9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN...
Transcript of 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan terkait dengan kajian
mengenai moral islami khususnya kajian akhlak menurut para sufi, sehingga
skripsi ini dapat dijadika pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya yang
telah ada. Penelitian tersebut adalah sebagai berikut.
Penelitian skripsi Makhrufi (2013) mahasiswa Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan
judul Pesan Moral Islami dalam Film Sang Pencerah (Kajian Analisis Semiotik
Model Roland Barthes). Terdapat beberapa keterkaitan antara penelitian ini
dengan penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya adalah meneliti nilai moral
Islami yang berdasarkan pada pendapat para sufi yang memang meneladani
Rasulullah SAW. Perbedaan skripsi Dianita Dyah Makhrufi dengan penelitian
peneliti yaitu pada penelitian Dianita menggunakan film sebagai objek kajiannya,
sedangkan penulis menggunakan objek novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere
Liye. Selain itu, Makhrufi memfokuskan penelitiannya pada makna pesan moral
Islami dari struktur gambar dan pesan lisan yang terdapat dalam Film, sedangkan
penulis mengkaji mnegenai akhlak kesufian dalam hubungan bermasyarakat pada
tokoh utama dalam novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye.
Penelitian skripsi Mira (2015) mahasiswa jurusan Akidah Filsafat, Fakultas
Ushuludin dan Humaniora, Intitut Agama Islam Negeri Antasari dengan judul
10
Nilai-nilai Sufistik dalam Novel Tuhan Maaf Engkau Kumadu karya Aguk
Irawan MN. Terdapat beberapa keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian
terdahulu, diantaranya adalah meneliti nilai sufistik. Perbedaan skripsi Mira
dengan skripsi peneliti yaitu pada penelitian Mira memfokuskan pada nilai
tawasuf filsafi dan tasawuf amali sebagai objek kajiannya, sedangkan penulis
memfokuskan penelitian pada kajian akhlak menurut kaum sufi.
Penelitian skripsi Setyawati (2013) mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta dengan judul
Analisis Nilai Moral Dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes
Davonar (Pendekatan Pragmatik). Terdapat keterkaitan antara penelitian ini
dengan penelitian terdahulu, diantaranya adalah sama-sama mengkaji masalah
nilai moral. Perbedaan skripsi Setyawati dengan skripsi peneliti yakni pada
penelitian Setyawati menggunakan objek Novel Surat Kecil Untuk Tuhan untuk
meneliti wujud nilai moral dalam hubungan manusia dengan Tuhan, diri
sendiri,dan manusia lain. Sedangkan peneliti menggunakan novel Hafalan Shalat
Delisa untuk meneliti mengenai akhlak kesufian berupa akhlak tawadhu, lemah
lembut, dan sabar.
Penelitian Ulfa (2010) mahasiswa Jurusan Pendidikan Islam, Universitas
Muhammadiyah Surakarta dengan judul Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam
Novel Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye. Terdapat keterkaitan antara
penelitian ini dengan penelitian terdahulu, diantaranya adalah sama-sama
mengkaji novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye. Perbedaan skripsi Ummu
dengan skripsi peneliti terletak pada pembahasan akhlak. Jika Ummu mengkaji
mengenai pendidikan akhlak kepada Allah, keluarga, dan akhlak mazmummah,
11
maka skripsi peneliti membahas mengenai akhlak kesufian berupa akhlak
tawadhu, lemah lembut, dan sabar.
2.1.2 Konsep Nilai
Dalam berkehidupan, manusia akan selalu bersinggungan dengan nilai.
Setiadi (2009:31) mengungkapkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang bernilai
baik yang selalu diharapkan oleh manusia, dicita-citakan dan dianggap penting
oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu, sesuatu dikatakan memiliki
nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik
(nilai moral atau etis), dan religius (nilai agama). Nilai merupakan harga untuk
sesuatu yang berharga bagi kehidupan manusia (Sulismadi dan Ahmad Sofwani,
2011:6). Nilai merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diinderakan oleh
manusia. Sebuah nilai dapat diketahui apabila manusia atau seseorang telah
melakukan sesuatu dalam hidupnya.
Beberapa ahli juga menjelaskan mengenai nilai antara lain, menurut Lasyo
(dalam Setiadi, 2006:127) bahwa nilai bagi merupakan sebuah landasan untuk
memotovasi segala tingkah laku yang diperbuat oleh manusia. Dardji
Darmodiharjo (dalam Setiadi, 2006:128) mengungkapkan bahwa nilai adalah
suatu ukuran kualitas baik yang memiliki manfaat untuk manusia secara lahir dan
batin..
Nilai adalah sebuah konsep umum tentang sesuatu yang dianggap patut,
layak, dan baik. Keberadaan nilai selalu dicita-citakan, dihayati, dan diinginkan
untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Baik kehidupan
bermasyarakat dari tingkat terkecil hingga suku, bangsa, dan masyarakat
12
internasional. Kamus Poerwadarminta (1984:667) menerangkan pengertian nilai
sebagai (a) harga dalam arti taksiran, (b) harga sesuatu, misalnya uang, (c) angka,
skor, (d) kadar mutu, dan (e) sifat dan hal yang bersifat penting dalam manusia.
Notonagoro dalam Setiadi (2006:123) membagi nilai menjadi 3 yakni:
a. Nilai material, yakni mengenai tentang hal-hal yang berguna bagi kehidupan
manusia.
b. Nilai vital, yakni mengenai hal yang berkaitan dengan segala sesuatu yang
memiliki nilai guna bagi manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
c. Nilai kerohanian, merupakan konsep yang mengajarkan mengenai hal yang
berhubungan dengan kebutuhan kerohanian pada manusia, seperti:
1) Nilai kebenaran yang terdapat pada akal manusia atau rasionalitas
2) Nilai keindahan yang terdapat pada perasaan
3) Nilai moral yang terdapat pada kehendak
4) Nilai keagamaan yang terdapat pada kitab suci atau wahyu Tuhan.
