Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

27
TERPINGGIRKAN DI TENGAH PERJUANGAN (Studi Terhadap Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia) Zusiana Elly Triantini CPNS Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Aktifis Perempuan LKiS Yogyakarta Masnun Tahir Dosen Institut Agama Islam Negeri Mataram Abstrak Kehadiran demokrasi di Indonesia tak pelak melahirkan spiritualitas Islam baru dengan berbagai model, yang salah satunya adalah kelahiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan kepanjangan tangan gerakan Hizbut Tahrir (HT) di Timur Tengah. Mereka mengaku sebagai partai politik ideologis yang melandaskan gerakan dan ajarannya pada Islam dan dakwahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khila>fah Isla>miyah dengan bertompang kepada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan. Kelompok ini telah mengeluarkan ijtihad-ijtihad syar’i tentang politik yang cenderung kontroversial dan mengundang pro dan kontra di tengah pergulatan wacana penegakan demokrasi di Indonesia. Salah satu konsep yang kontroversial itu adalah dakwah sebagai peran politik yang harus dilakukan perempuan, yang mencampuradukkan antara wilayah domain sosiologis dan teologis serta mengandung bias gender yang lahir dari penafsiran yang tekstual literalis. Mereka menolak menggunakan pemahaman sejarah. Kalaupun mereka menerima penjelasan kapan, di mana, dan peristiwa apa yang melatarbelakanginya turunnya ayat, tetap saja pemahamannya bersifat tekstual. Peristiwa yang terjadi ketika ayat turun dipahami hanya sebagai latar setting yang harus juga diduplikasi ke dalam kehidupan kapan pun, termasuk di zaman modern sekarang ini. Ayat tidak boleh ditafsiri secara berlebihan apalagi jauh dari teks itu sendiri. Tidak ada kritik terhadap pemahaman-pemahaman sebelumnya yang dihasilkan oleh ulama-ulama ahli tafsir. Yang mereka lakukan hanyalah memahami teks ayat itu, dan mengesampingkan pemahaman sebelumnya. Dengan pendekatan gender, artikel ini juga membahas tentang peran, hak, dan kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum perempuan HTI. Dari pembahasan ini, dapat diketahui pula pandangan HTI tentang wacana gender dan feminisme, serta implikasinya terhadap eksistensi perempuan dalam gerakan ini. Kata Kunci : Perempuan, HTI, Gender, Hegemoni A. Mengenal Lebih dekat HTI Awalnya, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik Islam di Palestina yang dakwahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khila>fah Isla>miyah dengan

description

TERPINGGIRKAN DI TENGAH PERJUANGAN (Studi Terhadap Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia) Oleh:Zusiana Elly Triantini

Transcript of Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

Page 1: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

TERPINGGIRKAN DI TENGAH PERJUANGAN

(Studi Terhadap Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia)

Zusiana Elly Triantini

CPNS Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Aktifis Perempuan LKiS Yogyakarta

Masnun Tahir

Dosen Institut Agama Islam Negeri Mataram

Abstrak

Kehadiran demokrasi di Indonesia tak pelak melahirkan spiritualitas Islam baru dengan berbagai model, yang salah satunya adalah kelahiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan kepanjangan tangan gerakan Hizbut Tahrir (HT) di Timur Tengah. Mereka mengaku sebagai partai politik ideologis yang melandaskan gerakan dan ajarannya pada Islam dan dakwahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khila>fah Isla>miyah dengan bertompang kepada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan. Kelompok ini telah mengeluarkan ijtihad-ijtihad syar’i tentang politik yang cenderung kontroversial dan mengundang pro dan kontra di tengah pergulatan wacana penegakan demokrasi di Indonesia. Salah satu konsep yang kontroversial itu adalah dakwah sebagai peran politik yang harus dilakukan perempuan, yang mencampuradukkan antara wilayah domain sosiologis dan teologis serta mengandung bias gender yang lahir dari penafsiran yang tekstual literalis. Mereka menolak menggunakan pemahaman sejarah. Kalaupun mereka menerima penjelasan kapan, di mana, dan peristiwa apa yang melatarbelakanginya turunnya ayat, tetap saja pemahamannya bersifat tekstual. Peristiwa yang terjadi ketika ayat turun dipahami hanya sebagai latar setting yang harus juga diduplikasi ke dalam kehidupan kapan pun, termasuk di zaman modern sekarang ini. Ayat tidak boleh ditafsiri secara berlebihan apalagi jauh dari teks itu sendiri. Tidak ada kritik terhadap pemahaman-pemahaman sebelumnya yang dihasilkan oleh ulama-ulama ahli tafsir. Yang mereka lakukan hanyalah memahami teks ayat itu, dan mengesampingkan pemahaman sebelumnya. Dengan pendekatan gender, artikel ini juga membahas tentang peran, hak, dan kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum perempuan HTI. Dari pembahasan ini, dapat diketahui pula pandangan HTI tentang wacana gender dan feminisme, serta implikasinya terhadap eksistensi perempuan dalam gerakan ini.

Kata Kunci : Perempuan, HTI, Gender, Hegemoni

A. Mengenal Lebih dekat HTI

Awalnya, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik Islam di Palestina yang

dakwahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khila>fah Isla>miyah dengan

Page 2: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

44

bertopang pada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan. Organisasi

ini lahir dengan beberapa agenda besar yang bertujuan membangkitkan kembali umat

Islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem

perundang-undangan dan hukum yang dianggap kufur, serta membebaskan

masyarakat Islam dari dominasi negara-negara kafir.1 Mereka ingin membangun

kembali khila>fah Isla>miyah sebagai tempat pengejawantahan pelaksananaan urusan

pemerintahan sesuai dengan nas}s} yang diturunkan oleh Allah SWT. Hizbut Tahrir

mengusung ide Pan Islamisme yang bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada

abad pertengahan yang dimanifestasikan dengan mendirikan khila>fah dan penegakan

Syari’at Islam secara internasional. Hal ini mengindikasikan adanya pemerintahan

yang terpusat dari seluruh dunia.

Ajaran yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir tergolong salah satu dari Jama’ah

Islamiyah2 (kumpulan orgnisasi) yang membawa pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-

Jama>’ah. Tujuan mereka terfokus pada penerapan kehidupan Islami dengan jalan

terlebih dahulu menegakkan negara Islam di negeri-negeri Arab, kemudian di negara-

negara Islam lainnya, dan setelah itu tugas dakwah dilancarkan ke negara-negara

bukan Islam melalui umat Islam yang sudah terbentuk.3

Ciri utama Hizbut Tahrir adalah konsentrasinya yang sangat besar kepada

aspek thaqa>fah (keilmuan) dan menjadikannya sebagai landasan pembentukan pribadi

Muslim dan umat Islam. Selain itu Hizbut Tahrir juga berupaya keras mengembalikan

kepercayaan terhadap Islam melalui aktifitas keilmuan di satu sisi dan melalui jalur

politik di sisi lain. Melalui jalur politik mereka merumuskan dengan cara merekam

dan menginvertarisasi segala kejadian atau peristiwa yang kemudian dijadikan

pembicaraan yang mengacu kepada kebenaran pemikiran dan hukum-hukum Islam4

dalam rangka meraih kepercayaan serta simpati yang akan menjadikan semakin

banyaknya massa yang bergabung.

1 Beberapa agenda besar HTI dapat dilihat lebih lanjut dalam Mengenal Lebih Dekat Hizbut

Tahrir, cet III (Bogor: HTI, 2002), hlm. 35. 2 Jama’ah Islamiyah yang dimaksud di sini bukanlah JI sebagai organisasi yang disinyalir

melakukan beberapa aksi bom di beberapa kota, melainkan Jama’ah Islamiyah sebagai kumpulan organ Islam yang berlandaskan pada Ahl al-Sunnah wal Jama>’ah .

