ADB
-
Upload
luzman-hizrian -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
description
Transcript of ADB
BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny. M / perempuan / 65 tahun
b. Pekerjaan/Pendidikan : Pedagang/ SMA
c. Alamat : RT 35 Telanaipura
II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga
a. Status Perkawinan : Menikah
b. Jumlah anak/saudara : Pasien memiliki 2 orang anak
c. Status ekonomi keluarga : Menengah ke bawah
d. Kondisi Rumah :
Pasien tinggal di rumah permanen dengan lantai semen, dinding beton, dan
atap seng. Terdapat ruang tamu, ruang tengah, dapur yang masing-masing
dilengkapi jendela dan ventilasi. Terdapat 3 kamar tidur serta 1 kamar
mandi. Pencahayaan dan pertukaran udara di rumah pasien tergolong kurang
baik. Sumber air bersih berasal dari sumur, air minum dari air galon,sumber
listrik dari PLN.
Depan Rumah Pasien
Ruang Tamu Pasien
Ruang Tengah Pasien
Keadaan Dapur Pasien1
Sumur dan Kamar Mandi Pasien Kamar Pasien Foto Bersama Pasien
e. Kondisi Lingkungan Keluarga dan Kebiasaan:
Pasien tinggal dirumah berdua bersama anak kedua pasien. Suami
pasien sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Sebagai sumber ekonomi,
pasien berjualan gorengan. Anak pertama pasien tinggal di Bungo, sudah
menikah dan sudah memiliki anak. Seminggu sekali anaknya tersebut
mengunjungi os dirumah. Anak kedua os bekerja di sebuah kantor dan
belum menikah. Menurut os, tidak ada masalah dalam keluarganya dan
keharmonisan dalam keluarga baik. Pasien biasa makan 2-3 kali sehari dan
sering tidak habis. Lauk yang dimakan pun kurang beragam, yakni tahu,
tempe, telur, dan ikan. Os jarang memakan daging merah sebagai lauknya.
III. Aspek Psikologis di Keluarga
- Pasien merupakan seorang janda dengan 2 orang anak
- Pasien tinggal berdua bersama anaknya
- Hubungan dengan anggota keluarga baik
IV. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama :Sakit kepalasejak2 hari ini
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke Puskesmas Simpang IV Sipin dengan keluhan sakit
kepala yang dirasakan sejak2 hari ini, sakit kepala berupa rasa berat yang
dirasakan di seluruh bagian kepala, pasien mencoba minum obat sakit kepala 2
di warung namun sakit kepala masih belum hilang. Selain itu pasien juga
mengeluh mudah lelah dan lemas, pandangan berkunang terutama bila berdiri
dari posisi berbaring. Mual (-),muntah (-),demam (-), nafsu makan berkurang
(-), BAK dan BAB biasa.
Pasien biasa makan 2-3 kali sehari, sering tidak habis, dan memang
kurang mengkonsumsi daging atau pun ayam. Pasien juga jarang memakan
buah-buahan. Saat makan pasien sering menyelinginya dengan minum teh.
V. Riwayat Penyakit Dahulu/Keluarga
Riwayat dengan keluhan yang serupa (-)
Riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa(-)
VI. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
1. Keadaan Umum : tampak lesu
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tekanan darah : 110/70 mmHg
4. Nadi : 76x/menit
5. Pernafasan : 20 x/menit
6. Suhu : 36,5°C
7. Berat Badan : 40 kg
8. Tinggi Badan : 157 cm
Indeks Massa Tubuh : (BB) / (TB dalam meter)2
: (40) / (1,57)2 = 16,22 (Kurang)
Pemeriksaan Organ
Kepala Bentuk : normocephal, simetris
Mata Exopthalmus/enophtal : (-)
Kelopak : normal
Conjungtiva : anemis (+/+)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya +/+
3
Telinga : Sekret (-), serumen (-/-)
Hidung : Rhinorhea (-), deviasi septum (-)
Mulut Bibir : lembab
Gigi geligi : lengkap, caries (+)
Palatum : deviasi (-)
Gusi : warna merah muda, perdarahan (-)
Lidah : kotor (-), ulkus (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), detritus (-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiriod (-)
ThoraksCor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihatPalpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula kiri