Nilai merupakan sesuatu yang dianggap baik yang dicita-citakan,
diharapkan, dan dianggap penting oleh anggota masyarakat. Oleh karena itu,
sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila hal tersebut memiliki nilai guna dan
berharga, baik, dan indah. C.Kluckhon (dalam Setiadi, 2006:32) mengemukakan
bahwa yang menentukan orientasi nilai budaya manusia adalah hakikat hidup
manusia, karya manusia, hakikat waktu manusia, hakikat alam manusia, hakikat
hubungan antar manusia.
2.1.3 Konsep Tokoh dan Penokohan
13
Character atau tokoh cerita adalah pemeran dari sebuah karya naratif.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009:165) mengungkapkan jika tokoh adalah orang
yang dijadikan figure atau ditampilkan dalam sebuah cerita atau karya naratif
diartikan memiliki kualitas moral. Kecenderungan tertentu yang ada dalam
tingkah laku tokoh seperti ekspresi, ucapan dan tindakan menjadikan hal tersebut
sebuah indikator kualitas moral. Berdasarkan kutipan yang telah dikemukakan,
dapat diketahui jika tokoh dapat membawa pembawaan diri atau penokohannya
yang berkaitan dengan pengertian pembaca. Perbedaan antara tokoh dapat
diketahui dari pembawaan atau pribadi tokoh.
Wiyatmi (2006:30) mengemukakan bahwa tokoh merupakan pelaku yang
ada di dalam sebuah karya fiksi. Sayuti (2000:73) berpendapat bahwa tokoh
merupakan bagian struktural fiksi yang akan melahirkan sebuah peristiwa. Tokoh
merupakan ciptaan dari hasil imajinasi pengarang. Tokoh juga dapat berupa
gambaran dari orang yang ada dalam kehidupan nyata. Kehadiran tokoh menjadi
hal utama dalam sebuah karya sastra. Melalui tokoh hampir semua gagasan yang
hendak disampaikan oleh pengarang dapat tersalurkan melalui tokoh.
Konsep tokoh merujuk pada orang, pelaku dalam cerita, dan untuk
menjawab terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”. Kualitas
pribadi seorang tokoh ditafsirkan oleh pembaca melalui watak, perwatakan tokoh,
karakter tokoh, dan hal yang menunjukkan sifat dan sikap para tokoh
(Nurgiyantoro, 2010:247). Penokohan dan karakterisasi seringkali dianggap sama
artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan watak tokoh
dalam sebuah cerita yang ditulis oleh pengarang. Mengutip pendapat Jones (dalam
14
Nurgiyantoro, 2010:247), penokohan adalah penggambaran yang men-
deskripsikan seseorang yang dihadirkan pada sebuah cerita.
Tokoh cerita dalam cerita fiksi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis
pemberian nama dilihat dari sudut pandang penamaan dilakukan. Pembedaan
tokoh ke dalam kategori didasarkan pada peranan dan penting atau tidaknya
seorang tokoh dalam cerita fiksi akan menghadirkan tokoh utama dan tokoh
tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010:259). Pada beberapa novel, tokoh
utama selalu muncul dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam perspektif
waktu yang sering muncul. Pada novel yang lainnya tokoh utama tidak selalu
hadir dalam setiap cerita, namun ia tetap berkaitan atau dapat dihubungkan
dengan tokoh utama. Sedangkan tokoh tambahan seringkali tidak di anggap, atau
paling tidak, kurang mendapat perminatan. Namun peran tokoh tambahan ini
sangat membantu peran dari tokoh utama. Tokoh tambahan seringkali muncul
cukup banyak dalam sebuah cerita yang bersangkutan, namun porsi banyaknya
kemunculan tokoh utama dengan tokoh tambahan tentu berbeda persentase.
Jika melihat dari peran tokoh dalam mengembangkan sebuah plot maka,
ditampilakan adanya perbedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dilihat
dari fungsi tampilan tokoh akan dibedakan kedalam tokoh protagonis dan
antagonis. Menurut Altenbernd & Lewis dan Baldic (dalam Nurgiyantoro,
2010:261) tokoh protagonis adalah tokoh yang disukai yang salah satunya secara
umum disebut sebagai pahlawan atau tokoh yang menjadi penerjemahan norma
dan nilai yang sesuai bagi kita. Sedangkan tokoh antagonis dapat juga disebut
tokoh yang identik dengan penyebab konflik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang
15
bertolakbelakang dengan tokoh protagonis, baik secara langsung ataupun tidak
langsung, fisik maupun batin. Secara umum tokoh antagonis dianggap penting
dalam sebuah cerita yang menceritakan mengenai pertikaian antara dua
kepentingan. Kepentingan itu seperti baik-buruk, baik-jahat,dan benar-salah.
Tokoh antagonislah yang menjadi sebab dari ketegangan dan konflik sehingga
diperoleh cerita yang menarik bagi pembaca.
Menentukan tokoh cerita kedalam protagonis atau antagonis kadang sulit.
Tokoh yang menurut pembaca memperlihatkan harapan atau norma baik menurut
kita, memang dapat disebut sebagai tokoh protagonis. Namun, tidak jarang ada
tokoh yang membawakan nilai moral kita, atau yang berdiri di pihak sebelah,
justru diberi simpati dan empati oleh pembaca. Jika ada dua tokoh yang
berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan
visinya itulah yang kemungkinan besar memperoleh rasa simpati dan empati dari
pembaca. (Luxemburg dalam Nurgiyantoro, 2010:263)
Tokoh-tokoh dalam cerita tidak serta-merta hadir begitu saja dalam sebuah
cerita. Ia membutuhkan ‘sarana’ yang memungkinkan untuk kehadirannya. Sarana
yang dibutuhkan adalah berupa pelukisan tokoh. Secara umum teknik
penggambaran tokoh dalam sebuah karya dapat dituliskan kedalam dua teknik
yakni teknik penjelasan, eksposiotori dan teknik dramatik. Teknik eksposiotori,
yang sering disebut juga sebagai teknik analitis, yakni penggambaran tokoh cerita
diberikan dengan memberi penjabaran, uraian, atau pendeskripsian secara
langsung (Nurgiyantoro, 2010:279). Penyampaian secara langsung pendeskripsian
watak tokoh yang bersifat memberitahu atau memberikan kemudahan pembaca
untuk memahami (Setyawati, 2013:19). Jika dibandingkan dengan bentuk yang
16
sebelumnya telah dijelaskan, bentuk penyampaian pesan moral di sini bersifat
tidak langsung. Pesan yang disampaikan mengenai tokoh disampaikan secara
tersirat dalam sebuah cerita. Penyampaian secara tidak langsung ini memberikan
ruang kepada pembaca untuk menentukan karakter tokoh melalui berbagai
aktivitas yang dilakukan tokoh, baik secara verbal maupun nonverbal, lewat
tindakan atau tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang dialami tokoh. Namun
cara ini memiliki sedikit kekurangan karena mungkin kurang komunikatif. Hal ini
mengandung arti bahwa setiap pembaca akan menemukan sebuah ‘penemuan’
yang berbeda antara satu pembaca dengan pembaca lain, dengan kata lain
pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan
pengarang, hal ini akan menimbulkan kemungkinan kesalahan dalam penafsiran
oleh masing-masing pembaca (Setyawati, 2013:21).
