Adzan Dan Iqomah

21
ADZAN DAN IQOMAH Pengertian keduanya : Adzan menurut bahasa artinya adalah pema'luman atau pemberitahuan, Allah SWT berfirman : ٌ انَ ذَ اَ وَ نِ ّ مِ َ ّ اِ هِ ولُ سَ رَ و(...... 3 ) "Dan [inilah] suatu pema'luman dari Allah dan Rasul- Nya". [Qs. At-Taubah (9) : 3] 1 . Adzan menurut istilah syar'i, yaitu perkataan khusus untuk memberitahu waktu shalat yang wajib, atau pemberitahuan tentang waktu shalat dengan lafadh-lafadh khusus [tertentu]. Adzan difardlukan [syariatkan] di Al- Madinah Al-Munawwaroh, pada tahun pertama Hijriyyah, banyak hadits-hadits yang sampai kepada kita yang menunjukan, bahwa adzan disyariatkan di Makkah Al- Mukarromah, namun pendapat yang benar adalah yang pertama, yaitu bahwa adzan disyariatkan di Al-Madinah Al- Munawwaroh 2 . Adapun iqomah, yaitu pemberitahuan 1 . Al-Qur'an dan terjemahannya, hadiah dari 2 . Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir Al-Yamani Ash-Shan'ani, Subulus-Salaam Syarah Bulughul Maroom min Jami Adillatil Ahkaam, juz I, halaman 218-219, cetakan I, tahun 1408/H-1988/M, yang memberikan dan mentakhriej hadits-haditsnya Muhammad Abdul Qodir Ahmad 'Atha, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut-Libanon. 1

Transcript of Adzan Dan Iqomah

Page 1: Adzan Dan Iqomah

ADZAN DAN IQOMAH

Pengertian keduanya :

Adzan menurut bahasa artinya adalah pema'luman atau pemberitahuan, Allah

SWT berfirman :

(3......)َو�َر�ُس�ولِه الَّل�ِه ِّمَن� َو�َأ�َذ�اٌن�

"Dan [inilah] suatu pema'luman dari Allah dan Rasul-Nya". [Qs. At-

Taubah (9) : 3]1.

Adzan menurut istilah syar'i, yaitu perkataan khusus untuk memberitahu waktu

shalat yang wajib, atau pemberitahuan tentang waktu shalat dengan lafadh-lafadh

khusus [tertentu]. Adzan difardlukan [syariatkan] di Al-Madinah Al-Munawwaroh,

pada tahun pertama Hijriyyah, banyak hadits-hadits yang sampai kepada kita yang

menunjukan, bahwa adzan disyariatkan di Makkah Al-Mukarromah, namun

pendapat yang benar adalah yang pertama, yaitu bahwa adzan disyariatkan di Al-

Madinah Al-Munawwaroh2. Adapun iqomah, yaitu pemberitahuan pelaksanaan

shalat3, dan arti daripada "Qad maatish-shalaah", yaitu : Telah datang

pelaksanaannya4

Disyariatkan adzan dan iqomah :

Sebagian fuqaha berpendapat, bahwa adzan dan iqomah adalah sunnah

muakkadah, dan ini adalah pendapat mdzhab Al-Malikiyyah dan pendapat yang kuat

pada madzhab Asy-Syafi'iyyah dan sebagian Hanabilah. Sedangkan fuqaha yang

lainnya, seperti Hanafiyyah, Az-Zaidiyyah dan Adh-Dhahiriyyah, berpendapat

bahwa adzan dan iqomah adalah wajib, hujjah mereka adalah dua hadits Malik bin 1. Al-Qur'an dan terjemahannya, hadiah dari 2. Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir Al-Yamani Ash-Shan'ani, Subulus-Salaam Syarah Bulughul Maroom min Jami Adillatil Ahkaam, juz I, halaman 218-219, cetakan I, tahun 1408/H-1988/M, yang memberikan dan mentakhriej hadits-haditsnya Muhammad Abdul Qodir Ahmad 'Atha, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut-Libanon. 3 . . 'Alauddin abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Badaiush-Shana'i fi tartibisy-Syara'i, juz I, halaman 153, tanpa tahun penerbit dan tahun, Kitabuth-Thaharah, darul Kutub Al-ilmiyyah, Beirut-Libanon.4 . DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Apakah dianjurkan bagi wanita adzan dan iqomah", halaman 201-202, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon. Dan lihat : An-Nihayah, milik ibnu Atsier, juz I, dan halaman, 146.

1

Page 2: Adzan Dan Iqomah

huwairits yang disebutkan oleh ibnu Hazm dan diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari,

hadits pertama yang berbunyi : "Apabila datang shalat, maka hendaknya salah

seorang di antara kalian ada yang adzan untuk kalian dan mengimami kalian

yang paling besar di antara kalian". Hadits kedua : Rasul SAW bersabda :

'Apabila kalian berdua keluar maka adzanlah kemudian qomat dan mengimami

yang lebih besar di antara kalian". Dan juga bahwa Nabi SAW memerintahkan

untuk adzan dan iqomah dan beliau juga selalu melakukan keduanya, ini sebagai dalil

yang menunjukan bahwa adzan dan iqomah adalah wajib5.

