› xmlui › bitstream › handle › 123456789 › 5605 › Bab 2.pdf... BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
Transcript of › xmlui › bitstream › handle › 123456789 › 5605 › Bab 2.pdf... BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak
2.1.1 Definisi Pajak
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2001/KUP
Pasal 1 Ayat 1 yang dimaksud dengan pajak adalah:
“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pengertian pajak menurut P.J.A. Andriani dalam buku Siti Kurnia
(2010:22) adalah:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya yang
berjudul Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan (Siti Kurnia, 2010:22)
adalah:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari
sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi), yang langsung
dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.”
11
Mardiasmo (2011:1) merumuskan dari definisi diatas, dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah
negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan
kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Fungsi Pajak
Terdapat dua fungsi pajak seperti yang ditulis oleh Mardiasmo (2011:1)
didalam bukunya, yaitu:
1. Fungsi penerimaan (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
12
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk
mengurangi konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% bertujuan untuk mendorong
ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
Menurut Siti Kurnia (2010:26) fungsi budgetair ini merupakan fungi
utama pajak, atau fungsi fiskal (fiscal function), yaitu pajak dipergunakan sebagai
alat untuk memasukkan dana secara optimal ke dalam kas negara yang dilakukan
sistem pemungutan berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Pajak
berfungsi sebagai alat untuk memasukkan uang dari sektor swasta (rakyat)
kedalam kas negara atau anggaran negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan fungsi inilah pemerintah sebagai pihak yang
membutuhkan dana untuk membiayai berbagai pihak yang membutuhkan dana
untuk membiayai berbagai kepentingan melakukan upaya pemungutan pajak dari
penduduknya. Sedangkan fungsi regulerend merupakan fungsi lain dari pajak
sebagai fungsi budgetair. Di samping usaha untuk memasukkan uang untuk
kegunaan kas negara, pajak dimaksudkan pula sebagai usaha pemerintah untuk
ikut andil dalam hal mengatur dan bilamana perlu mengubah susunan pendapatan
dan kekayaan dalam sektor swasta.
2.1.3 Jenis Pajak
Di Indonesia, pajak digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu menurut
golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutannya.
13
1. Menurut golongannya:
a. Pajak langsung, adalah pajak yang apabila beban pajak yang dipikul
seseorang atau badan (tax burden) tidak dapat dilimpahkan (no tax
shifting) kepada pihaklain. Pihak yang ditunjuk oleh Undang-Undang
pajak untuk memikul beban pajak sudah jelas yaitu seseorang atau
badan yang memiliki sesuatu, bukan pada sesuatunya, tetapi kepada
seseorang atau badan-nya. Destinaris-nya adalah seseorang atau
badan.
Rochmat Soemitro mengemukakan dalam Siti Kurnia (2010:51) bahwa
berdasarkan pada tata usaha negara (administrasi) pajak langsung
diartikan sebagai pajak yang dikenakan berdasar atas surat ketetapan
(kohir) dan pengenaannya dilakukan secara berkala pada tiap tahun
dan waktu tertentu.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, adalah beban pajak yang dipikul seseorang (tax
burden) dapat dilimpahkan (tax shifting) baik seluruhnya maupun
sebagian kepada pihak lain. Tax incidence dari pelimpahan adalah
bahwa pajak pada akhirnya dibebankan seluruhnya kepada konsumen
akhir.
Contoh: Pajak Penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya:
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
14
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Pajak objektif ini dalam
literatur disebut juga pajak yang bersifat kebendaan atau zakelijk.
(Rochmat Soemitro dalam Siti Kurnia, 2010:52)
Contoh: Bea Masuk, Cukai, Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea
Materai.
3. Menurut lembaga pemungutannya:
a. Pajak pusat, yaitu pajjak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri
atas:
- Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
- Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan
Pajak Hiburan.
2.1.4 Kedudukan Hukum Pajak
Menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2011:4) Hukum Pajak
mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut:
15
1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu
lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
- Hukum Tata Negara
- Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif)
- Hukum Pajak
- Hukum Pidana
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari
hukum publik.
Pengertian hukum pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Diana (2013:25)
adalah:
“Suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebaga
pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan perkataan lain,
hukum pajak menerangkat siapa-siapa wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-
kewajiban mereka terhadap pemerintah, objek-objek apa yang dikenakan pajak,
cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.”
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku
pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada dua macam hukum
pajak, yaitu:
1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara
lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek
pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang
16
dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak,
dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Contoh: Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum
materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).
