Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

17
AFIKSASI BAHASA JAWA DAN BAHAS SUNDA DALAM BAHASA INDONESIA KAJIAN MORFOLOGI ABSTRAK Salah satu proses pembentukan kata dalam bahasa Jawa dan bahasa sunda dilakukan dengan pemberian afik pada bentuk dasarnya. Proses pemberian imbuhan afik tersebut disebut afiksasi.Baik afik-afik yang produktif maupun yang tidak produktif pemakaiannya akan terlihat dalam afiksasi tersebut (Suwadji, 1986: 7) .Permasalahan dalam penelitian ini meliputi tiga hal, yaitu: 1) bagaimanakah bentuk afiksasi bahasa jawa dan bahasa sunda?, Tujuan penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan bentuk afiksasi BJ dan BS,. Penelitian ini bersifat deskripsi kualitatif yaitu mendeskripsikan data-data kebahasaan terutama mengenai afiksasi bahasa Jawa dan bahasa Sunda (suatu analisis kontrastif) yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuk, fungsi, dan maknanya. Data penelitian ini berupa data tulis dan data lisan sebagai data primer yang akan diteliti berasal dari peristiwa tutur bahasa Jawa Kota Surakarta dan bahasa Sunda Cianjur.Analisis data menggunakan metode padan untuk menganalisis adanya persamaan dan perbedaan kata dalam bahasa Jawa dengan bahasa Sunda. Kata Kunci : afiksasi,bahasa jawa,bahasa sunda. 1. Pendahuluan

Transcript of Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

Page 1: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

AFIKSASI BAHASA JAWA DAN BAHAS SUNDA

DALAM BAHASA INDONESIA

KAJIAN MORFOLOGI

ABSTRAK

Salah satu proses pembentukan kata dalam bahasa Jawa dan bahasa

sunda dilakukan dengan pemberian afik pada bentuk dasarnya. Proses pemberian

imbuhan afik tersebut disebut afiksasi.Baik afik-afik yang produktif maupun yang

tidak produktif pemakaiannya akan terlihat dalam afiksasi tersebut (Suwadji,

1986: 7).Permasalahan dalam penelitian ini meliputi tiga hal, yaitu: 1)

bagaimanakah bentuk afiksasi bahasa jawa dan bahasa sunda?, Tujuan

penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan bentuk afiksasi BJ dan BS,. Penelitian

ini bersifat deskripsi kualitatif yaitu mendeskripsikan data-data kebahasaan

terutama mengenai afiksasi bahasa Jawa dan bahasa Sunda (suatu analisis

kontrastif) yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuk, fungsi, dan maknanya.

Data penelitian ini berupa data tulis dan data lisan sebagai data primer yang

akan diteliti berasal dari peristiwa tutur bahasa Jawa Kota Surakarta dan bahasa

Sunda Cianjur.Analisis data menggunakan metode padan untuk menganalisis

adanya persamaan dan perbedaan kata dalam bahasa Jawa dengan bahasa

Sunda.

Kata Kunci : afiksasi,bahasa jawa,bahasa sunda.

1. Pendahuluan

Salah satu kajian dalam studi kebahasaan adalah morfologi. Morfologi

adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk beluk

bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan

dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan morfologi mempelajari seluk

beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi

gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 1987:17). Menurut Haspelmath

(2002:1), morfologi adalah suatu studi tentang struktur internal kata.

Page 2: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

Menurut Kridalaksana (2009:10), morfologi dapat dipandang sebagai

subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. Dalam proses

perubahan leksem menjadi kata, ada beberapa proses yang dapat terjadi, proses

yang disebut sebagai proses morfologis, yaitu afiksasi, reduplikasi, komposisi

(perpaduan), abreviasi (pemendekan), derivasi balik, dan derivasi zero.

Afiksasi sebagai salah satu proses morfologis merupakan proses yang

umum terjadi dalam bahasa-bahasa yang ada di dunia salah satunya bahasa Jawa.

Seperti pada beberapa bahasa lain, kata-kata dalam bahasa Jawa dapat berbentuk

morfem bebas dan dapat dibentuk melalui afiksasi (Poedjosoedarmo, dkk,.

1979:6). Kridalaksana (2009:28) menjelaskan bahwa afiksasi adalah proses

mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah

bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah

berstatus kata berganti kategori), (3) sedikit banyak berubah maknanya.

Poedjosoedarmo, dkk (1979:6) menjelaskan bahwa afiksasi dalam bahasa jawa

terjadi untuk menghasilkan antara lain konjugasi kata kerja (aktif transitif, aktif

intransitif, pasif, pasif tak terkendalikan, menunjuk pada objek lokatif, objek

kausatif, objek benefaktif, dan seterusnya), dan beberapa macam kata jadian

lainya.

