abses paru

download abses paru

of 20

description

pulmonologi

Transcript of abses paru

BAB I

PENDAHULUANAbses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih (Rasyid, 2006).

Insidensi abses paru tidak diketahui, meskipun terlihat pertumbuhannya tidak fluktuatif dan insidensinya juga terlihat menurun sejak diperkenalkannya antibiotik (khususnya penisilin). Penurunan kasus abses paru berhubungan dengan penggunaan dini dan luas antimikroba yang efektif, peningkatan manajemen perawatan pasien yang tidak sadar, dan peningkatan manajemen perawatan pasien yang dianestesi (Yunus, 2009).Studi di Taiwan pada tahun 1995-2003, menunjukkan kasus abses paru sebesar 336 kasus dan 120 kasus diantaranya menunjukkan hasil infeksi bakteri dari jaringan paru, efusi pleura atau kultur darah. Sebesar 90 kasus terinfeksi, diklasifikasikan sebagai community acquired infection dan 30 diantaranya termasuk infeksi nosokomial (Wang et al., 2005).

Prognosis abses paru pada era antibiotik secara umum baik dan lebih dari 90% kasus tanpa komplikasi dapat disembuhkan dengan terapi medikamentosa. Angka mortalitas pasien abses paru anaerob pada era antibiotik kurang dari 10% dan kira kira 10-15% memerlukan operasi. Namun demikian, abses paru yang disebabkan oleh obstruksi bronkial sekunder terhadap karsinoma memiliki prognosis yang lebih buruk (Koegelenberg, 2007).

Manajemen abses paru perlu diketahui oleh tenaga medis, karena pengobatan yang relatif mudah dengan antibiotik yang adekuat dan prognosis yang baik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiAbses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih (Rasyid, 2006). Kavitas ini berisi material purulen sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi. Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan necrotizing pneumonia (Kamangar, 2006)

B. Epidemiologi

Insidensi abses paru tidak diketahui, meskipun terlihat pertumbuhannya tidak fluktuatif dan insidensinya juga terlihat menurun sejak diperkenalkannya antibiotic (khususnya penisilin). Penurunan kasus abses paruberhubungan dengan penggunaan dini dan luas antimikroba yang efektif, peningkatan manajemen perawatan pasien yang tidak sadar, dan peningkatan manajemen perawatan pasien yang dianestesi (Yunus, 2009).

Studi di Taiwan pada tahun 1995-2003, menunjukkan kasus abses paru sebesar 336 kasus dan 120 kasus diantaranya menunjukkan hasil infeksi bakteri dari jaringan paru, efusi pleura atau kultur darah. Sebesar 90 kasus terinfeksi, diklasifikasikan sebagai community acquired infection dan 30 diantaranya termasuk infeksi nosokomial (Wang et al., 2005).

Berdasarkan jenis kelamin, abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Abses paru lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut karena peningkatan kejadian penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi disfagia dan aspirasi. Namun, serangkaian kasus abses paru di pusat perkotaan dengan prevalensi tinggi alkoholisme melaporkan rata-rata penderita abses paru berusia 41 tahun (Rasyid, 2006; Kamangar, 2009).

Beberapa faktor predisposisi terkait dengan timbulnya abses paru telah diidentifikasi sebagai berikut (Rasyid, 2006; Tutar et al., 2013; Koegelenberg, 2007).

1. Kondisi yang memudahkan timbulnya aspirasi:

a. Gangguan kesadaran: alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan serebrovaskular, anestesi umum, penyalahgunaan obat intravena, koma, trauma, sepsis

b. Gangguan esofagus dan saluran cerna lain: gangguan motilitas

c. Fistula trakeoesofageal2. Sebab-sebab iatrogenik

3. Pasien dengan oklusi bronkial (PPOK, tumor paru, kanker paru, benda asing, dll)

4. Pasien dengan higienitas periodontal buruk

5. Penyakit periodontal

6. Pencabutan gigi

7. Penyakit imunosupresi (Diabetes Melitus, HIV-AIDS)

C. Etiologi

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme sebagai berikut.