Shalat yang mempunyai adzan dan iqomah6 :

Shalat yang memiliki adzan dan iqomah adalah shalat yang fardlu [wajib] wajib

yang lima waktu yang dikerjakan secara jama'ah pada kondisi muqim berada di

tempat tinggal dan bukan sedang dalam bepergian [safar]. Tidak ada adzan dan

iqomah pada shalat yang bukan shalat fardlu [wajib], yaitu shalat yang tidak memiliki

waktu-waktu tertentu. Tidak diwajibkan adzan atas orang-orang yang sedang

bepergian [musafirin], bagi orang-orang yang berpendapat, bahwa adzan adalah

wajib, namun dianjurkan dari mereka adzan dan iqomah jika mereka mengerjakan

shalat secara berjama'ah, jika meninggalkan adzan juga dibolehkan dan tidak dibenci

5 . Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz III, halaman 122-123, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun dan penerbit, Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat : Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 417, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. Dan lihat :dan lihat juga : 'Alauddin abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Badaiush-Shana'i fi tartibisy-Syara'i, juz I, halaman 126-127, tanpa tahun penerbit dan tahun, Kitabuth-Thaharah, darul Kutub Al-ilmiyyah, Beirut-Libanon.6 . Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz III, halaman 122-123, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun dan penerbit, Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat : Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 418, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. Dan lihat :dan lihat juga : 'Alauddin abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Badaiush-Shana'i fi tartibisy-Syara'i, juz III, halaman 132, tanpa tahun penerbit dan tahun, Kitabuth-Thaharah, darul Kutub Al-ilmiyyah, Beirut-Libanon. Dan lihat : : 'Alauddin abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Badaiush-Shana'i fi tartibisy-Syara'i, juz I, halaman 128, tanpa tahun penerbit dan tahun, Kitabuth-Thaharah, darul Kutub Al-ilmiyyah, Beirut-Libanon. Dan lihat : Asy-Syeikh Muhyiddin bin Syarof An-Nawawi, Kitabul Majmu' Syarah Muhadzdzab lisy-Syirozi, juz III, haaman 82, yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Najib al-Muthai'i kepala bagian As-Sunnah dan Ulum Al-Hadits universitas Ummu Darman Al-Islamiyyah, maktabah Al-Irsyad, Jeddah-Kerajaan Saudi Arabia. Dan lihat : DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Shalat yang mempunyai adzan dan iqomah", halaman 200, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon.

2

Page 3: Adzan Dan Iqomah

[makruh], tapi dimakruhkan bagi mereka jika meninggalkan iqomah [qomat].

Menurut fuqaha Adh-Dhahiriyyah, wajib adzan dan iqomah bagi setiap shalat fardlu

lima waktu, baik dilakukan pada waktunya atau sudah lewat bukan pada waktunya

[qodla], baik dalam keadaan sedang bepergian maupun yang muqim, yaitu yang

berada di tempat tinggal.

Adzan dan iqomah bagi orang yang shalat sendirian :

Tidak diharuskan orang yang mengerjakan shalat fardlu [wajib] sedirian, namun

jika adzan dan iqamah itu adalah hal yang baik, karena adzan iqomah adalah berdzikir

kepada Allah SWT, atas dasar ini maka yang afdlal walaupun orang shalat sendirian

maka sebaiknya tetap adzan dan iqomah, kecuali dia shalat qadla [shalat yang bukan

pada waktunya] atau shalat bukan pada waktu adzan, maka boleh adzan dengan tidak

mengangkat suara, dan jika shalat pada waktunya di pedalaman atau gurun atau yang

lainnya, maka dianjurkan baginya adzan dengan mengeraskan suaranya7.

Dan barangsiapa yang terlewatkan beberapa shalatnya, maka dianjurkan baginya

ketika mengqadlonya untuk adzan untuk shalat yang pertama, kemudian cukup

dengan iqomah untuk setiap shalat berikutnya, dan jika tidak adzan juga tidak apa-

apa8

Jika menjama' antara dua shalat dan dikerjakan pada waktu shalat yang pertama,

maka di anjurkan untuk adzan dan iqomah untuk shalat yang pertama kemudian

iqomah lagi untuk shalat yang keduanya. Jika menjama' antara dua shalat dan

dikerjakan pada waktu shalat yang kedua, maka dalam mengerjakan masing-masing

shalat dengan iqomah dari dua shalat itu. Dan jika mengerjakan antara dua shalat dan

hanya dengan satu iqomah saja, maka tidak apa-apa juga9.

