67022349-Refrat-asma

download 67022349-Refrat-asma

of 33

Transcript of 67022349-Refrat-asma

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    1/33

    ASMA BRONKIAL

    DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

    disusun dalam rangka penugasan blok kesehatan anak

    Oleh:

    Nama : Ninda Devita

    NIM : 08711236

    Kelompok : 16

    Tutor : dr. Arie Nugroho

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

    YOGYAKARTA

    2011

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    2/33

    I. PENDAHULUANAsma adalah penyakit saluran pernafasan kronik yang ditandai dengan obstruksi

    saluran nafas (Sharma, 2011). Menurut WHO, sekitar 15 juta orang menderita asma

    dan 250.000 diantaranya meninggal karena asma (Sharma, 2011). Penyakit ini bisa

    timbul di semua usia namun paling banyak pada anak-anak (PDPI, 2004).

    Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan angka kejadian dan derajat asma pada

    anak-anak, di negara maju ataupun berkembang (Santosa, 2008). Satu dari sebelas

    anak mempunyai riwayat asma dan dua dari tiga anak yang mempunyai riwayat asma

    pernah mengalami serangan asma lebih dari satu kali (Hay et al, 2010). Hal ini

    dikarenakan oleh dua faktor utama yaitu modernisasi dan urbanisasi, misalnya

    menurunnya pemberian ASI ekslusif dan pemukiman yang makin padat (Santosa,

    2008).

    Menurut survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan asma

    menduduki urutan ke-4 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronchitis

    kronik dan emfisema di Indonesia. Pada anak-anak dari studi yang dilakukan oleh

    Yunus dkk pada tahun 2000 menunjukkan dari 2234 anak usia 13-14 tahun prevalensi

    asma 8,9% dan prevalensi kumulatif 11,5% (PDPI, 2004).

    Asma memang jarang menimbulkan kematian, namun ganggguan yang

    ditimbulkan sering menyebabkan kehilangan produktivitas, seperti membolos dari

    sekolah (PDPI, 2004). Di samping itu penyakit ini menimbulkan gangguan pada

    aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup penderita (PDPI, 2004).

    Namun, menegakkan diagnosis dan tatalaksana asma juga sering kesulitan sehingga

    sering mengalami under/overdiagnosis atau under/overtreatment (Santosa, 2008).

    Sehingga sangat penting sebagai seorang dokter untuk dapat menganali asma sejak

    dini dan memberikan tatalaksana yang sesuai sehingga meningkatkan kualitas hidup

    penderita.

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    3/33

    II. PATOFISIOLOGI2.1Asma pada Anak

    Asma merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui pada anak. Menurut

    Santoso (2008) hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:

    a. Diameter saluran nafas pada anak relatif lebih kecil dibandingkan orangdewasa. Diameter berbanding terbalik nilainya dengan tahanan udara.

    Sehingga diameter yang kecil dan ditambah adanya edema atau hipersekresi

    mengakibatkan tahanan semakin besar dan akhirnya terjadi obstruksi jalan

    nafas yang berakibat pada terjadinya asma

    b. Dinding dada pada bayi kurang kaku. Hal ini menyebabkan mudahnyabronkus dan trakea kolaps.

    c. Pada anak-anak ditemukan kelenjar mukus yang jumlahnya lebih banyakdibandingkan orang dewasa

    2.2EtiologiFaktor genetik dan lingkungan sangat mempengaruhi terjadinya asma pada anak

    (Liu et al, 2008). Adanya alergen dari lingkungan mencetuskan proses imun yang

    berhubungan dengan suatu kecenderungan genetik (Liu et al, 2008).

    Faktor genetik ini, disebut juga atopi, mempengaruhi pada kromosom yang

    membawa gen sitokin yang menginduksi adanya reaksi alergi, yaitu kromosom 5, 6,

    11, 12, dan 14 Sitokin ini dapat berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF.

    IL 4 dindikasikan sebagai sitokin yang berperan dalam menginduksi Th2 (Leung,

    2008).

    Sedangkan faktor lingkungan dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya asma.

