78734551-Referat-THT

download 78734551-Referat-THT

of 26

Transcript of 78734551-Referat-THT

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    1/26

    Rematic Heart Diseases Sebagai Komplikasi Tosilitis

    Pembimbing :

    Dr. Yuswandi Affandi Sp.THT-KL

    Dr. Ivan Djajalaga, M.Kes, Sp.THT-KL

    Penyusun :

    Franz Z Simajuntak S.Ked

    Penyakit THT

    Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

    1 Agustus 2011 9 September 2011

    1

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    2/26

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat

    menyelesaikan referat berjudul Tonsilitis difteri ini tepat pada waktunya.

    Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Telinga

    Hidung dan Tenggorok RSUD Budhi Asih. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

    kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Yuswandi Affandi Sp.THT dan Dr. Ivan Djajalaga,

    M.Kes, Sp.THT selaku dokter pembimbing dalam kepaniteraan klinik THT ini dan rekan-rekan

    koas yang ikut membantu memberikan semangat dan dukungan moril.

    Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,

    penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga

    referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang THT khususnya dan

    bidang kedokteran yang lain pada umumnya.

    Jakarta, 6 Augustus 2011

    Penulis

    DAFTAR ISI

    2

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    3/26

    KATA PENGANTAR 1

    DAFTAR ISI 2

    BAB I Pendahuluan 4

    BAB II Embriologi, Anatomi dan fisiologi 6

    Embriologi 6

    Anatomi 6

    Fisiologi 10

    BAB III Tonsilitis Difteri 11

    Definisi 11

    Epidemiologi 11

    Etiology 12

    Patofisiologi 12

    Manifestasi Klinis 14

    Diagnosis 15

    Penatalaksanaan 15

    Komplikasi 18

    3

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    4/26

    BAB IV Tonsilektomi 19

    Definisi 19

    Indikasi 19

    Kontraindikasi 20

    Teknik Operasi 21

    Komplikasi 23

    BAB V Daftar Pustaka 25

    4

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    5/26

    PENDAHULUAN

    Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, masih terdapat angka

    kematian 10%. Faring tetap merupakan daerah paling tersering untuk infeksi ini. Penyakit lebih

    sering pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi yang tidak adekuat. Individu yang

    mendapat imunisasi yang adekuat mendapat tingkat perlindungan dari antitoksin untuk sepuluh

    tahun atau lebih. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan. Di samping itu,

    pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. Keadaan imunisasi tidak mempunyai efek

    terhadap keluhan yang terjadi.

    Pemeriksaan yang khas menunjukkan membran yang khas terjadi di atas daerah tonsila

    dengan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua dan

    bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran

    yang berbeda dengan penyebab faringitis membranosa lain. Diagnosa biasanya dibuat lebih awal

    dan penanganan dimulai segera ketika diketahui bahwa terjadi epidemi difteri. Seringkali

    terdapat keterlambatan dalam dianosis pada kasus-kasus sporadik dan epidemi difteri yang tidak

    luas.

    Organisme penyebab adalah strain toksigenik dari Corynebacterium diphteriae. Sediaan

    apus nasofaring dan tonsila diperoleh dan diletakkan dalam medium transport yang kemudian

    dibiakan pada agar MacConkey atau media Loeffler. Strain yang diduga kemudian diuji untuk

    toksigenitas.

    Penanganan penyakit terdiri dari dua fase: (1) penggunaan antitoksin spesifik dan (2)

    eliminasi organisme dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, pasien sebaiknya diuji untuk

    sensitivitas terhadap serum. Pasien sebaiknya menerima 40.000 sampai 80.000 unit antitoksinyang dilarutkan dalam cairan saline normal diberikan secara perlahan melalui intravena. Terapi

    antibiotik dalam bentuk penisilin dan eritromisin dimulai dari untuk menyingkirkan keadaan

    karier. Biakan ulang sebaiknya dilakukan untuk memastikan pasien tidak mengandung

    organisme dalam faring. Menetapnya organisme membutuhkan pengobatan yang lama dengan

    eritromisin.

    5

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    6/26

    Komplikasi dari difteri adalah biasa dan pasien yang mengalami obstruksi jalan nafas

    membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan proses

    peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media, atau ke paru paru,

    menyebabkan pneumonia.

    BAB II

    EMBRIOLOGI, ANATOMI, FISIOLOGI TONSIL

    6

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    7/26

    A. Embriologi

    Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding

    faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal

    kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan

    membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 - 6

    kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel

    tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul

    dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian

    terbentuklah massa jaringan tonsil.5

    B. Anatomi

    Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian

    terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil

    lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa

    Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.

    a. Tonsil Palatina

    Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil

    pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior

    (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil

    mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

    seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil

    terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

    Lateral : M. konstriktor faring superior

    Anterior : M. palatoglosus

    Posterior : M. palatofaringeus

    Superior : Palatum mole

    Inferior : Tonsil lingual

    7

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    8/26

    Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum

    (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).5

    Fosa Tonsil

    Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah

    otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar

    anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan

    berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum

    mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral

    esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar

    anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan

    masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.

    Kapsul Tonsil

    Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut

    kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi

    menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.

    Plika Triangularis

    Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis

    yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat

    menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering

    terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.

    Pendarahan

    Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1) A.

    maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A.

    maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A.

    lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A.

    lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut

    diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A.

    8

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    9/26

    palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus

    dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus

    faringeal.

    Aliran getah bening

    Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal

    profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya

    ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh

    getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

    Persarafan

    Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion

    sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus. Imunologi Tonsil

    Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari

    keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah

    50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang

    terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang

    berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin

    spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil

    merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit

    yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan

    mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan

    sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.5

    b. Tonsil Faringeal (Adenoid)

    Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang

    sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu

    segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun

    mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

    Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan

    adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat

    meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

    9

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    10/26

    masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7

    tahun kemudian akan mengalami regresi.5

    Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:

    T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior-uvula

    T2 : batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai

    jarak pilar anterior-uvula

    T3 : batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula

    T4 : batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih.

    Gambar 2.2 Anatomi Tonsil6

    C. Fisiologi Tonsil

    Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),

    makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen ke sel limfosit

    10

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    11/26

    sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma

    dan sel pembawa IgG.

    Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan

    proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1)

    menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi

    antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

    BAB III

    TONSILITIS DIFTERI

    11

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    12/26

    A. Definisi

    Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi

    biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan

    telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena

    eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.

    Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita

    difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara.

    Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi

    pada saluran nafas.

    B. Epidemiologi

    Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok

    setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada individu-

    individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer).

    Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu.

    Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan

    penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan

    kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan

    imunisasi.3

    Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi

    tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit in

    C. Etiologi

    Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif tidak

    teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme

    tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang

    12

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    13/26

    memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain(Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium

    diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.

    Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang

    termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.

    Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung

    pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah

    dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.

    D. Patofisiologi

    Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa

    saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta

    selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan

    suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2

    fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan

    dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi

    pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan

    penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.

    Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu

    coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan

    toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara

    alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke

    13

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    14/26

    cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam

    sel.

    Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B

    dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui.

    Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian

    polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah

    kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan

    nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin

    banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu

    membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang

    terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel.

    Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas

    sendiri dalam periode penyembuhan.

    Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnyaSt r ept ococcus

    pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan

    pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang- cabang

    tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap

    organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.

    Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi

    pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,

    terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati

    toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7

    minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada

    bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel

    mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi

    otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada

    selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak

    perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.

    14

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    15/26

    E. Manifestasi klinis

    Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran

    putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle,

    uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam

    tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran

    mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk

    diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada

    membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan

    menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.

    Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :

    gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya

    subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri

    menelan

    gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang

    makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke

    palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat

    saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat

    akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,

    kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai

    sapi( bull neck) atau disebut jugaBurgermeesters hals.

    gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan

    kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai

    decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum

    dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

    F. Diagnosis

    15

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    16/26

    Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan

    preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan

    kuman Corynebacterum diphteriae.

    Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique,

    namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan

    pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut)

    dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan

    diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan

    lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.

    G. Penatalaksanaan

    1. Isolasi dan K arant ina :

    Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut

    terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :

    a. biakan hidung dan tenggorok

    b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)

    c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

    Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.

    Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

    Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier

    Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin

    Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

    16

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    17/26

    2. Pengobatan

    Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

    secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.

    diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.