Perkusi Batas-batas jantung :Atas : ICS II kiriKanan : linea sternalis dekstraKiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo (Paru)
Pemeriksaan Kanan KiriInspeksi Statis & dinamis: simetris Statis & dinamis : simetrisPalpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normalPerkusi Sonor SonorAuskultasi Vesikuler, Wheezing (-),
rhonki (-)Vesikuler, Wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen
Inspeksi Datar, sikatriks (-), dilatasi vena (-)Palpasi Supel, nyeri tekan epigastrium (+),hati dan lien
tidak terabaPerkusi TimpaniAuskultasi Bising usus (+) normal
Ekstremitas Atas : akral dingin, edema (-), CRT< 2 detik
Ekstremitas bawah : akral dingin, edema (-), CRT< 2 detik4
VII. Pemeriksaan Penunjang
Hb: 9,2 gr%
VIII. Pemeriksaan Penunjang Anjuran
a. Serum besi
b. Serum Feritin
c. TIBC
d. Serum Sianokobalamin
e. Serum Bilirubin
f. Sediaan Apusan Darah
Tepi
g. Aspirasi sumsum tulang
IX. Diagnosis Kerja
Anemia Defisiensi Besi (D.50)
X. Diagnosis Banding
- Anemia Defisiensi Besi (D.50)
- Anemia defisiensi vitamin B12 (D.51)
- Anemia Hemolitik (D.55)
- Anemia akibat perdarahan akut (D.62)
- Anemia Aplastik (D.60)
XI. Manajemen
a. Promotif :
Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit anemia yang pasien
deritamulai dari penyebab, faktor risiko, pengobatan, pencegahan,
serta komplikasi dari penyakit ini agar pasien mau memperbaiki pola
hidup terutama dietnya.
Melakukan pola makan yang teratur dengan bahan makanan yang
kaya zat besi, baik zat besi heme (daging, ayam, ikan, kerang dsb)
maupun non-heme (bayam, brokoli, kubis, tempe, tahu, wortel, sawi,
kacang polong, paprika, kurma, kacang merah, dsb) dengan jumlah
yang adekuat, terutama saat dan setelah menstruasi porsi makanan
tersebut harus lebih banyak, minum air putih minimal 8 gelas sehari.
5
b. Preventif :
Hindari makanan/minuman yang mengandung tanin (teh), kalsium,
polifenol di dalam kacang-kacangan dan biji-bijian (gandum, jagung,
sereal) di antara waktu makan dan segera setelah makan dimana zat
tersebut dapat menghambat penyerapan zat besi non-heme.
Mengkonsumsi vitamin c, jus atau buah yang mengandung vitamin c
seperti mangga atau jeruk setelah makan yang dapat meningkatkan
penyerapan zat besi.
Hindari stress dengan berpikir positif, diet sesuai dengan kebutuhan
nutrisi, istirahat cukup, tidur cukup, olahraga teratur.
c. Kuratif :
Non Farmakologi
Diet bahan makanan yang kaya zat besi, baik zat besi heme (daging,
ayam, ikan, kerang dsb) maupun non-heme (bayam, brokoli, kubis,
tempe, tahu, wortel, sawi, kacang polong, paprika, kurma, kacang
merah, dsb) dengan jumlah yang adekuat.
Farmakologi
Sulfas Ferosus 300 mg 1x1 tab selama 10 hari setelah makan
Paracetamol 500 mg 3x1 tab jika diperlukan (sakit kepala)
Vitamin B.comp 2x1 tab selama 3 hari
Vitamin C 2x1 tab selama 3 hari setelah makan
6
Dinas Kesehatan Kota JambiPuskesmas Simpang IV Sipin
Dokter Luzman HizrianSIP : 123456
Jambi, 2015
Pro :Alamat:
Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan dokter
Dinas Kesehatan Kota JambiPuskesmas Simpang IV Sipin
Dokter Luzman HizrianSIP : 123456
Jambi, 2015
Pro :Alamat:
Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan dokter
Dinas Kesehatan Kota JambiPuskesmas Simpang IV Sipin
Dokter Luzman HizrianSIP : 123456
Jambi, 2015
Pro :Alamat:
Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan dokter
Dinas Kesehatan Kota JambiPuskesmas Simpang IV Sipin
Dokter Luzman HizrianSIP : 123456
Jambi, 2015
Pro :Alamat:
Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan dokter
Resep puskesmas Resep ilmiah 1
Resep ilmiah 2 Resep ilmiah 3
7
Tradisional
Kacang hijau; Obat tradisional anemia yang mudah didapat tentu
saja kacang hijau (Phaseolus radiatus L.). Kacang hijau mengandung
vitamin B1, B12, dan niacin.Sediakan 1 cangkir kacang hijau.