Berdasarkan uraian di atas, hal yang dibahas dalam makalah ini adalah

afiksasi bahasa Jawa dalam Parikan Tulungagungan, pantun bahasa Jawa yang

disampaikan dengan dialek daerah Tulungagung di Jawa Timur. Dalam

menganalisis afiksasi tersebut peneliti menggunakan metode kualitatif. Dalam hal

ini, peneliti mendeskripsikan jenis-jenis afiks dalam bahasa Jawa.

2.  Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

yaitu metode yang bertujuan mendeskripsikan, maksudnya membuat gambaran,

lukisan, secara sistematis, faktual, akurat mengenai data (Djajasudarma; 1993 :

15)

Teknik penelitian yang digunakan adalah pencatatan, dengan melalui langkah-

langkah sebagai berikut : (1) Studi kepustakaan adalah mengumpulkan dan

Page 3: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

membaca membaca literature-literature yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti; (2) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data-data dari sumber yang

telah ditentukan; (3) Penyeleksian data, yaitu menyeleksi data yang telah

terkumpul berdasarkan sifat atau ciri setiap kata; (4) Pengklasifikasian data, yakni

mengelompokkan data-data yang telah diseleksi menurut kategorinya, jenis,

sifatnya dan memilih makna secara leksikal karena objek penelitian berupa kata;

(5) Penganalisisan data, yaitu menganalisis afiksasi kata ulang dwimurni dalam

bahasa Sunda; (6) Penyimpulan hasil penelitian, yaitu menyimpulkan seluruh

hasil yang diperoleh pada proses penganalisisan.

3.  Pembahasan

Bagaimana peran sufik –na dalam penggunaannya terhadap eksistensi kata

maupun kalimat, serta makna imbuhan tersebut bagi kata yang mendapat sufik –

na tersebut. Lanjutan penelitian ini hanya menambahkan apa yang sudah ada dan

pernah diteliti sebelumnya mengenai afiksasi bahasa Jawa, sehingga hasilnya

nanti dapat melengkapi data yang sudah ada dan memberikan sesuatu yang baru

bagi linguistik bahasa Jawa khususnya.

Proses afiksasi dalam bahasa Jawa jumlahnya sangat banyak. Namun,

dalam hal ini hanya akan dibahas secara spesifk mengenai sufik –na dalam

penerapannya pada kalimat-kalimat bahasa Jawa.

Pada Masyarakat Sunda sebagai pembentuk bahasa Sunda cenderung

membentuk kata jadiannya, diantaranya pengulangan. Dalam bahasa Sunda, hasil

proses morfemis kata ulang disebut kecap rajekan. Sedangkan dalam istilah

linguistik kata ulang disebut reduplikasi.

Selain reduplikasi, afiksasi juga mempunyai peranan yang sangat penting

dalam pembentukkan kata bahasa Sunda. Dalam suatu bahasa pembubuhan suatu

kata dilakukan dengan cara membubuhkan afiks pada bentuk dasarnya. Baik itu

diawal, tengah maupun akhir kata. Pembubuhan afiks tersebut dapat menimbulkan

makna yang berbeda, bahkan mengubah kelas kata. Seperti pada data berikut ini :

1.Dihiji-hijikeun‘disatukan-satukan’

2.Motong-motongkeun‘memotong-motong’

Page 4: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

Pada data (1) terdapat kata dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ yang

merupakan hasil reduplikasi dwimurni hiji ‘satu’ dengan gabungan prefiks di- +

sufiks –keun. Dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ mengalami perpindahan kelas kata

yakni dari numeralia menjadi verba dan memiliki makna yang menyatakan adanya

aktivitas yang dilakukan berkali-kali atau sering. Hal ini disebut proses

derivasional karena terjadi perpindahan kelas kata, sedangkan pada data (2)

terdapat kata motong-motongkeun ‘memotong-motong’ yang merupakan hasil

reduplikasi dwimurni dengan gabungan prefiks N (nasalisasi)- + sufiks -keun.

Motong-motongkeun tidak mengalami perpindahan kelas kata yakni verba yang

bermakna aktivitas. Hal ini disebut proses infleksional karena tidak mengalami

perubahan kelas kata.