Tidak wajib atas wanita adzan dan iqomah :

7 . Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz III, halaman 125, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun dan penerbit, Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat : Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 418, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. Dan lihat :dan lihat juga : 'Alauddin abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Badaiush-Shana'i fi tartibisy-Syara'i, juz I, halaman 157, tanpa tahun penerbit dan tahun, Kitabuth-Thaharah, darul Kutub Al-ilmiyyah, Beirut-Libanon.8 . Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 420, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar.9 . Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 420, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar.

3

Page 4: Adzan Dan Iqomah

Tidak wajib atas wanita adzan dan iqomah, ini adalah pendapat Abdullah bin

Umar, Anas bin Malik, Said bin Musayyab, Hasan Bashri, Muhammad bin Sirin,

Sofyan Ats-Tsauri, Malik, Abu Tsaur, fuqaha Hanafiyyah, Hanabilah, Adh-

Dhahiriyyah, Az-Zaidiyyah dan Al-Ja'fariyyah. Berkata ibnu Qudamah Al-

Hambali : Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara fuqaha dalam

masalah ini. Hujjah yang menjadi pendapat para fuqaha ini adalah hadits yang

diriwayatkan Asma' binti Buraid, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW

bersabda : "Tidak wajib atas wanita adzan dan iqomah". Ibnu Qudamah

menyebutkan hadits ini dalam kitabnya "Al-Mughni" tanpa menyebutkan siapa yang

meriwayatkannya dari ulama-ulama hadits. Karena adzan pada dasarnya adalah

mengumumkan atau pemberitahuan, dan disyariatkan untuk mengeraskan suara dan

tidak disyariatkan hal itu terhadap wanita. Maka barangsiapa tidak disyariatkan

baginya adzan berarti tidak pula disyariatkan baginya iqomah seperti orang yang tidak

shalat dan seperti orang yang hanya mengetahui sebagian shalat jama'ah. Dan juga

tidak diwajibkan bagi wanita shalat dengan berjama'ah, hal ini berarti tidak wajib bagi

mereka adzan dan iqomah. Dalam hadits Malik bin Huwaitsir yang diriwayatkan Al-

Bukhari yang sudah kita sebutkan sebelumnya, dalam hadits tersebut menyebutkan ;

"Maka hendaknya salah seorang di antara kalian ada yang adzan untuk

kalian", tidak menyebutkan wanita yang diperintahkan dengan adzan.

Apakah dianjurkan bagi wanita adzan dan iqomah :

Sebagaimana telah kita sebutkan : Tidak wajib bagi wanita adzan dan iqomah,

tapi apakah dianjurkan [mustahab] baginya adzan dan iqomah? Berkata seorang faqih

yang terkenal dengan nama ibnu Hazm Adh-dhahiri Rahimahullahu Ta'ala : Jika

mereka adzan dan iqomah itu adalah perbuatan yang baik, karena adzan adalah dzikir

kepada Allah SWT, demikian juga iqomah, maka keduanya dikerjakan pada

waktunya adalah perkerjaan yang baik. Dan kita meriwayatkannya dari Atha, beliau

berkata : Wanita boleh melakukan iqomah untuk dirinya, dan berkata Thawus :

Bahwa Aisyah RA melakukan adzan dan iqomah, dan ini adalah pendapat madzhab

fuqaha Al-Hanabilah. Telah disebutkan di dalam kitab "Al-Mughni" milik ibnu

Qudamah mengenai masalah adzan dan iqomah bagi wanita, pendapatnya adalah :

Apakah disunahkan bagi wanita hal itu [adzan dan iqomah]? Telah diriwayatkan dari

Ahmad, beliau berkata : Jika mereka melakukannya [adzan dan iqomah] tidak apa-

4

Page 5: Adzan Dan Iqomah

apa dan jika meninggalkannya juga boleh10. Dan pendapat ini adalah salah satu di

antara pendapat-pendapat dalam madzhab Asy-Syafiiyyah dan juga pendapat dalam

madzhab Al-Ja'fariyyah11.

Menurut pendapat madzhab imam Malik Rahimahullahu Ta'ala : Apabila

seorang perempuan shalat sendirian dan qomat untuk dirinya sendiri itu adalah

perbuatan yang baik, mereka berkata dalam membedakan antara adzan dan iqomah, di

mana adzan tidak dituntut dari perempuan karena adzan disyariatkan untuk memberi

pengumuman atau pemberitahuan mengenai masuknya waktu dan hadir untuk shalat,

sedangkan iqomat disyariatkan [ditetapkan] untuk memberitahu dirinya shalat. Oleh

karena itu, adzan dikhususkan dengan laki-laki dan iqomah disyariatkan untuk laki-

laki dan perempuan12, ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Al-

Malikiyyah, dan menurut mereka dianjurkan bagi mereka [para perempuan] iqomah

dan tidak demikian baginya adzan, karena dalam adzan mengangkat suara sedangkan

dalam iqomah tidak mengangkat suara13, dan perempuan tidak diperkenankan

mengangkat suara.

Menurut para fuqaha dalam madzhab Hanafiyyah : Apabila para perempuan

shalat dengan berjama'ah, maka mereka shalat tanpa adzan dan iqomah, dengan alasan

berdasarkan hadits yang mereka riwayatkan dari Raithah, ia berkata : Kita adalah

sekelompok dari perempuan, Aisyah RA pernah mengimami kami dalam shalat tanpa

10 . Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 422, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. 11 Asy-Syeikh Muhyiddin bin Syarof An-Nawawi, Kitabul Majmu' Syarah Muhadzdzab lisy-Syirozi, juz III, hal. 106-107, yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Najib al-Muthai'i kepala bagian As-Sunnah dan Ulum Al-Hadits universitas Ummu Darman Al-Islamiyyah, maktabah Al-Irsyad, Jeddah-Kerajaan Saudi Arabia. Dan lihat : DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Apakah dianjurkan bagi wanita adzan dan iqomah", halaman 201-202, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon.12 . DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Apakah dianjurkan bagi wanita adzan dan iqomah", halaman 202, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon. Dan lihat : Wahibul Jalil syarah mukhtashal kholil, mmilik Al-Khithab, juz I, halaman 643-644.13 . Asy-Syeikh Muhyiddin bin Syarof An-Nawawi, Kitabul Majmu' Syarah Muhadzdzab lisy-Syirozi, juz III, hal. 105-106, yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Najib al-Muthai'i kepala bagian As-Sunnah dan Ulum Al-Hadits universitas Ummu Darman Al-Islamiyyah, maktabah Al-Irsyad, Jeddah-Kerajaan Saudi Arabia, demikian juga menurut pendapat Asy-syafi'iyyah : Apabila seorang perempuan mengerjakan shalat sendirian yang masyhur menurut mereka adalah dianjurkan [mustahab] untuk melakukan iqomah dan tidak dianjurkan untuk melakukan adzan, namun demikian menurut mereka boleh bagi seorang perempuan beradzan dalam shalat perempuan secara berjamaah, dengan syarat tidak mengangkat suaranya kecuali sebatas yang bisa didengar teman-teman sesama perempuan, dan demikian juga jika seorang perempuan shalat sendirian, maka dibolehkan baginya atas dasar pendapat untuk adzan, yaitu dengan syarat tidak mengangkat suaranya melebihi batas yang dibutuhkan hanya untuk didengarkan oleh dirinya.

5

Page 6: Adzan Dan Iqomah

adzan dan juga iqomah14. Berkata ibnu Abidin dari fuqaha Hanafiyyah yang hidup

belakangan ini, di dalam catatan kakinya atas kitab Ad-Durrul Mukhtar : Tidak

disunnahkan hal itu, artinya tidak ada adzan dan iqomah bagi mereka apabila shalat,

baik dalam shalat yang dilakukan pada waktunya [adaan] maupun shalat yang

dikerjakan bukan pada waktunya [qadlaan] walaupun mereka shalat dengan

berjama'ah, karena Aisyah RA. mengimami jamaah perempuan tanpa adzan dan

iqomah. Ini menuntut bahwa shalat perempuan sendirianpun juga demikian, karena

meninggalkannya, yaitu meninggalkan adzan dan iqomah itu adalah sunah dalam

keadaan disyariatkan shalat jama'ah bagi wanita, maka tentu dalam keadaan sendirian

lebih utama15. Namun menurut hemat penyusun, bahwa pendapat yang kuat adalah

dibolehkannya adzan dan iqomah dengan syarat seperti yang disebutkan, yaitu tidak

mengangkat suaranya kecuali sebatas apa yang bisa didengar oleh teman-teman

sesama perempuan saja.

Bagaimana cara adzan :

Lafadh-lafadh adzan dan bagaimana cara adzan, telah datang dari Nabi SAW,

dan lafadh-lafadh itu bukanlah merupakan perkara ijtihadiyyah, yang bisa ditambah

atau dikurangi atau bulak-balik susunan dan bahkan diganti dengan yang lain. Imam

Ahmad bin Hambal memilih sighat adzan dan lafadh-lafadhnya adalah adzan Bilal

bin Abi Rabah RA, yang juga adzan ini menjadi pilihan Sofyan bin Ats-Tsauri,

Ishak bin Rahawaih dan para fuqaha Hanafiyyah. Adzan yang dikumandangkan

Bilal adalah sebagai berikut :

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar

Asyhadu allaa ilaaha illallah

Asyhadu allaa ilaaha illallah

Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah

Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah

Hayya 'alash-Shaalah - Hayya 'alash-Shaalah

Hayya 'alal Falaah - Hayya 'alal Falaah

Allahu Akbar - Allahu Akbar

Lailaaha illallah

Dan bagaimana cara iqomah16 :

