9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. 1. antara masa anak dan dewasa ...digilib.unila.ac.id/13392/11/II.pdf ·...
Transcript of 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. 1. antara masa anak dan dewasa ...digilib.unila.ac.id/13392/11/II.pdf ·...
9
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kenakalan Remaja
1. Pengertian Remaja
Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang
terjadi sejak berada dalam kandungan dan terus berlangsung sampai
dewasa, dalam preses mencapai dewasa inilah anak akan mengalami
tumbuh kembang terasuk masa remaja. Masa remaja adalah masa transisi
antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi pertumbuhan, timbul ciri-
ciri seks skunder, terjadi perubahan-perubahan psikologik dan kognitid.
Tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi
biologisnya.
Menurut Soetjiningsih (2007 : 134) berdasarkan umur kronologis dan
berbagai kepentingan, terdapat berbagai bentuk definisi remaja yaitu :
1) Pada buku-buku pediatric, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila seseorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki.
2) Menurut Undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.
3) Menurut Undang-undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.
4) Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.
10
5) Menurut Pendidikan Nasional, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah.
6) Menurut WHO (World Health Organization), remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.
Lebih lanjut Sarlito mengelompokkan definisi remaja sesuai dengan
profil redddmaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional
adalah dalam batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah, dengan
beberapa kriteria sebagai berikut :
1) Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik).
2) Pada masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil baligh, baik menurut adat mauun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
3) Pada usia terebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan teracapainya puncak perkambangan kognitif (Pieget) maupun moral (Kohlberg) (Kriteria Psikologi).
4) Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai pada batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum dapat memberikan pendapat sendiri, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologi, masih dapat digolongkan remaja. Golongan ini cukup banyak terdapat di Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas yang mempersyaratkan berbagai hal (terutama pendidikan setinggi-tingginya) untuk mencapai kedewasaan. Akan tetapi dalam kenyataannya cukup banyak pula orang yang mencapai kedewasaannya sebelum usia tersebut.
5) Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan. Hal itu karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Oleh karena itu definisi remaja di sini dibatasi khusus yang belum menikah. (Sarlito, 14-15 : 2008).
11
Dari dua kutipan diatas dapat penulis simpukan bahwa remaja merupakan
suatu fase perkembangan pada anak pada usia tertentu diantara 10 sampai
24 tahun yang ditandai dengan pertumbuhan fisik maupun psikis dan
juga mencakup kriteria sosial dimasyarakat Indonesia pada umumnya
dengan perkembangan yang potensial, baik dilihat dari segi aspek
kognitif, emosi dan tentunya yang belum menikah.
2. Perkembangan Anak Usia Remaja
Menurut Gunarsa (2004 : 4): Perkembangan tidak terbatas dalam arti
tumbuh menjadi besar tetapi mencakup rangkaian perubahan yang bersifat
progresif, teratur, koheren, dan berkesinambungan. Jadi antara satu tahap
perkembangan dengan tahap perkembangan berikutnya tidak terlepas.
Perkembangan adalah perubahan kearah kemajuan menuju terwujudnya
hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Perkembangan
memiliki sifat holistik (menyeluruh atau kompleks) yaitu: terdiri dari
berbagai aspek baik fisik ataupun psikis, terjadi dalam beberapa tahap
(saling berkesinambungan), ada variasi individu dan memiliki prinsip
keserasian dan keseimbangan.
Perkembangan Individu memiliki beberapa prinsip-prinsip yaitu: Never
ending process (perkembangan tidak akan pernah berhenti), Semua aspek
perkembangan saling mempengaruhi (aspek emosional, aspek disiplin,
aspek agama dan aspek sosial),Perkembangan mengikuti pola atau arah
tertentu (karena perkembangan individu dapat terjadi perubahan perilaku
yang dapat dipertahankan atau bahkan ditinggalkan).
12
Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti dan setiap
perkembangan memiliki tahapan tahapan yaitu : tahap direncanakan,
tahap kandungan, tahap anak, tahap remaja, tahap dewasa, dan tahap
lansia, ada juga yang menggunakan patokan umur yang dapat pula
digolongkan dalam masa intraterin, masa bayi, masa anak sekolah, masa
remaja dan masa adonelen yang lebih lanjut akan disebut dengan
periodesasi perkembangan.
