A. GEH

46
Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH 1 GASTROENTEROLOGI HEPATOLOGI (GEH) 1. DIARE AKUT 2 2. DIARE KRONIK 8 3. DISPEPSIA 16 4. INFEKSI HELICOBACTER PYLORI 17 5. PENYAKIT HIRSCHSPRUNG 19 (CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON) 6. DIVERTICULUM MECKEL 20 7. AKALASIA ESOPHAGUS 20 8. ILEUS OBSTRUKSI 23 9. KISTA DUKTUS KOLEDOKUS 24 10. INVAGINASI 25 11. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS 26 12. KOLESTASIS 28 13. KOLITIS ULSERATIF 33 14. CROHN DISEASE 34 15. HIPERTROFI STENOSIS PILORUS 36 16. KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN 37 17. NYERI PERUT BERULANG 38 18. KOLESISTITIS 41 19. PERITONITIS TUBERKULOSA 43 20. KONSTIPASI 44

description

GEH

Transcript of A. GEH

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    1

    GASTROENTEROLOGI HEPATOLOGI (GEH)

    1. DIARE AKUT 2 2. DIARE KRONIK 8 3. DISPEPSIA 16 4. INFEKSI HELICOBACTER PYLORI 17 5. PENYAKIT HIRSCHSPRUNG 19

    (CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON) 6. DIVERTICULUM MECKEL 20

    7. AKALASIA ESOPHAGUS 20 8. ILEUS OBSTRUKSI 23 9. KISTA DUKTUS KOLEDOKUS 24 10. INVAGINASI 25 11. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS 26 12. KOLESTASIS 28 13. KOLITIS ULSERATIF 33 14. CROHN DISEASE 34 15. HIPERTROFI STENOSIS PILORUS 36 16. KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN 37 17. NYERI PERUT BERULANG 38 18. KOLESISTITIS 41

    19. PERITONITIS TUBERKULOSA 43 20. KONSTIPASI 44

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    2

    1. DIARE AKUT

    1. Batasan :

    Epidemiologis : merupakan kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi

    dengan feses cair atau lembek dengan/tanpa lendir atau darah, dengan

    frekuensi 3 kali atau lebih sehari, berlangsung belum lebih dari 14

    hari, kurang dari 4 episode/bulan.

    Klinis : merupakan diare yaitu berak dengan kandungan air lebih dari normal

    atau disertai darah/lendir atau bila orang tua menganggap anaknya

    menderita berak-berak.

    Indikasi rawat penderita diare akut :

    Diare akut dehidrasi ringan sedang dengan berak-berak dan muntah profuse dan upaya rehidrasi oral di UGD gagal, atau disertai penyakit penyerta yang memerlukan

    perawatan di rumah sakit.

    Diare akut dehidrasi berat.

    Tujuan perawatan dan pengobatan penderita diare akut :

    Melakukan koreksi terhadap kehilangan cairan dan elektrolit.

    Melakukan feeding adjustment.

    Memberikan pengobatan medikamentosa :

    Pemberian preparat zinc

    Pengobatan terhadap kausa pada kasus-kasus tertentu

    Pengobatan terhadap penyakit penyerta/penyulit.

    Pengobatan penunjang/simptomatik yang diperlukan. Memberikan health education.

    Terapi cairan dan elektrolit :

    Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:

    Pada diare akut murni.

    Pada diare akut dengan penyulit/komplikasi.

    Ad 1. Pada diare akut murni

    Ditujukan untuk :

    Rehidrasi : mengganti previous water losses dengan IVFD atau per oral..

    Maintenance : mencegah dehidrasi dengan mengganti on going water losses

    dengan oralit peroral/CRO.

    Requirement : dengan makan dan minum seperti biasa.

    Pemberian IV menggunakan cairan ringer laktat dan pada pemberian oral

    menggunakan oralit

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    3

    Ad 2. Pada diare akut dengan penyulit :

    Menggunakan modifikasi Sutejo dengan cairan yang mengandung:

    Na : 63,3 mEq/L.

    K : 10,4mEq/L.

    CI : 61,4 mEq/L.

    HCO3 : 12,6 mEq/L.

    Kalori : 200 kalori

    Yang terdiri dari NaCl 15% 10 cc, KC1 10% 4 cc, NaHCO3 2,5% 7 cc dalam 500 cc

    D5% setara dengan KAEN 3A.

    Koreksi diberikan secara IV dengan kecepatan :

    Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang :

    4 jam I : 50 cc/kg BB.

    20 jam II : 150 cc/kgBB.

    Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :

    4 jam I : 60 cc/kg BB. 20 jam II : 190 cc/kgBB.

    Bentuk penyulit, jenis dan jumlah cairan dilihat pada skema 2.

    Terapi diet lihat skema 1

    Terapi medikamentosa :

    Diberikan

    Preparat zink elemen :

    untuk usia < 6 bln sebanyak 1 x 10 mg dan

    usia > 6 bln sebanyak 1 x 20 mg selama 14 hari.

    Obat-obatan antimikroba termasuk antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit

    diare akut. Patokan pemberian antimikroba/antibiotika adalah sebagai berikut :

    1. Kolera. 2. Diare bakterial invasif. 3. Diare dengan penyakit penyerta. 4. Diare karena parasit/jamur.

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingSticky NoteGE pada Bayi :4 jam I : 100 cc/kgBB20 jam II : 150 cc/kgBB

    Jenis cairan : (-) asidosis : 1/5 NS (+) asidosis : D5 + BicNat

    dr. Edy K. GintingSticky NoteZinkcare, Zinkidsedian : Tablet : 20 mg Syrup : 10 mg/5 cc

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    4

    Ad. 1. Kolera :

    Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50

    mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.

    Ad. 2. Diare bakterial invasif :

    Secara klinis didiagnosis jika :

    Panas lebih dari 38,5oC dan ada meteorismus.

    Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun mikroskopis.

    Lekosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau ++.

    Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :

    K1inis diduga ke arah Shigella diberi :

    Nalidixid acid 55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 5 hari atau

    Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5 hari atau

    Ciprofloksasin 30mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis dalam 3-5 hari.

    K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan

    Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.

    Ad. 3. Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.

    Ad. 4 Untuk penyakit parasit diberikan :

    Amubiasis diberikan : Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5-10 hari.

    Helminthiasis : Untuk Ascaris / Ankylostoma / Oxyuris :

    Pyrantel Pantoate 10 mg/kgBB/hari dosis tungga1.

    Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.

    Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.

    Untuk penyebab jamur diberikan :

    Candidiasis diberikan Nistatin :

    - Kurang dari 1 tahun : 4 X 100.000 I se1ama 5 hari. - Lebih dari 1 tahun : 4 X 300.000 I se1ama 5 hari.

    Pemberian Health Education :

    Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus dimana

    orangtua penderita dikumpulkan.

    Pokok ceramah meliputi :

    Usaha pencegahan diare dan KKP.

    Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan menggunakan oralit

    dan cairan.

    Imunisasi.

    Keluarga berencana.

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingSticky NoteDapat juga diberikan Sefiksim 80 mg/kgBB/hari (2 dosis)sediaan : Syrup 100 mg/ 5cc Capsul : 50 mg, 100mgcth : Sporetik (sanbe)

    dr. Edy K. GintingSticky NoteMetronidazole sediaan : 125 mg / 5 cc

    dr. Edy K. GintingSticky Notesediaan :100.000 IU / ccCth : Kandistatin (12 cc) Mycostatin (12 cc)

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    5

    Penderita dipulangkan :

    Bi1a ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit kepada anak dengan

    cukup wa1aupun diare masih berlangsung.

    Diare bermasalah atau dengan penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati.

    Skema 1. Terapi Cairan dan Pemberian Makanan Ada GE Akut Tanpa Penyulit.

    Dehidrasi Rehidrasi

    Waktu Cairan

    Pencegahan

    Dehidrasi Makan Minum

    Tanpa

    dehidrasi

    - - 10-20 cc/kgBB/

    BAB oralit

    atau

    ASI diteruskan. Susu formula diteruskan.

    Makanan padat

    diteruskan dengan mengurangi makanan

    berserat, ekstra 1 porsi

    Ringan-

    sedang

    4 jam 75 cc ( gelas) oralit/ kg BB atau ad

    libitum sampai tanda-tanda dehidrasi

    hilang

    Idem Dapat ditangguhkan sampai anak menjadi

    segar

    Berat 4 Jam IVFD RL 30 cc/kg BB 7

    tetes/kgBB/menit.

    Oralit ad libitum segera setelah anak

    bisa minum

    Idem Idem

    Monitoring dilakukan tiap 1 jam

    Setelah

    rehidrasi Idem penderita tanpa dehidrasi

    Patokan koreksi cairan melalui NGD (Nasogastrik Drip) adalah :

    Nadi masih dapat diraba dan masih dapat dihitung.

    Tidak ada meteorismus.

    Tidak ada penyulit yang mengharuskan kita memakai cairan IV

    Dikatakan gaga1 jika dalam 1 jam pertama muntah dan diare terlalu banyak atau

    syok bertambah berat.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    6

    Skema 2. Beberapa Penyulit Gastroenteristis Akut dan Penanggulangannya.

