ACARA-II-REVISI[1]

29
ACARA II EVALUASI KADAR SIANIDA DALAM BAHAN PANGAN A. Tujuan Tujuan Acara II “Evaluasi Kadar Sianida dalam Bahan Pangan” adalah sebagai berikut: 1.Mengetauhui prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan dengan metode destilasi dan spektrofotometri. 2.Mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap kadar sianida bahan pangan. 3.Mengetahui kadar sianida bahan pangan dengan berbagai variasi perlakuan. B. Tinjauan Pustaka Sianida merupakan senyawa anorganik dan organik dengan siano (CN) sebagai struktur utama. Senyawa ini dihasilkan dalam pemrosesan logam. Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur, dan ganggang. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka, dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik. Sianida banyak digunakan pada industri

description

revisian

Transcript of ACARA-II-REVISI[1]

Page 1: ACARA-II-REVISI[1]

ACARA II

EVALUASI KADAR SIANIDA DALAM BAHAN PANGAN

A. Tujuan

Tujuan Acara II “Evaluasi Kadar Sianida dalam Bahan Pangan”

adalah sebagai berikut:

1. Mengetauhui prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan dengan

metode destilasi dan spektrofotometri.

2. Mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap kadar sianida bahan

pangan.

3. Mengetahui kadar sianida bahan pangan dengan berbagai variasi

perlakuan.

B. Tinjauan Pustaka

Sianida merupakan senyawa anorganik dan organik dengan siano

(CN) sebagai struktur utama. Senyawa ini dihasilkan dalam pemrosesan

logam. Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada

setiap produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi

oleh bakteri, jamur, dan ganggang. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap

kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung

tapioka, dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk

sintetik. Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan

garam seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sianida tersebar luas di

perairan dan berada dalam bentuk ion sianida (CN-), hidrogen sianida (HCN),

dan metalosianida. Sianida mengalami disosiasi dalam persamaan reaksi:

KCN + H2O HCN + KOH

Sianida dalam kondisi basa:

KCN + NaOH NaCN + KOH

CN-+ H2O HCN + OH

Sianida senyawa beracun kuat dapat menyebabkan kematian pada manusia

ataupun hewan termasuk hewan air. Kerja daya racun sianida ini menyerupai

Page 2: ACARA-II-REVISI[1]

daya racun karbon monoksida di mana sianida iso-elektron dengan karbon

monoksida. Keracunan sianida timbul karena reaksi yang tidak dapat balik

dengan besi dalam hemoglobin yang mengakibatkan hilangnya kesanggupan

darah dalam membawa oksigen (Nahdhiyah, 2011).

Hidrogen sianida adalah cairan tak berwar. Hidrogen sianida memiliki

rumus molekul HCN. Hal ini mudah larut dalam air. Solusinya dalam air

dikenal sebagai asam hydrocyanic acid atau prussic. Namanya yang lain

adalah formonitrile. Garam dari HCN disebut sianida. Formonitrile adalah zat

beracun, karena itu sering dianggap sebagai faktor anti-nutrisi. Menurut

Kamalu (1995) dalam (Anhwange, 2011)., singkong, sebuah makanan pokok

di banyak daerah tropis mengandung cyanogenic glikosida, seperti linamarin,

yang melepaskan sianida (CN-) ketika dimetabolisme endogen. Jantz et al.

(1997) dalam (Anhwange, 2011), melaporkan bahwa, orang yang makan

makanan yang mengandung tingkat sianida rendah untuk waktu yang lama

dapat mengembangkan kerusakan pada pusat sistem saraf (CNS) dan kelenjar

tiroid. Untuk menunjang hal ini, Kamalu (1995) dalam (Anhwange, 2011)

menekankan bahwa lama konsumsi makanan yang mengandung sianida dapat

menyebabkan ketulian, masalah penglihatan, dan hilangnya koordinasi otot.

Pengaruh ini pada kelenjar tiroid adalah kretinisme (pertumbuhan terbelakang

fisik dan mental pada anak-anak), atau pembesaran aktivitas kelenjar

(Anhwange, 2011).

Sianogen merupakan senyawa pada umbi-umbian yang berpotensi

sebagai toksikan dan dapat terurai menjadi asam hidrosianida (HCN). Pada

saat pengupasan atau pengirisan umbi, jaringan umbi mengalami kerusakan

dan sistem sel rusak, senyawa alkaloid sebagai substrat yang berada dalam

vakuola dan enzim dalam sitoplasma akan saling kontak dan mengalami

reaksi enzimatis membentuk glukosa dan senyawa aglikon. Senyawa aglikon

kemudian dengan cepat akan mengalami pemecahan oleh enzim liase menjadi

asam sianida (HCN) dan senyawa aldehid atau keton (Alma’arif, 2012).

Sianida dalam bentuk bebas berupa asam sianida (HCN), sedangkan

dalam bentuk terikat berupa senyawa glikosida yakni linamarin dan

Page 3: ACARA-II-REVISI[1]

lotausralin. Asam sianida ini merupakan anti nutrisi yang diperoleh dari hasil

hidrolisis senyawa glukosida sianogenik seperti linamarin, lotaustralin, dan

durin (Widodo, 2005) dalam (Ardiansari 2012).. Senyawa ini mempunyai

titik didih 25,7ºC (Mark dan Liener dalam Ardiansari 2012). Dalam keadaan

bebas sangat mudah larut dalam air. Dalam jaringan, senyawa ini akan

terakumulasi, tetapi apabila terdapat pada suatu permukaan, senyawa ini cepat

menguap. Karena sifat kelarutannya sangat mudah larut dalam air, senyawa

ini mudah dihilangkan dari bahan (Pambayun, 2007) dalam (Ardiansari

2012). Menurut Winarno (2002), HCN bersifat mudah menguap di udara,

terutama pada suhu lebih tinggi dari 25ºC. Tergantung pada dosisnya, asam

sianida dapat menyebabkan sakit sampai kematian. Dosis lethal asam sianida

pada manusia adalah 0,5-3,5 mg/kg berat badan (Winarno, 2002). Secara

fisik, HCN termasuk senyawa volatil tidak berwarna, berbau menyengat

sebagaimana asam lainnya, dan berasa pahit (Ardiansari 2012).

Berdasarkan kandungan sianidanya, singkong dibagi ke dalam tiga

jenis (varietas) yaitu:

1) Singkong manis dengan kandungan HCN 50 mg/kg umbi segar

2) Singkong (tidak manis dan tidak pahit) dengan kandungan HCN antara

50-100 mg/kg umbi segar

3) Singkong pahit dengan kandungan HCN di atas 100 mg/kg umbi segar.

Singkong manis, umbi dan daunnya dapat dikonsumsi oleh manusia

maupun ternak karena kandungan sianidanya rendah. Sedangkan singkong

pahit yang mengandung sianida tinggi, umumnya digunakan untuk sumber

bahan industri pembuatan pati (tepung tapioka) dan tidak digunakan langsung

sebagai makanan manusia maupun ternak. Keracunan sianida yang cukup

tinggi, dapat mengakibatkan kematian. Disamping keracunan yang akut,

keracunan yang kronis pun sebagai akibat termakannya sianida yang sedikit

demi sedikit namun terus menerus dalam kurun waktu yang lama, dapat

mengganggu/membahayakan kesehatan (Marlina, 2014).

Singkong mengandung senyawa glukosida sianogenik, yang tersebar

hampir pada semua jaringan tanaman, yang terdiri atas linamarin dan

Page 4: ACARA-II-REVISI[1]

lotaustrain dengan perbandingan 10:1 (di mana senyawa ini dapat berubah

menjadi sianida yang sangat beracun). Kandungan glukosida sianogenik pada

singkong di Indonesia berkisar 20 ppm sampai 200 ppm. Sedangkan menurut

FAO/WHO 1991 kandungan sianida yang diperbolehkan pada makanan dari

singkong maksimal 10 ppm. hidrolisis sianogenik oleh linamarase

(Askurrahman, 2010).

Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan koro pedang

(Canavalia ensiformis) adalah adanya zat antigizi glukosida sianogenik yang

menimbulkan cita rasa yang kurang disukai serta mengurangi bioavabilitas

nutrient didalam tubuh. Glukosida sianogenik berperan sebagai prekursor

sianida bebas pada koro pedang, sehingga bila glukosida terhidrolisis

sempurna dapat menghasilkan sianida bebas yang dapat menimbulkan efek

toksisitas yang berbahaya. Akumulasi asam sianida pada tubuh dapat

mengakibatkan gangguan penyerapan iodium dalam tubuh dan menghambat

penyerapan protein di dalam tubuh. Oleh karena itu diperlukan beberapa

perlakuan untuk mengurangi kandungan sianida dalam koro pedang untuk

menjadi produk pangan yang aman untuk dikonsumsi. Batas maksimal kadar

HCN yang diperbolehkan oleh Food Agricultural Organization (FAO) untuk

dikonsumsi < 10 ppm asam sianida pada tingkat yang aman (Wahjuningsih,

2013).