Setelah dicuci, campur dengan 2gelas minum air, rebus hingga
tersisa sekitar 3/4. Setelah suam-suam kuku, minumlah air rebusan
itu. Lakukan itu 2 kali sehari.
d. Rehabilitatif
Menjaga asupan bahan makanan yang kaya zat besi, B6, maupun
B12 serta tetap melakukan tindakan preventif walaupun sudah
merasakan perbaikan dari keluhan.
Pasien disarankan kontrol ulang ke puskesmas untuk melihat apakah
keadaanmembaik atau tidak.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan oxygen carrying capacity).Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted ironstore) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia
defisiensi besi ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan hasil
laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong. Anemia
defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai terutama di
negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat
berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi.1,2
2.2 Absorbsi Besi
2.2.1 Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi
heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan
ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-
heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan
bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung
(dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh
asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri
(Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.1,2,3
2.2.2 Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa
duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif
9
melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme
dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam
lambung. Pada brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak
vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi
besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin
dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB).
Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma,
sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan
melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses
ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara
lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh
apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan
dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang
kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1.
Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke
dalam lumen usus. Besar kecilnya besi yang ditahan dalam
enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh “set point”
yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta.
Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah
puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme
regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator
dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik.1,2,3
3 Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dan 2.1.3 Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus,
memasuki kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh
apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat
mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin
(transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, 10
terutama sel normoblas. Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir
pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated
pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk
endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom
sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1,
sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami
siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan
kembali.1,2,3
2.2 Etiologi
Tabel 2.1 Penyebab Defisiensi Besi4
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing
tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
11
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan
(asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau
dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi),
polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).
2.3 Patofisiologi
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang
negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut
terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit
tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai
irondeficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai
adalahpeningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam
eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total
ironbinding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin
dalamserum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis
semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi
(irondeficiency anemia).1,2,5
12
Tabel 2.2. Distribusi normal komponen besi pada pria dan wanita (mg/kg)3
Tabel 2.3. Perbandingan tahap keseimbangan zat besi yang negatif
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 1998. Recommendations to Prevent
and Control Iron Deficiency in the United States. Morb Mortal Wkly Rep; 47: 1-36.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia
(anemicsyndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobinkurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva
dan jaringan di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya sudah
disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan
tanda-tanda anemia akan jelas.
Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai
pada anemia jenis lain adalah (Bakta, 2006):
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh,bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip
13
sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
2.5 Pemeriksaan Penunjang
2.5.1 Laboratorium
1. Hemoglobin;Hemoglobin adalah parameter status besi yang
memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat
besi setelah anemia berkembang.1,2,5
2. Penentuan Indeks Eritrosit; Penentuan indeks eritrosit secara tidak
langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:1,2
Mean Corpusculer Volume (MCV); volume rata-rata eritrosit,
MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah,
dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan
indikator kekurangan zat besi yang spesifik setelah thalasemia dan
anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi
hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl,
mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH); MCH adalah berat
hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal
27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC); MCHC
adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan
hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan Sediaan Apusan Darah Tepi; Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, 14
bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan
flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology
flag.1,2
4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide =
RDW);Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah
merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan
parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan
variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis
yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari
besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah
bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari
kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin
dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.1,2,4
5. Eritrosit Protoporfirin (EP);EP diukur dengan memakai
haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah
dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap
lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah
serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya
dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan
terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei
populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.1,2,3
6. Besi Serum (Serum Iron = SI); Besi serum peka terhadap kekurangan
zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum
tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi
diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan
malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan
bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.1,2,3
15
7. Serum Transferin (Tf); Transferin adalah protein tranport besi dan
diukur bersama-sama dengan besi serum. Serum transferin dapat
meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.1,2,3
8. Transferrin Saturation (Saturasi Transferin); rasio besi serum
dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling
akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.Penurunan jenuh transferin
dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Saturasi transferin dapat
menurun pada penyakit peradangan. Saturasi transferin dapat diukur
dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi
total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh
plasma. Nilai normal saturasi transferin 25-50%, TIBC adalah 300-360
ng/dl.1,2,4
9. Serum Feritin; Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya
dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin
secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi.
Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap
sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin
menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada
pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis
kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita
dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita.
Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau
naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah
sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria
yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian
mensturasi dan melahirkan anak. Serum feritin adalah reaktan fase akut, 16
dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan,
penyakit hati, alkohol.1,2,3,4
2.5.2 Pemeriksaan sum-sum tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan
besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis
sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel
retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada
besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga
tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan
teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik
invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam
populasi umum.2,3,6
2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi, dapat dilakukan tiga
tahap. Tahap pertama menentukan ada tidaknya anemia dengan mengukur
kadar hemoglobin atau hematokrit. Tahap kedua memastikan ada tidaknya
defisiensi besi. Tahap tiga menentukan penyebab terjadinya defisiensi besi.
Pada tahap pertama dan kedua, anemia deifisiensi besi dapat ditegakkan
diagnosisnya dengan menggunakan kriteria: anemia hipokromik mikrositik
pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC 31% dengan salah satu
a, b, c, atau d.7
a. Dua dari tiga parameter: besi serum < 50 mg/dl; TIBC > 350 mg/dl; dan
saturasi transferin < 15%, atau
b. Feritin serum <20 mg/l, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan
cadangan besi (butirbutir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfat ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih
dari 2 g/dl. Kemudian pada tahap ketiga ditentukan penyebab dasar
defisiensi besi. Tahap ini adalah tahap yang paling rumit tapi sangat 17
penting. Pada pasien dewasa difokuskan mencari sumber pendarahan
dengan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Tabel 2.4 Derajat Anemia8
Tabel 2.5. Diagnosis Anemia Mikrositik4
2.7 Tatalaksana
Setelah diagnosis ditegakkan, maka dapat dilakukan pemberian terapi,
yaitu pemberian terapi kausal dengan memberikan terapi terhadap penyebab
pendarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, menorrhagia. Terapi ini
ditujukan untuk mencegah anemia kambuh kembali.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
dilakukan dengan pemberian terapi besi oral dimana terapi besi oral
merupakan pilihan pertama yang efektif, murah, dan aman. Preparat besi yang
tersedia adalah ferrous sulphat, ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous
lactate, dan furrous succinate.
Pemberian terapi oral seharusnya tidak dilakukan pada saat lambung
kosong yang lebih sering memberikan efek samping daripada diberikan
setelah makan. Efek samping yang utama adalah gangguan gastrointestinal
seperti mual, muntah, dan konstipasi yang biasanya mengganggu kepatuhan
18
pasien dalam menjalani terapi. Untuk mengurangi efek samping dapat
diberikan preparat besi setelah makan atau dosis pemberian preparat
dikurangi. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat
vitamin C tetapi efek samping meningkat. Cara lain dengan pemberian diet
yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi.
Selain terapi besi oral, terapi besi parenteral merupakan terapi yang sangat
efektif namun lebih beresiko dan lebih mahal. Indikasi pemberian terapi besi
parenteral: (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral, (2) kepatuhan
terhadap terapi sangat rendah, (3) gangguan pencernaan yang dapat kambuh
jika diberikan besi, (4) penyerapan besi terganggu, (5) kehilangan darah
sangat banyak sehingga tidak cukup diberikan besi secara oral, (6) kebutuhan
besi dalam jumlah besar dalam waktu pendek seperti kehamilan pada trimester
tiga, (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritroprotein pada
anemia akibat penyakit kronik. Terapi besi parenteral bertujuan untuk
mengembalikan kadar hemoglobin.
Pengobatan lain yang dapat diberikan berupa diet makanan bergizi dengan
protein yang tinggi terutama protein hewani, vitamin C diberikan 3 x 100 mg
per hari untuk meningkatkan absorpsi besi, dapat dilakukan transfusi darah
dengan jenis darah PRC (Packed Red Cell) dan dengan indikasi (1) adanya
penyakit jantung anemia dengan ancaman payah gantung, (2) anemia yang
sangat simtomatik dengan gejala yang mencolok, (3) pasien membutuhkan
peningkatan kadar hemoglobin dengan cepat.1,2,7,8
19
BAB III
ANALISIS KASUS
Hubungan anamnesis dan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan
sekitar:
Pasien tinggal di rumah permanen dengan lantai semen, dinding beton, dan
atap seng. Terdapat ruang tamu, ruang tengah, dapur yang masing-masing
dilengkapi jendela dan ventilasi. Terdapat 3 kamar tidur serta 1 kamar mandi.
Pencahayaan dan pertukaran udara di rumah pasien tergolong kurang baik.
Sumber air bersih berasal dari sumur, air minum dari air galon,sumber listrik
dari PLN.
Tidak ada hubungan antara keadaan rumah pasien dengan penyakit yang
diderita pasien.
