AcehMagazine Ed-4

29
EDISI MARET 2006 Rp 5.000 www.acehmagazine.com ACEH MAGAZINE Lugas Memaknai Realitas Benarkah Tak Merdeka Lagi? Benarkah Tak Merdeka Lagi? Mobil Mewah di Sarang Tsunami > Cambuk tak Melanggar HAM >

Transcript of AcehMagazine Ed-4

EDISI MARET 2006Rp 5.000

www.acehmagazine.com

ACEHMAGAZINE

Lugas Memaknai Realitas

BenarkahTak MerdekaLagi?

BenarkahTak MerdekaLagi?

Mobil Mewah di Sarang Tsunami>Cambuk tak Melanggar HAM>

�Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE �

daftar isi

Agar Merdeka tak Lagi DikumandangkanRancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang tidak aspiratif akan membangkitkan gelombang perlawanan terhadap Indonesia. Seratus tokoh Aceh ber-temu untuk mengantisipasi kegagalan rancangan itu.

Penerbitan ini didukung oleh:

DAMAI INIHARUS KITA JAGA

DAN RAWAT SELALU

agar tak layusetelah tumbuhdan berkembang

DAMAI INIHARUS KITA JAGA

DAN RAWAT SELALU

6

Kalau Anjing BercelanaAnjing jangan diberi celana. Hewan itu kencing dan buang air besar sem-barangan, lari ke mana-mana, dan sering menerobos pagar. Bila sudah bercelana, tentu ada maksud menge-labui.

46

Design SampulEdi I.P

FotoHotli Simanjuntak

Bila Tsunami Datang LagiBila gempa bumi terlihat mempu-nyai potensi tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan peringatan. Mungkinkah dapat sela-mat?

Apa Siapa 50Interview 28Humor 49Kartun 3Kabar Aceh 44Kisah 40Liputan Khusus �2Peringatan Dini 2�Surat 4Tahukah Anda 23

21

AM: HOTLI SIMANJUNTAK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 20062 3Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 3

ACEH MAGAZINELugas Memaknai Realitas

www.acehmagazine.com

Pemimpin Umum/RedaksiFairus M Nur Ibrahim

Redaktur SeniorMurizal Hamzah

Redaktur PelaksanaFakhrurradzie

RedakturHilmi, Maimun Saleh, Zakaria

Sidang RedaksiJeliteng Pribadi

Misran NirtoSaifuddin BantasyamSekretaris Redaksi

Yunisar RusliPemimpin Usaha

Boy MuliawanManajer ProduksiIwan Setiawan D

Manajer IklanMuhammad RidhaManajer Sirkulasi

Miza Irantoni

KeuanganEka Rury NofikaDesain Grafis

Edi IP, S.A .AminKartunis/Ilustrator

Mulyadi, YudiInformasi Teknologi

KusnandarLitbang/Dokumentasi

Mia DWartawan

Eva Magdalena, Evi RositaIdrus, Haniatul HasanahMuhammad Ali, Nadya Nizwar, Rizky Fachrizal,

Yusni Zahara, Yusra JamaliKonsultan MediaYarmen Dinamika

AlamatRedaksi/Sirkulasi/PemasaranJalan Prada Utama No. 111

Kp. Pineung, Banda Aceh, NADTelepon (0651) 7412594, 7410400E-mail [email protected] Iklan/Pemasaran Medan

Mhd. Maratua Lubis,Jalan Bromo, Gg. Adil No. 17

Telepon (061) 7349634, MedanBank

Bank Mandiri KKP DarussalamNomor Rekening 105-0004651419

An. Aceh Recovery ForumRedaksi menerima kontribusi naskah/ foto. Syarat: fotokopi KTP/SIM/KTM. Maksimal

1.200 karakter. Tulisan/foto kirimanyang dimuat akan diberikan imbalan.

Dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik, wartawan AcEH MAGAzINE dibekali su-rat tugas dan kartu pers. Tidak dibenar-kan menerima imbalan berbentuk apapun dari narasumber.

l KUTIPAN

l KARTUNAcEH MAGAzINE/YUDI

l cERITA REDAKSIMemperkuat Jalur Distribusi

Sidang pembaca. Jaroe di langai, mata u pasar. Begitulah sebuah

peribahasa Aceh yang bermakna ”tangan di bajak sawah mata menga-mati pasar”, bertutur. Peribahasa ini erat kaitannya dengan persoalan pemasaran sebuah produk. Bagi petani di sawah, produknya adalah padi. Ia akan selalu mengamati per-kembangan harga padi di pasaran agar dapat tetap hidup dan meng-hidupi keluarganya.

Nah, bagi sebuah media pener-bitan majalah, produknya adalah karya cetak. Kehidupan pemasaran berada di tangan petugas iklan dan distribusi/sirkulasi. Jaringan sirkulasi dan iklan merupakan urat nadi se-buah penerbitan. Tanpa ja-ringan ini, maka produk se-telah dicetak akan disimpan di gudang sehingga menjadi produk yang sia-sia.

Redaksi ACEH MAGA-ZINE menyadari sepenuh-nya arti jaringan sirkulasi dan distribusi ini. Itu sebab-nya kami membentuk tim sirkulasi yang dikomandoi Miza Irantoni (27) dan Boy Muliawan (30) yang ditu-gaskan mengurus kemudi iklan.

Dua pekan lalu, tim dis-tribusi dan iklan ini diterjun-kan ke daerah-daerah untuk mengintip dan mengamati pasar. Mereka terjun hingga ke ting-kat desa.

Sesuai rute, pertama sekali me-reka singgah di Laweung, Keca-matan Muara Tiga, Pidie. Esoknya, tour de sirkulasi dan distribusi dila-njutkan ke Bireuen. Di Bireuen, Zul-kifli, pemilik toko buku Aditya sangat bersemangat menyalurkan majalah ACEH MAGAZINE ke seluruh ke-camatan yang ada di Kota Juang itu. Ke Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang, dan terakhir Medan (Sumatera Utara), perjalanan diteruskan.

Sidang pembaca. Dalam perja-lanan itu tim kami juga mengunjungi beberapa lokasi pengungsian. ”Ke-hidupan mereka masih sangat mem-prihatinkan,” lapor Boy Muliawan dalam rapat redaksi. Boy meresume kisah perjalanannya ke lingkungan pengungsi korban tsunami di Jambo

Timue, Kecamatan Blang Mangat, Aceh Utara. Di sana, 175 kepala keluarga pengungsi mengeluhkan penyaluran jadup alias jaminan hidup yang tersen-dat-sendat. Mereka meminta majalah ini menyuarakan aspirasi mereka. Di sini tim kami menyerahkan bantuan be-berapa lembar baju.

Di Aceh Timur, kru ACEH MAGA-ZINE mengunjungi sejumlah tempat pengungsian korban konflik pula. Loka-si pertama Alue Ie Mirah, 18 kilometer dari pusat kota Kuta Binjei. Perjalanan ke Alue Ie Mirah tergolong payah. Ja-lan dan jembatan di sepanjang jalan banyak yang rusak. Tak ayal, perjalan-an yang seharusnya bisa ditempuh 30 menit, malah molor menjadi dua jam.

Beberapa kali mobil mereka terjebak jalan rusak.

Yusman Hasan (52), pengungsi asal Sumatera Utara, yang ditemui di lokasi itu mengatakan, kondisi para pengung-si korban konflik seakan tidak menda-pat perhatian pemerintah dan pekerja kemanusiaan di Aceh. “Saya melihat mereka mengambil air untuk minum dan mandi sangatlah tidak layak,” kata Tony.

”Melalui kedatangan Anda ke tem-pat kami, kami berharap Anda mau menulis tentang kami agar pemerintah memperhatikan nasib pengungsi kor-ban konflik yang tersebar di seluruh Aceh,” kata salah seorang pengungsi.

Pembaca, itulah yang telah kami lakukan. Kami berharap dengan ter-bentuknya jaringan sirkulasi, interaksi Anda dengan kami semakin mudah. Itu semua kami lakukan untuk Anda, pem-baca kami yang setia. l AM

Toni (kiri) dan Boy (kanan)

“Mereka harus beraniuntuk walk out”Ghazali Abbas Adam, mantan Anggota DPR RI, perihal kontri-busi anggota DPR RI asal Aceh untuk menggolkan RUUPA versi DPRD NAD.

“AMM turut merasakan kebahagiaan yang anda

rasakan.”Ketua Aceh Monitoring Mission

27 Maret 2006, pada Konser Damai 2 di Lapangan Blang Pa-

dang Banda Aceh

“Bayi perdamaian yang sedang merangkak terus kita pelihara dengan baik sehingga berguna untuk dunia di masa depan.”

Tokoh GAM,Tengku Muhammad Usman Lampoh Aye saat me-lepas Tim Sosialisasi Aceh Damai di halaman Masjid Raya Baitur-rahman, Banda Aceh,24 Maret 2006.

ACEH MAGAZINE | Edisi April 20064

l SURAT

Hidup harus berubah

Kami warga kompleks Perumahan Ajun Lamhasan, Aceh Besar, yang menjadi korban tsunami telah mene-rima bantuan dari berbagai donatur seperti sembako, pakaian, dan modal kerja (usaha). Atas bantuan tersebut, kami mengucapakan terima kasih. Namun demikian, tidak kurang pula saya kecewa dengan donatur seperti Care yang hanya memberikan bantuan selama beberapa bulan pascatsunami. Padahal, warga Kompleks Ajun Lamha-san masih membutuhkan bantuan dan perhatian dari donatur.

Bantuan yang sangat mendesak dalam hal ini adalah mushalla Al Furqan serta TPA, dan penghijauan lingkungan. Semua itu menjadi satu kesatuan yang harus dipulihkan kembali guna mem-berikan arti bagi kehidupan warga.

Demikianlah harapan dan keingin-an saya mewakili warga lainnya selaku

Ketua Kompleks Perumahan Ajun Lam-hasan. Semoga menjadi titik terang dalam membangun kembali sendi-sen-di kehidupan.

Let.Kol (Pur) H. KasmaniKetua Kompleks Perumahan

Ajun Lamhasan

Masyarakat Dusun Jambo Balee I (CV II AIM IV), Dusun Jambo Ba-lee II (SV II) dan Dusun Perjuangan Desa Seuneubok Bayu, Kecamatan In-dra Makmu, Aceh Timur, merupakan masyarakat yang mengungsi akibat konflik tahun 2003. Setelah perjanjian Helsinki, kami kembali ke dusun ma-sing-masing dengan bantuan moril dan spiritual dari Muspika Indra Makmu, Pemkab Aceh Timur, dan ICRC.

Ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan dengan kepulangan kami ini kepada pemerintah:

HARAPAN WARGA AJUN LAMHASAN

Pertama, berharap kepada Pem-kab Aceh Timur untuk menambah jatah hidup untuk beberapa bulan berikut-nya. Yang Kedua, meminta tambahan 20 unit barak untuk korban konflik ka-rena rumahnya dibakar agar ditambah lagi mengingat rumah yang terbakar mencapai 84 unit.

Ketiga, mengingat masyarakat yang kembali ke dusun masing-masing lebih kurang 85 persen, maka hal yang pa-ling penting adalah sekolah untuk anak-anak kami. Sekolah yang ada selama ini kondisinya sangat memprihatinkan.

Keempat, meminta rehab jembatan dan jalan yang menghubungi dusun kami dengan kota kecamatan, karena kondisinya rusak parah akibat lama di-tinggalkan dan tidak ada perawatan.

Demikianlah yang dapat kami sam-paikan, atas perhatian dan bantuannya kami ucapkan terima kasih.

Abdul Mutalleb, Muhammad, Hanafiah KarimSeuneubok Bayu, Aceh Timur

BUTUH RUMAH DAN SEKOLAH

Menanam Harapanuntuk Masa Depan

AM: DOK

AM: DOK

LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA

Agar Merdeka tak LagiDikumandangkan

RUU PA yang tidak aspiratif akan membangkitkan gelombang

perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia. Seratus tokoh Aceh bertemu

untuk mengantisipasinya

AM: HOTLI SIMANJUNTAK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 20068 9Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 9

LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA

ERATUSAN tokoh tumpah ruah di aula Hotel Cakra-donya, Banda Aceh, Selasa,

7 Maret 2006. Mereka berasal dari berbagai kalangan di Aceh. Ada aka-demisi, aktivis mahasiswa, LSM, anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), aktivis perempuan, ula-ma, dan sejumlah kalangan lain. Mereka bertemu seharian untuk membicarakan strategi pengawa-lan Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang kini berada di tangan legisla-tif di Senayan.

Pertemuan membuahkan sepu-luh tuntutan yang kemudian mere-ka tuangkan dalam Deklarasi Cakradonya. Tuntutan itu meru-pakan harga mati, “Yang tidak bisa dikompromikan lagi,” kata Rufria-di, SH, direktur Aceh Judicial Mo-nitoring Institute yang hadir dalam pertemuan itu.

Tuntutan yang mereka hasilkan di antaranya, UU PA harus mem-berikan kewenangan yang penuh

bagi Aceh seperti yang diamanat-kan Memorandum of Understand-ing (MoU) Helsinki; kewenangan penuh dalam mengelola sumber-daya alam, perimbangan keuan-gan dari seluruh pengelolaan sum-berdaya alam (70 persen untuk Aceh dan 30 persen pusat)selain itu pemerintah diminta memasuk-kan poin yang mengatur tentang kompensasi dan reparasi hak-hak masyarakat korban, terutama anak-anak dan perempuan.

Pendek kata, pertemuan 100 to-koh itu meminta supaya Senayan mensahkan RUU PA yang diaju-kan oleh DPRD Aceh yang sudah melalui uji publik. Jika UU yang dihasilkan nantinya tidak menga-komodisir keinginan masyarakat Aceh, elemen sipil mengkhawa-tirkan gerakan perlawanan dan kemerdekaan akan kembali ber-munculan di persada Aceh. “Ge-rakan perlawanan menuntut ke-merdekaan juga akan muncul kem-bali di Aceh,” seru seratus tokoh

dalam Deklarasi Cakradonya yang dibacakan Rufriadi, seorang penga-cara.

Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Aceh Timur, Tjut Kafrawi, lebih diplomatis. Menurutnya, jika UU yang dihasil-kan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat di bumi yang baru saja dihumbalang tsunami itu, maka Indonesia telah melanggar Kesepa-katan Damai (MoU) yang dicapai dengan susah payah di Helsinki, Finlandia. Namun, kata dia, Peme-rintah Indonesia masih mempunyai peluang untuk menyelesaikan per-masalahan ini.

Jika tetap mentok, GAM akan membawa permasalahan ini ke Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Crisis Management Initiative (CMI). Lembaga terakhir yang dise-but Kafrawi ini merupakan fasili-tator dan mediator dalam perun-dingan panjang Ri dan GAM nan melelahkan itu. Sementara AMM merupakan lembaga yang ditunjuk

para pihak untuk memantau proses damai di Aceh. Mereka terdiri atas utusan negara-negara yang ter-gabung dalam Uni Eropa dan Asia Tenggara (Asean).

Pandangan serupa juga disuara-kan Irwansyah, bekas Presiden Ma-hasiswa Universitas Syiah Kuala. Di hadapan 30 anggota Panitia Khusus RUU PA DPR RI yang mengadakan pertemuan di Meuligoe Gubernur Aceh yang dingin, pria berkacama-ta minus ini bersuara lantang. “Ja-ngan biarkan kami ‘memberontak lagi!’ Jangan biarkan kami melaku-kan ‘perlawanan’ lagi,” serunya. Puluhan aktivis bertepuk tangan mengamini pernyataan Irwansyah.

Irwansyah tidak bermaksud mengancam. Apa yang dia kemu-kakan, merupakan refleksi dari se-jarah panjang konflik di provinsi barat Indonesia itu. Perang dan perdamaian silih berganti bersemi. Namun, perdamaian sering kali kandas dalam usia dini. Lihat saja,

misalnya, kisah Teungku Muham-mad Daud Beureueh mendeklara-sikan perlawanan terhadap Jakarta pada 1953, di bawah bendera Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Gerakan perlawanan ini dire-dam Jakarta dengan diplomasi ala Kolonel Jassin, penguasa militer di Aceh saat itu (1963).

Kompensasinya, Jakarta menye-tujui Aceh sebagai provinsi yang mempunyai keistimewaan di bi-dang pendidikan, adat, dan agama. Namun, sejak Abu Beureueh turun gunung, keistimewaan yang diberi-kan kepada Aceh ternyata hanya pepesan kosong belaka. Aceh sama saja dengan provinsi lain di Nusan-tara. Malah, kekayaan alam sema-kin dikeruk dari bumi Aceh yang kaya dengan minyak dan gas, saat Orde Baru berkuasa. Kedua pundi-pundi uang ini tidak bisa dinikmati masyarakat. Aceh semakin miskin dan tertinggal, termasuk di bidang budaya dan pendidikan. Di aspek

agama pun, tidak banyak keleluasa-an yang diberikan Jakarta. Ke-kerasan dan penindasan juga kerap terjadi.

Tak puas dengan kondisi ini, Hasan Tiro, orang kepercayaan Abu Beureueh, kemudian mendeklarasi-kan Aceh Merdeka pada 4 Desem-ber 1976. Gerakan ini kemudian melakukan perlawanan senjata dan diplomasi untuk memisahkan Aceh dari kungkungan Jakarta. Bak ke-bakaran jenggot, Jakarta mengirim bala tentara ke bumi Aceh untuk menumpas gerakan kemerdekaan tersebut. Hingga 30 tahun kemudi-an, Aceh penuh dengan letupan be-dil dan meriam. Sedikitnya 15 ribu anak negeri menjadi korban dari kemarahan Jakarta terhadap Aceh.

Perundingan Helsinki yang dimulai Januari 2005, setelah Aceh dihumbalang musibah raya yang menewaskan tak kurang dari 200 ribu orang, akhirnya melahirkan perdamaian pada 15 Agustus 2005.

SRUU PA: Generasi muda Aceh, yang akan merasakan manfaat dari kebijakan RUU PA. AM: DOK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 2006�0 ��Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE ��

LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA

Kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri permusuhan yang su-dah berlangsung selama 29 tahun itu.

Luka lamaBeranjak dari sejarah panjang

kekerasan di Aceh, Irwansyah dan seratus tokoh Aceh itu kemudian mewanti-wanti Jakarta akan ke-mungkinan kembali munculnya gerakan antipati terhadap Jakarta. Apalagi, pasca-MOU Helsinki, ke-percayaan masyarakat Aceh terha-dap Jakarta sudah mulai pulih.

Undang Undang Pemerintahan Aceh dinilai sebagai sebuah lang-kah untuk mengakhiri konflik panjang di Tanah Seulanga itu. Makanya, UU ini diharapkan tidak bernasib sama dengan Ikrar Lam-teh yang ditandatangani saat Daud Beureueh turun gunung di waktu tempo doeloe.

“Saya hanya ingin mengingat-kan kepada seluruh tim, jangan ter-ulang kembali sejarah Ikrar Lam-teh, yang diberikan keistimewaan kepada Aceh, ternyata hanya bing-kainya saja, tapi niscaya isinya ko-song. RUU ini jangan seperti Ikrar Lamteh,” kata Tarmizi Rajab, rektor Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh, juga di hadapan ang-gota Pansus RUU PA. Ketua Tim Pansus Ferry Mursyidan Baldan, hanya manggut-manggut. Begitu juga dengan anggota lain. Farhan Hamid yang duduk tak jauh dari Tarmizi Rajab, saksama mendengar omongan sang rektor. Dia mengaku merekam semua aspirasi yang dis-ampaikan peserta pertemuan.

Kalau Tim Pansus gagal meng-golkan aspirasi Aceh dalam RUU PA, sebut Tarmizi, maka daerah yang lelah dalam perang ini akan kembali ke masa kehancuran. Ma-syarakat tidak lagi leluasa dalam beraktivitas, kekacauan dikhawat-irkan akan kembali terjadi. “Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai luka lama bernanah kembali,” tu-kasnya, tegas.

Kekhawatiran luka lama akan kembali menganga, juga dikemu-kakan dr. Andalas. Dokter yang

sudah lama menangani korban di masa konflik memanas ini, me­ngaku sering menerima “curahan hati” istri mantan anggota Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka.

Menurutnya, istri kombatan itu galau dengan kondisi Aceh seka-rang ini. Kendati damai sudah di-torehkan di atas kertas, mereka masih menyimpan pengalaman pa-hit Jeda Kemanusiaan (2001) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA/2002). Dua perjanjian ini belakangan gagal dan perang kem-bali berkobar di Aceh. Mesin-mesin perang yang didatangkan ke Tanah Jeumpa untuk memburu sang sua-mi mereka, belum juga pupus dari ingatan. “Banyak istri GAM yang berobat kepada saya mengatakan kegalauan mereka,” kata Andalas.

Kegalauan istri mereka terse-

but disebabkan RUU PA yang di-ajukan DPRD Aceh kepada peme-rintah ternyata banyak dipangkas oleh Departemen Dalam Negeri. GAM mencatat, ada 37 pasal yang dipangkas dan direduksi Jakarta. Yang paling krusial adalah penam-bahan ayat (3) dalam Pasal 7 versi Depdagri, yang menyatakan, “di samping kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) ter-dapat urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai ke-wenangan Pemerintah”.

Pasal ini dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan Pemerintah Indo-nesia dalam menuntaskan persoal-an yang terjadi antara RI dan GAM di Aceh. Perubahan dan distorsi yang dilakukan Depdagri sendiri cenderung menjadikan UU PA ti-dak aspiratif. “Pengaruh adanya

Pertama, berikan kewenangan penuh kepada pemerintah Aceh untuk mengatur penyelengga-raan pemerintahan.

Kedua, berikan kewenangan penuh untuk penyelenggaraan seluruh kewenangan publik di luar enam hal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat seperti tersebut dalam MOU.

Ketiga, berikan kewenangan pemerintah Aceh dalam melak-sanakan hubungan perdagang-an internasional.

Keempat, kewenangan selu-ruh pengelolaan sumber daya alam kepada pemerintah Aceh dengan menganut prinsip keter-bukaan dan berkelanjutan.

Kelima, mengenai perimban-gan keuangan dari seluruh pe-ngelolaan sumber daya Aceh (70 persen Aceh dan 30 persen pusat).

Keenam, berikan juga lima persen Dana Alokasi Umum tan-pa batas waktu untuk masyara-kat Aceh sebagai kompensasi terhadap terjadinya eksploitasi serta eksplorasi sumber daya Aceh, serta untuk merehabilitasi Aceh pascakonflik dan tsunami.

Ketujuh, pemerintah diminta memasukkan poin yang meng-atur tentang kompensasi dan reparasi hak-hak masyarakat korban, terutama anak-anak dan perempuan.

Kedelapan, wujudkan me-kanisme politik yang partisipa-tif dengan adanya partai poli-tik lokal dan calon independen sebagai bentuk terbangunnya proses demokratisasi.

Kesembilan, meminta supaya pemerintah segera membentuk Pengadilan HAM yang adil dan tidak diskriminatif.

Kesepuluh, segera bentuk mekanisme rekonsiliasi dan pe-ngungkapan kebenaran.

Hotel Cakradonya,Banda Aceh, 7 September 2006

Atas nama Seratus TokohRufriadi

(Jubir Persaudaraan Aceh)Tjut Kafrawi

(Komite Peralihan Aceh)Elly Supriadi (Sipil)

Naimah Hasan dan Raihana Diani (Perempuan)

DEKLARASI CAKRADONYA

perubahan, penambahan, perbai-kan, sangat besar pada arti sub-stansi dari RUU PA,” ujar Iskan-dar A Gani, akademisi Universitas Syiah Kuala yang terlibat dalam penyusunan draf RUU PA versi DPRD Aceh. “Maka, kami harap-kan supaya Pansus membahas RUU PA versi DPRD Aceh, bukan versi Depdagri.”

