ACARA-II-REVISI[1]
-
Upload
ceciliamuninggar -
Category
Documents
-
view
226 -
download
1
description
Transcript of ACARA-II-REVISI[1]
ACARA II
EVALUASI KADAR SIANIDA DALAM BAHAN PANGAN
A. Tujuan
Tujuan Acara II “Evaluasi Kadar Sianida dalam Bahan Pangan”
adalah sebagai berikut:
1. Mengetauhui prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan dengan
metode destilasi dan spektrofotometri.
2. Mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap kadar sianida bahan
pangan.
3. Mengetahui kadar sianida bahan pangan dengan berbagai variasi
perlakuan.
B. Tinjauan Pustaka
Sianida merupakan senyawa anorganik dan organik dengan siano
(CN) sebagai struktur utama. Senyawa ini dihasilkan dalam pemrosesan
logam. Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada
setiap produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi
oleh bakteri, jamur, dan ganggang. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap
kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung
tapioka, dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk
sintetik. Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan
garam seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sianida tersebar luas di
perairan dan berada dalam bentuk ion sianida (CN-), hidrogen sianida (HCN),
dan metalosianida. Sianida mengalami disosiasi dalam persamaan reaksi:
KCN + H2O HCN + KOH
Sianida dalam kondisi basa:
KCN + NaOH NaCN + KOH
CN-+ H2O HCN + OH
Sianida senyawa beracun kuat dapat menyebabkan kematian pada manusia
ataupun hewan termasuk hewan air. Kerja daya racun sianida ini menyerupai
daya racun karbon monoksida di mana sianida iso-elektron dengan karbon
monoksida. Keracunan sianida timbul karena reaksi yang tidak dapat balik
dengan besi dalam hemoglobin yang mengakibatkan hilangnya kesanggupan
darah dalam membawa oksigen (Nahdhiyah, 2011).
Hidrogen sianida adalah cairan tak berwar. Hidrogen sianida memiliki
rumus molekul HCN. Hal ini mudah larut dalam air. Solusinya dalam air
dikenal sebagai asam hydrocyanic acid atau prussic. Namanya yang lain
adalah formonitrile. Garam dari HCN disebut sianida. Formonitrile adalah zat
beracun, karena itu sering dianggap sebagai faktor anti-nutrisi. Menurut
Kamalu (1995) dalam (Anhwange, 2011)., singkong, sebuah makanan pokok
di banyak daerah tropis mengandung cyanogenic glikosida, seperti linamarin,
yang melepaskan sianida (CN-) ketika dimetabolisme endogen. Jantz et al.
(1997) dalam (Anhwange, 2011), melaporkan bahwa, orang yang makan
makanan yang mengandung tingkat sianida rendah untuk waktu yang lama
dapat mengembangkan kerusakan pada pusat sistem saraf (CNS) dan kelenjar
tiroid. Untuk menunjang hal ini, Kamalu (1995) dalam (Anhwange, 2011)
menekankan bahwa lama konsumsi makanan yang mengandung sianida dapat
menyebabkan ketulian, masalah penglihatan, dan hilangnya koordinasi otot.
Pengaruh ini pada kelenjar tiroid adalah kretinisme (pertumbuhan terbelakang
fisik dan mental pada anak-anak), atau pembesaran aktivitas kelenjar
(Anhwange, 2011).
Sianogen merupakan senyawa pada umbi-umbian yang berpotensi
sebagai toksikan dan dapat terurai menjadi asam hidrosianida (HCN). Pada
saat pengupasan atau pengirisan umbi, jaringan umbi mengalami kerusakan
dan sistem sel rusak, senyawa alkaloid sebagai substrat yang berada dalam
vakuola dan enzim dalam sitoplasma akan saling kontak dan mengalami
reaksi enzimatis membentuk glukosa dan senyawa aglikon. Senyawa aglikon
kemudian dengan cepat akan mengalami pemecahan oleh enzim liase menjadi
asam sianida (HCN) dan senyawa aldehid atau keton (Alma’arif, 2012).
Sianida dalam bentuk bebas berupa asam sianida (HCN), sedangkan
dalam bentuk terikat berupa senyawa glikosida yakni linamarin dan
lotausralin. Asam sianida ini merupakan anti nutrisi yang diperoleh dari hasil
hidrolisis senyawa glukosida sianogenik seperti linamarin, lotaustralin, dan
durin (Widodo, 2005) dalam (Ardiansari 2012).. Senyawa ini mempunyai
titik didih 25,7ºC (Mark dan Liener dalam Ardiansari 2012). Dalam keadaan
bebas sangat mudah larut dalam air. Dalam jaringan, senyawa ini akan
terakumulasi, tetapi apabila terdapat pada suatu permukaan, senyawa ini cepat
menguap. Karena sifat kelarutannya sangat mudah larut dalam air, senyawa
ini mudah dihilangkan dari bahan (Pambayun, 2007) dalam (Ardiansari
2012). Menurut Winarno (2002), HCN bersifat mudah menguap di udara,
terutama pada suhu lebih tinggi dari 25ºC. Tergantung pada dosisnya, asam
sianida dapat menyebabkan sakit sampai kematian. Dosis lethal asam sianida
pada manusia adalah 0,5-3,5 mg/kg berat badan (Winarno, 2002). Secara
fisik, HCN termasuk senyawa volatil tidak berwarna, berbau menyengat
sebagaimana asam lainnya, dan berasa pahit (Ardiansari 2012).
Berdasarkan kandungan sianidanya, singkong dibagi ke dalam tiga
jenis (varietas) yaitu:
1) Singkong manis dengan kandungan HCN 50 mg/kg umbi segar
2) Singkong (tidak manis dan tidak pahit) dengan kandungan HCN antara
50-100 mg/kg umbi segar
3) Singkong pahit dengan kandungan HCN di atas 100 mg/kg umbi segar.
Singkong manis, umbi dan daunnya dapat dikonsumsi oleh manusia
maupun ternak karena kandungan sianidanya rendah. Sedangkan singkong
pahit yang mengandung sianida tinggi, umumnya digunakan untuk sumber
bahan industri pembuatan pati (tepung tapioka) dan tidak digunakan langsung
sebagai makanan manusia maupun ternak. Keracunan sianida yang cukup
tinggi, dapat mengakibatkan kematian. Disamping keracunan yang akut,
keracunan yang kronis pun sebagai akibat termakannya sianida yang sedikit
demi sedikit namun terus menerus dalam kurun waktu yang lama, dapat
mengganggu/membahayakan kesehatan (Marlina, 2014).
Singkong mengandung senyawa glukosida sianogenik, yang tersebar
hampir pada semua jaringan tanaman, yang terdiri atas linamarin dan
lotaustrain dengan perbandingan 10:1 (di mana senyawa ini dapat berubah
menjadi sianida yang sangat beracun). Kandungan glukosida sianogenik pada
singkong di Indonesia berkisar 20 ppm sampai 200 ppm. Sedangkan menurut
FAO/WHO 1991 kandungan sianida yang diperbolehkan pada makanan dari
singkong maksimal 10 ppm. hidrolisis sianogenik oleh linamarase
(Askurrahman, 2010).
Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan koro pedang
(Canavalia ensiformis) adalah adanya zat antigizi glukosida sianogenik yang
menimbulkan cita rasa yang kurang disukai serta mengurangi bioavabilitas
nutrient didalam tubuh. Glukosida sianogenik berperan sebagai prekursor
sianida bebas pada koro pedang, sehingga bila glukosida terhidrolisis
sempurna dapat menghasilkan sianida bebas yang dapat menimbulkan efek
toksisitas yang berbahaya. Akumulasi asam sianida pada tubuh dapat
mengakibatkan gangguan penyerapan iodium dalam tubuh dan menghambat
penyerapan protein di dalam tubuh. Oleh karena itu diperlukan beberapa
perlakuan untuk mengurangi kandungan sianida dalam koro pedang untuk
menjadi produk pangan yang aman untuk dikonsumsi. Batas maksimal kadar
HCN yang diperbolehkan oleh Food Agricultural Organization (FAO) untuk
dikonsumsi < 10 ppm asam sianida pada tingkat yang aman (Wahjuningsih,
2013).
Cara yang biasa dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi sianida
dalam gadung antara lain umbi dikupas dan diiris tipis, dilumuri abu kayu,
direndam, direbus, dan dijemur. Perebusan merupakan salah satu cara
pemanasan yang umum dilakukan masyarakat, prosesnya cepat, relatif
mudah, dan bisa dilakukan dengan biaya murah. Melalui perebusan, kadar
sianida dalam umbi gadung dapat diturunkan. Oleh karena itu, dengan kadar
sianida gadung yang rendah dapat menurunkan sifat goitrogen dari umbi
gadung (Ardiansari, 2012).
Perebusan merupakan cara yang paling efektif untuk menekan kadar
sianida singkong. Hal ini dikarenakan enzim ”linase” yaitu enzim yang
berperan dalam pengikatan sianida menjadi inaktif sehingga pemecahan
linamarin (glikosida sianogenik pada singkong) yang menyebabkan
terbentuknya sianida tidak dapat terjadi (Winarno, 2002).
C. Metodologi
1. Alat
a. Labu destilasi
b. Pipet
c. Pipet ukur
d. Propipet
e. Gelas beker
f. Tabung reaksi
g. Penjepit
h. Kompor
i. Panci
j. Spektrofotometer dan kuvet
k. Alat Destilasi
l. Erlenmeyer
m. Neraca analitik
2. Bahan
a. Kacang mete
b. Kacang merah
c. Kacang tanah
d. Kentang
e. Singkong
f. Ubi jalar ungu
g. Kacang koro pedang putih
h. Kacang koro pedang merah
i. Aquades
j. Kloroform (2,5 mL)
k. KOH 2%
l. Alkalin Pikrat (5 mL)
m. KCN standar
3. Cara Kerja
D. Hasil dan Pembahasan
Sianida dalam bentuk bebas berupa asam sianida (HCN), sedangkan
dalam bentuk terikat berupa senyawa glikosida yakni linamarin dan
lotausralin. Asam sianida ini merupakan anti nutrisi yang diperoleh dari hasil
hidrolisis senyawa glukosida sianogenik seperti linamarin, lotaustralin, dan
durin (Widodo, 2005) dalam (Ardiansari 2012). Senyawa ini mempunyai titik
didih 25,7ºC (Mark dan Liener dalam Ardiansari 2012). Dalam keadaan
bebas sangat mudah larut dalam air. Dalam jaringan, senyawa ini akan
terakumulasi, tetapi apabila terdapat pada suatu permukaan, senyawa ini cepat
menguap. Karena sifat kelarutannya sangat mudah larut dalam air, senyawa
ini mudah dihilangkan dari bahan (Pambayun, 2007) dalam (Ardiansari
2012). Menurut Winarno (2002), HCN bersifat mudah menguap di udara,
terutama pada suhu lebih tinggi dari 25ºC. Tergantung pada dosisnya, asam
sianida dapat menyebabkan sakit sampai kematian. Dosis lethal asam sianida
pada manusia adalah 0,5-3,5 mg/kg berat badan (Winarno, 2002). Secara
fisik, HCN termasuk senyawa volatil tidak berwarna, berbau menyengat
sebagaimana asam lainnya, dan berasa pahit. (Ardiansari 2012).
Sianogen merupakan senyawa pada umbi-umbian yang berpotensi
sebagai toksikan dan dapat terurai menjadi asam hidrosianida (HCN). Pada
saat pengupasan atau pengirisan umbi, jaringan umbi mengalami kerusakan
dan sistem sel rusak, senyawa alkaloid sebagai substrat yang berada dalam
vakuola dan enzim dalam sitoplasma akan saling kontak dan mengalami
reaksi enzimatis membentuk glukosa dan senyawa aglikon. Senyawa aglikon
kemudian dengan cepat akan mengalami pemecahan oleh enzim liase menjadi
asam sianida (HCN) dan senyawa aldehid atau keton (Alma’arif, 2012).
Sianida merupakan senyawa beracun kuat dapat menyebabkan
kematian pada manusia ataupun hewan termasuk hewan air. Kerja daya racun
sianida ini menyerupai daya racun karbon monoksida di mana sianida iso-
elektron dengan karbon monoksida. Keracunan sianida timbul karena reaksi
yang tidak dapat balik dengan besi dalam hemoglobin yang mengakibatkan
hilangnya kesanggupan darah dalam membawa oksigen (Nahdhiyah, 2011).
Melihat karakteristik sianida yang secara fisik tidak berwarna, berbau
menyengat sebagaimana asam lainnya, dan berasa pahit serta sifat sianida
yang beracun, maka sangat perlu dilakukan evaluasi kadar sianida dalam
bahan pangan. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui pengolahan yang tepat
terhadap bahan pangan agar aman dikonsumsi.