Cara yang biasa dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi sianida

dalam gadung antara lain umbi dikupas dan diiris tipis, dilumuri abu kayu,

direndam, direbus, dan dijemur. Perebusan merupakan salah satu cara

pemanasan yang umum dilakukan masyarakat, prosesnya cepat, relatif

mudah, dan bisa dilakukan dengan biaya murah. Melalui perebusan, kadar

sianida dalam umbi gadung dapat diturunkan. Oleh karena itu, dengan kadar

sianida gadung yang rendah dapat menurunkan sifat goitrogen dari umbi

gadung (Ardiansari, 2012).

Perebusan merupakan cara yang paling efektif untuk menekan kadar

sianida singkong. Hal ini dikarenakan enzim ”linase” yaitu enzim yang

berperan dalam pengikatan sianida menjadi inaktif sehingga pemecahan

Page 5: ACARA-II-REVISI[1]

linamarin (glikosida sianogenik pada singkong) yang menyebabkan

terbentuknya sianida tidak dapat terjadi (Winarno, 2002).

C. Metodologi

1. Alat

a. Labu destilasi

b. Pipet

c. Pipet ukur

d. Propipet

e. Gelas beker

f. Tabung reaksi

g. Penjepit

h. Kompor

i. Panci

j. Spektrofotometer dan kuvet

k. Alat Destilasi

l. Erlenmeyer

m. Neraca analitik

2. Bahan

a. Kacang mete

b. Kacang merah

c. Kacang tanah

d. Kentang

e. Singkong

f. Ubi jalar ungu

g. Kacang koro pedang putih

h. Kacang koro pedang merah

i. Aquades

j. Kloroform (2,5 mL)

k. KOH 2%

l. Alkalin Pikrat (5 mL)

m. KCN standar

Page 6: ACARA-II-REVISI[1]

3. Cara Kerja

D. Hasil dan Pembahasan

Sianida dalam bentuk bebas berupa asam sianida (HCN), sedangkan

dalam bentuk terikat berupa senyawa glikosida yakni linamarin dan

lotausralin. Asam sianida ini merupakan anti nutrisi yang diperoleh dari hasil

hidrolisis senyawa glukosida sianogenik seperti linamarin, lotaustralin, dan

durin (Widodo, 2005) dalam (Ardiansari 2012). Senyawa ini mempunyai titik

didih 25,7ºC (Mark dan Liener dalam Ardiansari 2012). Dalam keadaan

bebas sangat mudah larut dalam air. Dalam jaringan, senyawa ini akan

terakumulasi, tetapi apabila terdapat pada suatu permukaan, senyawa ini cepat

menguap. Karena sifat kelarutannya sangat mudah larut dalam air, senyawa

ini mudah dihilangkan dari bahan (Pambayun, 2007) dalam (Ardiansari

2012). Menurut Winarno (2002), HCN bersifat mudah menguap di udara,

terutama pada suhu lebih tinggi dari 25ºC. Tergantung pada dosisnya, asam

Page 7: ACARA-II-REVISI[1]

sianida dapat menyebabkan sakit sampai kematian. Dosis lethal asam sianida

pada manusia adalah 0,5-3,5 mg/kg berat badan (Winarno, 2002). Secara

fisik, HCN termasuk senyawa volatil tidak berwarna, berbau menyengat

sebagaimana asam lainnya, dan berasa pahit. (Ardiansari 2012).

Sianogen merupakan senyawa pada umbi-umbian yang berpotensi

sebagai toksikan dan dapat terurai menjadi asam hidrosianida (HCN). Pada

saat pengupasan atau pengirisan umbi, jaringan umbi mengalami kerusakan

dan sistem sel rusak, senyawa alkaloid sebagai substrat yang berada dalam

vakuola dan enzim dalam sitoplasma akan saling kontak dan mengalami

reaksi enzimatis membentuk glukosa dan senyawa aglikon. Senyawa aglikon

kemudian dengan cepat akan mengalami pemecahan oleh enzim liase menjadi

asam sianida (HCN) dan senyawa aldehid atau keton (Alma’arif, 2012).

Sianida merupakan senyawa beracun kuat dapat menyebabkan

kematian pada manusia ataupun hewan termasuk hewan air. Kerja daya racun

sianida ini menyerupai daya racun karbon monoksida di mana sianida iso-

elektron dengan karbon monoksida. Keracunan sianida timbul karena reaksi

yang tidak dapat balik dengan besi dalam hemoglobin yang mengakibatkan

hilangnya kesanggupan darah dalam membawa oksigen (Nahdhiyah, 2011).

Melihat karakteristik sianida yang secara fisik tidak berwarna, berbau

menyengat sebagaimana asam lainnya, dan berasa pahit serta sifat sianida

yang beracun, maka sangat perlu dilakukan evaluasi kadar sianida dalam

bahan pangan. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui pengolahan yang tepat

terhadap bahan pangan agar aman dikonsumsi.