    Beberapa faktor lingkungan yang dapat mencetuskan asma antara lain:

    a. Infeksi saluran nafas.Sekitar 42% eksaserbasi asma disebabkan oleh infeksi virus, terbanyak

    respiratory syncytial virus (RSV) (Santoso, 2008). Akibat adanya infeksi virus

    mengakibatkan kerusakan epitel saluran nafas dan jika terdapat alergen bisa

    langsung mengeksitasi reaksi imun (Santoso, 2008).

    b. AlergenAlergen bisa berupa tungau debu rumah, bulu kucing atau anjing, dan serbuk

    sari (Sharma, 2011). Makanan seperti susu sapi, telur, ikan, kacang tanah juga

    dapat menyebabkan asma, terutama pada masa bayi dan anak yang masih

    muda (Santoso, 2008).

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    4/33

    c. Bahan iritan.Iritan seperti rokok, udara dingin, parfum, dan polusi dapat meninduksi reaksi

    inflamasi (Sharman, 2010)

    d. EmosiEmosi dapat meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga terjadi pelepasan

    asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma (Santoso, 2008)

    e. Latihan jasmaniLatihan jasmani dapat terjadi akibat beraktivitas di udara yang dingin dan

    kering (Santoso, 2008). Udara yang dingin dan kering dapat meningkatkan

    osmolaritas dari sekret yang melapisi saluran nafas mengakibatkan lepasnya

    mediator (Sharman, 2010). Udara yang dingin juga mengakibatkan kongesti

    dan dilatasi pembuluh darah bronkial (Sharman, 2010).

    f. Faktor lain seperti obat- obatan dan bahan kimia (obat anti inflamasi danpewarna makanan), refluks gastroesofagus, dan keadaan saluran nafas dapat

    mengakibatkan eksaserbasi asma (Santosa, 2008)

    2.3Mekanisme InflamasiAsma adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu inflamasi kronis (Liu et

    al, 2008). Inflamasi mengakibatkan adanya hipereaktivitas bronkus yaitu peningkatan

    respon bromkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap

    rangsang (Santosa, 2008). Hal ini dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur

    imunologik dan non imunologik (Santoso, 2008)

    Jalur imunologik ini dianggap berperan penting dalam mekanisme terjadinya

    asma. Pada anak dengan riwayat atopi memiliki kecenderungan sistem imun spesifik

    bergeser ke arah proalergi, yaitu T helper 2 (Th 2) (Leung,2008). Sehingga asma

    bronkial sebenarnya merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I.

    Pada paparan pertama, adanya antigen yang masuk akan ditangkap oleh sel APC,

    terutama sel dendritik, dan akan dipresentasikan ke sel limfosit. Dan karena adanya

    faktor atopik mengakibatkan Th 2 yang teraktivasi dan menyebabkan terlepasnya

    sitokin. IL 4 dan IL 13 yang menginduksi sel B mensintesis IgE (Liu et al, 2008).

    Saat ada paparan kedua, mengakibatkan adanya reaksi inflamasi akut dan jika

    berlanjut menjadi inflamasi kronik (PDPI, 2004). Inflamasi akut disebabkan

    terikatnya IgE pada sel mast dan terjadinya degranulasi sel mast tersebut (PDPI,

    2004). Hal ini menyebabkan adanya 3 kemungkinan, yaitu: respon asma cepat,

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    5/33

    respon asma cepat dan diikuti respon asma lambat, atau respon asma lambat saja

    (Santoso, 2008).

    Respon asma cepat terjadi kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan dan

    berlangsung 1-2 jam (Santoso, 2008). Pada reaski cepat terjadi pelepasan mediator

    oleh sel mast/ basofil yaitupreformed mediatorseperti histamin dan newly generated

    mediator seperti leukotrin, ECF, dan prostaglandin (PDPI, 2004). Peristiwa ini

    mengakibatkan penyempitan bronkus dengan segera, spasme otot polos bronkus,

    inflamasi edema, dan hipersekresi (Santoso, 2008).

    Sedangkan pada respon lambat terjadi sekitar 4-8 jam setelah pajanan dan dapat

    berlangsung 12-48 jam (Santoso, 2008). Pada respon lambat terjadi proses pengerahan

    dan aktivasi eusinofil sel Th 2, neutrofil dan makrofag (PDPI, 2004). Hipereaktivitas

    bronkus akibat respon lambat dapat berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan bulan

    (Santoso, 2008).

