Adaptasi lingkungan

5
Adaptasi lingkungan Daya Hidup di Pulau Gunung Api Hidup tak pernah mudah di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Tetes demi tetes air harus disuling dari uap panas bumi dan dari pohon pisang yang ditoreh batangnya. Itu belum seberapa, karena setiap jengkal tanah di Palue sejatinya adalah tubuh gunung api Rokatenda yang beberapa kali meledak. Oleh: Ahmad Arif/Ilham Khoiri Kesulitan hidup dan mara yang mengancam tak menciutkan nyali orang Palue. Selama ratusan tahun, mereka tinggal di pulau itu. Bergenerasi hingga sekarang sebanyak 9.990 warga menyesaki pulau gunung api yang hanya seluas …..ini. Masih pukul 8.00 pagi. Namun, matahari di akhir Mei 2012 itu terasa memanggang Kampung Poa, Desa Rokirole, Kecamatan Palue. Wihelmina Wea (40), berjalan di antara pipa-pipa bambu di ladang panas bumi yang menguarkan asap. Dia duduk di ujung salah satu pipa bambu dan menuangkan jeriken penuh berisi air ke dalam ember. Jeriken kosong kembali di taruh di mulut pipa bambu. Dan tetes air kembali mengisinya. “Nanti sore airnya bisa diambil lagi,” kata Wihelmina. Dalam sehari semalam, satu pipa bambu biasa menghasilkan sekitar 40 liter air. Keluarga Wihelmina memiliki dua pipa. Sejak ratusan tahun keluarga Wihelmina dan warga Kampung Poa menggantungkan hidup pada tetes air yang disuling dari ladang panas bumi. Ketiadaan sumber air bersih membuat mereka mencari cara lain. Pulau Palue yang tersusun dari batuan gunung api yang keras tidak bisa menyimpan air. Beberapa sumur yang dibuat pun airnya payau. “Memang tidak ada mata air di sini. Tapi, orang tua kami mewariskan cara mengambil air dari panas bumi,” kata Bonefasis Woko (40), tokoh masyarakat Poa. “Caranya mirip menyuling moke (minuman tradiisonal Flores yang dibuat dari pohon lontar).”

Transcript of Adaptasi lingkungan

Page 1: Adaptasi lingkungan

Adaptasi lingkungan Daya Hidup di Pulau Gunung Api

Hidup tak pernah mudah di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Tetes demi tetes air harus disuling dari uap panas bumi dan dari pohon pisang yang ditoreh batangnya. Itu belum seberapa, karena setiap jengkal tanah di Palue sejatinya adalah tubuh gunung api Rokatenda yang beberapa kali meledak.

Oleh: Ahmad Arif/Ilham Khoiri

Kesulitan hidup dan mara yang mengancam tak menciutkan nyali orang Palue. Selama ratusan tahun, mereka tinggal di pulau itu. Bergenerasi hingga sekarang sebanyak 9.990 warga menyesaki pulau gunung api yang hanya seluas …..ini.

Masih pukul 8.00 pagi. Namun, matahari di akhir Mei 2012 itu terasa memanggang Kampung Poa, Desa Rokirole, Kecamatan Palue. Wihelmina Wea (40), berjalan di antara pipa-pipa bambu di ladang panas bumi yang menguarkan asap. Dia duduk di ujung salah satu pipa bambu dan menuangkan jeriken penuh berisi air ke dalam ember.

Jeriken kosong kembali di taruh di mulut pipa bambu. Dan tetes air kembali mengisinya. “Nanti sore airnya bisa diambil lagi,” kata Wihelmina. Dalam sehari semalam, satu pipa bambu biasa menghasilkan sekitar 40 liter air. Keluarga Wihelmina memiliki dua pipa.

Sejak ratusan tahun keluarga Wihelmina dan warga Kampung Poa menggantungkan hidup pada tetes air yang disuling dari ladang panas bumi. Ketiadaan sumber air bersih membuat mereka mencari cara lain. Pulau Palue yang tersusun dari batuan gunung api yang keras tidak bisa menyimpan air. Beberapa sumur yang dibuat pun airnya payau.

