afasia
-
Upload
yudi-arpandi -
Category
Documents
-
view
9 -
download
3
description
Transcript of afasia
![Page 1: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/1.jpg)
A. DEFINISI
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia),
gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat
gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia.
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya
terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di
dalam afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca
(alexia) atau gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya
apraksia (gangguan belajar atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia),
gangguan menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti
demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau
muncul sendiri.
afasia biasanya melukiskan suatu kerusakan atau pelemahan bahasa akibat
terjadinya cedera otak pada area dominan bahasa cerebral hemisphere. Afasia
dapat
terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dapat pula dihubungkan
dengan
penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak (Nadeau, Rothi, & Crosson,
2000)
afasia (aphasia) adalah sebuah sindrom pada sistem saraf (neurologis) yang
merusak kemampuan bahasa. Memori otak mereka mengalami kecacatan. Orang
yang menderita penyakit ini akan mengalami kesulitan dalam mengekspresikan
pikiran dan sulit memahami serta menemukan kata-kata saat berkomunikasi.
B. ETIOLOGI
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal
yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan jalur
![Page 2: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/2.jpg)
yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di
hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan
tempat kemampuan berbahasa diatur.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul
perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek
samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.
C. PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa dan otak. Pada
manusia fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99 % orang yang dominan tangan kanan dan 60% orang yang dominan
tangan kiri. Pada pasien yang mengalami afasia sebagian besar lesi terletak pada
hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cidera kepala, tumor otak, atau
penyakit degenerative. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan bahasa yaitu area broca dan Wernicke.
Area broca bertanggung jawab atas pelaksanaan motoric bicara. Lesi pada aea ini
akan mengakibatkan kesulitan dalam artikulasi tetapi penderita bias memahami
bahasa dam tulisan.
Area werncke merupakan area sensorik pertama untuk implus pendengaran. Lesi
pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta
mengetahui suati bahasa.
Secara umum afasia muncil akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa diatas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikel.
Afasia juga dapat muncil akibat lesi pada afasikulus arluatus, yaitu penghubung
antara area broca dan Wernicke.
![Page 3: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/3.jpg)
D. Penegakan diagnosa
Diagnose afasia ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala kliens yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan dilakuk
an untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya.
E. KLASIFIKASI
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan
kepada:
1. Manifestasi klinik
2. Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
3. Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik
Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas:
1. Afasia tidak lancar atau non-fluent
2. Afasia lancar atau fluent
Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan:
1. Sindrom afasia peri-silvian
a. Afasia Broca (motorik, ekspresif)
b. Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
c. Afasia konduksi
2. Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)
a. Afasia transkortikal motoric
b. Afasia transkortikal sensorik
c. Afasia transkortikal campuran
3. Sindrom afasia subkortikal
a. Afasia talamik
b. Afasia striatal
4. Sindrom afasia non-lokalisasi
a. Afasian anomik
b. Afasia global
![Page 4: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/4.jpg)
F. DIAGNOSIS
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya
dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya.
G. Manifestasi Klinik
1. Afasia tidak lancer
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita menggunakan
kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai artikulasi
dan irama bicara yang buruk.
Gambaran klinisnya ialah:
a. Pasien tampak sulit memulai bicara
b. Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
c. Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
d. Artikulasi umumnya terganggu
e. Irama bicara terganggu
f. Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih
kompleks
g. Pengulanan (repetisi) buruk
h. Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk
2. Afasia lancar.
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi
bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak
dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran
klinisnya ialah:
a. Keluaran bicara yang lancar
b. Panjang kalimat normal
Artikulasi dan irama bicara baik
c. Terdapat parafasia
![Page 5: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/5.jpg)
d. Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
e. Repetisis terganggu
f. Menulis lancar tadi tidak ada arti
3. Afasia Broca (motorik, ekspresif).
Disebabkan lesi di area Broca. Pemahaman auditif dan membaca tidak
terganggu, tetapi sulit mengungkapkan isi pikiran. Gambaran klinis afasia
Broca ialah bergaya afasia non-fluent.
