9621369 ijtihad-politik-perempuan

18
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN: TRANSFORMASI PERAN MAJELIS TAKLIM DALAM KONSTELASI POLITIK LOKAL 1 Khaerul Umam Noer 2 Abstrak Sebagai sebuah organisasi yang seringkali tidak resmi, majelis taklim perempuan tidak mendapat perhatian serius dalam berbagai kajian, bahkan dalam kajian perempuan sekalipun. Hal ini tentu saja merupakan gambaran betapa terpinggirkannya majelis taklim perempuan, baik dalam peran maupun posisi majelis taklim itu sendiri. Tulisan ini mencoba melihat adanya perubahan peran yang signifikan dari majelis taklim perempuan, dan elite agama perempuan, terutama pergeseran peran dalam dunia politik. Mengambil latar di Kabupaten dan Kota Bekasi, penelitian mengenai majelis taklim perempuan memberikan gambaran yang lebih nyata, betapa majelis taklim tidak dapat melepaskan diri dari hingar-bingar dunia politik. Adanya basis massa yang jelas, di mana setengah dari penduduk Bekasi adalah perempuan adalah sebuah keuntungan tersendiri bagi majelis taklim. Adalah satu fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa perempuan, terutama yang ‘berprofesi’ sebagai ibu rumah tangga, 1 Disampaikan dalam 1 st International Conference on Gender and Politics, Pusat Studi Wanita dan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 23-24 Januari 2009. 2 Penulis adalah Koordinator Kajian Sejarah dan Sosial, Social Research Center Nuruttaqwa Foundation Bekasi. Anda dapat melihat langsung website penulis di http://www.umamnoer.co.cc. Sebagian bahan tulisan ini adalah riset pribadi penulis dalam rangka mendapatkan gelar master ilmu sosial di Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya. IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN: Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 1

Transcript of 9621369 ijtihad-politik-perempuan

Page 1: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN: TRANSFORMASI PERAN MAJELIS TAKLIM DALAM KONSTELASI POLITIK LOKAL1

Khaerul Umam Noer2

Abstrak

Sebagai sebuah organisasi yang seringkali tidak resmi, majelis taklim perempuan tidak mendapat perhatian serius dalam berbagai kajian, bahkan dalam kajian perempuan sekalipun. Hal ini tentu saja merupakan gambaran betapa terpinggirkannya majelis taklim perempuan, baik dalam peran maupun posisi majelis taklim itu sendiri. Tulisan ini mencoba melihat adanya perubahan peran yang signifikan dari majelis taklim perempuan, dan elite agama perempuan, terutama pergeseran peran dalam dunia politik. Mengambil latar di Kabupaten dan Kota Bekasi, penelitian mengenai majelis taklim perempuan memberikan gambaran yang lebih nyata, betapa majelis taklim tidak dapat melepaskan diri dari hingar-bingar dunia politik. Adanya basis massa yang jelas, di mana setengah dari penduduk Bekasi adalah perempuan adalah sebuah keuntungan tersendiri bagi majelis taklim. Adalah satu fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa perempuan, terutama yang ‘berprofesi’ sebagai ibu rumah tangga, adalah anggota terbesar dari majelis taklim, dan hal ini membuat majelis taklim memiliki posisi tawar yang tinggi dalam konstelasi politik lokal di Bekasi. Perebutan dukungan di kalangan majelis taklim justru menjadikan majelis taklim sekaligus elite agama perempuan yang berkecimpung di dalamnya seakan menjadi rebutan banyak pihak. Baik partai politik maupun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah misalnya, selalu menjadikan elite agama perempuan dan majelis taklim sebagai target kampanye sekaligus partner yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Adanya perubahan peran majelis taklim, dari hanya sebuah ajang untuk menuntut ilmu agama dan tidak berpolitik, hingga mengalami transformasi dengan terlibatnya majelis taklim di dunia politik memperlihatkan fakta dinamis majelis taklim perempuan. Tidak lah mengherankan, jika ijtihad politik perempuan justru bergema dari balik tembok pengajian dan perlahan mengubah peta politik lokal di Bekasi selamanya.

Kata kunci: majelis taklim, elite agama perempuan, Bekasi, politik lokal

1 Disampaikan dalam 1st International Conference on Gender and Politics, Pusat Studi Wanita dan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 23-24 Januari 2009.

2 Penulis adalah Koordinator Kajian Sejarah dan Sosial, Social Research Center Nuruttaqwa Foundation Bekasi. Anda dapat melihat langsung website penulis di http://www.umamnoer.co.cc. Sebagian bahan tulisan ini adalah riset pribadi penulis dalam rangka mendapatkan gelar master ilmu sosial di Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya.

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 1

Page 2: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

Senandung wirid dari balik tembok pengajian, pendahuluan

Ingatkah anda pada pemilihan gubernur di Jawa Timur, di mana pasangan

Soekarwo-Saifullah Yusuf (KARSA) dimenangkan oleh KPU dengan selisih 60.223 suara

dari pasangan Khofifah-Mudjiono (KAJI)? Meskipun keputusan MK memerintahkan

penghitungan ulang di Pamekasan dan pencoblosan ulang di Bangkalan dan Sampang. Satu

hal yang sering terlupakan, suara luar biasa yang di dapat oleh Khofifah tidak terlepas dari

posisinya sebagai pimpinan Muslimat NU, sebuah organisasi massa keagamaan dengan

latar belakang khusus: majelis taklim. Kemenangan Khofifah yang mengalahkan dengan

telak pasangan Sunaryo-Ali Maschan (SALAM), meskipun sama-sama mengklaim

didukung oleh NU, membuka perhatian yang lebih pada majelis taklim, atau secara lebih

spesifik majelis taklim perempuan. Makalah ini tidak berbicara dalam konteks Jawa Timur,

namun memfokuskan dalam konteks Jawa Barat.

Majelis taklim, merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang bersifat non-

formal, terbuka bagi semua orang tanpa memperhatikan gender, usia, status, maupun

kedudukan di masyarakat. Majelis taklim didefinisikan sebagai “lembaga atau organisasi

sebagai wadah pengajian” dan “sidang pengajian” atau “tempat pengajian” (KBBI,

2005:699). Majelis taklim dapat didefinisikan sebagai tempat untuk melaksanakan

pengajaran atau pengajian agama Islam. Majelis taklim pada dasarnya berfungsi sebagai

lembaga pendidikan nonformal yang memiliki kedudukan penting di masyarakat (Weix

1999). Sekurangnya terdapat empat fungsi penting majelis taklim, yaitu: (1) sebagai wadah

untuk membina dan mengembangkan kehidupan beragama di masyarakat dan bertujuan

untuk membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah, (2) sebagai wahana wisata

rohani, (3) sebagai wadah silaturrahmi, dan (4) sebagai medium penyampaian gagasan yang

bermanfaat bagi pembangunan ummat dan bangsa (Ensiklopedi Islam, 1994 3:120). Tidak

hanya sebatas berfungsi untuk pengajaran agama Islam, majelis taklim pun menggunakan

metode pengajaran yang tidak berbeda dengan dilakukan dalam lembaga pendidikan Islam

formal seperti pondok pesantren. Majelis taklim banyak mempergunakan metode

pengajaran berupa ceramah maupun halaqah, yakni membacakan suatu kitab sekaligus

menterjemahkan dan menjelaskan makna kitab tersebut.

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 2

Page 3: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

Majelis taklim pada dasarnya tidak lah ditujukan bagi jenis kelamin tertentu

(Ensiklopedi Islam 1994 3:120), hanya saja, terutama di Bekasi, majelis taklim terbagi

dalam dua kategori: majelis taklim laki-laki dan majelis taklim perempuan. Berbeda dengan

majelis taklim yang berkembang secara umum, majelis taklim laki-laki dan perempuan

terpisah secara struktur organisasi maupun pengajaran. Majelis taklim yang semula dapat

dipergunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk mempelajari agama lambat-laun

mengalami perubahan dengan adanya pemisahan antara majelis taklim laki-laki dan majelis

taklim perempuan.3 Dengan adanya pemisahan tersebut, hal ini membawa satu konsekuensi

yang lebih mendasar: adanya pembedaan pada pengajar dan tema yang diajarkan. Meskipun

demikian, baik majelis taklim laki-laki maupun majelis taklim perempuan pada dasarnya

berbagi kesamaan yang khusus: keduanya bertujuan untuk mengajarkan sekaligus

menyebarluaskan ajaran agama Islam di masyarakat.

Majelis taklim perempuan dan kebangkitan elite agama perempuan

Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan yang berarti antara majelis taklim

perempuan di Jawa Timur dengan yang terdapat di Jawa Barat. Keduanya beranggotakan

perempuan, mengajarkan ajaran agama Islam, dan keduanya sama-sama merupakan semi

organisasi dengan basis massa yang luar biasa. Perbedaan yang mungkin paling terlihat

adalah tenaga pengajar di majelis taklim tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa

hampir semua majelis taklim perempuan yang ada di Kabupaten Bekasi menggunakan

tenaga pengajar perempuan atau para ustazah. Sedangkan kiai atau ustaz lebih banyak

digunakan dalam majelis taklim laki-laki, meskipun tidak menutup kemungkinan para kiai

dan ustaz mengajar di majelis taklim perempuan meskipun sangat sedikit.4

3 Keberadaan majelis taklim perempuan barangkali membawa agenda lain dalam tujuannya, yakni membawa diskursus ajaran agama Islam yang selama ini berada di ruang privat ke ruang publik yang lebih terbuka bagi siapa saja, termasuk perempuan (lihat Arimbi 2004).

4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kiai memiliki arti sebagai “sebutan bagi alim ulama” atau “cerdik pandai di agama Islam” (KBBI, 2005:565), sedangkan istilah ulama sendiri diterjemahkan sebagai “orang yang ahli di hal atau di pengetahuan agama Islam,” meskipun KBBI sendiri membedakan antara ulama khalaf atau “ulama yang hidup pada masa sekarang”, dan ulama salaf atau “ulama yang mendasarkan pandangannya pada paham kemurnian ortodoks” (KBBI, 2005:1239). Istilah ustaz merujuk pada “guru agama atau guru besar (laki-laki)” dan sebagai sebutan “tuan” (KBBI, 2005:1255), sedangkan ustazah merujuk pada ustaz dengan jenis kelamin perempuan. Dalam konteks sosial di mana penelitian dilaksanakan,

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 3

Page 4: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, majelis taklim perempuan adalah

sebuah organisasi keagamaan dengan jumlah anggota yang sangat signifikan. Majelis

taklim perempuan, yang berada di Kabupaten Bekasi, dapat dikatakan ada pada setiap

musalla yang berdiri di setiap desa dan kecamatan. Sebagai gambaran umum, di Kabupaten

bekasi terdapat 23 kecamatan dan memiliki 95 desa, jika setiap desa memiliki satu masjid

utama dan lima musalla, setidaknya di Kabupaten Bekasi terdapat tidak kurang dari 570

majelis taklim perempuan. Jumlah majelis taklim perempuan yang begitu besar tentu saja

membutuhkan jumlah tenaga pengajar yang signifikan. Jika setiap majelis taklim

mempergunakan seorang ustazah sebagai mentor mereka, maka dibutuhkan, sekurangnya,

570 orang ustazah untuk mengajar dalam majelis taklim tersebut. Hal ini tentu saja akan

membawa pada angka yang lebih besar jika mempertimbangkan jumlah anggota majelis

taklim. Lebih dari itu, jika setiap majelis taklim memiliki anggota aktif sebanyak 50 orang,

maka jumlah anggota aktif seluruh majelis taklim di Kabupaten Bekasi, sekurangnya,

mencapai 28.500 orang. Tentu saja jumlah ini akan semakin bertambah jika melihat data

faktual jumlah majelis taklim di setiap desa dan jumlah anggota yang aktif mau pun yang

pasif.

