Adaptasi CCR untuk Penanganan Banjir BMA
Click here to load reader
-
Upload
mizan-bustanul-fuady-bisri -
Category
Documents
-
view
273 -
download
0
description
Transcript of Adaptasi CCR untuk Penanganan Banjir BMA
ADAPTASI KONSEP COASTAL COMMUNITY RESILIENCE
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI
WILAYAH METROPOLITAN BANDUNG
Mizan Bustanul Fuady
Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Desa, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132,
Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Konsep Coastal Community Resilience : A Guide For Evaluating Coastal Community Resilience
to Tsunami and Other Hazards yang dikembangkan bersama dalam US-Indian Ocean Tsunami
Warning System Program di tahun 2007 adalah hasil diskursus ilmiah untuk memperluas
perspektif sektoral penanggulangan bencana ke dalam suatu pola pikir komprehensif yang mampu
menjadi landasan bagi perencanaan pembangunan yang lebih baik. Konsep ini secara lengkap
mengkaji 8 (delapan) aspek yang merefleksikan karakteristik resiliensi suatu masyarakat meliputi
aspek kepemerintahan, sosial ekonomi, manajemen sumberdaya pesisir, guna lahan dan rancangan
struktural, pengetahuan atas resiko bencana, peringatan dini dan evakuasi, tanggap darurat, serta
pemulihan. Kedelapan aspek resiliensi tersebut kemudian dilihat keberjalanannya di dalam
masyarakat atas empat kapasitas inti yang meliputi kapasitas kebijakan dan perencanaan, kapasitas
sosial kultural, kapasitas fisik lingkungan, serta kapasitas teknis dan pembiayaan.
Makalah ini menyajikan usulan adaptasi konsep tersebut di dalam konteks penanggulangan
bencana banjir di Wilayah Metropolitan Bandung (BMA). Seperti kita ketahui bahwa persoalan
banjir di BMA adalah persoalan lintas sektoral yang membutuhkan pendekatan holistik dalam
upaya pemecahannya. Hasil uji coba menunjukkan bahwa konsep ini memberikan suatu
keunggulan untuk menjawab kebutuhan tersebut, memberikan solusi, dan dapat dilakukan pada
berbagai tingkatan persoalan banjir di BMA, mencakup tingkat kewilayahan, daerah kota dan
kabupaten, serta komunitas. Namun demikian tetap ditemukan perlunya penyesuaian dalam
beberapa aspek resiliensi, seperti aspek manajemen sumberdaya pesisir menjadi manajemen
lingkungan, serta detail tolok ukur resiliensi.
Kata kunci: resiliensi, tsunami, banjir, Wilayah Metropolitan Bandung
Abstract
The concept of Coastal Community Resilience : A Guide For Evaluating Coastal Community
Resilience to Tsunami and Other Hazards developed by US-Indian Ocean Tsunami Warning
Program in 2007 was a scientific discourse result to broaden disaster management sectoral point of
view into a more holistic one for better development plan. This concept consist eight elements to
define coastal community resilience characteristic which are governance, social and economy,
coastal resource management, land use and structural design, risk knowledge, early warning and
evacuation, emergency response, and recovery. Thus eight elements then being checked its
conditions through four core capacities which are planning and policy, social, physical and natural,
as well as technical and financial capacity.
This paper aims was to determine necessity for adapting the concept in the context of flood
management in Bandung Metropolitan Area. As we know flood management issues is still being a
delicate challenge, that needs holistic and integrated actions among sectors. By doing extensive
literature comparation and content analysis to measure appropriateness of the concept to the flood
issue, it was then known that the concept itself can be adapted. The result shows that the holistic
apporach from the concept can be reliable for overcoming the flood risk in Bandung Metropolitan
Area. However there are still some necessity of improvement such as changes for coastal resource
management into river area resource management and benchmark details for each elements.
