Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan politik yang berlangsung di suatu Negara sangatlah kompleks, mulai dari pembuatan keputusan, berfungsinya lembaga- lembaga politik, praktik praktik politik dan sebagainya. Di era kontemporer terdapat kebutuhan yang pasti untuk mendefenisikan peran perempuan dalam arena sosial dan politik. Tampilnya perempuan di panggung politik Indonesia sudah terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Perjuangan fisik melawan kolonialisme Belanda juga banyak tampil tokoh-tokoh perempuan. Beberapa diantaranya seperti Dewa Agung Istri Kaniya adalah tokoh perempuan yang memimpin perang Kusamba, di wilayah Kerajaan Klungkung Bali, yang dijuluki “wanita besi” dari Bali oleh pihak pemerintah Belanda. Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Marta Tehahahu dari Maluku, Emmy Saelan dari Sulawesi Selatan dll. Di Jawa Tengah R.A. Kartini dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan kesetaraan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan. Di Jawa Barat nama Dewi Sartika dikenalsebagai tokoh yang juga bergerak dalam meningkatkan pendidikan perempuan. 1

description

Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Transcript of Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Page 1: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan politik yang berlangsung di suatu Negara sangatlah

kompleks, mulai dari pembuatan keputusan, berfungsinya lembaga- lembaga

politik, praktik praktik politik dan sebagainya.

Di era kontemporer terdapat kebutuhan yang pasti untuk

mendefenisikan peran perempuan dalam arena sosial dan politik. Tampilnya

perempuan di panggung politik Indonesia sudah terjadi sejak zaman

kerajaan-kerajaan di Nusantara. Perjuangan fisik melawan kolonialisme

Belanda juga banyak tampil tokoh-tokoh perempuan. Beberapa diantaranya

seperti Dewa Agung Istri Kaniya adalah tokoh perempuan yang memimpin

perang Kusamba, di wilayah Kerajaan Klungkung Bali, yang dijuluki

“wanita besi” dari Bali oleh pihak pemerintah Belanda. Cut Nyak Dien dan

Cut Meutia dari Aceh, Marta Tehahahu dari Maluku, Emmy Saelan dari

Sulawesi Selatan dll. Di Jawa Tengah R.A. Kartini dikenal sebagai tokoh

yang memperjuangkan kesetaraan perempuan khususnya dalam bidang

pendidikan. Di Jawa Barat nama Dewi Sartika dikenalsebagai tokoh yang

juga bergerak dalam meningkatkan pendidikan perempuan. Keikutsertaan

perempuan dalam perjuangan Bangsa Indonesia untuk memperoleh

kemerdekaan, membebaskan bangsa dari penjajahan telah terpatri dalam

berbagai dokumen bangsa ini.

Studi partisipasi politik bila dikaitkan dengan wanita, ini membawa

implikasi bahwa wanita, ini membawa wanita sebagai sosok yang patut

diperhitungkan dan diteliti secara tersendiri atau diperlakukan sebagai actor

atau subyek yang eksklusif dalam politik. Meningkatnya kepedulian terhadap

partisipasi politik wanita menunjukan bahwa para ilmuwan dan para

pengambil keputusan kini mulai menyadari bahwa persoalan mengenai

pembangunan tidak terlepas dari peran wanita dalam segala aspek

pembangunan.

1

Page 2: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Pemerintahan di masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto

mempunyai karakteristik yang berbeda dari pemerintahan sebelum dan

sesudah masa kepemimpinannya. Orde Baru yang bersifat otoriter

mempunyai kekuasaan penuh atas pemerintahan Indonesia saat itu. Tidak

ada yang berani mencoba untuk menentang apa yang menjadi keinginan

Soeharto pada saat itu. Tidak ada ruang untuk menyuarakan pendapat rakyat

dan semua tunduk terhadap apa yang telah dimandatkan oleh Soeharto.

Semua berada dalam kendali keotoriteran Soeharto.

Rezim Soeharto berkuasa penuh pada saat itu. Peran orang-orang

yang bukan berasal dari kerabat dekat Soeharto tidak terlalu signifikan di era

ini. Terlebih lagi kaum wanita. Berbagai macam pandangan tentang wanita

di masyarakat tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Kaum wanita masih

dianggap tabu untuk melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh kaum

pria. Kaum wanita yang dianggap lemah sering dimarginalkan dalam

masyarakat. Kodrat kaum wanita hanya dianggap sebagai seorang istri, atau

ibu rumah tangga saja. Sehingga apabila wanita ingin berperan dalam hal-hal

yang baru terlebih berperan dalam hal politik masih sangat dipertimbangkan.

Hal tersebut semakin dipersulit ketika Orde Baru, mengingat semua kontrol

pemerintah berada di bawah kekuasaan rezim otoriter Soeharto.

Padahal banyak kemampuan kaum wanita yang tidak dimiliki oleh

kaum pria. Ada beberapa indikator bahwa wanita dalam aspek-aspek tertentu

secara alamiah unggul terhadap pria. Ketika wanita diberikan kesempatan

untuk berperan lebih maka banyak keuntungan-keuntungan yang dapat

dimanfaatkan. Wanita yang pada awalnya tidak mendapatkan pendidikan,

namun dengan jasa R.A Kartini wanita dapat mengenyam pendidikan yang

sama dengan yang diterima oleh kamu pria. Dengan pendidikan yang telah

diterima oleh kaum wanita itulah mereka mampu berpikir mengenai hal-hal

yang baru, yang mana dapat mengubah keadaan sekitar. Kaum wanita

mencoba untuk membuat inisiatif-inisiatif baru yang mana dapat

mengangkat harkat mereka dan dapat berperan dalam masyarakat terlebih

2

Page 3: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

dalam berpolitik yang mana mana pada saat ini politik masih dianggap

sebagai hal yang sangat elit yang hanya diperuntukkan bagi kaum pria.