Batas maksimal kadar HCN yang diperbolehkan oleh Food
Agricultural Organization (FAO) untuk dikonsumsi < 10 ppm asam sianida
pada tingkat yang aman (Wahjuningsih, 2013). Dosis lethal asam sianida
pada manusia adalah 0,5-3,5 mg/kg berat badan (Winarno, 2002).
Pengamatan kadar sianida singkong dilakukan dengan menimbang
sampel yang telah dihancurkan sebanyak 4 gram dan dimasukkan ke dalam
labu destilasi. Kemudian ditambah 125 ml aquades dan 2,5 ml kloroform.
Sebelumnya disiapkan larutan KOH 2% sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer. Sampel di dalam labu destilasi kemudian didestilasi dan
erlenmeyer yang telah berisi larutan KOH 2% diletakkan di bawah sebagai
penampung sampel hasil destilasi. Destilasi dihentikan setelah volume yang
tertampung di erlenmeyer menunjukkan 20 ml. Setelah didestilasi, sampel
kemudian diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan dengan alkalin pikrat
sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan selama 5 menit. Setelah itu sampel
dalam tabung reaksi didinginkan dengan air mengalir. Ketika sampel dalam
tabung reaksi sudah dingin, sampel divortex lalu ditera absorbansinya dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Hasil absorbansi yang
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam persamaan regresi sehingga kadar
sianida sampel dapat dihitung.
Penambahan kloroform ditujukan agar hidrolisis glikosida terjadi dan
sampel mengeluarkan HCN. Menurut Pokorný (1963), melalui pengaruh uap
zat tertentu (kloroform, ether, toluene, dll.) atau dengan menciderai dan
melayukan, terjadi hidrolisis glikosida dan tanaman melepaskan HCN.
Menurut Myers dan Fry (1978), KOH digunakan untuk memerangkap HCN.
Sampel didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam tempat yang diisi KOH
1%. Pada akhir percobaan, HCN yang terperangkap dalam larutan ditera
secara kolorimetri. Menurut Williams (1980), pembentukan kompleks
berwarna merah dengan reaksi sianida dan alkalin pikrat telah menjadi teknik
agronomi standar yang digunakan untuk estimasi kuantitatif sianida. Alkalin
pikrat bereaksi dengan sianida membentuk kompleks merah, yang kemudian
dapat ditera absorbansinya pada spektrofotometer. Menurut Nwokoro et al
(2010), alkalin pikrat berfungsi sebagai agen pemerangkap HCN yang
dibebaskan.
Pada praktikum Acara II “Evaluasi Kadar Sianida dalam Bahan
Pangan” ini bertujuan untuk mengetahui kadar sianida dari bahan pangan
dengan berbagai perlakuan. Sampel yang akan dianalisis kadar sianidanya
antara lain kacang mete, kacang merah, kacang tanah, kentang mentah,
kentang kukus, singkong mentah, singkong kukus, ubi jalar ungu mentah, ubi
jalar ungu kukus, kacang koro pedang putih mentah, kacang koro pedang
putih perendaman 3 hari, kacang koro pedang merah mentah, dan kacang
koro pedang merah perendaman 12 jam. Sebelum dianalisis kadar sianidanya,
terlebih dahulu ditentukan kurva standar HCN.
Tabel 2.1 Kurva Standar HCNVol. Larutan KCN Standar (ml) Vol. Aquades (ml) Absorbansi (Å)
0,0 10,0 0,0200,2 9,8 0,0450,4 9,6 0,0960,6 9,4 0,1350,8 9,2 0,2131,0 9,0 0,2771,2 8,8 0,351
Sumber: Laporan Sementara
Gambar 2.1 Kurva Standar KCN 3,5 mg/10 mL Aquades
Kurva standar HCN menjadi acuan perhitungan persamaan regresi
yang akan digunakan untuk menghitung kadar HCN pada masing-masing
sampel. Persamaan regresi ditentukan dengan meregresikan mg KCN sebagai
sumbu x nilai absorbasi sebagai sumbu y. Berdasarkan kurva standar HCN,
persamaan regresi yang diperoleh yaitu: y = 0,280x - 0,006.