14 . 15 16 Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 406,

6

Page 7: Adzan Dan Iqomah

Imam Ahmad bin Hambal memilih sighat iqomah yang datang dari Nabi SAW,

dan iqomah itu adalah sebagai berikut :

Allahu Akbar Allahu Akbar

Asyhadu allaa ilaaha illallah

Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah

Hayya 'alash-Shaalah

Hayya 'alal Falaah

Allahu Akbar - Allahu Akbar

Lailaaha illallah

Yang dikatakan dalam adzan shubuh : "Ash-Shalatu Khairum Minaum"

: Disunnahkan untuk mengatakan dalam adzan shubuh : "Ash-Shalatu

Khairum Minaum" setelah ucapannya : Hayya 'alal Falaah, ini yang disebut

dengan tautsieb, dan ini adalah pendapat ibnu Umar, Hasan Al-Bashri,

Muhammad bin Sirin, ibnu Syihab Az-Zuhri, Sofyan Ats-Tsauri, Al-Auza'i,

Ishak bin Rohawaih, Abu Tsaur, dan Asy-Syafi'i, dan juga menjadi pendapat

madzhab Hanabilah. Dimakruhkan tatswieb, yaitu ucapan "Ash-Shalatu Khairum

Minannaum" bukan pada adzan shubuh, karena sunnah datang pada adzan shubuh

bukan pada adzan yang lainnya, dan juga karena shalat shubuh [fajr] pada waktu

orang hampir seluruhnya sedang tidur diajak untuk bangun dari tidurnya, maka

dikhususkan dengan tautsieb karena kekhususan ini dibutuhkan pada shalat shubuh17.

Waktu adzan18 :

Adzan disyariatkan untuk shalat-shalat lima waktu yang fardlu [wajib], dan

shalat-shalat ini memiliki waktu khusus. Syarat untuk sahnya adzan adalah agar adzan

dikumandangkan pada waktunya. Jika adzan terjadi bukan pada waktunya yang

disyariatkan, maka adzan itu tidak dianggap dan tidak diperbolehkan, dalam masalah

ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha. Akan tetapi ada pengecualian

tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. Dan lihat :

17 . Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 7-408, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. Dan lihat :18 . Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 409-412, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. Dan lihat :

7

Page 8: Adzan Dan Iqomah

sebagaimana telah kita katakan, yaitu pada adzan fajr [shubuh] bolehkan disyariatkan

atau dikumandangkan sebelum waktu shubuh [fajri], ini adalah pendapat ahlul ilmi

berdasarkan hadits Nabi SAW : "Bahwasannya Bilal adzan pada waktu malam,

sambil mengucapkan makan dan minumlah hingga akhirnya Abdullah ibnu

ummi Maktum adzan".. Dikhususkan adzan shubuh [fajr] dengan hal itu [tautsib],

karena waktu di mana orang-orang sedang tidur, membutuhkan kepada peringatan dan

pemberitahuan [I'lam] sebelum masuk waktu untuk shalat, agar orang-orang bergerak

dan bersegera berangkat menuju shalat. Namun demikian selayaknya adzan shubuh

[fajr] tidak terlalu maju dari waktu shalat terlalu banyak.

Adapun waktu-waktu lain untuk shalat selain shalat fajri [shubuh], dianjurkan

agar adzan dikumandangkan pada awal waktu agar orang-orang mengetahui dengan

masuknya waktu shalat, sehingga dapat mempersiapkan diri untuk shalat.

Syarat-syarat adzan dan iqomah19 :

Disyaratkan pada adzan dan iqomah beberapa syarat, di antaranya adalah

sebagai berikut, yaitu :

1. Disyaratkan dalam adzan harus tertib susunan kalimatnya sebagaimana yang

telah ditetapkan dalam syariat, karena yang dimaksud dengan adzan, yaitu

pengumuman atau pemberitahuan, akan dianggap berbohong dengan adanya tidak

tertib susunan kalimat adzan, karena orang-orang menduga bahwa itu bukan adzan

untuk shalat, makanya apabila adzan datang tidak tertib susunan kalimatnya, maka

adzan itu tidak sah. Demikian juga dalam iqomah harus dengan lafadh-lafadh dan

susunan kalimatnya yang sesuai dengan apa yang datang dari syariat, mengingat

ijtihad tidak berlaku saat berhadapan dengan nash.

2. Agar dipisahkan jarak antara adzan dan iqomah sebatas waktu untuk

berwudlu dan shalat dua rakaat, dan ini hanya syarat anjuran dan bukan suatu

keharusan.