Di era Orde Baru yang peluang untuk bersuara sangatlah kecil, kaum

wanita mencoba mengajukan berbagai macam tuntutan untuk mendapatkan

perannya dalam berpolitik. Mereka mencoba untuk memperjuangkan hak-

haknya. Mereka berharap pemerintah dapat mendengarkan dan

memperhitungkan aspirasi-aspirasi kaum wanita tersebut. Dengan adanya

tuntutan-tuntutan tersebut diharapkan kaum wanita mempunyai andil dan

dapat turut serta dalam menduduki jabatan yang strategis dalam

pemerintahan. Meskipun perjalanan perjuangan kaum wanita di Orde Baru

tidak mendapatkan hasil yang maksimal di era itu namun wanita dapat

mengambil jerih payah yang mana keterwakilan wanita dapat diajukan

paling sedikit 30% setiap partai politik peserta pemilu untuk anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada era Reformasi

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Peran

Perempuan Dalam Politik di Era Reformasi.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

“Membahas tentang Peran Perempuan Dalam Politik di Era Reformasi..”

3

Page 4: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Konseptual

Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu

pada pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta. Akan tetapi sistem

politik dalam ilmu politik itu sendiri sudah tampak jelas berbeda dengan

ilmu eksakta. Sebagai suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu.

Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara

sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem

politik. Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat

memahami tindakan politik sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan

dengan pembuatan keputusan yang menyangkut publik.

Dalam berbagai kehidupan politik untuk menganalisis sebuah sistem

politik akan lebih mudah apabila kita menggunakan pendekatan untuk

menjelaskan kehidupan politik yang beragam. David Easton telah

mengembangkan suatu kerangka analisis sistem yang disebut pendekatan

sistem politik. Kerangka ini menjelaskan cara kerja sistem politik yang mana

melibatkan proses input dan output.

Selain itu, dalam menganalisa sistem politik kita juga dapat

menggunakan tiga konsep dasar Almond yang menjelaskan fenomena politik

dalam suatu negara yang mempunyai hubungan interaksi dengan masyarakat

yang melingkupinya, baik masyarakat politik domestik maupun

internasional. Adapun salah satu dari ketiga konsep yang digunakan dalam

paper ini adalah sebagai berikut:

Fungsi politik

a. Sosialisasi politik, merupakan fungsi untuk mengembangkan dan

memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk, atau melatih

rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan

yudisial tertentu.

4

Page 5: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

b. Rekrutmen politik, merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk

kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam

media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk

jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian.

c. Komunikasi politik, merupakan jalan mengalirnya informasi melalui

masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam system

politik. Ketiga fungsi tersebut tidak secara langsung terlibat dalam

pembuatan dan pelaksanaan kebijakan instansi negara.

d. Agregasi kepentingan oleh partai politik. Parati politik mengakomodasi

suara, tuntutan, atau keinginan masyarakat.

e. Artikulasi kepentingan oleh kelompok kepentingan. Di dalam

masyarakat terbentuk kelompok-kelompok yang saling berbeda

kepentingan.

Fungsi politik tersebut berlandasakan budaya politik yang melekat

pada lingkungannya.

2.2 Perempuan dalam Perjuangan Politik

Berbicara soal politik tak pernah habisnya. Politik terus mengalir dan

digerakkan. Bukan saja lelaki yang bisa bergerak di bidang politik, tetapi

perempuan juga ada haknya. Perjuangan emansipasi perempuan, telah

menuntun perempuan untuk mewujudkan terciptanya persamaan hak antara

kaum perempuan dan kaum laki-laki. Emansipasi yang menjadi wujud

gerakan perjuangan persamaan hak-hak perempuan dari ketidakadilan dan

ketertindasan.

Dalam sejarah pergerakan perjuangan emansipasi perempuan,

sesungguhnya tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Eropa saja. Tetapi

juga terjadi di kalangan masyarakat Islam seperti yang terjadi di beberapa

Negara-negara Islam. Perjuangan itu muncul, karena perempuan masih

diperlakukan secara tidak adil. Sebagai gambaran, sampai tahun 30-an

meskipun sekularisme sudah muncul, tapi perempuan di negara-negara Islam

tersebut masih belum mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya. Kondisi

5

Page 6: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

demikian yang memaksa perempuan barat terus memperjuangkan hak-

haknya.

Hak-Hak Politik Kaum Perempuan

Menurut Ja’far yang dimaksud hak-hak politik adalah hak-hak yang

ditetapkan dan diakui undang-undang atau konstitusi berdasarkan

keanggotaan sebagai warga Negara. Pada umumnya, konstitusi mengaitkan

antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat kewarganegaraan.

Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep dan kewajiban

sekaligus. Sebab hak-hak politik pada tingkatan tertentu menjadi hak bagi

individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan

hak mutlak, sebagaimana yang diterima, membolehkan seseorang

menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apapun.

Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu dalam

pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di

majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan, atau pencalonan diri

mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembaga-lembaga perwakilan

tersebut.

Hak-hak politik sesuai yang dikemukakan oleh Dahla, bahwa dalam

sebuah Negara yang demokratis, harus menjamin kebebasan dan hak-hak

untuk:

1) Kebebasan untuk membentuk dan ikut aktif dalam suatu organisasi

2) Kebebasan beraktivitas

3) Kebebasan memilih dan berpendapat

4) Serta kebebasan untuk berpatisipasi aktif dalam kegiatan pemerintahan

yang diselenggarakan oleh negara.

6

Page 7: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Alur Kerja Sistem Politik

Pada awal tahun 1950-an, seorang sarjana sains politik, David

Easton, mengembangkan suatu kerangka kerja yang diharapkan dapat

digunakan untuk menjelaskan kehidupan politik dan dapat diterapkan secara

universal. Kerangka kerja ini kemudian disebut sebagai pendekatan sistem

politik. Dalam suatu sistem, bagian-bagiannya akan saling berinteraksi,

saling membutuhkan dan bergantung satu dengan lain, dan semua bagian

tersebut akan saling bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem

tersebut. Ketika mendapatkan tekanan-tekanan dari lingkungan, sistem

tersebut akan tetap dapat bertahan apabila berusaha memelihara

keseimbangannya. Pendekatan sistem politik ini dirasa sangat mempermudah

untuk menganalisis suatu sistem politik di berbagai negara.

Kerangka analisis yang dikemukakan oleh David Easton masih

terdapat kekurangan-kekurangan yang mana kemudian kerangka analisis

tersebut dikembangkan oleh Gabriel Almond. Gabariel Almond berpendapat

bahwa semua sistem mempunyai struktur (institusi atau lembaga), dan unsur-

unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi tersebut

bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya.

Pandangan tersebut sering disebut pandangan structural-functional.

Kemudian, sistem tersebut tidak lepas dari lingkungan, baik lingkungan

domestik dan lingkungan internasional yang saling mempengaruhi.

Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan

keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai

batas yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model

sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi

pengolahan/pengubahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari

proses sistem politik. Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang

semestinya, sistem politik akan tetap stabil. Sedangkan apabila sistem tidak

7

Page 8: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan “sistem politik

disfungsional.”

Pendekataan sistem yang dikembangkan Easton kemudian dijabarkan

dalam suatu diagram sistem politik untuk memperjelaskannya.

Gambar Model Arus Sistem Politik

Dari diagram sistem politik dapat dilihat dengan jelas bagaimana

sistem politik bekerja. Dalam lingkungannya, setiap bagian berinteaksi satu

dengan lain. Pada awalnya tuntutan dan dukungan (demands and Supports)

yang mana disebut sebagai inputs masuk ke dalam sistem politik dan melalui

proses pengubahan (conversion procces) keluar dalam bentuk keputusan atau

kebijakan. Kemudian keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan diikuti

oleh tindakan-tindakan kebijakan/keputusan atau implementasi

keputusan/kebijakan akan menghasilkan outputsistem politik.

Dalam paper ini yang akan digunakan sebagai contoh adalah

kebijakan keterwakilan wanita dalam jabatan-jabatan pemerintahan atau

strategis lainnya. Kemudian outputs sistem politik ini akan menghasilkan

perubahan-perubahan dalam lingkungan yang mana akan kembali

mempengaruhi sistem politik. Proses ini dinamakan umpan balik (feedback).

8

Page 9: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Selanjutnya sistem mengitari lingkungannya yang menurut Almond dan

Powell, Jr. terdiri dari lingkungan domsetik dan lingkungan internasional.

Menurut Almond ada lima fungsi dalam suatu sistem politik, namun

ada tiga yang hampir selalu ada. Pertama, fungsi sosialisasi politik yang

mana fungsi ini merupakan fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat

sikap-sikap politik di kalangan penduduk, atau melatih rakyat untuk

menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan yudisial tertentu.

Kedua, rekrutmen politik, merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk

kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media

komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan

tertentu, pendidikan, dan ujian. Ketiga, komunikasi politik, merupakan jalan

mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur

yang ada dalam system politik. Ketiga fungsi tersebut tidak secara langsung

terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan instansi negara.

Dalam sistem politik, budaya politik termasuk salah satu aspek

politik yang dapat diperhitungkan. Gabriel Almond dan Bingham Powell, Jr.,

mendefinisikan budaya politik sebagai “the set of attitudes, beliefs, and

feeling about politics current in a nation at given time”. Mereka juga

berpendapat bahwa pola-pola sikap yang berasal dari pengalaman masa

lampau ini sangat penting dalam mempengaruhi perilaku politik pada masa

depan. Budaya politik mempengaruhi individu dalam peran politik mereka

terhadap isi tuntutan politik, dan respon mereka terhadap hukum. Budaya

politik juga menentukan tindakan-tindakan individu yang melakukan peran-

peran politik melalui sistem politik tersebut.

