiki dari frase kalimat sawa, kita dapat merujuk kepada ulama tafsir yang lebih kredibel dan netral dari kepentingan barat, diantaranya adalah Imam Ibnu Katsir.Menurut Ibnu Katsir, frase kalimat di dalam surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu adalah sawaa bainanaa wa bainakum (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dengan kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata kalimat yang memiliki makna dan pengertian tertentu.Adapun makna hakiki yang dituju oleh frase kalimatun sawaa sawaa bainanaa wa bainakum adalah kalimat tauhid, yaitu allaa nabudu illaa Al-Allah (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah). Inilah makna sesungguhnya dari kalimat sawa, yaitu kalimat Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah) yang berhak untuk disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya. Kalimat ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa as dan Isa as. Allah swt berfirman:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. (al-Nahl:36)

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (al-Anbiyaa:25)

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa surat Ali Imron ayat 64 di atas sama sekali tidak menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab (baik Yahudi dan Nashraniy) untuk kembali mentauhidkan Allah swt, sebagaimana yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as dan Isa as.Sebab, kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang jauh dari konsepsi Tauhid.Mereka telah menjadikan ahbar (pendeta-pendeta) dan ruhban (rahib-rahib) sebagai sesembahan selain Allah swt.Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Quran dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (al-Taubah:31)

Walaupun ayat ini tidak menyatakan, bahwa ahbar itu ditujukan khusus untuk kaum Yahudi, dan ruhban untuk kaum Nashrani, akan tetapi konsensus pengguna bahasa Arab telah memahami, bahwa dua kata tersebut khusus untuk orang Yahudi dan Nashrani.Dari sinilah bisa dipahami, bahwa ayat ini merupakan seruan kepada orang Yahudi dan Nashrani agar mereka kembali ke jalan Tauhid, setelah mereka menyimpang jauh dari jalan tersebut (tauhid); yaitu ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah, dan tatkala orang Nashrani mengatakan bahwa Isa as adalah putera Tuhan. Surat Ali Imron di atas tidak lain tidak bukan adalah ajakan agar orang Yahudi dan Nashraniy meninggalkan kemusyrikannya dan kembali menyembah kepada Allah swt semata, dan mengikuti ajaran Mohammad saw.Demikianlah, ayat ini sama sekali tidak berbicara pada konteks kesatuan dan kesamaan agama seperti yang dinyatakan oleh kaum pluralis. Ayat ini sama sekali juga tidak menunjukkan, bahwa Islam mengakui gagasan pluralisme yang dijajakan di negeri kaum Muslim. Sebaliknya, ayat ini merupakan ajakan dan seruan kepada ahlul kitab agar mereka kembali kepada jalan yang lurus, yakni agama Tauhid seperti yang telah diajarkan oleh Musa dan Isa as.WaLlh alam bi al-shawb (Syamsuddin Ramadhan - Lajnah Tsaqafiyyah HTI).

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANInsan Kamil merupakan manusia yang telah memiliki gelar kesempurnaan. Dan salah satu manusia yang sempurna itu adalah milik nabi Muhammad SAW. Pluralitas hampir sama dengan toleransi. Ada banyak kaum yang melegalkan pluralitas, namun dimata islam pluralitas itu adalah pemahaman yang jelek.B. SARANBerusahalah menjadi Insan Kamil. Paling tidak cara sederhananya, cukup mengikuti syariat yang diajarkan oleh Allah melalui firmannya dan Rasulullah melalui As-Sunnah nya.Pluralitas jangan kita anggap sepele, karena melalui pluralitas, terkadang kita ummat islam terjerumus kedalam hal-hal yang menyesatkan

DAFTAR PUSTAKA

Miftah. (2014). Konsep Insan Kamil dalam Perspektif Ibnu Arabi. [Online]. Tersedia : http://alhassanain.org/indonesian/?com=content&id=911. [27 Oktober 2014]

Majalah Syiar terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta