Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi
Click here to load reader
-
Upload
noracyril-sembadra-mahardhika -
Category
Documents
-
view
392 -
download
2
description
Transcript of Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi
![Page 1: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Hubungan Administrasi Negara/Publik dengan Kebijakan
Publik
Secara konseptual, kebijakan publik ( public policy ) itu dipelajari oleh 2 ilmu
disiplin yaitu ilmu politik dan ilmu administrasi publik. Masing-masing disiplin ilmu
tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda terhadap Kebijakan Publik. Hal
ini dikarenakan masing-masing disiplin ilmu itu memiliki Locus dan Focus yang
berbeda. Locus ilmu administrasi negara adalah organisasi dan manajemen, sedangkan
focus ilmu adminiatrasi negara adalah efektifitas dan efisiensi.
Menurut konsep ilmu administrasi negara, kebijakan publik itu berasal dan
dibuat oleh pemerintah (manajemen) sebagai fungsi dinamis dari negara (organisasi),
yang ditujukan untuk menciptakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan dan kenegaraan.
ilmu administrasi negara itu memiliki delapan unsure (pilar) utama; yaitu
o Organisasi
o Manajemen
o Personalia
o Material
o Financial
o Human relation
o Komunikasi
o Ketatausahaan
Kebijakan publik (public policy) adalah fungsi dari pilar organisasi dan
manajemen. Unsur organisasi di dalam perspektif ini adalah 'Negara', sedang unsur
manajemen adalah 'Pemerintahan'. Negara dipandang sebagai suatu wadah atau
organisasi dalam arti statis. Unsur ini memerlukan mesin penggerak yang dapat
mendinamisasikannya. Unsur dinamis itu adalah mana jemen, yang di dalam sistem
![Page 2: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/2.jpg)
kenegaraan lebih dikenal sebagai pemerintahan. Dalam perspektif ini bertemunya
unsur negara dan pemerintahan akan menghasilkan sebuah ketentuan, peraturan atau
hukum yang lazim disebut kebijakan publik.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang
di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara
modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan
oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang
banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan
pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain
menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan.
Salah satu kasus implementasi hubungan administrasi publik dengan kebijakan
publik adalah pemindahan pedagang kaki lima (PKL) tanah abang ke Blok G.
Kebijakan tersebut dibuat dengan alasan para PKL dinilai telah menggangu kelancaran
lalu lintas, dan membuat kemacetan yang cukup panjang. Seperti kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah lainnya, kebijakan tersebut juga menuai pro dan kontra.
Setelah hampir dua bulan pro dan kontra, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
telah berhasil memindahkan pedagang kaki lima yang selama ini menjadi penyebab
kemacetan dan kesemrawutan di sekitar pasar tekstil Tanah Abang. Hampir seribuan
pedagang akan dipindah ke Blok G yang sebelumnya terbengkalai.
Pemindahan pedagang kaki lima tampaknya bukan perkara mudah. Terbukti,
gubernur-gubernur Jakarta sebelumnya tak berkutik, bahkan tak berani menyentuh
lapak para pedagang di pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara itu. Keberadaan preman
yang dibekingi aparat keamanan dan sejumlah pejabat dan politisi dituding sebagai
biang keladi mandulnya penegakan hukum terhadap para PKL. Padahal, para PKL itu
jelas-jelas melanggar peraturan daerah dengan berjualan di trotoar dan badan jalan.
Upaya yang dilakukan Pemprov Jakarta pun tak berjalan mulus. Rencana
pemindahan PKL sempat ditentang oleh para pedagang, dengan alasan blok G yang
sepi, kumuh, dan jauh dari jangkauan konsumen. Sikap keras pemerintah untuk tetap
merelokasi pedagang sempat ditentang oleh anggota DPRD, yang disebut-sebut
sebagai tokoh dan pengusaha di pasar Tanah Abang. Kantor pemprov pun sempat
menjadi sasaran demontrasi para pedagang dan pemuda yang mengaku-aku mewakili
warga Jakarta.
![Page 3: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/3.jpg)
Belakangan setelah Gubernur Jokowi berulang kali berkunjung ke Tanah
Abang, para penentang relokasi melunak. Apalagi Jokowi menjanjikan pembenahan
Blok G dan memindahkan rumah jagal yang menyebarkan bau tak enak di sana.
Saat ini, Blok G Pasar Tanah Abang telah diresmikan Gubernur DKI Jakarta
Joko Widodo(Jokowi), Senin 2 september 2013 kemarin. Blok G yang terdapat
sebanyak 2.272 kios dibagi berdasarkan peruntukannya.
Untuk pedagang tekstil berada di lantai 3, pedagang kelontong di lantai 2,
pedagang sayur, makan dan minuman berada di lantai 1 dan lantai dasar untuk
pedagang yang berjualan daging dan ikan.
Semua berharap, tempat baru para PKL ini dapat menjadi sumber
perekonomian potensial bagi PKL sekaligus pengembangan Pasar Tanah Abang
sebagai destinasi belanja. Selain itu, pemindahan PKL juga berdampak bagi kelancaran
lalu lintas di area pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara ini.
Selain kepiawian Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dalam merangkul PKL,
kesadaran para PKL yang tidak lagi berjualan di badan jalan, yang cukup menggangu
ketertiban umum pantas mendapatkan apresiasi.
II.2 Paradigma Administrasi Negara, Politik Administrasi
(1900-1926)
Administrasi Negara/publik adalah suatu bahasan ilmu sosial yang
mempelajari tiga elemen penting kehidupan administrasi bernegara yang meliputi
lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Hal- hal yang berkaitan dengan masalah
publik meliputi kebijakan publik, manajemen publik, administrasi pembangunan,
tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara, serta organisasi.
Lokus dan Fokus Ilmu Administrasi Publik
Lokus adalah tempat atau lokasi yang menggambarkan di mana ilmu
pengetahuan tersebut berada. Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik
adalah: kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affair).
Sementara fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam mempelajari
ilmu administrasi publik. Fokus dari ilmu administrasi publik itu sendiri adalah teori
organisasi dan ilmu manajemen.
![Page 4: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/4.jpg)
Dwiyanto (2007) menyebutkan setidaknya ada empat faktor yang menjadi
sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:
1. Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan
pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat;
2. Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor
menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;
3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi
kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan
dan implementasinya;
4. Munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara
pemerintah dan bisnis.
Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa
maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan
pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?
Paradigma administrasi merupakan suatu teori dasar atau ontologi
administrasi dengan cara pandang yang relatif fundamental dari nilai-nilai kebenaran,
konsep, dan metodologi serta pendekatan-pendekatan yang dipergunakan. Perubahan
paradigma disebabkan oleh perkembangan pemikiran para ilmuwan administrasi atas
bantahan-bantahan karena keraguan kebenaran yang dikandungnya itu telah
mengalami pergeseran makna.
Paradigma ini muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap trikotomi dalam
trias politika, dan kemudian menggantinya dengan dwi fungsi yaitu politik dan
administrasi. Politik (Ilmu politik merupakan cabang ilmu sosial yang membahas teori
dan praktik politik serta deskripsi dan analisis sistem politik dan perilaku politik. Ilmu
ini berorientasi akademis, teori, dan riset) sebagai penetapan kebijaksanaan,
sedangkan administrasi sebagai pelaksanaan kebijakan.
Fokus paradigma dikotomi administrasi publik adalah pemisahan urusan
politik dari urusan administrasi dalam fungsi pokok pemerintah, dimana substansi
ilmu politik hanya meliputi masalah-masalah politik, pemerintahan, dan kebijakan.
Substansi administrasi publik pada masalah-masalah organisasi, kepegawaian, dan
penyusunan anggaran dalam sistem birokrasi pemerintah. Paradigma dikotomi
![Page 5: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/5.jpg)
politik-administrsi juga mengindikasikan pentingnya manajemen untuk
menyumbangkan analisis ilmiahnya kepada ilmu administrsi publik, perlunya
administrasi publik menjadi bebas nilai, dan bahwa misi ilmu administrasi ekonomis
dan efisiensi.
Locus politik meliputi badan-badan legislatif dan yudikatif dengan tugas pokok
membuat kebijakan-kebijakan atau melahirkan keinginan-keinginan negara,
sementara locus administrasi pada badan eksekutif tugasnya menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (Goodnow, 1900 :10-11).