Berikut tahapan-tahapan perkembangan remaja :
a. Perkembangan Emosi
Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman
subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian
adalah suatu hal yang harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi
terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman
tramatis bagi anak.
Adapun dampak pandangan keluarga broken home terhadap
perkembangan emosi remaja:
- Perceraian orang tua membuat tempramen anak terpengaruh,
pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi itu
membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif) yang
ingin mencari perhatian orang tua atau orang lain. Mencari jati diri
dalam suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi.
- Peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidakstabilan emosi.
13
- Ketidakberartian pada diri remaja akan mudah timbul, sehingga
dalam menjalani kehidupan remaja merasa bahwa dirinya adalah
pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini.
- Remaja yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua, emosi
marahnya akan mudah terpancing.
b. Perkembangan Sosial Remaja
Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang
berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat.
Dampak keluarga Broken home terhadap perkembangan sosial remaja
adalah :
- Perceraian orang tua menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap
kemampuan dan kedudukannya, dia merasa rendah diri, menjadi
takut untuk keluar dan bergaul dengan teman-teman.
- Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak yang
dibesarkan dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri
dengan lingkungan, kesulitan itu datang secara alamiah dari diri
anak tersebut.
- Dampak bagi remaja putri yang tidak mempunyai ayah berperilaku
dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap laki-laki, mereka
sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua
terlalu aktif, agresif dan genit.
14
c. Perkembangan Kepribadian
Perceraian ternyata memberikan dampak kurang baik terhadap
perkembangan kepribadian remaja. Remaja yang orang tuanya
bercerai cenderung menunjukan ciri-ciri :
- Berperilaku nakal
- Mengalami depresi
- Melakukan hubungan seksual secara aktif
- Kecenderungan pada obat-obat terlarang
Keadaan keluarga yang tidak harmonis tidak stabil atau berantakan
(broken home) merupakan faktor penentu bagi perkembangan
kepribadian remaja yang tidak sehat.
3. Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-
norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan
merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Menurut
kartono, kenakalan remaja dikenal dengan istilah juvenile deliquency
merupakan gejala patologis pada remaja disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial. Menurut Santrock, kenakalan remaja merupakan
kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara
sosial hingga terjadi tindakan kriminal.
Menurut Kartini kenakalan remaja atau Juvenile Deliquency ialah
perilaku jahat atau dursila atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda
; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan
15
remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga
mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang.
Kemudian menurut Sarlito (2006: 206) “kenakalan remaja adalah semua
tingkah laku yang dilakukan anak yang menyimpang dari ketentuan yang
berlaku dalam masyarakat (norma, agama, etika, peraturan sekolah,
keluarga dan lainnya).
Kenakalan remaja mempunyai dampak yaitu akan menghambat diri
remaja dalam proses sosialisasinya dengan teman, guru dan masyarakat.
Perilaku penyesuaian diri yang salah biasanya di dorong oleh keinginan
mencari jalan pintas dalam penyelesaian sesuatu tanpa melihat secara
cermat akibatnya. Perilaku menyontek, membolos dan melanggar tata
tertib sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada
remaja.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa
kenakalan remaja disebabkan karena adanya dorongan baik dari
lingkungan. kenakalan remaja adalah suatu tindakan yang dilakukan
remaja yang dianggap melanggar aturan-aturan dan norma-norma yang
berlaku baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.
