Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda
-
Upload
budimulyadi -
Category
Documents
-
view
430 -
download
12
Transcript of Afiksasi Bahasa Jawa Dan Bahas Sunda
AFIKSASI BAHASA JAWA DAN BAHAS SUNDA
DALAM BAHASA INDONESIA
KAJIAN MORFOLOGI
ABSTRAK
Salah satu proses pembentukan kata dalam bahasa Jawa dan bahasa
sunda dilakukan dengan pemberian afik pada bentuk dasarnya. Proses pemberian
imbuhan afik tersebut disebut afiksasi.Baik afik-afik yang produktif maupun yang
tidak produktif pemakaiannya akan terlihat dalam afiksasi tersebut (Suwadji,
1986: 7).Permasalahan dalam penelitian ini meliputi tiga hal, yaitu: 1)
bagaimanakah bentuk afiksasi bahasa jawa dan bahasa sunda?, Tujuan
penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan bentuk afiksasi BJ dan BS,. Penelitian
ini bersifat deskripsi kualitatif yaitu mendeskripsikan data-data kebahasaan
terutama mengenai afiksasi bahasa Jawa dan bahasa Sunda (suatu analisis
kontrastif) yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuk, fungsi, dan maknanya.
Data penelitian ini berupa data tulis dan data lisan sebagai data primer yang
akan diteliti berasal dari peristiwa tutur bahasa Jawa Kota Surakarta dan bahasa
Sunda Cianjur.Analisis data menggunakan metode padan untuk menganalisis
adanya persamaan dan perbedaan kata dalam bahasa Jawa dengan bahasa
Sunda.
Kata Kunci : afiksasi,bahasa jawa,bahasa sunda.
1. Pendahuluan
Salah satu kajian dalam studi kebahasaan adalah morfologi. Morfologi
adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk beluk
bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan
dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan morfologi mempelajari seluk
beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi
gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 1987:17). Menurut Haspelmath
(2002:1), morfologi adalah suatu studi tentang struktur internal kata.
Menurut Kridalaksana (2009:10), morfologi dapat dipandang sebagai
subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. Dalam proses
perubahan leksem menjadi kata, ada beberapa proses yang dapat terjadi, proses
yang disebut sebagai proses morfologis, yaitu afiksasi, reduplikasi, komposisi
(perpaduan), abreviasi (pemendekan), derivasi balik, dan derivasi zero.
Afiksasi sebagai salah satu proses morfologis merupakan proses yang
umum terjadi dalam bahasa-bahasa yang ada di dunia salah satunya bahasa Jawa.
Seperti pada beberapa bahasa lain, kata-kata dalam bahasa Jawa dapat berbentuk
morfem bebas dan dapat dibentuk melalui afiksasi (Poedjosoedarmo, dkk,.
1979:6). Kridalaksana (2009:28) menjelaskan bahwa afiksasi adalah proses
mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah
bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah
berstatus kata berganti kategori), (3) sedikit banyak berubah maknanya.
Poedjosoedarmo, dkk (1979:6) menjelaskan bahwa afiksasi dalam bahasa jawa
terjadi untuk menghasilkan antara lain konjugasi kata kerja (aktif transitif, aktif
intransitif, pasif, pasif tak terkendalikan, menunjuk pada objek lokatif, objek
kausatif, objek benefaktif, dan seterusnya), dan beberapa macam kata jadian
lainya.
Berdasarkan uraian di atas, hal yang dibahas dalam makalah ini adalah
afiksasi bahasa Jawa dalam Parikan Tulungagungan, pantun bahasa Jawa yang
disampaikan dengan dialek daerah Tulungagung di Jawa Timur. Dalam
menganalisis afiksasi tersebut peneliti menggunakan metode kualitatif. Dalam hal
ini, peneliti mendeskripsikan jenis-jenis afiks dalam bahasa Jawa.
2. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
yaitu metode yang bertujuan mendeskripsikan, maksudnya membuat gambaran,
lukisan, secara sistematis, faktual, akurat mengenai data (Djajasudarma; 1993 :
15)
Teknik penelitian yang digunakan adalah pencatatan, dengan melalui langkah-
langkah sebagai berikut : (1) Studi kepustakaan adalah mengumpulkan dan
membaca membaca literature-literature yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti; (2) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data-data dari sumber yang
telah ditentukan; (3) Penyeleksian data, yaitu menyeleksi data yang telah
terkumpul berdasarkan sifat atau ciri setiap kata; (4) Pengklasifikasian data, yakni
mengelompokkan data-data yang telah diseleksi menurut kategorinya, jenis,
sifatnya dan memilih makna secara leksikal karena objek penelitian berupa kata;
(5) Penganalisisan data, yaitu menganalisis afiksasi kata ulang dwimurni dalam
bahasa Sunda; (6) Penyimpulan hasil penelitian, yaitu menyimpulkan seluruh
hasil yang diperoleh pada proses penganalisisan.
3. Pembahasan
Bagaimana peran sufik –na dalam penggunaannya terhadap eksistensi kata
maupun kalimat, serta makna imbuhan tersebut bagi kata yang mendapat sufik –
na tersebut. Lanjutan penelitian ini hanya menambahkan apa yang sudah ada dan
pernah diteliti sebelumnya mengenai afiksasi bahasa Jawa, sehingga hasilnya
nanti dapat melengkapi data yang sudah ada dan memberikan sesuatu yang baru
bagi linguistik bahasa Jawa khususnya.
Proses afiksasi dalam bahasa Jawa jumlahnya sangat banyak. Namun,
dalam hal ini hanya akan dibahas secara spesifk mengenai sufik –na dalam
penerapannya pada kalimat-kalimat bahasa Jawa.
Pada Masyarakat Sunda sebagai pembentuk bahasa Sunda cenderung
membentuk kata jadiannya, diantaranya pengulangan. Dalam bahasa Sunda, hasil
proses morfemis kata ulang disebut kecap rajekan. Sedangkan dalam istilah
linguistik kata ulang disebut reduplikasi.
Selain reduplikasi, afiksasi juga mempunyai peranan yang sangat penting
dalam pembentukkan kata bahasa Sunda. Dalam suatu bahasa pembubuhan suatu
kata dilakukan dengan cara membubuhkan afiks pada bentuk dasarnya. Baik itu
diawal, tengah maupun akhir kata. Pembubuhan afiks tersebut dapat menimbulkan
makna yang berbeda, bahkan mengubah kelas kata. Seperti pada data berikut ini :
1.Dihiji-hijikeun‘disatukan-satukan’
2.Motong-motongkeun‘memotong-motong’
Pada data (1) terdapat kata dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ yang
merupakan hasil reduplikasi dwimurni hiji ‘satu’ dengan gabungan prefiks di- +
sufiks –keun. Dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ mengalami perpindahan kelas kata
yakni dari numeralia menjadi verba dan memiliki makna yang menyatakan adanya
aktivitas yang dilakukan berkali-kali atau sering. Hal ini disebut proses
derivasional karena terjadi perpindahan kelas kata, sedangkan pada data (2)
terdapat kata motong-motongkeun ‘memotong-motong’ yang merupakan hasil
reduplikasi dwimurni dengan gabungan prefiks N (nasalisasi)- + sufiks -keun.
Motong-motongkeun tidak mengalami perpindahan kelas kata yakni verba yang
bermakna aktivitas. Hal ini disebut proses infleksional karena tidak mengalami
perubahan kelas kata.
Namun, ada pula reduplikasi dwimurni yang merupakan kata
monomorfemis. Dapat dilihat dalam data berikut:
3.Saeutik-saeutik‘sedikit-sedikit’
Pada data (3) terdapat kata saeutik-saeutik ‘sedikit-sedikit’. Kata saeutik-
saeutik merupakan hasil bentukan dari reduplikasi dwimurni tetapi bukan
merupakan gabungan prefiks sa- + eutik, melainkan merupakan bentuk leksikal
saeutik dengan kelas kata numeralia dan bermakna ukuran atau takaran. Sa- pada
kata saeutik-saeutik merupakan silabe bukan prefiks.
Kata dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ dan motong-motongkeun ‘memotong-
motong’ merupakan salah satu contoh data dari Dwimurni berafiks dalam bahasa
Sunda.