Para ilmuwan dan cendikiawan yang dapat digolongkan dalam paradigma ini adalah ,
Woodrow Wilson, Leonard White, Frank Goodnow, dan Dwight Waldo.
Dari buku yang diterbitkan oleh Leonard D. White mencerminkan kepercayaan
masyarakat yang menjadi ciri dan karakter pokok pada bidang administrasi negara,
yaitu Politik tidak tercampur dengan Administrasi, manajemen dapat menjadi bidang
studi tersendiri, administrasi negara dapat menjadi ilmu yang bebas nilai. Periode ini
memiliki misi administrasi yaitu ekonomi dan efisiensi.
Hasil paradigma I memperkuat pemikiran dikotomi politik atau
administrasi yang berbeda, dengan menghubungkannya dengan dikotomi nilai atau
fakta yang berhubungan. Sehingga segala sesuatu yang diteliti dengan cermat oleh
para ahli administrasi negara dalam lembaga eksekutif akan memberi warna dan
legitimasi keilmiahan dan kefaktualan administrasi negara, sedangkan studi
pembuatan kebijakan publik menjadi kajian para ahli ilmu politik.
Dikotomi politik administrasi juga disebut dengan netralitas aparat
pemerintah. Masalah netralitas aparat pemerintah telah lama menjadi perdebatan
yang ramai. Hal ini disebabkan karena posisi aparat yang mendua seringkali bersifat
dilematis. Dualisme itu ditunjukkan dengan peran ganda aparat pemerintah di mana
di satu sisi ia berperan sebagai warga negara biasa. Sebagai pegawai pemerintah ia
harus bertanggung jawab dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik
dan tanpa memihak (bersikap netral). Dan sebagai warga negara biasa di masyarakat
yang demokratis ia berpartisipasi dalam proses politik. Posisi dilematis aparat
pemerintah tersebut seringkali merugikan aparat itu sendiri, negara dan masyarakat.
Keterlibatan pegawai pemerintah dalam kegiatan-kegiatan politik dapat berakibat
![Page 6: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/6.jpg)
timbulnya bias administratif di mana mereka akan "mengabaikan" kewajibannya
untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat luas tanpa
memihak dan cenderung hanya memberi pelayanan kepada segolongan masyarakat
tertentu yang menjadi anggota salah satu partai politik di mana ia juga berada
didalamnya. Namun melarang pegawai pemerintah terlibat dalam proses politik sama
halnya dengan mencabut hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah
sebaiknya menyeimbangkan kedua peran pegawai pemerintahan tersebut ?
Konsep netralitas politik (political neutrality) bagi aparat pemerintah di negara-
negara Barat secara tradisional sebenamya dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan
dari pelaksanaan efektif konsep pemerintahan demokratis. Tetapi kemudian
pengimplementasian mengalami pasang surut, dan produksi kontra sampai sekarang.
Konsep netralitas politik ini pada awalnya berkembang akibat adanya paradigma
dikotomi politik administrasi, kemudian memudarnya paradigma. Di Amerika Serikat
misalnya, sejak dikeluarkannya Pendleton Act di tahun 1883 pemerintah di bawah
Presiden Roosevelt ia telah melarang pegawai pemerintah sebagai pengurus partai dan
aktif dalam kampanye politik (shall take no active part in political management and political
campaigns), yang kemudian dipertegas lagi ketika konggres A.S mengeluarkan "The
hatch Political Activities Act pada tahun 1939 yang setahun kemudian dikeluarkan
beberapa amandemen. Dalam Hatch Act ini dinyatakan bahwa pegawai pemerintahan
boleh mendaftar untuk ikut memilih, memberikan sumbangan untuk kampanye,
membantu panitia pendaftaran calon pemilih dan memberikan pendapat tentang
kandidat-kandidat pemimpin politik serta isu-isu politik. Tetapi mereka dilarang
mendukung kandidat pemimpin politik, mencari calon penyumbang dana untuk
kegiatan politk partai, berpartisipasi dalam pendaftaran calon pemilih partainya,
mendistribusikan bahan-bahan kampanye para kandidat, berperan sebagai delegasi
dalam konvensi partai, membuat pidato kampanye dan menyediakan kantor
pemerintah untuk kegiatan memilih pendukung partai (Denhart, 1991).