Hukum ini memuat antara lain:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib
pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan
utang pajak.
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan
pembukuan/pencatatan, dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan
keberatan dan banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2.1.5 Teori Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi
pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak (Mardiasmo, 2011:3).
Teori-teori tersebut antara lain adalah:
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya.
Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai
suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
17
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar
kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus
dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur
daya pikul dapat digunakan 2 pendeketan, yaitu:
Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat
untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya
kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
18
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih
diutamakan.
2.1.6 Tata Cara Pemungutan Pajak
Di dalam Mardiasmo (2011:6) terdapat pemungutan pajak yang dapat
dilakukan berdasarkan 3 stelsel, yaitu:
1. Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkab pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan atau kelemahan.
Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis.
Sedangkan kelemahan stelsel ini adalah pajak baru dapat dikenakan pada
akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
2. Stelses anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel
ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang
dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3. Stelsel campuran
19
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar
daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah.
Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.1.7 Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk mennetukan besarnya pajak terutang ada
pada fiskus.
2) Wajib pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak
oleh fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Ciri-cirinya:
20
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada wajib pajak itu sendiri.
2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendir jumlah pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
wajib pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada
pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
2.2 Reformasi Perpajakan
2.2.1 Pengertian Reformasi Perpajakan
Nasucha (2004:15) mengemukakan bahwa:
“Reformasi perpajakan merupakan resep untuk penyehatan ekonomi
melalu pendekatan fiskal. Mengutip Williamson dalam Mas’oed (1994),
reformasi perpajakan meliputi perluasan basis perpajakan, perbaikan
administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan
manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan aset yang berada di luar
negeri. Perubahan struktur pajak (tax base dan tax rate) terkait dengan
perubahan dalam administrasi perpajakannya.”
Malcom Gillis dalam buku Siti Kurnia (2010:97) mengemukakan atribut
yang menjadi dasar suatu reformasi perpajakan adalah:
1. Breadth of reform
21
Reformasi perpajakan memfokuskan pada struktur pajak atau sistem pajak,
dan administrasi pajak.
2. Scope of reform
Reformasi perpajakan dilakukan secara comprehensive (semua sumber
penerimaan yang penting), atau dilakukan secara parsial (hanya meliputi
satu atau dua komponen penting dari sistem perpajakan).
3. Revenue goals
Reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan dalam persentase
terhadap PDB yaitu rasio pajak (revenue enhancing); untuk mengganti
penerimaan (revenue neutral reform); atau bahkan untuk mengurangi
penerimaan (revenue-decreasing reform).
4. Equity goals
Reformasi perpajakan untuk menegakkan keadilan (redistributive). Orang
berpenghasilan tidak sama, pajaknya diperlakukan tidak sama juga, namun
jika reformasi perpajakan tidak dimaksudkan untuk merubah distribusi
pendapatan yang sudah ada maka disebut distributionally neutral reform.
5. Resource allocations goals
Reformasi perpajakan yang berusaha mengurangi pengenaan pajak pada
sumber daya agar dapat dialokasikan lebih efisien (euconomically neutral),
22
jika sistem perpajakan untuk mempengaruhi aliran sumber daya sektor
ekonomi atau aktivitas tertentu maka disebut interventionist reforms.
6. Timing of reform
Dilakukan dengan mengubah seluruh kebijakan perpajakan secara
bersamaan disebut contemporaneous reforms, dengan implementasi
bertahap disebut phased reforms, atau perubahan kebijakan perpajakan
yang tidak berkaitan dilakukan dalam beberapa tahun lebih disebut
successive reforms.
2.2.2 Reformasi Perpajakan di Indonesia
Reformasi perpajakan yang dilakukan di Indonesia dimulai sejak tahun
1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas
pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self
Assessment. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengurangi kontak langsung
antara Aparat Pajak dengan wajib pajak yang sebelumnya dikhawatirkan dapat
menimbulkan praktik-praktik ilegal untuk menghindari atau mengurangi
kewajiban perpajakan para wajib pajak yang bersangkutan. (Diana, 2013:6)
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek
perpajakan, melalui reformasi:
a. Moral, etika, dan integritas Aparat Pajak
b. Kebijakan perpajakan
c. Pelayanan kepada masyarakat wajib pajak
d. Pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan
23
e. Pemberian reward dan penerapan punishment yang tegas terhadap Aparat
Pajak
Reformasi perpajakan secara komperhensif sebagai satu kesatuan
dilakukan terhadap tiga bidang pokok atau utama yang secara langsung
menyentuh pilar perpajakan, yaitu:
a. Bidang Administrasi, yakni melalui reformasi administrasi perpajakan;
b. Bidang Peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap Undang-
Undang Perpajakan;
c. Bidang Pengawasan, membangun bank data perpajakan nasional.
