9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN...

27
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan terkait dengan kajian mengenai moral islami khususnya kajian akhlak menurut para sufi, sehingga skripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya yang telah ada. Penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Penelitian skripsi Makhrufi (2013) mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan judul Pesan Moral Islami dalam Film Sang Pencerah (Kajian Analisis Semiotik Model Roland Barthes). Terdapat beberapa keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya adalah meneliti nilai moral Islami yang berdasarkan pada pendapat para sufi yang memang meneladani Rasulullah SAW. Perbedaan skripsi Dianita Dyah Makhrufi dengan penelitian peneliti yaitu pada penelitian Dianita menggunakan film sebagai objek kajiannya, sedangkan penulis menggunakan objek novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye. Selain itu, Makhrufi memfokuskan penelitiannya pada makna pesan moral Islami dari struktur gambar dan pesan lisan yang terdapat dalam Film, sedangkan penulis mengkaji mnegenai akhlak kesufian dalam hubungan bermasyarakat pada tokoh utama dalam novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye. Penelitian skripsi Mira (2015) mahasiswa jurusan Akidah Filsafat, Fakultas Ushuludin dan Humaniora, Intitut Agama Islam Negeri Antasari dengan judul

Transcript of 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN...

Page 1: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan terkait dengan kajian

mengenai moral islami khususnya kajian akhlak menurut para sufi, sehingga

skripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya yang

telah ada. Penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

Penelitian skripsi Makhrufi (2013) mahasiswa Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan

judul Pesan Moral Islami dalam Film Sang Pencerah (Kajian Analisis Semiotik

Model Roland Barthes). Terdapat beberapa keterkaitan antara penelitian ini

dengan penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya adalah meneliti nilai moral

Islami yang berdasarkan pada pendapat para sufi yang memang meneladani

Rasulullah SAW. Perbedaan skripsi Dianita Dyah Makhrufi dengan penelitian

peneliti yaitu pada penelitian Dianita menggunakan film sebagai objek kajiannya,

sedangkan penulis menggunakan objek novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere

Liye. Selain itu, Makhrufi memfokuskan penelitiannya pada makna pesan moral

Islami dari struktur gambar dan pesan lisan yang terdapat dalam Film, sedangkan

penulis mengkaji mnegenai akhlak kesufian dalam hubungan bermasyarakat pada

tokoh utama dalam novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye.

Penelitian skripsi Mira (2015) mahasiswa jurusan Akidah Filsafat, Fakultas

Ushuludin dan Humaniora, Intitut Agama Islam Negeri Antasari dengan judul

Page 2: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

10

Nilai-nilai Sufistik dalam Novel Tuhan Maaf Engkau Kumadu karya Aguk

Irawan MN. Terdapat beberapa keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian

terdahulu, diantaranya adalah meneliti nilai sufistik. Perbedaan skripsi Mira

dengan skripsi peneliti yaitu pada penelitian Mira memfokuskan pada nilai

tawasuf filsafi dan tasawuf amali sebagai objek kajiannya, sedangkan penulis

memfokuskan penelitian pada kajian akhlak menurut kaum sufi.

Penelitian skripsi Setyawati (2013) mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta dengan judul

Analisis Nilai Moral Dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes

Davonar (Pendekatan Pragmatik). Terdapat keterkaitan antara penelitian ini

dengan penelitian terdahulu, diantaranya adalah sama-sama mengkaji masalah

nilai moral. Perbedaan skripsi Setyawati dengan skripsi peneliti yakni pada

penelitian Setyawati menggunakan objek Novel Surat Kecil Untuk Tuhan untuk

meneliti wujud nilai moral dalam hubungan manusia dengan Tuhan, diri

sendiri,dan manusia lain. Sedangkan peneliti menggunakan novel Hafalan Shalat

Delisa untuk meneliti mengenai akhlak kesufian berupa akhlak tawadhu, lemah

lembut, dan sabar.

Penelitian Ulfa (2010) mahasiswa Jurusan Pendidikan Islam, Universitas

Muhammadiyah Surakarta dengan judul Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam

Novel Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye. Terdapat keterkaitan antara

penelitian ini dengan penelitian terdahulu, diantaranya adalah sama-sama

mengkaji novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye. Perbedaan skripsi Ummu

dengan skripsi peneliti terletak pada pembahasan akhlak. Jika Ummu mengkaji

mengenai pendidikan akhlak kepada Allah, keluarga, dan akhlak mazmummah,

Page 3: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

11

maka skripsi peneliti membahas mengenai akhlak kesufian berupa akhlak

tawadhu, lemah lembut, dan sabar.

2.1.2 Konsep Nilai

Dalam berkehidupan, manusia akan selalu bersinggungan dengan nilai.

Setiadi (2009:31) mengungkapkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang bernilai

baik yang selalu diharapkan oleh manusia, dicita-citakan dan dianggap penting

oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu, sesuatu dikatakan memiliki

nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik

(nilai moral atau etis), dan religius (nilai agama). Nilai merupakan harga untuk

sesuatu yang berharga bagi kehidupan manusia (Sulismadi dan Ahmad Sofwani,

2011:6). Nilai merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diinderakan oleh

manusia. Sebuah nilai dapat diketahui apabila manusia atau seseorang telah

melakukan sesuatu dalam hidupnya.

Beberapa ahli juga menjelaskan mengenai nilai antara lain, menurut Lasyo

(dalam Setiadi, 2006:127) bahwa nilai bagi merupakan sebuah landasan untuk

memotovasi segala tingkah laku yang diperbuat oleh manusia. Dardji

Darmodiharjo (dalam Setiadi, 2006:128) mengungkapkan bahwa nilai adalah

suatu ukuran kualitas baik yang memiliki manfaat untuk manusia secara lahir dan

batin..

Nilai adalah sebuah konsep umum tentang sesuatu yang dianggap patut,

layak, dan baik. Keberadaan nilai selalu dicita-citakan, dihayati, dan diinginkan

untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Baik kehidupan

bermasyarakat dari tingkat terkecil hingga suku, bangsa, dan masyarakat

Page 4: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

12

internasional. Kamus Poerwadarminta (1984:667) menerangkan pengertian nilai

sebagai (a) harga dalam arti taksiran, (b) harga sesuatu, misalnya uang, (c) angka,

skor, (d) kadar mutu, dan (e) sifat dan hal yang bersifat penting dalam manusia.