Batas maksimal kadar HCN yang diperbolehkan oleh Food

Agricultural Organization (FAO) untuk dikonsumsi < 10 ppm asam sianida

pada tingkat yang aman (Wahjuningsih, 2013). Dosis lethal asam sianida

pada manusia adalah 0,5-3,5 mg/kg berat badan (Winarno, 2002).

Pengamatan kadar sianida singkong dilakukan dengan menimbang

sampel yang telah dihancurkan sebanyak 4 gram dan dimasukkan ke dalam

labu destilasi. Kemudian ditambah 125 ml aquades dan 2,5 ml kloroform.

Sebelumnya disiapkan larutan KOH 2% sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke

Page 8: ACARA-II-REVISI[1]

dalam erlenmeyer. Sampel di dalam labu destilasi kemudian didestilasi dan

erlenmeyer yang telah berisi larutan KOH 2% diletakkan di bawah sebagai

penampung sampel hasil destilasi. Destilasi dihentikan setelah volume yang

tertampung di erlenmeyer menunjukkan 20 ml. Setelah didestilasi, sampel

kemudian diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan dengan alkalin pikrat

sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan selama 5 menit. Setelah itu sampel

dalam tabung reaksi didinginkan dengan air mengalir. Ketika sampel dalam

tabung reaksi sudah dingin, sampel divortex lalu ditera absorbansinya dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Hasil absorbansi yang

diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam persamaan regresi sehingga kadar

sianida sampel dapat dihitung.

Penambahan kloroform ditujukan agar hidrolisis glikosida terjadi dan

sampel mengeluarkan HCN. Menurut Pokorný (1963), melalui pengaruh uap

zat tertentu (kloroform, ether, toluene, dll.) atau dengan menciderai dan

melayukan, terjadi hidrolisis glikosida dan tanaman melepaskan HCN.

Menurut Myers dan Fry (1978), KOH digunakan untuk memerangkap HCN.

Sampel didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam tempat yang diisi KOH

1%. Pada akhir percobaan, HCN yang terperangkap dalam larutan ditera

secara kolorimetri. Menurut Williams (1980), pembentukan kompleks

berwarna merah dengan reaksi sianida dan alkalin pikrat telah menjadi teknik

agronomi standar yang digunakan untuk estimasi kuantitatif sianida. Alkalin

pikrat bereaksi dengan sianida membentuk kompleks merah, yang kemudian

dapat ditera absorbansinya pada spektrofotometer. Menurut Nwokoro et al

(2010), alkalin pikrat berfungsi sebagai agen pemerangkap HCN yang

dibebaskan.

Pada praktikum Acara II “Evaluasi Kadar Sianida dalam Bahan

Pangan” ini bertujuan untuk mengetahui kadar sianida dari bahan pangan

dengan berbagai perlakuan. Sampel yang akan dianalisis kadar sianidanya

antara lain kacang mete, kacang merah, kacang tanah, kentang mentah,

kentang kukus, singkong mentah, singkong kukus, ubi jalar ungu mentah, ubi

jalar ungu kukus, kacang koro pedang putih mentah, kacang koro pedang

Page 9: ACARA-II-REVISI[1]

putih perendaman 3 hari, kacang koro pedang merah mentah, dan kacang

koro pedang merah perendaman 12 jam. Sebelum dianalisis kadar sianidanya,

terlebih dahulu ditentukan kurva standar HCN.

Tabel 2.1 Kurva Standar HCNVol. Larutan KCN Standar (ml) Vol. Aquades (ml) Absorbansi (Å)

0,0 10,0 0,0200,2 9,8 0,0450,4 9,6 0,0960,6 9,4 0,1350,8 9,2 0,2131,0 9,0 0,2771,2 8,8 0,351

Sumber: Laporan Sementara

Gambar 2.1 Kurva Standar KCN 3,5 mg/10 mL Aquades

Kurva standar HCN menjadi acuan perhitungan persamaan regresi

yang akan digunakan untuk menghitung kadar HCN pada masing-masing

sampel. Persamaan regresi ditentukan dengan meregresikan mg KCN sebagai

sumbu x nilai absorbasi sebagai sumbu y. Berdasarkan kurva standar HCN,

persamaan regresi yang diperoleh yaitu: y = 0,280x - 0,006.