2.3 Sistem Administrasi Perpajakan Modern
2.3.1 Definisi Sistem
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu “systema” yang berarti
kesatuan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem adalah
perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas; sususan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya;
metode.
Adapun definisi sistem menurut para ahli, diantaranya (Aldy, 2011):
1. Menurut L. James Havery, sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk
merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang
lainnya dengan maksud sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu
tujuan yang telah ditentukan.
24
2. Menurut John Mc Manama, sistem adalah sebuah struktur konseptual yang
tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai
suatu kesatuan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan
efisien.
Dari kedua pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem
merupakan suatu kesatuan komponen yang digunakan untuk mencapai suatu
tujuan.
2.3.2 Definisi Administrasi
Definisi administrasi menurut A. Dunsire dalam buku Siti Kurnia
(2010:92):
“Administrasi diartikan sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan, implementasi,
mengarahkan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan, kegiatan
melakukan analisis, menyeimbangkan dan mempresentasikan keputusan,
pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan
kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang
kerja akademik dan teoretis.”
Selanjutnya, administrasi merupakan suatu proses yang dinamis dan
berkelanjutan, yang digerakkan dalam rangka mencapai tujuan dengan cara
memanfaatkan orang dan material melalui koordinasi dan kerjasama. Definisi di
atas menunjukkan beberapa batasan istilah administrasi bukan hanya sebatas
kegiatan ketatausahaan yang berkaitan dengan pekerjaan mengatur berkas,
membuat laporan administratif, dan sebagainya.
25
2.3.3 Administrasi Perpajakan
Menurut Sophar Lumbantoruan (1997), administrasi perpajakan (tax
administration) ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak.
(Siti Kurnia, 2010:93)
Administrasi pajak dalam arti sebagai prosedur meliputi antara lain tahap-
tahap pendaftaran wajib pajak, penetapan pajak, pembayaran pajak, pelaporan
pajak, dan penagihan pajak. tahap-tahap yang tidak solid dapat merupakan sumber
kecurangan (tax evasion). Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa: “Poor tax
administration undermines the effectiveness of the desired tax structure and raises
distortion. A poor designed tax structure makes administration mor difficult”
(Lawrence H. Summers dalam buku Siti Kurnia, 2010:93)
De Jantscher (1997) menekankan peran penting administrasi perpajakan
dengan menuju pada kondisi terkini, dan pengalaman di berbagai negara
berkembang. Kebijakan perpajakan (tax policy) yang dianggap baik (adil dan
efisien) dapat saja kurang sukses menghasilkan penerimaan atau mencapai sasaran
lainnya karena administrasi perpajakan tidak mampu melaksanakannya. (Gunadi,
2003)
Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di
suatu negara. Suatu negara dapat dengan sukses mencapai sasaran yang
diharapkan dalam menghasilkan penerimaan pajak yang optimal karena
administrasi perpajakannya mampu dengan efektif melaksanakan sistem
perpajakan di suatu negara yang dipilih. Pada dasarnya sasaran administrasi
26
perpajakan adalah upaya peningkatan kepatuhan taxpayers dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan dan pelaksanaan ketentuan perpajakan secara seragam satu
persepsi antara wajib pajak dan fiskus sama dalam menilai suatu ketentuan untuk
mendapatkan penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal.
Toshiyuki dalam buku Siti Kurnia (2010:95) menyatakan bahwa untuk
mencapai hal tersebut disyaratkan beberapa kondisi administrasi perpajakan
dalam suatu negara adalah seperti berikut ini:
1. Administrasi pajak harus dapat mengamankan penerimaan negara.
2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan transparan.
3. Dapat merealisasikan perpajakan yang sah dan adil sesuai ketentuan dan
menghilangkan kewenang-wenangan, arogansi, dan perilaku yang
dipengaruhi kepentingan pribadi.
4. Dapat mencegah dan memberikan sanksi serta hukuman yang adil atas
ketidakjujuran dan pelanggaran serta penyimpangan.
5. Mampu menyelenggarakan sistem perpajakan yang efisien dan efektif.
6. Meningkatkan kepatuhan membayar pajak.
7. Memberikan dukungan terhadap pertumbuhan dan pembangunan usaha
yang sehat masyarakat pembayar pajak.