Pemerintah Australia dengan Public Service Board nya mendiskripsikan konsep
netralitas aparat pemerintah sebagai berikut: 'The principle of public service neutrality
does not imply that public servants have no political views or associations. Rather, it is
government of the day inrespective of its political complexion. This implies that public servants
should make clear the various policy options and advise impartially on how they might be
![Page 7: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/7.jpg)
related to the apparent; and that within the law they should implement the Governments and
the Minister's policy concerns as best they can, even in the absence of clear guildenes in a
particular area, and irrespective of any personal views they may hold. Berdasarkan
gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa pegawai pemerintah Australia diminta
untuk memberikan kesetiaan penuh kepada pemerintahannya yang ada sekarang tanpa
memandang corak politiknya dan kesetiaan itu direfleksikan dalam pemberian
pelayanan yang objectif dan tidak memihak.
Netralistis aparat pemerintah juga merupakan perilaku profesional aparat yang
ditunjukkan dengan tindakan-tindakan yang terampil dalam memberikan pelayanan
dengan penuh kesetiaan kepada pemerintah dan menghindari perbuatan-perbuatan
yang tidak loyal seperti membocorkan rahasia negara. Bagaimana dengan Indonesia?
Kita telah mengalami penyimpangan terhadap konsep netralitas aparat pemerintah
yaitu dari pemberian pelayanan yang tidak memihak menjadi memihak.
Pada rezim Orde Baru yang lalu semua pegawai pemerintah dipaksa untuk
hanya memiliki kesetiaan tunggal (mono loyalitas) yaitu kepada pemerintahan saja.
Mereka semua digiring untuk taat, setia dan membela satu kekuatan politik saja yaitu
Golkar sebagai partainya pemerintah. Sangat kecil peluang pegawai negeri untuk
mempunyai pilihan selain partai pemerintah karena akan mempunyai implikasi
kepegawaian yang bisa mempersulit mereka. Asas monoloyalitas di bidang politik itu
harus dibuang jauh.
Dalam hal ini, terdapat kasus mengenai dikotomi politik administrasi, yaitu
kasus dwifungsi ABRI/TNI pada masa Orde Baru. Dwifungsi adalah suatu doktrin di
lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas,
yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang
kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk
memegang posisi di dalam pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan dan
menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perorangan) menduduki jabatan-jabatan
strategis di lingkungan pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, serta lembaga-
lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.
![Page 8: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/8.jpg)
Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya
rezim Soeharto. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus
doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu
2009.
II.2.1 Dwifungsi ABRI
A. Sejarah Munculnya Dwifungsi ABRI
Ranah tentang perkembangan fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial politik
tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahir dan tumbuhnya ABRI dalam perjuangan
bangsa Indonesia. ABRI lahir bersama-sama dengan meletusnya revolusi rakyat, ia
lahir dari anak-anak rakyat sendiri. ABRI adalah angkatan bersenjata yang lahir dan
tumbuh dengan kesadaran untuk melahirkan kemerdekaan. ABRI pertama-tama
adalah angkatan bersenjata perjuangan dan baru setelah itu adalah angkatan bersenjata
profesional. Setiap prajurit ABRI pertama-tama adalah pejuang prajurit dan baru
kemudian adalah prajurit pejuang. Kelahiran dan pertumbuhan ABRI yang demikian
itu membuat ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan
jalannya pemerintahan. Inilah sebab pokok mengapa ABRI memiliki dua fungsi,
yakni sebagai kekuatan militer (pertahanan dan keamanan) yang merupakan alat
negara, dan sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan alat perjuangan rakyat.
Untuk dapat memahami fungsi sosial politik ABRI dalam konteks kehidupan
politik dan ketatanegaraan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, maka akan diuraikan perkembangan fungsi sosial politik ABRI khususnya dalam
kerangka perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan bangsa Indonesia, sejak
Perang kemerdekaan (1945-1949), zaman demokrasi Liberal (1949-1959), masa
demokarasi Terpimpin (1959-1966), masa orde baru (1966-perkembangannya).