Kalangan mahasiswa sendiri mengancam akan terus melaku-kan aksi unjuk rasa jika UU PA yang disahkan nantinya itu, tidak mengakomodir aspirasi masyara-kat Aceh yang telah tertuang dalam draf versi DPRD. Saat Pansus RUU PA mengunjungi Aceh awal Maret silam, gelombang demo terus ter-jadi. Bahkan, Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan dipaksa me-nandatangani perjanjian dengan

mahasiswa. Perjanjian itu meminta supaya Pansus komit dalam men-jaga perdamaian Aceh dan menge-sahkan RUU PA sesuai dengan harapan rakyat Aceh.

Kini, bola ada di tangan Pansus DPR-RI. Di dalamnya, ada bebe-rapa nama yang sudah tidak asing bagi masyarakat Aceh, semisal Ah-mad Farhan Hamid, Imam Syuja’ (PAN), Muhammad Yus (PPP), dan Nasir Djamil (PKS). Mereka adalah anggota DPR asal Aceh. Gelinding bola RUU PA ini juga ada di tangan mereka. Karenanya, wajar saja ka-lau Ghazali Abbas Adan, bekas anggota DPR RI asal Aceh, memin-

ta anggota DPR asal Aceh yang ter-gabung dalam Forbes untuk berani menentukan sikap walk out!

“Mereka harus berani untuk walk out. Mereka harus punya nyali, sehingga betul-betul menjadi wakil rakyat yang profesional bukan ama-tiran, dengan membawa aspirasi rakyat Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki dan RUU PA versi DPRD,” kata pria asal Pidie yang vokal di Senayan ini, kepada Aceh Magazine, Selasa, 7 Maret lalu.

Lantas, bisakah Forbes meng-golkan bola ini ke gawang? Kita tunggu saja babak selanjutnya l FAKHRURRADZIE/ M. ALI

AM: EDI IP

ACEH MAGAZINE | Edisi April 2006�2 �3Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE �3

LIPUTAN KHUSUS LIPUTAN KHUSUS

atusan warga tumpah ke halam­an Masjid Makam Pahlawan Kampong Ateuk, Kecamatan

Baiturrahman, Jumat (17/2). Laki­laki dan perempuan dewasa berhimpit­himpitan. Banyak anak merangsek ke masjid untuk bisa menyaksikan prosesi ‘uqubat cambuk. Mereka tidak meng­hiraukan teriknya sinar matahari mem­bakar di siang usai shalat Jumat itu.

Melalui pengeras suara, seorang petugas Wilayatul Hisbah – polisi sya­riat Islam ­ mengumumkan akan ada prosesi hukuman cambuk. Ada yang diam. Gemuruh tepuk tangan dan so­rakan terdengar di sepenjuru masjid.

Petugas memanggil terhukum: Sya­faruddin Nasution (35). Berbaju pu­tih dan celana coklat tua, Syafaruddin naik ke panggung, diapit dua petugas Wilayatul Hisbah yang berbusana hijau tua. Berselang beberapa saat, eksekutor naik ke panggung dengan membawa sebilah rotan. Syafaruddin tampak te­nang, kendati banyak pengunjung yang menyorakinya.

Syafaruddin dikenakan hukuman sepuluh kali cambuk. Dia meringis se­

Ironi Syariatdi Serambi Mekkah

tiap rotan mendarat di punggungnya. Tangan, kaki, dan mulutnya gemetaran, menahan perihnya sabetan rotan sang eksekutor. Penonton menepuk tangan riuh.

Pria asal Medan, Sumatera Utara, itu terpaksa harus menjalani hukuman cambuk karena dinyatakan bersalah dan melanggar Pasal 5 junto Pasal 23 Qanun No 13 tahun 2003 tentang Mai­sir. Dia dan kedapatan sedang bermain joker di Losmen Raya, Kampun Baro, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, dengan empat temannya yang lain: Horas Sinurat, Martuah Sirait, Rustam Siregar, dan Hermanus. Namun, hanya Syafaruddin saja yang harus menjalani hukuman cambuk. Karena, empat temannya bukan beragama Islam.

Di lain tempat dan waktu, sepasang kekasih dicambuk di halaman Masjid Jami’ Lueng Bata, karena kedapatan bermesum di sebuah rumah kos di Desa Pante Riek, Kecamatan Lueng Bata. M Zaini bin Hasbi, 25 tahun, dicambuk delapan kali. Sedangkan Nur Azizah binti Hanafiah, 22 tahun, harus mera­sakan enam kali sabetan rotan sang al­

gojo.Kedua kekasih ini digerebek warga

Pante Riek saat berdua­duaan di dalam sebuah kamar kos pada pagi 20 No­vember 2005 lalu. Sebelumnya, me­reka semalaman berada di kamar yang sunyi itu. Jaksa Penuntut Umum Nila­wati, SH, mengatakan, mereka terbukti melanggar Pasal 5 junto Pasal 22 ayat (1) Qanun No 14 tahun 2003 tentang Khalwat atawa Mesum. Semua ini ini terjadi karena merujuk pada peraturan No.12,13 dan 14 tahun 2003

Wal hasil, Mahkamah Syar’iah Aceh menyebutkan sejak dipentaskan cam­buk pertama di Bireuen pada 24 Juni 2005 hingga akhir Januari 2006 tercatat 199 warga sipil yang sudah merasakan punggungnya didera cemeti rotan sepanjang satu meter. Mereka tersebar di seluruh pelosok kabupaten Aceh ke­cuali di Kabupaten Calang, Sabang dan Singkil. Mereka yang dilucuti itu ter­diri dari 79 kasus maisir yakni dengan 151 tercambuk, khamar yaitu 20 kasus dengan 32 tercambuk dan khalawat 8 kasus dengan 16 tercambuk.

l EVA MAGHDALENA | M. ALI

R

enerapan Syariat Islam menuai pro dan kontra. Banyak pihak menilai, Syariat Islam di Aceh

hanya mengurusi masalah perempuan: jilbab, pakaian ketat, tidak boleh ke­luar malam, dan sebagainya. Simak­lah penuturan Raihana Diani, Ketua Organisasi Perempuan Demokratik (Orpad) Aceh, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh tidak menyentuh persoal­an substansial. Bahkan, Islam dalam wajah yang diperlihatkan Dinas Sya­riat selama ini, lebih diskriminatif dan mengekang hak­hak perempuan yang ada di Aceh. “Saya menentang sistem pelaksanaannya yang belum tepat. Ini terkesan dipaksakan. Yang paling tidak menyenangkan, dalam hal ini perem­puan dijadikan sebagai obyek orientasi hukum,” kata Raihana kepada Aceh Magazine

Aktivis perempuan yang pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakat­an Keudah Banda Aceh ini memperta­nyakan pemahaman khalwat dalam hu­kum Islam ini. Dia merasa aneh saja, ketika polisi­polisi itu menghukum perempuan yang tidak berjilbab dan ber­baju ketat. Apalagi, banyak perempuan tidak berjilbab dan berbaju ketat itu di­tangkap saat sedang makan dan santai­santai di café­café dan warung makan. “Café di Aceh tidak sama dengan di tempat hiburan di kota besar. Masa khalwat sampai puluhan pasangan,” cetus Raihana. Raihana juga mengkri­tik sikap polisi syariat. “Bagaimana hu­kumnya dalam Islam, seorang laki­laki memegang perempuan yang terkena razia, sementara dia bukan muhrimnya. Apakah dibolehkan dalam Islam?” Rai­han setengah bertanya.

Pandangan senada juga dikemuka­kan Fuad Mardhatillah, Deputi Agama, Sosial dan Budaya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh­Nias. Dosen IAIN Ar­Raniry Banda Aceh ini menilai penerapan syariat terke­san tergesa­gesa dan tidak melalui

sebuah kajian yang mendalam dan konprehensif. Lagi pula, Dinas Sya­riat dan Wilayatul Hisbah selama ini menerjemahkan penerapan syariat bu­kan dalam ruang publik, namun lebih pada persoalan ranah privat seseorang. “Yang kita urus sekarang ini wilayah pribadi seseorang, bukan wilayah pu­blik. Seharusnya terjemahan syariat Islam itu lebih dilihat dalam wilayah yang bersifat publik dalam hubungan antarmanusia,” kata Fuad Mardhatil­lah kepada Aceh Magazine.

Tak tanggung­tanggung, Fuad me­minta pihak terkait mengkaji ulang le­bih dalam dan konprehensif materi­ma­teri substantif dalam pelaksanaan hu­kum Allah itu. Ini dimaksudkan, supaya hukum agama yang sedang diterapkan tidak berubah wajah: mengerikan dan menakutkan. “Banyak kasus yang ter­jadi di lapangan, kemudian melahirkan citra Islam yang justru terkesan kejam dan tidak manusiawi,” pesannya.

Kajian mendalam yang dimaksud

Fuad terletak pada kemauan Dinas Syariat Islam untuk mengakomodir ber­bagai masukan yang diberikan elemen masyarakat, bukan hanya otoritas ula­ma dan pemerintah, dalam penyusunan qanun atau peraturan daerah. Langkah ini sangat perlu ditempuh, mengingat selama ini penyusunan qanun syariat belum melalui uji publik. “Dalam pe­nyusuan berbagai qanun yang sudah ada selama ini, mungkin proses ke­terlibatan stakeholder muslim belum maksimal,” ujarnya.

Menurut dia, dalam penyusunan qanun pemerintah, ulama, dan DPRD harus memintai pendapat dari masyara­kat, sehingga publik tidak melulu di­tempatkan pada posisi obyek hukum. Penyusunan hukum selama ini, selalu dikuasai oleh pihak­pihak yang merasa dirinya lebih tahu tentang agama. “Dan kemudian mencoba menerapkan apa yang menurut mereka lebih baik,” lan­jut pria berkacamata minus ini.

Fuad menilai, pemberlakuan syariat di Aceh lebih bersifat politis semata. Buktinya, syariat terkesan hanya mi­lik kaum papa alias masyarakat kecil. Sementara orang berduit dan petinggi negeri ini, sama sekali tidak terjamah hukum itu. Fuad mencontohkan, pihak Wilayatul Hisbah selama ini paling gencar merazia perilaku khalwat (me­sum), judi, minuman keras, dan sabung ayam masyarakat lemah. Namun, polisi Syar’iyah tidak bergigi dalam menin­dak pelanggar syariat yang “bersem­bunyi” di hotel­hotel yang berserak di negeri berjulukan Serambi Mekkah ini. Selain itu, para koruptor juga luput dari serangan polisi berbaju serba hijau tua itu.

Praktis saja, pemberlakuan syariat semacam ini tidak akan menyadarkan masyarakat. Bahkan, bisa saja, gelom­bang antipati malah lebih membesar. Dalam aksi unjukrasa ratusan kaum perempuan pada Hari Perempuan Se­dunia di depan gedung DPRD Aceh, 8 Maret lalu, aktivis meminta supaya Dinas Syariat Islam tidak hanya me­ngurusi para perempuan saja. Mereka melihat, masih ada persoalan yang le­bih substansial, semisal megakorupsi di Aceh, yang lebih pantas diurus Dinas Syariat Islam. “Koruptor=Syetan,” tu­

Raihana Diani,Ketua Organisasi PerempuanDemokratik (Orpad) Aceh

Syariat IslamTidak Urus SubtansialP

AM: DOK

AM: DOK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 2006�4 �5Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE �5

LIPUTAN KHUSUS

Simak penuturan Soufyan Saleh kepada Aceh Magazine pada 10 Maret silam di Kantor Mahkamah Syari’ah.

Sejak kapan hukum cambuk diterapkan di Aceh?

Setelah dua bulan qanun syariat Islam di Aceh disahkan, maka mu­lailah Syariat Islam diterapkan. Per­tama di Bireun, kemudian disusul beberapa kabupaten lain dan Kota Banda Aceh.

Siapa yang bertanggung ja­wab terhadap pelaksanaan hu­kum cambuk?

Pemerintah sebagai eksekutif. Pemerintah bertanggung jawab me­nyosialisasikan ke masyarakat. Ne­gara melindungi orang yang melaku­kan ibadah. Coba kita baca pasal­pasal qanun, pasal sanksi hanya se­dikit. Yang paling banyak pasal yang mewajibkan pemerintah melakukan pencegahan, memberi perlindungan kepada rakyat. Sehingga rakyat ti­dak terlibat dalam penjudian atau segala bentuk kemaksiatan. Hal ini yang tidak dilakukan oleh pemerin­tah di lapangan.

Apa manfaat hukum cambuk yang diterapkan pada terdakwa?

Hakikatnya hukum cambuk sebagai langkah atau upaya terakhir untuk memberantas atau mengurangi penya­kit sosial di tengah­tengah masyarakat yang sangat merugikan.

Berapa kasus yang masuk ke Mahkamah Syar’iah?

Sejak April sampai Desember 2005 tercatat 100 kasus, sekitar 200 terdak­wa.

Apakah penerapan syariat Islam membuat masyarakat tidak mengu­langi hal serupa?

Memang sangat disayangkan pada tahun 2006 masih saja ada kasus­kasus perjudian, khalwat, dan khamar. Sep­erti di Bireuen, daerah pertama dilak­sanakan hukuman cambuk masih saja terulang sampai tiga kali dengan kasus yang sama. Sama hal dengan tersang­ka kasus khamar setelah dicambuk di Takengon, terdakwa mengulang lagi di Bener Meriah.

Bagaimana penerapaan syariat Islam terhadap nonmuslim seperti dalam maisir?

Oh ya, kasus yang diadili pada 9

lis mereka dalam sebuah poster.Bertobat Usai Dicambuk

Apakah hukum cambuk membuat terhukum jerat dan berkeinginan un­tuk tidak mengulang lagi? Kita bisa beranggapan warga tak kapok dengan cemeti rotan tersebut. Namun simaklah pengalaman Beni (59), warga Kuala Simpang Kabupaten Aceh Tamiang yang mendapat pelajaran berharga usai cambuk. “Cambuk bikin aku tobat,” ungkapnya yang gemar mabuk­mabuk sebagaimana dikutip Tabloid Syar’iyah Aceh Darussalam, edisi kedua 2006 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syari’at Aceh.

Pria lulusan SD ini mengakui mi­num­minuman keras sudah menjadi kebiasaan rutin yang tidak bisa lepas lagi. Beni ditangkap basah oleh polisi bersama temannya Zuliana bin Jun­aidi meneguk minuman keras. Dua hari meraka menginap di hotel prodeo Polisi Sektor Kuala Simpang. Lalu setengah bulan di Polisi Resort Kula Simpang. Tragisnya, ibundanya ber­

pulang ke rahmatullah ke­tika dia mendekam dibalik terali jeruji sel. Praktis, dia tak bisa menyaksikan hari berkabung itu. Nah, wafat­nya ibunda membuat dir­inya terpukul dan menye­sal. Pada hari H cambuk yakni 1 Muharram 1427 H (31 Januari 2006) pria berbadan kurus ini dicam­buk 40 kali. “Saya terima cambuk ini dengan ikh­las walaupun sangat malu karena ditonton ratusan masyarakat,” jelas tukang bangunan ini.

Inilah sekelumit kisah warga yang mengakui sa­dar usai dicambuk, tetapi ini bukan ukuran sebab di Biruen dan Bener Me­riah, usai dicambuk masih mengulang lagi. Di sisi lain, menurut Mahkamah Syar’iah Aceh, belum ada tercambuk yang mengaju­kan banding. Boleh jadi,

karena tercambuk tidak mengetahui atau pasrah alias tidak mau berlama­lama dengan proses ini.

Bahkan tudingan hukum cambuk pun pilih­pilih dibantah oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh So­fyan M Saleh. Dia berjanji, penerapan syariat di masa mendatang pun, korup­tor juga dihukum sesuai dengan Islam. “Untuk kasus korupsi sekarang belum dituangkan dalam qanun khusus, akan tetapi ke depan ini pasti ada,” kata So­fyan kepada Aceh Magazine. (Lihat box wawancara)

Karenanya, Sofyan mempersilakan warga yang pernah dikenakan hukuman cambuk untuk melaporkan ke lembaga HAM. “Silakan saja, nanti akan diuji secara hukum. Tapi, bisa saja kalau memang ada yang keberatan,” lanjut mantan Ketua Pengadilan Agama Jam­bi ini. “Jangan sampai dengan langkah ini justru akan memperkeruh syariat Is­lam di Aceh dan dibengkokkan dengan alasan HAM.,” tambah pria kelahiran 7 Juli 1947.

Bukankah hukum syariat sekarang sudah “bengkok” dengan sikap aro­gansi petugas, Pak? l EVA MAGHDALENA | M. ALI

Fuad Mardhatillah,Deputi Bidang Pendidikan Sosial dan Agama BRR

Februari 2006 dengan lima tersangka, seorang muslim, selebihnya nonmus­lim dari Medan. Kasusnya dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi karena Mahka­mah Syar’iah tidak memiliki qanun yang mengatur masalah itu. Kami ma­sih mengunakan UU No 18 Tahun 2001 yang menyatakan pemberlakuan syariat Islam hanya untuk pemeluk Islam.

Bagaimana jika mereka minta dihukum secara syariat?

Tidak dapat diterima walaupun ke­empat tersangka diadili dengan hukum yang berlaku di Aceh dengan alasan terjadi di Aceh. Saya berharap, kasus ini ke depan bisa diselesakan melalui RUU­PA.

Terkesan, syariat Islam untuk kalangan bawah, pejabat dan korup­tor tidak tersentuh?

Sebenarnya nggak juga, tapi belum memang betul. Untuk kasus korupsi sekarang belum dituangkan dalam qa­nun khusus. Ke depan ini pasti ada.

Apa hukum cambuk melanggar HAM?

Yang harus tanggapi dengan jernih di mana posisi HAM sebenarnya. Yang dikatakan melanggar HAM kan

yang dilakukan tanpa aturan. Semen­tara yang kita lakukan sekarang adalah dalam bingkai peraturan dan perun­dang­undangan. Saya kira tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM.

Andaikata tercambuk melapor ke lembaga HAM dan melakukan tun­tutan, apa yang akan dilakukan oleh Mahkamah Syar’iah?

Silahkan saja, nantikkan diuji se­cara hukum. Tapi bisa­bisa saja kalau memang ada yang keberatan menge­nai hal ini. Yang penting yang dengan tuntutan macam­macam itu justru akan memperkeruh syariat Islam yang se­dang dilaksanakan. Jangan sampai hu­kum yang hampir lurus dibengkokkan dengan alasan HAM. Ini tidak boleh terjadi.

Harapan kepada masyarakat?Mari melihat persoalan secara jernih

demi untuk terwujudnya syariat Islam secara kaffah. Kalau pun ada hal­hal yang kurang jelas, mari sama­sama kita luruskan. Sehingga nantinya seluruh masyarakat dapat memahami arti pen­ting penerapan syariat Islam di Aceh.

l EVA MAGHDALENA

Pengantar Redaksi :Selama tahun 2005, dua

berita besar bergelantung-gan di atmosfer Aceh selain tsunami yakni kesepakatan perdamaian antara Pemerin-tah Indonesia dan GAM pada �5 Agustus 2005 di Helsinki. Berita selanjutnya, penera-pan hukum cambuk di ranah Serambi Mekkah. Penerapan hukum cambuk pertama pada kasus maisir di Bireuen pada 24 Juni 2005 menguras per-hatian internasional. Setelah itu, nyaris saban usai shalat Jumat di Aceh, dilakukan pencambukan pada tiga ka-sus yakni judi (maisir), ma-buk (khamar) dan berzina (khalwat). Kepala Mahkamah Syar’iah Aceh Soufyan M Saleh menyebutkan sekitar 200 warga sipil sudah dicam-buk yang mayoritas di 2� ka-bupaten di Aceh.

LIPUTAN KHUSUS

Drs H Soufyan M Saleh SHKetua Mahkamah Syari’ah Aceh

Cambuk takMelanggar HAM

ACEH MAGAZINE | Edisi April 2006�6 �7Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE �7

PenaPerempuan Aceh

ANALISIS ANALISIS

Cut Januarita

ata “ Perempuan” merupakan sebuah diskursus yang me­narik untuk senantiasa dibi­

carakan. Apalagi pascatsunami, penulis perempuan Aceh harus diperbanyak. Mengingat begitu banyaknya jiwa yang meninggal, termasuk penulis perem­puan sebagai korbannya. Sesuai fakta, perempuan Aceh memiliki apresiasi yang tinggi terhadap dunia penulisan. Tapi, apresiasi saja tidaklah cukup. Banyak hal yang harus dilalui ketika kita menghadapkan antara perempuan dengan kemampuan menulis.

Perempuan memiliki banyak kesem­patan, peluang dan tantangan untuk diberdayakan. Apalagi di bidang jur­nalistik, perempuan dapat mengambil bagian yang sangat kompetitif dengan laki–laki. Selain tulisan bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat, sisi ke­tenaran dan uang biasanya akan mengi­kuti.

Penulis PerempuanIndonesia dalam sejarahnya, dicatat

sebagai negara yang memiliki sederet nama perempuan yang memiliki peran publik dalam dunia kepenulisan. Per­jalanan sejarah ini merupakan kara­kter tersendiri yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Atas dasar pemahaman yang kuat akan per­annya tersebut, muncul sederet nama penulis perempuan diera modern saat ini. Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Ayu Utami, Dewi Lestari Simangun­song, Oka Rusmini, Jenar Mahesa Ayu, Pipiet Senja dan lain–lain. Juga Melly Goeslow, penyanyi dan pencipta lagu kondang, mulai merintis mem­buat sebuah buku. Bahkan seorang

perempuan dunia yang ber­nama J.K Rowling mampu menyihir mata dunia dengan

karya fenomenalnya Harry Potter, dan menempatkan ia se­

bagai penulis terkaya di dunia saat ini. Bukunya menembus pasaran du­nia dan senantiasa ditunggu­tunggu

oleh penggemarnya.Deretan nama perempuan di atas

merupakan inspirasi kuat bagi perem­puan yang ingin terlibat langsung di dunia kepenulisan. Bukan saja sangat menjanjikan, akan tetapi dapat diker­jakan dengan mudah. Baik di wilayah domestik maupun luar rumah sekali­pun. Syaratnya, berani melewati ber­bagai rintangan.

Tingkat KesulitanUntuk menjadi penulis handal, tidak­

lah semudah membalikkan telapak ta­ngan. Harus selalu disadari, melewati berbagai jembatan yang penuh duri. Bukan sembarang duri. Bukan pula duri tumpul. Duri tajam yang siap menung­gu untuk dipijak. Duri yang menyakit­kan fisik dan melelahkan batin, untuk diajak kompromi demi persahabatan.

Penulis pemula banyak mengalami masalah. Ada masalah alamiah atau masalah yang memang dibuat­buat. Sebenarnya, yang jadi masalah dari dulu, ya itu–itu saja. Ham­batan internal bahkan eksternal. Benturan yang datang dari diri sendiri maupun karena faktor luar.

Sulitnya hambatan itu, diperparah dengan pemaham­an pemikiran intektual individu itu sendiri. Menganggap bidang jur­nalistik satu ini, sangat sulit untuk di­lakukan. Hanya orang–orang tertentu yang memiliki minat dan bakat yang besar, akan mampu tegak berprestasi ke depan. Hanya orang–orang yang banyak memiliki inspirasi atau ilham, yang tidak pernah kehabisan bahan tu­lisan. Akhirnya mereka menyerah pada keadaan. Seperti irama gelombang tu­run–naik. Tak jarang, mood sering di­jadikan kambing hitam.