8. Dapat memberikan kontribusi atas pertumbuhan demokrasi masyarakat.
2.3.4 Pengertian Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Menurut Suparman (2007) tentang pengertian sistem administrasi
perpajakan modern adalah penyempurnaan atau perbaikan kinerja administrasi
27
baik secara individu, kelompok maupun kelembagaan agar lebih efisien,
ekonomis, dan cepat.
Menurut Siti Kurnia (2010:109) modernisasi sistem perpajakan di
lingkungan DJP bertujuan untuk menerapkan Good Governance dan pelayanan
prima kepada masyarakat. Good governance, merupakan penerapan sistem
administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan
sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah
pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasa intensif kepada para wajib
pajak. Selain itu, untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi,
meningkatkan kepercayaan administrasi perpajakan dan mencapai tingkat
produktivitas pegawai pajak yang tinggi.
2.3.5 Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Sejak tahun 2002, Direktorat Jenderal Pajak telah memulai beberapa
langkah reformasi administrasi perpajakan jangka menengah (3-5 tahun) sebagai
prioritas reformasi perpajakan yang menjadi landasan bagi terciptanya
administrasi perpajakan yang modern, efisien dan dipercaya masyarakat dengan
tujuan tercapainya tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi, tingkat kepercayaan
terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktivitas pergawai
perpajakan yang tinggi. (Purnomo dalam Heru, 2004:218)
Menurut Siti Kurnia (2010:117) terdapat program-program reformasi
administrasi perpajakan jangka menengah Direktorat Jenderal Pajak adalah
sebagai berikut:
28
A. Meningkatkan Kepatuhan Perpajakan
1. Meningkatkan kepatuhan sukarela
- Program kampanye sadar dan peduli pajak
- Program pengembangan pelayanan perpajakan
2. Memelihara (maintaining) Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Patuh
- Program pengembangan pelayanan prima
- Program penyederhanaan pemenuhan kewajiban perpajakan
3. Menangkal Ketidakpatuhan Perpajakan (Combatting Noncompliance)
- Program merevisi pengenaan sanksi
- Program menyikapi berbagai kelompok wajib pajak tidak patuh
- Program meningkatkan efektivitas pemeriksaan
- Program modernisasi aturan dan metode pemeriksaan dan
penagihan
- Program penyempurnaan ekstensifikasi
- Program pemanfaatan teknologi terkini dan pengembangan IT
masterplan
- Program pengembangan dan pemanfaatan bank data
B. Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Administrasi Perpajakan
1. Meningkatkan citra DJP
- Program merevisi UU KUP
- Program penerapan Good Corporate Covernance
- Program perbaikan mekanisme keberatan dan banding
- Program penyempurnaan prosedur pemeriksaan
29
2. Melanjutkan Pengembangan Adiministrasi Large Taxpayer Office
(LTO) atau Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar
- Program peningkatan pelayanan, pemeriksaan dan penagihan pada
LTO
- Program peningkatan jumlah Wajib Pajak terdaftar pada LTO
selain BUMN/BUMD
- Program penerapan sistem administrasi LTO pada Kanwil DJP
Jakarta Khusus
- Program penerapan sistem administrasi LTO pada Kanwil lainnya
C. Meningkatkan Produktivitas Aparat Perpajakan
1. Program reorganisasi DJP berdasarkan fungsi dan kelompok wajib
pajak.
2. Program peningkatan kemampuan pengawasan dan pembinaan oleh
Kantor Pusat/Kanwil DJP
3. Program penyusunan kebijakan baru untuk manajemen SDM
4. Program peningkatan mutu sarana dan prasarana kerja
5. Program penyusunan rencana kerja operasional
Program dan kegiatan dalam kerangka reformasi dan modernisasi
perpajakan dilakukan secara komperhensif meliputi aspek perangkat lunak,
perangkat keras, dan sumber daya manusia. Reformasi perangkat lunak adalah
perbaikan struktur organisasi dan kelembagaan, serta penyempurnaan dan
penyederhanaan sistem operasi mulai dari pengenalan dan penyebaran informasi
30
perpajakan, pemeriksaan dan penagihan, pembayaran, pelayanan, hingga
pengawasan agar lebih efektif dan efisien.
Keseluruhan operasi berbasis teknologi informasi dan ditunjang kerjasama
operasi dengan instansi lain. Revisi Undang-Undang perpajakan dan peraturan
terkait lainnya, juga penerapan praktik tata pemerintahan yang bersih dan
berwibawa (good governance) dilaksanakan dalam konteks penegakan hukum dan
keadilan yang memayungi semua lini dan tahapan operasional. Reformasi
perangkat keras diupayakan pengadaan sarana dan prasarana yang memenuhi
persyaratan mutu dan menunjang upaya modernisasi administrasi perpajakan di
seluruh Indonesia.
Penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan profesional
merupakan program reformasi aspek sumber daya manusia, antara lain melalui
pelaksanaan fit and proper test secara ketat, penempatan pegawai sesuai kapasitas
dan kapabilitasnya, reorganisasi, kaderisasi, pelatihan dan program
pengembangan self capacity.
2.3.6 Dimensi Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Modernisasi perpajakan yang dilakukan pemerintah tentunya tidaklah
hanya untuk mencapai target penerimaan pajak semata, juga penting dilakukan
untuk menuju adanya perubahan paradigma perpajakan. Di mana ketentuan,
prosedur, dan aktivitas perpajakan juga terus diarahkan untuk peningkatan
pelayanan agar menjadi business friendly bagi masyarakat. Hal ini akan
mengakibatkan masyarakat dapat memandang pajak menjadi suatu kewajiban
31
partisipatif warga dan tidak dianggap sebagai beban kuantitatif. Modernisasi
administrasi perpajakan yang dilakukan pada dasarnya meliputi:
1. Restrukturisasi Organisasi
Implementasi konsep administrasi perpajakan modern yang
berorientasi pada pelayanan dan pengawasan adalah struktur organisasi
DJP yang perlu diubah, baik di level kantor pusat sebagai pembuat
kebijakan maupun di level kantor operasional sebagai pelaksana
implementasi kebijakan.
1) Kantor pusat
Struktur Kantor Pusat DJP (KP DJP) ikut disesuaikan berdasarkan
fungsi agar sesuai dengan unit vertikal di bawahnya. Ke depannya
KP DJP dirancang sebagai Pusat Analisis dan Perumusan
Kebijakan (Center of Policy Making and Analysis) atau hanya
menjalankan tugas dan pekerjaan yang sifatnya non operasional.
Untuk itu struktur KP DJP dibagi menjadi:
a. Direktorat yang menangani day-to-day operation (1 sekretariat,
9 direktorat).
b. Direktorat yang menangani pengembangan/transformasi (3
direktorat).
c. Untuk memperkuat beberapa fungsi yang dianggap penting,
maka dibentuk beberapa direktorat baru untuk menangani
intelijen dan penyidikan perpajakan, ekstensifikasi perpajakan,
dan hubungan masyarakat (public relation).
32
d. Beberapa subdirektorat baru yang menangani penelitian
perpajakan, kepatuhan internal, dan transfer pricing.
2) Kantor operasional
a. Dalam memudahkan wajib pajak, ketiga jenis kantor pajak
yang ada yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), serta Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), dilebur menjadi
Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan demikian wajib pajak
cukup datang ke satu kantor saja untuk menyelesaikan seluruh
permasalahan perpajakannya.
b. Struktur berbasis fungsi diterapkan pada KPP dengan sistem
administrasi modern untuk dapat merealisasikan debirokratisasi
pelayanan sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap wajib
pajak secara lebih sistematis berdasarkan analisis resiko.
c. Unit vertikal DJP dibedakan berdasarkan segmentasi wajib
pajak, yaitu:
KPP Wajib Pajak Besar (LTO-Large Taxpayers Office),
KPP Madya (MTO-Middle Taxpayers Office), dan
KPP Pratama (STO-Small Taxpayers Office).
Dengan pembagian seperti ini, diharapkan strategi dan
pendekatan terhadap wajib pajak pun dapat disesuaikan dengan
karakteristik wajib pajak yang ditangani, sehingga hasil yang
diperoleh dapat lebih optimal.
33
d. Khusus di kantor operasional, terdapat posisi baru yang disebut
Account Representative, yang mempunyai tugas antara lain
memberikan bantuan konsultasi perpajakan kepada wajib
pajak, memberitahukan peraturan perpajakan yang baru, dan
mengawasi kepatuhan wajib pajak.
e. Untuk lebih memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak,
seluruh penanganan keberatan dilakukan oleh Kantor Wilayah
yang merupakan unit vertikal di atas KPP yang menerbitkan
surat ketetapan pajak sebagai hasil dari pemeriksaan pajak.
2. Penyempurnaan Proses Bisnis Melalui Pemanfaatan Teknologi
Komunikasi dan Informasi
Kunci perbaikan birokrasi yang berbelit-belit adalah perbaikan
business process, yang mencakup metode, sistem, dan prosedur kerja.