    Teraktivasinya sel-sel inflamasi tadi mengakibatkan inflamasi kronik yang

    menimbulkan kerusakan jaringan, terutama epitel, secara fisiologis akan diikuti oleh

    proses penyembuhan yang akan menghasilkan perbaikan jaringan. Sehingga terjadi

    proses yang terdiri dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan nafas, peningkatan

    kelenjar mukus, terjadinya fibrosis, matriks ekstraseluler meningkat, dan perubahan

    struktur parenkim (PDPI, 2004).

    Konsekuensi klinis dari remodeling ini adalah bronkospasme yang parah,

    peningkatan sekresi mukus, pengurangan elastisitas jalan nafas, dan obstruksi jalan

    nafas (PDPI, 2004). Sehingga kekerapan asma akibat faktor lingkungan akan

    memperburuk asma yang sudah terjadi (PDPI, 2004).

    Sedangkan pada jalur nonimunologik menyebabkan kerusakan langsung epitel

    saluran nafas dan mengaktivasi ujung nervus vagus. Contohnya pada polutan seperti

    rokok, ozon, ataupun infeksi virus (Santoso, 2008)

    2.4Hipotesis HigienisHipotesis higienis menjelaskan mengapa kejadian asma meningkat di Negara

    maju. Hipotesis ini berdasar pada konsep bahwa sistem imun pada bayi didominasi

    Th2. Karena adanya stimuli dari lingkungan, keseimbangan akan bergeser ke Th1

    sehingga terjadi keseimbangan antara Th1 dan Th2 (Shamar, 2010)

    Pada penelitian di Eropa didapatkan prevalensi asma berkurang pada anak dengan

    riwayat infeksi, lingkungan padat, lingkingan social yang luas, dan jarang

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    6/33

    mendapatkan antibiotik (Ege et al, 2010). Sehingga dapat disimpulkan faktor

    lingkungan sangat berperan penting dalam kejadian asma.

    2.5Perjalanan PenyakitReaksi inflamasi yang terjadi mengakibatkan adanya bronkospasme, edema mukosa,

    dan sumbatan mukus (Ross et al, 2007). Dan akhirnya terjadi obstruksi saluran nafas

    (Ross et al, 2007). Obstruksi saluran nafas mengakibatkan kenaikan resistensi aliran

    udara dan gangguan ekspirasi (Shamar, 2010). Gangguan pada proses ekspirasi

    karena saat inspirasi secara tidak langsung mengembangkan saluran nafas melebihi

    ukuran selama ekspirasi sehingga resistensi saat inspirasi lebih rendah (Guyton and

    Hall, 2007).

    Obstruksi tersebut menyebabkan adanya udara yang terperangkap kemudian

    terjadi distensi paru berlebih (hiperinflasi). Hiperinflasi ini berfungsi sebagai

    kompensasi dengan menurunkan complience paru sehingga terjadi peningkatan kerja

    nafas. Jika kompensasi ini gagal akan mengakibatkan hipoventilasi dan ateletaksis

    segmental. Dan obstruksi ini tidak merata di seluruh saluran nafas sehingga

    menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion

    mismatch) yang memperparah hipoventilasi (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

    Ventilasi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja

    nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah (UKK Pulmonologi IDAI, 200).

    Hipoventilasi menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea. Hipoventilasi diperparah

    dengan adanya vasokonstriksi pembuluh darah alveolus karena hipoksia (Shamar,

    2010)

    Pada fase awal serangan akut, pasien dengan asma akan mengkompensasi

    hipoksia dengan hiperinventilasi sehingga tidak terjadi hiperkapnea dan dapat ditemui

    alkalosis respiratorik (Shamar, 2010). Namun, dengan memburuknya obstruksi dan

    hipoventilasi mengakibatkan hiperkapnea. Hiperkapnea mengakibatkan peningkatan

    produksi asam karbonat sehingga menimbulkan asidosis respiratorik (Shamar, 2010).

    Selain itu dapat terjadi asidosis metabolik karena hipoksia jaringan dan produksi

    laktat oleh otot nafas. Adanya hipoksia juga mengakibatkan menurunnya produksi

    surfaktan dan meningkatkan resiko ateletaksis (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Dan

    akhirnya pasien mengalami gagal nafas dan berujung pada kematian (UKK

    Pulmonologi IDAI, 2000).