Jumlah yang sangat signifikan dari majelis taklim perempuan menjadikan para

ustazah sebagai elite agama dengan jumlah massa yang juga signifikan. Keberadaan para

elite agama perempuan dapat dikatakan membawa pengaruh yang begitu berbeda dalam

dinamika kultural di masyarakat, hal ini tentu saja memberikan gambaran yang sangat

kiai menempati posisi hierarkis yang paling atas, setelah itu terdapat ustazah, dan terakhir ustaz. Meskipun demikian, patut untuk dicatat, bahwa hierarki tersebut tidak lah bersifat kaku, namun dapat terjadi perubahan kedudukan, dan hal ini sangat dimungkinkan berdasarkan popularitas seseorang di masyarakat. Dalam konteks yang berbeda, posisi hierarkis ini juga sangat bergantung pada tingkat keilmuan seseorang, di mana tingkat keilmuan ini seringkali ditentukan dengan seberapa banyak orang tersebut memiliki ‘jam terbang’ dalam mengajar. Konsekuensinya jelas: sosok kiai yang menempati posisi teratas adalah elite agama laki-laki yang rata-rata berusia lanjut dan telah mengajar lebih dari tiga puluh tahun, hal ini tentu saja berbeda dengan para ‘kiai baru’, yang mendapatkan status kiai dari orang tuanya yang telah meninggal. Hal yang sama juga terjadi di kalangan ustazah dan ustaz, di mana status mereka ditentukan oleh usia dan ‘jam terbang’ mereka. Dalam banyak kesempatan, seorang kiai yang berusia lebih muda sering kali mendapatkan posisi yang lebih rendah ketimbang para ustazah yang lebih senior. Satu hal penting yang harus digarisbawahi, bahwa para ustazah tidak sama dengan sebutan “ibu nyai” sebagaimana yang berlaku di kalangan pesantren di Jawa Timur. Para ustazah umumnya adalah sosok yang mendapatkan statusnya berdasarkan kemampuan keilmuan yang ia miliki. Sedikit sekali para ustazah yang merupakan keturunan langsung dari kiai yang dihormati, dalam banyak kejadian, tidak sedikit para anak perempuan dari kiai, bahkan istri kiai itu sendiri yang justru tidak menjadi para ustazah. Hal ini tentu saja berbeda dengan para ibu nyai, yang secara langsung mendapatkan statusnya dari kiai yang menjadi suaminya.

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 4

Page 5: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

berbeda dengan yang selama ini dikenal, bahwa dimensi agama tidak hanya dimonopoli

oleh elite agama laki-laki. Tidak adanya dominasi kiai menjadikan para ustazah sebagai

elite agama yang mampu mensejajarkan diri mereka dengan para kiai, sekaligus

menciptakan posisi yang unik dalam struktur kehidupan bermasyarakat untuk diri mereka

sendiri.

Jumlah elite agama perempuan yang terus bertambah, seiring dengan pertambahan

majelis taklim perempuan, menjadikan elite agama perempuan sebagai sosok yang tidak

dapat dipandang sebelah mata dalam proses pengajaran dan penafsiran ajaran agama Islam.

Lebih jauh lagi, elite agama perempuan menjadikan diri mereka sebagai sosok dengan

posisi tawar tinggi ketika berhadapan dengan elite politik. Dinamika politik lokal di Bekasi

secara tidak langsung terikat dengan keberadaan elite agama perempuan, sebab jika

dibandingkan dengan para kiai dan ustaz, para ustazah jelas memiliki lebih banyak majelis

taklim yang dibinanya, sekaligus menjadikan para ustazah sebagai “pemegang kontrol” di

tingkat akar rumput.