Namun, ada pula reduplikasi dwimurni yang merupakan kata

monomorfemis. Dapat dilihat dalam data berikut:

3.Saeutik-saeutik‘sedikit-sedikit’

Pada data (3) terdapat kata saeutik-saeutik ‘sedikit-sedikit’. Kata saeutik-

saeutik merupakan hasil bentukan dari reduplikasi dwimurni tetapi bukan

merupakan gabungan prefiks sa- + eutik, melainkan merupakan bentuk leksikal

saeutik dengan kelas kata numeralia dan bermakna ukuran atau takaran. Sa- pada

kata saeutik-saeutik merupakan silabe bukan prefiks.

Kata dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ dan motong-motongkeun ‘memotong-

motong’ merupakan salah satu contoh data dari Dwimurni berafiks dalam bahasa

Sunda.

Tetapi apakah R dwimurni hiji ‘satu’ dan potong ‘potong’ dapat bergabung

dengan afiksasi yang lain? Dan apakah akan mengubah kelas kata? Bagaimana

pula maknanya? Sejalan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti kata

ulang secara spesifik khususnya dwimurni yang bergabung dengan afiks, baik itu

prefiks, infiks, sufiks dan kombinasi afiks, serta menjelaskan tentang proses

pembentukkan R dwimurni + afiksasi yang mengalami proses infleksional dan

proses derivasional dengan makna yang dihasilkannya.

Masalah reduplikasi dan afiksasi sudah dibahas oleh para ahli bahasa di

antaranya Sutawijaya (1981) dalam Sistem Perulangan Bahasa Sunda,

Page 5: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

Djajasudarma & Abdulwahid (1987) dalam Gramatika Sunda dan Djajasudarma

dkk (1994) dalam Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda, tetapi masih bersifat umum.

Masalah reduplikasi juga pernah disinggung oleh Kosasih (2002), yang hanya

membahas tentang kata ulang dwipurwa, sedangkan Dwimurni berafiks dalam

bahasa Sunda secara khusus, sepengetahuan penulis belum ada yang membahas.

1. Afiks

Terdapat beberapa penjelasan tentang afiks yang dapat ditemukan. Afiks

adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan mengubah

makna gramatikalnya (Kridalaksana, 2008:3). Menurut Fromkin dan Rodman

(1998: 519), afiks adalah morfem terikat yang dilekatkan pada morfem dasar

atau akar. Selain itu, afiks juga diartikan sebagai suatu morfem yang hanya

muncul pada saat dilekatkan pada morfem yang lain (Katamba, 1994:44).

Afiks dibagi menjadi beberapa jenis. Katamba (1994:44) menyebutkan

tiga jenis afiks, yaitu: prefiks,sufiks, dan infiks.

• prefiks, yaitu suatu afiks yang dilekatkan sebelum akar kata, stem atau kata

dasar seperti re- (remake),un- (unkind) dan in- (inaccurate),

• sufiks, yaitu suatu afiks yang dilekatkan setelah akar kata stem atau kata dasar

seperti –ly (kindly),-er (waiter),-ist (pianist),-s (books),-ing (reading) dan –

ed (walked) ,dan

• infiks, yaitu suatu afiks yang ditambahkan di tengah akar kata.

Selain itu, Katamba (1994:47) juga menjelaskan bahwa afiks sebagai

morfem terikat, dibagi menjadi dua kelompok yaitu morfem infleksional dan

morfem derivasional. Kedua jenis morfem tersebut membentuk kata dengan cara

yang berbeda. Morfem derivasional membentuk katpa dengan mengubah makna

kata dasar serta mengubah kelas kata dari kata dasar. Berbeda dengan morfem

derivasional, morfem infleksional membentuk kata dengan tanpa mengubah

makna kata dasar dan tanpa mengubah kelas kata dari kata dasar.

Fromkin dan Rodman (1998:71-73) menjelaskan bahwa ada empat jenis

afiks, yaitu: prefiks, sufiks, infiks, dan sirkumfiks. pandangan yang berbeda

Page 6: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

mengenai jenis-jenis afiks disebutkan oleh Kridalaksana. Menurut Kridalaksana

(2009:28), ada beberapa jenis afiks yang secara tradisional dikelompokkan atas:

prefiks, infiks, sufiks, simulfiks, dan konfiks. Dalam bahasa Jawa,

Poedjosoedarmo, dkk. (1979:186) menyebutkan ada empat jenis afiks, yaitu

prefiks, infiks, sufiks, dan simulfiks.

1. Prefiks {N-}

Alomorf /n-/ terwujud jika afiks {N-} ditambahkan pada bentuk dasar yang

berawal dengan konsonan apikodental /t/ dan /d/, konsonan lamino alveolar /s/

dan mediopalatal /c/. jika bentuk dasar berawal dengan /t/, /s/, atau /c/, konsonan

itu luluh. Alomorf afiks {N-} yuang dilekatkan pada bentuk dasar yang berawal

dengan /c/ atau /s/ adalah /n-/ atau /ñ/.