Untuk itu, perbaikan business process merupakan pilar penting program
modernisasi DJP, yang diartikan pada penerapan full automation dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, terutama untuk
pekerjaan yang sifatnya klerikal. Langkah awal perbaikan business
process adalah penulisan dan dokumentasi yaitu melalui:
a. Standard Operating Procedures (SOP) untuk setiap kegiatan di
seluruh unit DJP. Sampai dengan akhir tahun 2007, sekitar 1900 SOP
di lingkungan DJP telah berhasil diidentifikasikan, ditulis, dan
dijadikan acuan pelaksanaan tugas dan pekerjaan bagi para pegawai.
34
b. Perbaikan business process dilakukan antara lain dengan penerapan e-
system dengan dibukanya fasilitas:
- e-filling yaitu pengiriman SPT secara online melalui internet,
- e-SPT yaitu penyerahan SPT dalam media digital,
- e-payment yaitu fasilitas pembayaran online untuk PBB, dan
- e-registration yaitu pendaftaran NPWP secara online melalui
internet.
Semua fasilitas tersebut diciptakan guna memudahkan wajib pajak
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
c. Untuk sistem administrasi internal saat ini terus dilakukan
pengembangan dan penyempurnaan Sistem Informasi DJP (SIDJP).
Salah satu fitur penting sistem tersebut adalah case management dan
workflow system yang digunakan unutk administrasi persuratan, proses
pelayanan, serta pengadministrasian account wajib pajak. sistem
informasi manjemen internal seperti Sistem Kepegawaian, Sistem
Informasi Keuangan dan Akuntansi, Sistem Pelaporan, dan Key
Performance Indicator (KPI) juga terus dikembangkan.
3. Penyempurnaan Manajemen Sumber Daya Manusia
Secanggih apapun struktur, sistem, teknologi informasi, metode dan
kerja suatu organisasi, semua itu tidak akan dapat berjalan dengan optimal
tanpa didukung SDM yang capable dan bertintegritas. Harus disadari
bahwa yang perlu dan harus diperbaiki sebenarnya adalah sistem dan
manajemen SDM, bukan semata-mata melakuka rasionalisasi pegawai,
35
karena sistem yang baik dan terbuka dipercaya akan bisa menghasilkan
SDM yang berkualitas. Langkah perbaikan di bidang SDM diantaranya
adalah:
a. DJP melakukan pemetaan kompetensi (Competency Mapping) untuk
seluruh 30.000 pegawai DJP guna mengetahui sebaran kuantitas dan
kualitas kompetensi pegawai. Meskipun program mapping ini masih
terbatas mengidentifikasikan ‘soft’ competency saja, tetapi informasi
yang didapat cukup membantu DJP dalam merumuskan kebijakan
kepegawaian yang lebih fair.
b. Kemudian seluruh jabatan harus dievaluasi dan dianalisis untuk
selanjutnya ditentukan job grade dari masing-masing jabatan tersebut.
c. Selanjutnya beban kerja dari masing-masing jabatan tersebut dianaisis
yang kemudian dikaitkan juga dengan pengembangan sistem
pengukuran kinerja masing-masing pegawai.
d. Sebagai catatan, pembuatan dan dokumentasi SOP untuk seluruh
proses pekerjaan dapat dimanfaatkan juga sebagai standar penilaian
kinerja. Secara bersamaan dilakukan penilaian terhadap seluruh
pegawai secara lebih objektif dan konsisten sekaligus standar
kompetensi jabatannya melalui proyek assessment center. Selisish
(gap) antara hasil penilaian pegawai dengan standar kompetensi
jabatan yang didudukinya dijadikan dasar perancangan program
capacity bulding (termasuk pendidikan dan pelatihan) yang lebih fokus
36
dan terarah. Saat ini, DJP sedang mengembangkan berbagai program
pelatihan metode Adult Learning Principles.
e. Semua itu nantinya akan dimanfaatkan untuk membuat sistem jenjang
karir, khususnya sistem mutasi dan promosi, serta sistem remunerasi
yang lebih jelas, adil, dan akuntabel.