3 WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2002), hlm 89.

4 Ibid.

Page 3: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

45

Kelahiran Hizbut Tahrir Indonesia dibidani dan dipelopori oleh beberapa

orang anggota dan simpatisan HT yang telah bersentuhan langsung dengan gerakan

ini di Timur Tengah. Oleh karena itu, tidak heran jika nama, bentuk, doktrin, ideologi

dan metode gerakannya benar-benar mengikuti HT di Timur Tengah. Bahkan HTI

merupakan cabang resmi dari jaringan HT internasional dan bertanggungjawab

kepada pengurus pusat HT di Yordania.5

Nama-nama yang selalu disebut sebagai tokoh dan pemimpin HT antara lain

Syaikh Taqiyuddin Nabhani,6 Abdul Qadim Zallum,7 dan ’Atha Abu Rusytah.8

Sedangkan tokoh dan pemimpin yang sering disebut dalam HTI antara lain Mama

Abdullah Bin Nuh,9 Muhammad al-Khaththath,10 dan Ismail Yusanto.11

HT maupun HTI memiliki karakteristik antara lain:

1) Latar belakang berdirinya adalah seruan al-amr bi’l-ma’ru>f wa nahy ’ani’l-munkar;

2) Misi utamanya adalah terbentuknya dawlah Isla>miyah dengan bentuk khila>fah Islam

secara transnasional;

3) Anggotanya merupakan orang-orang yang bersedia terhimpun dalam sistem Islam

tanpa batas ras, golongan, keturunan, bangsa maupun mazhab tertentu;

4) Aktivitasnya bersifat politik;

5) Wilayah sasarannya adalah negeri-negeri Islam;

6) Landasan berfikirnya adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas;

7) Metode dakwah yang diterapkan mengikuti perjalanan dan perjuangan dakwah

Rasulullah saw dengan tahapan tathqi>f (pembinan dan pengkaderan), tafa>‘ul

(berinteraksi), istila>m al-h}ukm (penerimaan kekuasaan); dan

5 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke

Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 162. 6 Untuk lebih jauh tentang Syaikh Taqiyuddin Nabhani (1909-1979) lihat dalam

http://ms.wikipedia.org. 7 Abdul Qadim Zallum adalah pengganti Syaikh Taqiyuddin Nabhani. Lebih lanjut lihat

dalam qalbusalim.wordpress.com 8 ’Atha Abu Rusyta adalah pemimpin Hizbut Tahrir setelah Abdul Qadim Zalum hingga

sekarang lebih jauh lihat http://ms.wikipedia.org. 9 Mama Abdullah bin Nuh salah satu penyebar ajaran Hizbut Tahrir di Indonesia lihat di

A.Maftuh Abegebriel dkk, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004).

10 Muhammad al-Khaththath adalah pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia hingga sekarang liha. www. Hizbut-tahrir.or.id

11 Ismail Yusanto dikenal sebagai juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, di beberapa peretemuan Hizbut Tahrir Indoensia dan di beberapa media yang memuat tentang Hizbut Tahrir namanya sering disebut bahkan lebih dikenal daripada Muhamad al-Khaththath.

Page 4: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

46

8) Pemikirannya berlandaskan pada pemikiran Islam.12

Dalam menjalankan misi perjuangan tegaknya khilafah, HTI memiliki

tahapan sebagai berikut:

1) Tahapan pembinaan dan pengkaderan (tathqi>f) untuk melahirkan orang-orang

yang meyakini fikrah HT dan membentuk kerangka sebuah partai;

2) Tahap interaksi (tafa>‘ul) dengan umat agar mampu mengemban dakwah Islam

sehingga umat akan menjadikanya sebagai perkara utama dalam kehidupan serta

berusaha menerapkan dalam realitas kehidupan; tahapan ini dapat juga disebut

sebagai tahap revolusi pemikiran;

3) Tahap penerimaan kekuasaan (istila>m al-h}ukm), untuk menerapkan Islam secara

praktis dan menyeluruh, sekaligus menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh

dunia; tahapan ini sering disebut sebagai revolusi.

Gambaran tentang HTI di atas mengingatkan pada pendapat beberapa tokoh

seperti Musa Kailani yang dalam tulisannya mengartikan fundamentalisme sebagai

gerakan sosial keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip

Islam yang fundamental dan kembali kepada kemurnian etika dengan cara

mengintegrasikannya secara positif dalam doktrin agama.13 Kemudian Jan Hjarpe

yang mengungkapkan bahwa fundamentalisme merupakan keyakinan kepada al-

Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma

politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan untuk menciptakan masyarakat yang baru.

Leonard Binder juga menyatakan bahwa fundametalisme adalah sebuah gerakan

keagamaan yang menjunjung tinggi romantisme periode Islam awal.14

Pandangan-pandangan tersebut membuat penulis berpandangan bahwa HTI

tergolong sebagai kelompok Islam fundamentalis karena wacana serta doktrin yang

mereka bangun. Menurut Hizbut Tahrir menegakkan khila>fah Isla>miyah adalah

kewajiban karena syariat tidak akan tegak tanpa ada khila>fah.15 Dengan adanya

12 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Jakarta:

PSAP, 2007), hlm. 409-411. 13 A.Maftuh Abegebriel dan Ibida Syitaba, “Fundametalisme Islam, Akar Telogis dan Politis,”

dalam Negara Tuhan: Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004), hlm 501. 14 Ibid. 15 “Hajatan Demokrasi Muslim Indonesia”, Gatra, edisi khusus Nomor 1-2 tahun XI, 27

November 2004, hlm. 120.

Page 5: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

47

khila>fah, maka syari’at akan tegak karena akan ada yang bertanggung jawab untuk

menyebarkan ajaran yang berkaitan dengan syari’at Islam ke seluruh pelosok negeri.

Dari keseluruhan akativitas HTI yang paling menonjol adalah kegiatan

kampanye untuk menolak sistem politik yang berasal dari Barat. Mereka menolak

konsep nasionalisme, demokrasi, trias politika, kedaulatan rakyat, sistem kekuasaan

turun temurun, hukum sekuler, dan konsep politik lain yang dianggap tidak berasal

dari syari’at Islam. Mereka menghendaki sebuah sistem politik yang islami yang

hampir sama dengan konsep politik Abul A’la al-Mawdudi dan Sayyid Qutb.16 Selain

itu mereka juga menolak segala isme yang berasal dari Barat, seperti feminisme,

pluralisme, dan isme-isme yang lain.

Setelah mengetahui latar belakang dan pemahaman yang melekat pada HTI,

maka perlu kiranya menentukan pisau analisa untuk membedah pandangan HTI dan

selanjutnya melakukan kritik sebagai sebuah pandangan baru terhadap apa yang ada.

Untuk menganalisa lebih jauh peran politik perempuan dalam HTI, tepat kiranya

digunakan teori hermeneutik yang akan mengungkap bagaimana pola penafsiran serta

pola pemahaman yang ada dan diterapkan dalam HTI. Teori ini mengatakan bahwa

hermeneutik adalah sebuah analisis yang berusaha memperoleh pemahaman yang

mendalam dengan mengadakan penafsiran terhadap data teks atau pemikiran.

Analisis ini digunakan untuk melakukan interpretasi atas teks-teks yang menjadi

argumentasi HTI secara baru dan makna baru atau melakukan sebuah interpretasi

produktif yang bertumpu pada dialektika antara tiga pusaran yang dijadikan starting

point atau point of view yaitu the world of the text (aspek kebahasaan ), the world of the author

(dunia pengarang teks, termasuk Tuhan) dan the world of the reader (dunia pembaca

teks) dengan kompleksitas tradisi (bahasa kebudayaan) yang dihadapi, dipahami dan

dibangun.17 Di samping itu faktor-faktor ekstralinguistik (hal-hal di luar bahasa) yang

menentukan terbentuknya konteks pemikiran HTI juga akan dianalisa secara kritis.

16 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru..., hlm. 52.

17 Hans George Gadamer, Truth and Method, (New York, Seabury Press, 1975), hlm. 273.

Page 6: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

48

Dari teori yang ini kiranya akan ditemukan bagaimana sejatinya konsep peran politik

perempuan HTI ini, dan mengapa demikian.

B. Peran Politik Perempuan HTI: Bukan Soal Kesetaraan, Melainkan

Kewajiban

Asumsi awal penulis tentang perempuan HTI sangat sederhana: ”mereka

pasti perempuan-perempuan yang terpasung dan terkungkung oleh doktrin bahwa

perempuan tidak layak berjuang dalam ranah politik”, karena pengalaman bacaan

penulis –baik dari teori maupun praktik- mengatakan bahwa model penafsiran

terhadap doktrin-doktrin tentang perempuan yang biasanya digunakan kelompok

fundamentalis seperti HTI lebih cenderung tekstual dan kaku. Di kemudian hari,

setelah penulis mengikuti beberapa forum diskusi atau halaqah yang diadakan oleh

HTI dan melihat ghirah kampanye khilafah perempuan HTI, asumsi awal penulis

terbantahkan, meski tidak secara keseluruhan. Perempuan HTI sangat dekat dengan

aktifitas yang mengkampanyekan soal khilafah. Bahkan dalam beberapa kesempatan

mereka, dengan semangat untuk meegakkan syari’ah dengan khilafah, turut serta

dalam beberapa demonstrasi yang diadakan oleh HTI. Tak tanggung-tanggung,

beberapa dari perempuan HTI mengajak anak-anak mereka untuk berlatih tahu

tentang politik sedari dini dengan membawa serta dalam momen tersebut. Ternyata

perempuan HTI memiliki kesadaran organisasi dan responsif yang cukup tinggi. Hal

ini terbukti dalam beberapa kesempatan penulis banyak menjumpai perempuan HTI

melakukan kritik dan tanggapan terhadap permasalahan aktual yang sedang terjadi

melalui berbagai media, selain halaqah, seperti ketika menanggapi isu seputar

presiden perempuan, poligami, kekerasan terhadap perempuan dan tema-tema

lainnya, baik melalui media cetak maupun elektronik.

Dalam ranah kajian tentang peran politik perempuan, HTI menggunakan

buku yang ditulis oleh Najmah Saidah18 sebagai panduan belajar tentang beberapa hal

yang menyangkut politik perempuan. Buku ini dapat dijadikan gambaran tentang

bagaimana sejatinya HTI memandang peran politik perempuan. Buku ini juga telah

diringkas dan dijadikan booklet “Peran Politik Perempuan” yang diterbitkan oleh HTI

18 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi Politik Perempuan Bercermin pada Shahabiyat, (Jakarta: IdeA Pustaka Utama, 2003).

Page 7: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

49

Press. Ketika penulis menelisik lebih jauh tentang peran politik perempuan HTI

lewat pengurus Nisa’ HTI DIY dan koordinator Hubungan Masyarakat DPD 1 DIY

di Yogyakarta, penulis menemukan banyak hal yang sama antara pendapat yang

dilontarkan dengan apa yang tertuang dalam buku Najmah Sa’idah tersebut. Di

sinilah asumsi awal tentang keterkungkungan perempuan HTI dalam beberapa hal

mulai nampak. Perjuangan mereka memiliki nilai lebih, tetapi pergulatan mereka

dalam ranah pengambilan keputusan ataupun penentuan kebijakan sangat

terpinggirkan (tidak ada keadilan).

Hal tersebut bermula dari pandangan HTI tentang peran politik perempuan

yang selalu didahuli dengan kritik terhadap term-term ’Barat’ seperti gender,

feminisme, dan lain sebagainya. Menurut HTI gagasan keadilan dan kesetaraan

gender (KKG) adalah sebuah konspirasi kelanjutan dari upaya menghapuskan

peradaban Islam dan mencegah kebangkitannya kembali melalui penghancuran

keluarga-keluarga muslim. Untuk mempertahankan hegemoninya, Barat, yang masih

menaruh dendam terhadap Islam, memanfaatkan berbagai isu seperti demokrasi,

HAM, pluralisme, dan KKG sendiri. Dibalik opini KKG sesungguhnya tersimpan

bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan masyarakat muslim. Konspirasi keji di balik

program pemberdayaan perempuan versi KKG ini bertujuan untuk menghancurkan

kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menghapuskan

peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi muslim yang

berkualitas. Oleh karena itu, langkah-langkah KKG ini menurut HTI harus

diwaspadai.19

Mereka menilai isu gender merupakan alat yang paling ampuh untuk merusak

perempuan Islam. Isu KKG bukan solusi mengatasi keterpurukan perempuan, malah

menambah persoalan baru yaitu perempuan merasa terhina ketika melakukan tugas-

tugas domestik karena tidak dianggap berkontribusi untuk ekonomi bangsa, karena

tidak menghasilkan income. Inilah yang membuat perempuan-perempuan

meninggalkan tugas domestiknya, yang oleh Allah telah dibuat seharmonis mungkin,

yang pada akhirnya institusi rumah tangga rusak dan generasi hancur.

19 Ummu Fathimah NJL, “Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG): Gagasan yang harus

Diwaspadai”, dalam Al-Wa’ie, Media Politik Dakwah, No.75 Tahun VII, 1-30 November 2006, hlm. 9.

Page 8: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

50

Terlepas dari logika ideologis yang berbasis pada doktrin bahwa semuanya

harus berdasarkan nilai-nilai Islam dan bukan Barat, menurut penulis tidak

seharusnya HTI mencurigai atau mewaspadai konsep KKG ini. Sebab KKG

merupakan salah satu gerakan yang muncul untuk memperjuangkan keadilan dan

kesetaraan bagi perempuan, sebuah cita-cita yang sejalan dengan pesan dasar ajaran

Islam. Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang mencerminkan

adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga,

masyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk memperoleh hak-haknya sebagai

manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik,

ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan keamanan serta kesamaan dalam menikmati

hasil pembangunan. Sedangkan keadilan gender adalah kondisi dan perlakuan yang

adil bagi perempuan dan laki-laki.

Selain mengkritik term KKG, HTI juga berpendapat bahwa feminisme telah

membawa banyak perubahan di belahan bumi mana pun. Banyaknya kaum

perempuan yang telah berhasil mengekspresikan diri, bekerja di bidang apa pun yang

diinginkannya, tanpa harus takut dengan berbagai hal tabu yang selama ini dianggap

mengekang mereka, merupakan salah satu bukti menurut HTI. Bahkan hal ini

dianggap sebagai awal persoalan karena selain membawa dampak positif, feminisme

juga membawa dampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Kebebasan yang

ditawarkan feminisme, bagi HTI, berakibat pada runtuhnya struktur keluarga,

meningkatnya angka perceraian, merebaknya free-sex, meningkatnya kasus aborsi,

dilema perempuan karir, sindrom cinderella complex, pelecehan seksual, anak-anak

bermasalah, dan lain-lain. Walhasil yang terbentuk bukan masyarakat yang kokoh,

tetapi sebuah masyakat yang penuh dengan konflik yang tidak memberikan

ketenangan dan kepastian, karena berbagai penyimpangan banyak terjadi di

dalamnya.20

Beberapa kritik HTI terhadap feminisme antara lain: pertama, ketidakadilan

gender yang dikatakan telah melembaga secara universal dalam struktur masyarakat

patriarkhis sesungguhnya terbantah oleh realitas bahwa berbagai fakta yang disebut-

sebut sebagai persoalan perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan

20 Nurfaizah dan Najmah, ‘Membangun Keluarga Ideologis” dalam Al-Wa’ie, Media Politik

Dakwah, No. 64 Tahun V, 1-28 Februari 2005, hlm. 14.

Page 9: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

51

di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum muslim, persoalan-persoalan seperti

kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, malnutrisi dan sebagainya kini

menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapai masyarakat secara keseluruhan

sebagai implikasi dari penerapan sistem kapitalisme yang lemah dan rusak, dengan

sistem politiknya yang bobrok, sistem sosialnya yang rapuh, dan sebagainya.21

Kedua, ide kesetaraan gender yang diusung feminisme merupakan gagasan

yang absurd, ambivalen dan utopis. Sebab, sebagaimana sudah dijelaskan, kaum

feminis meyakini bahwa sifat keperempuanan yang dianggap lebih banyak merugikan

perempuan bukan merupakan bentukan yang alami (nature/kodrati) melainkan

dibentuk oleh kebudayaan (nurture). Untuk itu mereka menuntut adanya perubahan

konstruksi sosial budaya baik secara kultural maupun struktural. Dengan begitu

diharapkan pembagian peran yang berspektif gender tidak ada lagi. Dalam hal ini

mereka yakin bahwa ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan

sebagai manusia, bukan atas dasar gender, pembagian peran domestik vis a vis publik

pun akan cair dengan sendirinya. Artinya semua orang akan mampu berkiprah dalam

bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat

dan sebagainya.

Ketiga, cara pandang feminisme yang individualistik dan cenderung emosional

juga telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan

masyarakat secara keseluruhan. Hal ini terkait dengan pandangan demokrasi yang

menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulam individu-individu yang merdeka,

dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi yang lain. Dengan demikian, di

dalam demokrasi prinsip individualisme menjadi sesuatu yang inherent. Prinsip ini

telah menempatkan diri, ego, jenis, dan kelompok sebagai sumber orientasi. Ketika

muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas

memandang persoalan tersebut sebagai urusan internal komunitas perempuan.

Akibatnya, pemecahan yang dimunculkannya pun hanya dilihat dari satu perspektif

saja, yakni perspektif perempuan. Padahal realitasnya, masyarakat bukan hanya

sekadar terbentuk dari individu-individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran,

21 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi .., hlm.78.