{dongèng} + {N-}            → /ndoŋeŋ/ ‘bercerita’

{tulis} + {N-}       → /nulis/ ‘menulis’

Alomorf [n terwujud jika bentuk dasr yang dilekati /.(afiks {N-} berawal dengan

konsonan apikodental /d

{dhudhuk}[dhudhuk/(ud(U?] + {N-} → /nd (d([nh(udhu?] ‘menggali’

{dhangir} [dhaŋir/(aŋIr] + {N-} → /nd [ndhaŋIr] ‘mencangkul’

{dhèrèk}[dhere?/(εrε?] + {N-}   → /nd [ndhεrε?] ‘ikut’

Alomorf /ñ-/ terwujud jika bentuk dasar yang dilekati afiks {N-} diawali

konsonan mediopalatal /c/, /j/, dan lamino-alveolar /s/. jika bentuk dasari itu

berfonem awal /c/ atau /s/, fonem itu luluh.

{cekel} [cәkәl] + {N-}      → /ñәkәl/ [ñәkel] ‘memegang’

{jaga} [jэgэ] + {N-}         → /ñjaga/ [ñjэgэ] ‘menjaga’

{sensor} [sεnsэr] + {N-}   → /ñensor/ [ñεnsэr] ‘menyensor’

Alomorf /ŋә-/ terwujud jika {N-} melekat pada bentuk dasar satu suku kata.

{bom}[bэm] + {N-}          → /ŋәbom/ [ŋәbэm] ‘mengebom’

{cèt}[cәt] +   {N-}            → /ŋәcet/ [ŋәcεt] ‘mengecat’

Page 7: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

2. Prefiks {ma-}

Alomorf /ma-/ terwujud jika {ma-} melekat pada / atau /g/ dan terbatas pada

kata(kata dasar yang berawal /d dhayoh, dhukun, gawe, dan guru. Kecuali itu,

juga terealisasi jika melekat pada bentuk dasar ujud.

{dhayoh}[dhayэh] + {ma-ayoh/(} → /mad [madhayэh] ‘bertamu’

{gawe}[gawe] + {ma-} → /magawe/ [magawe] ‘bekerja’

Alomorf /mañ-/ terwujud jika {ma-} melekat pada kata dasar yang diawali /c/

atau /j/.

{jero} [jәro]+ {ma-} → /mañjәro/ [mañjәrэ] ‘ke dalam’/ ‘terlalu ke dalam’

{colot} [cэlэt] + {ma-} → /mañcolot/ [mañcэlэt] ‘melompat’

3. Prefiks {di-}

Afiks ini memiliki dua macam alomorf, tergantung pemakaian pada tingkat tutur.

Alomorf /di-/ terwujud jika digunakan pada tutur ngoko atau madya.

Pada tingkat ngoko:

{pangan}[paŋan] + {di-}   → /dipaŋan/ [dipaŋan] ‘dimakan’

{jupuk}[jupU?] + {di-} → /dijupu?/ [dijupU?] ‘diambil’

Alomorf /dipun-/ terwujud jika digunakan dalam tingkat tutur krama.

{dhaharahar/ ‘dimakan’(} + {di-}   → /dipund

{pundhutut/ ‘diambil’(} + {di-} → /dipunpund

4. Prefiks {ke-}

Alomorf /kә/ [kә] terwujud jika melekat pada bentuk dasar yang diawali /p/, /s/

dan /t/. Dalam ragam informal alomorf /kә-/ sering bervariasi dengan /gә-/ jika

dilekatkan pada kata dasar yang diawali /g/ atau /b/.

{buang} [buwaŋ] + {ke-}→ /kәbuaŋ/ [kәbuwaŋ] atau /gәbuaŋ/ [gәbuwaŋ]

‘terbuang’

{gawa}[gэwэ] + {ke-} → /kәgawa/[kәgэwo]  atau /gәgawa/ [gәgэwэ] ‘terbawa’

Alomorf /k-/ terwujud jika afiks {ke-} melekat pada bentuk dasar yang diawali

/l/, /r/, atau /w/ serta jika dilekatkan pada bentuk dasar yang diawali vokal.