    Jenis Penyulit Jenis/Cara

    Pemberian Cairan Jumlah Cairan

    Terapi

    Medikametosea Ket

    KKP I-II Modifikasi Sutejo Sesuai GEA nurni Sesuai kausa/

    penyakit penyerta

    KKP III Modifikasi Sutejo Maras : 250 cc/kgBB

    Kwash : 200 cc/kg BB

    Bronco

    Pneumonia

    Modifikasi Sutejo Kebutuhan Sesuai BP *

    Ensefalitis Modifikasi Sutejo Kebutuhan Sesuai Ensefalitis

    Meteorismus Modifikasi Sutejo Kebutuhan Antibiotic

    profilaksis

    **

    Miningitis

    Purulenta

    Modifikasi Sutejo Kebutuhan Sesuai menpur

    Dehidrasi

    hipertonik

    Sesuai skema 3 Sesuai skema 3 Sesuai etiologi ***

    Gagal

    Ginjal Akut

    Sesuai GGA 30 cc kg/BB + volume urin 1 hari sebelumnya

    + 12% setiap kenaikan

    suhu 10 C

    Sesuai GGA

    Impending Decomp

    Cordis

    Cairan rendah

    natrium

    Kebutuhan Digitalisasi

    * Diberikan pada bronkopneumonia dimana anak sangat sesak dan sistim kardiovaskuler tidak mungkin menerima terapi rehidrasi cepat.

    ** Akibat lanjut dari meteorismus adalah terjadinya ballooning effect, langkah-langkah;

    untuk mengatasi ini adalah dengan melakukan dekompresi :

    Dari atas dengan sonde lambung yang dihisap secara berkala. Dari bawah dengan mernasang schorstein.

    Menghentikan makanan peroral (sesuai dengan beratnya meteorismus), memberi

    makanan parenteral sedini mungkin, memberikan antibiotika profilaksis.

    *** Dasar klinis diagnosis dehidrasi hipertonis :

    1. Klinis : turgor yang relatif baik, hiperiritabel, rasa haus yang sangat nyata, kejang yang biasanya timbul setelah terapi cairan.

    2. Labor : kadar Na* serum 1ebih dari 150 meq/l.

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    7

    Skema 3. Terapi Cairan Dehidrasi Hipertonik.

    Jumlah

    Cairan

    Ml/kgBB

    Waktu

    jam ke-

    Jumlah

    Tetesan

    tts/kgBB/men

    Jenis cairan

    Yang diberikan sesuai

    Frekuensi nadi

    Ca

    Glukonas

    10% 120 120-140 140-160 >160 Filiformis

    60 1 3 DG RL RL RL RL 5-10 ml

    2 3 DG DG RL RL RL

    3 3 DG DG DG RL RL

    4 3 DG DG DG DG RL

    190 5-20 2 3/8 DG DG DG DG DG Jam ke9: 5-10ml

    Jam ke17: 5-10ml

    Referensi:

    1. Subagyo B. Nurcahyo NB. Diare Akut. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK

    Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :87-120

    2. Guandalini S. Acute Diarrhea. Dalam : walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB. Penyunting. Pediatric gastrointestinal disease: pathophysiology,diagnosis, management.

    Edisi ketiga. Canada : B.C Decker Inc. 2000: 28-38

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    8

    2. DIARE KRONIK

    1. Definisi :

    Diare kronik ada1ah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau

    disentri.

    2. Insiden :

    Pada Indonesian Demographic and Hea1th Survey, 2001, di1aporkan bahwa prevalensi

    diare persisten adalah 3,3% dan diare berdarah adalah 1,2%.

    3. Klasifikasi :

    Pembagian diare kronik yang didasarkan atas sifat tinja-berair, berlemak atau berdarah,

    menurut Arasu dkk. (1979) akan lebih dapat membantu menghadapi masalah diare

    kronik. Klasifikasi diare kronik pada bayi dan anak adalah sebagai berikut :

    a. Watery stools atau tinja cair :

    1. Gastroenteropati alergi :

    Alergi protein susu sapi.

    Alergi protein kedele. 2.a. Defisiensi disakaridase :

    Defisiensi lactase sering sekunder.

    Defisiensi sucrose isomaltase. b. Malabsorbsi glukosa galaktosa

    3. Defek imun primer. 4. Infeksi usus oleh virus, bakteri dan parasit (giardisis). 5. CSBS (Contaminated Small Bowel Syndrome).

    Obstruksi usus, ma1rotasi, short bowel syndrome, dll.

    Penyakit Hirschsprung, enterokolitis. 6. Persistent postenteriting diarrhoea dengan atau tanpa intoleransi karbohidrat. 7. Diare sehubungan dengan penyakit endokrin.

    Hiperparatiroidism.

    Insufisiensi adrenal.

    Diabetes melitus. 8. Diare sehubungan dengan tumor.

    Karsinoma medula tiroid.

    Ganglionewoma.

    Zolinger-Ellison syndrome. 9. Ma1absorbsi asam empedu.

    Cholerrhoeic diarrhoea.

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    9

    b. Fatty stools atau tinja berlemak :

    1. Insufisiensi pancreas, PEM, BBLR.

    Hipoplasia (Swachman Syndrome).

    Cystic fibrosis. celiac disease. 2. Limfangiektasi usus. 3. Kolestasis.

    Atresia biliaris ekstra atau intrahepatik.

    Hepatitis neonatal.

    Sirosis hepatis. 4. Steatorhoe akibat obat (misa1: neomisin, kolestiramin). 5. CSBS: -Short bowel syndrome. 6. Gastroenteropati alergi, defek imun primer, enteropati akrodennatitis, anemia

    defisiensi besi.

    c. Bloody stools atau tinja berdarah :

    1. V. campylobacter, Salmonella, Shigella. 2. Disentri amuba. 3. Inflammatory bowel disease.

    Kolitis ulseratif.

    Penyakit Chron . 4. Enterokolitis pseudomembranosa. 5. Diare sehubungan dengan lesi anal.

    4. Patofisiologi :

    Mekanisme patofisiologi diare kronik bergantung penyakit dasarnya dan sering terdapat

    lebih dari satu mekanisme (Arasu dkk. 1979), yaitu :

    a. Diare osmotik. b. Diare sekretorik. c. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak. d. Defek sistem pertukaran anion. e. Kerusakan mukosa. f. Motilitas dan transit abnormal. g. Sindrom diare intraktabel. h. Mekanisme-mekanisme lain.

    Berdasarkan patogenesis dan patofisiologinya, diare kronik diklasifikasikan menjadi :

    1. Diare persisten, yaitu diare yang melanjut/menetap sampai 2 minggu atau lebih dan disebabkan oleh infeksi serta sering disertai gangguan pertumbuhan.

    2. Sindroma rawan usus SUS (SRU)/Irritable bowel syndrome (IBS), yaitu suatu sindrom klinis yang menyebabkan diare kronik non spesifik pada anak yang

    tampaknya sehat, tidak ditemukan adanya kelainan organik. Keluhan yang

    ditemukan berupa kolik, diare nonspesifik.

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    10

    3. Diare intraktibel bayi (Intractable diarrhea of infancy), yaitu bayi dengan diare yang berhubungan dengan kerusakan mukosa yang difus yang timbul sebelum bayi

    berusia 6 bulan, berlangsung lebih dari 2 minggu. disertai malabsorbsi dan

    malnutrisi. Berbagai penyakit dapat menyebabkan diare yang sulit diatasi,

    melanjutkan kerusakan mukosa usus halus, yang merupakan penyebab utama dari

    diare intraktabel ini.

    5. Diagnosa dan Evaluasi :

    Riwayat penyakit:

    saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi penampakan, konsistensi,

    adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran

    pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare

    sesudah diberikan susu atau makanan tambahan. Buah-buahan (defisiensi sukrase-

    isomerase), hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare

    sesudah gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome), riwayat

    pengobatan antibiotika sebelumnya (antibiotic associated diarrhea).

    Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan yang cermat keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan

    abdomen, ekskoriasi pada bokong, manifestasi kulit. juga penting untuk mengukur

    berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi

    badan, gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya.

    Pemeriksaan laboratoris :

    a. Pemeriksaan tinja :

    Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.

    Mikroskopis : Darah samar dan leukosit yang positif (> 10/lpb) menunjukkan kemungkinan

    adanya peradangan pada kolon bagian bawah.

    pH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada

    di dalam kolon.

    Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sample tinja yang masih baru, yang menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat.

    Breath hydrogen test, digunakan untuk evaluasi malabsorbsi karbohidrat Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak,

    merupakan skrining yang cepat dan sederhana untuk menentukan adanya

    malabsorbsi lemak.

    Biakan kuman dalam tinja, untuk mendapat informasi tentang flora usus dan kontaminasi

    Pemeriksaan parasit (Giardia lamblia, cacing).

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    11

    b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate, albumin, kadang diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll.

    c. Pemeriksaan radiologi / Endoskopi: Pemeriksaan radiologi/ endoskopi saluran gastrointestinal membantu

    mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi, stenosis) dan kelainan-kelainan seperti

    limfangiektasis, inflammatory bowel disease, penyakit Hirschsprung, enterokolitis

    nekrotikans.

    6. Penatalaksanaan :

    Umum dan Dietetik.

    a.Menentukan diare sekretorik atau osmotik :

    Puasa

    Sifat feses b.Nutrisi enteral :

    Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima untuk

    mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak dengan saluran

    pencernaan yang masih berfungsi jalur enteral dapat ditempuh melalui oral atau

    nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau jejunostomi dengan feeding tube

    Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan

    dalam 3 macam diet:

    i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan dipakai untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.

    ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah dan dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.

    iii. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai bercabang untuk pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien dengan

    perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan metabolisme bawaan

    (inborn errors of metabolism)

    Kandungan formula yang ditetapkan meliputi: i. Karbohidrat

    Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili

    menjadi monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4

    enzim oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili yaitu maltase (glukosa

    amilase (glukosa a-dekstrinase), lactase dan trehalase. Semua enzim ini

    berkurang pada penyakit yang mengenai mukosa usus halus. Lactase

    merupakan enzim yang paling peka dan paling akhir pulih apabila terjadi

    kerusakan mukosa.

    ii. Lemak Lemak merupakan nutrien yang paling padat kandungan kalorinya.

    Pemberian lemak pada penderita diare kronik sangat penting karena sering

    disertai keterbatasan pemasukan kalori.

    iii. Protein Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein

    utuh. protein hidrolisat, asam amino atau gabungan.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    12

    iv. Vitamin dan mineral Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak kendatipun dan

    pemasukan kalori yang cukup apabila terdapat malabsorbsi lemak. atau

    terjadi interaksi obat/nutrien dengan diet yang sangat khusus.

    Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung glukosa primer, bebas laktosa mengandung protein hidrolisat, medium chain

    triglyceride, osmolaritas kurang sedikit dari 600 mOsm/l. dan bersifat

    hipoalergik. (Pregestimil). atau yang mengandung short chain peptide (Pepti Yunior).

    Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. mula-mula dianjurkan konsentrasi 1/3 IV, selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral: 1/3 IV. dan bila

    keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1 kg) diberikan pregestimil dalam konsentrasi penuh.

    Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran

    gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan

    meningkatkan kecepatan dan kadar formula secara bertahap sampai mencapai kebutuhan nutrisi anak.

    Komplikasi nutrisi enteral : - Hidrasi berlebih. - Hiperglikemia. - Azotemia (konsumsi protein berlebih). - Hipervitaminosis K. - Dehidrasi sekunder karena diare. - Gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare). - Gagal tumbuh sekunder akibat pemasukan energi tidak cukup. - Aspirasi. - Defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula.

    -

    c. Nutrisi Parenteral

    Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh melalui Jalan intraven. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino,

    emulsi lemak, mineral, vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan apabila

    penderita masih mempunyai saluran gastrointestinal yang masih berfungsi serta

    masih dimungkinkan pemberian secara peroral, enteral atau gastrostomi. Pada

    umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    13

    Indikasi nutrisi Ament ME, 1993 :

    Disfungsi Usus Penyakit yang Diperkirakan Berlangsung 7 Hari

    Intractable vomiting Pankreatitits berat

    Diare Penyakit usus beradang berat. intoleransi

    Ileus Makanan enteral

    Obstruksi usus halus Karena trauma/pembedaan berat atau sepsis

    Malabsorbsi Kanker pseudo-obstruksi intestinal

    Penghentian makanan Kerusakan mukosa parah. sindroma usus pendek enteritis

    Peroral > 7 hari radiasi Fistula enterokutan. ileus transplantasi

    Kebutuhan pada nutrisi parenteral : a. Kalori :

    Kebutuhan kalori per berat badan (Ament, 1993) :

    Umur Perkiraan Kebutuhan Kalori Per Hari (Kkal/Kg)

    Neonatus

    Berat Badan Lahir Rendah

    150

    Berat Badan Lahir Normal

    100 200

    Anak 0 10 kg 100

    11 20 kg 1.000 kkal/kg + 50 kkal/kg untuk setiap kg > 10 kg

    > 20 kg 1.500 kkal/kg + 20 kkal/kg untuk setiap kg > 20 kg

    Pada beberapa keadaan diperlukan penambahan kebutuhan kalori: panas (12%

    per setiap setiap kenaikan 1C di atas 37C) gagal jantung (15-20%),

    pembedahan besar (20-30%), kombusio (sampai 100%), dan sepsis berat (25%).

    b. Cairan : Kebutuhan cairan sesuai umur (Ament ME, 1993)

    Berat Badan Kebutuhan Cairan (ml/kg)

    < 10 kg 100 ml

    10 20 kg 1.000 ml + 50 ml/kg untuk setiap kg > 10 kg

    < 20 kg 1.500 ml + 20 ml/kg untuk setiap kg > 20 kg

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    14

    c. Karbohidrat :

    Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non protein yang memberikan 3,4 kka1/gram dalam bentuk monohidrat.

    Keterbatasannya adalah terjadinya phlebitis apabila kadar > 10-12,5%.

    Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan respon tubuh dalam memproduksi insulin endogen dan mencegah terjadinya

    glikosuria.

    d. Asam amino Kebutuhan asam amino menurut usia (Ament ME, 1993) :

    Umur Kebutuhan

    (gr protein/kg/hari) Mulai pemberian

    Bayi prematur 2,5 3 0,5 gram protein/kg/hari dinaikan 0,5 gram protein/kg/hari.

    Bayi 0 1 tahun 2,5 3 1 gram protein/gram/hari dinaikan 0,5 gram.

    Anak 2 13 tahun 1,5 2 protein/kg/hari per hari.

    Remaja Dewasa 1 1,5

    e. Lemak :

    Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak menyediakan asam lemak essensial untuk pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang perkembangan

    yang normal.

    Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan 10% (1 kkal/ml) dan 20% (2 kka1/ml).

    Minimal 2-4% dari kebutuhan kalori total diberikan berupa lemak intravena untuk menghindari terjadinya defisiensi asam lemak. yang dapat dicapai

    dengan penggunaan 0,5-1 gram emulsi lemak/kg/hari.

    Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada neonatus dalam 2 hari dengan tanda kecepatan pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik,

    pertumbuhan rambut berkurang. trombositopeni, peka terhadap infeksi dan

    gangguan penyembuhan luka.

    f. Elektrolit : Kebutuhan elektrolit intravena (Ament ME, 1993) :

    Elektrolit Dosis Anak

    (mEq/kg/24 jam)

    Dosis Bayi

    (mEq/kg/24 jam)

    Na 3 4 2 8

    K 2 3 2 6

    Cl 2 4 0 6

    Ca 0,5 1 0,9 2,3

    Fosfat 2 1 1,5

    Mg 0,25 0,5 0,25 0,5

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    15

    g. Trace Element : Kebutuhan trace element :

    Elemen

    Kebutuhan Bayi (mg/kg/hari)

    Kebutuhan Anak (mg/kg/hari) dan Kebutuhan Maksimum/hari Prematur Matur

    Na 3 4 2 8

    K 2 3 2 6

    Cl 2 4 0 6

    Ca 0,5 1 0,9 2,3

    Fosfat 2 1 1,5

    Mg 0,25 0,5 0,25 0,5

    Medikamentosa :

    a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak satupun yang memberikan efek positif.

    b. Obat anti mikroba : Pada umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora usus dan memperburuk

    diare. Kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat (sepsis), anak dengan defisiensi

    imunologi dan anak dengan diare kronis yang sangat berat, dianjurkan pemberian

    antimikroba. Sedangkan metronidazole efektif untuk Giardia lamblia.

    c. Kortikosteroid : Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal

    memberikan respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi dengan

    steroid sistemik.

    d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila pengobatan konvensional tidak mungkin.

    e. Kolestiramin Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama malabsorbsi

    asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).

    f. Operasi Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit

    Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Namun hanya dilakukan setelah keadaan umum

    membaik.

    Referensi:

    1. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK

    Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :121-136

    2. Kadim M, Salakede SB, Hartantyo I, Athiyah AF, Rosalina I,. Dalam : Juffrie M, Mulyani SM,penyunting. Modul pelatihan diare: edisi pertama. Jakarta : UKK gastrohepatologi IDAI.

    2009:29-42

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

    dr. Edy K. GintingHighlight

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    16

    3. DISPEPSIA

    1. Diagnosis :

    Diagnosis dispepsia dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dyspepsia, mual, muntah,

    dan nyeri epigastrik. Dispepsia dengan keluhan yang berat, kronik dan berulang

    dilakukan pemeriksaan endoskopis. Diagnosis endoskopi bisa berupa esofagitis,

    gastritis, gastropathi, atau duodenitis. Diagnosis PA menentukan tipe kelainan yang

    terjadi, misalnya akut/ kronik eosonophilia, helicobacter pylori.

    2. Penatalaksanaan :

    1) Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak, mudah dicema dan tidak merangsang.

    2) Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan yang dapat di berikan :

    Untuk mengurangi faktor agresi asarn larnbung diberikan antasida 3 ka1i sehari ,dosis 2-8 mg/kg/kali atau 50-150 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi tiap 4-6 jam,

    titrasi dosis sampai tercapai kadar fosfat dalam rentang normal. atau cimetidine

    5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari atau ranitidin dosis 2-4 mg/kgBB/kali

    sebanyak dua kali sehari jika terbukti atau diduga terdapat ulkus dapat diberikan

    sukralfat dosis 40-80 mg/kg/hari secara oral dibagi setiap 6 jam atau 0,5 - 1 gram

    sehari empat kali.

    Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramide 0,15-0,3 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari atau domperidone 0,15-0,3 mg.kg BB/ kali

    Jika terbukti helicobacter pylori sebagai penyebab atau secara klinis dispepsia kronik dan

    hematemesis dapat diberikan Antibakterial selama 14 hari. untuk eradikasi Helicobacter

    pylori, diberikan Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin 7,5-15

    mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i sehari, ditambah PPI (Omeprazole) dengan dosis

    1 mg/kg/dosis (preparat sebaiknya dalam bentuk 10 mg, 20 mg, atau 40 mg) 1 kali

    sehari lebih dari 14 hari.

    Referensi:

    1. Soeparto P, Ranuh R. Nyeri abdomen akut. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK Gastroenterohepatologi IDAI.2010 ;44-45

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    17

    4. INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

    Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat berkoloni pada saluran

    cerna dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodemum dan gaster. Menular secara

    oral-oral, gastric oral, dan fekal-oral.

    Patogenesis :

    Infeksi H. pylori pada antrum gaster menyebabkan inflamasi mukosa gaster dan ulkus

    gaster dan duodenum.

    Diagnosis :

    Gejala Klinis :

    Sangat bervariasi Dipengaruhi faktor mikrobanya dan faktor host Asimptomatik atau simptomatik Gejala : gangguan gastro intestinal,nyeri perut, rasa panas dan terbakar pada

    epigastrium, rasa penuh di gaster, kembung, mual, muntah

    Pemeriksaan penunjang :

    Tes invasif (endoskopi)

    Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Test Urea cepat pada jaringan biopsi Kultur bakteri PCR (Polymerase Chain Reaction)

    Metode non invasif

    Tes Imunoassay untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori Tes Urine dan Saliva untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori Tes Feses untuk Antigen Helicobacter pylori Tes Napas Urea

    Penatalaksanaan

    Mengeliminasi secara lengkap dari organisme Regimen terapi yang dikatakan berhasil jika dapat menyembuhkan lebih dari 80%

    subjek yang diterapi

    Efek samping minimal Tidak menginduksi resistensi bakteri

    Terapi eradikasi H. pylori diberikan selama 7-14 hari

    - Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50

    mg/kgBB/hari/12) + clarithromycin (15 mg/kgBB/hari/12 jam)

    - Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50

    mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)

    - Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari + clarithromycin

    (15mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    18

    Edukasi Pasien

    Konseling menghindari faktor yang meningkatkan resiko dispepsia dan ulkus peptikum

    Selama terapi eradikasi, maka obat-obatan NSAIDs mesti dihentikan. Diberitahu tentang efektifikasi terapi eradikasi Pentingnya menyelesaikan regimen obat inisial

    Pencegahan

    Antibiotik untuk pencegahan sangat tidak dianjurkan Vaksin Helicobacter pylori (Helicobacter pylori urease + enterotoxin E. Coli)

    efektifitas sangat rendah

    Perbaiki hygiene dan gizi dari anak-anak

    Prognosis Tergantung dari penanganannya Dideteksi lebih dini dan diterapi adekuat komplikasi minimal Terambat didiagnosa atau terapi tidak adekuat komplikasi lanjut

    Komplikasi

    Ulkus dengan pendarahan gastrointestinal

    Kanker

    Relaps atau resisten terhadap obat

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    19

    5. PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

    (CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON)

    Penyakit Hirschsprung adalah suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada dinding usus. Berdasarkan panjang segmen yang terkena dapat

    dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu :

    Penyakit Hirschsprung segmen pendek. Merupakan 70% dari kasus. Segmen aganglionosis mu1ai dari anus sampai sigmoid. Lebih sering pada anak laki-Iaki daripada anak perempuan.

    Penyakit hirschprung ultrashort. Segmen aganglionosis hanya melibatkan sedikit segmen diatas anus.

    Penyakit Hirschsprung segmen panjang - Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon

    atau sampai ke usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak perempuan dan anak

    laki-laki.

    Gejala Klinik :

    Pada segmen pendek gejala klinis meliputi ,riwayat mekonium terlambat atau ada riwayat

    frekuensi defeksi yang jarang pada masa neonatus. Gejala klinis obstruksi parsial saluran

    cerna dapat terjadi berupa distensi abdomen, ferkuensi BAB yang jarang dan muntah

    ( muntah hijau atau feses ). Pada colok dubur, jari akan merasakan jepitan dan pada waktu

    keluar dan dapat diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium feses yang

    menyemprot.penyakit hirschprung dibedakan dengan konstipasi berdasarkan bentuk feses

    yang berbentuk paste. Pada segmen panjang terjadi manifestasi klinis obstruksi total pada

    masa neonatus. Pada segmen ultrashort, gambaran klinis mirip konstipasi fungsional.

    Gambaran foto polos abdomen ter1ihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi

    usus rendah. Pada foto barium enema (dengan tehnik hirschprung) ditemukan daerah

    transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di segmen yang menyempit.

    Diagnosis pasti dengan biopsy rectal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel ganglion di

    submukosa.

    Penatalaksanaan :

    Dekompresi dengan melakukan washing.

    Kolostomi diikuti operasi Pullthrough, pada usia 6-12 bulan dengan metode Swenson

    Duhamel dan Soave

    Referensi :

    1. Jong W,Syamsuhidayat R. Dalam : buku ajar Ilmu bedah : edisi 2. Jakarta.: penerbit buku kedokteran EGC; 908-10

    2. Brunicardi FC. Hirschprung disease. Dalam : Schwartz Manual Surgery: 8th Ed. New york: MacGraw Hill. 2006;1015-017

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    20

    6. DIVERTICULUM MECKEL

    Adalah suatu keadaan terdapatnya gaster pancreas ektopik. Biasanya terletak 50-75 cm dari

    proksimal ileocaecal junction pada bagian antimesenterik intestinal. Asam atau sekresi

    pepsin dari mukosa yang ektopik dapat menyebabkan ulkus sehingga terjadi perdarahan

    yang dapat menjadi masif. Biasanya perdarahan tanpa disertai rasa sakit, timbu1 secara

    periodik dan tanpa disertai feses. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

    technitium scan (akurasi 90%). Diagnosis pasti diperoleh saat operasi.

    7. AKALASIA ESOPHAGUS

    Adalah kelainan esophagus primer yaag ditandai dengan adanya Obstruksi esofagogastrik junction dengan karakteristik bertambahnya tekanan sfingter esophagus

    bagian bawah dan tidak adanya peristaltik esophagus.

    Gangguan motilitas esophagus akibat peristaltik yang melemah dan adanya kontraksi yang menetap pada sfingter esophagus bagian bawah menyebabkan obstruksi relatif di

    mana bagian proksimal esophagus melebar (megaesofagus).

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan radiologis.

    Terutama djiumpai pada anak besar dan remaja, hanya 5 % dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun.

    Anamnesis :

    Adanya gejala klinik yang sering berupa :

    1. Disfagia :

    Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah berat. Berat

    ringannya disfagia menurut British Oesophageal Surgery dibagi menjadi 5 tingkat,

    yaitu :

    Tingkat 0 : normal.

    Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.

    Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.

    Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.

    Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.

    2. Nyeri dada : Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa nyeri biasanya di

    substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu, rahang dan lengan, timbul bila

    makan/minum dingin.

    3. Regurgitasi : Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis makanan tetapi

    juga berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin kronis, maka pada saat penderita

    berbaring sisa makanan dan saliva yang terdapat pada kantong esofagus dapat mengalir ke faring dan mulut sehingga akhirnya dapat menimbulkan aspirasi pneumonia.

    4. Kehilangan berat badan.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    21

    Pemeriksaan Radiologis :

    1. Foto thoraks polos : Bermakna bila esofagus mengalami dilatasi yang hebat. Foto AP akan tampak bayangan

    yang menonjol ke arah jantung. Pada foto lateral akan tampak adanya bayangan di

    posterior jantung. Terdapat gambaran air fluid level di dalam esofagus, tak tampak gelembung udara di daerah gaster.

    2. Esofagografi : Stadium permulaan adanya obstruksi kardia dan pelebaran minimal dari esofagus.

    Stadium lanjut adanya penyempitan pada bagian distal esofagus pada batas

    esofagogastric junction dengan pelebaran pada bagian proksimalnya. Terdapat

    gambaran menyerupai paruh burung, beak like appearance atau mouse tail appearance.

    Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan kelainan seperti striktura esofagus dan

    keganasan. Pada akalasia, esofagoskopi masih bisa dimasukkan ke dalam lambung

    dengan hambatan ringan dan dapat terlihat dilatasi esofagus, mukosa lembek agak edema, tanda-tanda esofagitis dan penutupan sfingter esofagus distal.

    3. Pemeriksaan Manometer : Setelah menelan, tekanan daerah sfingter esofagus menguat 2 kali normal akibat dilatasi

    dan retensi makanan.

    Diagnosis Banding :

    Ca cardia.

    Spasme cardia.

    Striktura esofagus dekat diafragma.

    Hipermotilitas.

    Penyakit cagas.

    Komplikasi :

    Aspirasi pneumonia.

    Perdarahan ulkus dalam mukosa.

    Perforasi akut.

    Ca esofagus.

    Ca lambung.