Keyword: resilience, tsunami, flood, Bandung Metropolitan Area
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tantangan dan kejadian bencana dewasa ini terjadi sejalan dengan perubahan
paradigma mengenai konsep bencana itu sendiri. Jika secara tradisional
kebanyakan orang beranggapan bahwa bencana semata terkait dengan azab dari
Tuhan terhadap tingkah laku manusia, maka kini resiko bencana telah dipandang
dalam konsep yang lebih luas. UNSIDR (2004) mendefinisikan bahwa resiko
bencana adalah fungsi atas suatu proses resiko, hal tersebut merupakan hasil dari
kombinasi atas bahaya, kondisi kerentanan, dan tidak cukupnya kapasitas atau
ukuran dalam mengurangi kemungkinan negatif atas hasil dari suatu resiko.
Sementara itu model The Enhanced Pressure-Release Model (Blaike, 1994) yang
membagi karakteristik kerentanan ke dalam akar kerentanan, tekanan dinamis, dan
kondisi rentan, memberikan peluang bahwa penanggulangan bencana dapat sangat
memiliki banyak variabel yang pada intinya dapat direkayasa sedemikian
sehingga resiko bencana dapat diminimalisir.
Perubahan paradigma tersebut telah membawa pemahaman bahwa resiko bencana
perlu dikelola secara lebih menyeluruh dan mengubah paradigma tindakan
tanggap darurat semata dengan juga melakukan tindakan mitigasi bencana.Secara
global hal ini banyak ditandai melalui komitmen multilateral di dalam Hyogo
Framework of Approach (2005) secara internasional, penerbitan UU 24/2007
mengenai penanggulangan bencana atau RAN Penanggulangan Bencana secara
nasional, penerbitan Perda Jawa Barat mengenai Penanggulangan Bencana dan
pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Jawa Barat, secara provinsial, dan
sebagainya.
Namun demikian, dalam konteks yang lebih kasuisitis masih cukup banyak
dijumpai kurangnya penanggulangan resiko bencana yang lebih komprehensif.
Beberapa pandangan juga tidak dapat disalahkan bahwa penanggulangan bencana
yang bertipe sudden onset seperti gempa bumi atau tsunami tentu akan kewalahan
apabila diselesaikan melalui pendekatan yang terlalu menyeluruh. Akan tetapi
dalam konteks resiko yang dapat bertipe slow onset atau sudden onset seperti
banjir sewajarnya dapat dilakukan.
Dalam kasus penanggulangan resiko banjir di Wilayah Metropolitan Bandung
(BMA), upaya penyelesaian secara holistik belum sepenuhnya optimal. Catatan
kejadian banjir di BMA diantaranya ialah banjir besar di tahun 1986, 1994, 2001,
dan 2005 yang karakteristiknya tercatat dengan baik oleh Balai Besar Wilayah
Sungai Citarum (BBWSC); adapun dari sejak tahun 2006 sampai dengan 2010
terjadi banjir setiap tahun dengan catatan kejadian yang kurang optomal namun
secara kasat mata terlihat dampak kerugian dan faktor kerentanannya (Kusuma,
2010). Salah satu upaya yang dilakukan oleh beberapa stakeholder di BMA adalah
dengan menginisiasi Roadmap Penanggulangan Banjir Bandung pada tahun 2010.
Kesadaran bahwa hal tersebut perlu dilakukan lintas sektoral telah dan sedang
dilakukan, namun demikian yang lebih penting lagi ialah adanya suatu framework
holistik dasar yang mampu menjadi landasan bagi kontribusi lintas sektoral
tersebut.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah memberikan rekomendasi adaptasi konsep Coastal
Community Resilience (CCR) untuk dapat menjadi salah satu alternatif framework
umum penanggulangan banjir di Wilayah Metropolitan Bandung.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka-kualitatif yang secara intensif
mengkaji kesusaian dan kebutuhan adaptasi dari konsep Coastal Community
Resilience untuk dapat menjadi framework penanggulangan bencana banjir di
Wilayah Metropolitan Bandung. Pengumpulan data dilakukan melalui desk study
untuk mendalami konsep CCR lebih lanjut, perbandingan pustaka dengan konsep
manajemen bencana dan resiliensi lainnya, serta identifikasi karakteristik resiko
bencana banjir di BMA. Di samping itu, wawancara kepada beberapa aktor yang
terlibat di dalam penyusunan Roadmap Penanggulangan Banjir Bandung juga
dilakukan.