4. Pelaksanaan Good Governance
Elemen terakhir adalah pelaksanaan good governance, yang
seringkali dihubungkan dengan integritas pegawai dan institusi. Dalam
praktik berorganisasi, good governance biasanya dikaitkan dengan
mekanisme pengawasan internal (internal control) yang bertujuan untuk
meminimalkan terjadinya penyimpangan ataupun penyelewengan dalam
organisasi, baik itu dilakukan oleh pegawai maupun pihak lainnya, baik
disengaja maupun tidak. DJP dengan program modernisasinya senantiasa
berupaya menerapkan prinsip-prinsip good governance tersebut berupa:
a. Pembuatan dan penegakkan Kode Etik Pegawai yang secara tegas
mencantumkan kewajiban dan larangan bagi para pegawai DJP dalam
pelaksanaan tugasnya, termasuk sanksi-sanksi bagi setiap pelanggaran
Kode Etik Pegawai tersebut.
b. Selain itu pemerintah telah menyediakan berbagai saluran pengaduan
yang sifatnya independen untuk menangani pelanggaran atau
penyelewengan di bidang perpajakan, seperti Komisi Ombudsman
Nasional.
37
c. Dalam lingkup internal DJP sendiri, telah dibentuk dua subdirektorat
yang khusus menangani pengawasan internal di bawah Direktorat
Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur, yaitu:
- Subdirektorat Kepatuhan Internal yang sifatnya lebih ke
pencegahan (preventif), dan
- Subdirektorat Investigasi Internal yang sifatnya lebih ke
pengusutan dan penghukuman (reaktif).
d. Lebih jauh lagi pembentukan complience center di masing-masing
kanwil modern untuk menampung keluhan wajib pajak merupakan
bukti komitmen DJP untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada
wajib pajaknya sekaligus pengawasan bagi internal DJP.
2.4 Kepatuhan Wajib Pajak
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang
tinggi. Yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai
sengan kebenarannya. Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak (dilakukan sendiri atau
dibantu dengan tenaga ahli misalnya praktisi perpajakan profesional/tax agent)
bukan fiskus selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan dalam self
assessment system, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal.
Richard dan Mika dalam buku Chaizi Nasucha (2004) menyatakan bahwa
seberapa besarnya jurang kepatuhan (tax gap) yaitu selisih antara penerimaan
yang sesungguhnya dengan potensi pajak dengan tingkat kepatuhan dari masing-
38
masing sektor perpajakan merupakan pengukuran yang lebih akurat atas
efektivitas administrasi perpajakan. Penyebab tax gap adalah karena lemahnya
administrasi perpajakan. Upaya mengurangi kesenjangan kepatuhan dilakukan
melalui penyempurnaan sistem administrasi perpajakan.
2.4.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:1013) istilah kepatuhan
berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat
memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk
dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak yang patuh
adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(Siti Kurnia, 2010:138)
Sedangkan kepatuhan wajib pajak yang dikemukakan oleh Norman
D.Nowak dalam buku Moh. Zain (2004) adalah:
“Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan,
tercermin dalam situasi dimana: (1) wajib pajak paham atau berusahan untuk
memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, (2)
mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, (3) menghitung jumlah pajak
yang terutang dengan benar, (4) membayar pajak yang terutang tepat pada
waktunya.”
Safri Nurmantu (2006:148) mengemukakan bahwa kepatuhan perpajakan
dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurutnya ada dua
macam kepatuhan, yaitu:
39
1. Kepatuhan formal, adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
perpajakan.
2. Kepatuhan material, adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substantive atau hakekatknya memenuhi semua ketentuan material
perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Kepatuhan material juga meliputi kepatuhan formal.
2.4.2 Dimensi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Administrasi perpajakan di Indonesia masih perlu diperbaiki, dengan
perbaikan diharapkan wajib pajak lebih termotivasi dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Dengan alat untuk mencapai suatu sistem telah diperbaiki maka
faktor-faktor lain akan terpengaruh. Sistem pemungutan pajak dengan
menggunakan self assessment memberikan peran aktif wajib pajakn nuntuk
melakukan sendiri perhitungan pajak terutang, menyetorkannya sendiri, dan
melaporkan SPT sendiri. Dalam sistem ini lebih ditekankan kepada kerelaan wajib
pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakannya.
Menurut Chaizi Nasucha (2004), kepatuhan wajib pajak dapat
diidentifikasikan dari:
- Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri,
- Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT),
- Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan
- Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
40
2.5 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama
Peneliti
Tahun Judul Variabel
Bebas (X),
Variabel
Terikat (Y)
Hasil
Penelitian
1 Sri dan Ita 2009 Pengaruh
Modernisasi Sistem
Administrasi
Perpajakan Terhadap
Kepatuhan Wajib
Pajak
Modernisasi
sistem
administrasi
perpajakan
sebagai
variabel X,
kepatuhan
wajib pajak
sebagai
variabel Y.