    2.1Um u m

    Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang adekwat.

    Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara

    dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan

    yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

    2.2 Khusus

    Anti Diphteria Serum(ADS)

    Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya harus

    dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat

    kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam

    semprit.

    Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 :

    1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

    Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam

    faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala

    konjungtivitis dan lakrimasi.

    Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka).

    Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan

    17

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    18/26

    intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit,

    tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.

    Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam

    waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal

    dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu

    dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

    Antimikrobal

    Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin.

    Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan

    eritromisin 40 mg/kg/hari

    Koritikosteroid

    Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian

    atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

    3. Pengobatan Carrier

    Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai Reaksi Schick

    negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat

    diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin

    diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

    4. Operatif

    Tonsilektomi

    18

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    19/26

    Mengangkat seluruh jaringan tonsil palatina apabila terdapat indikasi sama ada relatif

    atau absolit. Biasanya tindakan ini di lakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,

    gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

    Komplikasi

    Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan

    menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.

    Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis.Kelumpuhan otot

    palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan

    kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot- otot pernafasan. Albuminuria sebagai

    akibat dari komplikasi ke ginjal.

    BAB IV

    TONSILEKTOMI

    Definisi

    19

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    20/26

    Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.

    Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring

    yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.

    Indikasi Tonsilektomi

    Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan

    prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di

    indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi

    saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology-

    Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :

    1. Indikasi absolut

    a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan

    tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal

    b) abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali

    jika dilakukan fase akut.

    c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

    d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

    2. Indikasi relatif

    a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan

    medik yang adekuat

    20

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    21/26

    b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik

    c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan

    pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.

    Kontraindikasi

    Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila

    sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang

    manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah:

    Gangguan perdarahan

    Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

    Anemia

    Infeksi akut yang berat

    Asma

    tonus otot yang lemah

    sinusitis albuminuria

    hipertensi

    rinitis alergika

    demam yang tidak diketahui penyebabnya

    Teknik operasi

    Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih

    menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan

    luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada

    21

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    22/26

    morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi.

    Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi

    standar.

    Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan

    diseksi

    1. Guillotine

    Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan praktis.

    Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil

    dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul

    perdarahan yang hebat.

    2. Teknik Diseksi

    Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode

    pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil

    digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan

    tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari

    pilar tersebut.

    3. Teknik elektrokauter

    Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk

    mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk

    menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum

    elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini

    mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.

    22

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    23/26

    Radiofrekuensi

    Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru

    disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui

    pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total

    volume jaringan berkurang.

    5. Skapel harmonik

    Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan

    mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.

    6. Teknik Coblation

    Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena dapat

    memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan.

    Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar untuk

    mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan

    terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang

    terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan

    molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan

    disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan

    jaringan sekitar.

    7.Intracapsular partial tonsillectomy

    Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan dengan

    menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan peralatan

    ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan

    ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.

    23

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    24/26

    8. Laser (CO2-KTP)

    Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat)

    untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini mengurangi volume tonsil dan

    menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

    F. Komplikasi

    Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun

    umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah

    dan anestesi.

    1. Komplikasi anestesi

    Laringosspasme

    Gelisah pasca operasi

    Mual muntah

    Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

    Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung

    Hipersensitif terhadap obat anestesi.

    2. Komplikasi Bedah

    a) Perdarahan

    Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi

    selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada

    1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang

    sama membutuhkan transfusi darah.

    24

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    25/26

    b) Nyeri

    Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus

    atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri

    berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi

    c) Komplikasi lain

    Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000), aspirasi,

    otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi

    dan pneumonia

    BAB V

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar

    Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta. 1997

    2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

    25

  • 7/29/2019 78734551-Referat-THT

    26/26

    3. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker

    recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www. medicalnewstoday.

    com/medic alnews. php?newsid=13677

    4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit

    telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994: p321

    5. Drake A. Tonsillectomy. avaible from: http://www. emedicine. com/ent/topic315.

    htm/emed tonsilektomi

    6. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman

    S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd

    edition,1991:2149-56

    7. hhtp:/www. etnet. org/Kids ENT/tonsil procedures. Efm

    8. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine

    tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The

    Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91

    9. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.

    Laryngoscope 2002;112:6-10

    26