Tetapi apakah R dwimurni hiji ‘satu’ dan potong ‘potong’ dapat bergabung
dengan afiksasi yang lain? Dan apakah akan mengubah kelas kata? Bagaimana
pula maknanya? Sejalan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti kata
ulang secara spesifik khususnya dwimurni yang bergabung dengan afiks, baik itu
prefiks, infiks, sufiks dan kombinasi afiks, serta menjelaskan tentang proses
pembentukkan R dwimurni + afiksasi yang mengalami proses infleksional dan
proses derivasional dengan makna yang dihasilkannya.
Masalah reduplikasi dan afiksasi sudah dibahas oleh para ahli bahasa di
antaranya Sutawijaya (1981) dalam Sistem Perulangan Bahasa Sunda,
Djajasudarma & Abdulwahid (1987) dalam Gramatika Sunda dan Djajasudarma
dkk (1994) dalam Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda, tetapi masih bersifat umum.
Masalah reduplikasi juga pernah disinggung oleh Kosasih (2002), yang hanya
membahas tentang kata ulang dwipurwa, sedangkan Dwimurni berafiks dalam
bahasa Sunda secara khusus, sepengetahuan penulis belum ada yang membahas.
1. Afiks
Terdapat beberapa penjelasan tentang afiks yang dapat ditemukan. Afiks
adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan mengubah
makna gramatikalnya (Kridalaksana, 2008:3). Menurut Fromkin dan Rodman
(1998: 519), afiks adalah morfem terikat yang dilekatkan pada morfem dasar
atau akar. Selain itu, afiks juga diartikan sebagai suatu morfem yang hanya
muncul pada saat dilekatkan pada morfem yang lain (Katamba, 1994:44).
Afiks dibagi menjadi beberapa jenis. Katamba (1994:44) menyebutkan
tiga jenis afiks, yaitu: prefiks,sufiks, dan infiks.
• prefiks, yaitu suatu afiks yang dilekatkan sebelum akar kata, stem atau kata
dasar seperti re- (remake),un- (unkind) dan in- (inaccurate),
• sufiks, yaitu suatu afiks yang dilekatkan setelah akar kata stem atau kata dasar
seperti –ly (kindly),-er (waiter),-ist (pianist),-s (books),-ing (reading) dan –
ed (walked) ,dan
• infiks, yaitu suatu afiks yang ditambahkan di tengah akar kata.
Selain itu, Katamba (1994:47) juga menjelaskan bahwa afiks sebagai
morfem terikat, dibagi menjadi dua kelompok yaitu morfem infleksional dan
morfem derivasional. Kedua jenis morfem tersebut membentuk kata dengan cara
yang berbeda. Morfem derivasional membentuk katpa dengan mengubah makna
kata dasar serta mengubah kelas kata dari kata dasar. Berbeda dengan morfem
derivasional, morfem infleksional membentuk kata dengan tanpa mengubah
makna kata dasar dan tanpa mengubah kelas kata dari kata dasar.
Fromkin dan Rodman (1998:71-73) menjelaskan bahwa ada empat jenis
afiks, yaitu: prefiks, sufiks, infiks, dan sirkumfiks. pandangan yang berbeda
mengenai jenis-jenis afiks disebutkan oleh Kridalaksana. Menurut Kridalaksana
(2009:28), ada beberapa jenis afiks yang secara tradisional dikelompokkan atas:
prefiks, infiks, sufiks, simulfiks, dan konfiks. Dalam bahasa Jawa,
Poedjosoedarmo, dkk. (1979:186) menyebutkan ada empat jenis afiks, yaitu
prefiks, infiks, sufiks, dan simulfiks.
1. Prefiks {N-}
Alomorf /n-/ terwujud jika afiks {N-} ditambahkan pada bentuk dasar yang
berawal dengan konsonan apikodental /t/ dan /d/, konsonan lamino alveolar /s/
dan mediopalatal /c/. jika bentuk dasar berawal dengan /t/, /s/, atau /c/, konsonan
itu luluh. Alomorf afiks {N-} yuang dilekatkan pada bentuk dasar yang berawal
dengan /c/ atau /s/ adalah /n-/ atau /ñ/.