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    7/33

    III. TANDA DAN GEJALAMenurut KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) , asma pada anak

    didefinisikan sebagai mengi berulang dan/ atau batuk persisten dengan karakteristik

    timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal, musiman, setelah

    aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau

    penderita sendiri (Santoso, 2008). Gejala dan tanda serangan asma pada anak

    tergantung derajat serangannya (IDAI, 2004). Gejala dan tanda hanya terdapat pada

    saat serangan (PDPI, 2004).

    3.1Gejala BatukBatuk pada asma bersifat persisten (Santoso, 2008). Persisten di sini jika batuk

    berlangsung lebih dari 3 minggu (WHO, 2008). Menurut Liu et al(2008), batuk pada

    asma bersifat kering. Batuk pada asma memberat saat malam/ dini hari dan timbul

    episodik setelah ada faktor pemicu, seperti asap rokok, allergen, aktivitas fisik

    berlebih, ataupun udara dingin dan kering (Rudolph et al, 2006).

    MengiMengi adalah suara berfrekuensi tinggi yang terdengar pada akhir ekspirasi. Hal

    ini disebabkan oleh penyempitan saluran nafas distal (WHO, 2008).

    Sesak nafasSesak nafas dapat dijumpai dari ringan sampai berat (IDAI, 2004). Sesak nafas

    bisa juga bermanifestasi sebagai rasa berat di dada (Liu et al, 2008). Sesak nafas ini

    dikarenakan aktivitas otototot nafas yang kuat sebagai kompensasi kadar CO2 yang

    bertambah dalam darah (Guyton and Hall, 2007).

    Nafas memendek, sulit bicara, dan gelisahHal tersebut dikarenakan adanya obstruksi saluran nafas (Rudolph et al, 2006).

    Semakin berat asma, semakin susah pasien berbicara, bahkan pasien terputus-purus

    saat mengucapkan kata-kata (IDAI, 2004).

    Fatig dan penurunan aktivitasHal ini dikarenakan pasien merasakan sesak dan batuk yang memberat (Liu et al,

    2008). Semakin berat asma, semakin menurunkan aktivitas (IDAI, 2004). Selain itu

    fatig juga bisa disebabkan gangguan tidur di malam hari akibat gejala asma memberat

    pada malam hari (Liu et al, 2008).

    Sianosis

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    8/33

    Sianosis ini terlihat di bibir dan ujung jari (Rudolph et al, 2006). Sianosis hanya

    terlihat pada serangan asma berat karena mekanisme kompensasi sudah gagal dan

    terjadi hipoksia (IDAI, 2004).

    3.2Tanda Keadaan umum: baik sampai letargiPada serangan yang ringan keadaan pasien baik, namun dengan memburuknya

    serangan keadaan pasien dapat memburuk sampai letargi (Rudolph et al, 2006).

    Letargi merupakan tanda kegagalan nafas (Hay et al, 2010).

    Vital sign: takikardi dan takipneaTakikardi dan takipnea bisa ditemukan terutama pada asma sedang sampai berat

    karena mekanisme kompensasi sudah gagal dan hipoksia memberat (Rudolph et al,

    2006). Dan jika didapatkan gagal nafas, laju nadi dan laju nafas menurun (Santoso,

    2008).

    Inspeksi: bisa terdapat sianosis, hiperinflasi dada, nafas cuping hidung,penggunaan otot bantu nafas, dan retraksi interkostal

    Hiperinflasi dada biasanya terlihat sebagai mekanisme kompensasi hipoksia pada

    serangan akut (Liu et al, 2008). Sedangkan nafas cuping hidung, penggunaan otot

    bantu nafas, dan retraksi interkostal biasanya ditemukan pada asma sedang dan berat

    sebagai mekanisme kompensasi karena kadar CO2 yang semakin meninggi dalam

    darah (Rudolph et al, 2006). Sianosis merupakan manifestasi dari hipoksia jaringan

    pada asma sedang sampai berat pada bibir dan ujung jari (IDAI, 2004).

    Auskultasi: Wheezing, ekspirasi memanjang, ronki/cracklesWheezingmerupakan salah satu tanda khas dari asma (Liu et al, 2008). Wheezing

    merupakan mengi yang ditemukan saat auskultasi. Wheezingpada anak dengan usia di

    atas dua tahun hampir semua disebabkan oleh asma (WHO, 2008). Semakin berat

    asma, wheezing terdengar semakin nyaring (Hay et al, 2010). Namun pada gagal

    nafas tidak lagi ditemukan wheezing hanya ditemukan retraksi interkostal ataupun

    pemakaian otot bantu nafas (Rudolph et al, 2006).

    Ekspirasi memanjang dikarenakan pada penderita sam memang terjdai

    gangguan ekspirasi (Guyton and Hall, 2007). Sedangkan adanya ronki/crackles

    dikarenakan produksi mukus yang meningkat (Liu et al, 2008)

    Perkusi: hipersonor

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    9/33

    Hipersonor dikarenakan udara ekspirasi tertahan dan susah untuk keluar akibat

    obstruksi (WHO, 2008)

    Pulsus paradoksusPulsus paradoksus dikarenakan kenaikan tekanan intratoral sebagai mekanisme

    kompensasi mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung (UKK

    Pulmonologi IDAI, 2000). Pulsus paradoksus ditemukan pada asma sedang dan berat

    (Santoso, 2008). Jika ada gagal nafas, pulsus paradoksus tidak ditemukan (Santoso,

    2008).

    IV. DIAGNOSIS4.1Anamnesis

    Kelompok anak yang dapat diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan

    batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari

    (nokturnal /morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma

    dan atopi pada pasien atau keluarganya. (UKK Pulmonologi IDAI, 200)

    4.2Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang sudah diuraikan di

    atas. Menurut WHO (2008), pada pemeriksaan fisik ditemukan hiperinflasi dada,

    retraksi dada, dan ekspirasi memanjang dengan suara wheezing.

    4.3Pemeriksaan PenunjangDari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah cukup untuk mendiagnosis asma

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Bila diagnosis tidak pasti, dapat diberikan satu dosis

    bronkodilator kerja cepat (WHO, 2008). Anak dengan asma membaik dengan cepat

    setelah pemberian bronkodilator kerja cepat (WHO, 2008).

    Untuk anak kurang dari 5 tahun, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan respon

    tang baik dengan bronkodilator sudah dapat mendiagnosis asma karena anak dengan

    kolompok umur demikian kurang kooperatif dilakukan pemeriksaan penunjang

    (Rudolph et al, 2006).

    a. Uji Faal ParuPada anak lebih dari 6 tahun, sudah dapat dilakukan uji faal paru (UKK

    Pulmonologi IDAI, 2000). Uji faal paru dapat menggunakan spirometri atau yang

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    10/33

    lebih sederhana dengan peak expiratory flow meter (PEF meter) (Liu et al, 2008).

    Pemeriksaan ini lebih berfungsi untuk menilai beratnya gejala (PDPI, 2004).

    Pada pemeriksaan spirometri dalam mendiagnosis asma dapat ditemukan:

    Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP 15% pada PEF setelah pemberian inhalasi bronkodilator. Penurunan >15% pada PEF setelah provokasi bronkus (UKK Pulmonologi

    IDAI, 2000).

    Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PEF dalam satu hari.

    Penilaian yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

    b. Uji provokasi bronkusUji provokasi bronkus dilakukan pada pasien dengan kecurigaan asma tetapi uji

    faal paru normal (Rudolph et al, 2006). Uji provokasi bronkus dapat dilakukan

    dengan pemberian methacholine (histamin) atau latihan (Rudolph et al, 2006). Uji

    provokasi bronkus dapat juga positif pada penyakit lain, seperti rinitis alergik, PPOK,

    dan bronkiektasis (PDPI, 2004).

    c. Pemeriksaan Foto Rontgen ToraksPemeriksaan Foto Rontgen dilakukan dengan proyeksi posteroanterior dan lateral

    (Hay et al, 2010). Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin, hanya dilakukan pada

    asma sedang/ berat (IDAI, 2004). Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran

    napas berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal

    tumbuh, atau kelainan fokal paru juga perlu pemeriksaan ini (UKK Pulmonologi

    IDAI, 2000).

    Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan atelektasis, yang merupakan komplikasi

    dari asma, ataupun penyakit lain yang merupakan diagnosis banding untuk asma (Hay

    et al, 2010).

    d. Analisis Gas darahHanya dilakukan pada serangan asma berat. Pada pemeriksaan ini dapat

    ditemukan peningkatan PaCo2 dan rendahnya PaO2 (IDAI, 2004).