Page 10: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

52

perasaan, dan aturan yang diterapkan, yang disertai dengan adanya interaksi terus

menerus.22

Keempat, politik dalam perspektif feminisme seolah terbatasi pada aspek

kekuasaan dan legislasi saja. Akibatnya, ide pemberdayaan peran politik perempuan

pun selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu melibatkan diri dan

berkiprah seluas-luasnya di wilayah politik formal, seperti di lembaga-lembaga

pemerintahan atau kekuasaan, lembaga legislasi, partai politik, dan lain-lain. Hal ini

sebetulnya terkait dengan logika feministik yang diilhami oleh teori mekanisme

kekuasaan mayoritas yang ada dalam logika demokrasi yang menganggap apabila

perempuan terlibat dalam kebijakan, maka masalah perempuan akan terselesaikan.

Padahal, dalam tataran praktik, masalah ada tidaknya hubungan antara kiprah politik

perempuan seperti itu dan tuntasnya persoalan perempuan masih sangat debatable.

Banyak fakta justru menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di parlemen atau di

puncak kekuasaan sekali pun tidak lantas menjamin tuntasnya persoalan-persoalan

perempuan. HTI mencontohkan kasus Indonesia yang pernah dipimpin perempuan,

ternyata ‘nasib’ perempuan tidak lebih baik daripada nasib perempuan yang ada di

negeri yang kepala negaranya seorang laki-laki. Demikian juga realitas keterpurukan

yang terjadi Bangladesh ketika dipimpin oleh Begum Khalida Zia dan Sheikh Hasina

Wajed.23 Bagi HTI yang terpenting dalam hal ini adalah bukan masalah kuantitas

perempuan yang berkiprah di wilayah politik, melainkan kembali pada ideologi yang

benar dan seragam dalam konteks politik yang didasari oleh akidah yang benar, yaitu

akidah Islam dengan penerapan hukum-hukumnya.

Kelima, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian

persoalan-persoalan perempuan sehingga mereka harus ikut memperjuangkannya

adalah anggapan yang sangat lemah. Sebab, demokrasi dan demokratisasi sendiri, baik

dari segi teori maupun praktiknya, banyak sekali mengandung ambivalensi.24 Gagasan

22 Ibid., hlm. 80. 23 Ibid., hlm. 81. 24 Memang tidak mudah mengaitkan-ngaitkan Islam dengan demokrasi. Meskipun demikian,

tidak sedikit Muslim yang berpandangan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Dalam kaitan ini, biasanya sejumlah prinsip Islam dikemukakan, ditafsirkan, untuk kemudian disimpulkan bahwa nilai-nilai itu satu semangat dengan pandangan profetik demokrasi. Prinsip-prinsip umum yang ditawarkan adalah keadilan (‘adl), persamaan (musa>wah), musyawarah (syu>ra), dan sebagainya. Pembahasan tentang respon intelektual muslim terhadap demokrasi bisa dibaca pada karya Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).

Page 11: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

53

kedaulatan di tangan rakyat sehingga rakyat berhak menentukan hukum (prinsip

mayoritas), selalu melahirkan tirani minoritas, karena kehendak rakyat yang mayoritas

sering harus tunduk kepada kehendak wakil rakyat yang minoritas. Jika demikian

faktanya, bagaimana mungkin bisa diharapkan sistem ini bisa memberikan kebaikan

pada ‘nasib perempuan’, apalagi pada manusia secara keseluruhan.25

Bagi HTI kritik atas feminisme jelas tidak boleh berhenti pada tataran teoritis

atau praktis saja, mengingat --jika dilihat dari sudut pandang Islam-- keberadaan

paham ini sangat berbahaya karena terkait dengan hal-hal prinsip yang menyangkut

tatanan akidah maupun syari’ah. Salah satu yang paling urgen adalah mengkritisi

sejauh mana keabsahan gagasan rekonstruksi fiqh perempuan dengan metodologi

tafsir feminis yang digunakannya,26 seberapa layak pula gagasan-gagasan ‘kaum

pembaharu’ bisa diadopsi sebagai landasan beramal bagi kaum muslim maupun

muslimah dalam menjalani peran dan fungsi sosial yang akan dipertanggungjawabkan

di akherat kelak.27

Lebih lanjut HTI menilai bahwa pemikiran para tokoh feminis ini sangatlah

rancu dan berbahaya, dan inilah yang perlu diwaspadai oleh umat Islam, karena:

Pertama, ide ini merupakan produk pemikiran barat yang menganut faham liberalis

dan kapitalistik; kedua, faham ini tegak di atas landasan pemisahan agama dari

kehidupan, akibatnya menafikan Kha>liq dalam mengatur kehidupan; ketiga,

keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslim untuk merestui

ide-ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya walaupun akan mengikis

kesempurnaan Islam; keempat, seperti penjelasan sebelumnya bahwa ide ini telah

memunculkan ketimpangan dan keguncangan struktur masyarakat dan keluarga;

kelima, ide ini makin menjauhkan kaum muslim dari gambaran keagungan dan

keunikan masyarakat Islam dengan aturan sosialnya yang manusiawi, sekaligus

memadamkan cita-cita mereka untuk hidup di dalam masyarakat Islam. Bahkan, ide-

ide yang diusung feminisme kian mendekatkan kaum muslim pada hukum-hukum

Barat yang rusak dan merusak. Padahal, seharusnya disadari bahwa secara politis,

25 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm. 82. 26 Tokoh-tokoh feminis yang disebut HTI adalah mulai dari feminis luar seperti Amina

Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer, Fatima Mernisi sampai feminis dalam negeri seperti Nasarudin Umar maupun Musdah Mulia.

27 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi Politik.., hlm. 94.

Page 12: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

54

negara kapitalis yang menjadi sponsor dan suporter gerakan feminis ini sangat

berkepentingan dengan ide-ide seperti ini di dunia Islam.28

Pemikiran HTI ini didasari oleh pandangan mereka yang menganggap semua

mabda atau ideologi selain Islam seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme,

nasionalisme, patriotisme, free masonry, sektarianisme, dan isme-isme sejenis tidak

lain sebagai ideologi yang rusak dan bertentangan dengan fitrah manusia. Mabda-

mabda tersebut merupakan buatan manusia. Selain rusak dan cacat, semuanya

bertentangan dengan Islam dan hukum-hukum Islam. Mengambilnya,

menyebarluaskannya, dan berkelompok berasaskan mabda-mabda tersebut termasuk

perkara yang diharamkan Islam. Kaum muslim juga diharamkan mendirikan partai

politik berdasarkan ideologi-ideologi buatan manusia tersebut, juga haram menjadi

anggota dan simpatisannya, karena partai-partai politik seperti itu termasuk partai-

partai kufur dan mengajak kepada kekufuran.29

Penolakan HTI terhadap isme-isme, termasuk feminisme, di atas lebih terlihat

sebagai gerakan politik anti Barat. Padahal apabila ditilik dari lahir dan

berkembangnya isme-isme tersebut tidak terlepas dari gerakan perubahan yang cukup

besar dan banyak isme yang ditolak oleh HTI pada realitanya diterima dengan baik di

berbagai belahan dunia, seperti nasionalisme dan demokrasi. Sehingga kalau HTI

mengatakan bahwa di balik isme-isme tersebut tersimpan bahaya dan konspirasi besar

dari Barat, menurut penulis terlalu berlebihan. Akan tetapi kalau dikatakan bahwa

Barat menjadi salah satu peradaban yang membesarkan isme-isme tersebut, alasan itu

masih bisa diterima. Jika HTI mengatakan bahwa isme-isme tersebut merupakan

paham yang tidak bebas nilai, maka HTI30 harus memiliki jawaban yang cukup kuat

untuk mengatakan bahwa HTI bebas nilai, karena tidak ada suatu paham yang bisa

dikatakan bebas nilai.

Hal lain yang juga menjadi bidikan wacana HTI dalam hal peran politik

perempuan adalah soal pemimpin negara perempuan. Menurut HTI, di antara

aktifitas politik tertentu yang tidak diperkenankan oleh Allah untuk digeluti

perempuan adalah aktifitas-aktifitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan atau

28 Ibid., hlm 112-3. 29 Haedar Nashir, Gerakan Islam...,hlm. 409. 30 Seperti yang disampaikan oleh Nopriadi (Pengurus HTI DIY) dalam acara Workshop

“Globalisasi: Tantangan dan Peluang untuk Agama-Agama”, 8-9 Maret 2008.