a. Kelompok bakteri Anaerob, biasanya disebabkan oleh pneumonia aspirasi

Bacteriodes melaninogenus

Bacteriodes fragilis

Peptostreptococcus species

Bacillus intermedius

Fusobacterium nucleatum

Microaerophilic streptococcus

b. Kelompok bakteri Aerob

Gram positif : sekunder oleh sebab lain selain aspirasi

Staphylococcus aureus

Streptococcus microaerophilic

Streptococcus pyogenes

Streptococcus pneumonia

Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial

Klebsiella pneumonia

Pseudomonas aeruginosa

Escherichia coli

Haemophilus influenza

Actinomyces species

Nocardia species

Gram negatif bacili

c. Kelompok

Jamur : Mucoraceae, Aspergilus species Parasit, amuba

Mikobakterium

Studi yang dilakukan Bartlett et al (1974) mendapatkan 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% disebabkan campuran bakteri anaerob dan aerob (Rasyid, 2006). Hasil ini berbeda dengan penelitian Wang et al (2005), yang mendapatkan bahwa Klebsiella pneumoniae adalah bakteri penyebab tersering abses paru (21% kasus). Abses paru akibat infeksi K. pneumoniae dikaitkan dengan penyakit predisposisi diabetes melitus (Wang et al., 2005).

Spektrum kuman patogen penyebab abses paru pada pasien imunocompromised sedikit berbeda. Pada pasien AIDS kebanyakan kumannya adalah bakteri aerob, P. Carinii dan jamur termasuk Cryptococcus neoforman dan Mycobacterium tuberculosis (Rasyid, 2006).

D. Patogenesis dan Patofisiologi

Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti daya tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab. Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor danstriktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronchitis kronis karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan kulturmedia yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses paru (Rasyid, 2006).Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya seperti iricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan terbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus. Penanganan abses multiple dan kecil-kecil adalah lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 5 cm atau lebih. Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis dan gangguan imunitas (Rasyid, 2006).Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan organisme penyebabnya paling sering ialah Staphylococcus maureus, Klabsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya multiple dan berukuran kecil (58 m/ 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shift to the leftb. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram, tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepatc. Pemeriksaan kultur bakteri daan sensitifitas antibiotik merupakan cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologisPemeriksaan Radiologis

a. Foto Polos Thoraks AP-Lateral

Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menggambarkan gambaran opak dari satu ataupun lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat (Rasyid, 2006) Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan permukaan udara (air-fluid level) di dalamnya. Kavitas ini berukuran diameter 2 20 cm. Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa multipel (Rasyid, 2006).

Gambar 2. Foto X-Ray AP dan Lateral Abses Paru (Koegenlenberg, 2007)

Keterangan gambar:

A.Foto AP. Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih). Kavitas diisi oleh cairan dan udara/air-fluid level (panah hitam). B Foto Lateral. Tampak gambaran air-fluid level di lobus kanan atas

Gambar 3. Foto AP Abses paru lobus kanan atas (Koegelenberg, 2007)

b. CT Scan

CT scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan kavitas sentral berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak didaerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. CT scan juga bisa menunjukkan lokasi abses berada dalam parenkim paru yang membedakannyadari empyema. Gambaran empyema karakteristik, yaitu tampak pemisahan pleura parietal dan visceral (pleura split) dan kompresi paru. Lokalisasi abses paru umumnya 75% berada di lobus bawah paru kanan bawah (Rasyid, 2006). F. Diagnosa Banding Berikut diagnosa banding abses paru, (Koegelenberg, 2007)

1. TB paru

2. Bula infeksi

3. Emboli septik

4. Ca cell squamosa

5. Wageners granulomatosis

6. Nodul rematoid

7. Sarkoidosis G. Tatalaksana

1. Antibiotik

Tatalaksana utama abses paru adalah terapi medikamentosa menggunakan antibiotik jangka panjang. Durasi pemberian terapi medikamentosa bervariasi antara 4-6 minggu. Namun demikian, terapi medikamentosa dapat gagal bila pasien memiliki faktor prognostik buruk seperti, kavitas abses lebar (>6cm), imunokompromise, neoplasma, usia lanjut, penurunan kesadaran, infeksi dengan penyebab patogen aerobik (K pneumoniae, P aeruginosa, S aureus) (Yu, 2011).

Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi perkiraan yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang mendasarinya dan pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram. Pada kebanyakan abses paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan anaerob, antibiotik atau kombinasinya yang melawan organisme ini harus dipilih. Terdapat banyak regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin termasuk sefalosporin, makrolide, kloramfenikol dan klindamisin semuanya telah digunakan. Penggunaan ampisilin atau amoksisilin tunggal harus dihindari karena beberapa anaerob resisten terhadapnya. Kombinasi amoksisilin dan metronidazol merupakan pilihan baik dengan efek samping yang kecil dibandingkan beberapa obat lainnya. Dapat diberikan secara oral, kecuali pasien sangat sakit atau sulit menelan, sementara menunggu hasil kultur definitifnya. Makrolide seperti eritromisin, klaritromisin atau azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas ampisilin.