3.2 Capaian Gerakan Perempuan dan Adopsi Kebijakan Negara

Capaian dari proses gerakan perempuan di era reformasi ini

diantaranya adalah penggunaan kata ‘perempuan’ yang semula kata ini

merupakan kata yang dipergunakan sebagai counter terhadap penggunaan

kata ‘wanita’ yang dipakai pemerintah Orde Baru. Di Era reformasi ini, kata

‘perempuan’ semakin populer dipergunakan masyarakat dan menjadi nama-

9

Page 10: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

nama lembaga negara seperti ‘Komnas Perempuan’, Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) yang semula bernama

“Menteri Peranan Wanita” dan biro-biro Pemberdayaan Perempuan di

pelbagai daerah di Indonesia. Selain itu, adanya penggantian istilah pada

organisasi perempuan PKK, sebuah organisasi yang dibentuk oleh

pemerintah Orde Baru untuk perempuan akar rumput dari singkatan

“Pembinaan Kesejahteraan Keluarga” menjadi “Pemberdayaan kesejahteraan

Keluarga”. Penggantian istilah ini merupakan implementasi dari kebijakan

yang menggunakan perspektif pemberdayaan perempuan dimana aspirasi-

aspirasi perempuan dari bawah dimunculkan ke atas untuk menjadi bagian

dari keputusan dan kebijakan pemerintah.

Adanya pengakuan hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi

manusia melalui Undangundang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang mempunyai aturan khusus untuk melindungi hak-hak

perempuan (dalam Undang-undang disebut hak Wanita) diantaranya adalah:

1) Pengakuan hak perempuan sebagai hak asasi manusia; 2) Jaminan

keterwakilan perempuan dalam sistem pemilihan umum, kepartaian,

pemerintahan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif; 3) Hak untuk

memperoleh pendidikan; 4) Hak untuk memilih, dipilih dan diangkat serta

perlindungan terhadap hak kesehatan reproduksi. Undang –undang ini

disahkan di masa presiden BJ Habibie (1998-1999)

Diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang

Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Kebijakan ini

terbit di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (November 1999- Juli

2001) yang bertujuan agar semua departemen pemerintah, termasuk birokrasi

di daerah harus memberlakukan pengarusutamaan gender dengan

penekanannya pada program penguatan institusi. Meskipun dalam

pelaksanaannya, Inpres ini belum sepenuhnya berjalan karena masih

lemahnya komitmen dan kesadaran pemerintah di tingkat departemen

mengenai pemenuhan hak-hak perempuan. Selain itu, para birokrat pun

belum memahami perspektif gender secara utuh dan adanya kekeliruan

10

Page 11: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

pandangan bahwa ‘gender’ dipahami dengan jenis kelamin, sehingga

kebijakan ini seringkali diserahkan pengelolaannya kepada para birokrat

perempuan.

Capaian lainnya adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

(PKDRT). Undang-undang ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk

kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, melindungi korban dan

menindak pelakunya. Undang-undang ini hasil kerja panjang yang dilakukan

oleh sejumlah LSM gerakan perempuan yang bekerja sama dengan

pemerintah dan parlemen. Sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan Undang-

undang tersebut, terdapat beberapa kerja sama antara Menteri Pemberdayaan

Perempuan, berbagai instansi pemerintah dan LSM perempuan untuk

menyediakan pelayanan khusus bagi para perempuan korban kekerasan,

terutama bagi instansi kepolisian yang ditangani oleh para polisi wanita,

rumah sakit dan berbagai instansi lainnya.

Hanya sampai sejauh ini, masih banyak aparat penegak hukum yang

belum memahami Undang-undang ini dan beragamnya penafsiran atas

Undang-undang tersebut. Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum ini

ditengarai terkait karena kurangnya sosialisasi atas undang- undang tersebut

yang dilakukan dari tingkat nasional ke tingkat lokal dan unit-unit terkecil

dari pemerintahan. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga pun

masih cukup sulit mendapatkan akses keadilan, terutama di pelosok-pelosok

pedesaan karena lokasi yang cukup jauh dengan lembaga-lembaga penegak

hukum, sikap aparat penegakan yang menyalahkan korban dan proses hukum

yang berkepanjangan. Meskipun demikian, isu kekerasan terhadap

perempuan telah menjadi isu yang memperoleh perhatian publik. Banyak

perempuan yang memiliki keberanian untuk mengadu atas kekerasan yang

dialaminya kepada lembaga-lembaga layanan yang ada dan juga seringkali

kasus-kasusnya menjadi berita utama di media nasional maupun lokal.

Undang-undang ini disahkan di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri

(2004) di bulan September 2004.

11

Page 12: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Pada tahun 2007, disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang

bertujuan untuk mencegah sedini mungkin perdagangan orang, khususnya

perempuan dan anak dan memberi sanksi yang berat kepada para pelaku

(traffiker) tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut diikuti dengan

perkembangan dan munculnya lembaga-lembaga yang secara khusus

menangani kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak keadilan

atas korban seperti didirikannya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) dan ada 253 lembaga baru –dari Aceh hingga Papua— telah

didirikan oleh masyarakat dan negara: 129 Unit Pelayanan bagi Perempuan

dan Anak dalam institusi kepolisian, 42 Pusat Pelayanan Terpadu di rumah-

rumah sakit, 23 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak (P2TP2A) dann 41 Women Crisis Centre di pelbagai daerah. Meskipun

lembaga-lembaga tersebut seringkali mengalami keterbatasan dan bahkan

kekurangan dukungan pendanaan, baik dari pemerintah maupun dukungan

pendanaan dari masyarakat sipil.