Page 13: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

55

pemerintahan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan atau

pemerintahan adalah wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung

dan menyeluruh, misalnya menjadi penguasa. Penguasa dipandang sebagai orang yang

bertanggungjawab penuh secara langsung dan menyeluruh dalam mengurus urusan

umat. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara),

mu‘awin tafwi>d (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah),

dan amir (kepala daerah).31 Oleh karena itu, tidak heran pada tahun 2004, menjelang

pemilihan presiden (pilpres), ribuan massa HTI Sulawesi Selatan melakukan unjuk

rasa. Salah satu pernyataan sikapnya adalah menolak kepala negara perempuan. Hal

yang sama juga pernah mereka lakukan pada masa kepemimpinan Megawati.

Dengan istilah lain, menurut HTI, Islam telah mengharamkan jabatan

kekuasaan bagi perempuan dan mengkhususkannya bagi laki-laki. Hanya saja

pengkhususan ini bukan untuk merendahkan atau menjadikan perempuan sebagai

warga negara kelas dua, karena Islam memandang bahwa peran penguasa dan rakyat

dalam politik sama pentingya. Penguasa adalah pelaksana politik yang bersumber dari

hukum-hukum Allah, sedangkan rakyat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi

kehidupan politik berdasarkan hukum-hukum Allah.32

Dalam konteks ini jabatan kepala negara merupakan sebuah tanggung jawab

yang besar, karena menyangkut terlaksananya pengaturan kehidupan umat sesuai

dengan aturan Allah dan Rasul-Nya sehingga Islam memberikan aturan yang rinci

tentang masalah ini. Syaikh Taqiyuddin an-Nabbhani, pendiri HT, dalam kitab Niz|a>m

al-H{ukm fi> al-Isla>m, sebagaimana dikutip Najmah Sa’idah, menegaskan syarat-syarat

utama seorang kepala negara adalah:

1) Muslim, berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa (4): 141;

2) Laki-laki, berdasarkan hadis Nabi: lan-yufliha qawmun wallu> amrahum imra'atan;33

3) Balig;

4) Berakal sehat;

5) Adil, artinya konsisten dalam menjalankan agamanya, berdasarkan firman Allah

dalam Qur’an Surat al-Thalaq (65): 2;

31 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm.157. 32 Ibid., hlm. 158. 33 Untuk lebih jelas lihat teks hadis dalam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari,

(Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), V: 136, hadis nomor 4073.

Page 14: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

56

6) Merdeka, karena seorang budak tidak memiliki wewenang untuk mengatur dirinya

apalagi mengatur orang lain;

7) Mampu melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu mampu memelihara urusan umat.

Berdasarkan syarat-syarat yang dikemukakan oleh pendiri HT tersebut,

menurut HTI syarat laki-laki sebagai kepala negara dan pejabat penguasa di bawahnya

adalah syarat mutlak bagi pemerintahan Islam. Hal ini telah menjadi sunnah

Rasulullah dan dipegang teguh oleh kaum muslim dari masa ke masa. Para ulama

mujtahid empat mazhab bahkan telah bersepakat bahwa mengangkat seorang

perempuan menjabat kepala negara adalah haram.

Alasan HTI tidak membolehkan perempuan menjadi kepala negara atau

pemimpin hampir sama dengan pendapat para tokoh atau organisasi yang selama ini

menolak kepemimpinan perempuan. Menurut HTI ada beberapa argumentasi sebagai

dasar.

Pertama, firman Allah dalam Surat al-Nisa (4): 34. HTI melarang pemimpin

(presiden) perempuan berdasar firman Allah SWT di atas. Padahal, menurut Imam

Abul Hasan Ali ibn Ahmad Al-Wahidi (w.468 H) asbab al-nuzul (sebab-sebab

turunnya ayat) ayat tersebut bermula dari kisah Sa'ad ibn Rabi', seorang pembesar

golongan Anshar. Diriwayatkan bahwa istrinya (Habibah bintu Zaid ibn Abi

Hurairah) telah berbuat nusyu>z (durhaka, menentang keinginan Sa'ad untuk

bersetubuh) lalu ia ditampar oleh Sa'ad. Peristiwa keluarga ini berbuntut dengan

pengaduan Habibah kepada Nabi saw. Nabi kemudian memutuskan untuk meng-

qishash terhadap Sa'ad, akan tetapi begitu Habibah beserta ayahnya mengayunkan

beberapa langkah untuk melaksanakan qishash, Nabi memanggil keduanya lagi, seraya

mengabarkan ayat yang baru turun melalui Jibril, ar-rija>lu qawwa>mu>na 'ala>’n-nisa>’,

karena itu Nabi meralat kembali perintah untuk meng-qishash Sa'ad. Dari sini, dapat

dipahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan

perempuan di luar urusan "ranjang" jelas memiliki validitas yang sangat lemah. Ayat

tersebut juga bukan berupa kalimat instruksi (amr), namun hanya khabariah (berita),

sehingga akurasi hukum wajib atau haram memiliki kadar yang kurang efektif.

Menurut Nasaruddin Umar, ayat ini tidak tepat dijadikan alasan untuk

menolak perempuan menjadi pemimpin dalam masyarakat. Selain itu, Muhammad

Page 15: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

57

Abduh dalam tafsir al-Manar tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap

perempuan, karena ayat di atas tidak menggunakan kata “ma> fadhdhalahum bihinna”

atau “bitafdhi>lihinna”, tetapi menggunakan kata “bi-ma> fadddhalalla>h ba’dhahum ‘ala

ba’dhin”.34

Kalau didalami secara bahasa, surat al-Nisa’ ayat 34 itu masih harus difahami

secara mendalam; bahwa laki-laki menjadi pemimpin, masih bersifat penafsiran yang

dangkal. Dalam ayat tersebut dijelaskan ar-rija>lu qawwa>mu>na 'ala>’n-nisa>’. Kata

qawwa>mu>na oleh kelompok fundamentalis seperti HTI difahami sebagai pemimpin,

padahal bisa bermakna lain yaitu pelindung, perawat, dan pendidik. Sebab kata

pemimpin cenderung memberikan pemaknaan yang bersifat otoriter dan bias gender,

tetapi kalau perawat, pelindung dan pendidik lebih menekankan pada tanggungjawab.

Dan jika ditilik dari latarbelakang turunnya ayat ini, yaitu terjadi kasus keluarga

sahabat Sa’ad ibn Abi Rabi’ dengan istrinya Habibah binti Zaid maka ayat ini tidak

berangkat dari kasus yang bersifat publik.

Kedua, hadis dari Abu Bakrah: lan yuflih}a qawmun wallu> amrahum imra'atan.35

Hadis ini dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin

dalam urusan pemerintahan atau politik. Oleh karenanya HTI menyatakan seorang

perempuan tidak sah menjadi khalifah atau imam karena hadis ini dipahami sebagai

ketentuan syari’at yang bersifat baku dan universal, tanpa melihat aspek-aspek yang

terkait dengan hadis, seperti kapasitas diri Nabi ketika mengucapkan hadis, suasana

yang melatarbelakangi munculnya hadis, serta setting sosial yang melingkupi sebuah

hadis. Padahal segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan suasana yang melatar

belakangi atau penyebab terjadinya hadis mempunyai kedudukan yang penting dalam

pemahaman hadis secara utuh.36

Untuk mengetahui keabsahan pengambilan hukum tersebut, perlu dilihat asbab

wurud al-hadis (sebab-sebab munculnya hadis). Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-'Asqalani

(w.852 H) dalam karyanya Fath al-Bari menegaskan bahwa hadis tersebut bermula dari

kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah saw yang menyampaikan surat ajakan

34 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 150. 35 Tentang hadis ini dan perawinya, lihat Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari,

Sahih ...,V: 136. Hadis nomor 4073. 36 Nizar Ali, “Kepemimpinan Perempuan dalam Dunia Politik”, dalam Hamim Ilyas dkk,

Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Yogyakarta: elSaq Press & PSW, 2005), hlm..272.

Page 16: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

58

masuk Islam kepada Kisro Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi.