Hubungan diagnosis dengan keluarga dan hubungan keluarga:
Pasien tinggal dirumah berdua bersama anak kedua pasien. Suami
pasien sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Sebagai sumber ekonomi,
pasien berjualan gorengan. Anak pertama pasien tinggal di Bungo, sudah
menikah dan sudah memiliki anak. Seminggu sekali anaknya tersebut
mengunjungi os dirumah. Anak kedua os bekerja di salah satu toko dan
belum menikah. Menurut os, tidak ada masalah dalam keluarganya dan
keharmonisan dalam keluarga baik.
Tidak ada hubungan antara keadaan pasien dengan hubungan keluarga
Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan
sekitar:
Pasien biasa makan 2-3 kali sehari dan sering tidak habis. Lauk yang dimakan
pun kurang beragam, yakni tahu, tempe, telur, dan ikan. Os jarang memakan
daging merah sebagai lauknya. Os juga sering meminum teh setelah makan
dan jarang mengkonsumsi buah buahan.
20
Ada hubungan,kebiasaan pasien yang makan sedikit, kurang mengkonsumsi
sumber zat besi heme maupun non-heme dapat menyebabkan defisiensi zat
besi terlebih lagi saat makan pasien sering menyelingi dengan minum teh
yang dapat mengganggu absorbsi zat besi non-heme.
Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien
ini:
Pasien mengaku kurang mengkonsumsi daging, ayam dimana kita ketahui
daging, ataupun ayam memiliki kandungan zat besi heme dengan bioavaibilitas
tinggi karena absorbsi zat besi heme tidak terhambat oleh berbagai jenis zat
penghambat terutama tanin yang terkandung dalam teh, juga zat penghambat
lain yang terdapat pada gandum atau pun sereal. Kurangnya mengkonsumsi
bahan makanan tersebut berakibat rendahnya intake zat besi heme dalam tubuh
yang pada akhirnya akan mengganggu eritropoiesis dan kemudian dapat
menyebabkan anemia.
Pasien jarang mengkonsumsi buah, khususnya yang mengandung vitamin c
seperti jeruk, mangga, dll yang dapat membantu proses absorbsi zat besi di
dalam duodenum sehingga absorbsi besi bisa terjadi secara maksimal.
Pasien juga sering menyelingi makan dengan minum teh, teh yang di dalamnya
mengandung tanin akan menghambat proses absorbsi zat besi non-heme di
duodenum, padahal kemungkinan besar intake zat besi pada pasien ini sudah
sedikit. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor risiko pasien
akhirnyamengalami anemia defisiensi besi.
Analisis untuk perbaikan anemia:
Melakukan pola makan yang teratur dengan bahan makanan yang kaya zat
besi, baik zat besi heme (daging, ayam, ikan, kerang dsb) maupun non-heme
(bayam, brokoli, kubis, tempe, tahu, wortel, sawi, kacang polong, paprika,
kurma, kacang merah, dsb) dengan jumlah yang adekuat, terutama saat dan
setelah menstruasi porsi makanan tersebut harus lebih banyak serta minum air
putih minimal 8 gelas sehari.21
Hindari makanan/minuman yang mengandung tanin (teh), kalsium, polifenol di
dalam kacang-kacangan dan biji-bijian (gandum, jagung, sereal) di antara
waktu makan dan segera setelah makan dimana zat tersebut dapat menghambat
penyerapan zat besi non-heme.
Mengkonsumsi vitamin c, jus atau buah yang mengandung vitamin c seperti
mangga atau jeruk setelah makan yang dapat meningkatkan penyerapan zat
besi.
Mengontrol stress dengan berpikir positif, diet sesuai dengan kebutuhan nutrisi,
istirahat cukup, tidur cukup, olahraga teratur.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyodi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Anemia Defisiensi
Besi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat
penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2007. 634-40.
2. Bakta IM. Hematologi Klinik. Jakarta: EGC. 2007. 26-39
3. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Kapita
Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC. 2005. 25-34
4. Lubis DA. Anemia Defisiensi Besi. Divisi Hemato-onkologi Dep. Penyakit
Dalam FK-USU/RSHAM. 2012
5. Muhammad A, Sianipar O. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit
Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1. Nov 2005: 915
6. Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U. Iron Deficiency
Anemia. Dalam: Williams Hematology. 6th edition. McGrawHill Medical
Publishing Division; p.447-70
7. Margina DS, Herawati S, Yasa IWP. Diagnosis Laboratorik Anemia
Defisiensi Besi. FK Udayana. 2011
8. Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Iron Deficiency Anemia. Dalam: BLOOD:
Principle and Practice Hematology. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2003. p.1399-433
23