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    11/33

    e. Uji TuberkulinDi Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan

    salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulinperlu

    dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan

    cara itu maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan

    terdiagnosis dan diterapi. Jika pasien kemudian memerlukan steroid untuk asmanya,

    tidak akan memperburuk tuberkulosis yang diderita karena sudah dilindungi dengan

    obat (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    12/33

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    13/33

    4.4Klasifikasi asmaMenurut Santoso (2008), penyakit asma dibagi menjadi dua menurut berat

    ringannya, yaitu:

    a. Klasifikasi derajat penyakit asmaKNAA membagi asma berdasar keadaan klinis dan keperluan obat menjadi 3

    golongan, yaitu asma episodik jarang (asma ringan), asma episodik sering (asma

    sedang), dan asma persisten (asma berat) (Santoso, 2008).

    b. Klasifikasi derajat serangan asmaSedangkan derajat serangan asma dapat dibagi menjadi serangan ringan,

    serangan sedang, dan berat.

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    14/33

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    15/33

    V. PENATALAKSANAAN5.1Tujuan Penatalaksanaan

    Tujuan tatalaksana asma pada anak-anak adalah:

    a. Pasien dapat menjalankan aktivitas normal, termasuk bermain danolahraga

    b. Sedikit mungkin absen sekolahc. Gejala tidak timbul di siang atau malam harid. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang

    mencolok

    e. Kebutuhan obat seminimal mungkinf. Efek obat dicegah seminimal mungkin (Santoso, 2008).

    5.2Terapi FarmakologiPenatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu:

    Pereda (reliever), yaitu bagaimana kita meredakan serangan atau gejalaasma yang timbul

    Pengendali (controller) yaitu bagaimana kita mengatasi masalah dasarasma, yaitu inflamasi kronik. Pemakaian obat terus menerus dalam jangka

    waktu lama, bergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap

    pengobatan (Santoso, 2008)

    Obat-obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana asma antara lain:

    a. Agonis 2-AdrenergikGolongan 2-agonis terbagi dua, yaitu: kerja lambat dan kerja cepat. Golongan

    kerja cepat, seperti salbutamol; terbutalin; atau pirbeterol, digunakan untuk serangan

    asma. Sedangkan golongan kerja lambat, seperti salmeterol dan formeterol, digunakan

    sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid

    inhalasi, tidak digunakan sebagai monoterapi (Santoso, 2008).

    Mekanisme kerja 2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran nafas,

    meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas vaskular, dan

    menghambat kerja sel mast (PDPI, 2004).

    2-agonis tersedia dalam bentuk inhalasi ataupun oral. Untuk inhalasi terdapat

    dalam bentukmetered dose inhaler, dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry

    powder inhaler) (Santoso, 2008). Pemberian inhalasi lebih dianjurkan karena lebih

    sedikit menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004). Efek samping yang

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    16/33

    dapat timbul yaitu rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, hipokalemia

    (PDPI, 2004).

    b. MetilxantinGolongan metilxantin digunakan sebagai penggganti 2-agonis. Metilxantin lepas

    lambat (teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali

    asma dan juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena (aminofilin)

    (Santoso, 2008).

    Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan

    menghambat pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Efek samping yang

    dapat timbul adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebih

    dapat terjadi konvulsi (Santoso, 2008).

    c. KortikosteroidAdalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma

    (PDPI, 2004). Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi, penghambatan

    kebocoran pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan peningkatan

    kerja respon -reseptor (Santoso, 2008). Kortikosteroid dapat diberikan secara

    inhalasi ataupun oral (PDPI, 2004). Steroid inhalasi lebih sering digunakan karena

    efek samping yang minimal, yaitu kandidiasis orofaring dan batuk (Santoso, 2008).

    Jika dengan steroid inhalasi asma tidak terkontrol, lebih baik ditambah dengan obot

    pengontrol lain daripada menaikkan dosis (PDPI, 2004). Dan steroid oral diberikan

    pada asma berat yang tidak terkontol dengan steroid inhalasi (PDPI, 2004).

    d. KromolinYang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan nedokromil

    sodium. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator dari sel mast.

    Kromolin diberikan secara inhalasi. Efek samping yang rimbul berupa batuk atau rasa

    obat yang tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004)

    e. Obat lainAdrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia 2-agonis.

    Sedangkan antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan asma,

    namun kerjanya tidak terlalu poten dibandingkan 2-agonis kerja cepat. Sebagai

    pengendali asma juga terdapat golongan antihistamin seperti ketotifen. Obat asma

    yang relatif baru adalah leukotriene modifiers yang mekanisme kerjanya menghambat

    5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis leukotrien dan memblok reseptor

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    17/33

    leukotrien. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor

    leukotrien) (PDPI, 2004).

    5.3Penalaksanaan Serangan AsmaGINA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah

    dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya)

    sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah

    menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup (UKK

    Pulmonologi IDAI, 2000).

    5.3.1 Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah

    Manifestasi klinis serangan asma adalah episode akut dari batuk, nafas pendek,

    mengi dan sesak nafas.National Asthma Education & Prevention Program (NAEPP)

    menganjurkan langsung menggunakan inhalasi agonis 2-agonis kerja singkat

    sebanyak 3x setiap 20 menit atau 3x dalam 1 jam. Jika respon baik dengan berkurang

    gejalanya; perbaikan ini stabil dalam 4 jam; dan PEF >80% prediksi/ nilai terbaik,

    pengobatan diteruskan dengan agonis 2 inhalasi setiap 2-4 jam untuk 24-48 jam.

    Sedangkan jika respon buruk, berikan kortikosteroid oral (prednison 1-2 mg/kg/hari

    terbagi 4 dosis) kemudian segera ke dokter (Liu et al, 2008).

    5.3.2 Penatalaksanaan Serangan Asma di Klinik/ Ruang Gawat Darurat

    Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan,langsung dinilai derajat

    serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam

    panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak

    flow meter) merupakan bagian integral penilaian penanganan serangan asma, bukan

    hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut belum

    memasyarakat (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

    Penanganan awal anak dengan asma adalah diberikan 2-agonis dengan nebulisasi.

    Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian

    ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat

    berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan. Jika pada penilaian

    derajat secara klinis dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi 2- agonis

    dikombinasikan dengan antikolinergik. Hal ini dikarenakan pasien dengan serangan

    berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    18/33

    takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi beta-

    agonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat

    untuk mendapatkan obat intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

    Jika tidak terdapat 2- agonis dapat diberi suntikan epinefrin subkutan dosis 0,01

    ml/ kg dalam larutan 1:1000 (dosis maksimum 0,3 ml). Dan dipantau stelah 20 menit

    tidak ada perbaikan, ulang dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama.

    Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin

    (WHO, 2008).

    a. Serangan RinganJika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik

    (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-

    2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat

    2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya

    adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien

    kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk

    reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat

    obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan.

    Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan

    sebagai serangan sedang (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

    b. Serangan SedangJika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan

    respon parsial, berikan cairan intravena dan oksigen, lalu pasien diobservasi di Ruang

    Rawat Sehari dan ditata laksana sebagai serangan sedang (IDAI, 2004).

    Di Ruang Rawat Sehari teruskan pemberian oksigen, kemudian berikan steroid

    sistemik oral berupa prednisolon,prednison, atau triamsinolon. Nebulisasi 2-agonis

    tetap diberikan ditambah antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap

    baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat. Bila dalam 12 jam responsnya tetap

    tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid

    dan aminofilin parenteral (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

    c. Serangan BeratJika menurut penilaian awal secara klinis serangannya berat, pengobatan serangan

    berat dapat langsung diberikan tanpa harus melalui tahapan ringan atau sedang (IDAI,

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    19/33

    2004). Pada serangan berat, nebulisasi 2-agonis ditambah antikolinergik dengan

    oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi

    perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam (UKK

    Pulmonologi IDAI, 2000).