Sementara beragam capaian yang diperoleh dari proses gerakan

perempuan di daerah-daerah, seperti memberikan akses keadilan bagi

perempuan korban, mendorong adanya kebijakan yang memberikan

perlindungan terhadap perempuan korban, adanya kemitraan strategis

dengan para penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian dan adanya

penyebarluasan pemahaman publik tentang kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu tumbuhnya kemampuan daya analisis perempuan di pedesaan

untuk mengontrol berjalannya pemerintahan, adanya sikap kritis terhadap

pelbagai kebijakan dan adanya keberanian dari para perempuan di pedesaan

untuk menyampaikan aspirasi mereka ke lembaga-lembaga penyelenggara

negara seperti ke DPRD untuk menyampaikan aspirasi berdasarkan

kebutuhan praktis mereka sehari-hari.

Berbagai keberhasilan dan capaian gerakan perempuan tersebut tak

lepas dari beragam faktor pendukungnya, diantaranya adalah memilih isu

yang tepat yang dibutuhkan oleh publik luas sehingga memperoleh dukungan

12

Page 13: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

dari masyarakat, adanya aktor gerakan dan konsisten dengan isu yang

dipilihnya, tersedianya arena dialog diantara sesama anggota gerakan

sehingga memungkinkan terjadinya pembagian peran diantara anggota

gerakan, dan pendukung lain yang tak kalah penting bagi keberhasilan

gerakan perempuan adalah teknologi yang memudahkan anggota gerakan

berkomunikasi seperti handphone, email, milis, internet, facebook, twitter

dan lainnya.

3.3 Analisis Mengenai Tuntutan-Tuntutan Bekerja Mempengaruhi

Kebijakan-kebijakan

Rakyat Indonesia pada era Orde Baru tidak mendapatkan kebebasan

berpendapat maupun menjabat dalam kursi pemerintahan. Organisasi-

organisasi dan birokrasi-birokrasi yang seharusnya menjadi wadah

masyarakat untuk menampung pendapatnya dalam kenyataannya tidak

bekerja sesuai dengan perannya. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan

tersendiri terhadap pemerintah. Input yang berupa tuntutan-tuntutan adanya

keterbukaan pemerintah kepada rakyat dan pemberian peran khususnya

terhadap kaum wanita serta dukungan-dukungan seperti dengan adanya

emansipasi wanita, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination

against Women) yang berasal dari pengaruh politik lingkup internasional

menjadi hal yang dipertimbankan dalam sistem politik.

Dalam menganalisis sistem politik dapat dinyatakan bahwa ketika

kebutuhan publik untuk memenuhi kesejahteraannya tidak tercapai, warga

negara dapat mengajukan tuntutan. Dari sinilah rakyat Indonesia yang tidak

puas terhadap pemerintahan Soeharto mengajukan tuntutan-tuntutan agar apa

yang mereka inginkan dapat terakomodir dengan baik. Kemudian tuntutan

tersebut diproses dalam sistem politik yang akan menghasilkan kebijakan-

kebijakan. Akan tetapi, Orde Baru yang masih memegang kuat pemerintahan

yang bersifat tertutup membuat kebijakan yang telah dibuat hanya sekedar

untuk menguntungkan pihak Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.

13

Page 14: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Buruknya pemerintahan pada masa Orde Baru membuat wanita yang

sering terdiskriminasi menciptakan perubahan. Perempuan-perempuan

kemudian membentuk organisasi-organisasi yang diharapkan dapat

mensaranai hak-hak mereka.Karena mereka juga menginginkan pergantian

bentuk pemerintahan yang lebih demokratis yang mana salah satunya dengan

melindungi hak-hak manusia. Meskipun demikian, hasilnya kurang

maksimal karena masih adanya kontrol dari rezim Soeharto. Keadaan itulah

yang mendorong organisasi-organisasi perempuan melancarkan gerakan

peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmasi

(affirmative action) dalam bentuk kuota 30% perempuan dalam pemilu

demokratis. Sebab, berdasarkan pengalaman banyak negara penerapan

kebijakan afirmasi dalam sistem pemilu, terbukti berhasil signifikan

meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.

3.4 Peran Wanita dari Orde Baru hingga Reformasi

Organisasi-organisasi wanita sudah mulai muncul pada era Orde

Baru. Organisasi wanita dalam hal ini mempunyai sikap dan peran politik

menolak kooperasi Orde Baru. Selain itu organisasi wanita juga membela

dan membawa suara wanita yang terepresi Orde Baru. Organisasi-organisasi

wanita yang bermunculan tersebut mengangkat derajat kaum wanita yang

sering termarginalkan. Keberadaan kaum wanita menjadi lebih

diperhitungkan.

Pada tahun 1954 lahir gerakan perempuan yang monumental dalam

sejarah Indonesia, yaitu Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebagai

perubahan nama (Garwis) yang didirikan tahun 1950. Muncul juga

organisasi sebagai penerus perkumpulan perempuan di tingkat RT maupun

RW, yaitu Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk). Organisasi tersebut

merupakan hasil dorongan dari Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM),

Kelompok Wanita Pengembangan Sumber Daya (KWPS). Kemudian LSM

mewadahi organisasi-organisasi perempuan tersebut dalam “ASPPUK”.