Adapun prosedur analisis yang dilakukan pada dasarnya mengikuti prosedur
analisis kualitatif yang umum ditempuh, meliputi reduksi data (data reduction),
penyajian data (data display), serta pengambilan kesimpulan (conclusion
drawing) (Miles dan Huberman, 1992:20). Di samping itu pada dasarnya
dilakukan content analysis terhadap konsep CCR serta berbagai hasil studi yang
memungkinkan perbandingan terhadap makna dan substansi konsep CCR untuk
diterapkan dalam konteks resiko banjir di BMA. Content Analysis adalah metode
analisis terhadap muatan dari sebuah teks, yang dapat berbentuk kebijakan, studi,
atau bahkan produk media massa. Content Analysis berusaha memahami data
bukan sebagai kumpulan perisiwitwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk
mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah teks, dan memeroleh
pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Tinjauan Umum mengenai Konsep Coastal Community Resilience
Konsep CCR yang dikembangkan bersama dalam US-IOTWSP di tahun 2007
adalah hasil diskursus ilmiah untuk memperluas perspektif sektoral
penanggulangan bencana ke dalam suatu pola pikir komprehensif yang mampu
menjadi landasan bagi perencanaan pembangunan yang lebih baik. Konsep ini
secara lengkap mengkaji 8 (delapan) aspek yang merefleksikan karakteristik
resiliensi suatu masyarakat meliputi aspek kepemerintahan, sosial ekonomi,
manajamemen sumberdaya pesisir, guna lahan dan rancangan struktural,
pengetahuan atas resiko bencana, peringatan dini dan evakuasi, tanggap darurat,
serta pemulihan.
Kedelapan aspek tersebut pada dasarnya memiliki urgensinya masing – masing di
dalam pembangunan resiliensi. Aspek sosial ekonomi, manajemen sumberdaya
pesisir, serta guna lahan dan rancangan struktural merupakan unsur pembangun
resiliensi yang memerlukan perencanaan dan implementasi jangka panjang. Aspek
pengetahuan atas resiko bencana, peringatan dini dan evakuasi, tanggap darurat,
serta pemulihan merupakan aspek yang ditekankan kepada orientasi terhadap
kejadian bencana itu sendiri. Adapun aspek kepemerintahan merupakan aspek
yang menjadi landasan untuk memungkinkan aspek – aspek lainnya berjalan dan
membangun resiliensi terhadap resiko bencana. Di samping itu, perlu disadari
pula bahwa kedelapan aspek tersebut adalah representasi dari unsur – unsur
konsep pengembangan komunitas, manajemen pesisir, serta manajemen bencana.
Banyaknya aspek resiliensi yang dikaji juga menunjukkan bahwa konsep tersebut
juga sejalan dengan definisi resiliensi yang menyeluruh yakni mencakup kapasitas
untuk mengurangi stres/resiko/kerusakan akibat bencana, kapasitas untuk
mempertahankan fungsi dan struktur vital pada saat bencana, serta kapasitas untuk
memulihkan pasca bencana (Twigg,2007).
Analisis terhadap resiliensi kemudian dilanjutkan dengan pendalaman
karakteristik kedelapan aspek resiliensi tersebut ke dalam empat klasfikasi
kapasitas. Klasifikasi tersebut didasarkan kepada konsep TOSE, mencakup
Technical, Organizational, Societal, dan Economic (Bruneau et al. 2003); yakni
terdiri atas kapasitas kebijakan dan perencanaan, sosial dan kultural, fisik dan
alam, serta teknis dan pembiayaan. Tolok ukur dalam kapasitas kebijakan dan
perencanaan melihat bagaimana keadaan kondisi/sistem yang memungkinkan
dilakukannya pembangunan resiliensi. Kapasitas fisik dan lingkungan
menitikberatkan pada keadaan infrastruktur atau sumberdaya pesisir yang
mendukung keberadaan resiliensi. Tolok ukur pada kapasitas sosial dan kultural
menekankan dalam saling kebergantungan dalam masyarakat yang dapat
didapatkan melalui jaringan, norma – norma, ataupun pendidikan. Adapun
kapasitas teknis dan pembiayaan berkaitan dengan keberadaan sumberdaya
tersebut untuk dapat dilaksanakannya usaha penguatan resiliensi.