Ustazah, majelis taklim, dan politik lokal: Pemilu Bupati Bekasi

Pada pemilihan Bupati Bekasi, yang dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2007,

tercatat enam pasang kandidat bakal calon bupati dan wakil bupati, mereka adalah:

Wikanda Darmawijaya - Daeng Muhammad, Saleh Manaf - Omin Basyuni, Memet

Rochamat - Jejen Sayuti, Sa'duddin - Darip Mulyana, Munawar Fuad - Adhi Firdaus,

Nachrowi Solihin - Solihin Sari. Dalam pemilihan bupati dan wakil bupati tersebut,

pasangan Sa’duddin-Darip Mulyana yang didukung oleh PKS menang dengan perolehan

195.857 suara; pasangan Memet Rohamat-Jejen Sayuti (PDIP) memperoleh 144.181 suara;

pasangan Saleh Manaf-Omin Basuki (PPP) memperoleh 143.248 suara; pasangan Nachrowi

Solihin-Solihin Sari (Golkar) memperoleh 113.056 suara; pasangan Munnawar Fuad-Adhy

Firdaus (PD dan PKB) memperoleh 98.080 suara; dan pasangan Wikanda Darmawijaya-

Daeng Muhammad (PAN) memperoleh 87.313 suara (lihat Wikipedia t.t.).

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 5

Page 6: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

Satu hal yang tidak terlihat secara jelas adalah dukungan para elite agama

perempuan dengan majelis taklim yang dipimpinnya. Majelis taklim perempuan, dengan

cepat mengubah dirinya sendiri, dari yang semula hanya berkutat pada persoalan

pengajaran ajaran agama Islam hingga berkubang dalam hingar-bingar dunia politik. Dapat

dikatakan bahwa majelis taklim perempuan dan elite agama perempuan cukup banyak

mendapat “perhatian” dari para kandidat bakal calon bupati dan wakil bupati. Adanya

kedekatan maupun afiliasi partai politik tertentu menyebabkan para elite agama perempuan

menjadi pemain penting namun memiliki peran yang paling tidak terlihat. Majelis taklim

sebagai sebuah kendaraan politik boleh jadi mendapatkan momentumnya dalam proses

pemilihan kepala daerah, baik itu tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga

nasional. Kemenangan pasangan Ahmad Heriawan-Dede Yusuf misalnya, boleh jadi

mendapatkan sumbangsih yang tidak sedikit dari kalangan majelis taklim perempuan.

Pada pemilihan bupati dan wakil bupati bekasi terlihat jelas betapa mobilisasi massa

perempuan tidak melepaskan diri dari struktur keanggotan majelis taklim dan afiliasi politik

para elite agama perempuan yang memimpin majelis taklim tersebut. Para ustazah yang

secara terang-terangan berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan secara terang-

terangan pula mendukung pasangan Saleh Manaf-Omin Basuki yang didukung oleh PPP,

demikian pula para ustazah yang berafiliasi dengan Partai Bulan Bintang. Tidak mau

ketinggalan adalah yang dilakukan oleh para ustazah yang berafiliasi dengan Partai

Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional.

Meskipun demikian, sangat menarik untuk melihat bahwa cukup banyak para

ustazah yang menolak untuk berafiliasi dengan partai politik tertentu, terutama setelah

Rusydatul Ummah, sebuah organisasi majelis taklim yang menaungi hampir semua majelis

taklim di Kabupaten dan Kota Bekasi, Jakarta Utara dan Timur, menolak untuk mendukung

salah satu kandidat bupati dan wakil bupati. Penolakan dukungan yang diberikan oleh

organisasi Rusydatul Ummah justru membawa konsekuensi yang lebih luas: memberikan

otonomi yang seluas-luasnya bagi setiap majelis taklim perempuan yang bernaung di

bawahnya untuk mengambil keputusan politik secara independen. Penolakan dukungan

yang dilakukan oleh organisasi tidak berarti menyebabkan tertutupnya dukungan dari

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 6

Page 7: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

tingkat majelis taklim di tingkat komunitas, hal ini lah yang menyebabkan para kandidat

justru semakin gencar dalam melancarkan kampanye di tiap-tiap majelis taklim di tingkat

komunitas, baik oleh mereka langsung maupun oleh para ustazah yang secara khusus

mereka minta untuk berkampanye untuk dan atas nama mereka. Tentu saja hal ini lah yang

menyebabkan setiap majelis taklim untuk secara mandiri menentukan afiliasi politik

mereka. Hal ini tentu membawa “efek samping” yang, barangkali, tidak disadari: otonomi

yang diberikan justru memberikan porsi yang lebih besar pada para ustazah, terutama yang

sepuh.