Page 10: ACARA-II-REVISI[1]

Tabel 2.2 Kadar Sianida pada Bahan Pangan

Kel SampelRata-rata

Absorbansi (Å)

Kadar HCN

Kadar HCN

(mg) (ppm)1 A 2 A Kacang Mete 0,058 0,229 2293 A 4 A Kacang Merah 0,524 1,893 18935 A 6 A Kacang Tanah 0,085 0,325 325

1 B Kentang Mentah 0,039 0,161 1612 B Kentang Kukus 0,034 0,144 1443 B Singkong Mentah 0,458 1,657 16574 B Singkong Kukus 0,113 0,425 425

5 BUbi Jalar Ungu Mentah

0,027 0,118 118

6 BUbi Jalar Ungu Kukus

0,258 0,943 943

1 CKacang Koro Pedang Putih Mentah

0,022 0,1 100

2 CKacang Koro Pedang Putih Direndam3 hari

0,036 0,15 150

3 C 4 CKacang Koro Pedang Merah Mentah

0,031 0,132 132

5 C 6 CKacang Koro Pedang Merah Direndam 12 jam

0,03 0,129 129

Sumber: Laporan Sementara

Berdasarkan Tabel 2.2 didapatkan kadar sianida dalam berbagai

bahan pangan. Pada percobaan shift pertama didapatkan kadar sianida pada

sampel kacang mete, kacang merah, dan kacang tanah berutut-turut sebesar

229 ppm, 1893 ppm, dan 325 ppm. Pada sampel kacang kacangan ini,

didapatkan kadar sianida terbesar pada sampel kacang merah dan yang

terkecil pada sampel kacang mete.

Sedangkan pada shift kedua dilakukan evaluasi kadar sianida pada

umbi-umbian dengan berbagai perlakuan. Pada Tabel 2.2 didapatkan kadar

sianida pada sampel kentang mentah, kentang kukus, singkong mentah,

Page 11: ACARA-II-REVISI[1]

singkong kukus, ubi jalar ungu mentah, dan ubi jalar ungu kukus berturut-

turut sebesar 161 ppm, 144 ppm, 1657 ppm, 425 ppm, 118 ppm, dan 943

ppm. Sampel dengan kadar sianida terbesar pada percobaan shift kedua

adalah pada singkong mentah, dan yang terkecil pada ubi jalar ungu mentah.

Sampel umbi-umbian yang mengalami perlakuan, yaitu pengukusan, rata-rata

memiliki kadar sianida yang lebih kecil dari sampel yang tidak mengalami

perlakuan (mentah). Hal ini telah sesuai dengan teori, bahwa pada umbi-

umbian proses rebus atau diiris tipis lalu direbus mengurangi kadar sianida

60-90%, sedangkan proses kukus atau diiris tipis lalu dikukus mengurangi

kadar sianida 30-60% (Murdiana dkk, 2000 dalam Ardiansari, 2012).

Pada percobaan shift ketiga dilakukan evaluasi kadar sianida pada

sampel kacang koro pedang putih dan kacang koro pedang merah dengan

variasi perlakuan yakni mentah dan perendaman. Dari Tabel 2.2 didapatkan

kadar sianida pada sampel kacang koro pedang putih mentah, kacang koro

pedang putih dengan perendaman selama 3 hari, kacang koro pedang merah

mentah, dan kacang koro pedang merah dengan perendaman selama 12 jam

berturut-turut adalah 100 ppm, 150 ppm, 132 ppm, dan 130 ppm. Dari hasil

percobaan didapatkan hasil yang kurang sesuai dengan teori. Metode

perendaman biasanya dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi

kandungan antinutrisi. Media perendaman dapat berupa air, larutan garam,

atau alkali. Perendaman dapat dilakukan untuk menurunkan asam sianida.

Hal ini disebabkan karena HCN bersifat sangat larut dalam air sehingga

selama perendaman HCN dalam koro akan larut dalam air dan ketika air

tersebut diganti setiap 6 jam, HCN dalam air akan ikut terbuang (Marthia,

2015). Menurut Wahjuningsih (2013), kadar HCN pada koro pedang dapat

diturunkan dengan cara blansing yang dilanjutkan dengan perendaman

menggunakan garam 5% selama 24 jam. Hasil yang kurang sesuai teori ini

dimungkinkan karena perendaman hanya dilakukan dengan menggunakan air

saja dalam waktu yang cukup singkat.

Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan kadar sianida terbesar pada

sampel kacang merah yaitu sebesar 1893 ppm dan singkong mentah sebesar

Page 12: ACARA-II-REVISI[1]

1657 ppm. Sedangkan yang terkecil pada kacang koro pedang putih mentah

yaitu sebesar 100 ppm dan ubi jalar ungu mentah sebesar 118 ppm.