Anusyran menanggapi sinis ajakan tersebut dengan merobek-robek surat. Nabi Saw

memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana

Anusyirwan merobek-robek surat tersebut. Tak berapa lama, firasat itu terjadi,

akhirnya kerajaan dipimpin putri Kisro yang bernama Buran. Mendengar realitas

negeri Persia yang dipimpin perempuan, Nabi Saw berkata: lan yuflih}a qawmun wallu>

amrahum imra'atan. Komentar Nabi ini sangat argumentatif, karena kapabilitas Buran

yang lemah di bidang kepemimpinan. Melihat latar belakang ini, turunnya hadis

tersebut tampak kasuistis dan kondisional. Obyek pembicaraan Nabi bukanlah

kepada seluruh perempuan, tetapi hanya tetuju kepada putri Anusyirwan yang

kredebilitas kepemimpinannya sangat diragukan, terlebih di tengah percaturan politik

Timur Tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku. Hadis ini juga bukan

berupa kalimat larangan (nahy), tetapi hanya khabariah (berita). Oleh karena itu,

hukum haram (larangan) pun tidak memiliki signifikansi yang akurat.37 Quraish

Shihab menambahkan bahwa hadis ini khusus ditujukan kepada masyarakat Persia

dan tidak kepada masyarakat umum dan dalam semua urusan.38 Tidak berlebihan jika

kemudian Ibn Jarir Al-Thabari menandaskan, pemimpin (presiden) perempuan

bukanlah mani’ (penghalang) dalam hukum Islam. Pendapat ini kemudian dikuatkan

pula oleh sebagian ulama’ Malikiyyah dalam memberikan legitimasi Ratu Syajaratud

Dur di Mesir.39

Dilihat dari aspek dalil, hadis ini tidak cukup syarat dijadikan pelarangan

keterlibatan perempuan menjadi pemimpin. Karena menurut teori us\ul al-fiqh, sebuah

nash, baru dapat dikatakan menunjukkan larangan (pengharaman) jika memuat

setidaknya hal-hal berikut. Pertama, secara redaksional, nash dengan tegas mengatakan

haram. Kedua, nash dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahy. Ketiga, nash diiringi

oleh ancaman (‘uqu>bah). Keempat, menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika

37 Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-'Asqalani, Fathul Bari Syarhu S}ahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-

Fikr, t.t.), VIII: 128; Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, editor: Jauhar Hatta Hasan, (Jakarta: Pustaka Ciganjur; Oktober 1999), hlm. 8. 38 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur an, (Bandung: Mizan, 1419 H/1998 M), hlm. 314.

39 Ibid., hlm. 8-9.

Page 17: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

59

bahasa arab menunjukkan tuntutan yang harus dilaksanakan. Adapun redaksi hadis

tersebut tidak bisa diarahkan pada pelarangan (haram).40

Menurut penulis, penolakan HTI terhadap kepemimpinan perempuan

(terutama presiden) lebih dilandasi oleh tafsir literal yang mereka pegang dalam

memahami teks al-Qur’an dan al-Hadis, yang menunjukkan makna literal bahwa laki-

laki menjadi pemimpin perempuan. Jika mereka menggunakan tafsir kontekstual,

maka akan diperoleh hukum sebaliknya.

Secara kontekstual, posisi perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat

laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau

peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara populer dikenal sebagai peradaban

patriarkhi. Pada masyarakat seperti ini, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk

mengaktualisasikan dirinya dan berperan dalam posisi-posisi yang menentukan. Oleh

karena itu, laki-laki diposisikan lebih superior daripada perempuan.

Penulis melihat pemahaman HTI tentang ketidakbolehan perempuan menjadi

pemimpin terlihat tekstual dan konservatif sehingga sangat bias gender. Apabila

pemahaman ini dihadapkan pada fakta-fakta sejarah yang ada maka ia akan

terbantahkan. Sejumlah perempuan terbukti telah mampu memimpin bangsanya

dengan sukses gemilang. Pada masa sebelum Islam, dikenal Ratu Balqis –penguasa

negeri Saba- yang diceritakan al-Qur’an. Kepemimpinannya dikenal sukses gemilang

dan negaranya aman sentosa. Kesuksesan Balqis ini antara lain disebabkan karena ia

mampu mengatur negaranya dengan sikap dan pandangan yang demokratis. Selain

Ratu Balqis, di era modern ini banyak sekali perempuan yang juga relatif sukses

memipin bangsanya sendiri seperti Indera Gandhi, Margaret Tatcher, Benazir Buto,

dan lain-lain. Sebaliknya terdapat sejumlah besar kepala negaranya berjenis kelamin

laki-laki yang gagal memimpin bangsanya. Sejak tahun 2000-an sejumlah negara

dikepalai atau dipimpin oleh perempuan. Antara lain Bangladesh, Guyana, Irlandia,

Selandia Baru, Sri Langka, Jerman, Indonesia, dan beberapa negara di Eropa.

Kegagalan dan kesuksesan memimpin suatu negara dengan demikian tidak

ada kaitan sama sekali dengan persoalan jenis kelamin, tetapi lebih pada sistem yang

diterapkan dan kemampuan memimpin. Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah –

40 Abdul Jalil, dkk., Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta; LKiS; 2000),

hlm. 74.

Page 18: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

60

sebagaimana dikutip Husein Muhammad- bahwa persoalan-persoalan yang

menyangkut kemasyarakatan dan politik, yang paling penting adalah kemaslahatan.41

Terkait dengan pemikiran beberapa ulama’ yang mengajukan syarat laki-laki

bagi seorang pemimpin, penulis berpendapat bahwa pemikiran ulama’ tersebut sudah

tidak relevan dengan konteks zaman dan harus mengalami peninjauan ulang agar

hukum Islam tetap eksis dan shalih li kulli makan wa zaman (kontekstual dalam segala

ruang dan waktu). Jika asumsinya adalah karena perempuan tidak memiliki

kemampuan rasio yang memadai jika diperhadapkan dengan laki-laki, seperti

argumentasi yang biasa digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan, maka

alasan yang demikian bisa dipahami ketika pada masa-masa dahulu, kondisinya

memang miskin akses informasi, dan menjadikan perempuan tidak bisa mengetahui

suatu persoalan secara komprehensif. Hal ini tidaklah mengherankan, jika kemudian

perempuan pada abad pertengahan --ketika banyak sekali kitab fiqh dikarang--

perempuan terpinggirkan secara sosial-politik sehingga mereka tidak bisa mengakses

pendidikan, informasi dan pengetahuan.42

Dengan situasi zaman yang seperti sekarang ini, yang diiringi telah begitu

terbukanya seluruh aspek yang dulu tidak bisa diakses perempuan maka asumsi di

atas menjadi terpatahkan secara otomatis. Selain itu, asumsi perempuan secara fisik

juga lemah sehingga tidak pantas menjadi pemimpin, juga menjadi tidak signifikan

lagi ketika saat ini moda transportasi, komunikasi dan teknologi telah menjembatani

keterbatasan-keterbatasan yang dialami perempuan.

Perjuangan politik perempuan HTI bukan karena landasan kesetaraan

melainkan berdasarkan pandangan bahwa perempuanpun memiliki kewajinan besar

untuk berpolitik. Dalam konsepsi doktrin gerakan politik HTI, keterlibatan

perempuan dalam aktivitas politik digolongkan menjadi dua, yaitu aktivitas politik

yang dibolehkan atau diwajibkan dan yang dilarang. Aktivitas politik perempuan yang

dibolehkan dalam konsep HTI adalah: (1) hak dan kewajiban bai’at,43 (2) hak memilih

41 Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender

(Yogyakarta : LKiS, 2001), hlm. 151. 42 Abdul Jalil, dkk. Fiqh Rakyat., hal. 75. 43 Thoha Hamim, Islam & NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer (Surabaya:

Diantama, 2004), hlm. 10.

Page 19: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

61

dan dipilih menjadi anggota majelis umat,44 (3) kewajiban amar makruf nahi munkar,45

(4) kewajiban menasihati dan mengoreksi penguasa,46 dan (5) kewajiban menjadi

anggota partai.47

Realitas dalam lintasan sejarah ditemukan keterlibatan kaum perempuan dalam

aktivitas politik sudah ada sejak masa-masa awal perkembangan Islam, mereka

membantu perjuangan Nabi dan sahabatnya sampai pada aktivitas yang paling

berisiko seperti jihad. Realitas sejarah ini menjadi argumentasi lain HTI untuk

mengizinkan perempuan terlibat dalam ranah politik. 48

Dari pengamatan dan pembacaan yang penulis lakukan di atas, secara

hermeneutis penulis melihat terdapat keterkaitan erat antara persepsi HTI dan latar

weltanschauung mereka. Latar yang dimaksud menunjuk pada prasangka, kondisi

historis (historical situatednes), dan tradisi HTI. Secara langsung maupun tidak, anasir

hermeneutik itu mewarnai horison HTI dalam menderivasi pesan tekstual ajaran

Islam seputar relasi gender. Jadi pemahaman HTI itu tidak berawal dari kekosongan

dalam situasi budaya yang vakum, melainkan muncul sebagai refleksi langsung dari

gugusan pengalaman panjang pengetahuan dan kehidupan mereka. Persepsi HTI

mengenai kesadaran gender, termasuk kepemimpinan perempuan secara langsung

berkaitan dengan teks-teks doktrinal Islam yang cenderung membenci perempuan

(misoginis). Akan tetapi penulis melihat bahwa hal itu tidak hanya karena Islam hadir

di tengah masyarakat bertradisi “man is the best and the first” melainkan juga

berlangsungnya kesimpangsiuran dalam memahami otoritas teks di satu sisi, dan

dimensi penafsiran di sisi lain yang acap kali bermuara pada reproduksi wacana yang

bertentangan dengan nilai kesetaraan gender. Agaknya itu memang konsekuensi logis

dimenangkannya otoritas tradisi Islam demi memelihara idealitas Islam sebagai agama

samawi. Trend paradigmatik “mensubordinasi konteks atas teks” menjadi fenomena

umum dan nyaris dalam keseluruhan dinamika keilmuan Islam pasca abad

44 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm.152. 45 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan (Jakarta:

Serambi, 2006), hlm. 226-7. 46 Abdul Qadim Zalluum, Sistem Pemerintahan Islam, terj. M.Maghfur W (Bangil: Al-Izzah,

2002), hlm. 335. 47 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm. 155. 48 Bukti keterlibatan perempuan muslimah dalam kegiatan politik pada masa kerasulan bisa

dibaca pada Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita , terj. Chairul Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 489-547.