“Memang tidak ada mata air di sini. Tapi, orang tua kami mewariskan cara mengambil air dari panas bumi,” kata Bonefasis Woko (40), tokoh masyarakat Poa. “Caranya mirip menyuling moke (minuman tradiisonal Flores yang dibuat dari pohon lontar).”

Pagi itu dia mempraktikkan cara mencari sumber panas bumi di sebuah halaman rumahnya. Dengan sebilah tongkat besi, dia berkali-kali menusuk-nusuk tanah dan memeriksa ujungnya. “Jika ujungnya panas, berarti ada panas bumi di titik itu,” katanya seraya mengelap keringat dengan kaosnya.

Tak lama mencari, dia menemukan sumber panas di sebuah tanah gundukan di antara titik-titik penyulingan uap panas lain. Dia gali titik itu dengan linggis sampai sedalam sekitar 50 centimeter. Asap dan uap panas mengepul dari lubang itu.

Dia siapkan bambu besar sepanjang sekitar dua meter dengan ujung runcing. Ujung itu ditancapkan ke lubang itu, dan ditimbun lagi dengan tanah. Salah satu ruas bambu dilubangi pada satu sisi. Uap masuk dalam bambu dan  mengepul keluar dari lubang itu.

Dia ambil sebatang bambu lain yg lebih panjang. Dinding ruas-ruas di dalamnya telah dilubangi sehingga bambu ini mirip pipa. Pangkal bambu itu dipasang di lubang di tengah bambu yang ditancapkan di atas panas bumi tadi. Ujungnya diarahkan ke bawah.

Uap panas bumi tadi naik, masuk dalam batang bambu besar, dan berubah

Page 2: Adaptasi lingkungan

menjadi air dan kemudian  mengalir pelan ke ujung bambu. Jeriken telah diletakkan di bawah ujung bambu yang meneteskan air. “Kalau panas buminya besar, satu jerigen itu bisa penuh dalam semalam,” katanya.

Di Kampung Poa, ada sekitar 100 titik penyulingan panas bumi. Dimulai sejak tahun 1960-an, teknologi suling sederhana itu ditemukan setelah berbagai uji coba.

“Lapangan ini tanah adat yang kami jaga agar kami bisa mendapat air minum,” kata Bonefasis Woko, yang juga menjadi  Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Rokirole.

Camat Rokatenda Laurensius Regi mengatakan, sumber panas bumi di Palue hanya ada di enam kampung. “Tak semua bisa pakai panas bumi,” katanya.

Air pisangTak semua kampung di Palue memiliki ladang panas bumi. Misalnya warga di

Desa Tuanggeo. Di desa ini, warga mmeiliki cara lain untuk memperoleh air, yaitu dengan mengorek batang pisang.

Bagian pangkal batang pisang dewasa dilubangi dengan parang sedalam sekitar 15 centimeter. Lubang itu dikorek-korek dengan sendok sampai keluar sedikit air yang menetes ke bawah.

Tetesan itu ditampung dengan batang bambu yang ruas-ruas di dalamnya sudah dibersihkan, mirip pipa penampung. Dalam sehari, satu batang pisang bisa mengeluarkan air sebanyak lima ruas batang bambu. Lumayan untuk membantu kebutuhan sehari-hari.

"Air pisang bisa kami masak untuk minum. Kalau terpaksa tak ada air, ini juga untuk mandi, sikat gigi, dan segala keperluan," kata Osta Metti, warga Desa Tuanggeo.

Mandi saat kemarau panjang di Desa Tuanggeo dilakukan dengan mengelap-ngelap badan dengan air pisang sampai bersih. Bukan dengan mengguyur seluruh tubuh dengan air. Maklum, air terbatas.