14

Page 15: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Walaupun pada awalnya organisasi-organisasi perempuan tersebut

difasilitasi LSM karena peran perempuan yang telah termarginalkan oleh

negara, namun organisasi-organisasi tersebut dikoopetasikan untuk

mendukung Golkar di masa Orde Baru, dan dibuat sistem “ibuisme” oleh

negara dalam memperlakukan perempuan Indonesia, dan perempuan pada

masa Orde Baru juga cenderung dipilih untuk menempati posisi penting

dalam politik Indonesia beradasarkan struktur ikatan sosial atau kedekatan

dengan pemimpin Golkar sehingga cenderung mengakibatkan kurang

terbukanya ruang partisipasi tersebut secara luas bagi perempuan. Dari

situlah terlihat peran wanita yang didiskriminasikan. Sehingga kemudian

bermunculan lagi oraganisasi-organisasi perempuan seperti PKK, Panca

Dharma Wanita, dan lain sebagainya. Akan tetapi, Dharma Wanita yang

merupakan organisasi wanita tujuan utamanya bukanlah mempromosikan

hak-hak wanita atau mengadvokasi isu-isu feminis. Dharma Wanita masih

digunakan untuk mengimplementasikan program-program PKK yang mana

agennya masih didominasi oleh pegawai pria. Hal inilah yang menjadi

kendala mengapa peran wanita masih sering termarginalkan.

Setelah Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB), gerakan wanita tumbuh semakin pesat, seperti Komisi

nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI) (1968) yang bertugas

menunjang pergerakan wanita melalui koleksi data dan melakukan riset

tentang keadaaan dan kedudukan wanita, serta memberikan rekomendasi

kepada pemerintah maupun oraganisasi yang layak menerimanya. Pada 30

Januari 1967 Mendagri mengangkat kembali satu-satunya perempuan dari 31

kursi Wa Ode Siti Halidjah (Golongan Karya Wanita) untuk periode 1967-

1971. Di periode 1971–1977, hasil Pemilu 1971 diresmikan 40 anggota

Parlemen Sultra. 15% (6 kursi) berhasil diisi kelompok perempuan yang

semuanya berasal dari Golongan Karya.

Hal ini terlihat jelas bahwa keterwakilan perempuan dalam politik

Indonesia masih bersifat pada satu arah tidak terbuka secara luas, karena

Golkar pada zaman ini merupakan dominasi dalam parlemen Indonesia.

15

Page 16: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Walaupun begitu, partisipasi perempuan pada zaman orde baru sudah cukup

diperhatikan walaupun memang mengalami ketidaksetaraan dengan politisi

laki-laki dalam parlemen Indonesia, selain itu juga perempuan cenderung

partisipasinya tidak terbuka secara luas, melainkan hanya dalam internal

Golkar sendiri dan cenderung sedikit keterwakilannya dibandingkan dengan

laki-laki.

Di era reformasi, Partai Golkar semakin memperhatikan kepentingan

perempuan, hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya jumlah kader

perempuan dalam Partai Golkar dari pemilu 1999 memenuhi 13,3 persen

menjadi 14,28 persen tahun 2004, dan pada pemilu 2009 Partai Golkar

memenuhi kuata 30 persen. Dari 640 calon legislator, terdapat 164

perempuan atau 30, 27 persen. Partai Golkar tidak mempersulit caleg

perempuan jika caleg tersebut memang berkompeten dan dapat bersaing

mendapatkan suara. Seperti telah disebutkan dalam surat edaran Partai

Golkar Nomor 8/2008 sebagai hasil keputusan Rapimnas IV tahun 2008.

Menjelang Pemilu Legisaltif 2009, pada saat DPR dan pemerintah

menyusun undang-undang politik baru, organisasi-organisasi perempuan

kembali berjuang dengan target agar formulasi kebijakan afirmasi kuota 30%

perempuan di undang-undang lebih kongkrit dan lebih menguntungkan

perempuan. Meskipun pemilu 2009 Partai Golkar mengalami penurunan

pendapatan suara dari 127 kursi menjadi 97 kursi, caleg perempuan yang

terpilih tidak mengalami penurunan drastis, bahkan dapat dikatakan stagnan

dari 18 menjadi 17. Jika dilihat dari kursi yang didapat Partai Golkar,

keterwakilan perempuan dalam parlemen meningkat dari 14,17 persen

menjadi 17,5 persen. Terpilihnya caleg perempuan kebanyakan yang

menempati urutan atas dalam nomor urut daftar calon pemilu. Hal ini tentu

merupakan kebijakan partai untuk menempatkan caleg perempuan dalam

urutan atas, kebijakan ini memperlihatkan dukungan partai terhadap

terpilihnya caleg perempuan.

16

Page 17: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

3.5 Kendala- Kendala Partisipasi Politik Perempuan

Untuk dapat terlibat baik secara mental maupun emosi dalam segala

aspek kegiatan politik tidaklah mudah melakukannya karena beberapa faktor.

Kondisi wanita Indonesia yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya

kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala pokok yang

seringkali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik wanita,

dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: hambatan internal dan eksternal.

Hambatan internal, pertama: kurangnya kesadaran sebagian besar

perempuan untuk berkiprah dan berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Kurangnya kesadaran ini dikarenakan sosio-kultural mereka yang belum

memungkinkan bisa aktif menyuarakan, dan menyampaikan keinginan-

keinginan di bidang politik. Kedua: aktivitas politik dianggap tidak layak

untuk perempuan, karena sifat- sifatnya yang berjauhan dari citra untuk

wanita. Dunia politik dianggap “keras”, “kotor”, “main kayu”, dan penuh

muslihat sehingga dianggap tidak cocok untuk citra wanita. Pandangan ini

membuat dunia politik itu bias laki- laki, bahkan dianggap tabu untuk

wanita. Konsekuensi lebih lanjut wanita menjadi enggan memasukinya.