{laduk}[ladU?] ‘lebih’ + {ke-}      → /kladu?/ [kladU?] ‘berlebih’

{rungu} [ruŋu] + {ke-}      → /kruŋu/ [kruŋu] ‘mendengar’

Page 8: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

5. Prefiks {paN-}

{bujuk}[bujU?] +  {paN-} → /pambuju?/ [pambujU?] ‘bujukan’

{puji}[puji] + {paN-}        → /pamuji/ [pamuji] ‘doa’

6. Infiks {-um-}

Alomorf /-um-/ terwujud jika {-um-} melekat pada bentuk dasar yang  berawal

konsonan. Selain /b/, /p/ dan /w/. Pada umumnya dipakai dalam ragam tutur

formal, pustaka atau dalam tingkat tutur krama.

{tandang} [tandaŋ] + {-um-} → /tumandaŋ/ [tumandaŋ] ‘bekerja’

{gantung} [gantUŋ] + {-um-} → /gumantuŋ/ [gumantUŋ] ‘bergantung’

Alomorf /-әm-/ terwujud jika afiks {-um-} dipakai dalam ragam tutur informal.

{tandang} [tandaŋ] + {-um-}→ /tәmandaŋ/ [tәmandaŋ] ‘bekerja’

{gantung} [gantUŋ] + {-um-}→ /gәmantuŋ/ [gәmantUŋ] ‘bergantung’

7. Sufiks {-i} [i]

Alomorf /-i/ terwujud jika afiks {-i} melekat pada bentuk dasar yang berakhir

dengan konsonan.

{ngajar} [ŋajar] + {-i} → /ŋajari/ [ŋajari] ‘mengajari’

{nulis} [nulIs] + {-i} → /nulisi/ [nulisi] ‘menulisi’

8. Sufiks {-aké}[ake]

Alomorf /-ake/ [ake] terwujud jika afiks {-aké} melekat pada bentuk dasar yang

diakhiri dengan konsonan dan dipakai dalam ragam tutur formal.

{nulis} [nulIs] + {-aké}     → /nulisake/ [nulisake] ‘menuliskan’

{milih} [milIh] + {-aké}     → /milihake/ [milihake] ‘memilihkan’

Alomorf /-akәn /muncul jika afiks {-ake} dipergunakan di dalam tingkat tutur

krama dan bentuk dasar yang dilekatinya berakhir dengan konsonan.

{maos} + {-ake}    → /maosakәn/ ‘membacakan’

Jika dipergunakan di dalam tingkat tutur madya, muncul sebagai /-kәn/.

{mendhet}[mәndhәtkәn/(әt] + {-ake}→ /mәnd ‘mengambilkan

Page 9: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

9. Sufiks {-é} [e]

Afiks {-é} mempunyai dua macam alomorf bergantung pada fonem bentuk dasar

yang dilekatinya. Pada tingkat tutur karma afiks itu berwujud {-ipun} yang juga

mempunyai dua macam alomorf bergantung pada fonem akhir bentuk dasar.

Alomorf /-e/ [e] muncul jika afiks {-é} dirangkaikan dengan bentuk dasar yang

berfonem akhir konsonan.

{kembang} + {-é}            → /kembaŋe/ [kembaŋe] ‘kembangnya’ ‘bunganya’

{pager} [pagәr] + {-é}→ / pagәre/ [pagәre]‘pagarnya’

Alomorf /-ipun/ muncul jika afiks {-e} dipergunakan di dalam tingkat tutur

krama dan bentuk dasar yang dilekatinya berfonem akhir konsonan.

{sekar}[sәkar] + {-é}→ /sekaripun/ [sәkaripun] ’bunganya’

{dalem}[dalәm] {-é}→ /dalәmipun/ [dalәmipun]‘rumahnya’

4.   Kesimpulan

Bahwa banyak sekali bentuk-bentuk afiksasi dalam bahas jawa dan bahasa

sunda.Afiksasi ini terdiri dari prefiks,sufiks,infiks.

Page 10: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

DAFTAR PUSTAKA

Gallaudet University (2003). APA Style Ganeral Guidelines.Washington DC:    

Gallaudet University.

Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (1995). Pedoman Penulisan Skripsi.    

Jakarta: LIPI.

http://putri07wulandari.blogspot.com/2012/04/jurnal-bahasa-dan-sastra-

indonesia.html

Page 11: Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda

AFIKSASI BAHASA JAWA DAN BAHAS SUNDA

DALAM BAHASA INDONESIA

KAJIAN MORFOLOGI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Panduan

Penulisan Karangan Ilmiah

Disusun Oleh:

NURAENI

2108090210

4B

PRODI PENDIDIKAN Bahasa Dan Sastra Indonesia

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS GALUH

CIAMIS

2013