Tabel 2.2 Kadar Sianida pada Bahan Pangan
Kel SampelRata-rata
Absorbansi (Å)
Kadar HCN
Kadar HCN
(mg) (ppm)1 A 2 A Kacang Mete 0,058 0,229 2293 A 4 A Kacang Merah 0,524 1,893 18935 A 6 A Kacang Tanah 0,085 0,325 325
1 B Kentang Mentah 0,039 0,161 1612 B Kentang Kukus 0,034 0,144 1443 B Singkong Mentah 0,458 1,657 16574 B Singkong Kukus 0,113 0,425 425
5 BUbi Jalar Ungu Mentah
0,027 0,118 118
6 BUbi Jalar Ungu Kukus
0,258 0,943 943
1 CKacang Koro Pedang Putih Mentah
0,022 0,1 100
2 CKacang Koro Pedang Putih Direndam3 hari
0,036 0,15 150
3 C 4 CKacang Koro Pedang Merah Mentah
0,031 0,132 132
5 C 6 CKacang Koro Pedang Merah Direndam 12 jam
0,03 0,129 129
Sumber: Laporan Sementara
Berdasarkan Tabel 2.2 didapatkan kadar sianida dalam berbagai
bahan pangan. Pada percobaan shift pertama didapatkan kadar sianida pada
sampel kacang mete, kacang merah, dan kacang tanah berutut-turut sebesar
229 ppm, 1893 ppm, dan 325 ppm. Pada sampel kacang kacangan ini,
didapatkan kadar sianida terbesar pada sampel kacang merah dan yang
terkecil pada sampel kacang mete.
Sedangkan pada shift kedua dilakukan evaluasi kadar sianida pada
umbi-umbian dengan berbagai perlakuan. Pada Tabel 2.2 didapatkan kadar
sianida pada sampel kentang mentah, kentang kukus, singkong mentah,
singkong kukus, ubi jalar ungu mentah, dan ubi jalar ungu kukus berturut-
turut sebesar 161 ppm, 144 ppm, 1657 ppm, 425 ppm, 118 ppm, dan 943
ppm. Sampel dengan kadar sianida terbesar pada percobaan shift kedua
adalah pada singkong mentah, dan yang terkecil pada ubi jalar ungu mentah.
Sampel umbi-umbian yang mengalami perlakuan, yaitu pengukusan, rata-rata
memiliki kadar sianida yang lebih kecil dari sampel yang tidak mengalami
perlakuan (mentah). Hal ini telah sesuai dengan teori, bahwa pada umbi-
umbian proses rebus atau diiris tipis lalu direbus mengurangi kadar sianida
60-90%, sedangkan proses kukus atau diiris tipis lalu dikukus mengurangi
kadar sianida 30-60% (Murdiana dkk, 2000 dalam Ardiansari, 2012).
Pada percobaan shift ketiga dilakukan evaluasi kadar sianida pada
sampel kacang koro pedang putih dan kacang koro pedang merah dengan
variasi perlakuan yakni mentah dan perendaman. Dari Tabel 2.2 didapatkan
kadar sianida pada sampel kacang koro pedang putih mentah, kacang koro
pedang putih dengan perendaman selama 3 hari, kacang koro pedang merah
mentah, dan kacang koro pedang merah dengan perendaman selama 12 jam
berturut-turut adalah 100 ppm, 150 ppm, 132 ppm, dan 130 ppm. Dari hasil
percobaan didapatkan hasil yang kurang sesuai dengan teori. Metode
perendaman biasanya dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi
kandungan antinutrisi. Media perendaman dapat berupa air, larutan garam,
atau alkali. Perendaman dapat dilakukan untuk menurunkan asam sianida.
Hal ini disebabkan karena HCN bersifat sangat larut dalam air sehingga
selama perendaman HCN dalam koro akan larut dalam air dan ketika air
tersebut diganti setiap 6 jam, HCN dalam air akan ikut terbuang (Marthia,
2015). Menurut Wahjuningsih (2013), kadar HCN pada koro pedang dapat
diturunkan dengan cara blansing yang dilanjutkan dengan perendaman
menggunakan garam 5% selama 24 jam. Hasil yang kurang sesuai teori ini
dimungkinkan karena perendaman hanya dilakukan dengan menggunakan air
saja dalam waktu yang cukup singkat.
Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan kadar sianida terbesar pada
sampel kacang merah yaitu sebesar 1893 ppm dan singkong mentah sebesar
1657 ppm. Sedangkan yang terkecil pada kacang koro pedang putih mentah
yaitu sebesar 100 ppm dan ubi jalar ungu mentah sebesar 118 ppm.