Notonagoro dalam Setiadi (2006:123) membagi nilai menjadi 3 yakni:

a. Nilai material, yakni mengenai tentang hal-hal yang berguna bagi kehidupan

manusia.

b. Nilai vital, yakni mengenai hal yang berkaitan dengan segala sesuatu yang

memiliki nilai guna bagi manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

c. Nilai kerohanian, merupakan konsep yang mengajarkan mengenai hal yang

berhubungan dengan kebutuhan kerohanian pada manusia, seperti:

1) Nilai kebenaran yang terdapat pada akal manusia atau rasionalitas

2) Nilai keindahan yang terdapat pada perasaan

3) Nilai moral yang terdapat pada kehendak

4) Nilai keagamaan yang terdapat pada kitab suci atau wahyu Tuhan.

Nilai merupakan sesuatu yang dianggap baik yang dicita-citakan,

diharapkan, dan dianggap penting oleh anggota masyarakat. Oleh karena itu,

sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila hal tersebut memiliki nilai guna dan

berharga, baik, dan indah. C.Kluckhon (dalam Setiadi, 2006:32) mengemukakan

bahwa yang menentukan orientasi nilai budaya manusia adalah hakikat hidup

manusia, karya manusia, hakikat waktu manusia, hakikat alam manusia, hakikat

hubungan antar manusia.

2.1.3 Konsep Tokoh dan Penokohan

Page 5: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

13

Character atau tokoh cerita adalah pemeran dari sebuah karya naratif.

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009:165) mengungkapkan jika tokoh adalah orang

yang dijadikan figure atau ditampilkan dalam sebuah cerita atau karya naratif

diartikan memiliki kualitas moral. Kecenderungan tertentu yang ada dalam

tingkah laku tokoh seperti ekspresi, ucapan dan tindakan menjadikan hal tersebut

sebuah indikator kualitas moral. Berdasarkan kutipan yang telah dikemukakan,

dapat diketahui jika tokoh dapat membawa pembawaan diri atau penokohannya

yang berkaitan dengan pengertian pembaca. Perbedaan antara tokoh dapat

diketahui dari pembawaan atau pribadi tokoh.

Wiyatmi (2006:30) mengemukakan bahwa tokoh merupakan pelaku yang

ada di dalam sebuah karya fiksi. Sayuti (2000:73) berpendapat bahwa tokoh

merupakan bagian struktural fiksi yang akan melahirkan sebuah peristiwa. Tokoh

merupakan ciptaan dari hasil imajinasi pengarang. Tokoh juga dapat berupa

gambaran dari orang yang ada dalam kehidupan nyata. Kehadiran tokoh menjadi

hal utama dalam sebuah karya sastra. Melalui tokoh hampir semua gagasan yang

hendak disampaikan oleh pengarang dapat tersalurkan melalui tokoh.

Konsep tokoh merujuk pada orang, pelaku dalam cerita, dan untuk

menjawab terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”. Kualitas

pribadi seorang tokoh ditafsirkan oleh pembaca melalui watak, perwatakan tokoh,

karakter tokoh, dan hal yang menunjukkan sifat dan sikap para tokoh

(Nurgiyantoro, 2010:247). Penokohan dan karakterisasi seringkali dianggap sama

artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan watak tokoh

dalam sebuah cerita yang ditulis oleh pengarang. Mengutip pendapat Jones (dalam

Page 6: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

14

Nurgiyantoro, 2010:247), penokohan adalah penggambaran yang men-

deskripsikan seseorang yang dihadirkan pada sebuah cerita.

Tokoh cerita dalam cerita fiksi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis

pemberian nama dilihat dari sudut pandang penamaan dilakukan. Pembedaan

tokoh ke dalam kategori didasarkan pada peranan dan penting atau tidaknya

seorang tokoh dalam cerita fiksi akan menghadirkan tokoh utama dan tokoh

tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam

novel yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010:259). Pada beberapa novel, tokoh

utama selalu muncul dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam perspektif

waktu yang sering muncul. Pada novel yang lainnya tokoh utama tidak selalu

hadir dalam setiap cerita, namun ia tetap berkaitan atau dapat dihubungkan

dengan tokoh utama. Sedangkan tokoh tambahan seringkali tidak di anggap, atau

paling tidak, kurang mendapat perminatan. Namun peran tokoh tambahan ini

sangat membantu peran dari tokoh utama. Tokoh tambahan seringkali muncul

cukup banyak dalam sebuah cerita yang bersangkutan, namun porsi banyaknya

kemunculan tokoh utama dengan tokoh tambahan tentu berbeda persentase.

Jika melihat dari peran tokoh dalam mengembangkan sebuah plot maka,

ditampilakan adanya perbedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dilihat

dari fungsi tampilan tokoh akan dibedakan kedalam tokoh protagonis dan

antagonis. Menurut Altenbernd & Lewis dan Baldic (dalam Nurgiyantoro,

2010:261) tokoh protagonis adalah tokoh yang disukai yang salah satunya secara

umum disebut sebagai pahlawan atau tokoh yang menjadi penerjemahan norma

dan nilai yang sesuai bagi kita. Sedangkan tokoh antagonis dapat juga disebut

tokoh yang identik dengan penyebab konflik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang

Page 7: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

15

bertolakbelakang dengan tokoh protagonis, baik secara langsung ataupun tidak

langsung, fisik maupun batin. Secara umum tokoh antagonis dianggap penting

dalam sebuah cerita yang menceritakan mengenai pertikaian antara dua

kepentingan. Kepentingan itu seperti baik-buruk, baik-jahat,dan benar-salah.

Tokoh antagonislah yang menjadi sebab dari ketegangan dan konflik sehingga

diperoleh cerita yang menarik bagi pembaca.

Menentukan tokoh cerita kedalam protagonis atau antagonis kadang sulit.

Tokoh yang menurut pembaca memperlihatkan harapan atau norma baik menurut

kita, memang dapat disebut sebagai tokoh protagonis. Namun, tidak jarang ada

tokoh yang membawakan nilai moral kita, atau yang berdiri di pihak sebelah,

justru diberi simpati dan empati oleh pembaca. Jika ada dua tokoh yang

berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan

visinya itulah yang kemungkinan besar memperoleh rasa simpati dan empati dari

pembaca. (Luxemburg dalam Nurgiyantoro, 2010:263)

Tokoh-tokoh dalam cerita tidak serta-merta hadir begitu saja dalam sebuah

cerita. Ia membutuhkan ‘sarana’ yang memungkinkan untuk kehadirannya. Sarana

yang dibutuhkan adalah berupa pelukisan tokoh. Secara umum teknik

penggambaran tokoh dalam sebuah karya dapat dituliskan kedalam dua teknik

yakni teknik penjelasan, eksposiotori dan teknik dramatik. Teknik eksposiotori,

yang sering disebut juga sebagai teknik analitis, yakni penggambaran tokoh cerita

diberikan dengan memberi penjabaran, uraian, atau pendeskripsian secara

langsung (Nurgiyantoro, 2010:279). Penyampaian secara langsung pendeskripsian

watak tokoh yang bersifat memberitahu atau memberikan kemudahan pembaca

untuk memahami (Setyawati, 2013:19). Jika dibandingkan dengan bentuk yang

Page 8: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

16

sebelumnya telah dijelaskan, bentuk penyampaian pesan moral di sini bersifat

tidak langsung. Pesan yang disampaikan mengenai tokoh disampaikan secara

tersirat dalam sebuah cerita. Penyampaian secara tidak langsung ini memberikan

ruang kepada pembaca untuk menentukan karakter tokoh melalui berbagai

aktivitas yang dilakukan tokoh, baik secara verbal maupun nonverbal, lewat

tindakan atau tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang dialami tokoh. Namun

cara ini memiliki sedikit kekurangan karena mungkin kurang komunikatif. Hal ini

mengandung arti bahwa setiap pembaca akan menemukan sebuah ‘penemuan’

yang berbeda antara satu pembaca dengan pembaca lain, dengan kata lain

pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan

pengarang, hal ini akan menimbulkan kemungkinan kesalahan dalam penafsiran

oleh masing-masing pembaca (Setyawati, 2013:21).

Wujud penggambaran dramatik sendiri dilakukan dengan berbagai teknik.

Teknik yang digunakan untuk menjelaskan sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk

percakapan dalam sebuah cerita khususnya novel umumnya cukup banyak.

Banyak percakapan yang tidak semuanya akan menggambarkan diri tokoh, namun

banyak percakapan yang efektif yang dapat mencerminkan tokoh. Percakapan

efektif dinilai lebih fungsional dalam menunjukkan perkembangan alur cerita dan

memberikan gambaran karakter yang dicerminkan tokoh. Tingkah laku akan

merujuk pada kejadian nonverbal dan fisik. Hal yang dilakukan oleh orang yang

berupa rekasi, sifat dan tanggapan dapat mencerminkan perwatakannya. Kedua

teknik tersebut lazim digunakan dalam karya fiksi khususnya novel di masa kini.

Namun, selain teknik tersebut ada beberapa teknik yang dapat dipakai dalam

pelukisan tokoh dramatik yakni: teknik pikiran dan perasaan, teknik arus

Page 9: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

17

kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan tokoh

lain, teknik pelukisan fisik, dan catatan tentang identifikasi tokoh. Dalam teknik

catatan tentang identifikasi tokoh, pengidentifikasian dapat melalui prinsip

pengulangan, prinsip pengumpulan, dan prinsip kemiripan dan pertentangan.

2.1.4 Konsep Novel

a. Pengertian Novel

Novel diambil dari kata novella, yang dalam kamus Jerman kemudian

disebutkan sebagai novella dan dalam kamus Inggris disebut novel, dan novel ini

yang sekarang masuk di Indonesia. Jika diterjemahkan, novella berarti sebuah

barang baru berbentuk kecil yang selanjutnya akan diberi arti sebagai sebuah

cerita pendek yang berupa prosa (Nurgiyantoro, 2010:9).

Wellek dan Werren (2013) mengatakan bahwa novel menawarkan cerita

mengenai kehidupan nyata yang terjadi dalam lingkungan sosial, walaupun

terkadang karya sastra juga merupakan tiruan dari alam dan subjektivitas

kehidupan manusia. Novel merupakan karya fiksi, yang berisi tentang kehidupan

para tokoh yang terdapat di dalamnya. Novel sering juga disebut sebagai fiktif

atau rekaan dari kehidupan masyarakat sebenarnya. Pengarang akan menyajikan

cerita yang menarik sehingga pembaca dapat menikmati cerita yang disuguhkan.

Selain itu, pembaca dapat menangkap pesan yang terkandung dalam novel. Dalam

sebuah karya sastra khusunya novel pengarang mengulas cerita secara lebih

mendalam.

Novel merupakan sebuah karangan panjang berupa prosa yang

menceritakan rentetan cerita kehidupan seseorang maupun orang lain yang

Page 10: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

18

mengutamakan perwatakan, pelaku, dan gambaran tempat terjadinya peristiwa.

Dalam novel kita dapat menemukan nilai kebudayaan, nilai moral, sosial,

keagamaan dan pendidikan.

H. B. Jassin (dalam Suroto,1989:19) menerangkan bahwa novel adalah

penerapan kejadian dari kehidupan seseorang yang luar biasa karena kejadian

yang telah dialami akan menciptakan sebuah pertikaian yang akan mengubah

jalan hidup mereka.

Nurgiyantoro (2010:10) mengungkapkan bahwa novel berupa karya fiksi

yang dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Selain itu, Nurgiyantoro juga

mengemukakan bahwa novel berarti sebagai karangan prosa yang menceritakan

uraian perjalanan hidup seorang tokoh dengan orang lain yang berada di

sekitarnya dengan mengajukan sebuah watak dan sifat para tokoh..

b. Unsur-unsur Novel

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya novel memiliki

dua unsur, yakni intrinsik dan ektrinsik. Kedua unsur ini menjadi pembangun

novel agar sempurna. Unsur-unsur ini dibutuhkan untuk membuat novel semakin

memiliki daya artistik yang tinggi.

1) Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah hal yang berada di luar karya sastra, namun secara

tidak langsung dapat memengaruhi struktur dalam novel. Unsur ekstrinsik terdiri

dari pandangan hidup pengarang seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Kesemuanya itu akan berpengaruh kepada karya yang dituliskan oleh pengarang.

Page 11: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

19

Unsur ekstrinsik dalam suatu karya haruslah juga dipandang sebagai

sesuatu yang sangat penting. Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2015:30)

mengatakan bahwa jika membicarakan unsur ekstrinsik tampaknya negatif atau

kurang penting. Unsur ekstrinsik dalam suatu karya sastra akan membantu

pembaca dalam memahami karya itu karena diketahui bahwa karya sastra tidak

hadir dari kondisi budaya yang mengalami kekosongan (Nurgiyantoro, 2015:30).

Ekstrinsik juga memiliki beberapa unsur yang sangat berpengaruh pada

sebuah karya sastra. Unsur ekstrinsik yang dimaksud ialah tingkat subjektifitas

pengarang terhadap sikap, keyakinan,dan pandangan hidup yang keseluruhan

unsur tersebut dapat mempengaruhi karya sastra yang akan ditulis (Wellek dan

Warren, dalam Nurgiyantoro, (2015:30).

Unsur ekstrinsik yang selanjutnya adalah masalah psikologi. Psikologi

digolongkan menjadi psikologi pengarang, psikologi pembaca sebagai penikmat

karya sastra, maupun psikologi terapan yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Kondisi sosial, ekonomi, dan politik tentu juga akan mempengaruhi proses

penciptaan karya sastra oleh pengarang. Hal lain yang tidak dapat ditinggalakn

dalam unsur ekstrinsik adalah mengenai pandangan hidup suatu bangsa dan karya

seni lain juga termasuk dalam unsur ekstrinsik. (Nurgiyantoro, 2015:31).

2) Unsur Intrinsik Novel

Unsur intrinsik merupakan salah satu bagian yang menjadi salah satu

sebab karya sastra dihadirkan dengan maksud sebagai sastra yang mampu

dinikmati dan dibaca oleh masyarakat. Unsur intrinsik adalah pembangun karya

sastra yang berasal dari dalam diri karya sastra itu sendiri. Nurgiyantoro

Page 12: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

20

menyebut bahwa unsur intrinsik meliputi penyajian tema, plot,

penyudutpandangan, penokohan, latar yang ada dalam karya sastra (2010:23).

a. Tema.

Tema ialah sebuah pondasi mendasar yang akan menjadi tumpuan sebuah

karya yang ada didalam teks yang berupa unsur semantik dan yang berkaitan

dengan persamaan maupun perbedaan.. Kenney (dalam Pujiharto, 2012:75)

mengemukakan hal-hal yang oleh sebagian orang disebut tema, tetapi

sesungguhnya bukan. Hal-hal tersebut adalah moral dan subjek. Moral cerita

diartikan sebagai nasihat secara praktis yang dapat diderivasikan dari cerita.

moral pastilah agak sederhana karena harus dengan mudah dapat diadaptasikan

pada tingkah laku pembaca sebagaimana moral, tema juga berarti sesuatu yang

dapat diderivasikan dari cerita. Namun, tema dapat menjadi lebih kompleks

daripada moral dan berangkat di dalam fakta tidak mengarah ke nilai sebagai

nasihat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa moral adalah sesuatu jenis

tema yang lebih sederhana, sementara tidak semua tema adalah moral. Akan

tetapi subjek merupakan apa yang di dalam karya mengacu pada sesuatu.

Stanton dan Kenney (dalam Nurgiantoro, 2010: 67) mengatakan bahwa

tema adalah sebuah makna yang terdapat dalam cerita. Makna yang ditawarkan

dalam cerita novel tentu saja ada banyak. Permasalahan yang timbul dalam

pemaknaan disini ialah makna khusus mana yang akan dianggap sebagai tema.

Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiantoro, 2010: 68) mengungkapkan

jika tema adalah sebuah ide dasar yang bersifat umum yang menjadi tumpuan

sebuah karya sastra yang memiliki unsur semantis di dalamnya. Tema menjadi

ide pengembangan seluruh cerita, maka dari itu tema disebut juga jiwa dalam

Page 13: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

21

karya sastra. Unsur penting dalam sebuah karya sastra ialah tema. Tema sulit

ditentukan, oleh karena itu perlu disimpulkan secara keseluruhan isi cerita. Tema

dapat diketahui dalam isi cerita dan disaring melalui peristiwa-peristiwa dan

konflik yang terdapat dalam sebuah karya novel. Hal tesebut sangat mendukung

dalam novel sehingga pembaca dapat menangkap tema yang akan disampaikan

dalam novel.

Stanton (dalam Nurgiantoro, 2010:70) mengatakan tema diartikan sebuah

makna dalam cerita yang menjelaskan secara khusus unsure umum secara

sederhana. Tema, menurut Stanton dapat disamakan dengan gagasan utama dan

tujuan utama. Tema dijadikan sebagai dasar cerita, dan gagasan utama dalam

penulisan karya sastra. Gagasan dasar inilah yang sebelumnya telah ditentukan

oleh pengarang sebelum menciptakan sebuah karya. Gagasan dasar akan

mengikuti seluruh rangkaian cerita yang telah ditetapkan oleh pengarang.

Gagasan dasar berisi berbagai konflik peristiwa dan unsur-unsur ekstrinsik

seperti pelataran, penokohan, dan penentuan sudut pandang yang diharapkan

memiliki kesesuaian dengan apa yang terdapat di dalam gagasan umum.

Gagasan dasar dapat ditulis dalam bentuk kerangka cerita, sehingga watak tokoh

dan hal lain yang berkaitan dengan sastra yang akan dibuat akan dapat

tergambarkan dengan baik.

b. Plot

Plot atau alur adalah rangkaian kejadian sebab dan akibat yang saling

berkait-kaitan yang terdapat didalam sebuah cerita. Dengan peristiwa yang saling

tersambung ini maka terjalinlah sebuah kisah runut yang membangun sebuah

cerita utuh.

Page 14: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

22

Plot merupakan unsur dalam sebuah karya fiksi yang tergolong penting.

Bahkan banyak orang yang menganggap plot sebagai yang paling penting di

antara berbagai macam unsur yang lainnya. Plot sebuah karya fiksi yang

kompleks, ruwet dan sulit dikenali hubungan antarperistiwanya, mengakibatkan

cerita menjadi lebih sulit dimengerti oleh pembaca. Hal yang ini sering dapat

ditemui pada karya yang memanfaatkan plot dan teknik pemplotan sebagai salah

satu cara untuk mencapai efek keindahan karya sebuah karya. Itulah sebabnya

novel yang lebih bersifat menceritakan sesuatu, atau tujuan utamanya adalah

menyampaikan cerita. Novel yang sangat mementingkan alur akan

memperhatikan plot dengan sangat teliti karena teknik aluran ini menjadi

kekuatan pada novel yang berguna untuk menggapai tingkat estetis yang tinggi

pada karya sastra(Nurgiantoro, 2010: 110).

Selain tema, plot termasuk salah satu unsur terpenting dalam karya fiksi.

Plot juga dapat juga disebut sebagai jalan cerita atau alur cerita. Cerita dalam

novel akan lebih menarik jika jalan cerita yang disuguhkan pengarang beruntun,

peristiwa demi peristiwa saling susul-menyusul. Namun, tidak jarang sebuah

karya fiksi membuat pembaca kebingungan dengan alur cerita. Biasanya

pengarang mencerikatan sebuah kejadian yang sudah lampau atau sudah terjadi.

Hal ini biasanya disebut dengan flashback atau alur mundur, pengarang

menceritakan kembali yang sudah pernah terjadi.

Stanton (dalam Nurgiantoro, 2015: 167), menuliskan bahwa plot

merupakan urutasn kejadian cerita yang terdapat dalam karya sastra yang

dihunungkan oleh sebab-akibat. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 167)

mengatakan terdapat perbedaan antara plot dengan cerita, ia mengungkapkan jika

Page 15: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

23

plot adalah susunan dari peristiwa, yakni semacam penyajian dan pegurutan

peristiwa untuk mencapai tingkat emosi dan artistik tertentu.

Plot merupakan jalan cerita atau urutan cerita dalam karya fiksi novel. Di

dalam plot terdapat peristiwa-peritiwa yang beruntun dan dapat menbangun cerita

lebih menarik. Pengarang merangakai peristiwa-peristiwa secara beruntun

sehingga menyajikan sebuah karya yang menarik dan pembaca dapat menikmati

karya dengan baik.

c. Tokoh

Seperti sejalan dengan plot dan latar atau setting, tokoh adalah hal penting

harus ada dalam membangun sebuah karya fiksi. Plot dapat disebut dengan tulang

punggung cerita. Namun, tokoh merupakan suatu unsur yang tidak dapat

dilepaskan dalam karya fiksi. Tanpa tokoh kita dapat mempermasalahkan siapa

yang diceritakan dalam karya itu, siapa yang mengalami peristiwa demi peristiwa

dalam cerita itu. Oleh sebab itu, tokoh sangat penting dalam membangun karya

fiksi.

Ungkapan tokoh diidentikkan untuk menyebut pada pemeran dalam sebuah

kisah. Tokoh megidentifikasikan pada orang-orang yang hadir di dalam cerita

(Pujiharto, 2012:43). Abram (dalam Nurgiantoro, 2010:165) mengatakan jika

tokoh adalah individu yang dimunculkan dalam sebuah cerita naratif atau drama,

yang kemudian oleh pembaca akan di beri penafsiran mempunyai kualitas moral

dan kecenderungan seperti pengekspresian dan tindakan yang dilakukan oleh

tokoh.

Page 16: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

24

d. Penokohan

Istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku dalam sebuah kisah. Abrams

mengemukakan jika tokoh adalah pelaku yang dimunculkan pada sebuah cerita

atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki akhlak seperti yang

ditunjukkan pelaku melalui tuturan dan tindakan (Nurgiyantoro, 2010:166).

Sedangkan penokohan merunjuk pada penempatan tokoh dalam sebuah cerita.

Penokohan merupakan penggambaran tentang tokoh yang dilakukan secara jelas

dalam sebuah cerita yang mengacu pada perwujudan dan pengembangan tokoh

dalam satuan cerita.

Penokohan merupakan penggambaran atau pelukisan tokoh oleh pengarang

yang akan menampilkan watak dan perilaku tokoh (Pujiharto, 2012:44). Dalam

sebuah karangan fiksi, istilah seperti tokoh dan penokohan akan sering didengar,

watak dan perwatakan, karakter dan karakterisasi menunjuk pada pengertian yang

hampir memiliki kesamaan. Namun, hal itu mengarah pada pengertian yang sama.

Menurut Stanton (dalam Nurgiantoro, 2010: 165) istilah karakter digunakan

tersendiri pada bahasa Inggris yang merujuk pada dua pengertian, yakni tokoh

cerita ditampilkanm sebagai sikap, dan keinginan, serta emosi dan prinsip-prisip

moral yang dimiliki. Karakter dapat diartikan sebagai pelaku atau dapat juga

berarti perwatakan

Dapat disimpulkan, bahwa penokohan memiliki pengertian yang lebih

besar daripada tokoh dan perwatakan karena ia mengena kepada pembaca.

Permasalahan yang membahas tokoh dalam cerita fiksi, bagaimana tingkah laku,

dan penemapatan tokoh serta teknik melukiskannya dalam cerita sehingga mampu

menyuguhkan sebuah pandangan yang terang pada penikmat karya sastra.

Page 17: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

25

Penokohan akan berkaitan dengan bagaimana perwujudan dan bagaimana tokoh

berkembang dalam sebuah cerita (Nurgiantoro, 2010:166).

Dalam karya naratif terdapat tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Pelaku

cerita yang terdapat dalam novel dibatasi, apalagi tokoh utama. Tokoh cerita novel

kerap ditampilkan secara lengkap tentang tokoh itu sendiri. Misalnya hubungan

dengan bentuk fisik, sifat, tingkah laku, keadaan sosial budaya, kebiasaan, dan

lainnya, termasuk hubungan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya, baik yang

digambarkan secara langsung ataupun tidak langsung. Hal-hal tersebut tentu akan

memberikan penggambaran yang jelasmengenai kondisi tokoh. Itulah sebabnya

tokoh pada cerita dalam novel dapat lebih memberikan kesan pada pembaca.

e. Latar

Latar cerita atau setting adalah hal yang berhubungan dengan tempat,

waktu, dan lingkungan yang menngambarkan terjadinya peristiwa. Latar terbagi

menjadi tiga unsur pokok, yaitu waktu, tempat, dan latar sosial. Latar waktu akan

berkaitan dengan kapan terjadi peristiwa yang diceritakan. Latar tempat akan

berbicara mengenai dimana lokasi peristiwa. Sedangkan latar sosial akan

berkaitan dengan tingkah kehidupan sosial di masyarakat di suatu lokasi yang

diceritakan dalam karya sastra. Latar sosial biasanya berkaitan dengan adat

istiadat, cara hidup, tradisi, cara bersikap, dan cara berfikir.

Latar atau setting menunjuk kepada pengertian lokasi, kaitan waktu

sejarah, dan tempat lingkungan sosial yang menceritakan peristiwa (Abrams

dalam Nurgiyantoro, 2015:303). Latar dapat menjadi acuan cerita yang konkret

dan jelas. Hal ini berguna untuk menberikan kesan realitas pada pembaca yang

membuat pembaca merasa bahwa cerita ini memang benar-benar ada dan terjadi.

Page 18: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

26

Latar terbagi menjadi tiga. Pertama unsur latar tempat yang menunjuk pada lokasi

tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur

yang digunakan mungkin dapat berupa nama tempat, inisial tempat tertentu, dan

tidak jarang pula melukiskan lokasi tertentu dengan nama yang jelas

(Nurgiyantoro, 2015:314).

Latar waktu dalam sebuah karya fiksi juga tidak dapat dikesampingkan.

Latar waktu akan berkaitan dengan ‘kapan’ peristiwa yang diceritakan terjadi dan

yang sedang berlangsung dalam cerita. Masalah kapan kebanyakan dikaitkan

dengan waktu yang bersifat fakta, waktu yang ada dapat dikaitkan atau dapat

dihubun bngkan dengan waktu sejarah. Masalah waktu menurut Genette (dalam

Nurgiyantoro, 2015:318) dapat bermakna ganda: yakni berkaitan dengan waktu

proses pembuatan cerita dan waktu penulisan cerita, namun di sisi lain dapat

berarti waktu dan urutan waktu yang terdapat dalam kisah cerita.

Masalah latar yang terakhir akan membahas mengenai latar sosial-budaya.

Latar sosial-budaya ini membahas pada hal yang berhubungan dengan tingkah

kehidupan sosial di masyarakat yang diceritakan dalam fiksi. Tata kehidupan

masyarakat akan berkaitan dengan banyak lingkup yang kompleks yang terjadi di

masyarakat. tata kehidupan kompleks yang dimaksud dapat berupa adat istiadat

masyarakat, kebiasaan hidup, keyakinan, keyakinan dalam masyarakat, pandangan

hidup, serta pola pikir dan serta bersikap, dan lain-lain yang tergolong pada

tingkat spiritual. Latar sosial juga akan berkaitan dengan tinggi dan rendahnya

status sosial tokoh atau yang dibiasa disebut dengan status sosial.

Page 19: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

27

f. Sudut Pandang

Sudut pandang atau Point of view merupakan pandangan atau cara yang di

gunakan pengarang sebagai alat untuk menampilkan tokoh, perbuatan, latar, dan

berbagai peristiwa yang akan membentuk sebuah cerita. Sudut pandang dibagi

menjadi tiga yakni sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, sudut

pandang tokoh bawahan yang lebih banyak mengamati dari luar (sudut pandang

orang ketiga), dan sudut pandang impersonal atau serba tahu.

Sudut pandang merunjuk pada sebuah cara bagaimana cerita akan

dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang di gunakan

pengarang untuk menyajikan cerita dalam sebuah cerita fiksi kepada pembaca

(Abrams dalam Nurgiyantoro, 2015:338). Dengan demikian, sudut pandang

merupakan strategi dan teknik dalam mengungkapkan cerita kepada pembaca.

2.2 Pengertian Akhlak

Akhlak menurut ilmu bahasa adalah bentuk jamak dari kata khuluq yang

berarti sebagai, perangai, tingkah laku, atau tabi’at dan budi pekerti (Mustofa,

1997:11). Akhlak lebih dekat dengan kepribadian manusia yang melekat dengan

gaya atau kekhasan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Pembentukan

kepribadian di dasarkan dari lingkungan tempat tinggal seseorang.

Akhlak dapat di jabarkan pula dengan perkataan khalqun yang berarti

kejadian dan khaliq yang berarti pencipta. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak

mrupakan gambaran tingkah laku yang diperbuat oleh manusia. Akhlak bukan

hanya memandang sebagai aturan tingkah laku yang mengatur hubungan dengan

Page 20: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

28

Tuhan, tetapi juga mengajarkan tata cara bagaimana berhubungan antara manusia

dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan sekitar.

Zahrudin AR (2004:4) mengemukakan terminologi akhlak dari beberapa

pakar, antara lain:

1) Ibnu Miskawih yang mengemukakan bahwa kondisi jiwa seorang individu

yang akan mendorong ia untuk melakukan perbuatan tanpa melewati pikiran

dan .

2) Imam Ghazali berpendapat bahwa akhlak merupakan sesuatu yang ada dalam

jiwa dan jika timbul suatu perbuatan, maka apa yang dilakukan itu akan

dilakukan dengan mudah dan tidak memerlukan pertimbangan dalam pikiran.

3) Prof. Dr Ahmad Amin mengemukakan jika akhlak adalah sebuah kemauan

yang dilakukan sehingga menjadi kebiasaan.

Sidi Gazalba (dalam Habibah, 2009:10) mengemukakan bahwa akhlak

adalah tingkah laku, tabiat, perangai, peri-kemanusiaan atau kehendak yang

dibiasakan. Kadar akhlak manusia ditentukan oleh iman yang dimiliki masing-

masing individu. jika tingkat keimanan seseorang tergolong tinggi maka semakin

luhur pula akhlak baiknya dan semakin buruk kadar keimanan seseorang maka

akhlak atau tindakan yang dilakukanpun semakin buruk. Akhlak dalam agama

Islam dibentuk dari rukun Islam dan rukun Iman.

Selain akhlak, terdapat juga istilah etika dan moral. Perbedaan ketiganya

terletak pada standar masing-masing. Akhlak meletakkan standar dan kajian Al-

Quran dan Sunnah. Etika menggunakan pertimbangan akal pikiran dan rasio

sebagai standar, dan moral mempertimbangkan mengenai hukum kebiasaan yang

berlaku di suatu masyarakat (Asmaran, 1994:9).

Page 21: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

29

2.2.1 Pembagian Akhlak

Sumber yang digunakan untuk penentuan akhlak dalam Islam, apakah

termasuk akhlak baik atau buruk adalah merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah.

Akhlak dibedakan menjadi dua kelompok, yakni kelompok akhlak terpuji

(mahmudah) atau mulia (karimah) dan yang kedua adalah akhlak tercela

(Mazmumah).

Al Ghazali (dalam Barmawie, 1995:39) mengatakan bahwa akhlak baik

memberikan pemahaman mengenai menghilangkan adat kebiasaan yang tercela,

kemudian membiasakan diri melakukan adat kebiasaan tercela yang telah

digariskan dalam Islam dan menbiasakan diri dengan kebiasaan yang baik.

Akhlak mahmudah mendasarkan perilaku pada hal-hal yang serasi dengan

kaidah-kaidah norma dan aturan yang ada di masyarakat. Kesesuaian ini akan

menimbulkan perilaku yang tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan

norma dan aturan, sehingga menimbulkan perilaku baik. Akhlak mahmudah dapat

ditujukan untuk Allah dan untuk sesama manusia.

Akhlak madzmumah yaitu akhlak yang tercela. Al Ghazali (dalam

Asmaran, 1994:183) mengatakan jika sifat buruk atau muhlikat, yakni perilaku

manusia akan menyebabkan manusia terjerumus pada kehancuran atau merusak

manusia. Sifat ini disebutnya sebagai sifat kehinaan. Pada dasarnya sifat yang

tercela dibagi menjadi:

1. Maksiat lahir yang perbuatan tercelanya dilakukan oleh anggota lahiriah, yaitu

tangan, mulut, mata, dan lain sebaginya.

2. Maksiat batin, ialah sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin, yaitu hati.

Page 22: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

30

Dari kesimpulan diatas dapat dikatakan bahwa akhlak mazmumah ialah

sifat tercela yang dapat membawa keburukan pada manusia.

Ukuran untuk menentukan akhlak itu termasuk akhlak trepujia atau tercela

adalah pertama, syara’ yakni aturan norma yang tertulis dalam al-Quran atau

norma masyarakat. Kedua, akal sehat manusia (Nasiruddin, 2009:33).

2.3 Pengertian Sufi

Masburiyah (2011:109) menyebut bawah kaum sufi adalah suatu

komunitas umat Islam yang bermaksud mendekatkan diri kepada Allah sedekat

mungkin. Istilah Sufistik menurut Harun Nasution (dalam Simuh, 2003:25)

berpendapat bahwa tasawuf merupakan mistisme dalam Islam dan disebut sufisme

oleh kaum orientalis Barat.

Sejarah telah mencatat bahwa orang pertama menggunakan kata shufi

adalah Abu Hasyim al-Khufi yang merupakan seorang zahid berasal dari Irak.

Secara etimologi shufi, maka terdapat beberapa pendapat seperti yang

dikemukakan oleh Muhammad Sholikin (2004:46), sebagai berikut:

a. Ahl Al-Shuffah, yaitu turut sertanyanya sekelompok orang untuk mengikuti

hijrah Nabi dengan meninggalakan \

b. semua harta benda di Mekkah. Shuffah digunakan oleh mereka sebagai bantal

tidur karena mereka hidup miskin di Madinnah

c. Shaf, yang dimaksud adalah barisan pertama pada saat shalat berjamaan di

masjid. Shaf pertama biasanya akan ditempati oleh orang yang cepat datang ke

masjid. Selain untuk sholat biasanya mereka juga membaca Al-Quran dan

melakukan dzikir jika waktu sholat belum tiba. Orang pada shaf pertama inilah

Page 23: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

31

yang memiliki kemauan dan berusaha untuk mendekatkan diri dan

mendekatkan diri dengan Tuhan.

d. Shufi berasal dari Shafi dan Shafa yang berarti suci. Sufi mensucikan dirinya

melalui ibadah sholat dan puasa. Tujuan mereka adalah untuk membersihkan

diri secara lahir dan bathin untuk mendapatkan ampunan dan ridho Allah.

e. Sophos, berasal dari bahasa Yunani yang berarti hikmah. Bahasa ini

berpengaruh pada pengertian kaum sufi bahwa kaum sufi banyak mengetahui

mengenai hikmah.

f. Shufanah, merupakan seperti buah namun berbentuk kecil dan memiliki bulu.

Shufanah sendiri banyak tumbuh di padang pasir tanah Arab. Hal ini berkaitan

dengan pakaian yang dikenakan sufi umumnya berbulu yang mendandakan

kesederhanaan pada diri mereka.

g. Shuf, ialah sebutan untuk kain wol atau kain yang dibuat dari bulu. Kain wol

yang digunakan kaum sufi adalah wol yang sangat sederhana dan cenderung

kasar, mirip pakaian yang terbuat dari karung goni. Pemakaian wol kasar

menyimbolkan bahwa sufi memiliki sifat sederhana, namun ia memiliki hati

yang sangat mulia.

2.4 Macam-macam Akhlak Menurut Kaum Sufi

Makhrufi (2013:27) menyebutkan bahwa kaum sufi menaruh minat besar

terhadap tingkah laku mulia karena mereka sangat tertarik dalam meneladani sifat

Rasulullah yang merupakan utusan Allah untuk membuat akhlak baik menjadi

sempurna. As-Suhrawardi dalam buku Tasawuf Islam dan Akhlak (dalam Hajjaj,

2011:313) juga memberikan pendapat bahwa sufi ialah golongan manusia yang

Page 24: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

32

berpengaruh besar dalam meneladani Rasulullah dan memiliki kewajiban tinggi

untuk melestarikan sunah-sunahnya serta berakhlak selayaknya akhlak yang

dimiliki Rasulullah. Macam-macam akhlak itu yaitu sebagai berikut:

a. Tawadhu’

Di antara banyak akhlak atau sifat terpuji yang diajarkan oleh agama Islam,

sifat tawadhu atau rendah hati merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh

setiap orang. Tawadhu’ adalah sikap rendah diri dan berlemah lembut dalam

berkehidupan. Mengakui kesalahan dan menerima permohonan maaf dari orang

lain juga merupakan salah satu dari sifat tawadhu’. Allah SWT berfirman sebagai

berikut:

“Dan hamba-hamba dari Tuhan Yang Pemurah itu, ialah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan sopan dan bila mereka ditegur sapa oleh orang-orang yang bodoh, mereka menjawab dengan ‘salam’.” (QS. Al Furqaan: 63)

Ayat di atas mengajak kita untuk tidak sombong dan mau bertegur sapa

dengan siapapun meskipun orang tersebut bukan dari golongan kita. Se-

sungguhnya Allah menyukai umat yang saling menjaga silaturrahmi di antara

saudara-saudaranya terutama saudara sesama muslim. Sikap tawadhu’ akan

melahirkan sikap seperti saling menghargai, tidak memotong pembicaraan, saling

menjaga dan menghormati perasaan, dan sikap sopan santun.

Tawadhu’ mengedepankan bahwa diri adalah sikap yang memandang

dirinya sebagai sesuatu yang kecil dan tidak ada apa-apanya. Hal ini diharapkan

untuk menghilangkan kecenderungan sikap sombong dang angkuh yang memang

banyak menggerogoti hati manusia. Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjawab pertanyaan

mengenai tawadhu yakni tawadhu berarti mau untuk mengakui kebenaran dan

Page 25: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

33

melaksanakan kebenaran tersebut, mau menerimanya dari orang yang

mengatakannya dan mau mendengarkannya (dalam Hajjaj, 2011:331), dengan

kata lain saamina wa’athona.

Makhrufi (2013:15) berpendapat bahwa tawadhu mengharuskan seseorang

untuk tidak menolak kebenaran yang dibawa oleh orang lain, apapun itu, lalu

kemudian melaksanakan kebenaran yang telah diperoleh dengan baik. Al-Fudhail

bin ‘Iyadh (dalam Hajjaj, 2011:331) mengungkapkan bahwa tawadhu’ memiliki

arti mau patuh dan tunduk pada kebenaran, serta mau menerimanya dari orang

lain yang mengatakannya dan mau mendengarkannya.

b. Lemah lembut

Perilaku lemah lembut berarti pengendalian diri ketika terjun dan

berinteraksi dengan orang lain. Kaum sufi dalam hal lemah lembut ini ingin

meneladani Rasulullah yang dikisahkan tidak pernah menyakiti hati seorangpun.

As Suhrawardi (dalam Hajjaj, 2011:332) mengatakan: “bersikap lemah

lembut terhadap istri, anak, tetangga, teman, dan segenap makhluk (manusia)

merupakan salah satu akhlak kaum sufi”. Hal ini berarti bahwa sikap lemah

lembut adalah cara mengendalikan diri terhadap interaksi dengan orang lain.

Lemah lembut juga mengajarkan kita untuk santun kepada manusia lain. Tidak

mengucilkan diri dari pergaulan masyarakat selama itu sesuai syariat Islam. Baik

atau buruk perilaku seseorang itu adalah konsekuensi dari penciptaan manusia

yang beragam karakter dan keinginan.

Page 26: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

34

c. Sabar

Menurut bahasa Sabar atau (al-shabru) dapat diartikan dengan kemampuan

diri untuk bertahan agar tidak mudah berkeluh kesah. Syaikh Muhammad bin

Shalih Al ‘Utsmani (dalam Wahyudi, 2008:5) mengatakan bahwa sabar adalah

proses meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, dan menjaga

perasaan dan sikap marah menghadapi takdir Allah

Sabar adalah dapat menahan amarah dari diri sendiri kepada orang lain

yang telah menyakitinya. Seorang manusia besar bila telah mencapai tingkat

kesempurnaan dia akan tambah berlapang dada, bertambah besar kesabarannya,

makin suka memaafkan kesalahan orang lain karena ia mengetahui sebab-sebab

yang membuat orang lain itu bertindak salah (Al Ghazali, 1995:201).

Ketika mampu bersabar maka dengan sendirinya jiwa akan mampu

melapangkan dada untuk memaafkan segala perbuatan yang telah diterima. Dr.

Marzuki, M.Ag mengemukakan bahwa pemaaf ialah orang yang dengan ikhlas

memaafkan kesalahan orang lain. Ia tak memiliki rasa benci dan tidak memiliki

keinginan untuk membalas perbuatan jahat orang lain yang telah dilakukan

kepadanya. Sikap pemaaf adalah salah satu sikap mulia dan ia jauh lebih mulia

daripada orang yang meminta maaf.

Pada realita dalam berkehidupan, biasanya orang cenderung memberi

maaf ketika ia menyadari bahwa orang lain telah berbuat kesalahan kepadanya.

Sedangkan orang yang meminta maaf justru dipandang sebagai pelaku yang

melakukan kesalahan sehingga biasanya orang yang meminta maaf terlebih

dahulu dianggap sebagai orang yang bersalah. Jelaslah, perangai orang yang

Page 27: 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/37528/3/jiptummpp-gdl-cholifatuh-51497-3-babii.pdfskripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya

35

memberi maaf sebelum orang lain meminta maaf adalah perilaku yang sangat

mulia dan Allah memberi ganjaran berupa surga.

Al-Quran juga mengingatkan jika memaafkan haruslah dilakukan dengan

sikap lapang dada dan mau melupakan kesalahan orang itu agar tidak ada

keinginan untuk membalas dendam dan benar-benar ikhlas untuk membuka

lemaran baru. Allah berfirman:

“…maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah 5: 13).

Dr. Marzuki juga berpendapat bahwa di antara hikmah yang dapat

dirasakan dari sikap pemaaf di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain akan mudah mendapatkan

perlakuan baik dari orang yang dimaafkan. Orang yang diberikan maaf akan

merasa bahwa ia mendapatkan perhatian dan dihormati dengan dimaafkannya

kesalahan yang telah ia perbuat, sehingga ia akan memberikan pembalasan

yang baik dari sekedar sikap maaf yang diterima.

2) Orang yang mudah memaafkan menjadi pemerkuat tali silaturrahmi dengan

orang lain, termasuk orang yang telah dimaafkan. Dengan memiliki sikap

pemaaf maka orang tersebut akan mudah memiliki hubungan baik dengan

siapapun.

3) Sikap pemaaf menunjukkan sifat konsisten seseorang dalam tingkat

ketaqwaannya. Hal ini berarti orang yang tidak memiliki sikap pemaaf, maka

dia tidak akan disebut bertaqwa dalam artian yang sesungguhnya.