    Penatalaksanaan :

    1. Konservatif a. Diet cair /lunak dan hangat b. Medikamentosa Sedatif ringan untuk penenang. Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin oleh karena dapat

    menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Nifedipin diberikan 10-20

    mg sublingual dapat menurunkan tekanan esofagus bagian bawah kurang lebih 1 jam akan tampak perbaikan gejala bila diberikan sebelum makan.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    22

    2. Tindakan aktif a. Forced dilatation : dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3 macam dilatator :

    - Mekanik.

    - Pneumatik. - Hidrostatik.

    b. Tindakan bedah yaitu: operasi Heler, melakukan esofagomiotomi. Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.

    - Paralisis N. Phrenicus.

    - Refluks gastroesofagal.

    - Perdarahan masif.

    - Disfagia.

    Referensi:

    1. Sayoeti Y. Disfagia. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK Gastroenterohepatologi

    IDAI.2010 :51-68

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    23

    8. ILEUS OBSTRUKSI

    a. Definisi: gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus. Gangguan pasase isi usus ke rektum karena hambatan ekstrinsik atau intrinsik, baik pada usus kecil

    maupun pada usus besar.

    b. Dasar Diagnosis : Anamnesis :

    Adanya riwayat muntah, sakit perut, kolik, tidak ada BAB dan flatus, kembung,

    riwayat operasi usus.

    Pemeriksaan fisik :

    Distensi usus,metallik sound, darm contour, bising usus meningkat, tanda-tanda

    dehidrasi.

    Radiologis :

    Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder. Pada

    volvulus sigmoid tampak sigmoid yang distensi berbentuk U yang terbalik. Pada dugaan

    tumor kolon dapat dibuat foto barium enema.

    Diagnosis Banding :

    1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :

    Stenosis pilorus.

    Atresia atau stenosis duodenum.

    Atresia atau stenosis jejunum.

    Ileus mekonium.

    Volvulus.

    Hirschsprung.

    2. Didapat :

    Intususepsi.

    Bolus askaris.

    Terapi :

    Dekompresi dengan pipa lambung

    Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. Juga keseimbangan asam-basa.

    Koreksi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan sesuai dengan kelainan patologinya.

    Antibiotika profilaksis atau terapeutik tergantung proses patologi penyebabnya.

    Penyulit

    Bila disertai strangulasi dapat terjadi gangren usus. Cepatnya penanganan sangat

    menentukan prognosa penderita.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    24

    9. KISTA DUKTUS KOLEDOKUS

    1. Definisi : Pelebaran saluran empedu baik ekstra maupun intrahepatik.

    Penyakit ini jarang ditemukan, meskipun begitu di Asia terutama Jepang, cukup sering

    ditemukan.

    2. Etiologi : belum diketahui secara pasti karena banyak faktor yang berperan.

    3. Manifestasi Klinis:

    Klasik berupa trias : - Ikterus.

    - Nyeri perut yang hilang timbul.

    - Massa tumor pada perut kanan atas.

    4. Diagnosis :

    Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, ditemukan

    peningkatan kadar bilirubin, transaminase, alkalin fosfatase, gamma glutamil

    transpeptidase dan kadar amylase. USG mempunyai ketepatan diagnosis yang tinggi

    untuk diagnosa dini, dimana terlihat gambaran massa tumor yang berbatas tegas

    ekolusen di daerah kanan atas. Diagnosis pasti untuk untuk menentukan tipe kista

    dengan kolangiografi.

    Klasifikasi :

    Klasifikasi kista koledokus berdasarkan kelainan anatomi :

    Tipe I : Tipe kistik dan fusiform/dilatasi segmental dari duktus biliaris ekstra hepatik. Jenis ini paling sering ditemukan.

    Tipe II : Dilatasi sakulat tunggal/divertikulum dari duktus biliaris ekstra hepatik

    Tipe III : Dilatasi intraduodenal/koledokel dari duktus biliaris.

    Tipe IV A : Kombinasi dilatasi intra dan ekstra hepatik.

    Tipe IV B : Dilatasi multipel dari duktus biliaris ekstra hepatik.

    Tipe V : Dilatasi difus duktus biliaris intra hepatik (penyakit caroli).

    5. Penatalaksanaan : Penatalaksanaan dengan tindakan bedah yaitu eksisi total.

    6. Prognosis :

    Prognosis tergantung dari :

    Kerusakan hepar.

    Baik tidaknya drainase.

    Berkembang tidaknya menjadi kolestasis.

    Berulang tidaknya kista.

    Berkembang atau tidaknya menjadi ganas. Referensi:

    1. Suchy FJ. Cystic Diseases of the Biliary Tract and liver. Dalam : Behrman R, Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 16: WB Saunders company,2000;1222-3

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    25

    10. INVAGINASI

    Terjadi karena bagian usus proksimal berinvaginasi ke dalam bagian usus sebelah distalnya.

    Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki disebut intususipien.

    1. Dasar Diagnosis :

    Anamnesis :

    Nyeri perut.

    Berak berdarah dan berlendir.

    Muntah.

    Pemeriksaan Fisik : ditemukan massa berbentuk pisang pada kuadran kanan atas.

    Pemeriksaan Penunjang :

    a. Foto polos 3 posisi. Dapat memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium lanjut penyakit.

    A. Barium Enema :

    Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran pegas (coiled spring).

    Berguna untuk mereduksi usus yang tekena, merupakan pilihan pada semua bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan umum

    jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat mengakibatkan perforasi usus.

    c. USG

    Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal

    Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal

    2. Penatalaksanaan :

    Kasus gawat darurat bedah : 1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi). 2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).

    2. Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki keadaan umum

    penderita yaitu memperbaiki cairan dan elektrolit, dekompresi dengan NGT.

    Referensi:

    1. Suraatmaja S. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta : sagung seto;2005;254-6

    2. Wylie R. Adhesions, Intussuseption, and Closed-loop Obstruction. Dalam : Behrman R, Kliegman RM,

    Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 18: Saunders Elsevier,2007

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    26

    11. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

    1. Batasan : terjadinya perdarahan pada saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz.

    2. Etiologi :

    Kelainan mukosa (erosi, ulkus dan peradangan). Kelainan vaskuler (varises, hemangioma, vaskulitis). Koagulopati. Kelainan anatomi: duplikasi esofagus/gaster.

    3. Patofisiologi :

    Perdarahan kronis: anemia defisiensi Perdarahan akut/banyak: syok dengan segala akibatnya

    4. Bentuk Klinis :

    Perdarahan nyata: hematemesis/melena. Perdarahan tersamar.

    5. Langkah Diagnosis :

    a. Keadaan umum :

    Cari gangguan hemodinamik.

    Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit sampai tanda vital membaik.

    Transfusi darah bila diperlukan.

    Observasi perdarahan.

    b. Anamnesis :

    Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.

    Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : Sindrom Mallory Weiss.

    Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.

    Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.

    Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus. c. Pemeriksaan fisik yang dapat membantu.

    Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan v. porta : varises.

    Luka bakar luas, penyakit infeksi, SSP: ulkus stress.

    Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.

    Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.

    d. Endoskopi

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    27

    6. Penatalaksanaan :

    Referensi :

    1. Goustout CJ, Wang KK, Ahlquist DA. Acute gastrointestinal bleeding. Experience of a specialized

    management team. J Clin Gastroenterol 1992;14: 260-7

    Bayi 6 Bulan Anak / Bayi > 6 Bulan

    APT Test Neonatus

    Hematemesis

    / Melena

    (-) (+) Darah Ibu Bendungan Hepar/Lien (+)

    Bendungan Hepar/Lien (-)

    Singkirkan Kelainan

    Peradarahan

    Endoskopi Endoskopi

    Ba Meal Ba Meal

    Hematemesis

    / Melena Konsul Bedah

    Varises Esofagus

    Ulkus peptikum Gastritis

    Sind. Mallory

    Tatalaksana

    Hipertensi Portal

    Angiografi

    Hematobilia

    Tentukan Viabilitas

    Hepar

    Tanda

    NEC (+)

    Tanda

    NEC (-)

    BNO 3

    Posisi Serial

    Entero Test Duodenal

    Kapsul

    Tatalaksana NEC/

    Peritonitis Primer Irigasi

    Saline

    Di atas

    Lig. Treitz

    Di bawah

    Lig. Treitz

    THT/GE

    Endoskopi

    Esofagitis, Varises, Ulkus Peptikum

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    28

    12. KOLESTASIS

    1. Definisi Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi dalam

    3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian

    komponen bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin total. Atau kadar bilirubin direk >

    1 mg/dL jika kadar bilirubin total 5 mg/ dL.