19 . Asy-Syeikh Muhyiddin bin Syarof An-Nawawi, Kitabul Majmu' Syarah Muhadzdzab lisy-Syirozi, juz III, hal. 119, yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Najib al-Muthai'i kepala bagian As-Sunnah dan Ulum Al-Hadits universitas Ummu Darman Al-Islamiyyah, maktabah Al-Irsyad, Jeddah-Kerajaan Saudi Arabia. Dan lihat juga : Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz III, halaman 145-147, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun dan penerbit, Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat : Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 407, 415, 416, dan 435, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar. Dan lihat :

8

Page 9: Adzan Dan Iqomah

3. Menurut Hanabilah dan Asy-Syafiiyyah selayaknya orang yang melakukan

iqomah adalah orang yang juga melakukan adzan, tapi lain halnya dengan fuqaha

Adh-Dhahiriyyah, mereka menganggap hal itu bukan syarat, maka boleh orang yang

mengumandangkan iqomah bukan orang yang mengumandangkan adzan.

4. Disyaratkan dalam adzan dilakukan secara perlahan-lahan [At-Tarossul] dan

iqamah agak lebih cepat lawan dari perlahan-lahan [al-hadr], yakni tidak panjang

seperti adzan, berdasarkan hadits Nabi SAW : "Apabila kamu adzan hendaknya

dengan perlahan-lahan [at-tarasul] dan apaila kamu maka hendaknya qomat

dengan yang lebih cepat [hadr]". [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi]. Karena adzan

adalah pemberitahuan kepada orang-orang yang berada di luar dan jauh dari masjid,

maka dengan perlahan-lahan dalam adzan lebih mengena dalam pemberitahuan,

sedangkan iqomah adalah pemberitahuan kepada orang-orang yang sudah hadir di

masjid dan sekitarnya, maka tidak membutuhkan kepada perlahan-lahan.

5. Disyaratkan dalam adzan dilakukan dengan tulus dan lkhlas, dan muadzdzin

tidak meminta dan menerima upah, ini adalah pendapat madzhab Adh-Dhohiriyyah

dan juga pendapat dhahir madzhab imam Ahmad bin Hambal, tapi ada riwayat lain

dari imam Ahmad, bahwa dibolehkan seorang muadzdzin menerima upah, karena

orang-orang membutuhkan kepada adzan, kadang-kadang tidak ada orang yang mau

menjadi muadzdzin secara permanen tanpa upah, karena dia juga harus bekerja untuk

memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, jika dia mejadi muadzdzin

secara terus-terusan dan habis waktunya hanya untuk adzan tepat setiap waktu shalat

tanpa mendapat imbalan, bagaimana nanti dengan keperluan dia dan keluarganya?

Syarat-syarat muadzdzin20 :

Disyaratkan pada seorang muadzdzin adalah harus orang laki-laki, muslim

dan berakal, tidak sah adzan seorang kafir dan orang gila, karena keduanya

bukan ahli ibadah. Sah adzan dari seorang anak kecil yang berakal [mumayyiz],

karena dia dari ahli ibadah, dan dari yang baligh dan berakal tentu lebih utama.

Dianjurkan seorang muadzdzin adalah orang yang faham dan tahu sunnah dan tahu

waktu-waktu shalat, panjang dan bagus suaranya, adzan dengan berdiri, dan boleh

melakukan adzan di atas kendaraan [ar-rohilah] dalam safar [bepergian]. Dianjurkan

juga adzan di termpat yang tinggi dan menghadap kiblat, dianjurkan untuk memutar

20 . Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 403-414, 415, 416, dan 435, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar.

9

Page 10: Adzan Dan Iqomah

wajahnya kesebelah kanan pada saat mengucapkan : "Hayya 'alash-shalaah", dan ke

sebelah kiri pada saat mengucapkan ; "Hayya 'alal falaah" dengan tanpa merubah

posisi kedua kaki untuk tetap menghadap kiblat, dan meletakkan kedua jarinya pada

kedua telinganya, mengangkat suaranya yang tinggi apabila adzannya itu untu

jama'ah, dan mengangkat suaranya pada waktu melakukan iqomah tapi tidak seperti

mengangkat suara pada waktu adzan.

Disyaratkan pada seorang muadzdzin adalah orang yang bertakwa dan adil,

berdasarkan hadits Nabi SAW : "Imam itu bertanggung-jawab dan muqim itu

harus dapat dipercaya [amanah]".

Dan amanah tidak ada yang bisa melaksanakannya kecuali seorang yang

bertakwa dan adil, dan muadzdzin adalah tempat kembali orang-orang kepadanya

dalam shalat dan puasa, maka tidak dijamin tidak menipu orang-orang apabila bukan

seorang yang bertakwa dan adil.

Disyaratkan seorang muadzdzin dalam keadaan bersih, karena adzan adalah

dzikir yang

agung, namun jika adzan sedangkan dia dalam keadaan tidak bersih [suci] dari hadats,

maka juga dibolehkan, tapi jika adzan dan dia sedang keadaan junub hal itu

dimakruhkan, dan demikian juga niqomah tanpa kebersihan dari hadats dibolehkan

tapi dimakruhkan21.