Antibiotik pilihan berdasarkan terapi empiris yang disarankan adalah laktam/ laktamase inhibitor atau sefalosporin generasi ke II atau ketiga dengan klindamisin atau metronidazol (Wang etal., 2005).

Klindamisin diberikan dosis 3x600 mg IV kemudian 4x300 mg/ oral/hari. Regimen alternatif adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari ada yang memberikan sampai dengan 25 juta unit atau lebih/ hari dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan dengan penisilin oral 4x500-750 mg/hari. Antibiotik parenteral diganti ke oral bila pasien tidak demam lagi dan merasa sudah baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta unit/hari dan metronidazol 2 gram/ hari dengan dosis terbagi (untuk penyebab bakteri anaerob ) yang diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan klindamisin. Walaupun begitu, harus diingat bahwa beberapa bakteri anaerob seperti Prevotella, Bakteriodes Spp dan Fusobacterium karena memproduksi beta-laktamase, resisten terhadap penisilin. Kombinasi B laktam dan B laktamase inhibitor seperti tikarkilin klavulanat, amoksisilin + asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif terhadap kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram negatif. Kombinasi ini biasanya digunakan pada pasien dengan sakit yang serius dan pasien abses paru nosokomial. Dosis pengobatan tunggal metronidazol diberikan dengan dosis 15 mg/kgbb intravenous dalam waktu lebih dari 1 jam, kemudian diikuti 6 jam kemudian dengan infus 7,5 mg/kgbb 3-4 kali/hari, tetapi pengobatan tunggal dengan metronidazol ini tidak dianjurkan karena beberapa anaerobic cocci dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah resisten. Pengobatan terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai klindamisin + penisilin atau klindamisin + sefalosporin. Cefoksitin 3-4 x 2 gram/hari intravena yang menrupakan generasi kedua sefalosporin aktif terhadap bakteri gram positif, gram negatif resisten penisilinase dan bakteri anaerob, diberikan bila abses paru tersebut diduga disebabkan oleh infeksi polimikrobial (Rasyid, 2006)

Kemudian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil sensitivitas. Abses paru yang disebabkan stafilokokus harus diobati dengan penicilinase resistant penicilin atau sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk Staphylococus aureus yang methicilin resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik nosokomial, pilihannya adalah vankomisin. Abses paru yang disebabkan nocardia pilihannya adalah sulfonamid 3x1 gram oral. Abses paru amubik diberikan metronidazol 3x750 mg, sedangkan bila penyakitnya serius seperti terjadi ruptur dari abses harus ditambahkan emetin parentral pada 5 hari pertama (Rasyid, 2006)

Antibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami resolusi dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotik oral sebagai pasien rawat jalan. Pemberian antibiotik yang kurang dari waktu ini sering menyebabkan kekambuhan dengan melibatkan organisme yang resisten terhadap antgibiotik yang diberikan sebelumnya (Rasyid, 2006)

Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai dalam 3-4 sampai dengan 7-10 hari. Demam yang resiten menunjukkan kegagalan pengobatan. Pada kasus seperti ini, bila diperiksa lebih lanjut akan ditemukan adanya obstruksi bronkus oleh benda asing, neoplasmaatau disebabkan infeksi bakteri yang resisten, mikrobakteria, parasit atau jamur. Respons yang lambat atau tidak respons sama sekali juga bisa dijumpai pada beberapa keadaan yaitgu kavitas yang besar (> 6 cm) keadaan umum pasien jelek, seleksi anti mikrobial yang salah, diagnosa salah, ada empiema, abses yang memerlukan drainase, komplikasi pada organ yang jauh seperti abses otak dan demam obat (Rasyid, 2006)

2. Fisioterapi Dada

Fisioterapi dada adalah salah satu metode fisioterapi yang sangat berguna bagi penderita penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Metode ini sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret dan memperbaiki ventilasi pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu termasuk penyakit abses paru (Lubis, 2005)

Fisioterapi dada ini terdiri dari usaha-usaha yang bersifat pasif dan aktif. Usaha pasif meliputi penyinaran, relaksasi, postural drainase, perkusi dan vibrasi, sedangkan usaha bersifat aktif meliputi latihan/ pengendalian batuk, latian bernafas dan koreksi sikap. Usaha pasif seperti postural drainase, perkusi dan vibrasi sering dilaksanakan pada pasien dengan gangguan pernafasan (Lubis, 2005).

a. Postural drainase

Postural drainase (PD) merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan menggunakan gaya berat dan sekret itu sendiri. PD dilakukan pada berbagai posisi sesuai dengan kelainan paru. Pasien dengan abses paru diposisikan lateral dekubitus dengan letak abses dibawah. Hal ini mencegah asfiksia akibat discharge abses atau penyebaran infeksi ke bagian paru lainnya. Fisioterapi dada dan postural drainase dapat meningkatkan pembersihan cairan abses (Yu, 2011).