4. Afasia Wernicke (sensorik, reseptif).
Disebabkan lesi di area Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa
terganggu. Penderita tidak mampu memahami bahasa lisan dan tulisan
sehingga ia juga tidak mampu menjawab dan tidak mengerti apa yang dia
sendiri katakan. Gambaran klinis afasia Wernicke ialah bergaya afasia fluent.
5. Afasia Konduksi.
Disebabkan lesi di area fasciculus arcuatus yaitu penghubung antara area
sensorik (wernicke) dan area motorik (broca). Lesi ini menyebabkan
kemampuan berbahasa dan pemahaman yang baik tetapi didapati adanya
gangguan repetisi atau pengulangan.
6. Afasia transkortikal. Disebabkan lesi di sekitar pinggiran area pengaturan
bahasa. Pada dasarnya afasia transkortikal ditandai oleh terganggunya fungsi
berbahasa tetapi didapati repetisi bahasa yang baik dan terpelihara.
7. Afasia transkortikal motorik, ditandai dengan tanda afasia Broca dengan
bicara non-fluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan
terpelihara.
8. Afasia transkortikal sensorik, ditandai dengan tanda afasia Wernick dengan
bicara fluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan
terpelihara.
9. Afasia transkortikal campuran, ditandai dengan campuran tanda afasia Broca
dan Wernicke. penderita bicara non-fluent atau tidak lancar, tetapi juga
![Page 6: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/6.jpg)
disertai kemampuan memahami bahasa yang buruk, sementara kemampuan
mengulang atau repetisi tetap baik.
10. Afasia talamik, disebabkan lesi pada talamus, dan afasia striatal disebabkan
lesi pada capsular-striatal, yang keduanya juga berperan dalam pengaturan
bahasa. Pada kedua afasia ini terdapat tanda afasia anomik
11. Afasia anomik, merupakan suatu afasia dimana penderita kesulitan
menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan
kepadanya. Bicara, gramatika dan irama lancar, tetapi sering tertegun ketika
mencari kata dan mengenal nama objek.
12. Afasia global, adalah bentuk afasia yang paling berat. Ini disebabkan lesi yang
luas yang merusak sebagian besar atau semua area bahasa pada otak. Keadaan
ini ditandai oleh tidak ada lagi atau berkurang sekali bahasa spontan dan
menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara berulang-ulang, misalnya
“baaah, baaah, baaah” atau “maaa, maaa, maaa”. Pemahaman bahasa hilang
atau berkurang. Repetisi, membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia
global hampir selalu disertai dengan hemiparese atau hemiplegia.
H. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan
otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan
karena afasia merupakan tanda klinis.
Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan
mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif
untuk mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih
dari 48 jam. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke
sesegera mungkin sampai 1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu
untuk mendeteksi tumor.
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya
stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.Tidak ada penanganan atau
![Page 7: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/7.jpg)
terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan terbukti mengobati. Saat ini,
penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia adalah dengan melakukan
terapi wicara/bina wicara.
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika
intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika
pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan dengan
melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang lebih banyak
pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai bentuk
stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik, dan stimulus
visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya
digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi
terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.
![Page 8: afasia](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022073120/563db940550346aa9a9b830d/html5/thumbnails/8.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia Sebagai Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1135944-print 3. Wikipedia The Free Encyclopedia: Aphasia. 2010
Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Aphasia 4. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010
Available at: http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm 5. National Institute On Deafness and Other Communication Disorders. Aphasia, Voice, Speech and Language Health Info. 2010.
Available at: http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/aphasia.html 6. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab XI: Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008
7. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.
8. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis, Evaluasi Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995.
9. Suwono WJ. Afasia Sensorik atau Wernicke. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995.
10. Media Indonesia. Terapi Afasia Perbaiki Gangguan Bahasa. 2010
Available at: http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/04/28/1109/13/Terapi-Afasia-Perbaiki-Gangguan-Bahasa 11. About.com: Aphasia Treatment. 2010
Available at: http://stroke.about.com/od/caregiverresources/a/Aphasiarx.htm