Gambar 1. Aspek Resiliensi di dalam Konsep Coastal Community Resilience
3.2 Analisis Kesesuaian dan Kebutuhan Adaptasi untuk Konteks Banjir Wilayah
Metropolitan Bandung
Persoalan bencana banjir di Wilayah Metropolitan Bandung (BMA) memiliki
catatan yang cukup panjang dan sampai saat ini belum benar – benar dilakukan
solusi menyeluruh. Bencana banjir di BMA pada dasarnya terkait dengan
keberadaan Wilayah Sungai Citarum. Pada tahun 1986 banjir di BMA seluas
7.450 Ha terjadi pada saat belum dilakukannya program normalisasi Sungai
Citarum, kemudian pada tahun 1994 terjadi lagi banjir setelah adanya program
normalisasi seluas 5.100 Ha, pada tahun 2001 genangan banjir mengecil menjadi
3.200 Ha seiring dengan kemajuan program, pada tahun 2003 luasan genangan
menjadi 820 Ha, namun demikian memasuki tahun 2005 luas genangan banjir
kembali membesar menjadil 1.119 Ha, dan seterusnya terjadi setiap tahun dari
2006 sampai 2010 dengan data luas genangan dan kerugian yang belum bisa benar
– benar dihitung (Kusuma, 2010).
Dalam pandangan penulis, adaptasi terhadap konteks resiko banjir di BMA perlu
untuk dilakukan terutama sebagai alat untuk memulai pekerjaan lintas sektoral
seperti Roadmap Penanggulangan Banjir yang akan disusun oleh Institut
Teknologi Bandung (ITB), rencana penanggulangan banjir oleh Pemerintah
Provinsi, Kota/Kabupaten, ataupun BBWSC, serta sebagai alat evaluasi bersama
berbagai pemangku kepentingan terkait banjir di BMA. Berbagai tindakan
penanggulangan yang ada baik engineering maupun non engineering perlu diikat
dengan suatu mekanisme lintas aspek agar perkembangan penguatan resiliensi di
sekitar Wilayah Sungai Citarum di BMA dapat terukur. Hal ini sejalan dengan
kebutuhan untuk mengikat peran serta/kontribusi para pemangku kepentingan
terhadap resiko bajir (Kusuma, 2010) ataupun dapat terjawabnya kebutuhan
perimbangan antara functional planning dan behavioral planning untuk konteks
banjir BMA (Syabri, et. Al 2010) dengan penggunaan konsep CCR. Konsep CCR
sendiri secara terperinci dalam berbagai aspek dan kapasitas menuntut adanya
partisipasi untuk mendorong perimbangan tersebut dapat terjadi.
Di sisi lain, adaptasi konsep CCR juga akan menuntut adanya pengetahuan atas
resiko banjir yang ada secara menyeluruh, dengan demikian kombinasi antara
pemahaman Pemerintah, pandangan akademisi/peneliti, serta masyarakat dengan
sendirinya akan terjadi. Untuk konteks yang lebih lanjut penggunaan metode
seperti pemetaan resiko bencana berbasis geospasial yang memungkinkan suatu
model yang multiguna, berbasis SIG, dan sistem pendukung keputusan
(Wikantika et. al, 2005) juga akan berkembang di bawah payung konsep CCR.