Menurut Marthia (2015), kadar sianida kacang koro pedang putih
mentah adalah 95,94 mg/kg, sedangkan pada kacang koro pedang putih
perendaman dengan air selama 3 hari adalah 18,79 mg/kg. Menurut Marlina
(2014), singkong manis dengan kandungan HCN 50 mg/kg umbi segar,
singkong (tidak manis dan tidak pahit) memiliki kandungan HCN antara 50 -
100 mg/kg umbi segar, dan singkong pahit dengan kandungan HCN di atas
100 mg/kg umbi segar. Menurut Murdiana dan Sukati (2001), kadar sianida
dalam ubi jalar mentah adalah 3,88 mg/100 gr, sedangkan ubi jalar kukus
sebesar 2,80 mg/ 100 gr. Untuk singkong mentah sebesar 7,80 mg/100 gr dan
untuk singkong kukus sebesar 1,38 mg/100gr. Faktor yang bertanggung
jawab dalam variasi kandungan sianida dalam bahan pangan belum diketahui
secara jelas, namun genotif memiliki peran utama dalam hal ini (Lebot,
2009).
Selain dengan metode spektrofotometri, banyak metode analisis HCN
yang telah dicoba, akan tetapi hasilnya bervariasi hal ini disebabkan oleh sifat
HCN yang mudah menguap akibat pengaruh suhu. Kenaikan suhu dan waktu
inkubasi yang relatif lama pada proses analisis, dapat menyebabkan hilangnya
sianida yang akan diukur. Untuk itu, perlu dicarikan metode lain yang lebih
efektif dan efisien yaitu dengan cara memodifikasi beberapa metode dasar
yang telah ada. Metode yang terpilih adalah metode Lian dan Hamir. Metode
Lian dan Hamir merupakan metode alkali-pikrat yang paling praktis
dibandingkan dengan metode lain misalnya metode piridine-pirazolone dan
isotachoelectrophoretic. Pada percobaan pendahuluan metode Lian dan
Hamir yang tidak dimodifikasi, tidak diperoleh hasil karena waktu yang
diperlukan untuk proses inkubasi cukup lama (lebih dari 12 jam),
mengakibatkan kandungan sianida dalam contoh menjadi hilang dan tidak
terdeteksi. Pada percobaan tersebut, HCN yang dibebaskan meresap ke dalam
sumbat tabung sampai ke permukannya sehingga pada saat kertas berpikrat
dielusikan dengan aquades, eluen tidak menunjukkan adanya HCN (warna
eluen sama dengan blanko). Dari hasil analisis HCN dengan menggunakan
metode Lian dan Hamir yang dimodifikasi, menunjukkan hasil analisis yang
akurat. Dengan pengurangan waktu dan jumlah sampel serta dilakukan pada
suhu kamar, kandungan HCN dalam contoh tetap dapat terdeteksi (Marlina,
2014).
Cara analisis kadar HCN pada singkong yaitu singkong diparut
kemudian ditimbang 20 g singkong, dimasukkan dalam labu destilasi,
selanjutnya ditambahkan 100 ml aquades. Dimaserasi selama (0, 2, 4, 6, 8,
10, dan 12 jam). Kemudian destilasi secara steam destilation. Destilat
ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi dengan 20 ml NaOH 2,5%, dan
destilasi dihentikan setelah dipastikan destilat hingga ± 150 ml. Diambil 5 mL
destilat, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 5 ml Natrium
Pikrat dan 0,5 mL kloroform. Kemudian dihomogenisasi dan didiamkan
selama 30 menit dan selanjutnya dibaca absorbansinya dengan menggunakan
spektronik 20 (Askurrahman, 2010).
Pada proses pengolahan pangan sianida pada singkong dihilangkan
dengan merebus dan membuang air perebus. Akan tetapi, proses pemasakan
secara tradisional baik dengan cara direbus maupun digoreng tidak dapat
menghilangkan sempurna senyawa sianida. Maka diperlukan upaya
penurunan kandungan glukosida sianogenik dengan mengoptimalkan proses
hidrolisis sianogenik oleh linamarase (Askurrahman, 2010).