    2. Insiden.

    Kolestasis pada bayi terjadi pada 1 : 2500 kelahiran hidup

    Berdasarkan etiologinya : - hepatitis neonatal 1 : 5000 kelahiran hidup

    - atresia bilier 1 : 10.000 kelahiran hidup

    - defisiensi 1 antitripsin 1 : 20.000 3. Etiologi

    Berdasarkan etiologinya, kolestasis diklasifikasikan menjadi :

    I. Kelainan Ekstrahepatik a. Atresia bilier b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier c. Perforasi spontan duktus bilier d. Massa (neoplasma, batu) e. Inspissated bile syndrome

    II. Kelainan Intrahepatik A. Idiopatik

    1. Hepatitis neonatal idiopatik 2. Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain:

    a. Displasia arteriohepatik (sindroma alagille) b. Sindroma Zellweger (sindroma serebrohepatorenal) c. Intrahepatic bile duct poucity

    B. Anatomik

    1. Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil

    2. Penyakit coroli (pelebaran kista pada duktus intrahepatik)

    C. Kelainan Metabolisme

    1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat dan asam empedu

    2. Kelainan metabolik tidak khas : defisiensi 1 antitripsin, dll

    D. Hepatitis

    1. Infeksi, antara lain TORCH, virus Hepatitis B, Reovirus tipe e, dll

    2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan endotoksemia

    E. Genetik atau kromosomal trisomi E, sindrom down, sindrom donahue

    F. Lain-lain : obstruksi intestinal, histiosis X, sindroma polispenia

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    29

    4. Patogenesis

    Kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya kolestasis

    pada hepatosit, misalnya akibat kerja estradiol yang menurunkan aliran garam empedu

    pada membran hepatosit, misalnya pada defisiensi Na-K-ATPase yang berfungsi sebagai pompa natrium

    pada permukaan membran yang mengarah ke dalam saluran empedu, misalnya pemberian obat seperti klorpromazin, karena mengganggu fungsi mikrofilamen

    hingga penetrasi garam empedu ke membran terganggu

    Gangguan pada saluran empedu yang terjadi didalam hari (intrahepatik) atau di luar hati (ekstrahepatik)

    5. Diagnosis :

    Manifestasi Klinis :

    Anamnesis : saat timbulnya ikterus, lama ikterus, warna tinja, perdarahan,

    riwayat keluarga, riwayat kehamilan dan kelahiran.

    Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali dan

    tanda perdarahan.

    Alagille mengemukakan 4 kriteria klinis yang terpenting untuk membedakan kolestasis

    intrahepatik dan ekstrahepatik. Sedangkan Meyer menambahkan 1 kriteria gambaran

    histopatologik hati.

    Kriteria klinis menurut Alagille meliputi :

    No. Data Klinis Kolestasis

    Ekstrahepatik

    Kolestasis

    Intrahepatik P

    1.

    2.

    3.

    4.

    Warna tinja selama dirawat : - Pucat

    - Kuning

    Berat badan lahir (gram)

    Usia tinja akolik (hari)

    Gambaran klinis hati - Hati normal

    - Hepatomegali

    Konsistensi normal Konsistensi padat Konsistensi keras

    79%

    21%

    3,226 + 45

    16 + 1,5

    13%

    12% 63%

    24%

    26%

    75%

    2,678 + 55

    30 + 2

    47%

    35% 47%

    6%

    *

    *

    *

    *

    5. Biopsi hati ** - Fibrosis porta

    - Proliferasi duktural

    - Thrombus empedu intraportal

    94%

    86%

    63%

    47%

    30%

    1%

    * Kemaknaan

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    30

    6. Pemeriksaan Penunjang :

    1. Laboratorium :

    a. Rutin

    Darah lengkap,gambaran hapusan darah tepi.

    Biokimia darah: uji fungsi hati SGOT, SGPT, gamma GT, alkali fosfatase, waktu protrombin dan tromboplastin, ureum, kreatinine, elektroforesis

    protein, albumin, globulin, kolesterol, trigliserida,gula darah puasa,asam

    empedu,

    Urin : (lekosit,bilirubin, urobilinogen,reduksi) dan kultur urin

    Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.00-06.00) dan adanya empedu dalam tinja.

    Pemeriksaan etiologi infeksi: TORCH(toksoplasma, rubella, CMV, herpes simpleks), dan hepatitis virus B/C.

    b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan menggunakan sonde (Levine tube).

    2. Pencitraan :

    a. Ultrasonografi hepar

    akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada dua fase yaitu pada keadaan puasa(

    4-6 jam) dan sesudah minum ( sampai 60 menit) . Apabila pada saat atau sesudah

    minum kandung empedu tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar

    (90%) diagnosis atresia bilier dapat ditegakkan.

    b. Scintigrafi hepar

    Pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal, tetapi dalam waktu waktu >

    6 jam tidak ditemukan eksresi ke usus. Untuk meningkatkan sensitivitasnya

    dilakukan perhitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung) bila

    pada menit ke 1o indeks < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.

    Teknik scintigrafi dapat digabungkan dengan pemeriksaan DAT dengan akurasi

    98,4%

    c. Kolangiografi Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif

    dengan anestesi lokal. Bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh

    dengan anestesi umum.

    3. Biopsi hepar Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi

    Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal

    Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus yang disertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul yang

    kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus

    ringan.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    31

    Pausity : tidak / atau kurang terbentuknya duktus intrahepatik. Non sindromik jiak berdiri sendiri, sindromik jika disertai kelainan klinis yang lain, misalnya

    sindroma alagill, sindroma down.

    Terapi

    Terapi etiologi: o Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang dapat

    diketahui penyebabnya

    o Operasi untuk kolestasis ekstrahepatik

    Terapi suportif: o Stimulasi aliran empedu : asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg

    dalam 2-3 dosis.

    o Nutrisi diberikan untuk menunjang pertumbuhan optimal( kebutuhan kalori umunya dapat mencapai 130-150 % kebutuhan

    bayi normal) dan mengandung lemak rantai sedang(medium

    chain trigliseride-MCT).

    o Vitamin yang larut dalam lemak Vit. A : 5000-25.000 IU Vit. D : calcitriol 0,05-0,2 g/kg/hr Vit. E : 25-200 IU/kg/hr Vit. K1: 2,5-5 mg, 2-7 kali/minggu

    o Mineral dan trace elemen : Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe

    Terapi komplikasi lain, misalnya: o Hiperlipidemia/ xantelasma : obat HMG-coa reductase inhibitor,

    cth; kolestipol, simvastatin

    o Pruritus : salah satu dibawah: Antihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hr, hidroksisin

    2-5 mg/kg/hr.

    Rifampisin 10 mg/kg/hari Kolestiramin 0,25- 0,5 g/kg/hr

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    32

    Referensi :

    1. Lefkowich JH. Cholestasis in Hepatobiliary Disease: A practical Guide to Diagnosis. Columbia University. 2008;1-10

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    33

    13. KOLITIS ULSERATIF

    1. Defenisi :

    Reaksi radang difus yang ditandai oleh infiltrat neutrofil dengan abses kripta yang mengenai

    usus besar bagian distal yang dapat meluas ke proksimal sepanjang kolon dengan panjang

    bervariasi.

    2. Etiologi : idiopatik.

    3. Diagnosis :

    Manifestasi klinis : - Diare kronik dengan darah segar. - Tidak dapat menahan defekasi.

    - Tenesmus dan kejang (kram) pada perut bagian bawah

    terutama sesaat sebelum defekasi.

    Mikrobiologi.

    Serologi.

    Kolonoskopi.

    Biopsi.

    3. Penatalaksanaan :

    Hidrokostison enema 100 mg pada waktu tidur selama 6 minggu.

    Prednison oral 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-4 bulan, dosis penuh dibarikan selama 6 minggu kemudian diturunkan 5 mg/hari setiap minggu.

    Pada kasus gawat darurat dapat dilakukan kolektomi.

    Referensi :

    1. Prasetyo D. Inflammatory Bowel Diseases. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK

    Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :232-244

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    34

    14. CROHN DISEASE

    Definisi : Suatu penyakit kronis,transmural, proses peradangan yang dapat mengenai setiap

    segmen dari traktus intestinalis dari mulai mulut sampai anus,biasanya bersifat tidak secara

    kontinu (diskontinu). Sebagian besar(90%) mengenai usus kecil terutama ileum distal (70%)

    dan > 50% mengenai ileum dan kolon( ileokolitis).

    Prevalensi : kebanyakan dari kasus pediatri dijumpai pada usia antara 10-19 tahun, lebih

    jarang pada bayi dan anak kecil.

    Etiologi : sebagaimana halnya dengan kolitis ulseratif,etiologi penyakit crohn tidak

    diketahui. Kecendrungan pengelompokan penyakit Crohn dari segi keluarga, ras, dan etnis

    menyokong konsep dari predisposisi genetik.

    Gejala klinis : pada anak klinis sebagian besar tergantung dari lokasi dan luas peradangan.

    Pada kebanyakan kasus manifestasi penyakit Crohn tidak spesifik.

    Gambaran klinis yang umum dijumpai antara lain:

    1. Diare 88% 2. Nyeri abdomen 82% 3. Panas 77% 4. Berat badan turun 60% 5. Gagal tumbuh 30% 6. Artritis 23% 7. Perdarahan rektal 22% 8. Masa abdomen 10%

    Terdapat pula defisiensi besi, folat dan vitamin B12 terutama bila yang terkena ileum

    terminalis.

    Diagnosis penyakit Crohn meliputi pemeriksaan:

    a) Laboratorium a. LED meningkat b. Hematokrit berkurang c. Leukositosis d. Defisiensi besi e. Defisiensi folat

    b) Radiologi a. Barium follow through b. USG/ CT scan abdomen: bila teraba masa abdomen,nyeri fokal yang kontinu

    c) Endoskopi : kolonoskopi dengan biopsi multipel dari kolon dan ileum terminalis merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik. Adanya ulserasi yang nyata pada

    mukosa dengan eksudat disekelilingnya. Bila berat, terlihat gambaran batu kerikil (

    cobble stone)

    d) Histologi : fibrosis, infiltrasi sel MN dan infiltrasi sel plasma, granuloma, distorsi arsitektur termasuk percabangan dan atrofi kripta.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    35

    Penatalaksanaan :

    1. Saat ini belum ada pengobatan yang efektif. Pendekatan yang cermat meliputi pendidikan penderita, penanganan ahli yang terdiri dari dokter anak, ahli

    gastroenterologi, ahli gizi, psikiatri atau psikologi.

    2. Pada eksaserbasi akut: metilprednisolon atau prednison 1,2 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Kurangi sampai 1 mg/kg BB/hari setiap hari, kemudian setiap hari yang lain(

    every otherday) untuk 4-6 minggu tergantung dari respon klinis, bila remisi tercapai,

    kurangi sampai berhenti.

    3. Remisi /gejala yang tidak berat: a. Sulffasalazine 50-75 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis(maks. 3-4 gr/ hari) disertai

    suplemen folat 1mg, 4 kali/hari

    b. 5-aminosalisilat 30-50 mg/kg/hari 4. Penyakit yang refrakter : Azatioprin 1,5 mg/kg/hari, 6- merkaptopurin 1-1,5

    mg/kg/hari.

    5. Tindakan bedah dilakukan bila ada komplikasi ( adhesi, striktur, abses, fistula).

    Referensi :

    1. Prasetyo D. Inflammatory Bowel Diseases. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK

    Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :217-232

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    36

    15. HIPERTROFI STENOSIS PILORUS

    1. Definisi :

    Hipertrofi dari otot sirkuler pilorus yang menyebabkan obstruksi pintu keluar lambung.

    2. Dasar Diagnosis :

    Anamnesis :

    Muntah proyektil tidak mengandung empedu (paling sering muncul pada minggu ke 3-6).

    Muntah terjadi segera sesudah anak kenyang.

    Konstipasi.

    BB tidak naik diikuti BB menurun.

    Dehidrasi.

    Jaundice.

    Pemeriksaan fisik : a. Tampak gerakan peristaltik lambung.

    b. Teraba massa (hipertrofi otot pilorus) di perut kanan atas.

    Pemeriksaan penunjang :

    a. Foto polos abdomen:

    Penyempitan lumen pilorus (string sign).

    Tampak bayangan lambung sangat besar dan berisi udara.

    b. USG : Akurasi 95%. Target sign adalah gambaran khas penebalan mukosa pilorus pada stenosis pilorus lebih dari 14 mm.

    c. Laboratorium :

    Alkalosis metabolik.

    Hipokalemia.

    Hiponatremia

    3. Penatalaksanaan :

    a. Operatif

    Teknik operasi Fredet-Ramstedt (piloromiotomi). b. Non operatif

    Diberikan makanan kental dalam porsi sedikit tetapi sering.

    Penderita ditaruh dalam posisi setengah duduk selama 1 jam setelah makan.

    Obat Metoklorpramid 0,15-0,3 mg/kgBB/kali 4 kali sehari.

    4. Prognosis :

    Prognosis baik bila dilakukan tindakan operatif.

    Pada tindakan non operatif angka kematian meningkat dan apabila penderita dapat hidup akan terjadi kurang gizi.

    Referensi :

    1. Pardede N, Ismail R, Nasir M, Halimun EM. Kelainan lambung. Dalam : Suharyono, BoediarsoA, Halimun EM, penyunting. Gastroenterologi anak praktis. Jakarta : Balai penerbit FKUI. 1998;118-19

    2. Jong W, Sjamsuhidayat R. Lambung dan duodenum. Dalam : Buku ajar ilmu bedah ,edisi revisi. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC,1997;734-6

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    37

    16. KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN

    Diagnosis keracunan makanan / minuman biasanya ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan jenis racunnya sendiri.

    Dari anamnesis dicurigai kasus keracunan makanan/minuman apabila terdapat 1 orang atau

    lebih yang menunjukkan gejala keracunan yang sama setelah mengkonsumsi

    makanan/minuman yang sama atau bila pihak keluarga penderita mengkaitkan kasusnya

    dengan kecurigaan keracunan makanan.

    Spesimen yang harus disimpan / diselamatkan dalam kasus keracunan makanan/minuman

    adalah :

    - Bahan makanan yang dicurigai penyebab racun.

    - Muntahan penderita.

    - Feses penderita.

    Dari lamanya terjadi keracunan setelah penderita mengkonsumsi makanan/minuman

    tersebut, secara garis besar dapat dibedakan penyebabnya :

    1. Bahan kimia : < 1 jam. 2. Eksotoksin dari kuman : < 8 jam. 3. Endotoksin dari kuman : > 8 jam. 4. Kuman tersebut : > 24 jam.

    Prinsip pengobatan keracunan secara umum adalah :

    1. Menentukan secepat mungkin penyebab keracunan dengan pemeriksaan klinis, laboratorium toksikologis, kecepatan mendapatkan contoh darah, urin, feses, muntahan

    penderita serta bahan makanan/minuman yang dicurigai menjadi penyebab keracunan.

    2. Mengeluarkan racun dari lambung, dengan cara membuat penderita muntah atau tindakan bilas lambung.

    3. Pemberian antidotum yang sesuai. 4. Pengobatan simptomatik dan suportif.

    Yang terpenting di antara keempat prinsip tersebut adalah pemberian antidotum, tetapi bila

    antidotum tidak tersedia maka pengobatan simptomatik dan suportif memegang peranan

    penting.

    a. Keracunan Jamur Antidotum yang diberikan adalah antimuskarinik berupa Atropin dengan dosis 1-2 mg

    dapat diberikan setiap 30 menit secara subkutan sampai gejala menghilang atau terjadi

    gejala atropinisasi.

    b. Keracunan Singkong Diberikan antidotum Natrium tiosulfat 30% sebanyak 30cc, secara IV perlahan-lahan.

    Mula-mula diberikan diberikan 10cc IV, kemudian anak dicubit untuk mengetahui

    apakah kesadarannya telah pulih, bila belum sadar dapat diberikan 10 cc lagi sampai

    dosis maksimal. Bila terjadi sianosis dapat diberikan oksigen.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    38

    17. NYERI PERUT BERULANG

    1. Definisi : Serangan sakit perut yang timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan dan mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.

    2. Etiologi :

    Sakit perut berulang dapat dibagi menjadi fungsional dan organik.

    1). Sakit perut organik non bedah :

    a. Traktus gastrointestinalis dan mesenterium.

    1. Kolik.

    2. Ulkus peptikum.

    3. Zollinger-Ellison Syndrome.

    4. Gastritis.

    5. Adenitis Mesenterika.

    6. Konstipasi.

    b. Traktus Urinarius.

    1. Penyakit pada traktus urinarius.

    2. Henoch-Scholein Purpura.

    c. Hepar dan kandung Empedu.

    1. Hepatitis.

    2. Perihepatitis.

    3. Kolesistitis.

    4. Kolelitiasis.

    d. Lien. - Pembesaran lien congestive.

    e. Pankreas.

    - Pankreatitis.

    2). Sakit perut organik bedah :

    a. Traktus gastrointestinalis.

    1.. Intestinal Malrotasi.

    2. Divertikulum Meckel. 3. Obstruksi intestinal parsial

    4. Kista mesenterika

    b. Traktus Urinarius.

    - Calculus Renal.

    c. Tumor Hepar.

    3) Sakit perut fungsional

    1. Dispepsia 2. Nyeri perut fungsional 3. Migrain abdominal 4. IBS (irritable bowel syndrome)

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    39

    3. Patogenesis :

    Mekanisme timbulnya sakit perut organik :

    1. Gangguan vascular.

    2. Peradangan.

    3. Obstruksi organ berongga di ruang peritoneum atau retroperitoneum.

    4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis.

    4. Gambaran Klinis :

    Pada bayi dan anak, manifestasi klinis sakit perut bergantung pada umur penderita.

    Umur 0-3 bulan : umumnya digambarkan dengan adanya muntah.

    Umur 3 bulan-2 tahun : muntah tiba-tiba, menjerit, menangis tanpa adanya trauma yang dapat menerangkan terjadinya gejala.

    Umur 2-5 tahun : sudah dapat menyatakan sakit tetapi lokalisasinya belum tepat.

    Umur > 5 tahun : dapat menerangkan sifat dan lokasi yang dirasakan sakit.

    5. Diagnosis dan Penatalaksanan :

    a. Anamnesis : Timbulnya rasa sakit. Onset dan lamanya sakit. Kwalitas dan berat ringannya. Lokalisasi sakit perut. Demam. Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan sakit perut. Ciri-ciri dari muntah atau diare. Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna feses. Faktor- factor yang memperingan dan memperberat sakit perut. Terapi yang sudah diberikan. Riwayat trauma. Riwayat pernah dirawat sebelumnya.

    b. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus lengkap dengan titik

    berat pada abdomen.

    Pengamatan. Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor normal, sirkulasi normal. Tanda vital : temperature harus diperhatikan. Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada kepala, mata, telinga,

    hidung, tenggorokan, seperti faringitis, OMA, dll.

    Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi respirasi. Abdomen :

    - Pengamatan bentuk perut. - Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atau - Sesudah rangsangan tangan (palpasi).

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    40

    - Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut meningkat atau menurun sampai negatif.

    - Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding abdomen yang kaku, defence musculare, nyeri tekan, nyeri lepas.

    - Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan adanya hernia strangulata, hernia inguinalis yang menyebabkan obstruksi dan peritonitis.