Mereka kurang menyadari, bakat, minat ataupun inspirasi, tidak berperan secara detail. Ada yang lebih indah, memerankan kerja keras. Seperti per­nyataan Thomas Alfa Edison, “Inspi­

rasi itu hanya 1 %, cucuran keringat 99 %. Inspirasi itu dikembangkan dengan kemampuan yang ada agar mencapai 100 %. Tanpa praktek menulis, hasilnya nihil walau seseorang itu punya bakat dalam silsilah keluarganya. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta, begitulah kata pepatah.

Para penulis pemula, harus pula mencintai pelajaran Ba­hasa Indonesia. Jadi, jauh­jauh hari, orang tua yang memi­liki anak genius dalam menulis, sudah dapat mengarahkan anaknya untuk mahir berbahasa. Bukan berarti pelajaran Bahasa Indonesia menghambat waktu luang anak–anak mempe­lajari pelajaran sekolah yang lain. Tapi, bila ingin terjun total dibidang satu ini, apapun spesialisasi ilmu, harus mahir menggunakan seni men­garang.

Kenyataan kini, hampir 80 % me­reka yang tertarik di dunia tulis–menu­lis, mundur teratur. Merasakan dunia ini tidak seindah yang dibayangkan. Ba­nyak berhenti di tengah jalan. Terlanjur memutuskan berhenti menaiki tangga (Abu Al­Ghifari, Kiat Menjadi Penulis Sukses, Mujahid Press, 2003). Padahal

sisi kegagalan awal, dapat ditolerir. Nah, dari 80 % tadi, dapatkah kita

bayangkan berapa jumlah penduduk Indonesia yang menekuni bidang jur­nalistik? Dari segi umum, mari kita pecah lagi menjadi lebih khusus. Berapa jumlah wanita Indonesia yang mayori­tas dari laki–laki mengambil peran ini? Dan berapa jumlah srikandi Aceh yang mampu dan konsisten dengan dunia tu­lis menulis? Tentunya kita dapat mem­bayangkan kaum wanita yang berperan, walaupun tidak bisa menghitung angka pasti. Jujur saja, kuantitas perempuan menulis, masih sangat jauh dari pria di Nanggroe Aceh Darussalam. Padahal kualitas perempuan menulis, dapat di­sejajarkan dengan pria.

Perempuan PascatsunamiTerlepas dari polemik hambatan

menulis, akhirnya menjadi hal yang wajar menghadapi kondisi Aceh pas­catsunami bahwa peran perempuan

sangat dibutuhkan dalam hal jurnalistik. Maka di lapangan pun saat ini, banyak bermunculan perempuan­perempuan “tegar” di Aceh. Dengan segala atribut yang melekat padanya, memberikan konstribusi yang kuat bagi masyarakat.

Menarik memang, peran perem­puan pasca tsunami di

Aceh datang dari ber­bagai kalangan, ras

dan background yang berbeda. Meng­hiasi hidup, memberikan warna warni tersendiri, termasuk gerakan dan pola yang dilaluinya. Uniknya lagi “kera­maian” ini bukan hanya datang dari perempuan­perempuan lokal (dalam negeri Red) bahkan dari wideworld alias lintas batas dan negara.

Tanpa disadari, “ Pertemuan Perem­puan” ini, menghadirkan sebuah gambaran bahwa perempuan memiliki peran yang signifikan dalam pemulih­an di Aceh. Bahkan korban yang pa­ling banyakpun, terjadi pada kelompok yang bernama anak­anak dan perem­puan. Makanya sangat wajar jika peran perempuan bukan hanya mampu pan­dai menyampaikan secara lisan. Sebab tradisi lisan akan termarginalkan. Kare­na salah satu kecenderungan manusia modern adalah efisiensi waktu guna memperoleh informasi. Menulis, ajang terhormat yang mampu menembus ru­ang dan waktu. Lebih bertahan lama dalam segi keabsahan dan riil. Untuk itu diperlukan berbagai pengetahuan atau disiplin ilmu dari diri penulis.

Kartini dan Perempuan AcehIkatlah ilmu dengan menuliskan­

nya. Pepatah Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, begitu menggema di telinga saya. Sebab saya jadi teringat dengan Ibu Kartini yang mengambil peran perempuan di wilayah publik. Hari kelahirannya 21 April, diperingati sebagai gerbang emansipasi wanita atas sistem patriarki yang selama ini “mendominasi”. Padahal perempuan Aceh menyimpan sejarah panjang. Banyak perempuan tangguh yang lahir dari Aceh. Banyak perempuan Aceh yang mati menjadi pahlawan nasional. Namun keberadaan tanggal lahirnya, tidak menyentuh pemerintah untuk menjadikan hari nasional. Pemerintah lebih percaya dengan nama besar Kar­tini. Sebab Kartini mau menulis dan rajin melakukan korespondensi dengan orang–orang Belanda. Habis Gelap Terbitlah Terang, bukti otentik kekuat­an penanya memperjuangkan kaum wanita.

Kemampuan Kartini dapat dijadi­kan kriteria untuk memacu diri wanita untuk menulis. Mengasah dan meng­optimalkan potensi yang ada. Lebih serius untuk berkarya. Memasang iti­kad baik dan menyakini hakikat diri. Bahwa orang yang besar adalah orang yang berkarya. Ini pula telah diikuti al­marhumah Diana Roswita, seorang sa­habat saya, cerpenis asal Aceh. Diusia muda, berhasil membuat 10 buku baik pribadi maupun antologi, sebelum ter­jadi tsunami. Meninggalkan jejak nama untuk dikenang. Belajarnya yang perlu kita tiru, mampu mengembangkan diri ditengah keterbatasan. Syaratnya, rajin berlatih. Dan saya adalah satu dari ba­nyak perempuan Aceh, yang berkeingin­an untuk mampu memberikan kons­tribusi bagi masyarakat melalui dunia kepenulisan ini. Sehingga jikapun suatu saat saya meninggal, setidaknya ide­ide pemikiran saya dapat sepanjang masa memberikan pencerahan. Inilah biasanya cara saya untuk senantiasa memiliki motivasi yang tinggi untuk menulis.l

Tulisan ini untuk mengenang cerpenis Diana Roswita, Mutia Maida, dan Nevi Yuli

Safitri yang meninggal pada bencana tsunami.

K

Pengarang Antologi Buku Hati yang Terpisah

dan Matahari Tak Pernah Sendiri 1, serta kumpu-

lan puisi Lagu Kelu.

ACEH MAGAZINE | Edisi April 2006�8 �9Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE �9

LEPAS LEPAS

ORE itu, Safaruddin (43), se­dikit gelisah. Duduk di warung kopi Ridwan (59), depan barak

penampungan lapangan bola Panteraja Timur. Ia sudah minum dua gelas kopi sejak pukul 15.00 WIB sebelum kemu­dian berangkat dengan ojek (RBT).

Di Kecamatan Panteraja, Kabupa­ten Pidie, RBT menjadi alat transpor­tasi yang sangat vital. Tidak ada labi­labi (kendaraan umum) yang melintasi jalan yang menghubungkan Panteraja dan Cubo, Bandar Baru, itu. Saat kem­bali ke warung, Safaruddin tampak tak tenang. Debu jalan yang mengepul diterbangkan angin karena hentakan roda kendaraan, seolah tak mampu me­riangkan hatinya.

Suasana masih belum berubah. Pa­dahal, hari­hari biasa, menurut pemi­lik warung, Safaruddin tak seperti itu. Ia seorang periang. “Entah apa yang membuatnya seperti ini,” kata Ridwan. Di gampongnya, Safar–begitu ia sering dipanggil—adalah orang yang sangat kuat berbicara. Berwawasan luas. Mak­lum, ia sudah merantau ke beberapa kota di Indonesia.

Ada mobil mewahAkhirnya, kepada Aceh Magazine,

Safar mengaku bahwa tak habis pikir dengan banyaknya lokasi di Pidie yang belum normal seperti awal sebelum tsu­nami. “Saya lihat di jalan, banyak mo­bil mewah berlambang. Tapi lihatlah, di gampong kami, masih belum semua masalah teratasi,” kata Safar.

Safar, tak bergelar sarjana. Maka­nya wajar saja tak tahu banyak hal. Safar bahkan tak tahu bentuk lambang semua organisasi. “Kalau di sini, hanya beberapa lambang lembaga saja yang saya hafal,” katanya sambil menun­juk sebuah logo lambang yang dice­tak di atas kain berukuran 40 x 40 cm. Logo lembaga itu juga terpampang di ujung barat Jembatan Panteraja. Peng­guna jalan menuju Medan akan melihat warnanya yang merah menyala.

Ketidaktahuan itu menyebabkan Sa­far hanya menyebut mobil mewah ber­lambang saja, yang lalu­lalang di barat ke timur. Lalu balik lagi, dari timur ke barat. “Pasti kebutuhannya besar seka­

li,” Safar menebak.Tapi apa yang membuat Safar benar­

benar gelisah?“Itu, jalanlah ke Keude Panteraja,”

sarannya. Keude Panteraja adalah gam­pong yang berkuala, yang di sana ter­kenal dengan produksi teri kering yang dibeli pengusaha besar untuk dibawa keluar daerah.

Jelas saja, pengamatan Aceh Ma­gazine, masih ada warga yang masih di tempat yang belum layak. Bukan tak layak. Di Gampong Tu, misalnya, masih banyak warga yang mendiami rumah papan dengan kontruksi yang sangat rapuh beratap tenda. Di sebe­lahnya, sudah ada beberapa rumah yang dibangun semipermanen. Di samping kantor Camat Panteraja juga sudah ter­bangun deretan bangunan dengan cat warna biru muda.

Sedangkan di Kemukiman Panter­aja Timur sendiri, rumah itu ada dua jenis. Rumah yang dibangun di dekat simpang yang masuk dalam Gampong Masjid, semuanya berarsitek Aceh dan bermaterikan kayu. Rumah seperti itu, tampak terpacak juga di dekat pesisir. Sesampai di Jembatan Panteraja, terli­hatlah di sisi kanan­kiri jalan para tu­kang yang sedang bekerja. Sedang di pesisir, harus melewati pematang tam­bak untuk bisa sampai ke pinggir jalan raya Banda Aceh­Medan.

Sedangkan di Gampong Peurade, rumah yang sedang dibangun adalah

permanen. Di Panteraja, rumah yang di­janjikan dari dulu, baru saja dibangun. “Kami sedikit kesulitan air bersih,” kata Muhammad (50), warga Gampong Keude. “Kalau hujan juga susah. Me­mang tidak tergenang, tapi kan dingin karena di bawah tempat kami lembab,” sambung Syamsiah (48).

Rumah penampungan sementara, bertiang sekitar 40­60 cm dari tanah. Lokasinya, sebelum dipakai, menurut warga, memang sering tergenang air. Nyatanya, ada beberapa penampungan yang tidak seperti itu. Ada tenda yang masih di tanah.

“Saya dengar banyak sekali ban­tuan kepada korban tsunami,” kata Safar, membuyarkan lamunan Aceh Magazine. Saat kembali ke Simpang Panteraja Timur kembali memperta­nyakan bagaimana mengatasi masalah di daerahnya.

Tentu saja, apa yang disampaikan Safar harus menjadi perhatian semua pihak. Paling tidak, menjadi bahan evaluasi atas apa yang sudah dilaku­kan oleh berbagai donor yang datang bergelombang­gelombang.

Ungkapan Safar tentang mobil me­wah yang berlalu­lalang, tidaklah ter­lalu berlebihan. Nyatanya, kemewahan itu ada. “Seharusnya, fenomena ini ha­rus dikurangi. Mereka kan datang ke sini untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi, makanya kalau ke lapang­an, mohonlah tak perlu mewah­mewah

Mobil Mewahdi Sarang

TsunamiS

biar masyarakat juga bersemangat,” pinta Darwin (27), warga Kota Sigli.

Kalau mewah sih boleh saja. Menu­rut Darwin, kalau kondisinya memang sudah bagus betul. “Saya tak menggu­gat apa yang mereka miliki. Tapi kalau ini diperhatikan, mungkin mereka juga akan mudah beradaptasi,” kata Darwin lagi.

Apa yang diungkapkan Darwin, se­bagian diiyakan Ridwan (30), seorang aktivis LSM di Banda Aceh. Menurut­nya, itu masalah persepsi. “Kan ada yang menganggap semakin mewah mobil, akan semakin mudah dalam ber­aktivitas, ya kan?” kisah Ridwan sam­bil tersenyum cuek.

Hanya saja Ridwan mengingatkan, bahwa semua yang dibawa ke Aceh, hendaknya jangan lebih banyak opera­sional ketimbang yang diterima oleh korban. “Ini penting diperhatikan, ja­ngan ada kesan aktivitas LSM sedang bermewah­mewah,” Ridwan yang juga penulis itu, mengingatkan.

Seperti dikatakan Ridwan, LSM memang perlu melakukan evaluasi atas semuanya. Tak saja atas kendaraan yang mereka miliki. Tapi juga sejauh­mana mereka sudah berhasil melak­sanakan programnya.

Evaluasi ini juga akan menjawab Safar di Panteraja Timur. Semua kor­ban, sepertinya berharap suasana akan kembali pulih seperti semula. Seperti orang sakit, yang berkeinginan segera

Yang penting fungsi, bukan mewahnya

AM: DOK

AM: DOK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200620 2�Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 2�

LEPAS PERINGATAN DINI

terlepas dari balutan perban.Butuh waktu

Tapi mengobati sakit itu, tentu bu­tuh waktu lama dengan segenap ke­seriusan. Karena porak­poranda akibat gempa berkekuatan 8,9 SR yang disu­sul gelombang tsunami, benar­benar menyebabkan sebagian Aceh luluh­lantak. Sebagian pesisir malah sudah terhapus dari peta.

Tentu, korban kolosal ini, membawa efek yang luar biasa. Selain fisik, ada masalah mental dan semangat. Terjadi berbagai macam kerusakan fisik dan piranti sosial, berpengaruh kepada se­mangat dalam hidup. “Bencana ini juga membuat nilai­nilai yang berlaku di ko­munitas harus disusun kembali, karena bencana telah membentuk komunitas baru yang berasal dari berbagai komu­nitas yang kemudian membentuk tem­pat baru,” kata Panglima Laot NAD Bustamam, .

Tapi bukankah sudah lebih setahun bencana itu berlalu? Padahal orang­orang melihat, mendengar, beragam bantuan yang datang. Ada banya su­karelawan yang meninggalkan kam­pung halamannya. “Tapi kami ma­sih seperti ini,” tegas Muhammad, di penampungan Keude Panteraja.

Kita harus berusaha memberi makna ini. Bahwa bencana, di satu pihak me­mang telah telah mengajarkan rakyat Aceh, bangsa Indonesia, dan dunia, ten­tang makna hidup: bahwa lewat orang lain, diri kita menjadi begitu bermakna. Tapi di pihak lain, permasalahan belum sepenuhnya tuntas. “Kita masih ha­rus membetulkan ikat pinggang (kerja keras),” kata Bustamam.

Dia mengusulkan evaluasi terhadap semua yang dilakukan pascabencana. Dengan momentum evaluasi ini akan membangkitkan ingatan tentang ke­sadaran bahwa yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara serta beberapa bagian negara di Asia, merupakan peristiwa global yang membutuhkan evaluasi se­cara global pula. “Saya kira yang ter­penting adalah koordinasi, dan sama­sama melakukan evaluasi. Jangan sam­pai ada lagi lembaga yang saling klaim menguasai kawasan tertentu. Padahal di lapangan, tak semua masalah bisa se­

lesai oleh satu lembaga,” ungkapnya.Dengan evaluasi ini, semua pihak

akan menemukenali berbagai hal yang terkait dengan bencana. Tapi evaluasi itu sendiri, Bustamam mengharapkan agar tak bermewah­mewah. “Yang penting kan refleksi akan melahirkan sebuah ruang untuk mengevaluasi ten­tang apa yang sudah terjadi, apa yang sudah dilaksanakan, yang mana perlu dilanjutkan, atau yang mana perlu di­perbaiki ke depan,” jelasnya.

Semua lembaga hendaknya mem­buat koordinasi agar program­pro­gram yang dijalankan yang berkenaan dengan refleksi setahun tsunami tidak tumpang tindih sehingga bisa menca­pai hasil yang maksimal dan berman­faat bagi masyarakat korban khususnya

i Masjid Raya Baiturrahman, seribuan masyarakat masih mengumandangkan zikir, saat

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekan tombol sirine peringatan dini tsunami, dalam peringatan setahun tsu­nami di Ulee Lheue, Banda Aceh, 26 Desember 200 lalu. Sirine itu dipan­cangkan di sebuah tower di Desa Lam­keuweuh, tak jauh dari tempat Presiden menekan tombol itu.

Tsunami Early Warning System (TEWS) nama alat itu. Bunyinya bisa didengar hingga di radius lima kilome­ter. Makanya, orang­orang yang lagi berdoa di Masjid Raya, bisa mendengar secara jelas suara sirene yang dipas­ang pada 23 Desember 2005 lalu oleh Badan Meteorologi dan Geofisikan (BMG) Pusat dengan Badan Rehabili­tasi dan Rekonstruksi Aceh­Nias.

Sistem peringatan dini ini dimak­sudkan untuk mendeteksi secara dini penyebab tsunami, kemungkinan tim­bulnya tsunami, dan prediksi penyebar­an tsunami. Informasi yang diberikan TEWS bersifat cepat, akurat, dan tepat. Sistem ini juga dimaksudkan, untuk

Kalau TsunamiDatang Lagi

Jepang, sebagai negara yang rawan gempa, telah sukses menggu-nakan TEWS. Dengan peralatan ini, Negeri Sakura itu berpengalaman dalam menghadapi tsunami. Bahkan, di negeri Ochin itu, telah diben-tuk sebuah lembaga yang bergerak di bidang jasa peringatan tsunami. Lembaga ini dibentuk pada tahun 1953 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA). Lembaga mempunyai enam kantor regional yang meng-hubungkan 300 sensor di seluruh kepulauan Jepang, termasuk di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi.

Kalau sebuah gempa bumi terlihat mempunyai potensi menimbul-kan tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan per-ingatan. Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio dan televisi, dan bila perlu, peringatan akan diberikan. Target JMA adalah memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami un-tuk melakukan evakuasi. Pemerintah lokal/daerah, pemerintah pusat, dan organisasi bantuan juga mendapatkan peringatan melalui saluran khusus agar mereka bisa cepat memberi tanggapan. Jaringan JMA ini begitu canggih hingga mampu meramal ketinggian, kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang.

Jika Jepang sudah canggih, eh, di Banda Aceh malah masih tenang-tenang saja: belum beroperasi dengan baik. “Badan Meteorologi dan Geofisika Banda Aceh juga belum dihubungi oleh pemerintah pusat mengenai oprasional TEWS. Tahun ini direncanakan akan ada kepas-tian,” kata Eridawati, Kepala Kelompok Teknisi BMG Banda Aceh, saat dihubungi Aceh Magazine, beberapa waktu lalu.

Lalu, kapan akan digunakan? Entahlah! l EVI ROSITA / DSB

Berguru pada Negeri Oshin

>> EARLY WARNING SYSTEM

D

dan masyarakat Aceh dan Nias pada umumnya.

Dalam catatan Aceh Magazine, Panglima Laot sendiri sudah beberapa kali menawarkan adanya sebuah Pani­tia Bersama yang akan mengkoordinir kegiatan, walau pelaksanaan kegiatan tetap berada di masing­masing lem­baga. “Tapi yang terpenting memper­hatikan bentuk kesederhanaan dalam proses pelaksanaannya,” harapnya.

Bermewah­mewah, memang bukan jalan keluar. Apalagi, setahun pasca­tsunami, masih sangat berhubungan de­ngan kondisi korban yang sampai saat ini belum pulih benar. Bukankah, Safar di Panteraja sedang mempertanyakan kepulihan itu?

l AM / SULAIMAN TRIpA

AM: FAKHRURRADZIE AM: HOTLi SIMANJUNTAK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200622 2323 Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE

PERINGATAN DINI

erjangan gelombang tsunami 26 Desember 2004 menghancurkan 17 dari 21 Ka­bupaten di Aceh. Tak pelak, Sabang yang terhampar di bibir Aceh pun digu­lung tsunami. Keberadaan Pulau Sabang diyakini ikut mengurangi kecepatan

tsunami ke Aceh hingga ke Penang. Bahasa singkatnya, Sabang menjadi benteng bagi Aceh. Walhasil, Smoog tidak banyak menghancurkan kota paling ujung barat Pulau Sumatera. Tercatat 11 jiwa meninggal dunia serta 843 rumah, 31 bengkel, 99 warung kopi dan 11 rumah toko rusak berat dengan kerugian total sekitar Rp. 145.097.506.000.

Mengapa tsunami tidak terlalu jauh menerjang kota Sabang sebagaimana Kota Banda Aceh yang mencapai lima kilometer dari pantai Ulee Lheue? Ternyata di sekitar Pulau Weh terdapat dua palung yang dalam yakni di sekitar pelabuhan kota Sabang dan Pulau Rondo. Nah palung itu melemahkan energi tsunami sehingga pada waktu gelombang menghantam daratan setelah mundur beberapa kilometer, energinya sudah banyak berkurang. Walhasil, dua palung tersebut yang diduga tempat karamnya Kapal Gurita, justru menjadi penyelamat bagi warga Sabang dan Aceh sekitarnya. l

(Sumber : www.conservation.or.id)

Pulau WehPulau Weh

Bandar Udara MAIMUN SALEH

PelabuhanBALOHAN

ACEH/SUMATERA/INDONESIA

TAHUKAH ANDA

Mengapa SabangLolos dari Tsunami?

GRAFIS: EDI IP / TANPA SKALA SUMBER: GOOGLE EARTH

T

PrakiraanPALUNG LAUT

PrakiraanPALUNG LAUT

Local authorithy

INTERNET

BMG Station

VSAT IP

VSAT IP

VSAT-1

SIRINE

BMG (Jakarta)

REPEATER

RF

RF

Accelerograph,Tide Gauge & Siren

Accelerograph,Tide Gauge & Siren

Local LinkWireless/Wired

memberikan informasi realtime dan akan mendukung proses evakuasi ma­syarakat secara baik dan efisien.

Peralatan ini dipasang oleh PT Indo­sat dan PT PSN. Early Warning System ini perlu dipasang, karena gempa dan tsunami telah mematikan 200­an ribu lebih warga dan ratusan ribu rumah dan bangunan musnah di Aceh. Tsunami juga mematikan puluhan ribu (bahkan ratusan ribu) penduduk di Srilanka, In­dia, Maldives, dan Thailand Selatan.

Lantas, bagaimana cara kerja sitem ini? Sistem peringatan ini mempunyai perangkat teknologi pendukung yang modern. Ada jaringan seismograf, ac­celerograf, dart, GPS, tide gauge. Ada juga sistem komunikasi, processing, dan sistem mitigasi bencana. Teknologi ini juga didukung oleh sistem peng­amatan yang menggunakan realtime system, yang dilakukan oleh jaringan komunikasi dan koordinasi sebagaima­na pada gambar berikutPada saat ter­

jadinya gelombang tsunami, TEWS akan mendeteksi tiga fase gelombang seismic yang cukup signifikan. Pada fase pertama dinamakan P­WAVE, ya­itu gelombang yang dari sumber gempa di dalam lapisan bumi. Gelombang ini memiliki kecepatan 8 ­ 13,5 kilometer/dt. Gelombang ini akan tercatat pada stasiun pemantau Seismik sehingga dengan mudah dapat diketahui posisi sumber gempa tersebut.

Fase kedua dinamakan S­WAVE, yang merupakan gelombang yang me­rambat pada media air laut sebelum muncul ke permukaan. Kecepatan ge­lombang ini sekitar 6,7 ­ 8 kilometer/dt dan diklasifikasikan sebagai body wave. Mengetahui kekuatan gelombang ini sangat penting karena gelombang ini akan menentukan ukuran dari gempa yang terjadi. Sementara fase ketiga adalah gelombang seismic yang mun­cul ke permukaan laut tersebut.

Ketiga fase tersebut akan tercatat

dalam peralatan seismograph pada sta­siun pemantau seismic yang besar mag­nitude­nya diukur dalam bentuk skala logaritma atau yang dinamakan skala richter (SR).

Dengan memanfaatkan jaringan global, maka TEWS dapat menginden­tifikasikan lokasi pusat gempa berdasar­kan skalanya secara realtime dalam kurun waktu 15 menit. Sebelumnya data 28 stasiun seismograf yang ditem­patkan di sepanjang pesisir barat Suma­tra akan menganalisis dan meneruskan –secara otomatis melalui SMS atau e­mail, data yang sudah masuk ke dalam database Badan Meteorologi dan Geo­fisika, dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Sementara informasi dari Bouy (sistem pelampung yang memi­liki sistem komunikasi temetri) dan gelombang pasang akan diterima antara lima hingga 15 menit setelah gempa.

Begitulah sistem kerja peralatan peringatan dini ini. l EVI ROSITA / DSB

GRAFIS: EDI IP / SUMBER: DSB

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200624 25Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 25

iga hari menjelang Idul Adha 1426 Hijriah, 7 Desember lalu, Unimal mencatat sejarah baru.

Hari itu, nasib Unimal ke depan ditentu-kan melalui sebuah perhelatan pemilihan kepemimpinan (rektor) lembaga terse-but empat tahun ke depan. Rektor sebel-umnya, Ir A Hadi Arifin MSi, dipilih kem-bali menjadi rektor untuk masa jabatan kedua. Ini berarti, salah seorang perintis proses penegerian Unimal dari sebelum-nya berstatus swasta ini, harus bekerja ekstrakeras untuk memajukan Unimal, perguruan tinggi negeri (PTN) ketiga di Aceh.

Hadi Arifin sendiri sebenarnya men-yadari posisi tugas dan tanggung jawab dari jabatan rektor yang dipercayakan kepadanya itu begitu berat. “Tetapi, saya harus berani mengemban tang-gung jawab tersebut untuk membesar-kan Unimal, tidak saja bagi masyarakat Aceh Utara, tapi juga bagi Aceh secara keseluruhan,” katanya. Dengan visi men-jadikan Unimal sebagai salah satu pusat pengembangan sumber daya manusia (SDM), Hadi yakin Unimal akan menjadi tempat penggodokan sumber daya manu-sia Aceh yang baik di masa depan dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar di saat sekarang.

Unimal merupakan universitas negeri di Kabupaten Aceh Utara hasil pengem-bangan dari Akademi Ilmu Agama Jurusan Syariah yang didirikan 37 tahun lalu ke-tika Aceh Utara berada dipimpin Bupati Drs Teungku Abdul Wahab Dahlawi. Kini Unimal menjadi lembaga pendidikan yang telah mengalami berbagai proses “reinkarnasi” dan pengembangan di sana-sini.

Dalam rentang waktu dan perjalanan waktu yang cukup lama itu, memang

Jejak Raja di Kampus BungsuADVERTORIAL

Universitas Malikussaleh (Unimal) didirikan dengan menyan­dang nama besar Raja Samudera pasai. Sebagaimana sang Raja yang telah menorehkan tinta emas di masa lalu, Unimal diharap mampu menorehkan tinta ilmu bagi pengembangan SDM di masa kini. Ada peluang, tapi juga ada tantangan.

T

idup selalu berubah. Demikian juga dengan Unimal. Universi-tas ini awalnya didirikan pada

tahun 1969 dalam bentuk Akademi Ilmu Agama Jurusan Syariah.

Untuk mengintensifkan aktivitas lembaga akademi ini, pada tahun 1971 dibentuklah Yayasan Perguruan Tinggi Islam (YPTI) berdasarkan Akte Notaris Nomor 15 Tanggal 17 Juli 1971 sebagai badan yang bertanggung jawab untuk proses pengembangan lebih lanjut. Ber-dasarkan Surat Keputusan Yayasan Pergu-ruan Tinggi Islam Nomor 001/YPTI/1971, 1 Agustus 1971, Akademi Ilmu Agama diu-bah namanya menjadi Perguruan Tinggi Islam dengan Jurusan Akademi Syariah, Akademi Ilmu Politik, Akademi Tarbiyah, serta Jurusan Dayah Tinggi/Pesantren Luhur.

Perguruan Tinggi Islam ini menga-lami perubahan nama lagi menjadi Per-guruan Tinggi Islam Malikussaleh (Per-tim), melalui Surat Keputusan Yayasan Perguruan Tingi Islam Pada tanggal 24 Mei 1972. Delapan tahun kemudian, te-patnya tahun 1980, Pertim berubah lagi menjadi Yayasan Pendidkan Universitas Malikussaleh (Unimal). Setelah melewati perjalanan panjang dan rumit, akhirnya pada 18 Juli 1984, dengan Surat Keputu-san Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0607/0/1984 Sekolah Tinggi Administrasi Negara memperoleh Status Terdaftar. Sekolah Teknik pun didong-krak berstatus Terdaftar pada 24 Agustus 1984 dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 0392/0/1984.

Pada tahun 1986 di lingkungan Uni-mal didirikan Fakultas Pertanian, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, serta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0584/0/1989, 11 September 1989 kembali Unimal berinte-grasi dalam Fakultas Ilmu Administrasi, Teknik, Pertanian, Ekonomi, Hukum, serta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pen-didkan (FKIP). Hanya saja Fakultas Kegu-ruan dan Ilmu Pendidikan tidak memiliki

Status Terdaftar. Pada Tahun Akademik 1989/1990 FKIP tidak menerima ma-hasiswa baru karena menurut rencana fakultas tersebut akan ditutup.

Di akhir tahun 1998 muncul banyak pertanyaan yang berhubungan dengan status kepemilikan dan pemberdayaan Unimal. Oleh karena itu, komponen civitas akademika Malikussaleh mende-sak DPRD Kabupaten Aceh Utara meng-gunakan hak inisiatifnya dalam rangka melahirkan Perda sebagai dasar hukum memperjelas status kepemilikan dan pemberdayaan Unimal.

Surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 004/D/T/2001, 2 Januari 2001 kepada Rektor Unimal mengenai Surat Dirjen Pendidikan Tinggi kepada

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 3458/D/T/2000, 2 Oktober 2000 ten-tang kesiapan Unimal menjadi Perguruan Tinggi Negeri yang telah mendapat dispo-sisi Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6015/TUM/2000, 21 Desember 2000. Dirjen Pendidikan Tinggi dengan nomor surat 1252/D/T/2001, 24 April 2001 mempertayakan kepastian status Unimal apakah milik masyarakat Aceh Utara dan dibiayai dengan APBD atau milik pemer-intah dan dibiayai dengan APBN.

Sekiranya tetap diproses penegeri-aannya, maka Peraturan Daerah Nomor: 26 tahun 1999 otomatis akan gugur sete-lah terbitnya Keputusan Presiden tentang penetapan Unimal sebagai Perguruan Tinggi Negeri.

Menjawab Surat Dirjen Pendidikan Tinggi mengenai status pengurusan pene-gerian Unimal, maka Rektor Unimal den-gan surat Nomor 540/UNIMA/H/2001, 28 April 2001, menjelaskan, bahwa program penegerian Unimal adalah suatu aspirasi dan permintaan masyarakat Aceh Utara khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya. Hal ini dalam rangka mening-katkan kualitas SDM di Aceh guna menc-erdaskan kehidupan bangsa.

Puncak dari upaya yang maksimal

untuk meningkatkan status Unimal yakni ketika Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden (Kep-pres) Nomor 95 Tahun 2001, 1 Agustus 2001 mengenai penegerian Unimal. Den-gan penegerian ini berarti di Aceh yang berpenduduk sekitar 4,2 juta jiwa memi-liki tiga perguruan tinggi negeri; dua berbentuk universitas (Unsyiah di Banda Aceh dan Unimal di Lhokseumawe) serta satu institut negeri, yakni IAIN Ar-Raniry di Banda Aceh. l ADV

sudah saatnya bila sekarang Unimal melakukan langkah-langkah taktis dan strategis agar dapat betul-betul tampil sebagai lembaga pendidikan tinggi yang memiliki kre-dibilitas dan tak tak lagi dianggap kelas dua alias underdog dari dua pendahulunya: Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan IAIN Ar-Raniry. Dalam kapasitas itulah, janji Rektor Hadi, dalam masa kepemimpinannya ke depan, Unimal akan diarahkan untuk melengkapi fasilitas, melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, dan mempercepat pe-mindahan lokasi kampus ke Reuleut agar menjadi tempat perkuliahan yang repre-sentatif.

“Realisasi ke Reuleut sebenarnya sudah dimulai sejak 2001. Semua upaya tengah dilakukan, terutama pada per-baikan berbagai infrastruktur seperti ja-lan, air bersih, dan bangunan kampus,” ungkap Hadi yang kelahiran Sawang, Aceh Utara, 6 Juni 1959 ini, sembari menam-bahkan bahwa pada 2007 nanti aktivitas perkuliahan akan optimal dipusatkan di Reuleut.Ini tentu saja bukan angan-an-gan yang kesiangan. Rektor terlihat be-nar-benar serius. Ia telah dan berjanji masih akan melakukan serangkaian kerja sama dengan berbagai pihak untuk me-realisasikan cita-cita menjadikan Uni-mal sebagai salah satu pusat peradaban dan pendidikan di Aceh Utara. Beberapa kerja sama telah dilakukan dengan berb-agai universitas dan lembaga pendidikan baik di dalam maupun luar negeri. Di luar negeri Unimal telah melakukan pen-

jajakan kerja sama dengan universitas di Jerman dan Amerika Serikat.

Khusus tentang imej Unimal men-jadi universitas negeri kelas dua sete-lah Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry dari tiga perguruan tinggi negeri yang ada di Aceh saat ini, Rektor Unimal A Hadi Arifin tak menampiknya. Tetapi ia menyatakan tak layak Unimal disebut underdog alias papan bawah bila yang dijadikan per-bandingan adalah Unsyiah dan IAIN yang telah mapan dan berdiri lebih dulu dari Unimal. “Bagaimana Unimal bisa diband-ingkan dengan Unsyiah dan IAIN yang te-lah mapan dan lahir lebih dulu? Unimal baru di-PTN-kan tahun 2001, doktornya baru dua, laboratoriumnya pun masih kurang,” ungkap Hadi.

Hadi tidak menampik kalau sampai sekarang fasilitas di Unimal masih kurang dibanding yang dimiliki Unsyiah atau IAIN, karena Unimal sendiri memang tengah berupaya melengkapi berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Di sini, agaknya sang Rektor memang benar. Tentu tak padan bila “si Bungsu” Unimal dibandingkan dengan Unsyiah. Yang bisa dijadikan bahan perbandingan kelas dua-tidaknya Unimal tentunya universitas-universitas yang waktu atau proses penegeriannya bersamaan dengan Unimal, bukan uni-versitas yang telah lebih dulu lahir. l ADV

Rektor Unimal saat melakukan pembicaraankerjasama dengan salah satu Universitas di AS

Site Plan Unimal ke depan

Sejarah UnimalH

ADVERTORIAL

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200626 27Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 27

UUPA harus memberikan kewenangan yang penuh bagi

Aceh seperti yang diamanatkan Memorandum of Understand­ing (MOU) Helsinki; kewenang­

an penuh dalam mengelola sumberdaya alam; perimbang­

an keuangan dari seluruh pengelolaan sumberdaya alam.

Akan dikabulkankah?

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200628 29Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 29

PEzIARAH

Sejak kapan menjaga kuburan masal?

Mulai kerja menjadi penjaga makam lima hari setelah tsunami.

Apa pekerjaan Anda se-

belumnya?Petani.

Kenapa mau menjadi penjaga makam di sini?

Saya menjaga makam sebagai un­gkapan rasa syukur saya kepada Al­lah SWT. Sebab anak lelaki saya yang memancing di Ulee Lheu dan anak le­laki satunya lagi mancing di Lhok Nga, Aceh Besar (kedua daerah itu paling parah dilanda tsunami–red.). Syukur Alhamdulillah semuanya selamat dari musibah tersebut. Demikian juga, anak perempuan saya setiap hari berjualan di kota, tetapi pada hari musibah tiba­tiba saja dia sakit. Dengan demikian, dia ti­dak ke kota. Alhamdulillh dia selamat, padahal tetangga saya yang berjualan di kota bersama anak saya, sudah tidak ada lagi, akibat diterjang oleh gelom­bang tsunami. Kedua, kalau saya pergi ke tempat ini, tiba­tiba saja hati saya menjadi tenang.

Siapa saja yang ikut terlibat dalam proses penguburan jenazah di ku-buran massal ini?

Lima hari setelah tsunami, para masyarakat di sini lari meninggalkan rumah­rumah mereka dan mengungsi ke tempat­tempat yang lain. Karena tidak tahan mencium bau busuk dari jenazah dan orang­orang kampung ke­luar ke jalan karena takut memegang jenazah, jadi tinggal saya dan Pak Ab­dul Madjid yang juga seorang penjaga kuburan massal ini, dibantu anggota TNI, juga dua unit alat berat untuk menguburkan.

Berapa jam sehari Anda bekerja?Tidak tentu, tergantung seberapa

lama bekerja untuk membersihkan se­luruh makam ini seperti potong rum­put, membersihkan sampah dan sam­pah dari penziarah dan lain­lain.

Apakah ada yang menjaga pada

malam hari di sini? Tidak. Karena tidak ada tempat.

Saya Mengabdi di KuburanAbdul Rasyid:

SAAT sifat nafsi-nafsi membuncah usai ge-lombang raya pada Ahad 26 Desember 2004,

Abdul Rasyid mendekatkan diri ke taman barzah seluas satu hektar. Tanah tandus, disulap bak taman. Semerbak bau amis diganti harum aneka bunga. Di kuburan massal Desa Siroen, Lam-baro, Aceh Besar, Abdul Rasyid (55) dan rekan-rekannya mengabdikan hidup pada 46.718 jenazah yang bersemayam di dalam tanah yang

sedang bersengketa.Bapak itu bersungguh hati menjaga barzah, begitulah caranya bersyukur pada Ilahi. Sebuah pilihan yang jarang dimaui orang banyak. Bapak dari tiga

anak perempuan dan dua lelaki masih bertahan mengawal makam misal

tersebut. Kepada Rizky Fechrizal dari Aceh

Magazine, pria lulusan Seko-lah Rakyat Indonesia me-

nuturkan penga-lamannya.

Andaikata mushala yang dalam tahap pembangunan itu (dia tunjuk ke arah mushala tersebut­red) siap dibangun, pasti akan ada yang menjaga.

Sebelum dijadikan makam, siapa pemilik tanah ini?

Milik warga yang telah dibeli oleh Pemda dengan harga kurang lebih sekitar Rp 200.000 per meter. Pohon mangga dihargai oleh Pemda dengan Rp 75.000 per batang, pohon kelapa Rp 50.000 per batang dan pohon pinang Rp 25.000.

Apakah harga tanah sudah dibayar? Sudah 100 persen beres. Tak ada

lagi masalah.

Apakah Anda mendapat honor-rarium?

Nama saya dan para penjaga makam yang lain telah tercantum di kantor ca­mat, dan juga di kantor bupati. Tetapi honornya belum ditentukan dan kami semua belum pernah mendapatkannya.

Jadi pendapatan Anda dari mana?Kami mendapatkan sedikit rezeki

dari Allah SWT, melalui tangan­tangan para penziarah makam ini, yang dima­sukkan melalui tabungan amal yang ada di makam ini

Apakah sumbangan peziarah Anda rasa cukup?

Kami kerja dengan keikhlasan hati, jadi kalau masalah pendapatan kami tidak terlalu ambil pusing. Tergantung Allah SWT yang memberi, kalau dapat ya Alhamdulillah, tetapi kalau tidak ada pun tidak menjadi soal.

Bagaimana cara pembagian hasil

dari tabungan amal? Begini, misal kami mendapatkan

hasil itu Rp 200.000, kami bagi lima. Satu bagi untuk membayar lampu lis­trik, empat lagi kami bagi untuk sesama penjaga makam di sini.

Keuangan di sini siapa yang ke-

lola?Kami semua, bersama­sama menge­

lolanya. Bagaimana prosedur kerja di sini?Kalau Pak Abdul Madjid, salah satu

penjaga makam di sini , datang, berarti saya sudah bisa pulang ke rumah. Be­gitu juga dengan yang lainnya.

Harapan Anda sebagai penjaga

makam di sini?Saya ingin kalau bisa di makam ini

selalu tenang, dan terus mendapatkan perhatian dari pemerintah. lRIZKY FECHRIZAL

AM: RiIZKY FECHRIZAL AM: RiIZKY FECHRIZAL

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200630 3�Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 3�

pertemuan lanjutan 21 Maret lalu, akan dihasilkan suatu buku pegangan bagi pendakwah dalam menyampaikan pesan keselamatan ibu kepada masyarakat. Tak ayal, dai dan ulama memang memegang peranan penting dalam masyarakat. Itu sebabnya, menyosialisasikan kembali peranan suami, keluarga, dan masyarakat dalam menyelamatkan ibu hamil/bersalin dan bayi dengan pendekatan agama dan budaya, tentu akan sangat efektif.

Ke-12 ulama yang menjadi tim perumus dalam kegiatan ini adalah Dr H Mustanir MSc (Ikadi), Dr Hj Rosaria Indah (BSMI), Abu Bakar MSi (PKBI), yang merumuskan dari sudut pandang kesehatan. Cut Januarita, H Muliadi Nurdin Lc (Depag Aceh Besar), Isra’ Ahmadsyah MEc (MPU Kota Banda Aceh), Tgk Hasbi Al-Bayuni (Himpunan Ulama Dayah), dan Tgk H Ali Sabi SH membahas dari sudut pandang agama. Dari sudut pandang adat, hadir Drs HA

Rahman Kaoy (Wakil Majelis Adat), Dra Hj Dahlia MAg (Balee Syura Ureung Inong), Safrilsyah Syarief SAg MI (Dekan I Psikologi Muhammadiyah), dan Maria Ulfa S.Psi.

Keselamatan ibu dalam adatKegiatan yang melibatkan ulama ini

melihat, sejak Islam masuk ke Aceh, suasana kehidupan diwarnai rambu-rambu syariat. Keadaan ini terutama terlihat pada masa kekekuasaan Iskandar Muda. Pada saat itu, muncul ungkapan yang menyebutkan, ”Agama dengan adat bagai zat dengan sifat”.

Islam telah menjelaskan bagaimana seharusnya wanita hamil diperlakukan; apa saja haknya, apa pula kewajiban suami. Sejalan itu, adat mendorong keluarga dan masyarakat menghargai dan memuliakan ibu hamil, meng-gembirakan hatinya, menguatkan se-mangat serta keteguhan jiwanya agar tidak merasa gelisah, tetap memiliki

kesenangan hati, kesiapan mental, dan keteguhan jiwa. Ibu hamil harus mendapat pelayanan khusus dari suami, keluarga, dan para handai tolan lainnya.

Menurut A Rahman Kaoy, ibu hamil dan anak mendapat kedudukan mu lia dan utama dalam masyarakat adat karena: Pertama, masyarakat mengharapkan bangsanya menjadi besar dengan bertambah banyaknya umat Nabi Muhammad untuk menjadi pejuang Islam dari masa ke masa. Kedua, mereka menginginkan kelestarian turunan yang kuat dan sehat. Ketiga, memperkuat silaturahmi, memperkokoh ikatan ke-luarga. Keempat, menjadi buah hati, penolong, pembela keluarga, penerus perjuangan dan citra orangtuanya. Kelima, penegak misi ilahiah, penerus risalah rasulullah. Keenam, pengawal adat seni-budaya.

Untuk itu, Rahman Kaoy dalam ma-kalah berjudul ”Kedudukan Ibu Hamil dan Anak dalam Adat Aceh”, mengatakan, perlu kerjasama dari semua pihak guna melahirkan generasi baru yang tangguh, bukan sebaliknya.

Itu sebabnya, apa yang menjadi tradisi adat seperti dirumuskan ke-12 ulama di atas memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai Islam yang dianut mayoritas masyarakat. Dari sisi kesehatan, tradisi itu memiliki dimensi positif. Sebab, dalam tradisi Aceh, untuk menyambut generasi baru, persiapan tidak hanya dimulai pada saat kehamilan, tetapi jauh sebelum masa kehamilan bahkan sebelum terjadinya pernikahan.

Dalam adat dan tradisi Aceh, masa kehamilan itu memiliki arti dan perlakuan

Menyambut Generasi Baru dengan Adat dan Tradisi Informasi ini di dukung

oleh UNICEF

Aceh Menyambut Generasi Ba-ru” merupakan salah satu slogan UNICEF yang bertujuan mempersiapkan generasi baru

yang sehat dan cerdas pasca bencana tsunami yang banyak menghilangkan anak-anak Aceh. Yang dilakukan di sini adalah bagaimana menyambut generasi baru yang diharapkan dapat membawa Aceh ke arah yang lebih baik.

Dari sudut kesehatan, hal ini dimulai dari perhatian terhadap ibu dan anak yang harus dilakukan sebelum si ibu hamil, semasa hamil, dan setelah melahirkan. Juga, kesehatan ibu hamil harus ditingkatkan agar anak terhindar dari penyakit menular, semisal polio, malaria, dan demam berdarah.

Dalam meningkatkan akses pela-yanan kesehatan ibu dan bayi ini, Dinas Kesehatan Aceh dan UNICEF melakukan upaya untuk menjamin tersedianya pelayanan, baik di tingkat desa, maupun rujukan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (Poned) di Puskesmas. Tentu, selain Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (Ponek) berkualitas di Rumah Sakit.

Begitupun, upaya meningkatkan akses pelayanan akan kurang efektif jika tidak diikuti dengan upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi. Diharapkan, pesan kunci dalam membuat kehamilan lebih aman –setiap persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang kuat, dan setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran--, dapat sampai kepada masyarakat. Pesan

keselamatan ibu hamil dan melahirkan perlu disampaikan kepada publik.

Satu hal yang sangat menarik, ternyata masyarakat Aceh dari dahulu sudah mempunyai rangkaian kegiatan yang menunjukkan kepedulian ting-gi terhadap ibu hamil dan bayi. Sa-yang sekali, kini tradisi itu mulai ditinggalkan. Tapi, masih banyak orang atau lembaga yang berkeinginan mensosialisasikan tradisi ini kembali.

UNICEF mendukung keinginan itu, dengan memfasilitasi kegiatan “Peran

ulama sebagai agen perubah dalam mem-promosikan peranan suami, keluarga, dan masyarakat untuk menyelamatkan ibu hamil/bersalin dan bayi baru lahir dari kematian”. Kegiatan ini diprakarsai Ikatan Da’i Indonesia (Ikadi) Aceh pada Februari dan Maret 2006.

Kegiatan ini dimulai dengan suatu pertemuan pendahuluan 12 ulama yang menggali pesan keselamatan ibu dari pandangan medis, agama, dan adat. Diharapkan, dari pertemuan intensif selama dua hari (18-19 Februari) dan

Informasi ini di dukung oleh UNICEF

Kesalahpahaman di Masyarakat tentang Perawatan Ibu Setelah Persalinan dari Segi Kesehatan:

Ibu tidak boleh banyak minum. Hal ini keliru, sebab untuk menghasilkan banyak ASI dan proses pemulihan setelah persalinan, ibu memerlukan banyak cairan terutama melalui minuman. Justru ibu dianjurkan banyak minum susu, sari buah, air putih dan cairan lainnya, minimal 12 gelas sehari.Pengasapan (madeung). Perlakuan ini dapat membuat ibu kekurangan cairan sehingga akan mengurangi produksi ASI. Pemanasan dengan batu panas. Bagi ibu yang kekurangan cairan maka bila dipanaskan lagi dengan menempelkan panas dapat menyebabkan dehidrasi Pantangan makan makanan tertentu bagi ibu. Biasanya ibu-ibu yang baru melahirkan hanya boleh mengkonsumsi ikan teri yang digongseng (kareng teulheue). Hal ini tentu akan menyebabkan ibu kekurangan protein dan bahan-bahan lain untuk penyembuhan luka, pengembalian jumlah darah, dan produksi ASI.Tidak boleh turun/keluar rumah sebelum 40 hari. Perlakuan ini pada bayi akan menyebabkan bayi tidak terkena sinar matahari. Padahal ini sangat penting bagi pembentukan vitamin D yang bermanfaat untuk pertumbuhan tulang. Sementara bagi ibu yang baru melahirkan larangan ini akan membatasi ruang geraknya sehingga penyembuhan luka akan makin lambat.

PARIWARA PARIWARA

GRAFIS: SA. AMIN

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200632 33Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 33

PARIWARA PARIWARA

Suatu angka yang cukup memprihatinkan! Apalagi jika kita menyadari

bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan ibu dan anak bukan hanya penting untuk diri mereka sendiri, tetapi juga berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, dan pembangunan. Bila ibu dan anak meninggal atau sakit, keluarga, masyarakat dan bangsa pasti juga ikut menderita. Ibu yang sakit atau meninggal menyebabkan kontribusi produktifitas mereka untuk rumah, lapangan kerja, eko-nomi, dan masyarakat menjadi hilang. Kelangsungan hidup dan pendidikan anak menjadi teran-cam. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sebanyak satu juta anak meninggal setiap tahun akibat kematian ibu mereka

Penyebab kematian ibu dapat dibedakan menjadi penyebab langsung (yang umumnya adalah faktor medis) dan penyebab tak langsung, seperti sosial budaya, ekonomi, pendidikan, geografis, transportasi, status gizi ibu hamil, anemia, dan perilaku kesehatan reproduksi tertentu.

Penyebab langsung dapat dici-rikan oleh pendarahan, keracunan kehamilan (eklamsia), infeksi, partus lama (lebih dari 12 jam), dan pengguguran kandungan (abortus). Sedangkan penyebab tak langsung diidentifikasi dengan ”tiga terlambat” dan ”empat terlalu”. Tiga terlambat adalah:

Pertama, terlambat mengambil keputusan untuk memberikan pertolongan kepada ibu hamil dan melahirkan.

Kedua, terlambat dalam mencapai sarana pelayanan kesehatan (kegawatan obstetri), baik karena keterbatasan biaya, jarak, keterbatasan kendaraan, maupun ketidaktahuaan tempat pelayanan kegawatan obstetri (rujukan yang lebih lengkap).

Ketiga, terlambat dalam memperoleh pertolongan di sarana pelayanan, karena keterbatasan tenaga, alat, obat, darah, atau kualitas pelayanan yang belum memadai.

Dan, empat terlalu yang dapat mempertinggi risiko pada ibu hamil adalah terlalu banyak anak, terlalu sering melahirkan, terlalu

muda saat melahirkan (di bawah 20 tahun) dan terlalu tua saat melahirkan (di atas 35 tahun).

Setiap kali hamil, seorang ibu memang menghadapi kemungkinan mengalami komplikasi yang membahayakan jiwanya. Tetapi, semua itu dapat dihindarkan dengan memberikan perawatan, perlindungan dan pertolongan yang baik secara bersama-sama dan terpadu kepada ibu hamil dan ibu melahirkan, baik oleh tenaga kesehatan terampil (dengan memeriksakan kehamilan secara teratur sejak hamil muda sampai dengan mendapatkan pertolongan persalinan dari bidan atau dokter), keluarga khususnya suami, maupun masyarakat serta pemerintah. Dengan demikian, semua pihak mempunyai kewajiban melakukan kontribusi untuk mencegah terjadinya kematian ibu.

Membawa Kehidupan yang tak Mematikan

Di Indonesia, setiap satu jam, dua ibu meninggal karena komplikasi kehamilan dan kelahiran. Dalam satu tahun ada 17.520 ibu yang meninggal justru saat membawa kehidupan baru ke dunia.

Gita Kencana, Konsultan Unicef untuk

Promosi Kesehatan/Komunikasi Perubahan

Perilaku, Safemotherhood Campaign, Health and

Nutrition Section Banda Aceh

yang sudah dimulai pada saat kabar kehamilan ibu terdengar oleh mertuanya.

Pada bulan ketiga kehamilan, mertua bersama keluarga terdekat membawa berbagai jenis buah-buahan untuk dijadikan lincah (rujak), yang kemudian disajikan kepada tamu dan dibagikan kepada tetangga. Hal ini dimaksudkan untuk menambah selera makan ibu hamil. Harapannya, si ibu berselera makan sehingga kondisi fisiknya menjadi kuat. Buah-buahan yang dimakan mengandung vitamin yang banyak dan memang amat diperlukan untuk menjaga stamina sang ibu dan bayi yang berada dalam kandungannya.

Masa Kehamilan 4 -7 bulanPada bulan kelima kehamilan

seorang wanita dalam adat Aceh, sang suami ditepungtawari (rhah ulee) oleh ibu mertua. Ketan dan kue disediakan untuk dikirim ke rumah orangtua suami dan dibagikan kepada keluarga terdekat. Pada bulan keenam, orangtua suami membawa nasi disertai lauk-pauk dalam jumlah terbatas (bu ceu), secara diam-diam, kepada keluarga istri.

Pada bulan ketujuh, ada acara peumanou tujoh buleun. Pada saat ini diadakan acara yang disebut dengan keumaweuh. Keumaweuh adalah membawa bu gateing (rantang) yang melibatkan keluarga suami atau mertua dengan mengantar nasi, lauk-pauk, serta berbagai macam penganan seperti meuseukat, dodoi, bhoi, thimphan, keu­karah, makanan bouh manouk, peunajoh thoe, dan lainnya, dalam jumlah besar. Acara keumaweh ini diikuti keluarga serta tetangga di kampung. Pada ke-sempatan ini ibu hamil dipeusijuk oleh mertua dan keluarga dekat.

Masa Kehamilan 8-9 bulan Perhatian dari keluarga terdekat

diwujudkan dalam bentuk membawa

makanan yang disukai ibu hamil. Pemeriksaan pada

bidan desa (ma blien) Ini merupakan kegiatan adat untuk

memperkuat silaturrahmi antarkeluarga suami dan istri, menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepekaan sosial. Dari sisi psikologis dapat meningkatkan rasa percaya diri ibu, bahwa dirinya dan kehamilannya sangat berharga di ma-syarakat. Tradisi membawa makanan memang diperlukan oleh ibu hamil dalam memenuhi kebutuhan pasokan gizinya.

Ketika seorang wanita hamil, kelu-arga biasanya berpartisipasi menye-lenggarakan upacara selamatan, memo-hon doa dengan membacakan Quran di surat–surat tertentu, bacaan berzanji, atau tahlil.

Masa KelahiranKetika sudah menunjukkan tanda-

tanda akan melahirkan, suami dan orangtua istri memanggil bidan atau membawa ke pos kesehatan. Suami dan keluarga menunggui proses kelahiran.

Untuk mempermudah proses kelahiran itu, suami atau orang yang dipercayai membacakan doa tertentu (tangkai seuleusoh) di segelas air, kemudian diminumkan kepada istri. Jika masih belum lahir juga, bidan menganjurkan si istri untuk meminta maaf kepada sua-minya. Selanjutnya, suami memberikan motivasi sambil mencium kening sang istri dan mengucapkan “pakiban badee ngon keu lahe” (bagaimana derasnya badai, begitulah cepatnya engkau lahir). Serta berdoa, “Allahu akhrajakum min­buthuni ummahaatikum,” (Allah-lah yang mengeluarkan kamu dari perut ibumu).

Atau membaca doa, “Allahumma la sahla illa maja’alahu sahla, wa anta tajalu huzna iza syikta sahla,” (Ya Allah tiada kemudahan kecuali kemudahan dari-Mu dan Engkau men-jadikan segala kesukaran menjadi mu-

dah). Si ibu dianjurkan beristighfar dan mengucapkan doa Nabi Yunus.

Jika usaha telah dilakukan tetapi proses melahirkan masih sulit, keluarga/suami segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap. Suami dan keluarga harus mengenali tanda bahaya pada kehamilan dan persalinan. Persiapan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya keadaan darurat juga menjadi perhatian, misalnya persiapan sarana transportasi dan biaya perawatan sejak awal.

Masyarakat Aceh menyadari pen-tingnya kehamilan agar terpelihara dan selamat sampai melahirkan, sehingga muncul petuah dan pantangan yang tidak boleh dilakukan ibu hamil atau suaminya. Pantangan, semisal, suami tidak boleh pulang larut malam, melihat gambar binatang yang menyeramkan, dan sebagainya. Jika kita kaitkan dengan konsep saat ini, pantangan-pantangan itu berkaitan dengan upaya memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi sang ibu. Ibu juga tidak boleh bekerja berat. Suami, keluarga dan masyarakat siap membantu mengerjakan tugasnya selama hamil dan melahirkan.

Setelah melahirkan, keluarga masih memberikan perhatian kepada ibu. Hal ini bisa dilihat dari pelayanan terhadap kebutuhan makanan, ramuan, obat–obatan, teut batee (bakar batu), dan sa­lee (diasapi). Semua pelayanan ini sebagai upaya memulihkan kesehatan seperti semula, sehingga bisa maksimal men-didik dan menjaga kesehatan anaknya. Semua ini mengandung nilai filosofis yang sangat kuat, betapa kedudukan ibu dan anak sangat besar nilainya di masyarakat. Berbeda dengan anggapan yang selama ini ada di masyarakat yang memberi kesan bahwa wanita dan anak-anak adalah warga kelas dua.

Jika perlakuan terhadap ibu hamil sesuai dengan ajaran agama, adat, dan kesehatan ini terus dijalankan, Insya Allah kematian ibu bisa dicegah. Begitu juga dengan perlakuan terhadap anak yang dilahirkan. Dengan demikan akan lahir anak/generasi baru Aceh yang cerdas, sehat, dan beriman berbakti terhadap orangtua, agama, negara, dan bangsa. lADV

Jika perlakuan terhadap ibu hamil sesuai dengan ajaran agama, adat, dan kesehatan terus dijalankan, insya allah

kematian ibu bisa dicegah. Begitu juga dengan perlakuan terhadap anak yang dilahirkan. Dengan demikan akan lahir anak/generasi baru yang cerdas, sehat, beriman, dan berbakti terhadap orangtua, agama, negara, dan bangsa.

AM: DOK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200634 35Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 35

Pande Besi yang tak “Pandai” lagi

Berjalan lebih dekat ke pondok tersebut, suara geletak-geletuk makin nyaring. Sebilah besi waja sedang di-tempa menjadi parang. Tangan kiri Zainal memegangnya dengan tang besar bergagang panjang. Tangannya yang lain memainkan palu besar seberat 5 kilogram. Palu itu dipukulkan berulangkali ke besi waja yang telah lebih dahulu dibakar dalam bara kayu arang hingga tampak merah menyala.

Zainal tidak sendiri. Seorang re-kannya membantu. Dia memainkan palu yang lebih besar. Beratnya 10 kilogram. Setiap kali palu itu dihantamkan, bentuk besi waja langsung memipih tipis menyerupai plat. Lekuk-lekuk kecil pada permukaannya kemudian dirapikan dengan palu kecil milik Zainal. Usai memalu yang satu, tangannya langsung mengambil bilahan besi waja yang lain

dari tanur pembakar. “Sekali bakar biasanya lima hingga sepuluh buah,” jelas Zainal Arifin, Senin (6/3), yang menekuni usaha ini sejak lima tahun lalu.

Usai sekolah menengah, Zainal bingung dalam memilih pekerjaan. Apalagi, di desa berpenduduk 240 KK itu para pemuda tidak bekerja tetap. Ada yang bersawah, jadi buruh tambak, melaut, dan sebagian kecil membuka usaha kerajinan pandai besi.

Bermodal Rp 300 (dari simpanan), dia membeli peralatan kerja, seperti tang, blower, dan membangun pondok. Bahan baku besi dan kayu diperoleh dari meuge (pengumpul). “Dengan cara begini, para perajin memang dirugikan. Karena harga jual parang dan pisau menjadi lebih murah sekitar Rp 3.000/buah,” ujarnya.

Begitupun, Zainal masih bisa mengantongi sedikit untung dari usaha yang digelutinya. Setelah membayar upah, dia dapat menyisihkan Rp 40–50 ribu per hari. “Seandainya saya punya modal sendiri, keuntungan yang diperoleh akan lebih besar,” ujarnya. Dia optimis usahanya bisa bangkit jika ada modal kerja Rp 5 juta.

Perajin umumnya memperoleh besi waja dari Aceh Timur. Di sana ada sebuah bekas kilang pengeboran minyak, PT Asamera Oil. Banyak pipa tua yang tak dipakai lagi. Sebagian dijarah, lalu dijual. “Susah didapat, karena diangkut ke Medan. Kadang saya membeli sendiri ke Aceh Timur. Harganya mencapai Rp 6.000 per kilogram,” ungkap Zainal.

Dia membutuhkan sedikitnya 10–13 kilogram besi setiap hari. Pipa besi itu

dibelah dengan memakai gerenda listrik. Untuk membuat pisau ukurannya 2,5 x 30 centimeter persegi. Untuk parang ukurannya beragam. Paling panjang 4 x 50 centimeter. Bahan baku lain adalah kayu arang. Sehari menghabiskan satu karung berkisar 30–40 kilogram.

Stagnan sesaatSayangnya, bisnis pengolahan besi

yang ditekuni Zainal tiba-tiba stagnan di penghujung 2004 lalu. Saat usahanya sedang merangkak maju, tiba-tiba digasak tsunami yang merangsek ke Desa Matang Puntong. Letak desa itu sekitar 1 kilometer dari tepi pantai.

Pagi Ahad itu, Zainal Arifin baru saja hendak memulai aktivitas rutinnya bekerja di tumpeun. Mendadak ia merasakan goyangan gempa dahsyat. Tak berapa lama, terdengar teriakan air laut masuk kampung. Tak pikir panjang, ia pun melarikan keluarganya ke desa lain. Selama tiga hari mereka di pengungsian.

Sepulang dari mengungsi, yang pertama terpikirkan adalah memulai kembali usaha pandai besi. Tapi, pikirannya hanya menjadi angan-angan saja. Betapa tidak, saat kembali menuju tumpeun, yang didapatinya adalah sebuah ketiadaan. Semua peralatan kerja hilang diseret air. Tumpeun hampir roboh. Rumahnya sama. Dia kemudian memperbaiki rumah itu,

GElEtak-geletuk suara besi beradu menjadi ritmik tersendiri

bila berkunjung ke ujung timur Desa Matang Puntong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Suara itu berasal dari pondok-pondok kecil di dekat rumah penduduk. Masyarakat setempat menyebutnya tumpeun, pondok tempat aktivitas usaha kerajinan pandai besi. Di salah satu tumpeun itulah, Zainal Arifin, 33 tahun, bersama dua rekannya sedang bekerja.

untuk menaungi istri dan tiga anaknya. Dengan sisa uang Rp 200 ribu,

Zainal membangun kembali pondok dan membeli peralatan. Jadilah sebuah pondok berukuran 4x5 meter.

Di sudut timur pondok, terdapat tanur pembakar. Di sebelahnya ada pompa air diikatkan pada papan, yang berfungsi sebagai blower (penghembus udara ke bara api). Di situlah besi-besi dibakar hingga mudah dibentuk menjadi parang dan pisau. Sesekali percikan api menyembur oleh hembusan mesin blower made in Zainal.

Di pojok lain, seorang pekerja sibuk menyiapkan gagang pisau dan parang. Potongan kayu ditarah dalam ukuran tertentu, membentuk gagang yang enak digenggam. “Mereka digaji sesuai jumlah parang atau pisau yang dihasilkan, tak tentu per hari. Kadang bisa dapat Rp 30 ribu,” jelas Zainal.

Dalam sehari biasanya mereka menyelesaikan 18 buah parang. Kalau produknya pisau, jumlahnya bisa lebih. Harga jual parang di tingkat perajin Rp 16 ribu, pisau Rp 10 ribu. Soal pemasaran, ia tidak menemui kendala. Seberapa pun jumlah yang dihasilkan, selalu ada mugee yang menjemput ke pondok. Kadang mereka dibayar tunai, sering pula baru dibayar setelah barang laku terjual di pasaran. l NASIR GABRA

Di Desa Matang Puntong ada delapan warga yang berprofesi sebagai pandai besi, di antaranya Abdul Azis, Abdul Gani, dan Ismail. Sebagai korban

tsunami, mereka belum pernah tersentuh bantuan modal. Mereka mengaku cemburu dengan perajin asal Desa Pande, Tanah Pasir, yang dibantu NGO asal Jerman.

Nicole Bergmann, Program Coordinator NGO Help From Germany, membenarkan telah membantu 58 perajin pandai besi di Kecamatan Tanah Pasir. Masing-masing di Desa Pande, Matang Janeng, Keutapang dan Desa Cangguek. “Kami bantu membangun workshop sebanyak sembilan unit plus peralatan kerja lengkap. Saat ini mereka sedang di-training cara penggunaan peralatan modern. Perajin tidak lagi bekerja dengan peralatan tradisional,” jelas Nicole.

Namun, bagi Zainal Arifin, mengharap bantuan dari pemerintah agaknya masih jauh panggang dari api. Sejauh ini namanya belum terdaftar sebagai perajin industri kecil di Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Aceh Utara. Empat perajin pandai besi di Desa Matang Puntong yang terdata

Nihil Bantuan

masing-masing Abdul Gani, Abdul Azis, Abdullah, dan Ismail. “Kami selalu mengusulkan bantuan untuk industri kecil,

khususnya untuk korban tsunami. Tapi, yang terealisasi dalam APBD sering sangat kecil dari yang diharapkan,” kata A Rahman K, Kepala Bidang Industri Kecil pada Dinas Perindagkop Aceh Utara. Nah, siap-siap tidak kecipratan deh! l

NASIR GABRA

Dengan sisa uang Rp 200 ribu, Zainal membangun kembali pondok dan membeli peralatan. Jadilah sebuah pondok berukuran 4x5 meter. Di sudut timur pondok, terdapat tanur pembakar. Di sebelahnya ada pompa air diikatkan pada papan, yang berfungsi sebagai blower (penghembus udara ke bara api).

GRASSROOT GRASSROOT

AM: DOK

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200636 37Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 37

di akhir pekan.Keran bagi masuknya orang asing

mulai dibuka sedikit ketika status Aceh berubah dari Darmil ke Darsip (Daru-rat Sipil) pada awal 2004. Tapi, situasi keamanan Aceh yang waktu itu belum sepenuhnya kondusif, tak menyebabkan Sabang kebanjiran wisatawan asing.

Cipta Hunai mengakui, wisatawan mancanegara yang datang pascatsunami ke Sabang, masih sangat minim. “Sebe-lum tsunami pun jumlahnya sudah jauh menurun, akibat diterapkannya status darurat militer di Aceh. Ketika darurat sipil, mulai ada satu dua turis asing yang masuk ke Sabang.”

Tapi, faktor pintu masuk ke Sabang yang amat terbatas pada era Darsip, hanya boleh melalui satu pintu, yakni Bandara Polonia Medan (tak boleh lewat darat dan laut), wisatawan yang datang ke Sabang pun kala itu bisa dihitung dengan jari.

Mereka yang datang itu, menurut Cipta Hunai, umumnya turis yang han-ya menghabiskan sisa waktu kunjungan mereka yang sebelumnya di kawasan Su-matera Utara, yakni di kawasan Danau Toba atau Bukit Lawang. “Kalau ada sisa waktu, barulah mereka lanjutkan per-jalanan ke Sabang. Jadi, Sabang bukan tujuan utama mereka,” ungkap Cipta.

Sekarang, setelah semua status daru-rat dicabut dari bumi Aceh dan keamanan pun semakin kondusif berkat Kesepaha-man Damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Mer-deka (GAM), Kadis Pariwisata Sabang ini optimis jumlah turis mancanegara se-makin bertambah.

“Kalau larangan masuk ke Sabang tak ada lagi dan situasi Aceh secara keseluruhan sudah aman, rasanya tak ada lagi alasan bagi para pelancong untuk pesiar ke Sabang, sep-erti sebelumnya?” ujar Cipta. Setahunya, tu-ris domestik memang sudah mulai ramai ke Sabang. Mereka umumnya pekerja kemanu-siaan di Banda Aceh dan Aceh Besar yang menghabiskan weekend-nya di Sabang.

lpADITDIVA/CHAIRUMANSYAH/ NIZWAR

asar laut dan terumbu karang di perairan Sabang yang terkenal indah, terlihat seutuhnya tanpa terhalang air laut, pada pagi Minggu, 26 Desember 2004.

Pemandangan itu begitu eksotik, fan-tastik, sekaligus mencemaskan, karena sebelumnya fenomena alam seperti itu tidak pernah terjadi.

“Seumur-umur, baru kali itu saya lihat laut Sabang surut total, hingga dasar laut dan terumbu karang tampak sejelas-jelas-nya,” ungkap M Nasir SH, (38) pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Sabang kepada Aceh Mag-azine, Senin lalu.

Apa yang disaksikan Nasir dan ribuan warga Sabang lainnya kala itu adalah pe-mandangan yang tiba-tiba hadir setengah jam setelah gempa dahsyat mengguncang Kota Sabang pada Minggu pagi itu. Tern-yata, itulah fenomena awal tsunami yang

terpicu oleh gempa berkekuatan 9,1 pada skala Richter di perairan Meulaboh, Aceh Barat.

Begitu air laut mengering, tanpa diko-mando, kata Nasir, ramai sekali warga Sabang yang berlarian masuk laut, menangkap ikan yang menggelepar-gelepar. Nasir juga ikut menangkap ikan yang terdampar di dasar laut. “Tapi, belum sempat ikan itu saya bawa ke darat, air laut tampak kembali dengan cepat ke arah darat. Cepat-cepat saya lari ke darat, tanpa peduli lagi pada ikan yang tadinya sudah ber-hasil saya tangkap dengan tangan,” ujar calon walikota dari Partai Amanat Nasional ini.

Kurang dari sepuluh menit, laut yang mengering tadi kembali dipenuhi air, bahkan meluber hingga ke darat dengan terjangan yang kuat. Menggilas apa pun yang dilaluinya. Rumah Nasir di Keca-matan Sukakarya, Sabang, ikut hancur. Sekitar enam hingga delapan meter tinggi air laut yang menerpa daratan di kawasan

pantai Kota Sabang kala itu, baru kemudi-an warganya tahu bahwa itulah tsunami.

Dampak yang ditimbulkan “gelom-bang pelabuhan” pada akhir tahun lalu terhadap Kota Sabang, tentulah dahsyat, mesti tak separah Banda Aceh dan Ca-lang, Aceh Jaya.

Kawasan pantai (costal area) di pu-lau yang penuh pesona itu paling parah terkena imbas. Karang permukaannya hancur berkeping. Cottage dan bunga-low banyak yang ambruk. Demikian pula shelter-shelter wisata yang diba-ngun pemerintah. “Sekitar 80 hingga 90 persen dari fasilitas wisata di kota turis ini porak-poranda,” ungkap Kepala Di-nas Pariwisata Sabang, Drs Cipta Hunai MSi yang ditemui Aceh Magazine di ke-diamannya, Sabtu lalu.