Tradisi patron-klien, sebagaimana tradisi pesantren, menyebabkan para ustazah

sepuh, sebagai patron, memiliki posisi yang sangat penting dalam pengambilan keputusan.

Adanya otonomi yang diberikan kepada setiap majelis taklim justru menjadi kegamangan

di tingkat lokal majelis taklim itu sendiri. Hal ini mendorong para majelis taklim, yang

sejatinya otonom, tetap membutuhkan “saran” dan “nasehat” dari ustazah sepuh untuk

menentukan sikap politik mereka. Keberadaan elite agama perempuan, terutama para

ustazah sepuh yang aktif mengajar di berbagai majelis taklim, menjadi sangat penting, di

mana restu mereka atas salah satu kandidat memberikan “jaminan tidak tertulis” akan

dukungan dari para anggota majelis taklim perempuan yang dipimpinnya. Perang klaim

dukungan dari majelis taklim perempuan, demikian pula tarik-menarik dukungan yang

terjadi menggambarkan betapa keberadaan majelis taklim perempuan menjadi point penting

dalam politik lokal di Bekasi.

Tidak hanya tarik-menarik kekuatan yang terlihat, yang juga terlihat jelas adalah

upaya para kandidat pasangan yang memberikan sejumlah uang yang diberikan pada

majelis taklim yang secara terbuka memberikan dukungannya pada salah satu kandidat

pasangan. Persaingan dalam merebut simpati dari majelis taklim dirasakan sangat krusial,

mengingat jumlah majelis taklim perempuan yang sangat besar, hal ini tentu saja

menjadikan majelis taklim perempuan sebagai basis dukungan dengan jumlah massa yang

luar biasa.

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 7

Page 8: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

Kiai, Elite Perempuan, dan Majelis Taklim Perempuan

Pertanyaan yang muncul adalah, di mana posisi kiai dalam percaturan politik lokal?

Rasanya tidak berlebihan jika kiai, sebagai elite agama laki-laki, dianggap mampu

memberikan pengaruh besar di masyarakat, terutama dalam kancah politik lokal.5

Secara umum dapat dikatakan bahwa kiai di wilayah Bekasi memang memiliki

pengaruh untuk menggulirkan opini di masyarakat, hanya saja opini yang bergulir di

masyarakat lebih pada tingkat elite masyarakat, bukan pada komunitas. Persoalannya

sebenarnya mudah dipahami, mengingat di antara sejumlah kiai yang ada, sangat sedikit

yang masih terjun dalam pengajian yang dilaksanakan di tingkat komunitas. Beberapa kiai

justru melepaskan pengaruhnya di tingkat komunitas dengan bergabung dengan institusi

pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia. Kooptasi pemerintah terhadap sejumlah kiai,

menjadikan para kiai hanya memiliki posisi di sebagian kecil masyarakat, kalau tidak mau

dikatakan hanya sebatas elite. Barangkali hanya para kiai yang masih membaktikan hidup

mereka pada dunia pendidikan pesantren dan pengajian di tingkat lokal yang masih

memiliki pengaruh besar, namun jumlahnya sangat sedikit.