4. Jenis-jenis Kenakalan Remaja
Dalam kesehariannya remaja melakukan sosialisasi dengan lingkungan
sekitar, sekolah, dan teman sejawat yang biasanya mempengaruhi
perilaku siswa tersebut apabila teman sejawat lebih besar ke hal yang
16
positif, maka berdampak positif jg terhadap kepribadian mereka tetapi
bila lebih besar terhadap hal-hal yang negatif maka akan berdampak
terhadap perilaku mereka yang biasa disebut kenakalan remaja yang
terdiri dari berbagai jenis. Menurut Hariyadi (2003: 160) Jenis-jenis
kenakalan remaja antara lain:
a. Membohong : memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan.
b. Membolos : pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.
c. Kabur : meninggalkan rumah tanpa izin orang tua atau menentang keinginan orang tua.
d. Keluyuran : pergi sendiri maupun kelompok tanpa tujuan dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.
e. Bersenjata tajam : memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain sehingga terangsang untuk menggunakannya.
f. Pergaulan buruk : bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga mudah terjerat dengan perkara yang benar-benar kriminal.
g. Berpesta pora berhura-hura : berpesta pora semalam tanpa pengawasan, sehingga timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab (amoral dan asosial)
Kemudian menurut Anne, kenakalan remaja memiliki gejala-gejala
antara lain yaitu :
a. Anak tidak disukai teman-temannya sehingga bersikap menyendiri. b. Anak sering menghindar dari tanggung jawab mereka di rumah dan di
sekolah. c. Anak sering mengeluh kalau mereka memiliki permasalahan yang
mereka sendiri tidak bisa selesaikan. d. Anak mengalami phobia atau gelisah yang berbeda dengan orang-
orang normal. e. Anak jadi suka berbohong. f. Anak suka menyakiti teman-temannya. g. Anak tidak sanggup memusatkan perhatian.
Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa jenis-jenis kenakalan remaja
adalah membohong, membolos, kabur meninggalkan rumah, keluyuran,
17
bersenjata tajam,pergaulan buruk, berpesta pora, berhura-hura, tidak
disukai teman-temannya, menghindar dari tanggung jawab, suka
menyakiti teman-temannya.`
5. Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke
dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang
masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari
berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang
berlaku. Di kalangan remaja, memiliki banyak teman adalah merupakan
satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak teman, makin tinggi nilai
mereka di mata teman-temannya. Secara lebih jelas menurut Kartini
(2002: 25) yang menguraikan teori penyebab kenakalan remaja sebagai
berikut :
a. Teori Biologis
Tingkah laku sosipatik atau delikuen pada anak-anak remaja dan
muncul karena beberapa faktor fisiologis dan struktur jasmaniah yang
dibawa sejak lahir.
b. Teori Psikogenis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak
dari aspek psikologis atau kejiwaan. Antara lain faktor intelegensi,
cirri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,
rasionalisasi, internalisasi yang keliru, konflik batin, emosi yang
kontroversial, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain.
18
c. Teori Sosiologis
Penyebab tingkah laku anak-anak delikuen pada remaja adalah murni
sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh
tekanan kelompok, peranan social, status social atau internalisasi
simbolis yang keliru.
d. Teori Subkultur.
Menurut teori subculture ini, sumber juvenile delinquency ialah : sifat-
sifat suatu struktur social dengan pola budaya (subkultur) yang khas
dari lingkungan familiar, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh
para remaja delinquent tersebut.
Kemudian menurut Hariyadi, (2003: 161): Berbagai hal yang melatar
belakangi terjadinya kenakalan remaja antara lain:
a. Penyebab dari dalam diri remaja itu sendiri (internal) - Kurangnya penyaluran emosi - Kelemahan dalam pengendalian dorongan-dorongan dan
kecenderungannya - Kegagalan prestasi sekolah atau pergaulan - Kekurangan dalam pembentukan hati nurani
b. Penyebab dari luar si remaja (eksternal) - Lingkungan keluarga - Lingkungan masyarakat.
Perkembangan teknologi yang menimbulkan keguncangan pada remaja yang belum memiliki kekuatan mental untuk menerima perubahan-perubahan baru. Kepadatan penduduk yang menimbulkan persoalan demografis dan bermacam kenakalan remaja.
Berdasarkan beberpa pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa beberapa hal
yang melatar belakangi kenakalan remaja adalah penyebab dari dalam diri
siswa itu sendiri (internal) dan penyebab dari luar diri remaja itu sendiri
(eksternal).
19
B. Keluarga Broken home
1. Pengertian Keluarga
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi
terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya keluarga
merupakan wadah pertama dan utama yang fundamental bagi
perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan
mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan
yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan
aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan aturan-
aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan
kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga pula yang
akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan
dukungan dalam menjalani kehidupan.
Menurut Pujosowarno (1994 : 11): Keluarga merupakan suatu
persetujuan hidup atas dasar perkawinan antar orang dewasa yang
berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atu seorang
perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak baik anaknya
sendiri atau adonpsi dan tinggal dalam rumah tangga. Adapun menurut
Bustaman (2001 : 89): Keluarga adalah kelompok-kelompok orang yang
dipersatukan oleh ikatan-ikatan perakwinan darah atau adonpsi yang
membantuk satu sama lain dan berikatan dengan melalui peran-peran
tersendiri sebagai anggota keluarga dan pertahanan kebudayaan
masyarakat yang berlaku dan menciptakan kebudayaan sendiri.
20
2. Keluarga Broken home
Istilah “Broken home” biasanya digunakan untuk menggambarkan
keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang
rukun dan sejahtera akibat sering terjadi konflik yang menyebabkan pada
pertengkaran yang bahkan dapat berujung pada perceraian. Hal ini akan
berdampak besar terhadap suasana rumah yang tidak lagi kondusif, orang
tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya sehingga berdampak pada
perkembangan anak khususnya anak remaja.
Jika remaja diharapkan pada kondisi “broken home” dimana orang tua
mereka tidak lagi menjadi panutan bagi dirinya maka akan berdampak
besar pada perkembangan dirinya. Dampak psikis yang dialami oleh
remaja yang mengalami broken home, remaja menjadi lebih pendiam,
pemalu, bahkan despresi berkepanjangan.
Faktor lingkungan tempat remaja bergaul adalah sarana lain jika orang
tua sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Jika remaja berada di
lingkungan pergaulan yang negatif, karena keadaannya labil maka tidak
menutup kemungkinan remaja akan tercebur dalam lembah pergaulan
yang tidak baik.
Broken home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya
kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak
menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home sangat
berpengaruh besar pada mental seorang pelajar hal inilah yang
mengakibatkan seorang pelajar tidak mempunyai minat untuk
21
berprestasi. Broken home juga bisa merusak jiwa anak sehingga dalam
sekolah mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam kelas
mereka selalu berbuat keonaran dan kerusuhan hal ini dilakukan karena
mereka hanya ingin mencari simpati pada teman-teman mereka bahkan
pada guru-guru mereka. Untuk menyikapi hal semacam ini kita perlu
memberikan perhatian dan pengerahan yang lebih agar mereka sadar dan
mau berprestasi.
Pada umumnya penyebab utama broken home ini adalah kesibukkan
kedua orang tua dalam mencari nafkah keluarga seperti hal ayah bekerja
dan ibu menjadi wanita karier. Hal inilah yang menjadi dasar seorang
tidak memiliki keseimbangan dalam menjalankan aktifitas sehari hari dan
malah sebaliknya akan merugikan anak itu sendiri, dikala pulang sekolah
dirumah tidak ada orang yang bisa diajak berbagi dan berdiskusi,
membuat anak mencari pelampiasan diluar rumah seperti bergaul dengan
teman – temannya yang secara tidak langsung memberikan pengaruh
bagi perkembangan mental anak
Istilah "broken home" biasanya digunakan untuk menggambarkan
keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tak lagi peduli dengan
situasi dan keadaan keluarga di rumah. Anak yang broken home bukanlah
hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang
berasal dari keluarga yang tidak utuh. Di mana ayah dan ibunya tidak
dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak
dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap
orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup
22
keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan
psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan
hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan,
teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya
atau pun dari nenek kakeknya.
Anak akan menjadi keluarga broken home, apabila pengasuhan yang
dilakukan terganggu. Jika tidak terganggu, maka broken home tidak akan
menjadi bagian dari keluarga. Inilah beberapa perilaku orang tua menurut
peneliti yang bisa menghasilkan sebuah keluarga broken home:
a. Tidak bisa beradaptasi dalam pengasuhan
b. Terus mengajari anak pelajaran-pelajaran dan berharap anak akan
berubah perilakunya.
c. Menciptakan kondisi yang mendorong anak untuk gagal (selalu
terburu-buru di pagi hari, meninggalkan anak-anak tanpa orang
dewasa di dekat mereka, tidak menyediakan cukup waktu untuk
mendengarkan anak-anak)
d. Bereaksi penuh kemarahan terhadap anak-anak
e. Memiliki motivasi untuk membalas dendam terhadap mantan
pasangan atau orang lain
f. Tidak memberikan pilihan pada anak-anak
g. Hanya memberikan sedikit peringatan atau tanpa peringatan sama
sekali ketika menghukum anak-anak, sehingga anak-anak tidak
memiliki kesempatan untuk mengubah perilakunya.
23
h. Mengutamakan kehidupan sosialnya sendiri di atas kepentingan anak-
anak, atau tidak memiliki kehidupan sosial sama sekali.
i. Sering berganti-ganti pasangan kencan
j. Selalu menunggui anak-anak di manapun mereka berada
k. Tidak menciptakan batasan-batasan
l. Tidak bisa diduga, misalnya marah karena sebuah perilaku hari ini
namun tertawa karena perilaku yang sama di hari yang lain
m. Membiarkan anak tidak terkontrol dan tidak hormat kepada orang lain
n. Menyelamatkan anak-anak dari konsekuensinya sebagai anak di
usianya
3. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga adalah bertanggungjawab dalam menjaga dan
menumbuh kembangkan anggota-anggotanya (Sulaiman, 1995).
Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat
mempertahankan kehidupannya, yang berupa 1) pemenuhan kebutuhan
pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan
sosial, 2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal
dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional
dan spritual.
Apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka
kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang
akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu
merealisasikan diri lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan
24
mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Adapun
menurut Maslow, kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam 1)
kebutuhan makan, minum, dan seks, 2) kebutuhan akan rasa aman, 3)
kebutuhan kasih sayang, 4) kebutuhan akan penghargaan, dan 5)
kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan
aktualisasi diri.
Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI. No. 21 tahun 1994
mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah
dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju
terbentuknya sumber daya pembangunan yang handal dengan ketahanan
keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu:
1) Fungsi Keagamaan, fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Fungsi Sosial Budaya, fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.
3) Fungsi Cinta kasih, fungsi ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.
4) Fungsi Melindungi, fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.
5) Fungsi Reproduksi, fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.
6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang.
7) Fungsi Ekonomi, fungsi ini sebagai unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.
8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, fungsi ini memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras,
25
seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
4. Pola Asuh Orang Tua
Pada usia sekolah anak tidak dapat terlepas dari kedua orang tuanya.
Perhatian, perlindungan, kasih sayang, dan juga rasa aman terhadap
kelanjutan pendidikannya masih sangat dibutuhkan oleh anak. Secara
langsung ataupun tidak langsung proses interkasi sosial anak
dilingkungan baik keluarga, masyarakat dan sekolah akan sangat
terpengaruh oleh keadaan pola asuh orang tuanya.
Menurut Gunarsa (2010 : 10) Pola asuh orang tua adalah kemampuan
menjalin hubungan yang akrab dengan anak, memberikan tauladan bagi
anak-anaknya dalam segala hal, sehingga anaknya merasa aman dan
mendapatkan perhatian serta kasih sayang.
Lebih lanjut menurut Utami, pola asuh adalah proses penanaman nilai positif oleh orang tua mengenai tujuan hidup, hak-hak orang lain, masa depan dan kegembiraan bersama. Anak akan menerima nilai tersebut jika orang tua memegang nilai tersebut. Tidak hanya koreksi terhadap perilaku anak saja yang dibutuhkan tetapi juga peraturan harus diimplementasikan terlebih dahulu oleh orang tua atau siapa saja yang berhubungan dengan anak.
Dari kedua kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang
tua adalah sebuah proses, penanaman nilai yang diberikan kepada anak
mengenai tujuan hidup, hak-hak orang lain, masa depan dan kegembiraan
bersama dengan implementasi berupa pemberian tauladan oleh orang tua
kepada anak.
26
5. Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua
Menurut Hersey & Blanchard dalam Prasetyawati (2007 : 23) “ pola asuh
orang tua terdiri atas 4 macam yaitu pola asuh neglectfulling, pola asuh
indulgent, pola asuh otoriter, dan pola asuh authoritative.”
Kebanyakan anak yang berhasil setelah menjadi dewasa berasal dari
keluarga dengan orang tua yang bersikap positif yang mana sikap ini
disebut sebagai pola asuh orang tua yang bersikap positif, yang mana
sikap ini disebut sebagai pola asuh orang tua kepada anak.
Empat macam pola asuh tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pola asuh neglectfulling
Adalah bentuk pola asuh dimana orang tua tidak mau terlibat dan
tidak mau ambil pusing mempedulikan kehidupan anaknya. Biasanya
anak yang hidup dalam keluarga yang menerapkan pola asuh seperti
ini akan mengalami banyak kesulitan, antara lain :
1) Anak mempunyai harga diri yang rendah
2) Anak tidak mempunyai kontrol diri yang baik
3) Kemampuan sosial anak yang buruk
4) Anak akan merasa ia bukan bagian yang penting untuk orang
tuanya.
Biasanya anak yang terbiasa dengan pola asuh seperti ini akan terus
terbawa sampai ia dewasa dan melakukan hal yang sama pula
terhadap anaknya kelak.
27
b. Pola asuh Indulgent
Pola asuh indulgent adalah istilah bagi pola asuh orang tua yang selalu
terlibat dalam semua aspek kehidupan anak. Namun tidak ada tuntutan
dan kontrol dari orang tua terhadap anak. Orang tua cenderung
membiarkan anak melakukan apa saja sesuai keinginan anaknya.
Bahasa sederhananya, orang tua selalu menuruti keinginan anak,
apapun keinginan tersebut, tanpa pertimbangan apakah baik/buruk
bagi anak. Biasanya orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini
akan berkilah bahwa sikap yang diambilnya didasarkan rasa sayang
terhadap anak.
c. Pola asuh Otoriter
Pola pengasuhan otoriter adalah pola pengasuhan yang kaku, diktator
dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa
banyak alasan. Banyak ditemukan penerapan hukuman fisik dan
aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna
dan alasan di baliknya. Orang tua tak mau repot-repot berpikir bahwa
peraturan yang kaku seperti itu justru akan menimbulkan serangkaian
efek negatif bagi anak.
Dampak buruk pola asuh otoriter terhadap anak, antara lain :
1) Anak merasa tidak bahagia
2) Anak menjadi ketakutan
3) Anak tidak terlatih untuk berinisiatif
4) Selalu tegang
28
5) Tidak mampu menyelesaikan masalahnya (problem solvingnya
buruk)
6) Kemampuan berkomunikasi juga buruk
d. Pola asuh authoritative
Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini akan membiarkan
anak memilih untuk melakukan apa yang menurut anak baik, tetapi
tetap harus ada batasan apa yang seharusnya dilakukan. Pola ini sering
mendorong anak untuk mandiri, tetapi orang tua tetap menetapkan
batasan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, penuh welas asih
kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak,
mendukung tindakan anak yang konstruktif. Anak yang terbiasa
dengan pola asuh ini akan membawa dampak yang menguntungkan,
antara lain :
- Anak merasa bahagia
- Anak mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk
- Anak mampu mengatasi stress
- Anak mempunyai keinginan untuk berprestasi
- Anak mampu berkomunikasi secara baik dengan teman-temannya
dan orang dewasa.
Sedangkan Menurut Baurin (2007 : 34), terdapat 4 macam pola asuh
orang tua:
a. Pola asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan
kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.
29
Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari
tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini
juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang
berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
b. Pola asuh Otoriter
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus
dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe
ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak
mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua
tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak
mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu
arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya
untuk mengerti mengenai anaknya.
c. Pola asuh Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar.
Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu
tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak
menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam
bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka.
Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali
disukai oleh anak.
d. Pola asuh Penelantar
30
Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang
sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan
untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala
biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini
adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang
depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan
perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.
Sedangkan Menurut Baumrind dalam Wawan (2010) pola asuh orang
tua dapat diidentifikasikan menjadi 3, yaitu:
a. Pola asuh Demokratis
Pola asuh orang tua yang demokratis pada umumnya ditandai dengan
adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat
semacam aturan-aturan yang disepakati bersama. Orang tua yang
demokratis ini yaitu orang tua yang mencoba menghargai kemampuan
anak secara langsung.
b. Pola asuh Otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan orang tua yang melarang anaknya
dengan mengorbankan otonomi anak.
c. Pola asuh Permisif
Pola asuh permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas
kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan
anak.
31
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bentuk-bentuk
pola asuh orang tua bermacam-macam, yang menjadi bentuk pola
asuh orang tua dan selanjutnya oleh penulis dijadikan indikator dalam
peneltian ini adalah ; Pola asuh Demokratis, Pola asuh Otoriter, Pola
asuh Permisif dan Pola asuh Penelantar.
6. Tugas-tugas Orang Tua
Salah satu hak anak yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak (KHA)
adalah mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif.
Sebagai tempat tumbuh kembangnya anak, rumah menjadi institusi
paling awal dan terpenting bagi anak. Saat anak tidak merasa nyaman di
tengah-tengah keluarganya, dapat dipastikan ada masalah yang
mengganggunya. Bukan untuk waktu sementara, masalah yang dialami
anak di lingkungan keluarga pun akan berimbas pada kehidupannya di
masa-masa berikutnya. Ketimpangan antara keadaan yang diharapkan
anak dengan kenyataan yang dialaminya menjadi pemicu terganggunya
perkembangan pribadi anak.
Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik, secara garis
besar adalah:
a. Memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan
kesehatan
b. Memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini
merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional
yang sehat dari seorang anak.
32
c. Memberikan suatu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan
suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.
d. Membimbing dan mengendalikan perilaku.
e. Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini
diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu
menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa
sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami.
f. Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan
anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan
memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan
yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk
dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.
g. Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga.
h. Memberi teladan.
C. Kenakalan Remaja Akibat Keluarga Broken home
Menurut bower, pengaruh keluarga yang bisa menyebabkan kenakalan remaja
adalah :
Keluarga yang Broken home
Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis
sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa
peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya.
Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa
membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari
33
orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau
keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa fungsi keluarga
adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam
masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi
tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang
memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik
internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan
yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebaginya.
masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi
merupakan masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang anak.
Keluarga merupakan dunia keakraban dan diikat oleh tali batin, sehingga
menjadi bagian yang vital dari kehidupannya.
Menurut Bower, penyebab timbulnya kenakalan remaja akibat orang tua
broken home antara lain:
a. Orang tua yang bercerai
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang
tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah
terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan
kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri
antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau
salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus
sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan
yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada
pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa
34
ada rasa kebertautan yang intim lagi.
b. Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar
anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut
justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali
batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu
terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang
perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan
komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa
anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan
komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar
bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin
mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih
baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan
kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan
yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog
dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orang tua terlalu
menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta
kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan
kebisuannya. Ternyata perhatian orang tua dengan memberikan kesenangan
materiil belum mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat
digantikan kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya
berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati.
c. Perang dingin dalam keluarga
35
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu.
Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh
rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang
dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan
pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan
kehendaknya sendiri.
Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga
yang merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di
dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat
mengambil dua sikap bicara yaitu:
Sikap atau cara yang bersifat preventif
Yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk
menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan
yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat
memberikan atau mengadakan tindakan sebagai berikut :
a. Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.
b. Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.
c. Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.
d. Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu
ikatan keluarga.
Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:
a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
b. Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif.
c. Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
36
d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
Sikap atau cara yang bersifat represif
Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial
yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi
anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang
khusus mengenai masalah kesejahteraan anak-anak. Selain itu pihak orang tua
terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya
mengambil sikap sebagai berikut :
a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah
diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan.
b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan
yang menimpa anaknya.
c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam
mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.
d. Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.