Tentu saja dibutuhkan banyak dana un-tuk membangun kembali semua itu. Kocek Pemko Sabang tak cukup untuk membena-

D hi semua itu. “Untunglah, Alhamdulillah, sekarang banyak NGO asing yang mem-bantu masyarakat dalam menghidupkan kembali kawasan-kawasan wisata, terutama masyarakat yang bergantung hidupnya pada sektor pariwisata,” kata Cipta Hunai.

Di antara NGO dan lembaga donor, ada yang memberikan modal kepada warga untuk bisa berjualan kembali di kawasan wisata. Ada juga paket bantuan yang lebih besar jumlahnya untuk memba-ngun kembali bungalow-bungalow milik warga. Bahkan, ada NGO yang mendanai pembangunan kembali pintu gerbang di taman laut yang rusak diamuk tsunami.

Mahyuddin alias Dodent, perintis dan penggerak pariwisata Sabang, juga ke-ciprat rezeki. Bersama sejumlah warga pesisir, ia kebagian proyek membersi-hkan kawasan taman laut Sabang yang dikotori bengkalai tsunami. Program ber-sih-bersih ini dibiayai oleh sebuah NGO

asing.Mulai pula terlihat belasan bule yang

hilir-mudik di kota ini, meski tidak se-muanya berstatus turis, melainkan peker-ja kemanusiaan.

Dari aspek wisata pascatsunami, kata penggerak wisata di Iboih, Misran (50), Kota Sabang belum mampu mengejar rekor kunjungan wisata di atas 70 orang per minggu seperti terjadi sebelum diber-lakukan Darurat Militer tahun 2003.

Saat Darmil, seluruh pintu masuk bagi orang asing, ke wilayah Aceh ditu-tup. Sabang paling merasakan imbasnya. Sepanjang tahun tersebut tak satu pun tu-ris asing yang masuk ke sana, sehingga sektor pariwisata mengalami mati suri. Puluhan bungalow atau cottage yang dikelola masyarakat maupun Dinas Pari-wisata Kota Sabang tak kedatangan tamu asing. Hanya beberapa tamu domestik, umumnya remaja, yang datang berlibur

Lebih AmanbEbErapa ekspatriat yang bekerja di Banda Aceh juga tertarik da-

tang ke kota paling ujung barat Indonesia ini. Le Roy, warga Amerika Serikat yang menjabat penasihat Gubernur NAD, belum lama ini

menghabiskan akhir pekannya bersama istri dan anak-anaknya di Sabang. “Luar biasa menarik. Anak-anak dan istri saya sampai ketagihan ke Sabang,” ujar pria yang pernah lama bertugas di Papua dan beristrikan wanita Hawaii ini.

lebih amanMichael Bak dari USAID Indonesia melihat potensi Sabang untuk meng-

gaet wisatawan asing kini semakin terbuka lebar. Dibanding Bali, misalnya, yang sudah dua kali diguncang bom, berwisata ke Sabang tentu jauh lebih aman. Ia yakin, akan banyak warga asing yang saat ini menunaikan misi ke-manusiaan di Aceh akan memilih Sabang untuk berlibur. Tapi, ya, fasilitas yang tersedia di Sabang tentu saja masih jauh tertinggal dibanding Bali.

Cipta Hunai berharap, kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) di Aceh dapat menambah dan meningkatkan fasilitas wisata di Sabang.

“Aceh sudah aman. Itu artinya, pintu Sabang terbuka lebar bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Picnic to Sabang, why not? Coming,

please!” ujar Kadis Pariwisata Sabang itu ramah. l pADITDIVA/NIZWAR

Pesiar ke Sabang, Yuk!PARIWISATA PARIWISATA

AM: NIZWAR

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200638 39Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 39

atau pemerintah. Bagi mereka, kencan di rumah sendiri tentu lebih menarik ketimbang numpang di anjungan milik orang lain, meskipun sama­sama gratis.

Setelah sepi pengunjung, kebetulan ada bantuan minyak untuk pengungsi, tempat itu pun dijadikan sentra penumpukan minyak. Paling tidak, dalam situasi apa pun, anjungan itu tetap berjasa bagi pengungsi. (*)

BELUM pulih benar, itulah gambaran singkat tentang

Sabang, kota wisata yang terdapat di ujung paling barat Indonesia.

Saat ini ada dua alasan untuk mengatakan kondisi Kota Sabang belum sepenuhnya pulih atau belum kembali ke situasi normal. Alasan pertama, jumlah kunjungan turis yang masih minim dibanding rekor sebelumnya. Kedua, fasilitas pariwisata yang rusak akibat tsunami belum seluruhnya dibenahi.

Pengungsi akibat tsunami pun masih bertabur di kota ini dengan segala suka­dukanya. Untuk tahu lebih jauh suasana Sabang pascabencana dan pascakonflik, wartawan Aceh Magazine, Chairumansyah dan Nizwar melawat selama tiga hari pada awal bulan ini ke pulau penghasil kedondong dan aneka dodol itu. Berikut reportasenya.

Saat kami menyusuri Kota Sabang, dari Balohan hingga ke Iboih awal Desember lalu tidak banyak turis asing yang berseliweran. Tak sampai sepuluh orang asing yang terlihat di pantai Gapang dan Iboih yang eksotik. Biasanya, apalagi di saat­saat week­end seperti ini, puluhan hingga ratusan turis mancanegara yang pesiar ke Sabang.

Bule­bule yang terlihat hilir­mudik awal bulan lalu di kawasan wisata seperti Iboih dan Gapang itu pun, ternyata tidak sepenuhnya untuk berwisata. “Mereka merupakan orang­orang NGO yang mempunyai kegiatan di Sabang, di antaranya memperbaiki fasilitas pariwisata yang rusak akibat tsunami,” kata Misran (50), tokoh masyarakat yang juga penggerak wisata di Iboih.

Setelah bekerja seharian atau saat off di akhir pekan, para pekerja kemanusiaan itu biasanya menikmati keindahan pantai Gapang dan Iboih dengan mandi sepuasnya. Ada juga

yang melakukan scuba diving atau snorkeling hingga ke pantai Pulau Rubiah yang terdapat di seberang pantai Iboih.

Sebelum tsunami, panorama bawah laut di kawasan ini sangat eksotik. Tapi, gempuran tsunami menyebabkan banyak terumbu karangnya hancur. Bahkan, guncangan dan dorongan gempa menyebabkan Pulau Weh, nama lain Sabang, bergeser satu meter ke arah barat.

“Kehancuran fasilitas wisata Sabang cukup besar, berkisar antara 80 hingga 90 persen dari seluruh fasilitas wisata yang pernah ada,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata Sabang, Drs Cipta Hunai MSi di rumahnya.

Berubah fungsiCipta mengaku, pemerintah

belum dapat berbuat banyak untuk memperbaiki fasilitas wisata yang mencapai miliaran rupiah itu. Lagi pula prioritas untuk membenahi sektor pariwisata sesegera mungkin dikalahkan oleh program lain yang lebih mendesak, misalnya, perumahan permanen bagi para pengungsi. Akibat tsunami, tercatat 4.403 jiwa pengungsi di kota ini. Sebagiannya menumpang di sejumlah anjungan (stand) yang terdapat di lokasi Sabang Fair.

Di lokasi ini sebelum November lalu salah satu anjungan, yakni milik Pemkab Simeulue, “disulap” sebagai tempat penyaluran kebutuhan biologis bagi pasangan suami­istri yang berstatus pengungsi. Idenya datang dari Camat Sukakarya Sabang, Dra Hj Ainal Mardhiah.

Tapi, ketika kami berkunjung awal Desember lalu ke lokasi ini, ternyata tempat rendesvouz itu sudah berubah fungsi menjadi gudang. Beberapa jiriken minyak solar dan minyak tanah tampak ditaruh di situ.

Seorang pengungsi menjelaskan, pengguna tempat itu semakin minim, karena beberapa keluarga sudah pulang ke rumah permanen bantuan NGO

Melepas Lelah ke Pulau Weh

Pulau seluas 153 persegi kilom-eter ini menjadi miniatur Indonesia kecil dengan ragam etnik dan agama. Kotamadya Sabang memiliki dua ke-camatan yakni Sukakarya dan Suka-jaya. Dari sanalah, Indonesia menan-capkan tugu kilomter nol sebagai titik awal perjalanan Indonesia. Sabang tak hanya memiliki Tugu Kilometer yang menjadi Daerah Tujuan Wisata namun juga obyek-obyek wisata alam lain-nya. Sabang memiliki enam syarat dari tujuh syarat kawasan wisata yakni Sabang memiliki sun (matahari), sand (pasir), souvenir (buah tangan), sea (laut), security (keamanan) serta show

(pertunjukan). Satu S lagi, yaitu sex, tak dikembangkan karena bertautan dengan nilai-nilai kultural,

Ini dia tempat masyarakat daratan melepaskan lelah setelah penat bek-erja.

n TAMAn LAUT Pulau Ru-biah terletak sekitar 23 kilometer dari kota Sabang yang menjadi primadona pariwisata. Keindahan alam bawah air seperti terumbu karang dan ikan hias merupakan pesona bagi para wisata-wan. Para pengunjung ke Taman Laut ini merasa sangat terkesan bahkan ada yang beberapa kali kembali ke sana un-tuk menikmati keindahannya.

n HUTAn WISATA IBoIH berada sekitar 3 km dari pantai Iboih Sabang. Obyek ini menawarkan kein-dahan alam hutan yang menarik. Ban-yak jenis flora dan fauna terdapat di taman ini. Adapun satwa yang mudah dijumpai antara lain babi hutan, mo-nyet dan reptilian.

n GUA ALAM banyak terda-pat di lereng curam yang menghadap ke laut di kawasan Hutan Wisata Iboih Sabang. Gua-gua tersebut sangat me-narik untuk dikunjungi. Di sana banyak terdapat aneka satwa seperti kelelawar dan burung, dan di depan gua terdapat lokasi snorkeling yang cukup aman yang airnya bening dan tenang.

n PAnTAI GAPAnG terletak + 19 km dari Kota Sabang. Pantai Gapang selain menawarkan keindahan alam bawah air seperti terumbu karang dan ikan hias juga mempunyai fasilitas obyek wisata seperti mushalla, cottage, bungalow, hotel, restoran, kios, balai-balai, dan lain sebagainya yang bisa dipergunakan/dimanfaatkan oleh pen-gunjung.

Bagaimana cara menyeberang ke sana? Sangat gampang! Bisa melalui kapal ferry dari Pelabuhan Malahayati Krueng Raya Aceh Besar dengan waktu tempuh sekitar dua jam atau dengan kapal cepat ferry dari pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh. lpADITDIVA/ NIZWAR

PILIHAN TRANSPORTASI ONGKOS/BIAyA (RP)DARI TUJUAN JENIS KENDARAANTerminal Labi-Labi Ulee lheu MPU 6.000,-

Ulee lheu Balohan

Kapal Barona Duta80.000,- (vIP)

60.000,- (EKONOMI)

Kapal Rondo80.000,- (vIP)

60.000,- (EKONOMI)

Kapal Tanjung Burang23.000,- (vIP)

18.000,- (EKONOMI)

Pelabuhan Balohan Kota Sabang MPU 10.000,-Kota Sabang Pantai Iboih MPU 10.000,-Pelabuhan Balohan Pantai Iboih MPU 15.000,-

PARIWISATA PARIWISATA

Menunggu Sabang Pulih

AM: NIZWAR

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200640 4�Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 4�

PAGI Minggu itu saya, Adli, sedang sarapan bersama dua anak laki-laki, Hamdani (12

tahun), Mulyadi (10), dan istri saya, Ruaida (40), di rumah kami yang sangat sederhana di dekat Kantor Dinas Syariat Islam, Jeulingke, Banda Aceh. Ketika gempa yang begitu kuat mengguncang rumah, kami pun berlarian ke luar rumah. Lalu semuanya tiarap. Beberapa orang tetangga juga saya lihat bersedekap di atas tanah.

Sebelumnya tak pernah saya rasakan gempa sehebat ini hingga umur saya setengah abad pada Minggu kelabu, 26 Desember 2004 itu. Bumi gonjang-ganjing, suasana gemuruh memekakkan gendang telinga. Firasat saya mengatakan bakal ada kejadian yang lebih hebat lagi pasca gempa. Tapi apa gerangan yang bakal terjadi, saya tak bisa pastikan.

jalan ke luar dari kompleks itu. Istri saya kemudian mengunci pintu rumah. Semua kami meninggalkan rumah.

Saat itu muncul dorongan di hati saya untuk segera meninggalkan lokasi rumah kami. Sekarang saya baru paham bahwa pada kenyataannya kompleks itu hancur diterjang tsunami tak lama setelah gempa terjadi.

Saat lari meninggalkan rumah, di tangan saya tergenggam sabit yang sehari-hari saya gunakan untuk memotong rumput. Ketika berjalan tidak jauh dari rumah bersama anak dan istri, terdengar suara gemuruh dari arah belakang. Ketika berpaling, saya belum melihat apa-apa dari sumber datangnya suara. Hanya suara teriakan orang yang bersahut-sahutan. Tapi setidaknya, ini telah membuktikan kegelisahan saya tentang akan terjadinya sesuatu.

Apa yang diteriakkan mereka pun akhirnya menjadi sangat jelas terdengar. “Air laut naik! Air laut naik!” Teriakan itu pula yang keluar dari mulut seorang pria muda yang mengendarai sepeda motor. Ia memacu kendaraannya seperti badai, sehingga hampir menabrak anak saya. Dengan wajahnya yang pucat dia ngebut menuju persimpangan jalan raya, melintas di dekat kami yang semakin dilanda kecemasan.

Saat itu persimpangan jalan yang sedang kami tuju tinggal beberapa meter lagi di depan. Sebagian orang yang berupaya menyelamatkan diri dan tadinya berada di belakang, ternyata telah mendahului kami. Ada yang berlari kencang, ada pula yang memacu kendaraannya. Istri saya berusaha menarik agar anak-anak kami berlari cepat. Si bungsu sempat menangis penuh kecemasan.

Pada saat-saat seperti itu, saya merasa sangat sedih. Karena kaki saya cacat, saya tak mampu menggendong anak sambil berlari. Saya sendiri pun tak bisa berjalan lebih cepat, apalagi berlari. Begitupun, kami berempat tetap berpegangan tangan erat-erat. Kami lihat orang umumnya berlarian ke arah pusat Kota Banda Aceh melewati Jembatan Lampriek.

Ramainya orang yang panik, berlari, bahkan yang terinjak, tampak jelas

ketika kami sampai di jalan raya beraspal di depan Kantor Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam keadaan panik, tiba-tiba sebuah becak mesin yang penuh anak-anak di atasnya melintas di depan kami. Istri saya bergegas menaikkan si bungsu ke atas becak dan becak itu pun berlalu.

Kini, hanya bertiga kami berpegangan tangan. Susah nian, terutama saat menembus kepadatan massa yang berduyun-duyun lari. Dari kejauhan saya lihat di sela-sela tembok gedung rumah dan kantor di kawasan itu muncul percikan air, lalu disusul gelombang yang deras. Sebagian rumah sudah dilumatnya. Suasana semakin panik. Ratusan manusia di jalan saling berdesakan. Mobil dan sepeda motor tanpa perasaan menabrak bahkan menginjak orang-orang yang menghalangi jalannya. Gelombang hitam itu pun semakin mendekat.

Ketika dinding air itu menerpa tubuh, kami persis berada di depan Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Aceh. Begitu kena pukulan gelombang, saya, istri, dan anak sulung saya terpisah. Sabit yang sejak tadi saya genggam, terpelanting entah ke mana. Banyak manusia yang rebah dan terguling-guling ketika diterjang gelombang hitam tersebut.

Saya sendiri terseret ke dalam lingkungan kantor BKKBN. Tubuh saya terimpit di sebuah tembok yang runtuh, dikitari tumpukan sampah. Dalam keadaan seperti itu, saya hanya bisa pasrah. Tapi tak lupa saya lafalkan asma Allah. Saat itu saya berpikir bahwa tak lagi orang yang mampu bertahan hidup akibat bencana ini. Saya malah mengira pada hari itulah kiamat tiba, seperti dijanjikan Allah di dalam Alquran.

Nafsi-nafsi, saya sudah terpisah dengan anak dan istri, ironisnya tanpa dapat menolong mereka. Saya juga tak tahu apakah anak saya yang menumpang becak ke arah kota, selamat atau tidak. Jangan-jangan tsunami juga sudah menggulung tubuh bocah-bocah di becak itu.

Dalam ketermenungan yang men-

cemaskan, tiba-tiba gelombang kedua menghantam. Saking kuatnya han-taman itu, puing beton dan sampah yang mengurung saya, bergeser. Semuanya terdorong ke arah belakang kantor BKKBN. Saya terbawa bersama sampah. Perasaan saya mulai agak lega.

Tapi ternyata, derita belum berakhir. Sebuah dinding tembok gedung yang runtuh, kembali mengimpit tubuh saya. Kali ini keadaannya lebih parah. Tinggi air sudah mencapai leher. Ingin berenang dan mengambang tak mungkin, karena kaki saya tersangkut oleh berbagai sampah di bawah.

Kejadian anehPada saat kritis seperti itulah tiba-

tiba muncul kejadian aneh. Sungguh, benar-benar saya tak menduga kuasa Allah berlaku pada diri saya dalam keadaan segenting itu. Siapa sangka,

TabibDiselamatkanUlar

Sebuah dinding tembok gedung

yang runtuh, kembali mengimpit tubuh saya.

Kali ini keadaannya lebih parah. Tinggi

air sudah mencapai leher. Ingin berenang dan mengambang tak mungkin, karena kaki saya tersangkut oleh berbagai sampah di

bawah.

Saat memeluk benda itu erat-erat dan ternyata benda itu bergerak lincah, barulah saya sadar bahwa yang saya peluk itu bukan balok, melainkan benda yang hidup. Apalagi, pikir saya, kalau bukan ular yang besar. Saya semakin pasti bahwa yang saya peluk itu ular, setelah dapat saya rasakan tubuhnya yang licin dan bersisik.

Secara fisik, tubuhku tak sempurna. Sudah sejak lama kaki kanan saya cacat, karena didera penyakit kaki gajah (filariasis elephantiasis). Begitulah, dengan kaki tertatih-tatih, pada pagi itu saya berlari ke luar rumah, lalu tiarap. Kami tak mungkin berdiri atau duduk, karena guncangan gempanya sangat dahsyat.

Setelah gempa reda, istri saya masuk

ke dalam rumah memberesi barang-barang yang jatuh berserakan, sementara saya masih di luar mengamati kondisi di seputaran rumah dengan perasaan yang kurang enak.

Semakin lama, perasaan saya semakin tak enak. Lalu saya putuskan untuk memanggil istri dan anak saya agar segera ke luar rumah. Mereka menurut. Kami pun bergegas menuju

~

KISAH KISAH

AM: IDRUS

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200642 43Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 43

seekor ular besar menyentuh kaki, lalu masuk ke bawah selangkangan saya.

Diameter tubuh ular itu seukuran pohon kelapa sedang. Awalnya saya tak tahu bahwa yang tiba-tiba menyelinap di bawah kaki saya itu adalah ular. Saya hanya bisa merasakan bahwa sesuatu benda bulat berada di bagian kaki saya. Lalu, saya peluk benda itu agar saya tak tenggelam atau terseret lagi oleh derasnya air.

Benda itu bergerak seiring arah arus, menuju ke sebuah tower besi tempat penampungan air di belakang kantor BKKBN. Saat memeluk benda itu erat-erat dan ternyata benda itu bergerak lincah, barulah saya sadar bahwa yang saya peluk itu bukan balok, melainkan benda yang hidup. Apalagi, pikir saya, kalau bukan ular yang besar. Saya semakin pasti bahwa yang saya peluk itu ular, setelah dapat saya rasakan tubuhnya yang licin dan bersisik.

Yang aneh saya rasakan kemudian, saat itu saya tidak merasa takut sedikit pun mendekap reptil berbisa. Sebaliknya, ular itu pun tak merasa terganggu saat saya peluk erat-erat. Saat ular sudah mendekati tower dan berhenti di bawahnya, tanpa berpikir panjang lagi, saya raih tower besi itu dan berusaha naik ke atasnya.

Setelah posisi saya aman dari jang-kauan lidah air yang mengganas, saya menoleh ke bawah. Ular yang sudah membantu saya tak lagi kelihatan. Raib

tak berjejak, juga tak beriak. Spontan hati saya berkata, inilah

bentuk pertolongan yang tak disangka-sangka dari Allah. Apakah itu ular jelmaan dari malaikat penyelamat atau jelmaan Nabi Khaidir yang konon sering menolong orang ketika dilanda musibah di dalam air, wallahu’alam bisshawab. Rahasia Allah tak siapa yang tahu.

Anak istri selamat Air mulai surut. Setelah mensyukuri

keselamatan diri sendiri, saya juga sangat bergembira sekaligus haru, karena ternyata istri saya selamat. Kedua anak laki-laki yang saya banggakan juga selamat dari terpaan tsunami. Mereka selamat setelah berjuang mati-matian dan dibantu oleh sejumlah orang. Lagi-lagi, semua ini bukti kebesaran Allah.

Istri tercinta saya ternyata hanyut ke tempat yang tak jauh dari saya, yakni di sebelah kantor BKKBN. Beberapa orang yang baik hati menolongnya. Sedangkan anak sulung kami terseret ke arah Jembatan Lampriek, di sisi kanan Kantor Gubernur Aceh. Di tempat ini ia ditarik ke pinggir oleh orang­orang yang lebih awal berhasil menyelamatkan diri di jembatan itu. Kami bertiga bertemu menjelang sore di Masjid Al­Badar Lampinueng, sekitar 300 meter di belakang kantor BKKBN.

Kami sempat sedih dan gundah, ka­rena setelah peristiwa itu tidak langsung berhasil menemukan si bungsu, Mulyadi. Barulah kami sadari bahwa kami menitipkannya kepada penarik

becak yang sebetulnya tidak kami kenal. Berkat perburuan yang intensif, Mulyadi akhirnya kami temukan dua hari kemudian, masih di dalam Kota Banda Aceh. Alhamdulillah, dia sehat, meski sempat merasa hidupnya telah tinggal sebatang kara.

Setelah berkumpul, beberapa hari kemudian kami menggungsi ke Masjid Ulee Kareng, Banda Aceh yang lebih jauh dari pinggir laut. Kami tinggal di sana sampai kemudian direlokasi ke Neuhen, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, setelah barak selesai dibangun di sana. Saat ini pun (Maret 2006) kami masih mengungsi di Neuhen. Sebagai pengungsi yang cacat kaki, papa, dan sudah tua, tak banyak lagi yang dapat saya lakukan.

Begitupun, pada Desember 2005, setelah setahun tsunami berlalu, saya co-ba mendatangi Kantor Gubernur Aceh. Tujuan saya tak lain, minta bantuan agar kondisi saya yang cacat ini diperhatikan dan sebisanya diberdayakan. Saya sa-ngat mengharapkan bantuan becak me-sin untuk memudahkan langkah saya mencari nafkah untuk keluarga.

Saya ingin menekuni profesi baru sebagai penarik becak mesin. Kalau selama ini, sebagai tabib (paranormal) saya telah berusaha membantu meri-ngankan beban orang lain yang sakit, sekarang saya harus bisa meringankan beban saya sekeluarga. Mudah-muda-han ada yang tergerak hatinya untuk membantu kami.

lIDRUS

SETELAH bencana tsunami, aliran dana yang masuk ke Aceh sangat besar, mencapai Rp 2-3

triliun/bulan atau Rp 24-30 triliun/tahun. Masalahnya, saat ini kebutuhan material pembangunan masih banyak didatangkan dari luar Aceh, semisal bahan bangunan, tenaga kerja, konsultan. Ini merupakan persoalan yang harus kita perhatikan saksama. Di samping itu, kita juga harus tingkatkan kemampuan diri yang spesi-fik.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh mempunyai tu-gas dan fungsi untuk merencanakan dan mengoordinir kegiatan pembangunan. Di sini, dinas-dinas terkait menjadi ujung tombaknya. Setelah itu, kita memonitor dan mengevaluasi kegiatan tersebut. Saat ini, Bappeda sudah merencanakan sebuah pembangunan yang bisa menyelesaikan persoalan mendasar di Aceh.