Page 20: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

62

pertengahan Hijriyah yang berimbas pada banyaknya ajaran Islam kehilangan konteks

sosialnya (sekaligus relevansi sosialnya).

C. Halaqah: Ruang Silaturahmi, Komunikasi, dan Belajar

Salah satu ciri yang melekat pada HTI adalah halaqah-halaqanya. Di halaqah

inilah silaturahmi antaranggota HTI terbangun dan berbagai kajian diselengarakan,

seperti kajian tentang isu-isu KDRT, poligami, presiden perempuan, dan isu khilafah

menjadi hal tepenting dari serangkaian diskusi tersebut. Pernah pada suatu waktu

penulis mengikuti beberapa halaqah yang diselenggarakan oleh FATIMAH (Forum

Muslimah Cinta Khilafah)49 di beberapa tempat di Yogyakarta. Audiens yang hadir

pada halaqah-halaqah tersebut bukan hanya perempuan anggota HTI saja melainkan

juga dihadiri oleh beberapa perwakilan badan otonom-badan otonom perempuan

organisasi Islam di Yogyakarta, seperti Muslimat, Fatayat, Aisiyah, Nasyiatul Aisiyah,

dan lain-lain. Selain itu, HTI juga mengundang tokoh-tokoh perempuan seperti Ibu

Teladan Yogakarta dan juga banyak tokoh perempuan lainnya.

Halaqah yang diadakan oleh HTI biasanya bersifat terbuka karena halaqah ini

menjadi salah satu media kampanye kepada publik tentang term-term yang diusung

dalam khilafah. Oleh karena itu, HTI tidak pernah mengadakan halaqah atau seminar

yang menghadirkan tokoh yang dianggap kontra terhadap term HTI sehingga forum

yang diadakan HTI tersebut seringkali mengusung ide-ide HTI. Meskipun demikian

dari beberapa halaqah yang pernah penulis ikuti, proses dialog antara pembicara dan

audiens selalu cair. Dalam satu kesempatan penulis juga pernah menyaksikan kritik

yang dilontarkan dari audiens terhadap konsep yang dimiliki oleh HTI (dalam hal ini

tema halaqah adalah poligami) dan salutnya kritik tersebut disikapi dengan bijak.

Perempuan HTI tidak hanya belajar tentang isu-isu yang berkaitan dengan

perempuan, di beberapa kesempatan penulis juga pernah ditawari untuk mengikuti

kajian tentang fiqh siyasah bersama Ustad Shidiq al Jawi, seminar terbatas tentang

pendidikan, dan juga dalam konferensi khilafah baik yang Internasional maupun

nasional. Dari beberapa halaqah yang pernah penulis ikuti, penulis melihat semangat

perjuangan perempuan HTI tercermin dari barisan kalimat yang penulis sarikan dari

49 Fatimah merupakan forum khusus bagi anggota nisa’ HTI Yogyakarta yang biasanya

menyelengarakan berbagai diskusi (umum maupun khusus bagi anggota).

Page 21: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

63

beberapa halaqah dan juga perbincangan penulis dengan anggota dan pengurus HTI;

“Kau boleh dari Islam madzhab apa pun (kecuali yang tidak percaya pada

Muhammad), dari Islam organisasi mana pun, asalkan kau tahu dan mau untuk selalu

berjuang demi bersatunya umat Islam dalam bingkai khilafah, maka engkau menjadi

teman seperjuangan kami dengan semangat ‘izzul Islam wal muslimin. Akan tetapi satu

hal bahwa kami adalah partai politik, yang kami perjuangkan adalah madzhab

politik.” Selain itu penulis juga menemukan model relasi yang penulis gambarkan

dalam kalimat berikut ini: ”Tak ada raut kebencian di wajah mereka, senyum ramah

selalu menyambut ketika kita bertemu dengan mereka, tatapan penuh gairah

perjuangan dan optimisme yang mereka punya mungkin tak dipunyai perempuan di

organisasi mana pun”. Kalimat tersebut menggambarkan semangat tak kenal lelah

dari para anggota maupun pengurus HTI yang pernah penulis temui.

Besar kecilnya halaqah HTI tergantung pada tema yang diperbincangkan.

Selain itu halaqah yang diadakan oleh HTI ada yang diperuntukkan bagi anggotanya

sendiri, ada yang bersifat untuk umum. Beberapa yang penulis ungkap di atas adalah

halaqah yang bersifat umum.

Satu hal lagi, selain melalui media halaqah, HTI juga mengkampanyekan

khilafah dengan menggunakan sistem sel seperti halnya sistem yang digunakan oleh

Partai Komunis Indonesia pada masa orde lama dan sistem yang kerap kali digunakan

oleh model perdagangan multi level marketing (MLM), meski dalam hal ini penulis tidak

bermaksud menyamakan atau membandingkan.

D. Demi Tegaknya Khilafah

Khilafah seolah menjadi jargon yang “ampuh” bagi HTI. Konsep ini selalu

disajikan dalam berbagai pertemuan sebagai suatu solusi permasalahan Indonesia

yang mereka bilang saat ini sedang akut. Menegakkan khila>fah Isla>miyah adalah

kewajiban karena syari’at tidak akan tegak tanpa ada khila>fah50, dengan adanya khila>fah

maka syari’at akan tegak karena akan ada yang bertanggung jawab untuk

menyebarkan ajaran yang berkaitan dengan syari’at Islam ke seluruh pelosok negeri.

Tegaknya khila>fah adalah cita-cita yang membuat anggota HTI bersemangat untuk

50 “Hajatan Demokrasi Muslim Indonesia”, Gatra Edisi Khusus Nomor 1-2 tahun XI. 27

November 2004, hlm 120.

Page 22: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

64

menyebarkan ide atau pemikiran yang mereka pegang sebelum proses perebutan

kekuasaan yang akan dilakukan setelah ide atau pemikiran tentang khila>fah tersebar di

seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Satu hal yang penulis lihat istimewa dari

proses ini adalah perempuan HTI memberikan sumbangan yang sangat besar bagi

eksistensi HTI hingga saat ini.

Ketika penulis bertemu dengan Ustad Yoyo Tendyo S, koordinator

Hubungan Masyarakat HTI DPD 1 DIY, dan menanyakan perihal berdirinya khila>fah

di Indonesia, dengan tegas beliau menyatakan bahwa Hizbut Tahrir memiliki

keyakinan yang sangat kuat bahwa khila>fah akan berdiri dan Indonesia akan menjadi

negara pusat berdirinya khila>fah. Pendapat lain yang juga penulis jumpai adalah

perjuangan HTI dapat membahayakan kesatuan negara Republik Indonesia seperti

diungkap oleh Zainuddin dalam disertasinya Perjuangan Pengambilalihan Kekuasaan:

Studi tentang Khilafah Perspektif Hizbut Tahrir, 51 meskipun menurut Nopriadi, salah satu

anggota HTI, khila>fah bukan konsep yang bersifat ijtihadi.

Dari sini secara subyektif penulis melihat bahwa optimisme tegaknya khilafah

oleh HTI disambut pesimis oleh sebagian kalangan masyarakat karena realitas sejarah

mengungkapkan bahwa praktik pemerintahan khila>fah yang telah ada juga mengalami

distorsi dan penyimpangan dalam berbagai bidang seperti halnya praktik

pemerintahan modern saat ini.52 Apalagi jika khila>fah dihadapkan dengan realitas

bangsa modern (nation state) yang plural (beraneka ragam) seperti Indonesia, keduanya

akan menjadi bom waktu yang saling berbenturan.