Menurut Marthia (2015), kadar sianida kacang koro pedang putih

mentah adalah 95,94 mg/kg, sedangkan pada kacang koro pedang putih

perendaman dengan air selama 3 hari adalah 18,79 mg/kg. Menurut Marlina

(2014), singkong manis dengan kandungan HCN 50 mg/kg umbi segar,

singkong (tidak manis dan tidak pahit) memiliki kandungan HCN antara 50 -

100 mg/kg umbi segar, dan singkong pahit dengan kandungan HCN di atas

100 mg/kg umbi segar. Menurut Murdiana dan Sukati (2001), kadar sianida

dalam ubi jalar mentah adalah 3,88 mg/100 gr, sedangkan ubi jalar kukus

sebesar 2,80 mg/ 100 gr. Untuk singkong mentah sebesar 7,80 mg/100 gr dan

untuk singkong kukus sebesar 1,38 mg/100gr. Faktor yang bertanggung

jawab dalam variasi kandungan sianida dalam bahan pangan belum diketahui

secara jelas, namun genotif memiliki peran utama dalam hal ini (Lebot,

2009).

Selain dengan metode spektrofotometri, banyak metode analisis HCN

yang telah dicoba, akan tetapi hasilnya bervariasi hal ini disebabkan oleh sifat

HCN yang mudah menguap akibat pengaruh suhu. Kenaikan suhu dan waktu

inkubasi yang relatif lama pada proses analisis, dapat menyebabkan hilangnya

sianida yang akan diukur. Untuk itu, perlu dicarikan metode lain yang lebih

efektif dan efisien yaitu dengan cara memodifikasi beberapa metode dasar

yang telah ada. Metode yang terpilih adalah metode Lian dan Hamir. Metode

Lian dan Hamir merupakan metode alkali-pikrat yang paling praktis

dibandingkan dengan metode lain misalnya metode piridine-pirazolone dan

isotachoelectrophoretic. Pada percobaan pendahuluan metode Lian dan

Hamir yang tidak dimodifikasi, tidak diperoleh hasil karena waktu yang

diperlukan untuk proses inkubasi cukup lama (lebih dari 12 jam),

mengakibatkan kandungan sianida dalam contoh menjadi hilang dan tidak

terdeteksi. Pada percobaan tersebut, HCN yang dibebaskan meresap ke dalam

sumbat tabung sampai ke permukannya sehingga pada saat kertas berpikrat

dielusikan dengan aquades, eluen tidak menunjukkan adanya HCN (warna

Page 13: ACARA-II-REVISI[1]

eluen sama dengan blanko). Dari hasil analisis HCN dengan menggunakan

metode Lian dan Hamir yang dimodifikasi, menunjukkan hasil analisis yang

akurat. Dengan pengurangan waktu dan jumlah sampel serta dilakukan pada

suhu kamar, kandungan HCN dalam contoh tetap dapat terdeteksi (Marlina,

2014).

Cara analisis kadar HCN pada singkong yaitu singkong diparut

kemudian ditimbang 20 g singkong, dimasukkan dalam labu destilasi,

selanjutnya ditambahkan 100 ml aquades. Dimaserasi selama (0, 2, 4, 6, 8,

10, dan 12 jam). Kemudian destilasi secara steam destilation. Destilat

ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi dengan 20 ml NaOH 2,5%, dan

destilasi dihentikan setelah dipastikan destilat hingga ± 150 ml. Diambil 5 mL

destilat, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 5 ml Natrium

Pikrat dan 0,5 mL kloroform. Kemudian dihomogenisasi dan didiamkan

selama 30 menit dan selanjutnya dibaca absorbansinya dengan menggunakan

spektronik 20 (Askurrahman, 2010).

Pada proses pengolahan pangan sianida pada singkong dihilangkan

dengan merebus dan membuang air perebus. Akan tetapi, proses pemasakan

secara tradisional baik dengan cara direbus maupun digoreng tidak dapat

menghilangkan sempurna senyawa sianida. Maka diperlukan upaya

penurunan kandungan glukosida sianogenik dengan mengoptimalkan proses

hidrolisis sianogenik oleh linamarase (Askurrahman, 2010).