Hal yang menjadi persoalan pokok kita adalah terbatasnya kesempatan ker-ja, angka kemiskinan masih besar, dan sektor ril yang belum berkembang. Yang lebih penting adalah koordinasi semua stakeholders (BRR, NGO, donor) yang sedang bekerja di Aceh. Kalau semua stakeholders ini dapat membuat mapping kerja dengan bagus, tentu semua persoa-lan yang dihadapi tidak akan menjadi se-buah kendala yang berarti.

Kurangnya koordinasi Bappeda de-ngan BRR di tahun 2005, sedikit mem-pengaruhi jalannya pembangunan pada tahap tanggap darurat. Namun kemudian dengan segala upaya pendekatan yang ditempuh akhirnya di tahun 2006, koor-dinasi yang baik antara BRR dengan Bappeda semakin menyatukan pemaham-

Aceh Mengalami Ekonomi Busa

Prof Abdul Rahman Lubis, MSc, PhDKepala Bappeda Aceh

an. Kita tidak lagi melihat siapa yang bermasalah, tapi kita berkomitmen untuk berkoordinasi yang berkelanjutan secara baik. (NGO juga tidak berkoordinasi baik dengan Pemda. Bappeda sendiri beker-jasama baik dengan GTZ, UNDP, IDC dan Crown Agent (Inggris).)

Hanya saja mekanisme koordinasi itu yang belum kita temukan bagaimana sebaiknya, tapi komitmen itu sudah ada di masing-masing pihak. Artinya kalau BRR melakukan pembangunan, Pemda tahu. Begitu juga sebaliknya.

Kalau merujuk pada Perpres RI No. 30/2005, yang memberikan limit waktu kepada BRR selama empat tahun. Setelah 2009, pembangunan dilanjutkan Pemda. Kalau koordinasi tidak sempurna, makan Pemda akan alami kendala berat. Ini harus diantisipasi sejak dini. Kita akui, keberadaan BRR untuk membangun kem-bali Aceh. namun, jangan sampai timbul masalah baru dalam menyelesaikan ma-salah.

Kita selalu mendorong agar blueprint yang sudah direncanakan betul-betul di-jadikan referensi pembangunan. Hanya saja, otoritas penggunaannya tidak ter-letak pada Pemda. Sementara ini, Pemda belum bisa menilai apakah blueprint ini masih digunakan atau tidak.

Pada dasarnya, tidak semua blueprint dapat dilaksanakan sepenuhnya. Perlu penyesuaian meskipun sudah ada ke-tentuan hukum yang didukung oleh per-aturan pemerintah. Namun di lapangan bisa saja tidak sepenuhnya bisa dilak-sanakan.

Bubble EkonomiYang dituntut pada kita untuk lebih

berhati-hati dengan kondisi keuangan di Aceh sekarang ini adalah bahaya eko-nomi busa atau “Bubble Economy”. Keli-hatannya besar, tapi ternyata kosong. Ini harus benar-benar diantisipasi. Karena itu, dalam empat tahun ini Aceh harus siap menjawab dampak ekonomi busa ini. Kita harus siap jika gelembung ekonomi ini meletus.

Bukan itu saja persoalannya, tapi struktur anggaran (APBD) Aceh yang se-lama ini masih ditopang oleh dana perim-bangan terutama dari migas. Kalau hanya

mengandalkan PAD sangat kecil, yaitu hanya Rp 160 miliar, dan ini akan men-jadi kendala besar apabila kita tidak siap untuk mencari sumber pandapatan baru.

Meskipun masih secara perlahan-la-han, tapi perencanaannya sudah berada pada jalur yang benar, walaupun juga ka-dang-kadang belum proporsional. Harus diakui, keberpihakan kepada ekonomi masyarakat, daerah terisolir, dan daerah perbatasan, masih kecil. Semua masih dalam pergeseran penekanan anggaran. Tidak mudah mengubah anggaran, kare-na akan terbentur pada masalah teknis.

Misalnya, pemberdayaan ekonomi pedesaan. Ada dinas yang menjadi ujung tombak untuk menyukseskannya. Mere-ka punya program kovensional yang perlu diajukan. Kalau kita menyetop pro-gram konvensional, ini akan mendorong program baru. Dan, konsekuensinya kita harus terus bantu sambil menambah porsi pemberdayaan ekonomi itu. Namun, kita punya limitasi anggaran. Contoh, pada tahun 2006 anggaran aparatur sangat rendah, 25,74 persen. Kita akui, kualitas penggunaan anggaran belum seperti yang diharapkan.

Untuk itu kita sudah mensetting satu paradigma pembangunan, dari aspek ba-sis kita harus kembali kepada kekuatan potensi ekonomi lokal. Kita kuat di perta-nian dalam arti luas, termasuk perikanan, perternakan, pertanian tanaman pangan, pekebunan. Sekitar 40.000-an KK yang masih berada di bawah garis kemiskinan pascatsunami juga salah satu persolaan yang tidak boleh ditinggalkan.

Singkat kata, mari kita jalin koordi-nasi dan kerjasama yang baik. Mengenai master plan atau blueprint, mari kita jadikan sebagai salah satu referensi. Saya mohon kepada semua pihak yang sedang menjalankan pembangunan, agar meng-hindari persoalan yang menimbulkan masalah baru.

Pemda tidak boleh ditinggalkan, kare-na yang memahami kondisi pembangu-nan adalah Pemerintah Daerah. Kita ingin ekonomi tumbuh dengan struktur yang kuat dan berkelanjutan, bukan “bubble economy”.

KISAH KOLOM

Keluarga Besar Aceh Recovery Forum (ARF)mengucapkan selamat atas kelahiran putri dari

Yarmen Dinamika (Konsultan Media

ACEH MAGAZInE) yang diberi nama:

Nadira Yasvinapada tanggal 14 Maret 2006 di Banda Aceh

Semoga menjadi anak yang salehdan berguna bagi umat manusia.

Keluarga Besar Aceh Recovery Forum (ARF)Mengucapkan selamat atas kelahiran putri dari

SA. Amin (Layouter ACEH MAGAZInE) yang diberi nama:

Nabilah Mumtazahpada tanggal 7 Maret 2006 di Banda Aceh

Semoga menjadi anak yang salehdan berguna bagi umat manusia.

44 ACEH MAGAZINE | Edisi April 2006 4545 Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE

�7 Aktivis ke Jakarta kawal RUU-PA

UNTUK mengawal dan mendukung disahkan RUU-PA versi rakyat Aceh, 17 aktivis sipil dari berbagai unsur di Aceh terbang ke Jakarta pada Minggu (19/3). Mereka yang terdiri dari 12 pria dan 5 perempuan serta dari unsur akademik, tim advokasi, Koalisi NGO HAM serta Koalisi Kebijakan Perempuan akan mengadakan pertemuan dengan Jaringan Demokrasi Aceh (JDA), Fobes (Forum Bersama) yang terdiri anggota DPR asal Aceh, Panitia Khusus DPR RI, dan Tim Advokasi dari DPRD Aceh untuk sama-sama mengawal RUU-PA. “Selama lima hari di sana, kami membangun strategi sebagai bentuk pengawalan RUU-PA,” ungkap anggota Koalisi HAM Mashudi SR kepada ARF News, Senin (20/3).

Sementara dua hari sebelumnya, Pemda Aceh merespon keluhan Tim Advokasi Rancangan Undang-undang Pemerintah Aceh (RUU-PA) yang menyatakan tidak memiliki dana untuk advokasi di Jakarta dengan mengalokasikan Rp 1 miliar. “Pemda Aceh mengalokasikan Rp 1 miliar untuk advokasi dan pengawalan RUU-PA yang dibahas oleh DPR. Diharapkan materi RUU-PA itu sesuai dengan

aspirasi masyarakat,” jelas Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Mustafa Abubakar dalam jawaban/penjelasannya terhadap pendapat, usul dan saran pemandangan umum DPRD NAD tentang nota keuangan dan RAPBD 2006 Aceh, Sabtu (18/3) di Banda Aceh. Mustafa menuturkan, dana itu telah diusulkan oleh eksekutif melalui RAPBD Aceh tahun 2006 untuk segera mendapat persetujuan dari dewan. Dia menolak seolah-olah eksekutif kurang mendukung pendanaan yang memadai dalam RAPBD 2006 sebagai pendampingan pembahasan RUU-PA. Sebaliknya, pihaknya telah merencanakan alokasi Rp 1 miliar untuk mendukung kegiatan advokasi RUU-PA. Penyusunan RUU-PA yang pada mulanya dilakukan oleh tiga perguruan tinggi di Aceh serta perjaringan aspirasi publik melalui seminar rakyat yang menyerap dana Rp 1 miliar berasal dari belanja tidak tersangka. Sebelumnya Ketua Tim Advokasi RUU-PA Abdullah Saleh menyatakan pihaknya sudah berutang pada pihak hotel untuk penginapan selama di Jakarta. Karena itu, dia mengharapkan masyarakat Aceh untuk bisa membantu tim RUU-PA yang terlilit utang. lIDRUS

Lembu Berkepala Dua

LEMBU milik M haji Bintang (55) di desa Blang Awe, kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara, selasa pagi melahirkan anak berkepala dua, namun anak lembu ajaib itu hanya bertahan hidup sekitar satu jam sedangkan induknya sehat-sehat saja.

Keterangan yang diperoleh dari dari M Haji Bintang menyebutkan, pada tengah malam atau beberapa saat sebelum itu atau beberapa saat sebelum melahiraan lembu ajaib, sang induk mengeluh terus terus seperti ada sesuatu yang terjadi. Namun pemilikny a tidak berani turun untuk memastikan. “pada pukul 04.00 pagi, lembu itu kembali mengeluh. Saya pun turun untuk melihat apa yang terjadi,” kata Haji Bintang.

Tak lama setelah Haji Bintang berada di dekat ternaknya, lembu itupun melahirkan.tetapi haji bintang sangat terperanjat manakala melihat anak lembu yang baru lahir itu memiliki kelainan, yaitu berkepala dua. Masing-masig kepala memiliki hidung dan telinga.

Begitu lahir anak lembu ajaib itu mengeluh dan merota-

ronta seperti menangis. Sekitar satu jam kemudian, anak lembu ajaib itu mati tutur haji bintang.

Berita anak lembu ajaib itu tersebut merebak cepat dikalangan masyarakat. Pada pagi harinya, masyarakat berbondong-bondong kerumah haji bintang menyaksikan keajaiban tersebut. Setelah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihatnya ,akhirnya lembu berkepala dua itu dikubur karena sudah mulai menebar aroma tidak sedap lIDRUS

Pembangunan Rumah Pengungsi Lambeuso

Terkendala TanahPEMBANGUNAN rumah bagi pengunggsi lambeuso,

kramat luar, kota Sigil, Pidie samapai saat ini mengalami kendala persediaan tanah.sementara untuk pengungsi panteraja sudah teratasi setelah dilakukan pembebasan tanah sebanyak tiga hektar.

ketua satlak Pidie, Drs H Jalaluddin Harun mengakui pihaknya masih melakukan upaya pembebasan tanah di Bambi, Kecamatan Lampoh Saka. Pembesasan tanah untuk pembangunan rumah pengungsi tersebut dibiayai BRR.

Sebelumnya, untuk merelokasi pengungsi Lambeuso Pemkab setempat merencanakan melakukan pembebasan tanah di Blang Galang, Kecamatan Pidie. “ upaya pembebasan dikawasan digagalkan, karena pemiliknya berada di penang malaysia,” ungkap wakil Bupati Jalaluddin.

Karenaya, kini mereka berharap persoalan ini segera teratasi. Terlebih, uasaha tersebut perlu dilakukan menjelang ultimatum Gebenur Aceh, supaya pengungsi tidak lagi hidupdibawah tenda di komplek GOR Baro Raya.

Sebagaimana diketahui, akibat tsunami menimpa 13 kecamatan di pesisir pantai kabuoaten pidie, diperlukan pembangunan rumah kembali sebanyak 6.826 unit. lIDRUS

Harga Kayu capai RP 2,5 Juta/Kubik

HARGA bahan galian C jenis pasir di kota melaboh, Aceh Barat, dalam beberapa bulan terakhir mencapai Rp 200.000/ per truk (isi 4 kubik), lonjakan harga itu disebabkan tingginya permitaan konsumen terhadap bahan material bahan bangunan tersebut. sementara harga kayu olahan sudah mencapai Rp 2,5 Juta/kubik. Sejumlah penggencer pasir di komplek penambangan pasir Jembes Desa Pasi Pinang, Meurebo, mengatakan, dalam beberapa bulan ini permintaan pasir untuk kebetuhan proses rehabilitasi dan rekontruksi terjadi peningkatan drastis.

Sebelum tsunami harga pasir ditingkat pedangang Rp 80.000-Rp 100.000/ truk, dan sekarang mencapai Rp 200.000-Rp 220.000/truk. “ harga yang kita jual kepada masyarakat relative stabildan tinggi dengan kondisi sekarang,” kata

Zulfikar, salah seorang pengecer pasir.Dirincikan, untuk harga jual dalam kota meulaboh yang

diangkut dengan truk Rp 220.000/truk (isi 4 kubik) dan pasir kerikir Rp 200.000/truk (isi 4 kubik). Tetapi, jika lokasi tersebut diantar dengan menggunakan truk ke kota meulaboh, sepertio di kecamatan kecamatan samatiga dan arongan lambalek, harga tersebut bisa mencapai Rp 300.000-Rp 400.000/truk.

Menurutnya harga tembus pasir dipengecer jembes sebesar Rp 25.000/kubik.” Harga yang kita jual kepada masyarakat sudah sangat rendah, bila disbanding dengan harga BBM sekarang ini. kemudian lokasi yang dilalui untuk mengantar bahan tersebut juga sulit,” ktanya. Sementara faisal, pekerja panglong kayu di jalan nasional menyebutkan, harga kayu yang dijual kepada masyarakat dalam beberapa bulan terakhir stabil,meliputi kayu jenis semantok Rp 2,5 juta/kubik, meranti Rp 2 juta/kubik, dan semabrang Rp1,8 juta/kubik.” Selama beberapa pekan ini harga kayu bisa dikatakan relatif stabil,” katanya. lIDRUS

RAFLY KonSER LAGI

Dalam rangka kegiatan sosialisasi damai RI-GAM pasca penandatanganan MoU Helsingki, sejak 11 Maret lalu, musisi Aceh yang sedang naik daun, Rafly bersama Kande Band kembali menggelar konser ke seluruh kota/kabupaten di Provinsi NAD. Puncak konser yang difasilitasi USAID, AMM, dan Pemda NAD ini berlangsung di kota Banda Aceh pada Senin (27 Maret). lDBS

KABAR AcEHKABAR AcEH

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200646 47Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 47

Adopsi Anak AcehDiasuh oleh:H. Badruzzaman Ismail, S.H, M.Hum(Ketua Majelis Adat Aceh)

Para pembaca hendaknya dapat memberikan masukan yang lebih mendalam lagi kepada penanya, sebagai sumbangsih bagi pemba-ngunan khazanah budaya adat Aceh.Wassalam,

pENGasUh

Kepada Yth.Bapak Pengasuh Rubrik Konsultasi Adat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.Sebagaimana kita ketahui, aki bat

bencana tsunami, maupun akibat konflik bersenjata yang berkepanjangan, ba-nyak anak Aceh yang menjadi yatim, bahkan yatim piatu. Tak sedikit pula di antaranya yang masih berusia bayi di bawah lima tahun (balita). Sebagian di antaranya diasuh oleh orang yang masih ada hubungan darah dengan si anak (misalnya, oleh makcik/pakcik bahkan kakek/nenek)-nya. Namun, tidak sedikit pula yang hak asuhnya diambil alih oleh pihak lain yang tanpa hubungan darah maupun semenda (misalnya oleh yayasan, panti asuhan, dan lain-lain).

Pertanyaan saya:Bagaimana sebetulnya kedudukan anak korban bencana atau korban konflik dalam tatanan adat Aceh?Siapa yang seharusnya menjadi atau mengasuh mereka, bila ayah dan ibunya sudah tiada? Bagaimana pula konsep perwalian dalam hukum adat Aceh?Bolehkah anak Aceh korban tsunami atau korban konflik diadopsi oleh warga negara asing?

Demikian pertanyaan saya. Atas penjelasan Bapak terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.

Suparni Surien, Meuraxa, Banda Aceh

Jawaban : Perlu dipahami bahwa adat Aceh

amat kental dengan nilai-nilai islami

1.

2.

3.

4.

(adat ngon agama lagei zat ngon sifeut). Karena itu dalam sistem perwalian si anak amat dipengaruhi hukum Islam. Wali memegang peranan penting untuk mengambil alih peran tanggung jawab memelihara/mengasuhnya dan mem-beri perlindungan hukum terhadap kelangsungan hidup si anak dan harta yang diwarisi dari orang tuanya.

Ketentuan ini berlaku umum, ti-dak hanya anak yang orang tuanya meninggal akibat konflik atau tsunami, tetapi juga meninggal biasa, sehingga si anak menjadi yatim dan yatim piatu. Bila wali tidak mengindahkan memberi akibat “malee kaom” dan akan dice-moohkan oleh masyarakat. Pada asas-nya malee kaom merupakan bagian harkat dan martabat adat Aceh. Malee adalah rasa malu yang sangat mahal harganya. Narit maja mewasiatkan ”ni­bak malee get talop lam tanoh crah“ (kini bagaimana adat “malee,“ jangan salahkan adat!) bila “si anak“ tidak ada lagi walinya (zero wali) menurut adat, maka tanggung jawab memelihara dan mengasuhnya adalah masyarakat kampung itu, yang dipimpin oleh keuchik dan imeum meunasah, dengan biaya pemeliharaan diambil dari harta baitul­mal dan sumbangan masyarakat lainnya.

Namun sekarang ini, terutama dalam konteks kenegaraan, masyarakat adat (termasuk Aceh) adalah warga negara, maka tanggung jawab anak-anak yatim, akibat konflik dan tsunami dan anak-anak yatim lainnya, bila miskin adalah tanggungjawab negara (pemerintah, pemerintah daerah, termasuk masyarakat). Sekarang bantuan pemerintah termasuk lembaga sosial/pengasuh anak yatim dari berbagai pihak telah memberi perhatian besar ke arah itu (khususnya akibat konflik dan tsunami), bahkan ikut pula NGO-NGO dan pemerintahan asing dengan alasan kemanusiaan.

Kedudukan wali berlaku urutannya, mulai saudara kandung, turunan pihak bapak, pihak ibu dan begitu seterusnya menurut garis keturunan darah ke

atas, ke bawah dan ke samping. Wali memelihara/mengasuh dan memberi pendidikan dengan jiwa akidah islami yang kuat sampai si anak dewasa.

Dalam adat Aceh sistem hukum warisan mengenal istilah “patah titi dan anak laki-laki mendapat bagian dua kali bagian anak perempuan“. Ketentuan ini berdasarkan syariat yang menyatu dalam adat Aceh. Bila wali tidak ada (tidak mampu), barulah masyarakat, karena adat harus melaksanakan ”U­de­ep saree mate syahid”. Dalam adat mengharuskan persatuan, kebersamaan, dan tolong menolong.

Anak Aceh dari segi adat, tidak boleh diadopsi oleh siapapun (seperti pernah dilakukan oleh adat suku lain di Indonesia atau bangsa lain). Adat Aceh, tidak mengenal istilah “adopsi“, apalagi menjual anak untuk orang asing dan nonmuslim. Adopsi artinya pengambilan/pengangkatan anak o-leh orang lain secara sah menjadi anaknya (biasanya melalui upacara dan putus hubungan darah). Dalam adat Aceh, cara itu bertentangan dengan syariat dan harga mati untuk keluarga dan beban hidup si anak di kemudian hari (setelah dia dewasa). Tanggung jawab wali dan kerabat serta masyarakat Aceh keseluruhan untuk memelihara harkat dan martabatnya (menyangkut keturunan).

Masyarakat Aceh hanya mengenal “anak angkat/anak seubut (aneuk geutung yang dipelihara dengan per-lakuan seperti anak sendiri dan tetap mempunyai hubungan darah/kewarisan orang tuanya). Banyak orang Aceh yang kaya dan alamnya kaya raya, cuma banyak lupa syariat dan adat harkat dirinya. Dalam adat Aceh diperboleh-kan menjalin hubungan dan menerima bantuan dari orang lain, sepanjang tidak mengganggu akidah syariat dan martabatnya. “Han lon mate di luwa Islam, ka meunan pesan bak indatu. Ni bak mate kafee, leubeh get kanjai. Nyang bek sagai cit tuka agama. Imam ta bina bak khusyu’ di hate”.

Assalamualaikum Wr. Wb.Saya ingin bertanya tentang hadih-

maja atau pantun yang sering saya de-ngar dalam masyarakat, tatkala mereka berbicara di meunasah atau di tempat umum. Bunyinya;

“Peureulak meubajee Asee meuseuluweu Jipeu­ek ateuh ulee Jisemprut jijak lam pageu”.Yang ingin saya tanyakan, apa makna

hadihmaja itu? Kapan digunakan? Dan apa makna “Peureulak” di situ? Demi-kian, terima kasih.

Zakaria AliDesa Lamglumpang, U­lee Kareng

Banda Aceh

Jawaban:Dalam masyarakat Aceh dijumpai

banyak peribahasa yang disebut ha­dih maja atau narit maja. Disebut hadih maja, karena suatu perilaku masyarakat yang digambarkan dalam ungkapan itu, keakuratannya sangat tinggi. Lagi pula, ungkapan itu bersumber pada ajaran Is-lam. Tetua Aceh, mendalami Alquran dan hadis cenderung mengambil intisari dari kedua sumber itu untuk menggam-barkan suatu perilaku masyarakat, dalam bentuk peribahasa. Hal ini dimaksudkan agar pendengar mudah mengingatnya dan mengungkapkannya kembali, karena sudah dirangkai dalam bentuk bahasa sastra.

Apabila peribahasa itu bukan bersum-ber dari ajaran Islam disebut dengan narit maja. Kata “maja” bermakna “nenek, orang tua yang hidupnya zaman dahulu arif, bijak, dan cerdas”.

Peribahasa atau hadihmaja yang Sau-dara tanyakan itu dapat dijelaskan se-bagai berikut.

Ketika Anjing Bercelana

Kata “Peureulak” dalam bahasa Aceh memiliki tiga makna, yaitu (1) nama tempat, daerah, kawasan. Dalam sejarah tercatat, di Aceh ada sebuah Kerajaan Is-lam dinamakan Kerajaan Peureulak; (2) Alas tidur bayi yang terbuat dari plastik tebal yang kedap air; (3) Nama hewan se-bangsa iguana, berkulit tebal dan berduri di punggungnya, hidupnya di rimba, dan bisa dipelihara.

Dilihat dari segi persajakannya, hadih maja itu berbentuk pantun. Ciri pantun memang terlihat di dalamnya, yaitu ter-diri atas empat baris kalimat sebait, Dua baris kalimat pertama disebut sampiran dan dua baris terakhir disebut isi. Dalam teori pantun, sampiran tidak bermakna dan tidak memiliki hubungan makna de-ngan isi, hanya memiliki hubungan per-sajakan, a-b/a-b, agar gubahan bahasa itu menjadi indah.