Adzan perempuan untuk halayak ramai [orang banyak] :

Sudah kita katakan sebelumnya, bahwa dari syarat-syarat seorang muadzdzin

adalah harus orang laki-laki, muslim dan berakal. Apakah sah adzan seorang

perempuan bagi para laki-laki dan orang banyak? Ini yang dimaksud dari pertanyaan,

karena adzan seorang perempuan hanya untuk dirinya sendiri atau untuk para

perempuan yang shalat berjamaah, dan ini sudah kita bicarakan. Jawaban atas

pertanyaan tadi kita sebutkan beberapa pendapat para fuqaha dalam masalah ini.

1. Pendapat madzhab Adh-Dhahiriyyah : Tidak diperbolehkan bagi seorang

untuk melakukan wanita adzan, karena para wanita tidak diperintah untuk adzan

sebagaimana para laki-laki, berdasarkan hadits Nabi SAW : "Maka hendaknya ada

salah seorang di antara kalian yang adzan untuk kalian dan mengimami kalian

yang paling besar serta yang paling banyak bacaan Al-Qur'annya di antara

21 . DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Syarat-syarat seorang muadzdzin", halaman 206, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon.

10

Page 11: Adzan Dan Iqomah

kalian", Nabi SAW memerintahkan adzan kepada orang yang selalu iltizam dengan

shalat dalam jama'ah, yaitu adalah para laki-laki bukan para wanita22.

2. Pendapat madzhab Al-Malikiyyah : Tidak sah adzan seorang wanita,

berkata sebagian dari mereka [Al-Malikiyyah], berdasarkan pendapat yang kuat dalam

madzhab, dimakruhkan adzan bagi seorang wanita, karena dalam adzan mengangkat

dan meninggikan suara dan hal itu adalah aurot dari wanita, maka dari itu

dimakruhkan23.

3. Pendapat madzhab Hanabilah : Tidak dianggap adzan seorang wanita,

karena wanita adalah orang yang tidak disyariatkan baginya untuk melakukan adzan,

berkata ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali : Saya tidak melihat adanya

perbedaan pendapat di antara fuqaha dalam masalah ini24.

4. Pendapat madzhab fuqaha Hanafiyyah : Dimakruhkan adzan seorang

wanita, karena ia jika mengangkat suaranya maka sungguh telah berbuat kemaksiatan,

dan jika merendahkan suaranya berarti ia telah meninggalkan sunnah adzan yakni

mengangkat suara, dan adzan wanita tidak pernah terjadi di masa assalafush-shaleh,

maka itu termasuk perkara yang diada-ada alias bid'ah, Nabi SAW bersabda :

"Setiap perkara yang diada-ada adalah bid'ah", namun jika seandainya adzan

untuk suatu kaum, maka dibolehkan adzannya dan tidak perlu diulang karena telah

tercapainya maksud, yaitu peng'ilaman atau pemberitahuan, tapi diriwayatkan dari

imam Abu Hanifah, dianjurkan untuk diulangi lagi adzannya25.

5. Pendapat madzhab Az-Zaidiyyah : Tidak sah adzan seorang wanita, dan

apabila ia adzan maka tidak diperbolehkan adzannya. Berkata Al-Ja'fariyyah :

Tidak adzan seorang wanita bagi para laki-laki26.

22 . Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz III, halaman 140-141, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun dan penerbit, Darut-Turats, Kairo-Mesir.23 . DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Adzan seorang wanita bagi masyarakat umum", halaman 206-207, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon. Dan lihat juga : Mawahibul Jalil Syarah Mukhtashar Kholil, milik Al-Hathab Al-Maliki, juz I dan halaman 435.

24 . Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 843, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar.

25 . 'Alauddin abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Badaiush-Shana'i fi tartibisy-Syara'i, juz I, halaman 150, tanpa tahun penerbit dan tahun, Kitabuth-Thaharah, darul Kutub Al-ilmiyyah, Beirut-Libanon.26 . DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Adzan seorang wanita bagi masyarakat umum", halaman 206, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon.

11

Page 12: Adzan Dan Iqomah

6. Pendapat madzhab Asy-Syafiiyyah :

Iqomah perempuan :

Sebagaimana perempuan tidak boleh mengumandangkan adzan untuk orang

banyak seperti yang telah kita katakan, maka sesungguhnya ia juga tidak boleh

mengumandangkan iqomah untuk shalat jama'ah laki-laki atau jama'ah laki-laki dan

perempuan, apabila perempuan itu shalat dalam jama'ah bersama mereka, karena

iqomah adalah seperti adzan, yaitu untuk mengumumkan atau pemberitahuan Dengan

tegas para fuqaha Al-malikiyyah tidak membolehkan perempuan mengumandangkan

iqomah, berkata seorang faqieh dalam madzhab Al-Malikiyyah, Al-Hathab

Rahimahullahu Ta'alaa, beliau berkata : Sesungguhnya perem,puan jika shalat

sendirian, maka sesungguhnya iqomah bagi dirinya adalah perbuatan yang baik, yaitu

dianjurkan dan bukan sunnah sebagaimana bagi laki-laki, adapun apabila shalat

dengan jama'ah maka cukup dengan iqomahnya laki-laki, dan tidak boleh perempuan

menjadi seorang yang mengumandangkan iqomah untuk shalat berjama'ah, karena

suaranya adalah aurot. Tidak akan tercapai sunnah iqomahnya [maksudnya

iqomahnya tidak menjadi sunnah], sebagaiman tidak tercapai sunnaqh adzan dengan

adzannya.[adzan perempuan]27.