Ada beberapa metode yang dapat menurunkan kadar HCN, menurut

penelitian Wahjuningsih (2013), kadar HCN pada koro pedang dapat

diturunkan dengan cara blansing yang dilanjutkan dengan perendaman

menggunakan garam 5% selama 24 jam. Pada kondisi ini diperoleh tepung

koro pedang dengan kadar HCN 0 ppm dan derajad putih 82,45%. Perlakuan

blansing akan mempercepat penurunan HCN. Hal ini disebabkan karena

perlakuan blansing akan menonaktifkan enzim yang terdapat dalam bahan

yang bertanggung jawab dalam proses oksidasi dan hidrolisis yang tidak

dikehendaki. Pada proses ini, enzim yang tidak dikehendaki (β-glukosidase)

dinonaktifkan sehingga tidak dapat mengkatalis pemecahan glukosida

Page 14: ACARA-II-REVISI[1]

sianogenik menjadi glukosa dan aglikon. Tidak terbentuknya aglikon yang

merupakan substrat untuk enzim hidroksinitril liase membuat enzim tidak

dapat beraktivitas, sehingga HCN tidak terbentuk. Perendaman menggunakan

garam NaCl 5% mengakibatkan terjadi pengikatan sianida oleh natrium

membentuk NaCN yang mudah larut.

Menurut Djaafar (2009), perendaman irisan umbi setebal 2 mm dalam

larutan garam 8% selama tiga hari mampu menurunkan HCN sampai pada

kadar 5,45 ppm. Blanching umbi yang tidak dikupas selama 30 menit di

dalam air mendidih dan dikombinasikan dengan perendamam dalam air

bersih selama tiga hari mampu menurunkan kandungan HCN sampai pada

kadar 4,12 ppm. Serta cara tradisional (dengan abu sekam) dapat menurunkan

kandungan HCN sampai pada kadar 13,89 ppm.

Menurut Alma’arif (2012), kadar HCN dapat dihilangkan dengan

penambahan bahan penyerap yang berupa abu sekam, abu kayu, dan karbon

aktif. Untuk umbi yang akan dijadikan keripik, umbi yang sudah diris-iris

ditambahkan dengan bahan penyerap dan dibungkus dengan kain mori,

kemudian dilakukan pengepresan dengan kempa hidraulik agar cairan dari

dalam umbi keluar sebanyak banyaknya. Irisan umbi yang telah dikempa

kemudian dikeringkan dalam cabinet dryer bersuhu 50oC selama 10 jam.

Setelah kering dicuci sampai bersih dilanjutkan dengan perendaman

kemudian dikeringkan kembali.

Pada umbi-umbian proses rebus atau diiris tipis lalu direbus

mengurangi kadar sianida 60-90%, sedangkan proses kukus atau diiris tipis

lalu dikukus mengurangi kadar sianida 30-60% (Murdiana dkk, 2000 dalam

Ardiansari, 2012). Pemanasan dapat mengurangi kadar sianida umbi

(Chukwuemeka, 2011 dalam Ardiansari, 2012). Pemanasan memiliki

dwifungsi, menginaktifkan enzim dan menguapkan HCN yang terbentuk

karena senyawa ini sifatnya volatil. Pemanasan akan menyebabkan enzim b-

glukosidase yang berada dalam umbi (sitoplasma selular) mengalami inaktif

sehingga rantai enzimatis dapat diputus. Jika reaksi itu diputus, pembentukan

sianohidrin dari glukosida sianogenik dan reaksi pembentukan HCN dari

Page 15: ACARA-II-REVISI[1]

sianohidrin bisa dihindari (Pambayun, 2007 dalam Ardiansari, 2012).

Pemanasan diikuti 2 mekanisme transfer panas, yaitu konveksi perpindahan

panas dari uap ke permukaan irisan gadung diikuti dengan transfer panas

konduktif dari permukaan irisan gadung ke dalam bagian gadung itu sendiri.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pada awal proses, panas itu digunakan

untuk meningkatkan suhu dan pada saat yang sama panas juga berfungsi

menghapus sianida dari umbi di kedua permukaan dan bagian dalamnya

(Kumoro, 2011 dalam Ardiansari 2012).

E. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Acara II “Evaluasi

Kadar Sianida dalam Bahan Pangan” adalah

1. Terdapat perbedaan kadar sianida pada bahan pangan tanpa perlakuan

(mentah) dan dengan perlakuan (pengukusan maupun perendaman).

Perlakuan pengukusan dan perendaman dapat mengurangi kadar sianida

dalam bahan pangan.

2. Kadar sianida pada sampel bahan pangan dari yang tertinggi sampai yang

ke rendah adalah kacang merah (1893 ppm), singkong mentah (1657

ppm), ubi jalar ungu kukus (942), singkong kukus (425 ppm), kacang

tanah (325 ppm), kacang mete (229 ppm), kentang mentah (161 ppm),

kentang kukus (144 ppm), kacang koro pedang putih direndam tiga hari

(150 ppm), kacang koro pedang mentah (132 ppm), kacang koro pedang

merah direndam tiga hari (129 ppm), ubi jalar ungu mentah (118 ppm)

dan kacang koro pedang putih mentah (100 ppm).