Wanita menjadi pasif dalam berpolitik. Ketiga: lingkungan social budaya

yang kurang mendukung pengembangan potensi wanita, antara lain wawasan

orang tua, adat, penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat, tingkat

pendapatan keluarga, dan system pendidikan yang diskriminatif. Masih

lekatnya budaya tradisional dan kecilnya akses wanita pada penguasaan

factor social ekonomi, menyebabkan terbentuknya image dalam diri wanita

bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria.

Dominasi budaya patriarkhi seolah memberi garisan tegas bahwa

antara perempuan dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak

dapat bersinergi satu dengan yang lainnya. Dunianya perempuan adalah di

rumah yang meliputi wilayah domestik, mengurus anak – anak dengan

segala tetek bengeknya dan kalaupun berkarir di luar rumah maka

pekerjaan/karir bukanlah hal yang utama. Perempuan diharuskan siap

memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja. Sedangkan

17

Page 18: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

politik adalah tempat yang cocok bagi laki – laki karena penuh dengan intrik

– intrik berbahaya, terlihat macho, penuh manuver serta identik dengan uang

dan kekuasaan.

Dalam pandangan Walby, meskipun sudah terdapat banyak

pencapaian kaum wanita terhadap hak-hak sipil mereka misalnya hak

mendapatkan pekerjaan, kemudahan bercerai, tunjangan bagi kaum wanita

non-pekerja,sensor pornografi, kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi dan

aborsi, serta hokum yang memudahkan bagi kaum wanita untuk

meninggalkan kaum pria yang melakukan kekerasan-tetap saja bersifat

patriarchal,sebagaimana halnya dengan kapitalis dan rasis. Kebijakan-

kebijakan negara belum lama diarahkan pada upaya untuk meyakinkan kaum

wanita akan ranah privat dari rumah,dengan sedikit upaya yang nyata untuk

memajukan posisi kaum wanita diranah public.Kaum wanita masih sedikit

mendapatkan mendapatkan upah dibanding kaum pria dan peluang yang

sama dalam legislasi sering tidak diperkuatkan.Kaum wanita dalam keluarga

orang tua tunggal memperoleh sedikit manfaat dari negara dan kaum wanita

masih disakiti dengan ketersediaan pornografi yang semakin besar

dimasyarakat.

Kendala eksternal menurut Afan Gaffar (1991:25) antara lain dari

birokrasi yang paternalistic, pola pembangunan ekonomi dan politik yang

kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik.

3.6 Upaya Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan

Untuk mendorong peningkatan dalam partisipasi politik perempuan,

perlu pemahaman dan analisis secara menyeluruh sehingga dihasilkan suatu

rekomendasi kebijaksanaan yang tepat.

Pertama, harus dimulai pendidikan dari keluarga, bahwa berkiprah serta

berpartisipasi di dunia pillitik adalah salah satu bagian yang penting untuk

membangun masyarakat, bangsa dan Negara.

Kedua, anak perempuan yang mengikuti pendidikan sejak disekolah

menengah sampai Universitas, sebaiknya didorong untuk aktif mengikuti

18

Page 19: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

organisasi seperti OSIS, BEM, dan organisasi ekstra universiter seperti HMI,

GMNI, organisasi pemuda seperti KNPI, dan organisasi kemasyarakatan

seperti Muhammadiyah, NU, dan lain-lain.Maka berarti secara sadar kaum

perempuan telah mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Sekarang ini,

perempuan yang banyak berkiprah di dunia politik adalah mereka yang sejak

menjadi pelajar dan mahasiswa telah aktif diberbagai organisasi pelajar, dan

organisasi kemahasiswaan.

Ketiga, melakukan advokasi terhadap kaum perempuan supaya

terpanggil untuk berpartisipasi dalam kancah politik.

Keempat, mempersiapkan anak-anak perempuan sejak dini untuk

terpanggil dan tertantang memasuki dunia politik. Dengan cara ini, maka

dimasa depan akan semakin banyak perempuan yang berkiprah dan

berpartisipasi dalam kancah politik.

Kelima, memberi pencerahan, penyadaran dan dorongan kepada

kaum perempuan supaya dalam berbagai kegiatan politik seperti

berpartisipasi dalam kampanye, pemilih, menjadi calon legislative, calon

Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Walkil Walikota,Bupati/Wakil Bupati,

dan lain sebagainya.

Beberapa peluang bagi perempuan untuk dapat meningkatkan kualitas

perannya dibidang politik antara lain:

1. Pasal 17 dan 21 UUD 1945;

2. GBHN yang sejak tahun 1978;

3. Konferensi-konferensi wanita se-dunia.

Peluang-peluang yang mendukung tersebut,Kaum perempuan

sebenarnnya mempunyai peluang dan kesempatan yang besar untuk bisa

berkiprah dan berpartisipasi dalam dunia politik. Meskipun memang pada

akhirnya akan dikembalikan kepada wanita untuk memanfaatkannya atau

tidak. Di era Orde Reformasi, peluang perempuan semakin terbuka untuk

menjadi pemain, bukan lagi sekedar partisipan pasif. Setidaknya, ada empat

factor yang memberikan harapan terbukanya peluang kepada kaum

perempuan untuk meningkatkan perannya di dunia politik.

19

Page 20: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Pertama, semakin banyak perempuan yang berpendidikan dan

memiliki kesadaran pentingnya perempuan terjun ke dunia politik untuk

berpartisipasi membangun Indonesia yang maju dan sejahtera.

Kedua, tren politik nasional di era Orde Reformasi yang member

alokasi 30 persen kepada kaum perempuan untuk menjadi calon anggota

legislative.