Apa yang dikatakan bagi orang yang mendengar adzan dan iqomah

Dianjurkan bagi orang yang mendengarkan adzan untuk mengucapkan seperti

apa yang muadzdzin ucapkan, dan apabila muadzdzin sampai pada ucapannya :

"Hayya 'alash-Shaalah", yang artinya marilah mendirikan shalat, maka yang

mendengarkan mengucapkan : "Laa haula walaa quwwata illaa billaah". yang

artinya tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dengan Allah.

Dan apabila muadzdzin mengucapkan : ":Hayya 'alal Falaah" yang artinya

marilah kita menuju kepada keberuntungan, maka yang mendengarkan juga

mengucapakan : "Laa haula walaa quwwata illaa billaah" yang artinya tidak ada

daya dan kekuatan kecuali hanya dengan Allah.

Kemudian yang mendengarkan juga mengucapkan setelah muadzdzin selesai

mengumandangkan adzannya, apa yang datang dari hadits Nabi SAW yang

diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rosulullah SAW

bersabda : "Barangsiapa yang mengucapkan saat mendengar adzan : "Allahumma

27 . DR. Abdul Karim Zaedan, Al-Mufashal Fie Ahkamil Mar'ah wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyyah, juz I, dalam sub. Judul : "Iqomah seorang perempuan", halaman 202, cetakan I, tahun 1413/H-1993/M, Muassasah Ar-Risalah, beirut-Libanon. Dan lihat juga : Mawahibul Jalil Syarah Mukhtashar Kholil, milik Al-Hathab Al-Maliki, juz I dan halaman 463.

12

Page 13: Adzan Dan Iqomah

Rabba hadzihid-dakwah At-Taammah wash-shalaatil qaaimah, aati

Muhammadal wasiilah wal fadiilah, wabatshu maqaamam mahmuudal ladzi

wa'adtah", maka baginya berhak [halal] mendapatkan safaatku pada hari kiamat.

Dan juga dianjurkan yang mendengarkan iqomah mengucapkan seperti apa yang

diucapkan orang yang muqiem [orang yang mengumandangkan iqomah], yaitu

apabila seorang muqiem sampai pada ucapannya : "Qad qaamatrish-shalaah",

maka orang yang mendengarkan mengucapkan : "Aqaamahallahu waadaamaha".

Yang artinya semoga Allah SWT menegakkan dan mengabadikannya [shalat].

Barangsiapa yang mendengar adzan sedangkan dia sedang membaca Al-

Qur'an :

Barangsiapa yang mendengar adzan sedangkan dia sedang membaca Al-Qur'an,

maka memutuskan bacaannya dan agar mengucapkan seperti apa yang muadzdzin

ucapkan, karena mendengar adzan bisa tertinggal [karena waktunya terbatas hanya

pada saat itu] sedangkan membaca Al-Qur'an tidak akan tertinggal, kapanpun dia bisa

membaca Al-Qur'an28.

Apa yang dilakukan orang masuk masjid sedang muadzdzin sedang

adzan29 :

Barangsiapa yang masuk masjid sedangkan muadzdzin sedang adzan, atau

masuk masjid muadzdzin memulai adzan, maka dia tidak keluar masjid kecuali karena

ada udzur [halangan] atau darurat. Dan dianjurkan baginya menunggu muadzdzin

hingga selesai dari adzannya, kemudian duduk dan tidak duduk sebelum muadzdzin

menyelesaikan adzannya hingga memungkinkan dia bisa mengucapkan seperti apa

yang muadzin ucapkan, kemudian shalat dua rakaat sebagai penghormatan terhadap

masjid [tahiyyatul masjid], jika tidak mau menunggu dan tidak mengucapkan seperti

apa yang muadzdzin ucapkan, dan hanya menunaikan shalat tahiyyatul masjid maka

tidak apa-apa juga.

28 Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 428, dan 435, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar.

29 . Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz III, halaman 147, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun dan penerbit, Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat : Abu muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-mughni 'ala Mukhtashar Abil Qasim umar bin Husain bin Abdullah bin ahmad Al-Khiroqi, jilid I, halaman 403-414, 415, 416, dan 435, tanpa tahun dan tanpa penerbit, ditashihi oleh DR. Muhammad Kholil Harros, dosen di kuliyah ushuluddin, di Universitas Al-azhar.

13

Page 14: Adzan Dan Iqomah

14