Berbeda dengan sebagian kiai yang cenderung “melepaskan” posisi mereka di

masyarakat dengan terlibat penuh di institusi pemerintah dan partai politik, para ustazah

justru menguatkan posisi mereka di masyarakat, di mana sebagian besar dari mereka justru

menolak untuk turut aktif dalam institusi pemerintah dan partai politik. Keterikatan pada

pemerintah dan partai politik justru membawa implikasi yang lebih luas: semakin

longgarnya ikatan dengan masyarakat ditandai dengan semakin lunturnya kharisma yang

dimiliki. Implikasi ini terjadi ketika para kiai, juga para ustazah, yang terlalu terikat pada

struktur politik menjadikan diri mereka, sebagian tanpa disadari, terkotak-kotakkan dalam

basis politik tertentu. Munculnya sebutan kiai PKB, ustaz PPP, atau ustazah PBB

menjadikan diri mereka tidak lagi “tersedia bagi semua orang”.

Kritik ini lah yang muncul di kalangan masyarakat luas, bahwa pengkotak-kotakan

yang terjadi berdasarkan partai politik, menjadikan kepercayaan dan kesetiaan terhadap

5 Pandangan ini tentu saja dapat dilihat dalam berbagai kajian yang melihat posisi kiai, atau elite agama laki-laki, dalam dunia politik, seperti yang dilakukan oleh Bruinessen (2008), Fealy (2003), Feillard (2008), Hidayat dan Haryono (2004), Moesa (2007), Mulkhan (1999), Tanthowi (2005), dan Turmudi (2004).

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 8

Page 9: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

para kiai dan ustazah tersebut memudar. Hal ini juga membawa pada konsekuensi lain,

yakni menjadikan para ustazah yang secara tegas menyatakan tidak berpartai menjadi pusat

perhatian masyarakat, terutama para ustazah senior. Secara sederhana, dapat dikatakan

bahwa para ustazah ini lah yang mampu mengubah iklim politik yang terjadi hanya dengan

sedikit ucapan ditambah sedikit testimoni dari orang-orang yang disekitarnya. Tidak hanya

di tingkat komunitas, pada tingkat elite politik pun melihat dengan seksama setiap tindakan

para ustazah ini, terutama jika menyangkut posisi mereka. Tidak jarang kunjungan

mendadak dari para kandidat ke kediaman pribadi para ustazah tersebut, di mana hal ini

pula yang menjadi sorotan, yakni sejauh mana para ustazah ini mempertahankan sikap

nonpartisan yang selama ini mereka pegang.

Para ustazah yang lebih muda, boleh jadi, dengan senang hati akan ikut dalam

hingar-bingar dunia politik, bahkan menjadikan diri dan majelis taklim yang mereka pimpin

sebagai kendaraan politik. Akibatnya pun mudah terlihat: selama masa kampanye

pemilihan bupati dan wakil bupati Bekasi, hampir semua majelis taklim penuh dengan

nuansa politik, terutama dalam majelis taklim perempuan. Hal ini tentu saja akan membawa

suatu kondisi yang, mengutip salah satu informan penelitian, “tidak kondusif untuk

mengajar maupun belajar”, sebab setiap ucapan yang keluar, baik disadari maupun tidak,

“dapat disalahartikan sebagai bentuk dukungan atau tuduhan”.

Majelis taklim dan Pemilihan Umum

Salah satu topik yang cukup hangat dibicarakan di kalangan majelis taklim

perempuan saat ini adalah bagaimana majelis taklim perempuan bersikap dalam pemilihan

umum legislatif yang akan digelar pada tahun 2009. Di satu sisi, akan selalu ada

kemungkinan terulangnya kembali tarik-menarik dukungan politik dari berbagai kandidat

yang ingin menjadikan majelis taklim perempuan sebagai kendaraan politik, namun di sisi

yang lain, jumlah para ustazah, yang umumnya adalah ustazah muda, yang terjun ke dunia

politik relatif bertambah. Persoalan ini tidak lah sesederhana yang terlihat, sebab para

ustazah yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, tidak lah berasal dari partai

yang sama, meskipun sebagian besar berasal dari partai yang mengusung ideologi Islam.

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 9

Page 10: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

Hal ini tentu saja akan membawa dilema tersendiri bagi majelis taklim. Di satu sisi,

perlahan muncul kesadaran di anggota majelis taklim tentang hak politik mereka, di sisi

yang lain, terdapat kemungkinan, yang sangat besar, bahwa para ustazah itu akan

menggunakan majelis taklim sebagai kendaraan mereka sekaligus menuntut kesetiaan dari

anggota majelis taklim yang dipimpinnya.

Hal ini tentu saja menarik untuk diperhatikan lebih seksama. Para anggota majelis

taklim sendiri, yang sebagian besar ibu rumah tangga, perlahan menyadari (atau barangkali

sudah lelah?) dengan adanya konflik antarelite dalam memperebutkan suara mereka.

Bagaimana majelis taklim yang mereka ikuti berubah dengan cepat, dari hanya ajang

mempelajari ilmu dan ajaran agama Islam menjadi ladang kampanye caleg dan partai, dan

hal ini terus berulang. Hal ini tentu saja harus juga dilihat kemungkinan lain, bahwa

anggota majelis taklim barangkali telah menjadi pemilih yang cerdas, bahwa mereka hanya

memilih orang yang mereka anggap layak, terlepas apakah orang itu merupakan para

ustazah atau bukan. Jika hal ini yang terjadi, sangat logis kiranya jika para ustazah yang

terjun ke dunia politik harus berpikir ulang mengenai pondasi basis massa mereka, terutama

kesetiaan basis massa tersebut.

Ada pula kemungkinan lainnya: bahwa diamnya para ustazah senior menjadi

penentu utama dalam pemilihan legislatif mendatang. Boleh jadi diamnya para ustazah

tersebut menjadi fatwa yang mendorong terjadinya golongan putih, mengingat ucapan salah

satu ustazah yang mengatakan “golput sendiri adalah sikap politik”, namun hal ini lah yang

harus dilihat ke depan. Bagaimana majelis taklim perempuan dapat bersikap sekaligus

mengambil posisi dalam percaturan politik lokal di Bekasi.

Dalam pemilihan bupati dan wakil bupati misalnya, majelis taklim perempuan

cukup banyak memberikan bantuan kemenangan dalam pemilihan bupati dan wakil bupati

Bekasi bagi pasangan Sa’duddin-Darip Mulyana, demikian pula pada pemilihan gubernur

dan wakil gubernur Jawa Barat bagi pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf. Barangkali

pada pemilihan legislatif mendatang, posisi majelis taklim perempuan akan kembali

dipertanyakan. Akan kah majelis taklim perempuan menempatkan wakilnya di dalam

anggota legislatif DPRD Kabupaten Bekasi seperti periode saat ini, atau justru terpecahnya

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 10

Page 11: 9621369 ijtihad-politik-perempuan

majelis taklim perempuan dalam berbagai faksi menyebabkan tak satu pun di antara

wakilnya yang berhasil duduk di kursi legislatif. Kiranya waktu kan menjawab.

Kepustakaan:

Arimbi, Diah Ariani. 2004. “When Private Becomes Public: The Case of Islamic Prayer Groups in Indonesia”, Mozaik 2(2):33-42

van Bruinessen, Martin. 2008. NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Cetakan kelima. Yogyakarta: LkiS

Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.

Fealy, Greg. 2003. Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS

Feillard, Andrée. 2008. NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Cetakan kedua. Yogyakarta: LkiS

Hidayat, Komaruddin dan M. Yudhie Haryono. 2004. Manuver Politik Ulama, Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama-Negara. Yogyakarta: Jalasutra

Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS

Mulkhan, Abdul Munir. 1999. Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan Dalam Dakwah Islam. cetakan kedua. Yogyakarta: Sipress

Tanthowi, Pramono U. 2005. Kebangkitan Politik Kaum Santri: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: PSAP

Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS

Weix, G.G. 1998. “Islamic Prayer Groups in Indonesia: Local Forum and Gender Responses” Critique of Anthropology 18(4):405-420

Wikipedia. t.t. dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Kepala_Daerah_Bekasi_2007_(Bupati))

Homework Help https://www.homeworkping.com/

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal 11