Penyesuaian yang perlu dilakukan dalam peluang adaptasi konsep CCR dalam
aspek manajemen lingkungan pesisir menjadi manajemen lingkungan wilayah
sungai. Hal ini dapat dilakukan mengingat potensi bahaya banjir BMA perlu
memerhatikan Satuan Wilayah Sungai Citarum yang dikelola oleh BBWSC dan
terintegrasi dengan pengelolaan waduk kaskede Jatiluhur, Saguling, dan Cirata
(Kusuma, 2010). Penyesuaian ini juga termasuk penyesuaian dalam keempat
kapasitas manajemen lingkungan wilayah sungai, mencakup kapasitas kebijakan
dan perencanaan, sosial, fisik dan lingkungan, serta teknis dan pembiayaan.
Hal tersebut di atas dengan sendirinya akan merubah aspek pengetahuan terhadap
resiko sebagai salah satu aspek resiliensi. Aspek ini yang sebelumnya
memerimbangkan resiko bencana pesisir, berubah menjadi secara spesifik hanya
mengenai resiko banjir. Aspek pengetahuan terhadap resiko banjir perlu kemudian
ditindaklanjuti dengan penguatan kapasitas kebijakan untuk mengkaji resiko
banjir secara berkesinambungan, memastikan resiko banjir dipahami dan
dikembangkan secara partisipatif oleh masyarakat, serta dilakukan secara
komprehensif. Kajian resiko menentukan sebagai landasan bagi perencanaan,
adapun perencanaan yang baik dapat efektif menjadi alat untuk mengurangi
kerentanan (King, 2006).
Pengembangan pengetahuan terhadap resiko banjir, di dalam adaptasi konsep
CCR, juga memungkinkan kajian skenario resiko baik dalam satu kesatuan
wilayah sungai, setiap kota/kabupaten, ataupun tingkat komunitas. Hal ini
kemudian dapat menjadi landasan untuk adaptasi aspek peringatan dini, tanggap
darurat, serta pemulihan di dalam konteks resiliensi. Tolok ukur ketiga aspek
tersebut secara relatif dapat diperbandingkan dengan keberadaan keempat
kapasitas yang ada untuk ketiga aspek tersebut dalam pengukuran tingkat
resiliensi terhadap resiko banjir BMA. Sebagai contoh, apabila dalam konteks
resiko banjir di tengah komunitas tertentu di BMA, maka aspek peringatan dini
serta tanggap darurat dalam kapasitas sosial dan kultural menjadi sangat
menentukan. Sebaliknya dalam konteks resiko secara keseluruhan wilayah sungai,
maka aspek peringatan dini dan tanggap darurat dalam kapasitas kebijakan dan
perencanaan serta kapasitas teknis dan pembiayaan menjadi menentukan.
4. Kesimpulan
Penanggulangan resiko bencana pada umumnya, termasuk banjir, yang
melibatkan lintas sektor, pemangku kepentingan, serta wilayah administrasi
memerlukan suatu kerangka yang komprehensif. Adaptasi terhadap konsep CCR
memungkinkan hal tersebut dilakukan untuk konteks penanggulangan resiko
bencana banjir di Wilayah Metropolitan Bandung yang terdiri atas beberapa
kabupaten/kota. Penggunaan hasil adaptasi konsep CCR dapat dilakukan dalam
inisiatif – inisiatif awal untuk mengikat peran dan tanggung jawab berbagai
pemangku kepentingan penanggulangan banjir di BMA serta sebagai perangkat
evaluasi untuk mengukur tingkat resiliensi masyarakat/wilayah terhadap resiko
banjir tersebut.
Adaptasi terhadap konsep CCR untuk konteks penanggulangan banjir di BMA,
memerlukan penyesuaian di dalam aspek manajemen lingkungan pesisir menjadi
manajemen lingkungan wilayah sungai serta aspek pengetahuan atas resiko
bahaya pesisir menjadi pengetahuan atas resiko bencana banjir. Hal tersebut juga
diikuti penyesuaian terhadap tolok ukur pada keempat kapasitas inti untuk
mengukur mengukur kinerja resiliensi setiap aspek. Dengan demikian kedelapan
aspek resiliensi yang telah disesuaikan serta tolok ukur pada keempat kapasitas
inti dapat menjawab tingkat resiliensi terhadap resiko banjir yang mencakup
kapasitas untuk mengurangi dampak banjir, kapasitas untuk mempertahankan
fungsi inti selama bencana banjir, serta kapasitas untuk memulihkan pasca banjir.