Semua itu menggambarkan, bagaimana warga Pulau Palue bertahan hidup di tengah keterbatasan. Pulau dari Gunung Rokatenda  yang menyembul di tengah laut Flores itu memang tak punya sumber air tawar. Sedalam apa pun digali, tak ada air yang keluar. Itu memaksa warga memutar otak dan memanfaatkan persediaan alam yang ada.

Larangan menanam padiTak hanya dalam mencari air, warga Palue juga memiliki kebijakan dalam

bercocok tanam. Peraturan adat mengharamkan warganya menanam padi. “Kalau ada yang berani tanam padi akan terjadi bencana di Palue,” kata Petrus Fidelis Cawa (70), tokoh adat Palue.

Konon, menurut kisah Petrus, nenek moyang mereka adalah Mboja Roja, sepasang suami istri dari ende. Dalam pelayaran menuju Palue, bekal air di dalam buli-buli tumpah. Hanya tersisa sedikit air tawar. Saat pertama kali tiba di Palue, mereka juga tidak membawa padi, hanya jagung, ubi, dan kacang-kacangan. “Seandainya mboja Roja membawa padi dan air di buli-buli tidak tumpah, bolehlah kita menanam padi,” katanya. “Tetapi, nenek moyang kita tiba di sini tanpa air dan padi. Kita sekarang harus hidup dengan yang ada di sini.”

Alam di Palue sepertinya memang tidak cocok dengan padi. Jika dipaksakan, kemungkinan gagal panen padi bisa berisiko menimbulkan kelaparan. “Makanan pokok

Page 3: Adaptasi lingkungan

kami di sini singkong, pisang, kacang hijau, dan jagung. Kalau mau makan nasi, beli dari luar,” kata Petrus.

Dengan kebijakan pangan lokal, dan teknik menyuling air dari panas bumi serta pohon pisang, warga di pulau gunung api itu sanggup bertahan melintasi zaman... (Amir Sodikin/Samuel Oktora)

Air dari sulingan uap panas bumi atau dari batang pisang sangat membantu saat kemarau, biasanya belangsung sejak Agustus sampai November. Hingga tahun 1980-an, teknologi ini masih menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan air di pulau itu. Sejak 1990-an, masyarakat mulai mengenal bak penampungan air hujan.

Sekretaris Camat Palue, Martin Luther Adji, menjelaskan, pada awalnya, ada beberapa bak percontohan hasil  bantuan Yayasan Dian Desa. Bak itu kemudian dikembangkan lebih massal dengan tambahan modal dari dana alokasi desa. Pada tahun 2011, sudah ada 750 bak di pulau itu.

Pada musim hujan, yang datang sejak akhir tahun, bak-bak besar dari semen itu sangat berguna. Bak-bak itu diletakkan di bawah atap rumah sehingga bisa mewadahi air hujan yang turun sampai 5.000 liter. Air itu ditutup rapat sehingga tidak terkena kotoran atau sinar matahri.

"Air bak dapat disimpan dari Desember sampai Juli. Setelah itu, Agustus sampai November, kami kembali mengandalkan air dari sulingan panas bumi dan dari batang pisang," kata Martin Luther Adji.

Dengan kondisi seperti itu, masyarakat sangat menjaga lahan yang diketahui memiliki panas bumi. Biasanya itu lahan adat yang tidak bisa diperjual-belikan dan dimanfaatkan secara bersama-sama. Setiap keluarga di pulau itu juga menanam pisang di kebun atau sekitar rumah.

"Hidup sini tidak mudah. Kami harus berjaga untuk segala kemungkinan," kata Camat Pulae, Lauren Susregi.

Salah satu kemungkinan itu adalah ancaman letusan Gunung Rokatenda itu sendiri. Saat terik matahari siang kian menyengat, kami kembali naik perahu nelayan untuk menuju Pelabuhan Ropa, Kabupaten Ende. Gunung yang menjadi pusat di pulau itu tampak gagah berdiri di tengah lautan, menyimpan gelegak vulkanik yang sewaktu-waktu bisa meledak.