3. Dari hasil percobaan, didapatkan kadar sianida terbesar pada sampel

kacang merah yaitu sebesar 1893 ppm dan singkong mentah sebesar 1657

ppm. Sedangkan yang terkecil pada kacang koro pedang putih mentah

yaitu sebesar 100 ppm dan ubi jalar ungu mentah sebesar 118 ppm.

Page 16: ACARA-II-REVISI[1]

DAFTAR PUSTAKA

Alma’arif, Ahmad Luthfi, Wijaya A, dan Murwono D. 2012. Penghilangan Racun Asam Sianida (HCN) dalam Umbi Gadung dengan Menggunakan Bahan Penyerap Abu. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri Vol. 1, No.1, 14-20.

Anhwange, B. A. 2011. Hydrogen Cyanide Content of Manihort Utilissima, Colocasia Esculenta, Dioscorea Bulbifera and Dioscorea Domentorum Tubers Found in Benue State. International Journal of Chemistry Vol. 3, No. 4.

Ardiansari, Yasinta Marta. 2012. Pengaruh Jenis Gadung Dan Lama Perebusan Terhadap Kadar Sianida Gadung. Skripsi. Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.

Askurrahman. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Linamarase Hasil Isolasi dari Umbi Singkong (Manihot esculenta Crantz). Agrointek Vol. 4, No. 2.

Djaafar, Titiek F., Rahayu S, dan Gardjito M. Pengaruh Blanching dan Waktu Perendaman dalam Larutan Kapur terhadap Kandungan Racun pada Umbi dan Ceriping Gadung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 28, No. 3.

Lebot, Vincent. 2009. Tropical Root and Tuber Crops: Cassava, Sweet Potato, Yams, Aroids. UK: CAB International.

Marlina, Nina. 2014. Analisis Sianida dalam Singkong dengan Metode Lian dan Hamir yang Dimodifikasi. Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Balai Penelitian Temak, Ciawi-Bogor.

Marthia, Nabila, Widiantara T, dan Leni H. Afrianti. 2015. Penurunan Sianida dalam Kacang Koro Pedang Putih (Canavalia ensiformis) dengan Berbagai Metode. Jurnal Penelitian Tugas Akhir, 1-12.

Murdiana, Ance dan Sukati Saidin. 2001. Kadar Sianida dalam Sayuran dan Umbi-Umbian di Daerah Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY). PGM Vol. 24, 33-37.

Myers, D. F. dan W. E. Fry. 1978. Hydrogen Cyanide Potential during Pathogenesis of Sorghum by Gloeocercospora sorghi or Helminthosporium sorghicola. Phytopathology Vol. 68, 1037-1041.

Nahdhiyah, Nissa. 2011. Analisis Ion Sianida (CN-) dan Timbal (Pb2+) secara Simultan dengan Metode Reverse Flow Injection Potentiometry. Skripsi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.

Nwokoro, O et al.. 2010. Deetermination of Cyanide in Amanitia muscaria Samples Using Alkaline Picrate Method. Pakistan Journal of Nutrition Vol. 9, No. 2, 134-136.

Page 17: ACARA-II-REVISI[1]

Pokorný, Václav. 1963. Quantitative Determination of Cyanogenesis in Plants. Biologia Plantarum Vol. 5, No. 2, 310-317.

Wahjuningsih, Sri Budi dan WyatiSaddewisasi. 2013. Pemanfaatan Koro Pedang pada Aplikasi Produk Pangan dan Analisis Ekonominya. Jurnal Riptek Vol. 7, No. 2, 1-10.

Williams, Hugh J. dan Thomas G. Edwards. 1980. Estimation of Cyanide with Alkaline Picrate. Journal of the Science of Food and Agriculture Vol. 31, 15-22.

Winarno, FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 18: ACARA-II-REVISI[1]

LAMPIRAN

Perhitungan Kelompok 2B

Persamaan kurva standar: y = 0,280 x – 0,006

Berat sampel = 4 gram

FP = 4

Rata-rata absorbansi ulangan pertama:

Rata-rata absorbansi ulangan kedua:

Rata-rata absorbansi:

Nilai x

Kadar HCN (mg)

Kadar HCN (ppm)

Page 19: ACARA-II-REVISI[1]
Page 20: ACARA-II-REVISI[1]

LAMPIRAN

Gambar 2.2 Sampel dalam labu Kjeldahl

Gambar 2.3 Proses distilasi sampel

Gambar 2.4 Sampel setelah ditambahkan alkalin pikrat

Gambar 2.5 Sampel sebelum proses peneraan absorbansi dengan spektrofotometer