Modernisasi
sistem
administrasi
perpajakan
tidak
memiliki
pengaruh
signifikan
terhadap
kepatuhan
wajib pajak.
2 Evalin dan
Meily
2010 Pengaruh Penerapan
Sistem Administrasi
Perpajakan Modern
Terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak Orang
Pribadi di Kota
Manado
Penerapan
sistem
administrasi
perpajakan
modern
sebagai
variabel X,
kepatuhan
wajib pajak
orang pribadi
sebagai
variabel Y.
Variabel
sistem
administrasi
perpajakan
modern
berpengaruh
signifikan
terhadap
kepatuhan
wajib pajak
orang
pribadi.
3 Irmayanti
Madewing
dan
Muhamma
d Ashari
2013 Pengaruh
Modernisasi Sistem
Administrasi
Perpajakan Modern
terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak pada
Kantor Pelayanan
Pajak Pratama
Makassar Utara
Modernisasi
sistem
administrasi
perpajakan
modern
sebagai
variabel X,
kepatuhan
wajib pajak
Variabel
modernisasi
sistem
administrasi
perpajakan
modern
memiliki
pengaruh
signifikan
41
sebagai
variabel Y.
terhadap
kepatuhan
wajib pajak.
2.6 Kerangka Pemikiran
Pajak menjadi sumber utama penerimaan negara yang mencerminkan
perkembangan kehidupan sosial ekonomi dan ketaatan masyarakatan dari suatu
negara. Tuntutan akan peningkatan penerimaan, penyesuaian struktur perpajakan
serta stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi yang sehat melalui pendekatan fiskal
menjadi alasan dilakukannya reformasi perpajakan, yaitu perubahan yang
mendasar di segala aspek perpajakan. Program reformasi perpajakan dapat
berhasil apabila menghasilkan perubahan dalam dua elemen dasar sistem
perpajakan yang saling mempengaruhi, yaitu struktur pajak serta mekanismenya
dan instansi/aparat yang mengatur administrasi dan kepatuhan perpajakan.
Administrasi perpajakan diupayakan untuk merealisasikan peraturan perpajakan
dan penerimaan negara.
Reformasi perpajakan terdiri dari reformasi struktur perpajakan dan
reformasi administrasi perpajakan. Reformasi administrasi perpajakan dapat
dilaksanakan tanpa melakukan reformasi struktur perpajakan karena suatu
keberhasilan reformasi administrasi perpajakan adalah kapasitas administrasi
perpajakan dalam mengimplementasikan struktur perpajakan secara efektif dan
efisien.
Pendekatannya diletakkan pada peningkatan dalam kepatuhan dan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap administrasi perpajakan yang menjadi dasar
diterapkannya sistem administrasi perpajakan modern. Direktorat Jenderal pajak
42
telah melakukan pengembangan konsep sistem administrasi perpajakan modern
dalam kerangka reformasi administrasi perpajakan jangka menengah (3-5 tahun)
yang dimulai sejak tahun 2001. Penerapan sistem administrasi perpajakan modern
adalah penerapan sistem administrasi perpajakan yang mengalami penyempurnaan
atau perbaikan kinerja, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan
agar lebih efektif dan efisien yang merupakan perwujudan dari program reformasi
administrasi jangka menengah yang menjadi prioritas reformasi perpajakan.
Pengukuran efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan yang lebih
akurat adalah dengan mengukur seberapa besar jurang kepatuhan (tax gap), yaitu
selisih antara penerimaan yang sesungguhnya dengan potensi pajak dengan
tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan. Kepatuhan wajib pajak
dapat diidentifikasi dari kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri,
kepatuhan untuk mengembalikan SPT, kepatuhan dalam perhitungan serta
pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Pada
hakekatnya kondisi sistem administrasi perpajakan berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak, upaya perbaikan administrasi perpajakan yang terus
dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Oleh
karena itu, kepatuhan wajib pajak dimungkinkan menjadi salah satu variabel yang
berperan besar dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Dari uraian di atas maka penulis membuat suatu skema kerangka
pemikiran sederhana seperti di bawah ini:
43
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau
tidaknya pengaruh penerapan sistem administrasi perpajakan modern terhadap
tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi, yang akan dirumuskan sebagai
berikut:
H0 : Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi.
Ha : Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Reformasi Perpajakan
Reformasi Administrasi Perpajakan
Penerapan Sistem Administrasi
Perpajakan Modern (X)
Kepatuhan Wajib Pajak (Y)