Ketiga, mengingat besarnya potensi yang ada pada wanita Indonesia

yang secara kuantitas lebih besar daripada pria,maka sewajarnyalah bila

peluang dan potensi tersebut tidak disia-siakan.

Wanita dalam pengembangan kiprahnya sebagai warga negara,

mempunyai harapan sebagai pemilik masa depan bangsa, yang secara

fungsional harus mampu menempatkan diri sebagai pemimpin tenaga

pembaharu,dinamisator dan katalisator untuk pembangunan nasional. Oleh

karena itu wanita dalam menghadapi tantangan abad XXI, harus mampu

membekali dirinya dengan ilmu, teknologi dan berbagai macam kemampuan

dan keterampilan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi,

social dan budaya bangsanya.

Upaya untuk mengentaskan ketidakberdayaan wanita yang berkaitan

dengan kualitas perannya dibidang politik, yang pertama adalah

menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita di pentas politik

untuk mengaktualisasikan kemampuannya. Hal tersebut tidak hanya selaras

dengan tujuan pembangunan nasional, tetapi juga karena jumlah wanita

Indonesia adalah separo jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu

sangatlah wajar bila ada wakil yang dapat menyuarakan aspirasi politik

mereka.

Peran wanita Indonesia di pentas politik sudah waktunya mendapat

porsi yang proporsional. Seyogyanya tidak ada lagi ucapan yang meragukan

kemampuannya untuk tampil di pentas politik, oleh karena itu harus ada

gerakan yang mendorong wujudnya kebijakan pemerintah yang memiliki

kepekaan gender.

20

Page 21: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

Untuk mencapai keberhasilan gerakan tersebut, memerlukan akses

wanita terhadap pembuatan keputusan nasional. Hal tersebut sesuai

pernyataan Senator Leticia Ramos Shahani, ketua delegasi Philipina pada

konferensi ke-empat PBB mengenai wanita bahwa”akses terhadap

pembuatan keputusan sangatlah penting bagi siapapun yang menghendaki

reformasi untuk memasukan dunia politik bagi wanita.” ( Angkatan

Bersenjata, 14 September 1995).

Mengingat masih kecilnya akses tersebut dan masih banyaknya

prasangka di dunia yang menghalangi pemilihan wanita sebagai anggota

parlemen, maka menurut Chris Fletchher anggota parlemen Selandia Baru

mangatakan bahwa Panggung Aksi Konferensi Ke- empat PBB mengenai

wanita bulan September 1995, harus mendesak pemerintah agar bersedia

menyisihkan sedikitnya 50% kursi di parlemen bagi wanita pada tahun 2005.

Dari sisi keberanian wanita, perlu adanya penyadaran terhadap wanita

bahwa pola structural hubungan laki- laki dan perempuan yang terbangun

selama ini harus dirombak. Kaum wanita harus sadar akan hak asasinya,

sehingga pola pemikiran dominasi laki- laki yang selama ini mengakar dalam

kehidupannya perlu dirubah, dan diwujudkan dalam kemitrasejajaran.

Upaya menuju ke arah cita- cita kesetaraan ini memang tidak mudah,

bahkan rumit. Upaya tersebut memerlukan keterlibatan semua pihak yakni

kaum wanita sendiri, kaum laki- laki, dan unsur- unsur kebijakan nasional

yang berwawasan gender. Proses penyadaran harus dilakukan secara simultan

di kalangan baik laki- laki maupun perempuan.

21

Page 22: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pemaparan paper di atas terdapat beberapa hal penting yang

harus dicatatat. Pertama, alur politik yang seharusnya terjadi apabila

meliputi input, proses pengubahan dalam sistem politik, output, dan umpan

balik (feedback) agar terjadinya keserasian antara pemerintah dan

masyarakat. Kedua, sistem politik Indonesia dalam Orde Baru yang dipimpin

oleh pemerintahan rezim Soeharto bersifat tertutup dan otoriter, yang

menyebabkan kepentingan-kepentingan rakyat tidak dapat terakomodir

dengan baik. Kedua hal penting tersebut yang kemudian dapat menjelaskan

rumusan masalah paper ini mengenai “bagaimana tuntutan-tuntutan agar

kaum wanita mendapatkan peran yang sama dalam berpolitik tersebut

bekerja mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk

mengakomodir tuntutan tersebut?”. Adanya tuntutan-tuntutan dan dukungan-

dukungan yang masuk akan diproses untuk membuat kebijakan. Banyaknya

pengaruh seperti adanya emansipasi wanita dan Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi wanita (Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination against Women) membuat tuntutan agar wanita

diberikan kesempatan untuk berperan dalam kancah politik. Dalam hal ini

wanita dengan usahanya seperti membentuk suatu organisasi dapat

mengubah kebijakan-kebijakan pemerintah hingga akhirnya dapat

menduduki jabatan penting kontemporer ini.

4.2 Saran

Dalam upaya peningkatan Kaum perempuan harus mempersiapkan

diri dengan terus- menerus meningkatkan kualitas individu dalam ilmu

pengetahuan, kemampuan berorganisasi dan memimpin, sehingga memberi

keyakinan kepada orang banyak bahwa yang bersangkutan memiliki

22

Page 23: Peran Perempuan Dalam Politik Di Era Refolusi

kapasitas (kecakapan), dan kapabilitas (kemampuan) untuk menjadi

pemimpin.

23