E. Penutup: Kritik terhadap Sebuah Konsep

Setelah menganalisa peran politik perempuan HTI di pembahasan

sebelumnya, penulis melihat tawaran HTI tersebut mengindikasikan ketimpangan

antara hak yang diberikan kepada perempuan dengan beban kewajiban peran politik

(dakwah) yang mereka emban untuk perjuangan partai. Perempuan sebagai anggota

partai memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki, sedangkan dalam dataran hak,

perempuan HTI memiliki wilayah yang sangat terbatas, bahkan untuk menjadi

51Zainudin, Perjuangan Pengambilalihan Kekuasaan Studi tentang Khilafah Perspektif Hizbut Tahrir,

Disertasi Program Doktor UIN Sunan Kalijaga 2007. 52 Bacaan yang baik tentang sejarah kelam praktik politik di kalangan kaum muslim pada

masa klasik adalah karya Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang (Jakarta: Paramadina, 2008).

Page 23: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

65

anggota majelis umat pun perempuan harus memiliki kriteria khusus, termasuk dari

sisi umur (usia yang tidak lagi memiliki tanggung jawab besar terhadap pengasuhan

anak).53 Pada level organisasi, perempuan hanya berhak untuk mengeluarkan

pendapat yang berkaitan dengan masalah umat, bagaimanapun laki-laki yang

terhimpun dari majelis umat yang memiliki hak lebih untuk menentukan. Bahkan

beberapa hal yang menjadi keputusan Amir pusat HT tidak harus dipertanyakan

namun harus dilaksanakan, termasuk keputusan yang berkaitan dengan perempuan.54

Bisa dibayangkan begitu banyak peran yang harus dimiliki oleh perempuan

HTI dalam ranah publik dan domestik, namun sangat disayangkan peran ini tidak

diimbangi dengan pemberian hak yang seimbang dalam ranah publik, khususnya

dalam ranah politik. Mengapa hal ini tidak mendapatkan protes dari perempuan HTI?

Semua itu karena doktrin yang mereka miliki telah menjadi keyakinan yang kuat.

Menurut penulis kalau HTI konsisten dengan doktrin kembali kepada al-

Qur’an dan al-Hadis, seharusnya memberikan ruang yang bebas bagi kaum

perempuannya. Terkait partisipasi publik terutama urusan sosial politik, penulis

banyak menjumpai literatur yang mengenalkan keuletan Khadijah dalam memainkan

peran-peran bisnisnya, kecerdasan dan intelektualitas Aisyah sampai pernah

memimpin kelompok oposisi pada zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib atas

ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah Ali pada masa itu, kemudian

Ummu Salamah yang memiliki peran cemerlang dalam bidang politik. Kesemuanya

ini merupakan gambaran dari kebebasan ruang sosial politik yang diberikan kepada

perempuan pada masa itu.

Kalau kita mau bersikap arif, sebenarnya keterlibatan perempuan di ranah

publik (terlebih sebagai pemimpin) merupakan cerminan implementasi pengakuan

dan penghormatan Islam terhadap perempuan. Pemberian kesempatan untuk terlibat

dalam urusan publik akan memberi manfaat besar bagi terciptanya keadilan dan

kesejahteraan bagi semua orang. Kehadiran pemimpin yang diharapkan mampu

merumuskan kebijakan-kebijakan negara yang dapat memberdayakan berjuta-juta

kaumnya dan menghapus kultur diskriminatif seharusnya tidak dibatasi dari sisi

53 Wawancara dengan Humas DPD 1 HTI Yogyakarta pada Sabtu, 6 Oktober 2007, pukul

11.00 – 12.30. WIB di kantor DPD 1 DIY. 54 Wawancara dengan Pengurus Nisa’ HTI DPD 1 DIY, pada 16 Desember 2007 di Kantor

HTI PDP 1 DIY.

Page 24: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

66

gender melainkan pada sisi kemampuan. Perilaku diskriminatif tersebut akan luntur

jika konstruksi sosial yang menghargai laki-laki dan perempuan terbentuk secara

seimbang. Akan tetapi, butuh perjuangan yang panjang untuk mewujudkan

keseimbangan tersebut, apalagi jika melihat doktrin gerakan seperti HTI yang masih

terkungkung pada teks verbatim nash.

Di sinilah penulis melihat peminggiran atau bahkan hegemoni yang dilakukan

oleh HTI terhadap perempuannya. Kalau hegemoni dikatakan sebagai penguasaan

kelompok dominan yang digunakan untuk membentuk kesadaran subordinat maka

hegemoni dalam tubuh HTI tercipta antara laki-laki sebagai kelompok dominan

untuk melakukan subordinat terhadap perempuan. Hegemoni HTI ini dilakukan

lewat pemahaman dan penafsiran yang tekstual terhadap doktrin keagamaan yang

mestinya bisa ditafsirkan sesuai dengan semangat zaman, apalagi pesan dasar dari al-

Qur’an sangat jelas yaitu tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan

termasuk dalam politik. Apalagi jika dilihat dari latar belakang pendidikan perempuan

HTI yang tergolong menengah ke atas (sebagian besar menempuh pendidikan hingga

perguruan tinggi).

Apabila dilihat dalam peta pergerakan perempuan, HTI saat ini berada pada

tingkatan pengakuan terhadap kemampuan dan kompetensi perempuan dalam

berpolitik, namun belum mencapai tahapan memunculkan partisipasi perempuan

secara langsung dalam politik. Padahal aktivitas sosial-politik kaum perempuan

mustahil dapat tercapai dengan baik tanpa merealisasikan tiga tahapan penting yang

saling berkaitan, yaitu pertama, pengakuan terhadap kemampuan dan kompetensi

politik kaum perempuan; kedua, penghargaan atau pengakuan tersebut mencapai

momentumnya ketika kaum perempuan menjadi sadar secara politik dan menyadari

tanggung jawabnya dalam masyarakat; dan, ketiga, memunculkan partisipasi politik

yang luas di kalangan kaum perempuan yang dikondisikan oleh kemampuan-

kemampuan dan tingkat kesadaran diri mereka sendiri yang dipraktekkan pada

sebuah latar belakang sosial yang menyenangkan serta memberikan rangsangan dan

momentum bagi mereka.

Mungkinkah perempuan HTI akan terus terpinggirkan di tengah perjuangan

keras mereka menkampanyekan khila>fah di Indonesia? Kalau HTI masih berkutat pada

Page 25: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

67

pemaknaan teks yang literalis maka perempuan HTI akan selalu menjadi bagian

masyarakat yang terpinggirkan dalam politik.

Page 26: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

68

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita , terj. Chairul Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Abdul Jalil, dkk., Fiqh Rakyat;Pertautan Fiqh Dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000.

Abdul Qadim Zalluum, Sistem Pemerintahan Islam, terj. M.Maghfur W, Bangil: Al-Izzah, 2002.

Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-'Asqalani, Fathul Ba>ri Syarhu S}ahi>h al-Bukha>ri, Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.

Al-Wa’ie Media Politik Dakwah, No.75 Tahun VII, 1-30 November 2006.

Al-Wa’ie Media Politik Dakwah, No.64 Tahun V, 1-28 Februari 2005.

Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang, Jakarta: Paramadina, 2008.

Gatra Edisi Khusus Nomor 1-2 tahun XI. 27 November 2004

Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP, 2007.

Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis, Yogyakarta: elSaq Press & PSW, 2005.

Hans George Gadamer, Truth and Method, New York, Seabury Press, 1975.

Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme; Akhlak Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006.

Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005.

M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur an, Bandung: Mizan, 1419 H/1998 M.

Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi Politik Perempuan Bercermin Pada Shahabiyat, Jakarta: IdeA Pustaka Utama, 2003.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 1999.

Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, editor: Jauhar Hatta Hasan, Jakarta: Pustaka Ciganjur; Oktober 1999.

Thoha Hamim, Islam & NU di bawah Tekanan Problematika Kontemporer, Surabaya: Diantama, 2004.

Page 27: Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia

69

Ummu Nayla, “Pemberdayaan Perempuan Perspektif Islam Sebuah Solusi” dalam Aliansi Penulis Pro Syari’ah, Keadilan dan Kesetaraan Gender (2007).

WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologis dan Penyebarannya, Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2002.

Zainudin, Perjuangan Pengambilalihan Kekuasaan Studi tentang Khilafah Perspektif Hizbut Tahrir, Disertasi Program Doktor UIN Sunan Kalijaga 2007 (tidak diterbitkan).