Lampiran
(A.1) Aspek Resiliensi Hasil Adaptasi Konsep CCR
(A.2) Tolok Ukur Kapasitas Inti Resiliensi Hasil Adaptasi Konsep CCR
Elemen
Resiliensi
Tolok ukur
Kapasitas
Kebijakan dan
Perencanaan
Kapsitas
Fisik dan
Alam
Kapasitas
Sosial dan
Kultural
Kapasistas
Teknis dan
Finansial
Kepemerintahan
A.1 Kebijakan,
perencanaan, dan
program –
program
pengembangan
masyarakat
diimplementasikan
dan dimonitor
melalui cara – cara
yang partisipatif
A.2 Pelayanan
dasar (seperti
air bersih,
transportasi,
keamanan,
dll) dapat
diakses oleh
seluruh
lapisan
masyarakkat
A.3 Mekanisme
partisipasi dan
kolaborasi
diantara
berbagai sektor
dan lapisan
kepemerintahan
terjadi dan
dilakukan untuk
mengelola
resiliensi
A.4 Mekanisme
dukungan teknis
dan pembiayaan
dilakukan secara
transparan,
akuntabel, dan
tersedia untuk
mendukung
rencana aksi
masyarakat
Sosial dan
Ekonomi
B.1 Kebijakan dan
rencana
pembangunan
membangun
modal sosial dan
kemampuan untuk
menciptakan
diversifikasi
penghidupan dan
kemandirian
B.2 Karakter
ekonomi lokal
(penghidupan)
beragam dan
berkelanjutan
B.3 Jejaring
sosial dan
kultural
mendukung
kemandirian
masyarakat dan
ada kapasitas
untuk memberi
dukungan
terhadap area
banjir
B.4 Terdapat
sumberdaya
teknis dan
pembiayaan
yang
memungkinkan
stabilitas,
mengurangi
kerentana, dan
mempercepat
penyelamatan
Manajemen
Lingkungan
Wilayah Sungai
C.1 Kebijakan dan
perencanaan
diimplementasikan
dan dimonitor
untuk mengelola
sumberdaya alam
di lingkungan
wilayah sungai
secara efektif
C.2 Habitat
wilayah
sungai yang
sensitif,
dilindungi dan
dikendalikan
untuk
mengurangi
resiko banjir
C.3 Masyarakat
secara aktif
terlibat dalam
perencanaan dan
implementasi
manajemen
lingkungan
wilayah sungai
C.4 Masyarakat
dan pemerintah
setempat ikut
berinvestasi
pada
manajemen dan
konservasi
untuk menjaga
keberlanjutan
lingkungan
sungai
Guna Lahan
dan Rancangan
Struktural
D.1Kebijakan
guna lahan dan
standar bangunan
yang relevan
untuk mengurangi
resiko
diberlakukan,
dimonitor, dan
diberi kekuatan
pengendalian
D.2
Infrastruktur
penting
berada di luar
lokasi
beresiko
tinggi dan
dibangun
dengan
konstruksi
untuk
mengurangi
kerusakan
akibat banjir
D.3
Pengembang
dan masyarakat
mempertimbang
kan
pengurangan
resiko bencana
ke dalam
pertimbangan
lokasi dan
rancangan
struktur
D.4 Pendidikan
dan pelatihan
dilakukan untuk
meningkatkan
penerapan
kebijakan guna
lahan dan
standar
bangunan
Pengetahuan
atas Resiko
Banjir
E.1 Penilaian
terhadap resiko
banjir dilakukan
dengan skala yang
dibutuhkan
masyarakat dan
diperbaharui
secara rutin
E.2 Penilaian
terhadap
resiko banjir
dilakukan
komprehensif
(mencakup
seluruh aspek
resiliensi )
E.3 Masyarakat
terlibat dalam
proses penilaian
resiko bencana
E.4 Informasi
mengenai
penilaian atas
resiko bencana
dapat diakses
oleh masyarakat
dan pemerintah
setempat
Peringatan Dini
dan Evakuasi