Ada beberapa metode yang dapat menurunkan kadar HCN, menurut
penelitian Wahjuningsih (2013), kadar HCN pada koro pedang dapat
diturunkan dengan cara blansing yang dilanjutkan dengan perendaman
menggunakan garam 5% selama 24 jam. Pada kondisi ini diperoleh tepung
koro pedang dengan kadar HCN 0 ppm dan derajad putih 82,45%. Perlakuan
blansing akan mempercepat penurunan HCN. Hal ini disebabkan karena
perlakuan blansing akan menonaktifkan enzim yang terdapat dalam bahan
yang bertanggung jawab dalam proses oksidasi dan hidrolisis yang tidak
dikehendaki. Pada proses ini, enzim yang tidak dikehendaki (β-glukosidase)
dinonaktifkan sehingga tidak dapat mengkatalis pemecahan glukosida
sianogenik menjadi glukosa dan aglikon. Tidak terbentuknya aglikon yang
merupakan substrat untuk enzim hidroksinitril liase membuat enzim tidak
dapat beraktivitas, sehingga HCN tidak terbentuk. Perendaman menggunakan
garam NaCl 5% mengakibatkan terjadi pengikatan sianida oleh natrium
membentuk NaCN yang mudah larut.
Menurut Djaafar (2009), perendaman irisan umbi setebal 2 mm dalam
larutan garam 8% selama tiga hari mampu menurunkan HCN sampai pada
kadar 5,45 ppm. Blanching umbi yang tidak dikupas selama 30 menit di
dalam air mendidih dan dikombinasikan dengan perendamam dalam air
bersih selama tiga hari mampu menurunkan kandungan HCN sampai pada
kadar 4,12 ppm. Serta cara tradisional (dengan abu sekam) dapat menurunkan
kandungan HCN sampai pada kadar 13,89 ppm.
Menurut Alma’arif (2012), kadar HCN dapat dihilangkan dengan
penambahan bahan penyerap yang berupa abu sekam, abu kayu, dan karbon
aktif. Untuk umbi yang akan dijadikan keripik, umbi yang sudah diris-iris
ditambahkan dengan bahan penyerap dan dibungkus dengan kain mori,
kemudian dilakukan pengepresan dengan kempa hidraulik agar cairan dari
dalam umbi keluar sebanyak banyaknya. Irisan umbi yang telah dikempa
kemudian dikeringkan dalam cabinet dryer bersuhu 50oC selama 10 jam.
Setelah kering dicuci sampai bersih dilanjutkan dengan perendaman
kemudian dikeringkan kembali.
Pada umbi-umbian proses rebus atau diiris tipis lalu direbus
mengurangi kadar sianida 60-90%, sedangkan proses kukus atau diiris tipis
lalu dikukus mengurangi kadar sianida 30-60% (Murdiana dkk, 2000 dalam
Ardiansari, 2012). Pemanasan dapat mengurangi kadar sianida umbi
(Chukwuemeka, 2011 dalam Ardiansari, 2012). Pemanasan memiliki
dwifungsi, menginaktifkan enzim dan menguapkan HCN yang terbentuk
karena senyawa ini sifatnya volatil. Pemanasan akan menyebabkan enzim b-
glukosidase yang berada dalam umbi (sitoplasma selular) mengalami inaktif
sehingga rantai enzimatis dapat diputus. Jika reaksi itu diputus, pembentukan
sianohidrin dari glukosida sianogenik dan reaksi pembentukan HCN dari
sianohidrin bisa dihindari (Pambayun, 2007 dalam Ardiansari, 2012).
Pemanasan diikuti 2 mekanisme transfer panas, yaitu konveksi perpindahan
panas dari uap ke permukaan irisan gadung diikuti dengan transfer panas
konduktif dari permukaan irisan gadung ke dalam bagian gadung itu sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pada awal proses, panas itu digunakan
untuk meningkatkan suhu dan pada saat yang sama panas juga berfungsi
menghapus sianida dari umbi di kedua permukaan dan bagian dalamnya
(Kumoro, 2011 dalam Ardiansari 2012).
E. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Acara II “Evaluasi
Kadar Sianida dalam Bahan Pangan” adalah
1. Terdapat perbedaan kadar sianida pada bahan pangan tanpa perlakuan
(mentah) dan dengan perlakuan (pengukusan maupun perendaman).
Perlakuan pengukusan dan perendaman dapat mengurangi kadar sianida
dalam bahan pangan.
2. Kadar sianida pada sampel bahan pangan dari yang tertinggi sampai yang
ke rendah adalah kacang merah (1893 ppm), singkong mentah (1657
ppm), ubi jalar ungu kukus (942), singkong kukus (425 ppm), kacang
tanah (325 ppm), kacang mete (229 ppm), kentang mentah (161 ppm),
kentang kukus (144 ppm), kacang koro pedang putih direndam tiga hari
(150 ppm), kacang koro pedang mentah (132 ppm), kacang koro pedang
merah direndam tiga hari (129 ppm), ubi jalar ungu mentah (118 ppm)
dan kacang koro pedang putih mentah (100 ppm).