B. Pelaksanaan Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan
bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer
Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era
Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat
dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih
![Page 9: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/9.jpg)
signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.
Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang
paling besar. Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil peran dalam mengurusi
urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia dianggap
akan memegang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini
muncul sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa
penyebab paling penting dari intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem
kebudayaan politiknya, struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak
heran jika partisipasi politik dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa
itu mengingat masih rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak
mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru
yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan
ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten.
Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan
setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab
langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal
dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan
teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah.
Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai.
Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan
pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-
kepentingan golongan tersendiri. Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya “Militer
dan Politik di Indonesia” menerangkan bahwa pandangan pihak militer terpecah
menjadi dua kelompok, namun keduanya tetap menganut sifat antipartai. Hal ini juga
disampaikan oleh A.H. Nasution. Kelompok pertama adalah kelompok berhalauan
keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan
kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap
ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan
dilaksanakan secara bertahap dan alami.
![Page 10: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/10.jpg)
C. Dampak dari Implementasi Dwifungsi ABRI
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak
yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita
akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif
sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif
bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat.
Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi
pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan
adalah hal yang paling terlihat. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak
didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a).
Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat
Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b).
Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama
Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang
menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu,
(c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan
menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
D. Penghapusan Dwifungsi ABRI/TNI di era Reformasi
Sejalan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, Publik yang terutama
diprakarsai oleh tokoh-tokoh intelektual dan mahasiswa menginginkan adanya
reformasi di seluruh lapisan, yang dikenal dengan tuntutan reformasi. Dalam tuntutan
reformasi terdapat 6 hal pokok yang harus direformasi oleh pemerintahan B.J Habibie
yaitu:
1. Penegakan supermasi hukum
2. Pemberantasan KKN
3. Pengadilan Presiden Soeharto dan Kroninya
4. Penghapusan Dwifungsi Abri
5. Amandemen Konstitusi
6. Pemberian Otonomi Daerah seluas-luasnya.
![Page 11: Adm. Publik & Paradigma Dikotomi Politik Administrasi](https://reader038.fdokumen.com/reader038/viewer/2022100421/55cf9871550346d03397ad48/html5/thumbnails/11.jpg)
Disini penulis akan membahas lebih lanjut tentang penghapusan dwifungsi
ABRI, sebagai salah satu kasus yang sesuai dengan pokok bahasan Paradigma
Administrasi Negara dalam Politik Administrasi.
Dalam agenda reformasi pemerintahan B.J Habibie akan dilakukannya,
Penghapusan Dwifungsi Abri dikarenakan dimasa pemerintahan Orde Baru ABRI
memiliki kekuatan penuh dan mempunyai dua kewenangan yaitu Abri yang saat itu
bisa menjadi pembuat kebijakan (politik) serta bertugas menjalankan Kebijakan
Administrasi, yang jelas-jelas hal tersebut harus dipisahkan karena nantinya akan
membuat kekacauan di dalam tubuh pemerintahan. Karena di dalam membuat
kebijaksanaan adalah kewenangan dari fungsi politik untuk merumuskan keinginan
rakyat dan tidak boleh sedikitpun adanya campur tangan dari pihak administrasi,
sebab fungsi dari administrasi adalah melaksanakan kebijaksanaan oleh pihak politik.
Karena apabila keduanya digabung maka akan membuat tumpang tindihnya suatu
kebijaksanan yang nantinya kebijakan yang akan menguntungkan sebagian golongan
saja.
Setelah dilakukanya penghapusan dwifungsi ABRI dalam pemerintahan
B.J Habibie mengharapkan Netralisasi politik (political neutrality) bagi aparat
pemerintah dimana Kedudukan ABRI di dalam pemerintahan murni sebagai Penegak
hukum, tanpa ikut campur tangan dalam politik, serta dilakukannya pemisahan antara
TNI dan Polri. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa para anggota militer
untuk dapat ikut berpartisipasi dalam perpolitikan , sebab setiap warga negara berhak
mengikuti setiap kegiatan politik sesuai dengan azas demokrasi tidak terkecuali para
elit militer.