Wujud penggambaran dramatik sendiri dilakukan dengan berbagai teknik.
Teknik yang digunakan untuk menjelaskan sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk
percakapan dalam sebuah cerita khususnya novel umumnya cukup banyak.
Banyak percakapan yang tidak semuanya akan menggambarkan diri tokoh, namun
banyak percakapan yang efektif yang dapat mencerminkan tokoh. Percakapan
efektif dinilai lebih fungsional dalam menunjukkan perkembangan alur cerita dan
memberikan gambaran karakter yang dicerminkan tokoh. Tingkah laku akan
merujuk pada kejadian nonverbal dan fisik. Hal yang dilakukan oleh orang yang
berupa rekasi, sifat dan tanggapan dapat mencerminkan perwatakannya. Kedua
teknik tersebut lazim digunakan dalam karya fiksi khususnya novel di masa kini.
Namun, selain teknik tersebut ada beberapa teknik yang dapat dipakai dalam
pelukisan tokoh dramatik yakni: teknik pikiran dan perasaan, teknik arus
17
kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan tokoh
lain, teknik pelukisan fisik, dan catatan tentang identifikasi tokoh. Dalam teknik
catatan tentang identifikasi tokoh, pengidentifikasian dapat melalui prinsip
pengulangan, prinsip pengumpulan, dan prinsip kemiripan dan pertentangan.
2.1.4 Konsep Novel
a. Pengertian Novel
Novel diambil dari kata novella, yang dalam kamus Jerman kemudian
disebutkan sebagai novella dan dalam kamus Inggris disebut novel, dan novel ini
yang sekarang masuk di Indonesia. Jika diterjemahkan, novella berarti sebuah
barang baru berbentuk kecil yang selanjutnya akan diberi arti sebagai sebuah
cerita pendek yang berupa prosa (Nurgiyantoro, 2010:9).
Wellek dan Werren (2013) mengatakan bahwa novel menawarkan cerita
mengenai kehidupan nyata yang terjadi dalam lingkungan sosial, walaupun
terkadang karya sastra juga merupakan tiruan dari alam dan subjektivitas
kehidupan manusia. Novel merupakan karya fiksi, yang berisi tentang kehidupan
para tokoh yang terdapat di dalamnya. Novel sering juga disebut sebagai fiktif
atau rekaan dari kehidupan masyarakat sebenarnya. Pengarang akan menyajikan
cerita yang menarik sehingga pembaca dapat menikmati cerita yang disuguhkan.
Selain itu, pembaca dapat menangkap pesan yang terkandung dalam novel. Dalam
sebuah karya sastra khusunya novel pengarang mengulas cerita secara lebih
mendalam.
Novel merupakan sebuah karangan panjang berupa prosa yang
menceritakan rentetan cerita kehidupan seseorang maupun orang lain yang
18
mengutamakan perwatakan, pelaku, dan gambaran tempat terjadinya peristiwa.
Dalam novel kita dapat menemukan nilai kebudayaan, nilai moral, sosial,
keagamaan dan pendidikan.
H. B. Jassin (dalam Suroto,1989:19) menerangkan bahwa novel adalah
penerapan kejadian dari kehidupan seseorang yang luar biasa karena kejadian
yang telah dialami akan menciptakan sebuah pertikaian yang akan mengubah
jalan hidup mereka.
Nurgiyantoro (2010:10) mengungkapkan bahwa novel berupa karya fiksi
yang dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Selain itu, Nurgiyantoro juga
mengemukakan bahwa novel berarti sebagai karangan prosa yang menceritakan
uraian perjalanan hidup seorang tokoh dengan orang lain yang berada di
sekitarnya dengan mengajukan sebuah watak dan sifat para tokoh..
b. Unsur-unsur Novel
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya novel memiliki
dua unsur, yakni intrinsik dan ektrinsik. Kedua unsur ini menjadi pembangun
novel agar sempurna. Unsur-unsur ini dibutuhkan untuk membuat novel semakin
memiliki daya artistik yang tinggi.
1) Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah hal yang berada di luar karya sastra, namun secara
tidak langsung dapat memengaruhi struktur dalam novel. Unsur ekstrinsik terdiri
dari pandangan hidup pengarang seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Kesemuanya itu akan berpengaruh kepada karya yang dituliskan oleh pengarang.
19
Unsur ekstrinsik dalam suatu karya haruslah juga dipandang sebagai
sesuatu yang sangat penting. Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2015:30)
mengatakan bahwa jika membicarakan unsur ekstrinsik tampaknya negatif atau
kurang penting. Unsur ekstrinsik dalam suatu karya sastra akan membantu
pembaca dalam memahami karya itu karena diketahui bahwa karya sastra tidak
hadir dari kondisi budaya yang mengalami kekosongan (Nurgiyantoro, 2015:30).
Ekstrinsik juga memiliki beberapa unsur yang sangat berpengaruh pada
sebuah karya sastra. Unsur ekstrinsik yang dimaksud ialah tingkat subjektifitas
pengarang terhadap sikap, keyakinan,dan pandangan hidup yang keseluruhan
unsur tersebut dapat mempengaruhi karya sastra yang akan ditulis (Wellek dan
Warren, dalam Nurgiyantoro, (2015:30).
Unsur ekstrinsik yang selanjutnya adalah masalah psikologi. Psikologi
digolongkan menjadi psikologi pengarang, psikologi pembaca sebagai penikmat
karya sastra, maupun psikologi terapan yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik tentu juga akan mempengaruhi proses
penciptaan karya sastra oleh pengarang. Hal lain yang tidak dapat ditinggalakn
dalam unsur ekstrinsik adalah mengenai pandangan hidup suatu bangsa dan karya
seni lain juga termasuk dalam unsur ekstrinsik. (Nurgiyantoro, 2015:31).
2) Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik merupakan salah satu bagian yang menjadi salah satu
sebab karya sastra dihadirkan dengan maksud sebagai sastra yang mampu
dinikmati dan dibaca oleh masyarakat. Unsur intrinsik adalah pembangun karya
sastra yang berasal dari dalam diri karya sastra itu sendiri. Nurgiyantoro
20
menyebut bahwa unsur intrinsik meliputi penyajian tema, plot,
penyudutpandangan, penokohan, latar yang ada dalam karya sastra (2010:23).
a. Tema.
Tema ialah sebuah pondasi mendasar yang akan menjadi tumpuan sebuah
karya yang ada didalam teks yang berupa unsur semantik dan yang berkaitan
dengan persamaan maupun perbedaan.. Kenney (dalam Pujiharto, 2012:75)
mengemukakan hal-hal yang oleh sebagian orang disebut tema, tetapi
sesungguhnya bukan. Hal-hal tersebut adalah moral dan subjek. Moral cerita
diartikan sebagai nasihat secara praktis yang dapat diderivasikan dari cerita.
moral pastilah agak sederhana karena harus dengan mudah dapat diadaptasikan
pada tingkah laku pembaca sebagaimana moral, tema juga berarti sesuatu yang
dapat diderivasikan dari cerita. Namun, tema dapat menjadi lebih kompleks
daripada moral dan berangkat di dalam fakta tidak mengarah ke nilai sebagai
nasihat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa moral adalah sesuatu jenis
tema yang lebih sederhana, sementara tidak semua tema adalah moral. Akan
tetapi subjek merupakan apa yang di dalam karya mengacu pada sesuatu.
Stanton dan Kenney (dalam Nurgiantoro, 2010: 67) mengatakan bahwa
tema adalah sebuah makna yang terdapat dalam cerita. Makna yang ditawarkan
dalam cerita novel tentu saja ada banyak. Permasalahan yang timbul dalam
pemaknaan disini ialah makna khusus mana yang akan dianggap sebagai tema.
Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiantoro, 2010: 68) mengungkapkan
jika tema adalah sebuah ide dasar yang bersifat umum yang menjadi tumpuan
sebuah karya sastra yang memiliki unsur semantis di dalamnya. Tema menjadi
ide pengembangan seluruh cerita, maka dari itu tema disebut juga jiwa dalam
21
karya sastra. Unsur penting dalam sebuah karya sastra ialah tema. Tema sulit
ditentukan, oleh karena itu perlu disimpulkan secara keseluruhan isi cerita. Tema
dapat diketahui dalam isi cerita dan disaring melalui peristiwa-peristiwa dan
konflik yang terdapat dalam sebuah karya novel. Hal tesebut sangat mendukung
dalam novel sehingga pembaca dapat menangkap tema yang akan disampaikan
dalam novel.
Stanton (dalam Nurgiantoro, 2010:70) mengatakan tema diartikan sebuah
makna dalam cerita yang menjelaskan secara khusus unsure umum secara
sederhana. Tema, menurut Stanton dapat disamakan dengan gagasan utama dan
tujuan utama. Tema dijadikan sebagai dasar cerita, dan gagasan utama dalam
penulisan karya sastra. Gagasan dasar inilah yang sebelumnya telah ditentukan
oleh pengarang sebelum menciptakan sebuah karya. Gagasan dasar akan
mengikuti seluruh rangkaian cerita yang telah ditetapkan oleh pengarang.
Gagasan dasar berisi berbagai konflik peristiwa dan unsur-unsur ekstrinsik
seperti pelataran, penokohan, dan penentuan sudut pandang yang diharapkan
memiliki kesesuaian dengan apa yang terdapat di dalam gagasan umum.
Gagasan dasar dapat ditulis dalam bentuk kerangka cerita, sehingga watak tokoh
dan hal lain yang berkaitan dengan sastra yang akan dibuat akan dapat
tergambarkan dengan baik.
b. Plot
Plot atau alur adalah rangkaian kejadian sebab dan akibat yang saling
berkait-kaitan yang terdapat didalam sebuah cerita. Dengan peristiwa yang saling
tersambung ini maka terjalinlah sebuah kisah runut yang membangun sebuah
cerita utuh.
22
Plot merupakan unsur dalam sebuah karya fiksi yang tergolong penting.
Bahkan banyak orang yang menganggap plot sebagai yang paling penting di
antara berbagai macam unsur yang lainnya. Plot sebuah karya fiksi yang
kompleks, ruwet dan sulit dikenali hubungan antarperistiwanya, mengakibatkan
cerita menjadi lebih sulit dimengerti oleh pembaca. Hal yang ini sering dapat
ditemui pada karya yang memanfaatkan plot dan teknik pemplotan sebagai salah
satu cara untuk mencapai efek keindahan karya sebuah karya. Itulah sebabnya
novel yang lebih bersifat menceritakan sesuatu, atau tujuan utamanya adalah
menyampaikan cerita. Novel yang sangat mementingkan alur akan
memperhatikan plot dengan sangat teliti karena teknik aluran ini menjadi
kekuatan pada novel yang berguna untuk menggapai tingkat estetis yang tinggi
pada karya sastra(Nurgiantoro, 2010: 110).
Selain tema, plot termasuk salah satu unsur terpenting dalam karya fiksi.
Plot juga dapat juga disebut sebagai jalan cerita atau alur cerita. Cerita dalam
novel akan lebih menarik jika jalan cerita yang disuguhkan pengarang beruntun,
peristiwa demi peristiwa saling susul-menyusul. Namun, tidak jarang sebuah
karya fiksi membuat pembaca kebingungan dengan alur cerita. Biasanya
pengarang mencerikatan sebuah kejadian yang sudah lampau atau sudah terjadi.
Hal ini biasanya disebut dengan flashback atau alur mundur, pengarang
menceritakan kembali yang sudah pernah terjadi.
Stanton (dalam Nurgiantoro, 2015: 167), menuliskan bahwa plot
merupakan urutasn kejadian cerita yang terdapat dalam karya sastra yang
dihunungkan oleh sebab-akibat. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 167)
mengatakan terdapat perbedaan antara plot dengan cerita, ia mengungkapkan jika
23
plot adalah susunan dari peristiwa, yakni semacam penyajian dan pegurutan
peristiwa untuk mencapai tingkat emosi dan artistik tertentu.
Plot merupakan jalan cerita atau urutan cerita dalam karya fiksi novel. Di
dalam plot terdapat peristiwa-peritiwa yang beruntun dan dapat menbangun cerita
lebih menarik. Pengarang merangakai peristiwa-peristiwa secara beruntun
sehingga menyajikan sebuah karya yang menarik dan pembaca dapat menikmati
karya dengan baik.
c. Tokoh
Seperti sejalan dengan plot dan latar atau setting, tokoh adalah hal penting
harus ada dalam membangun sebuah karya fiksi. Plot dapat disebut dengan tulang
punggung cerita. Namun, tokoh merupakan suatu unsur yang tidak dapat
dilepaskan dalam karya fiksi. Tanpa tokoh kita dapat mempermasalahkan siapa
yang diceritakan dalam karya itu, siapa yang mengalami peristiwa demi peristiwa
dalam cerita itu. Oleh sebab itu, tokoh sangat penting dalam membangun karya
fiksi.
Ungkapan tokoh diidentikkan untuk menyebut pada pemeran dalam sebuah
kisah. Tokoh megidentifikasikan pada orang-orang yang hadir di dalam cerita
(Pujiharto, 2012:43). Abram (dalam Nurgiantoro, 2010:165) mengatakan jika
tokoh adalah individu yang dimunculkan dalam sebuah cerita naratif atau drama,
yang kemudian oleh pembaca akan di beri penafsiran mempunyai kualitas moral
dan kecenderungan seperti pengekspresian dan tindakan yang dilakukan oleh
tokoh.
24
d. Penokohan
Istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku dalam sebuah kisah. Abrams
mengemukakan jika tokoh adalah pelaku yang dimunculkan pada sebuah cerita
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki akhlak seperti yang
ditunjukkan pelaku melalui tuturan dan tindakan (Nurgiyantoro, 2010:166).
Sedangkan penokohan merunjuk pada penempatan tokoh dalam sebuah cerita.
Penokohan merupakan penggambaran tentang tokoh yang dilakukan secara jelas
dalam sebuah cerita yang mengacu pada perwujudan dan pengembangan tokoh
dalam satuan cerita.
Penokohan merupakan penggambaran atau pelukisan tokoh oleh pengarang
yang akan menampilkan watak dan perilaku tokoh (Pujiharto, 2012:44). Dalam
sebuah karangan fiksi, istilah seperti tokoh dan penokohan akan sering didengar,
watak dan perwatakan, karakter dan karakterisasi menunjuk pada pengertian yang
hampir memiliki kesamaan. Namun, hal itu mengarah pada pengertian yang sama.
Menurut Stanton (dalam Nurgiantoro, 2010: 165) istilah karakter digunakan
tersendiri pada bahasa Inggris yang merujuk pada dua pengertian, yakni tokoh
cerita ditampilkanm sebagai sikap, dan keinginan, serta emosi dan prinsip-prisip
moral yang dimiliki. Karakter dapat diartikan sebagai pelaku atau dapat juga
berarti perwatakan
Dapat disimpulkan, bahwa penokohan memiliki pengertian yang lebih
besar daripada tokoh dan perwatakan karena ia mengena kepada pembaca.
Permasalahan yang membahas tokoh dalam cerita fiksi, bagaimana tingkah laku,
dan penemapatan tokoh serta teknik melukiskannya dalam cerita sehingga mampu
menyuguhkan sebuah pandangan yang terang pada penikmat karya sastra.
25
Penokohan akan berkaitan dengan bagaimana perwujudan dan bagaimana tokoh
berkembang dalam sebuah cerita (Nurgiantoro, 2010:166).
Dalam karya naratif terdapat tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Pelaku
cerita yang terdapat dalam novel dibatasi, apalagi tokoh utama. Tokoh cerita novel
kerap ditampilkan secara lengkap tentang tokoh itu sendiri. Misalnya hubungan
dengan bentuk fisik, sifat, tingkah laku, keadaan sosial budaya, kebiasaan, dan
lainnya, termasuk hubungan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya, baik yang
digambarkan secara langsung ataupun tidak langsung. Hal-hal tersebut tentu akan
memberikan penggambaran yang jelasmengenai kondisi tokoh. Itulah sebabnya
tokoh pada cerita dalam novel dapat lebih memberikan kesan pada pembaca.
e. Latar
Latar cerita atau setting adalah hal yang berhubungan dengan tempat,
waktu, dan lingkungan yang menngambarkan terjadinya peristiwa. Latar terbagi
menjadi tiga unsur pokok, yaitu waktu, tempat, dan latar sosial. Latar waktu akan
berkaitan dengan kapan terjadi peristiwa yang diceritakan. Latar tempat akan
berbicara mengenai dimana lokasi peristiwa. Sedangkan latar sosial akan
berkaitan dengan tingkah kehidupan sosial di masyarakat di suatu lokasi yang
diceritakan dalam karya sastra. Latar sosial biasanya berkaitan dengan adat
istiadat, cara hidup, tradisi, cara bersikap, dan cara berfikir.
Latar atau setting menunjuk kepada pengertian lokasi, kaitan waktu
sejarah, dan tempat lingkungan sosial yang menceritakan peristiwa (Abrams
dalam Nurgiyantoro, 2015:303). Latar dapat menjadi acuan cerita yang konkret
dan jelas. Hal ini berguna untuk menberikan kesan realitas pada pembaca yang
membuat pembaca merasa bahwa cerita ini memang benar-benar ada dan terjadi.
26
Latar terbagi menjadi tiga. Pertama unsur latar tempat yang menunjuk pada lokasi
tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur
yang digunakan mungkin dapat berupa nama tempat, inisial tempat tertentu, dan
tidak jarang pula melukiskan lokasi tertentu dengan nama yang jelas
(Nurgiyantoro, 2015:314).
Latar waktu dalam sebuah karya fiksi juga tidak dapat dikesampingkan.
Latar waktu akan berkaitan dengan ‘kapan’ peristiwa yang diceritakan terjadi dan
yang sedang berlangsung dalam cerita. Masalah kapan kebanyakan dikaitkan
dengan waktu yang bersifat fakta, waktu yang ada dapat dikaitkan atau dapat
dihubun bngkan dengan waktu sejarah. Masalah waktu menurut Genette (dalam
Nurgiyantoro, 2015:318) dapat bermakna ganda: yakni berkaitan dengan waktu
proses pembuatan cerita dan waktu penulisan cerita, namun di sisi lain dapat
berarti waktu dan urutan waktu yang terdapat dalam kisah cerita.
Masalah latar yang terakhir akan membahas mengenai latar sosial-budaya.
Latar sosial-budaya ini membahas pada hal yang berhubungan dengan tingkah
kehidupan sosial di masyarakat yang diceritakan dalam fiksi. Tata kehidupan
masyarakat akan berkaitan dengan banyak lingkup yang kompleks yang terjadi di
masyarakat. tata kehidupan kompleks yang dimaksud dapat berupa adat istiadat
masyarakat, kebiasaan hidup, keyakinan, keyakinan dalam masyarakat, pandangan
hidup, serta pola pikir dan serta bersikap, dan lain-lain yang tergolong pada
tingkat spiritual. Latar sosial juga akan berkaitan dengan tinggi dan rendahnya
status sosial tokoh atau yang dibiasa disebut dengan status sosial.
27
f. Sudut Pandang
Sudut pandang atau Point of view merupakan pandangan atau cara yang di
gunakan pengarang sebagai alat untuk menampilkan tokoh, perbuatan, latar, dan
berbagai peristiwa yang akan membentuk sebuah cerita. Sudut pandang dibagi
menjadi tiga yakni sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, sudut
pandang tokoh bawahan yang lebih banyak mengamati dari luar (sudut pandang
orang ketiga), dan sudut pandang impersonal atau serba tahu.
Sudut pandang merunjuk pada sebuah cara bagaimana cerita akan
dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang di gunakan
pengarang untuk menyajikan cerita dalam sebuah cerita fiksi kepada pembaca
(Abrams dalam Nurgiyantoro, 2015:338). Dengan demikian, sudut pandang
merupakan strategi dan teknik dalam mengungkapkan cerita kepada pembaca.
2.2 Pengertian Akhlak
Akhlak menurut ilmu bahasa adalah bentuk jamak dari kata khuluq yang
berarti sebagai, perangai, tingkah laku, atau tabi’at dan budi pekerti (Mustofa,
1997:11). Akhlak lebih dekat dengan kepribadian manusia yang melekat dengan
gaya atau kekhasan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Pembentukan
kepribadian di dasarkan dari lingkungan tempat tinggal seseorang.
Akhlak dapat di jabarkan pula dengan perkataan khalqun yang berarti
kejadian dan khaliq yang berarti pencipta. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak
mrupakan gambaran tingkah laku yang diperbuat oleh manusia. Akhlak bukan
hanya memandang sebagai aturan tingkah laku yang mengatur hubungan dengan
28
Tuhan, tetapi juga mengajarkan tata cara bagaimana berhubungan antara manusia
dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan sekitar.
Zahrudin AR (2004:4) mengemukakan terminologi akhlak dari beberapa
pakar, antara lain:
1) Ibnu Miskawih yang mengemukakan bahwa kondisi jiwa seorang individu
yang akan mendorong ia untuk melakukan perbuatan tanpa melewati pikiran
dan .
2) Imam Ghazali berpendapat bahwa akhlak merupakan sesuatu yang ada dalam
jiwa dan jika timbul suatu perbuatan, maka apa yang dilakukan itu akan
dilakukan dengan mudah dan tidak memerlukan pertimbangan dalam pikiran.
3) Prof. Dr Ahmad Amin mengemukakan jika akhlak adalah sebuah kemauan
yang dilakukan sehingga menjadi kebiasaan.
Sidi Gazalba (dalam Habibah, 2009:10) mengemukakan bahwa akhlak
adalah tingkah laku, tabiat, perangai, peri-kemanusiaan atau kehendak yang
dibiasakan. Kadar akhlak manusia ditentukan oleh iman yang dimiliki masing-
masing individu. jika tingkat keimanan seseorang tergolong tinggi maka semakin
luhur pula akhlak baiknya dan semakin buruk kadar keimanan seseorang maka
akhlak atau tindakan yang dilakukanpun semakin buruk. Akhlak dalam agama
Islam dibentuk dari rukun Islam dan rukun Iman.
Selain akhlak, terdapat juga istilah etika dan moral. Perbedaan ketiganya
terletak pada standar masing-masing. Akhlak meletakkan standar dan kajian Al-
Quran dan Sunnah. Etika menggunakan pertimbangan akal pikiran dan rasio
sebagai standar, dan moral mempertimbangkan mengenai hukum kebiasaan yang
berlaku di suatu masyarakat (Asmaran, 1994:9).
29
2.2.1 Pembagian Akhlak
Sumber yang digunakan untuk penentuan akhlak dalam Islam, apakah
termasuk akhlak baik atau buruk adalah merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah.
Akhlak dibedakan menjadi dua kelompok, yakni kelompok akhlak terpuji
(mahmudah) atau mulia (karimah) dan yang kedua adalah akhlak tercela
(Mazmumah).
Al Ghazali (dalam Barmawie, 1995:39) mengatakan bahwa akhlak baik
memberikan pemahaman mengenai menghilangkan adat kebiasaan yang tercela,
kemudian membiasakan diri melakukan adat kebiasaan tercela yang telah
digariskan dalam Islam dan menbiasakan diri dengan kebiasaan yang baik.
Akhlak mahmudah mendasarkan perilaku pada hal-hal yang serasi dengan
kaidah-kaidah norma dan aturan yang ada di masyarakat. Kesesuaian ini akan
menimbulkan perilaku yang tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan
norma dan aturan, sehingga menimbulkan perilaku baik. Akhlak mahmudah dapat
ditujukan untuk Allah dan untuk sesama manusia.
Akhlak madzmumah yaitu akhlak yang tercela. Al Ghazali (dalam
Asmaran, 1994:183) mengatakan jika sifat buruk atau muhlikat, yakni perilaku
manusia akan menyebabkan manusia terjerumus pada kehancuran atau merusak
manusia. Sifat ini disebutnya sebagai sifat kehinaan. Pada dasarnya sifat yang
tercela dibagi menjadi:
1. Maksiat lahir yang perbuatan tercelanya dilakukan oleh anggota lahiriah, yaitu
tangan, mulut, mata, dan lain sebaginya.
2. Maksiat batin, ialah sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin, yaitu hati.
30
Dari kesimpulan diatas dapat dikatakan bahwa akhlak mazmumah ialah
sifat tercela yang dapat membawa keburukan pada manusia.
Ukuran untuk menentukan akhlak itu termasuk akhlak trepujia atau tercela
adalah pertama, syara’ yakni aturan norma yang tertulis dalam al-Quran atau
norma masyarakat. Kedua, akal sehat manusia (Nasiruddin, 2009:33).
2.3 Pengertian Sufi
Masburiyah (2011:109) menyebut bawah kaum sufi adalah suatu
komunitas umat Islam yang bermaksud mendekatkan diri kepada Allah sedekat
mungkin. Istilah Sufistik menurut Harun Nasution (dalam Simuh, 2003:25)
berpendapat bahwa tasawuf merupakan mistisme dalam Islam dan disebut sufisme
oleh kaum orientalis Barat.
Sejarah telah mencatat bahwa orang pertama menggunakan kata shufi
adalah Abu Hasyim al-Khufi yang merupakan seorang zahid berasal dari Irak.
Secara etimologi shufi, maka terdapat beberapa pendapat seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad Sholikin (2004:46), sebagai berikut:
a. Ahl Al-Shuffah, yaitu turut sertanyanya sekelompok orang untuk mengikuti
hijrah Nabi dengan meninggalakan \
b. semua harta benda di Mekkah. Shuffah digunakan oleh mereka sebagai bantal
tidur karena mereka hidup miskin di Madinnah
c. Shaf, yang dimaksud adalah barisan pertama pada saat shalat berjamaan di
masjid. Shaf pertama biasanya akan ditempati oleh orang yang cepat datang ke
masjid. Selain untuk sholat biasanya mereka juga membaca Al-Quran dan
melakukan dzikir jika waktu sholat belum tiba. Orang pada shaf pertama inilah
31
yang memiliki kemauan dan berusaha untuk mendekatkan diri dan
mendekatkan diri dengan Tuhan.
d. Shufi berasal dari Shafi dan Shafa yang berarti suci. Sufi mensucikan dirinya
melalui ibadah sholat dan puasa. Tujuan mereka adalah untuk membersihkan
diri secara lahir dan bathin untuk mendapatkan ampunan dan ridho Allah.
e. Sophos, berasal dari bahasa Yunani yang berarti hikmah. Bahasa ini
berpengaruh pada pengertian kaum sufi bahwa kaum sufi banyak mengetahui
mengenai hikmah.
f. Shufanah, merupakan seperti buah namun berbentuk kecil dan memiliki bulu.
Shufanah sendiri banyak tumbuh di padang pasir tanah Arab. Hal ini berkaitan
dengan pakaian yang dikenakan sufi umumnya berbulu yang mendandakan
kesederhanaan pada diri mereka.
g. Shuf, ialah sebutan untuk kain wol atau kain yang dibuat dari bulu. Kain wol
yang digunakan kaum sufi adalah wol yang sangat sederhana dan cenderung
kasar, mirip pakaian yang terbuat dari karung goni. Pemakaian wol kasar
menyimbolkan bahwa sufi memiliki sifat sederhana, namun ia memiliki hati
yang sangat mulia.
2.4 Macam-macam Akhlak Menurut Kaum Sufi
Makhrufi (2013:27) menyebutkan bahwa kaum sufi menaruh minat besar
terhadap tingkah laku mulia karena mereka sangat tertarik dalam meneladani sifat
Rasulullah yang merupakan utusan Allah untuk membuat akhlak baik menjadi
sempurna. As-Suhrawardi dalam buku Tasawuf Islam dan Akhlak (dalam Hajjaj,
2011:313) juga memberikan pendapat bahwa sufi ialah golongan manusia yang
32
berpengaruh besar dalam meneladani Rasulullah dan memiliki kewajiban tinggi
untuk melestarikan sunah-sunahnya serta berakhlak selayaknya akhlak yang
dimiliki Rasulullah. Macam-macam akhlak itu yaitu sebagai berikut:
a. Tawadhu’
Di antara banyak akhlak atau sifat terpuji yang diajarkan oleh agama Islam,
sifat tawadhu atau rendah hati merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh
setiap orang. Tawadhu’ adalah sikap rendah diri dan berlemah lembut dalam
berkehidupan. Mengakui kesalahan dan menerima permohonan maaf dari orang
lain juga merupakan salah satu dari sifat tawadhu’. Allah SWT berfirman sebagai
berikut:
“Dan hamba-hamba dari Tuhan Yang Pemurah itu, ialah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan sopan dan bila mereka ditegur sapa oleh orang-orang yang bodoh, mereka menjawab dengan ‘salam’.” (QS. Al Furqaan: 63)
Ayat di atas mengajak kita untuk tidak sombong dan mau bertegur sapa
dengan siapapun meskipun orang tersebut bukan dari golongan kita. Se-
sungguhnya Allah menyukai umat yang saling menjaga silaturrahmi di antara
saudara-saudaranya terutama saudara sesama muslim. Sikap tawadhu’ akan
melahirkan sikap seperti saling menghargai, tidak memotong pembicaraan, saling
menjaga dan menghormati perasaan, dan sikap sopan santun.
Tawadhu’ mengedepankan bahwa diri adalah sikap yang memandang
dirinya sebagai sesuatu yang kecil dan tidak ada apa-apanya. Hal ini diharapkan
untuk menghilangkan kecenderungan sikap sombong dang angkuh yang memang
banyak menggerogoti hati manusia. Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjawab pertanyaan
mengenai tawadhu yakni tawadhu berarti mau untuk mengakui kebenaran dan
33
melaksanakan kebenaran tersebut, mau menerimanya dari orang yang
mengatakannya dan mau mendengarkannya (dalam Hajjaj, 2011:331), dengan
kata lain saamina wa’athona.
Makhrufi (2013:15) berpendapat bahwa tawadhu mengharuskan seseorang
untuk tidak menolak kebenaran yang dibawa oleh orang lain, apapun itu, lalu
kemudian melaksanakan kebenaran yang telah diperoleh dengan baik. Al-Fudhail
bin ‘Iyadh (dalam Hajjaj, 2011:331) mengungkapkan bahwa tawadhu’ memiliki
arti mau patuh dan tunduk pada kebenaran, serta mau menerimanya dari orang
lain yang mengatakannya dan mau mendengarkannya.
b. Lemah lembut
Perilaku lemah lembut berarti pengendalian diri ketika terjun dan
berinteraksi dengan orang lain. Kaum sufi dalam hal lemah lembut ini ingin
meneladani Rasulullah yang dikisahkan tidak pernah menyakiti hati seorangpun.
As Suhrawardi (dalam Hajjaj, 2011:332) mengatakan: “bersikap lemah
lembut terhadap istri, anak, tetangga, teman, dan segenap makhluk (manusia)
merupakan salah satu akhlak kaum sufi”. Hal ini berarti bahwa sikap lemah
lembut adalah cara mengendalikan diri terhadap interaksi dengan orang lain.
Lemah lembut juga mengajarkan kita untuk santun kepada manusia lain. Tidak
mengucilkan diri dari pergaulan masyarakat selama itu sesuai syariat Islam. Baik
atau buruk perilaku seseorang itu adalah konsekuensi dari penciptaan manusia
yang beragam karakter dan keinginan.
34
c. Sabar
Menurut bahasa Sabar atau (al-shabru) dapat diartikan dengan kemampuan
diri untuk bertahan agar tidak mudah berkeluh kesah. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsmani (dalam Wahyudi, 2008:5) mengatakan bahwa sabar adalah
proses meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, dan menjaga
perasaan dan sikap marah menghadapi takdir Allah
Sabar adalah dapat menahan amarah dari diri sendiri kepada orang lain
yang telah menyakitinya. Seorang manusia besar bila telah mencapai tingkat
kesempurnaan dia akan tambah berlapang dada, bertambah besar kesabarannya,
makin suka memaafkan kesalahan orang lain karena ia mengetahui sebab-sebab
yang membuat orang lain itu bertindak salah (Al Ghazali, 1995:201).
Ketika mampu bersabar maka dengan sendirinya jiwa akan mampu
melapangkan dada untuk memaafkan segala perbuatan yang telah diterima. Dr.
Marzuki, M.Ag mengemukakan bahwa pemaaf ialah orang yang dengan ikhlas
memaafkan kesalahan orang lain. Ia tak memiliki rasa benci dan tidak memiliki
keinginan untuk membalas perbuatan jahat orang lain yang telah dilakukan
kepadanya. Sikap pemaaf adalah salah satu sikap mulia dan ia jauh lebih mulia
daripada orang yang meminta maaf.
Pada realita dalam berkehidupan, biasanya orang cenderung memberi
maaf ketika ia menyadari bahwa orang lain telah berbuat kesalahan kepadanya.
Sedangkan orang yang meminta maaf justru dipandang sebagai pelaku yang
melakukan kesalahan sehingga biasanya orang yang meminta maaf terlebih
dahulu dianggap sebagai orang yang bersalah. Jelaslah, perangai orang yang
35
memberi maaf sebelum orang lain meminta maaf adalah perilaku yang sangat
mulia dan Allah memberi ganjaran berupa surga.
Al-Quran juga mengingatkan jika memaafkan haruslah dilakukan dengan
sikap lapang dada dan mau melupakan kesalahan orang itu agar tidak ada
keinginan untuk membalas dendam dan benar-benar ikhlas untuk membuka
lemaran baru. Allah berfirman:
“…maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah 5: 13).
Dr. Marzuki juga berpendapat bahwa di antara hikmah yang dapat
dirasakan dari sikap pemaaf di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain akan mudah mendapatkan
perlakuan baik dari orang yang dimaafkan. Orang yang diberikan maaf akan
merasa bahwa ia mendapatkan perhatian dan dihormati dengan dimaafkannya
kesalahan yang telah ia perbuat, sehingga ia akan memberikan pembalasan
yang baik dari sekedar sikap maaf yang diterima.
2) Orang yang mudah memaafkan menjadi pemerkuat tali silaturrahmi dengan
orang lain, termasuk orang yang telah dimaafkan. Dengan memiliki sikap
pemaaf maka orang tersebut akan mudah memiliki hubungan baik dengan
siapapun.
3) Sikap pemaaf menunjukkan sifat konsisten seseorang dalam tingkat
ketaqwaannya. Hal ini berarti orang yang tidak memiliki sikap pemaaf, maka
dia tidak akan disebut bertaqwa dalam artian yang sesungguhnya.