3. Dari hasil percobaan, didapatkan kadar sianida terbesar pada sampel
kacang merah yaitu sebesar 1893 ppm dan singkong mentah sebesar 1657
ppm. Sedangkan yang terkecil pada kacang koro pedang putih mentah
yaitu sebesar 100 ppm dan ubi jalar ungu mentah sebesar 118 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
Alma’arif, Ahmad Luthfi, Wijaya A, dan Murwono D. 2012. Penghilangan Racun Asam Sianida (HCN) dalam Umbi Gadung dengan Menggunakan Bahan Penyerap Abu. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri Vol. 1, No.1, 14-20.
Anhwange, B. A. 2011. Hydrogen Cyanide Content of Manihort Utilissima, Colocasia Esculenta, Dioscorea Bulbifera and Dioscorea Domentorum Tubers Found in Benue State. International Journal of Chemistry Vol. 3, No. 4.
Ardiansari, Yasinta Marta. 2012. Pengaruh Jenis Gadung Dan Lama Perebusan Terhadap Kadar Sianida Gadung. Skripsi. Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Askurrahman. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Linamarase Hasil Isolasi dari Umbi Singkong (Manihot esculenta Crantz). Agrointek Vol. 4, No. 2.
Djaafar, Titiek F., Rahayu S, dan Gardjito M. Pengaruh Blanching dan Waktu Perendaman dalam Larutan Kapur terhadap Kandungan Racun pada Umbi dan Ceriping Gadung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 28, No. 3.
Lebot, Vincent. 2009. Tropical Root and Tuber Crops: Cassava, Sweet Potato, Yams, Aroids. UK: CAB International.
Marlina, Nina. 2014. Analisis Sianida dalam Singkong dengan Metode Lian dan Hamir yang Dimodifikasi. Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Balai Penelitian Temak, Ciawi-Bogor.
Marthia, Nabila, Widiantara T, dan Leni H. Afrianti. 2015. Penurunan Sianida dalam Kacang Koro Pedang Putih (Canavalia ensiformis) dengan Berbagai Metode. Jurnal Penelitian Tugas Akhir, 1-12.
Murdiana, Ance dan Sukati Saidin. 2001. Kadar Sianida dalam Sayuran dan Umbi-Umbian di Daerah Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY). PGM Vol. 24, 33-37.
Myers, D. F. dan W. E. Fry. 1978. Hydrogen Cyanide Potential during Pathogenesis of Sorghum by Gloeocercospora sorghi or Helminthosporium sorghicola. Phytopathology Vol. 68, 1037-1041.
Nahdhiyah, Nissa. 2011. Analisis Ion Sianida (CN-) dan Timbal (Pb2+) secara Simultan dengan Metode Reverse Flow Injection Potentiometry. Skripsi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.
Nwokoro, O et al.. 2010. Deetermination of Cyanide in Amanitia muscaria Samples Using Alkaline Picrate Method. Pakistan Journal of Nutrition Vol. 9, No. 2, 134-136.
Pokorný, Václav. 1963. Quantitative Determination of Cyanogenesis in Plants. Biologia Plantarum Vol. 5, No. 2, 310-317.
Wahjuningsih, Sri Budi dan WyatiSaddewisasi. 2013. Pemanfaatan Koro Pedang pada Aplikasi Produk Pangan dan Analisis Ekonominya. Jurnal Riptek Vol. 7, No. 2, 1-10.
Williams, Hugh J. dan Thomas G. Edwards. 1980. Estimation of Cyanide with Alkaline Picrate. Journal of the Science of Food and Agriculture Vol. 31, 15-22.
Winarno, FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
Perhitungan Kelompok 2B
Persamaan kurva standar: y = 0,280 x – 0,006
Berat sampel = 4 gram
FP = 4
Rata-rata absorbansi ulangan pertama:
Rata-rata absorbansi ulangan kedua:
Rata-rata absorbansi:
Nilai x
Kadar HCN (mg)
Kadar HCN (ppm)
LAMPIRAN
Gambar 2.2 Sampel dalam labu Kjeldahl
Gambar 2.3 Proses distilasi sampel
Gambar 2.4 Sampel setelah ditambahkan alkalin pikrat
Gambar 2.5 Sampel sebelum proses peneraan absorbansi dengan spektrofotometer