{dongèng} + {N-} → /ndoŋeŋ/ ‘bercerita’
{tulis} + {N-} → /nulis/ ‘menulis’
Alomorf [n terwujud jika bentuk dasr yang dilekati /.(afiks {N-} berawal dengan
konsonan apikodental /d
{dhudhuk}[dhudhuk/(ud(U?] + {N-} → /nd (d([nh(udhu?] ‘menggali’
{dhangir} [dhaŋir/(aŋIr] + {N-} → /nd [ndhaŋIr] ‘mencangkul’
{dhèrèk}[dhere?/(εrε?] + {N-} → /nd [ndhεrε?] ‘ikut’
Alomorf /ñ-/ terwujud jika bentuk dasar yang dilekati afiks {N-} diawali
konsonan mediopalatal /c/, /j/, dan lamino-alveolar /s/. jika bentuk dasari itu
berfonem awal /c/ atau /s/, fonem itu luluh.
{cekel} [cәkәl] + {N-} → /ñәkәl/ [ñәkel] ‘memegang’
{jaga} [jэgэ] + {N-} → /ñjaga/ [ñjэgэ] ‘menjaga’
{sensor} [sεnsэr] + {N-} → /ñensor/ [ñεnsэr] ‘menyensor’
Alomorf /ŋә-/ terwujud jika {N-} melekat pada bentuk dasar satu suku kata.
{bom}[bэm] + {N-} → /ŋәbom/ [ŋәbэm] ‘mengebom’
{cèt}[cәt] + {N-} → /ŋәcet/ [ŋәcεt] ‘mengecat’
2. Prefiks {ma-}
Alomorf /ma-/ terwujud jika {ma-} melekat pada / atau /g/ dan terbatas pada
kata(kata dasar yang berawal /d dhayoh, dhukun, gawe, dan guru. Kecuali itu,
juga terealisasi jika melekat pada bentuk dasar ujud.
{dhayoh}[dhayэh] + {ma-ayoh/(} → /mad [madhayэh] ‘bertamu’
{gawe}[gawe] + {ma-} → /magawe/ [magawe] ‘bekerja’
Alomorf /mañ-/ terwujud jika {ma-} melekat pada kata dasar yang diawali /c/
atau /j/.
{jero} [jәro]+ {ma-} → /mañjәro/ [mañjәrэ] ‘ke dalam’/ ‘terlalu ke dalam’
{colot} [cэlэt] + {ma-} → /mañcolot/ [mañcэlэt] ‘melompat’
3. Prefiks {di-}
Afiks ini memiliki dua macam alomorf, tergantung pemakaian pada tingkat tutur.
Alomorf /di-/ terwujud jika digunakan pada tutur ngoko atau madya.
Pada tingkat ngoko:
{pangan}[paŋan] + {di-} → /dipaŋan/ [dipaŋan] ‘dimakan’
{jupuk}[jupU?] + {di-} → /dijupu?/ [dijupU?] ‘diambil’
Alomorf /dipun-/ terwujud jika digunakan dalam tingkat tutur krama.
{dhaharahar/ ‘dimakan’(} + {di-} → /dipund
{pundhutut/ ‘diambil’(} + {di-} → /dipunpund
4. Prefiks {ke-}
Alomorf /kә/ [kә] terwujud jika melekat pada bentuk dasar yang diawali /p/, /s/
dan /t/. Dalam ragam informal alomorf /kә-/ sering bervariasi dengan /gә-/ jika
dilekatkan pada kata dasar yang diawali /g/ atau /b/.
{buang} [buwaŋ] + {ke-}→ /kәbuaŋ/ [kәbuwaŋ] atau /gәbuaŋ/ [gәbuwaŋ]
‘terbuang’
{gawa}[gэwэ] + {ke-} → /kәgawa/[kәgэwo] atau /gәgawa/ [gәgэwэ] ‘terbawa’
Alomorf /k-/ terwujud jika afiks {ke-} melekat pada bentuk dasar yang diawali
/l/, /r/, atau /w/ serta jika dilekatkan pada bentuk dasar yang diawali vokal.