    Rektum : Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas sfingter internal atau

    eksternal, adanya massa feces, warna, konsistensi, darah.

    Sistem Genitourinaria : Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge, peradangan nyeri pada

    anak remaja periksa daerah pelvis, evaluasi adanya trauma, infeksi peradangan,

    besarnya uterus, dan massa.

    c. Pemeriksaan laboratorium :

    Pemeriksaan rutin darah, urin, tinja perlu dilakukan. Jika ada kelainan dilanjutkan

    dengan pemeriksaan khusus : WBC dengan hitung jenis, sedimen urine, urinalisis, kultur urin / tinja.

    d. Ada obstruksi intestinal : foto polos abdomen.

    e. Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium meal, barium enema, endoskopi, USG.

    6. Penanganan :

    Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan bedah atau tidak. Bila tidak

    ditemukan kedaruratan perut, penyebab sakit perut harus dicari dan diberi pengobatan

    yang sesuai.

    Referensi :

    1. Boediarso A. Sakit perut berulang. Dalam : Naskah lengkap simposium nasional badan koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Dalam : Munyi R, Abimanyu, Sofyan L, penyunting. Banjarnasin

    .2000;59-70

    2. Thiessen PN. Recurrent Abdominal Pain. Pediatrics in Review.2002;23;39-46

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    41

    18. KOLESISTITIS

    1. Definisi :

    Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu yang dapat akut atau kronik.

    2. Etiologi :

    a. Kolesistitis akut :

    - Stasis garam empedu : Obstruksi (batu empedu, nodus limfatikus, tumor), kelaparan dan imobilisasi.

    - Inflamasi : garam empedu, lysolecitin, bakteri. - Iskemi : torsi, penyakit vaskuler.

    b. Kolesistitis kronik : obstruksi berulang dan inflamasi.

    3. Gejala Klinis :

    a. Nyeri abdomen. b. Kwadran kanan atas. c. Epigastrium. d. Menyebar ke belakang, bahu. e. Mual. f. Intoleran makanan lemak.

    Tanda :

    a. Abdomen tegang. b. Kuning. c. Demam. d. Teraba massa.

    4. Diagnosis :

    a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. b. Laboratorium :

    Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis. Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.

    c. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk mendeteksi ada atau tidaknya batu empedu radio opak.

    d. USG : Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan diagnosis. Gambaran USG dari kolesistitis akut :

    - Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm. - Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah bebas gema diantara lapis

    luar dengan lapisan dalam, sehingga terlihat tanda dinding yang rangkap atau

    disebut Double Rim Sign. Hal ini disebabkan karna adanya edema di dinding

    kandung empedu.

    - Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri pada saat transduser sedikit di tekan diatas daerah kandung empedu.

    - Terdapat pembesaran kandung empedu.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    42

    - Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari penyebabnya. - Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang akan terlihat sebagai

    suatu massa padat berdensitas gema meninggi, disertai bayangan akustik.

    Pada perubahan posisi massa tersebut akan ikut bergerak.

    5. Diagnosis Banding :

    a. Apendisitis akuta. b. Pankretitis akuta. c. Komplikasi dari tukak peptik (perforasi). d. Obstruksi Intestinal.

    6. Pengobatan :

    a. Pengobatan kolesistitis termasuk hospitalisasi, hidrasi dengan cairan IV, koreksi abnormalitas elektrolit dan penghentian makanan oral.

    b. Medikasi (misalnya Meperidine hidroklorida) harus diberikan untuk mengurangi nyeri.

    c. Antibiotika, termasuk ampisilin dan gentamisin digunakan untuk mengobati kolesistitis akut karena mereka diekskresikan dalam empedu atau melindungi organ

    enteric secara adekuat. Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dapat digunakan

    sebagai alternatif.

    d. Kolesistektomi laparoskopik adalah pengobatan pilihan untuk manajemen kolesistitis akut tanpa komplikasi.

    Indikasi utama untuk pembedahan :

    1. Ketidakpastian mengenai diagnosis ditambah dengan iritasi peritoneal perut bagian

    atas yang jelas

    2. Kegagalan terhadap pengobatan non operatif :

    Demam terus menerus lewat 24 jam. Tanda-tanda iritasi peritoneal yang tak berubah atau semakin lanjut. Perkembangan atau pembesaran massa yang progesif. Perkembangan peritonitis umum.

    7. Komplikasi :

    Perforasi.

    Peritonitis empedu.

    Obstruksi bilier.

    Sirosis bilier.

    Kanker kandung empedu.

    8. Prognosis :

    Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan kronik < 2 %.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    43

    19. PERITONITIS TUBERKULOSA

    Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai yaitu sekitar 1-5% dari

    kasus TB anak.

    1. Etiologi : Mycobacterium tuberkulosa.

    2. Patogenesis :

    Peritonitis TB didahului oleh infeksi M. tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ di luar paru termasuk di peritoneum.

    Cara lain adalah dengan penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus.

    3. Gejala Klinis :

    Gejala umum TB pada anak.

    Di temukan massa intraabdomen, adanya asites, kadang-kadang ditemukan fenomena

    papan catur yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi

    perabaan lunak.

    Pemerikasaan Penunjang :

    Pemeriksaan TB pada umumnya.

    Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa omentum dan asites.

    Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.

    Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi peritonium.

    4. Pentalaksanaan :

    Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan,

    Pirazinamid selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2 mg/kg BB selama 1-

    2 minggu pertama.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    44

    20. KONSTIPASI

    Batasan konstipasi :

    1. Frekuensi < 3x/minggu

    2. Konsistensi keras

    3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar 1 x / 7 - 30 hari, perut kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum

    Berdasarkan Kriteria ROMA III (2006) :

    Constipation 1. Konstipasi fungsional Kriteria diagnosis untuk functional constipation :

    Harus memenuhi 2 atau lebih dari kriteria berikut pada anak minimal umur 4 tahun

    yang tidak memenuhi kriteria yang cukup untuk IBS, dialami minimal 1 kali

    seminggu selama setidaknya 2 bulan sebelum diagnosis ditegakkan :

    Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang

    Mengalami setidaknya 1 kali inkontinensia feses per minggu

    Riwayat retensi feses

    Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras

    Terdapat massa feses yang besar di rektum

    Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat menyumbat toilet.

    Berdasarkan waktu :

    1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu

    2. Konstipasi kronik : > 1 bulan

    Etiologi:

    Hampir 90-95% penyebab konstipasi tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat fungsional.

    Hanya 5-10% yang mempunyai penyebab organik, diantaranya Hirschprungs disease,

    cyctic fibrosis, fisiologi anorektal yang abnormal, dan fisura ani. Penyebab non organik

    diantaranya adalah obat-obatan, kondisi metabolik karena dehidrasi, diet kurang serat, dan

    penyakit malabsorpsi

    Patofisiologi:

    Konstipasi fungsional diduga berhubungan dengan masalah fungsi usus, termasuk kontrol

    hormonal, syaraf, masalah otot-otot pada kolon, rektum atau anus. Konstipasi fungsional

    sering disebabkan kebiasaan defekasi dan diet yang buruk. Kebiasaan defekasi yang tidak

    teratur, akibat penghambatan refleks defekasi normal. Psikosomatik juga dapat

    menyebabkan konstipasi. Terjadi pada usia 2 tahun Psikosomatik juga dapat menyebabkan

    konstipasi.

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    45

    Diagnosis

    Anamnesis Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau

    kronik), frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan

    defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai kebiasaan

    makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk menanyakan umur

    saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar bersifat

    fungsional.

    Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.

    Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot sfingter ani dan

    mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan adanya kelainan

    anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.

    Pemeriksaan penunjang :

    Jarang di lakukan Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya

    anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid) atau

    uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin dan kultur

    urine juga dilakukan terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih akibat konstipasi

    kronis.

    Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi

    yaitu foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum,

    dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat dillakukan tes untuk

    menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi. Pemeriksaan

    ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk mencari penyebab organik

    lain yang memberikan gejala konstipasi. Foto tulang belakang daerah lumbosakral dan

    Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil pemeriksaan neurologi

    ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.

    Penatalaksanaan Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan

    kepribadian anak.

    Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus diobati

    terlebih dahulu.

    Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan tehnik

    edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,

    pengaturan diet, dan pemberian laksansia).

    Komplikasi

    Komplikasi yang sering terjadi antara lain nyeri anus, nyeri abdomen, fisura ani,

    enkopresis, enuresis, infeksi saluran kemih, obstruksi ureter, prolaps rectum, ulkus soliter,

    sindrom stasis (bakteri overgrowth, fermentasi karbohidrat, maldigesti, dekonyugasi asam

    empedu, steatorea).

  • Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH

    46

    Prognosis

    Pada anak di bawah usia 5 tahun dengan konstipasi kronis, sebanyak 50% sembuh

    dalam 1 tahun dan 65-75% sembuh dalam 2 tahun dengan pemakaian laksansia bertahun-

    tahun. Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari penyebabnya. Sekitar

    80% anak dengan konstipasi fungsional biasanya berhasil diobati dalam 5 tahun.

    Referensi :

    1. Firmansyah A. Konstipasi pada Anak. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK

    Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :201-213

    2. Hyman PE dkk. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler.Gastroenterology 2006;130:1519-26.

    3. Rasquin dkk. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Child/Adolescent. Gastroenterology 2006;130:1527-37.