Sebuah studi kasus menunjukkan bahwa, pasien abses paru yang diterapi postural drainase dengan memposisikan Trendelenburg, semi lateral, ventral dekubitus 30 menit 3 x/hari, mengalami perbaikan. Perbaikan dievaluasi secara cermat dengan membandingkan tanda klinis serta foto dada ulang. Pasien mengalami perbaikan jalan nafas hingga 90% (Davidson et al., 2010)

Gambar 4. Postural Drainage (Lubis, 2005)b. Perkusi mekanik

Perkusi dilakukan pada dinding dada dengan tujuan melepas sekret yang tertahan. Perkusi dada merupakan energi mekanik pada dada yang diteruskan pada saluran nafas paru. Perkusi dapat dilakukan dengan memakai telapak tangan, jari dan jempol. Posisi yang terbaik adalah dengan mengadduksikan jari dan jempol sehingga membentuk mangkok. Kecepatan perkusi masih kontroversi, sebagian mengatakan bahwa teknik yang cepat lebih efektif, tetapi ada yang mengatakan bahwa teknik yang lambat lebih santai sehingga pasien lebih suka cara yang lambat (Lubis, 2005).

Gambar 5. Posisi Tangan Pada Saat Perkusi Mekanik (Lubis, 2005)

c. Vibrasi

Vibrasi secara umum dilakukan bersamaan dengan perkusi. Vibrasi dengan kompresi dada menggerakan sekret ke jalan nafas yang besar, sedangkan perkusi melepaskan/ melonggarkan sekret. Vibrasi dilakukan hanya pada waktu pasien mengeluarkan nafas. Pasien disuruh bernafas dalam dan kompresi dada dan vibrasi dilaksanakan pada puncak inspirasi dan dilanjutkan sampai akhir ekspirasi (Lubis, 2005).

Posisi vibrasi dilakukan dengan meletakkan tangan bertumpang tindih pada dada. Vibrasi dilakukan 5-8 kali vibrasi per detik, sedangkan kontra indikasinya adalah patah tulang dan homptisis (Lubis, 2005).

Gambar 6. Vibrasi Mekanik (Lubis, 2005)3. Bronkoskopi

Bronkoskopi juga memiliki peranan penting pada penanganan abses paru pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi. Tindakan ini bermanfaat untuk mengeluarkan benda asing dan untuk melebarkan striktur. Di samping itu dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang adekuat serta dapat diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses (Rasyid, 2006)

Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan karena lesi biasanya respons dengan antibiotik. Bila tidak respons, apalagi bila kavitas besar, maka harus dilakukan drainase perkutan untuk mencegah kontaminasi pada rongga pleura (Rasyid, 2006)

4. Pembedahan

Sekitar 11-21% pasien dengan abses paru memerlukan tindakan pembedahan. Pilihan tindakan operasi bervariasi, meliputi drainase eksternal atau lobektomi untuk abses besar yang menghancurkan sebagian besar lobus paru. Pendekatan drainase dapat melalui VATS atau thoracotomi (Walters, Foley dan Molyneux, 2011).

Indikasi operasi adalah sebagai berikut (Rasyid, 2006)

a. Abses paru yang tidak mengalami perbaikan

b. Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura

c. Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstruksi primer/ metastasis, pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesofageal, malformasi atau kelainan kongenital.

Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien imunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan reseksi paru dengan segera di samping pemberian antibiotik. Reseksi paru juga diindikasikan pada abses paru yang responnya minimal dengan antibiotik, abses paru dengan ukuran yang besar dan infark paru (Rasyid, 2006).

Lobektomi merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental biasanya cukup untuk lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5%-10% (Rasyid, 2006).

Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan drainase perkutan via kateter secara hati hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke dalam rongga pleura(Rasyid, 2006).

Tindakan pembedahan sering dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas dan morbiditas. Angka keberhasilan CT-guided drainage pada abses paru mencapai 90%. Oleh karena itu Ct-guided percutaneus drainage perlu dipertimbangkan sebagai pilihan awal apabila terapi medikamentosa gagal (Yu, 2011).