F.1 Kebijakan dan
prosedur
peringatan dini
berbasis
masyarakat dan
sistem evakuasi
mampu
memberikan
peringatan tepat
pada waktunya
F.2 Terdapat
peringatan
dini berbasis
masyarakat
dengan
kondisi yang
baik
F.3 Masyarakat
siap untuk
merespon
peringatan dini
dengan tindakan
yang tepat
F.4 Terdapat
sumberdaya
teknis dan
pembiayaan
untuk menjaga
kondisi sistem
peringatan dini
dan evakuasi
Tanggap
Darurat
G.1 Terdapat
pembagian peran
dan tanggung
jawab yang
memungkinkan
tindakan pada
setiap level
masyarakat
G.2 Terdapat
pelayanan
penyelamatan
dan
pertolongan
dasar
G.3 Kegiatan
kesiapan
(latihan dan
simulasi)
dilakukan dan
sekaligus
mendidik
masyarakat
G.4 Organisasi
dan sukarelawan
didukung oleh
sumberdaya
teknis dan
pembiayaan
untuk kegiatan
tanggap darurat
Penyelamatan
pasca Bencana
H.1 Rencana
penyelamatan
telah didefinisikan
dan mencakup
bidang ekonomi,
lingkungan, dan
sosial masyarakat
H.2 Proses
penyelamatan
pasca bencana
dimonitor,
dievaluasi,
berkala
H.3 Mekanime
koordinasi di
tingkat local dan
regional siap
untuk periode
penyelamatan
H.4 Terdapat
sumberdaya
teknis dan
pembiayaan
untuk proses
pemulihan
Daftar Acuan
[1] Asian Disaster Preparedness Center, Disaster Risk Management in Asia,
Bangkok, 2005, p.10
[2] Ben Wisner, Piers Blaike, Terry Canon, Ian Davis, At Risk : Natural Hazards,
People’s Vulnerability, and Disasters Second Edition, Routledge, New York,
1994, p.51
[3] M. Syahril B. Kusuma, Pengendalian Banjir Bandung, Paparan Paparan Forum
Diskusi Penyusunan Roadmap Kontirbusi ITB Pengendalian Banjir Bandung
Selatan, 2010
[4] Miles M.B, Huberman A.M, Qualitative Data Analysis 2nd Edition, Sage
Publications, Thousand Oaks, p.20
[5] US Indian Ocean Tsunami Warning System Program, How Resilient is Your
Coastal Community – A Guide For Evaluating Coasta Community Resilience to
Tsunamis and Other Hazards, Bangkok, 2007, p.I-3
[6] J. Twigg, Characteristics of A Disaster-Resilient Community : A Guidance
Note, DFID Disaster Risk Reduction, 2007, p.5
[7] Bruneau, M., Chang S., Eguchi RT, Lee, G.C., O’Rourke, T.D., Reinhorn,
A.M.,Shinozuka M., Tierney K., Wallace, W. and D. von Winterfeldt. 2003. A
Framework to Quantitatively Assess and Enhance the Seismic Resilience of
Communities. Earthquake Spectra, Volume 19, no 4, pages 733–752.
[8] I. Syabri, D. Sujarto, B. Kombaitan, Pengendalian Pemanfaatan Ruang Banjir
Bandung Selatan : Kepedulian dan Peran ITB, Paparan Forum Diskusi
Penyusunan Roadmap Kontirbusi ITB Pengendalian Banjir Bandung Selatan,
2010
[9] K. Wikantika, I. Sadisun, Pemetaan bencana Berbasis (Geo)Spasial :
Fenomena Banjir Bandung Selatan, Paparan Forum Diskusi Penyusunan
Roadmap Kontirbusi ITB Pengendalian Banjir Bandung Selatan, 2010
[10] D. Paton, D. Johnston, D. King, Disaster Resilience An Integrated Approach,
Charles C Thomas Publisher, Illinois, 2006, p.291