{laduk}[ladU?] ‘lebih’ + {ke-} → /kladu?/ [kladU?] ‘berlebih’
{rungu} [ruŋu] + {ke-} → /kruŋu/ [kruŋu] ‘mendengar’
5. Prefiks {paN-}
{bujuk}[bujU?] + {paN-} → /pambuju?/ [pambujU?] ‘bujukan’
{puji}[puji] + {paN-} → /pamuji/ [pamuji] ‘doa’
6. Infiks {-um-}
Alomorf /-um-/ terwujud jika {-um-} melekat pada bentuk dasar yang berawal
konsonan. Selain /b/, /p/ dan /w/. Pada umumnya dipakai dalam ragam tutur
formal, pustaka atau dalam tingkat tutur krama.
{tandang} [tandaŋ] + {-um-} → /tumandaŋ/ [tumandaŋ] ‘bekerja’
{gantung} [gantUŋ] + {-um-} → /gumantuŋ/ [gumantUŋ] ‘bergantung’
Alomorf /-әm-/ terwujud jika afiks {-um-} dipakai dalam ragam tutur informal.
{tandang} [tandaŋ] + {-um-}→ /tәmandaŋ/ [tәmandaŋ] ‘bekerja’
{gantung} [gantUŋ] + {-um-}→ /gәmantuŋ/ [gәmantUŋ] ‘bergantung’
7. Sufiks {-i} [i]
Alomorf /-i/ terwujud jika afiks {-i} melekat pada bentuk dasar yang berakhir
dengan konsonan.
{ngajar} [ŋajar] + {-i} → /ŋajari/ [ŋajari] ‘mengajari’
{nulis} [nulIs] + {-i} → /nulisi/ [nulisi] ‘menulisi’
8. Sufiks {-aké}[ake]
Alomorf /-ake/ [ake] terwujud jika afiks {-aké} melekat pada bentuk dasar yang
diakhiri dengan konsonan dan dipakai dalam ragam tutur formal.
{nulis} [nulIs] + {-aké} → /nulisake/ [nulisake] ‘menuliskan’
{milih} [milIh] + {-aké} → /milihake/ [milihake] ‘memilihkan’
Alomorf /-akәn /muncul jika afiks {-ake} dipergunakan di dalam tingkat tutur
krama dan bentuk dasar yang dilekatinya berakhir dengan konsonan.
{maos} + {-ake} → /maosakәn/ ‘membacakan’
Jika dipergunakan di dalam tingkat tutur madya, muncul sebagai /-kәn/.
{mendhet}[mәndhәtkәn/(әt] + {-ake}→ /mәnd ‘mengambilkan
9. Sufiks {-é} [e]
Afiks {-é} mempunyai dua macam alomorf bergantung pada fonem bentuk dasar
yang dilekatinya. Pada tingkat tutur karma afiks itu berwujud {-ipun} yang juga
mempunyai dua macam alomorf bergantung pada fonem akhir bentuk dasar.
Alomorf /-e/ [e] muncul jika afiks {-é} dirangkaikan dengan bentuk dasar yang
berfonem akhir konsonan.
{kembang} + {-é} → /kembaŋe/ [kembaŋe] ‘kembangnya’ ‘bunganya’
{pager} [pagәr] + {-é}→ / pagәre/ [pagәre]‘pagarnya’
Alomorf /-ipun/ muncul jika afiks {-e} dipergunakan di dalam tingkat tutur
krama dan bentuk dasar yang dilekatinya berfonem akhir konsonan.
{sekar}[sәkar] + {-é}→ /sekaripun/ [sәkaripun] ’bunganya’
{dalem}[dalәm] {-é}→ /dalәmipun/ [dalәmipun]‘rumahnya’
4. Kesimpulan
Bahwa banyak sekali bentuk-bentuk afiksasi dalam bahas jawa dan bahasa
sunda.Afiksasi ini terdiri dari prefiks,sufiks,infiks.
DAFTAR PUSTAKA
Gallaudet University (2003). APA Style Ganeral Guidelines.Washington DC:
Gallaudet University.
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (1995). Pedoman Penulisan Skripsi.
Jakarta: LIPI.
http://putri07wulandari.blogspot.com/2012/04/jurnal-bahasa-dan-sastra-
indonesia.html
AFIKSASI BAHASA JAWA DAN BAHAS SUNDA
DALAM BAHASA INDONESIA
KAJIAN MORFOLOGI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Panduan
Penulisan Karangan Ilmiah
Disusun Oleh:
NURAENI
2108090210
4B
PRODI PENDIDIKAN Bahasa Dan Sastra Indonesia
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2013