H. Komplikasi

Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan kecenderungan penyebaran infeksi Staphylococus, sedang yang ruptur ke rongga pleura menjadi piotoraks (empyema). Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan fistula bronkopleura (Rasyid, 2006).

Abses paru yang resisten (kronik) yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6 minggu akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal dan amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kakeksia, gangguan cairan dan lektrolit serta gagal jantung terutama pada manula (Rasyid, 2006). I. Pencegahan

Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang buruk dan penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri patogen orofaring yang akan menyebabkan infeksi saluran nafas sampai dengan abses paru. Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik mungkin terutama bila sebelumnya diduga ada faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi seperti pasien manula yang dirawat di rumah, batuk disertai muntah, adanya benda asing, kesadaran menurun dan pasien yang memakai ventilasi mekanik. Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi, pencabutan abses gigi dan operasi sinus paranasal akan menurunkan insiden abses paru (Rasyid, 2006). J. Prognosis

Prognosis abses paru pada era antibiotik secara umum baik dan lebih dari 90% kasus tanpa komplikasi dapat disembuhkan dengan terapi medikamentosa. Angka mortalitas pasien abses paru anaerob pada era antibiotik kurang dari 10% dan kira kira 10-15% memerlukan operasi. Namun demikian, abses paru yang disebabkan oleh obstruksi bronkial sekunder terhadap karsinoma memiliki prognosis yang lebih buruk (Koegelenberg, 2007).

Berikut merupakan faktor yang membuat prognosis menjadi lebih buruk adalah kavitas yang besar (> 6 cm), penyakit dasar yang berat, status imunocompromised, umur yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif, abses yang disebabkan bakteri aerobik (termasuk Staphylococcus aureus dan basil gram negatif) dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Angka mortalitas pada pasien ini mencapai 75% dan bila sembuh maka angka kekambuhannya tinggi (Rasyid, 2006). BAB III

KESIMPULAN

1. Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih (Rasyid, 2006).2. Insidensi abses paru tidak diketahui, meskipun terlihat pertumbuhannya tidak fluktuatif dan insidensinya juga terlihat menurun sejak diperkenalkannya antibiotik (khususnya penisilin).3. Abses paru dapat disebabkan oleh mikroorganisme kelompok bakteri anaerob, aerob, jamur, parasit dan amuba

4. Penegakan diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

5. Terapi utama abses paru adalah medikamentosa, fisioterapi dada, bronkoskopi dan pembedahan

6. Antibiotik pilihan berdasarkan terapi empiris yang disarankan adalah laktam/ laktamase inhibitor atau sefalosporin generasi ke II atau ketiga dengan klindamisin atau metronidazol (Wang etal., 2005).

7. Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan fistula bronkopleura.8. Prognosis abses paru pada era antibiotik secara umum baik dan lebih dari 90% kasus tanpa komplikasi dapat disembuhkan dengan terapi medikamentosa.DAFTAR PUSTAKAAlsagaff,H., dkk. 2006. Abses Paru dalam Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru: Airlangga University Press, Surabaya. Halaman 136-140Davidson, Josy et al., 2010. Safety and Effectiveness of Chest Physiotherapy in Lung Abscess: a Two-Case Study. Fisioterapia e Pesquisa, So Paulo, v .17, n .4, p . 362-5, out/dez . 2010Kamangar, dkk. 2009. Lung Abscess. Emedicine. Available from http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview [Accessed on 19 Februari 2011]

Koegelenber, C. 2007. Lung Abscess. South African Family Practice, 49:5,50-52, DOI: 10.1080/20786204.2007.10873559Lubis, 2005. Fisioterapi Dada pada Anak. USUMaitra,A., Kumar, V., 2007. Abses Paru. Dalam : Robbins, Buku Ajar Patologi Edisi 7. EGC, Jakarta. Halaman 556.

Rasyid, A., 2006. Abses Paru. Dalam : Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta. Halaman 1052-1055.

Tutar, N et al., 2013. Lung Abscess: Analysis of the Results as Community-Acquired or nosocomial. Turk J Med Sci. 43 : 255-262

Walters, James. N Foley. M Molyneux. 2011. Pus in the Thorax: Management of Empyema and Lung Abscess. Continuing Education in Anasthesia, Critical Care and Pain Advance. September 12 2011.

Yunus M. CT guided transthoracic catheter drainage of intrapulmonary abscess. J Pak Med Assoc. 2009; 59 (10): 703-8Yu, 2011. Management of Pleural Effusion, Empyema and Lung Abscess. Seminars in Interventional Radiology. Vol 28 Number 1B

A

21