Teori pantun Melayu sebagaimana dikemukakan para ahli, tidak berlaku un-tuk pantun Aceh. Bahkan, di Aceh ham-pir tidak dikenal istilah pantun. Yang ada hanyalah hadih maja yang berpola pan-tun. Hadih maja di atas terdiri atas empat baris kalimat sebait, memiliki persaja-kan, tetapi tidak memiliki sampiran. Dua baris kalimat pertama bukan sampiran, karena memiliki hubungan makna yang saling menjelaskan dengan baris ketiga dan keempat.

Apabila dianalisis, peribahasa terse-but dapat dijelaskan sebagai berikut.

“Peureulak” jangan diberikan baju, karena ia tak memerlukannya. Lagi pula hewan itu berkulit tebal dan berduri. Mes-ki dapat dipelihara, ia tak memerlukan pakaian. Apabila binatang ini sudah ber-baju tentu ada maksud mengelabui. Tentu baju itu tak akan melekat lama di badan-nya. Begitu baju terkoyak, maka karakter dasarnya langsung kelihatan.

“Anjing” jangan diberi celana, hewan itu kencing dan buang air besar sem-barangan, lari ke mana-mana, dan sering menerobos pagar. Apabila hewan ini su-dah bercelana tentu ada maksud menge-labui. Dapat dipastikan, celana yang di-pakainya tidak akan bertahan lama.

Kedua jenis binatang ini dapat dika-

takan hewan piaraan yang memiliki fungsi masing-masing, andaikata diberi-kan pakaian kepadanya, tentulah dapat menjadi bahan tertawaan.

Hadih maja itu mengibaratkan suatu keadaan dalam masyarakat yang sifatnya mengeritik. Kritikan ini biasanya dituju-kan kepada orang yang bersangkutan dan masyarakat umum. Hadih maja biasanya muncul pada saat masyarakat memilih pemimpin agar memilih pemimpin yang tepat. Orang-orang yang punya keinginan untuk memimpin pun dikritik agar menya-dari kapasitas dirinya.

Kata “Peureulak” dalam bahasa Aceh memiliki tiga makna, yaitu (1) nama tempat, daerah, kawasan. Dalam sejarah tercatat, di Aceh ada sebuah Kerajaan Islam dinamakan Kerajaan Peureulak; (2) Alas tidur bayi yang terbuat dari plastik tebal yang kedap air; (3) Nama hewan sebangsa iguana, berkulit tebal dan berduri di punggungnya, hidupnya di rimba, dan bisa dipelihara.

RANGKANG KONSULTASI ADAT

Diasuh oleh:Drs. yusri yusuf, M.PdSekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra FKIP Unsyiah

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200648 Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 49

Suatu hari ada seorang pengusaha yang tidak pernah bergaul dengan ce-wek disuruh ibunya agar mengirim su-rat buat seorang gadis untuk dijadikan istrinya.

“Aah itu gampang Bu!” ujar si pe-ngusaha itu. Lalu dibuatlah sebuah su-rat yang bunyinya begini:

Kepada Yth.Sdri. Inedi Jakarta

Hal : Penawaran Kesepakatan

Dengan hormat,Saya sangat gembira memberitahu-

kan Anda bahwa saya telah jatuh cinta kepada Anda, terhitung sejak tanggal 1 Januari lalu.

Berdasarkan rapat keluarga kami tanggal 7 Januari lalu pukul 19.00 WIB, saya berketetapan hati untuk menawarkan diri sebagai kekasih Anda yang prospektif.

Hubungan cinta kita akan menjalin masa percobaan minimal tiga bulan sebelum memasuki tahap permanen. Tentu saja, setelah masa percobaan usai, akan diadakan terlebih dahulu on the job training secara intensif dan berkelanjutan. Dan kemudian, setiap tiga bulan selanjutnya akan diadakan juga evaluasi performa kerja yang bisa menuju pada pemberian kenaikan status dari kekasih menjadi pasangan hidup.

Biaya yang dikeluarkan untuk ke rumah makan dan shopping akan diba-gi sama rata antara kedua belah pihak

Selanjutnya didasarkan pada per-forma dan kinerja Anda, tidak tertu-tup kemungkinan bahwa saya akan menanggung bagian yang lebih besar dari pengeluaran total.

Akan tetapi, saya cukup bijaksana dan mampu menilai, jumlah dan ben-tuk pengeluaran yang Anda keluarkan nantinya.

Saya dengan segala kerendahan hati meminta Anda untuk menjawab penawaran ini dalam tempo 30 hari terhitung sejak tanggal penerimaan

surat ini. Lewat dari tanggal tersebut, penawaran ini akan dibatalkan tanpa pemberitahuan lebih lanjut, dan tentu saja saya akan beralih dan mempertim-bangkan kandidat lain.

Saya akan sangat berterimah kasih apabila Anda berkenan untuk menerus-kan surat ini kepada adik perempuan, sepupu, bahkan teman dekat anda, apa-bila Anda menolak penawaran ini.

Demikian penawaran yang dapat saya ajukan dan sebelumnya terima ka-sih atas perhatiannya.

Jakarta, 4 April 2005Hormat saya,

Pengusaha Prospektif

Mae Naik HarleySuatu sore, seorang bapak naik mo-

tor bebek santai sore-sore bersama anaknya keliling komplek perumahan. Di tengah ketenangan itu, tiba tiba dari belakang muncul suara ngebas kencang sekali disertai asap tebal.

Tidak lama berselang, lewatlah Is-mail alias Mae, seorang preman kam-pung yang terkenar sangar. Tubuhnya berotot, memakai kacamata hitam. Di salah satu lengannya ada tato bertulis-kan “I Love Mama”.

Surat cinta Sang Pengusaha

Mae mengendarai motor Harley Da-vidson yang melaju dengan kecepatan tinggi. Begitu lewat di samping bapak dan anak yang memakai motor bebek itu, sang preman dengan pongahnya menoleh dan berteriak,

“Hoiiii..., pernah naek Harley ngak lu?” tanpa mengurangi kecepatannya.

Si bapak tua bingung dengan tingkah preman itu....Tidak lama kemudian, si preman kampung datang lagi dari arah belakang setelah sebelumnya mutar-mutar kompleks perumahan.

Kali ini, dengan kecepatan lebih tinggi dan dengan suara knalpot yg-digas meraung-raung, ia menoleh dan berteriak.

“Hoi!... Pernah naek Harley nggak lu?”

Si bapak tua mulai jengkel dan me-nyumpah serapah begitu si preman le-wat.

Entah doanya didengar Tuhan, ti-dak jauh setelah itu si preman terjatuh setelah menabrak tong sampah. Bapak tua kegirangan dan menghampirinya.

Bapak tua: Syukurin lu! Naik motor bukannya pelan-pelan.

Preman: Hoi .... gue tanya lu pernah naek Harley kagak? (sambil meringis)

Bapak tua: Busyet .... udah nabrak juga masih sombong! kenapa sih lu?

Preman: Kagak .... guwa cuma mau tanya, remnya di mana?

UMAM tidak sendirian yang menduga tsunami menyapu Aceh. Ampuh Devayan, putra

Simeuleue di Banda Aceh paham bahwa usai hentakan gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter yang besar ini, air laut menerpa darat. Jurnalis Harian Serambi Indonesia ini masih ingat wasiat almarhumah ibunya ketika SD. Dalam Bahasa Simeulue ada petitih yakni mali linon fesang smong (kalau ada gempa, bakal disusul air bah). Dari mana mereka mendapat kearifan lokal ini?

Smong Ternyata, peringatan alami ini diwaris­

kan dari generasi ke generasi melalui kisah dari mulut ke mulut. Begini kisahnya, setelah saat Jumat 14 Januari 1907, Pulau Simeulue dihajar gempa besar yang menyebabkan air laut surut. Mereka berlomba­lomba memungut ikan yang menggelepar­gelepar di pantai. Tiba­tiba gelombang raksasa laut merangsek ke pantai. Tanpa ampun, gelombang itu menggulung penduduk. Sejak itulah, mereka mahfum setelah gempa besar dan hewan­hewan kabur ke perbukitan, masyarakat pun menyelamatkan diri.

Membaca buku berkertas HVS dan me wah ini, buku ini memuat nestapa dan semangat dari korban tsunami untuk bangkit lagi setelah terjerembab dalam lumpur tsunami. Menariknya, buku ini ditulis sendiri oleh belasan pewarta Se­rambi yang kehilangan istri, anak, ke­luarga atau ketika kejadian di luar Aceh. Di satu sisi mereka harus membenah ke­luarga yang diselimuti duka mendalam karena kehilangan orang­orang tercinta. Pada dimensi lain, mereka bertugas me­

lakukan reportase, memberitakan apa yang terjadi di Serambi Mekkah.

Simak saja pengalaman pewarta foto Hilmi Hasballah dan Bedu Saini. Hilmi mengulaskan kegusaran usai gempa, menghubungi keluarga di ka­wasan Kahju yang hancur dilindas tsunami. Ketika itu, Hilmi memotret lomba marathon 10 K di Blangpadang Banda Aceh. Hilmi sama sekali tak menduga usai goyang gempa ini bakal disusul gelombang air yang dahsyat. Kegundahan dirasakan ketika teriakan air laut naik ke darat. Segera dia pacu sepeda motor ke rumahnya. Namun hingga kini, Hilmi tak lagi menemukan dua buah hati yakni Muhammadi Haikal

dan Rizka Zayya serta istri tersayang Suraiya. Nasib serupa juga dialami Bedu yang berhasil menjepret korban tsunami yang mengharukan seperti foto di sampul buku ini.

Buku yang terdiri atas sembilan bab itu menguraikan sejarah gempa dan tsunami di seluruh dunia, pengalaman relawan nasional, dan internasional di Aceh. Pembaca bisa menyaksikan foto­foto hitam putih pada halaman tertentu. Tak lupa, dipaparkan kegigihan redaksi Serambi yang lumpuh selama lima hari karena gedung hancur serta mesin cetak terempas digaruk tsunami. Ditulis ju­ga bagaimana getar­getir Serambi ter­bit kembali delapan halaman pada 1 Januari 2006 dengan oplah 7.000 yang dibagikan gratis kepada masyarakat di Lhokseumawe Aceh Utara karena kantor redaksi di Banda Aceh hancur lebur.

Salah ketikYarmen Dinamika dalam Kata Pe­

ngantar menjelaskan empat tujuan pener­bitan buku ini antara lain untuk mendo­kumentasikan tsunami Aceh serta proses bangkit bersama dukungan dan empati komunitas nasional dan internasional.

Terkesan buku ini buru­buru diterbit­kan tanpa koreksi untuk mengejar pe­luncuran pada Hari Lahir Serambi pada 9 Februari 2006 seperti penulisan tongkang didorong tsunami sejauh 3,5 meter dari Pelabuhan Ulee Lheue. Fakta,

tongkang mesin listrik berbobot ratusan ton itu terlempar 3,5 kilometer (halaman 15). Demikian juga, mengenai karyawan Serambi yang hilang, apakah 52 jiwa (halaman 254) atau 53 jiwa (halaman 257). Pembaca pun diajak berpikir ulang siapa yang dimaksud dengan sebutan saya bersama suami, Saifullah (halaman 45), apakah penulis yang bernama Hilmi Hasballah? Kasus serupa pun terulang pada pada halaman 117.

Secara umum, bunga rampai yang sebagian besar artikel ini sudah dipublikasikan di Serambi ini patut dijadikan rujukan untuk mengingat tragedi terbesar dalam sejarah pera­daban manusia ini. Tsunami meng­hancurkan harta benda, pria pun tiba­tiba menjadi duda, wanita berubah status sebagai janda, anak­anak se­ketika dapat julukan baru: anak yatim piatu. Mereka kehilangan semua. Na­mun satu yang belum hilang yakni spirit untuk bangkit dan solidaritas dunia terhadap Aceh. l

H

Merekam Spirit dan Solidaritas Usai Tsunami“Ayo cepat naik mobil, nggak usah bawa apa-apa. Kalau gempa seperti ini bakal datang tsunami.” Tak ada yang membantah perintah di pagi hari itu. Mereka pun meluncur ke Bandara Blang Bintang Aceh Besar yang lebih tinggi dari Banda Aceh. Demikianlah Humam Hamid, sosiolog Aceh memberi aba-aba kepada anak dan istrinya pada 26 Desember 2004. Ternyata prediksi ini benar, sekitar 15 menit kemudian, tsunami meluluhlantakan Aceh. Humam mengetahui gejala tsunami melalui bacaan ketika kuliah di Filipina dan Kansas Amerika (halaman 44).

Murizal Hamzah

Judul: Tsunami Aceh Getarkan DuniaPenulis: Yarmen Dinamika dkk.Tebal: 335 halaman + xixPenerbit: Serambi Indonesia - Japan Aceh NetTahun Terbit: Januari 2006

RESENSI HUMOR

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200650 5�Edisi April 2006 | ACEH MAGAZINE 5�

Saliza Mohamadar

Calang, siapa yang tak kenal ibu kota Kabupaten Aceh Jaya itu? Calang merupakan kawasan yang terparah dihayak gempa dan digempur tsunami.

“Infrastruktur pemerintah dan masyarakat hancur. Perlu komitmen untuk membangun Calang,” tegas Saliza Mo-hamadar, Kepala Kantor Badan Rehabilitasi dan Rekon-struksi (BRR) Aceh-Nias Perwakilan Calang kepada dari Aceh Magazine.

Wanita berayah Peusangan, Bireuen, dan beribu Kembang Tanjong, Pidie, ini mengaku tertantang dengan penempatan dirinya di Calang. Padahal sebelumnya, alumnus Boston (Amerika) dan Monash University (Australia) ini sudah me-nikmati kerja dan hidup sebagai konsultan konstruksi di Ja-karta. Namun ia meninggalkan hiruk pikuk metropolitan. Em-pat hari usai tsunami, Saliza yang lahir pada 1970 mendarat di Banda Aceh menjadi relawan. “Orang dari seluruh dunia ke Aceh, mengapa saya tidak berbuat sesuatu di sana,” gugat batinnya ketika itu.

Saliza mengakui tidak mengerti benar alasan penun-jukan dirinya sebagai Kepala Kantor BRR di Calang. Tak pelak, dirinya terbang ke sana sejak Januari 2006 untuk memudahkan koordinasi rehabilitasi dan rekonstruksi. Pa-tut dicatat, dirinya menjadi perempuan pertama serta satu-satunya yang menjabat Kepala BRR Perwakilan di daerah dari delapan perwakilan yang sudah ada. “Saya tahu tidak ada apa-apa di Calang. Siap untuk tidak bermanja-manja di sana,” ungkap wanita yang menyebut panorama Calang tak kalah dibanding Hawai.

Tak Bermanja di Calang

l MURIZAL HAMZAH

Wanita Pertama Kepala BRR Perwakilan

APA SIAPA JEJAK

Terpanggil oleh suara batinnya sendiri, artis senior berda­rah Aceh, Cut Yanti, pekan lalu memberikan bantuan

sarana pendidikan bagi anak korban tsunami di bilangan Banda Aceh. Ia meresmikan bangunan Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah III yang berada di Kecamatan Baiturrah­man.

Pembangunan sekolah itu langsung hasil rancangan Yanti sendiri. Sang adik ia percayakan sebagai kontraktornya. “Ini agar memudahkan berkonsultasi dan saling koordinasi di rumah,” kata wanita kelahiran 30 April 1963 ini.

Tekad Yanti membantu korban tsunami sebenarnya su­dah terpendam lama. Saat kembali dari menunaikan haji tahun 2005 lalu, Yanti langsung menghimpun dana dengan mengurus sebuah pertunjukan musik di auditorium TVRI. Dana yang terkumpul tak kurang Rp 1,3 miliar. Dana inilah yang kemudian digunakannya untuk membangun SD Mu­hammadiyah itu.

Pascatsunami, tak kurang dua kali Cut Yanti mudik ke Aceh. Pada Ramadan lalu ia pun pulang dengan memboyong beberapa artis ibu­kota untuk menghi­bur dan menyantuni 100 yatim piatu ko­rban tsunami. Keg­iatan sosial yang diad-akan di kawasan Simpang Surabaya, Banda Aceh, ini tidak banyak diketahui pu­blik.lIDRUS

CUT YANTI

Diam­diamPulang

Kampung

Tsunami 26 Desember 2004

Masa Konflik 1999-2004

Pra Kemerdekaan

12

3

Masjid Raya Baiturrahmandi Tiga Masa

Masjid Raya Baiturrahmandi Tiga Masa

ACEH MAGAZINE | Edisi April 200652

Harimau SirkusFairus M Nur [email protected]

US, kereta api, pesawat terbang, stasiun, dan bandara merupakan tempat persinggahan yang aman bagi orang asing untuk saling menceritakan kisah pribadi

mereka. Biasanya, para orang asing yang memang asing satu sama lainnya ini memiliki keyakinan tak akan pernah bersua lagi setelah pertemuan yang berlangsung beberapa saat itu. Jadi, apa saja mereka ceritakan.

Begitulah yang terjadi pada musim dingin tahun lalu di Bandara Indira Gandhi In-ternational Airport (IGIA), New Delhi, India. Waktu itu, Desember 2005, saya sedang menunggu pesawat milik mas-kapai Malaysia Airlines un-tuk kembali ke Banda Aceh setelah menyelesaikan perja-lanan jurnalistik menelusuri proses rehab-rekons setahun pascatsunami menghum-balang Chennai, India bagian selatan. Seorang lelaki ber-tubuh besar, berpakaian khas India, merasa cukup aman duduk di sebelah saya dan kemudian menceritakan banyak hal.

“Pernahkah Anda membayangkan bagaimana pelatih sirkus mampu membuat harimau melompati lingkaran api setinggi 12 meter lalu mendemonstrasikan berbagai permainan?” tanyanya kepada saya. “Tidak,” jawab saya sekenanya. “Saya tidak per-nah membayangkan tentang itu.” Bukannya tak mau berbasa-basi, toh saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi pemain sirkus, apalagi pelatih harimau untuk permainan sirkus. Jadi, tentu saja saya tak perlu membayangkan bagaimana melatih hari-mau melewati lingkaran api yang dipasang dengan ketinggian 12 meter atau lebih tinggi dari itu.

Tetapi, terus-terang, pertanyaan ini mengusik juga. Membuat harimau dapat meloncat hingga 12 meter dari per-mukaan tanah, tentu, bukan pekerjaan yang gampang. Ini sama besarnya dengan tantangan yang saya hadapi sebagai jurnalis di media penerbitan untuk membuat berita-berita besar, menarik, dan menantang. Dalam bayangan saya, cara tergampang melakukan itu adalah dengan langsung meletakkan lingkaran api setinggi 12 meter sebagai sasaran lompat, lalu memotivasi si harimau, dengan mengikatkan sekerat daging pada lingkaran tadi. Saya kemudian mem-

beri aba-aba. Jika harimau tak juga melompat, saya akan melecutnya.

“Apakah harimau akan meloncat?” tanya orang India ini. “Tidak. Ia tak bakal bergerak sedikit pun!”

Orang India yang ternyata pemain sirkus ini kemudian memberi saya sebuah solusi bijak. Prioritas pertama para

pelatih harimau sirkus adalah mem-pertegas apa yang mereka inginkan agar dilakukan harimau berulang-ulang___dalam hal ini membuat har-imau melompati lingkaran api.

Dengan segala cara, para pelatih ini menciptakan lingkungan yang dapat menjamin si harimau tak bakal gagal. Mereka memulainya dengan meletakkan lingkaran api itu di atas tanah, dalam posisi yang membuat si harimau mau tak mau harus melaku-kan apa yang diharapkan si pelatih. Setiap kali ia berhasil melewati lingkaran api, dia mendapatkan pene-gasan positif. Dia dibelai dan diberi hadiah daging. Setelah itu, lingkaran api ditinggikan sedikit demi sedikit.

Tetapi, bagaimana kalau si har-imau tak mau melompat atau melom-

pat ke arah lain? “Tidak apa-apa. Dia tidak akan dihukum dengan sengatan listrik atau dipecut tubuhnya. Dia tidak akan diomeli. Harimau diajari bahwa perilaku negatif tidak akan diakui.”

Ada pelajaran penting yang saya ambil dari orang asing ini; jangan terlalu mudah mengecam, tetapi selalu-lah mau menghargai kesungguhan orang lain. Memang, sebagaimana juga harimau di lingkungan sirkus, manusia pun bisa merasakan kalau tindakan mereka adakalanya mengecewakan.

Pada saat-saat seperti ini, yang mereka perlukan sebe-narnya adalah uluran tangan yang menawarkan bantuan; bukannya omelan dan caci-maki. Jika kita tidak terlalu banyak mengecam dan menghukum, orang pasti tak akan mengulangi kegagalannya itu.

Kita harus menciptakan suasana yang membuat orang tidak mengalami kegagalan. Ya, di semua bidang, termasuk dalam proses rehab-rekons Aceh pascatsunami dan konflik. “Jangan mudah mengecam. Kita harus tahu seberapa tinggi mesti meletakkan lingkaran api itu,” ungkap Senthil, pelatih dan pemain sirkus India ini. l

B

STOP

SIGLI (PIDIE)YAnUAR AGEnCYJL. ISKAnDAR MUDA, SIGLITELP. 0653. 23722

LHoKSEUMAWEARUn PoST AGEnCYJL. SUKA RAMAI no. 71LHoK SEUMAWETELP: 0645 46804

ACEH UTARAToKo ADYTIA AGEnCYBIREUn­ACEH UTARAHP. 081360157383(0644)7000113

TAPAK TUAn /ABDYAKASWAn AGEnCYTAPAKTUAn HP : 08566095907JL. MERDEKA no.145

ACEH BARATZAMJAMI AGEnCYJL. GAJAH MADA no. 62, MEULABoHHP. 081534621844TLP. (0655)7007237

LAnGSAToKo MonTAnA AGEnCY JL. PASAR BARU no. 5LAnGSA ACEH TIMURTLP. 0641. 22013

TAKEnGonnoPI AGEnCYJL. PASAR IMPRES BALE ATUno.16, JARInG 61TLP. ( 0643 ) 21557 / 21561

JAKARTA UTARAH. BASRI AGEnCYTAnJUnG PRIoKJL. MUARA BARU UJUnG PELABUHAn PERIKAnAn SAMUDRAKAnTIn MUARA BARU CEnTER no.B1 LAnTAI ATASJAKARTA UTARATLP. (021) 9233675

SInGKILSUDIRMAn SoLIn AGEnCYACEH SInGKIL SUBUSALAMTLP. (0627) 31269 ACEH SInGKIL SUBUSALAM

JAKARTA SELATAnMARDIAH AGEnCYJL. BARU LEnTEnG AGUnG no.77DEPAn KAMPUS UnIV, PAnCASILA

JAKARTA SELATAnHP. (021)7423042TLP. (021)70140095 : MBAK SIDA

JAKARTA TIMURHUSAInI AGEnCYJL. KAYU MAnIS II, UTAn KAYUJAKARTA TIMURTLP. (021) 8578465

CIKAMPEKTEUKU MUSLIDAR AGEnCYPERUM PonDoK MELATI BVI / no. 1PEWAREnGAnCIKAMPEK BARAT, JAWA BARATHP. 08128400633

JAKARTA TIMURHARIES FADILLAHJL.KEMUnInG 2 no.36 RT.010/02PULo GADUnGJAKARTA TIMUR 13260TLP. (021) 4898582HP. 08561354990

MALAnGUST. IRWAn CAnDRAJL.MAnGGAR no.7 SEnGKALInGDAU, MALAnGTLP. (0341) 464304HP. 08123060954

BATAMSURYADI AGENCYKoMp. MASYEBA BUKIT MASBloK C No.18(BElAKANGKoMp. TIBAN MC DERMoTT)Hp : 0811692425

Dapatkan ACEH MAGAZINE pada agen­agen berikut: