9 10 11 12 13 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OPeb...

2
o Sabtu inl/ahkoran o Selasa 0 Rabu 0 Kamls 0 Jumat 345678 9 10 11 18 @ 20 21 22 23 24 25 26 12 13 27 28 29 30 31 OPeb Mar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep OOkt ONov ODes umPo iti DI bawah bendera PDIP, Nina Hidayat, . istri Bupati nonaktif Subang Eep Hidayat, berpasangan dengan Ojang Sohandi, menerjunkan diri dalam kompetisi perebutan kursi calon Bupati Subang periode 2013-2018 (INILAH KORAN, 10/3). P enerus jabatan suami, kakak, adik, sepupu, atau siapa pun yang masih memiliki pertalian keluarga, memang bukan pelangga- ran hukum. Maka, tak mengherank- an, fenomena politik dinasti ini ter- jadi di berbagai pelosok Tanah Air. Misalnya, dinasti keluarga Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang menguasai lembaga eksekutif dim legislatif. Selain itu, Rita Widyasari, Bupati Kabupaten Kutai Kartanega- ra-Kaltim, merupakan putri bupati sebelumnya yang terjerat perkara hukum. Alhasil, tahun 2010, muncul sembilan pemenang pemilu yang masih kerabat dekat kepala daerah sebelumnya. Konon, tak mudah membendung politik dinasti, karena menghenti- karmya berarti melanggar hak asasi manusia (HAM), sekaligus melanggar konstitusi. Pasal28 D (3) UUD 1945 menyebutkan, "Setiap warga negara ILUSTRASIINILAH/KENYO JABAR memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan," Maka, sebagian kalangan menganggap membatasi hak politik seseorang, termasuk keluarga kepala daerah, merupakan pelang- garan hukum. Namun, betulkah men- gamputasi politik kekerabatan sesulit dan serumit itu? Menurut dosen ilmu politik Fisipol UGM, AGN Ari Dwipayana, politik dinasti atau tren politik kekerabatan merupakan gejala neopatrirnonialistik, yang telah I Kllping Humas Unpad 2012 EIsya Tri Ahaddini Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran lama hidup secara tradisional. Dil- ihat dari perspektif etika politik, pelanggengan kekuasaan dengan meneruskannya pada anggota ke- luarga telah mencuatkan ketidak- pantasan secara moral. Sementara dari sisi etika kornpetisi, politik dinasti telah menyingkirkan terma keadilan. Pasalnya, keluarga incumbent yang bersaing dalam kontestasi politik memiliki akses lebih baik dalam pemanfaatan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent demi memenangkan pertarungan. Padahal, pencalo- nan mereka lebih karenapolitical privileges keluarga, bukan lan- taran memiliki histori fase-fase sebagai politisi. Bahkan sering kali, mereka belum pernah menge- lola urusan publik. Proses injeksi pUQ- lisitas dan politik uang jadi modal besar untuk memenangkan pemilu. Maka, men- cuatlah politik transaksional yang bercirikan biaya tinggi dan menempatkan suara rakyat dalam skenario manipulatif sistemik. .Langsung maupun tak lang- sung, dinasti politik mengarah pada terbangunnya kekuasaan ab- solut. Bila estafet kepemimpinan berpindah pada genggarnan sang istri, dan sepuluh tahun kemudian beralih ke tangan anaknya selama dua pe- riode berturut-turut, dan berpin- dah lagi ke tangan sang adik, maka potensi terciptanya kekuasaan absolut yang rawan korup akan semakian besar. Tak jarang, di- nasti politik pun berperan seba~ai instrumen 'pengaman' kekuasaan korup sebelumnya. Sangat berbahaya jika politik dinasti terjadi di negara -dengan status penegakan hukum yang masihjauh dari memuaskan- sep- erti Indonesia. Kuat dugaan, praktik kolusi dan nepotisme akan semakin subur. Dana milik rakyat dapat menjelma seperti uang keluarga. Politik kekerabatan pun berpotensi rnenghapus peluang warga negara lainnya di luar keluarga incumbent

Transcript of 9 10 11 12 13 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OPeb...

Page 1: 9 10 11 12 13 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OPeb ...pustaka.unpad.ac.id/.../inilahkoran-20120319-hukumpolitikdinasti.pdf · dapat kesempatan dalam pemerintah-an.Artinya,

o Sabtu

inl/ahkorano Selasa 0 Rabu 0 Kamls 0 Jumat

3 4 5 6 7 8 9 10 1118 @ 20 21 22 23 24 25 26

12 1327 28 29 30 31

OPeb • Mar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep OOkt ONov ODes

umPo itiDI bawah bendera

PDIP, Nina Hidayat, .istri Bupati nonaktifSubang Eep Hidayat,berpasangan dengan

Ojang Sohandi,menerjunkan diridalam kompetisiperebutan kursi

calon Bupati Subangperiode 2013-2018(INILAH KORAN,

10/3).

Penerus jabatan suami, kakak,adik, sepupu, atau siapa punyang masih memiliki pertalian

keluarga, memang bukan pelangga-ran hukum. Maka, tak mengherank-an, fenomena politik dinasti ini ter-jadi di berbagai pelosok Tanah Air.Misalnya, dinasti keluarga GubernurBanten, Ratu Atut Chosiyah, yangmenguasai lembaga eksekutif dimlegislatif. Selain itu, Rita Widyasari,Bupati Kabupaten Kutai Kartanega-ra-Kaltim, merupakan putri bupatisebelumnya yang terjerat perkarahukum. Alhasil, tahun 2010, munculsembilan pemenang pemilu yangmasih kerabat dekat kepala daerahsebelumnya.

Konon, tak mudah membendungpolitik dinasti, karena menghenti-karmya berarti melanggar hak asasimanusia (HAM), sekaligus melanggarkonstitusi. Pasal28 D (3) UUD 1945menyebutkan, "Setiap warga negara

ILUSTRASIINILAH/KENYO JABAR

memperoleh kesempatan yang samadalam pemerintahan," Maka, sebagiankalangan menganggap membatasi hakpolitik seseorang, termasuk keluargakepala daerah, merupakan pelang-garan hukum. Namun, betulkah men-gamputasi politik kekerabatan sesulitdan serumit itu?

Menurut dosen ilmu politikFisipol UGM, AGN Ari Dwipayana,politik dinasti atau tren politikkekerabatan merupakan gejalaneopatrirnonialistik, yang telah

•I

Kllping Humas Unpad 2012

EIsya Tri AhaddiniAlumnus Fakultas HukumUniversitas Padjadjaran

lama hidup secara tradisional. Dil-ihat dari perspektif etika politik,pelanggengan kekuasaan denganmeneruskannya pada anggota ke-luarga telah mencuatkan ketidak-pantasan secara moral. Sementaradari sisi etika kornpetisi, politikdinasti telah menyingkirkanterma keadilan. Pasalnya, keluargaincumbent yang bersaing dalamkontestasi politik memiliki akseslebih baik dalam pemanfaatanfasilitas pemerintah dan jaringanincumbent demi memenangkanpertarungan. Padahal, pencalo-nan mereka lebih karenapoliticalprivileges keluarga, bukan lan-taran memiliki histori fase-fasesebagai politisi. Bahkan sering

kali, mereka belumpernah menge-lola urusanpublik. Prosesinjeksi pUQ-lisitas danpolitik uangjadi modal

besar untukmemenangkan

pemilu. Maka, men-cuatlah politik transaksional

yang bercirikan biaya tinggi danmenempatkan suara rakyat dalamskenario manipulatif sistemik.

.Langsung maupun tak lang-sung, dinasti politik mengarahpada terbangunnya kekuasaan ab-solut. Bila estafet kepemimpinanberpindah pada genggarnan sangistri, dan sepuluh tahun kemudianberalih ketangan anaknya selama dua pe-riode berturut-turut, dan berpin-dah lagi ke tangan sang adik, makapotensi terciptanya kekuasaanabsolut yang rawan korup akansemakian besar. Tak jarang, di-nasti politik pun berperan seba~aiinstrumen 'pengaman' kekuasaankorup sebelumnya.

Sangat berbahaya jika politikdinasti terjadi di negara -denganstatus penegakan hukum yangmasihjauh dari memuaskan- sep-erti Indonesia. Kuat dugaan, praktikkolusi dan nepotisme akan semakinsubur. Dana milik rakyat dapatmenjelma seperti uang keluarga.Politik kekerabatan pun berpotensirnenghapus peluang warga negaralainnya di luar keluarga incumbent

Page 2: 9 10 11 12 13 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OPeb ...pustaka.unpad.ac.id/.../inilahkoran-20120319-hukumpolitikdinasti.pdf · dapat kesempatan dalam pemerintah-an.Artinya,

dapat kesempatan dalam pemerintah-an. Artinya, dinasti politik bertentan-gan dengan spirit Pasal28D (3) UUD1945 tadi. .

Maka, demi meningkatkan kualitasdemokrasi, menuangkan pernbatasarrdinasti politik dalam bentuk UU jadihal mendesak. MenurutAmichAlhu-mami, peneliti sosial di University ofSussex, Inggris, jika terus berlanjut;gejala ini bisa kontraproduktifbagiikhtiar pembangunan sistem de-mokrasi modern.

Beberapa waktu lalu, pemerintah.mengusulkan perubahan pelaksanaanpilkada dalam drafRUU PemilihanKepala Daerah (pilkada). Substansiutamanya adalah penghapusan praktikoligarki sekaligus mengamputasi matarantai politik dinasti yang saat ini kianmerajalela. RUU Pilkada merupakansalah satu pecahan dari revisi UU No32/2004 ten tang Pemerintahan Daerah.

Namun, entah kenapa, ikhtiar initersendat-sendat. Maka, perlu di-pertegas, pembatasan dinasti politiktidak bertentangan dengan hukummaupun HAM. Pembatasan ini punberbanding lurus dengan UUD 1945Pasa128 (2).

Pada hakikatnya, pembatasan. dinasti politik untuk menertib-

kan, bukan memancung hak politikseseorang.Adanya usulan jeda duamasajabatan sebelum keluarga dekatkepala daerah mencalonkan diri,atau pelarangan mencalonkan diridi wilayah provinsi yang sama, patutdiapresiasi.

Selebihnya, RUU Pilkada perlumengadakan pengetatan dan pen-guatan bobot syarat-syarat pencalo-

-nan menyangkut kapasitas, kapa-bilitas, dan rekam jejak calon kepaladaerah, agar tercipta aturan yanglebih detil dan bernuansa transfor-masi budaya dalam perkembangandemokrasi ..

Proses pematangan UU Pilkadamenerbitkan harapan akan kemun-·culan pemimpin ideal, yakni paraaktivis sosial-politik yang mendapat.pengakuan publik sebagai politisiberkapasitas, kredibel, dan berepu-tasi cemerlang. Akhirnya, pemimpinsejati bukanlah politisi instan yangmengalami pematangan secara men-dadak, dan 'terpaksa' mencalonkandiri dalam Pilkada, gara-gara sangincumbent mengalami 'cedera poli-tik'. Pemimpin sesungguhnya adalahfigur-figur yang menjadi besar me-lalui kerja-kerja sosial bersama danuntuk masyarakat tanpa mengharap-kan pamrih. (*)