    Obat yang diberikan adalah steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam

    dan aminofilin intravena. Cara pemberian aminofilin:

    bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilindosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau

    garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.

    jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan1/2nya.

    sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1

    mg/kgBB/jam (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

    Terus pantau tiap 3 jam dan catat vital sign (WHO, 2008). Bila telah terjadi

    perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta

    aminofilin diganti peroral. Steroid yang dianjurkan adalah prednisone dan prednisolon

    (IDAI, 2004).Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan

    dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-

    48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan

    dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    20/33

    (Departemen Kesehatan, 2009)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    21/33

    (Departemen Kesehatan, 2009)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    22/33

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    23/33

    5.4Penatalaksanaan Asma Jangka PanjangPenatalaksanaan asma jangka panjang dibagi menurut derajat asmanya (Santoso,

    2008). Terdapat dua prinsip pemberian obat, yaitu step-up therapy memulai terapi

    sesuai berat asma dan meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan untuk

    mencapai asma terkontrol atau stepdown therapy yaitu memulai terapi dari terapi

    maksimum setelah asma terkontrol dosis diturunkan seminimal mungkin dengan tetap

    mempertahankan kondisi asma terkontrol (Liu et al, 2008). PDPI (2004) menyarankan

    menggunakanstepdown therapy.

    a. Asma Episodik JarangPada asma episodik jarang tidak diperlukan pengobatan jangka panjang hanya

    cukup diberi obat pereda saja seperti 2-agonis ataupun teofilin. Namun teofilin tidak

    dianjurkan karena batas keamanannya sempit, yaitu jarak antara dosis terapi dengan

    dosis toksik sangat dekat (Santosa, 2008)

    b. Asma Episodik SeringPada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis rendah

    (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 g, sedangkan pada anak 400 g). Apabila dengan dosis ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka

    diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller.

    Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka penggunaan

    kortikosteroid secara oral boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid oral (sistemik)

    harus merupakan langkah terakhir tatalaksana asma pada anak (Supriyanto, 2005).

    5.5Terapi Non Farmakologia. Penghindaran terhadap faktor pencetus merupakan hal yang penting dalam tata

    laksana asma secara menyeluruh (IDAI, 2004).

    b. Kontrol teratur tidak hanya bila terjadi serangan akut, tetapi kontrol terjadwal,interval berkisar 1-6 bulan bergantung keadaan asma. Hal ini berfungsi

    meyakinkan asma terkontrol (PDPI, 2004).

    c. Meningkatkan kebugaran fisik dengan berolahrada yang melatih danmenguatkan otot-otot pernafasan, seperti berenang (PDPI, 2004).

    5.6EdukasiEdukasi yang baik akan mengurangi serangan akut yang akhirnya dapat

    meningkatkan kualitas hidup pasien (PDPI, 2004). Edukasi ini terutama ditujukan

    pada pasien dan keluarganya sehingga tercapai pemahaman tentang asma,

    peningkatan ketrampilan penanganan asma, dan peningkatan kepatuhan pasien (Liu et

    al, 2008). Yang perlu diberikan antara lain:

    a. Pengetahuan tentang asmab. Identifikasi dan mengontrol faktor pencetusc. Monitoring gejala asmad. Penanganan serangan asma

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    25/33

    e. Medikasi (jenis obat, cara penggunaan, efek samping yang mungkin timbul)(PDPI, 2004).

    (Departemen Kesehatan, 2009)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    26/33

    (UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    27/33

    Dosis Obat

    No Jenis Obat Dosis

    1. Teofilin

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    28/33

    saat janin dalam kandungan dan menyusu (IDAI, 2004). Prevensi primer dilakukan

    dengan menghindari faktor pencetus seperti asap rokok atau makanan yang alergenik

    pada ibu yang sedang mengandung dan bayi, menyusui minimal 4 bulan, dan gaya

    hidup sehat pada ibu yang sedang mengandung (Liu et al, 2008).

    Prevensi sekunder bertujuan mencegah terjadinya inflamasi pada anak yang sudah

    tersensitasi (PDPI, 2004) . Target pencegahan sekunder adalah anak yang mempunyai

    orang tua dengan riwayat atopi (IDAI, 2004). Antihistamin diberikan selama 18 bulan

    pada anak dengan riwayat atopi pada orang tua (IDAI, 2004). Namunpemberian obat

    ini masih kontroversi, meskipun ada yang berpendapat akan mempunyai efek yang

    cukup baik bila digunakan selama 18 bulan (Supriyanto, 2005). Menurut PDPI

    (2004), menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada anak yang sudah

    tersensitasi dapat menghasilkan resolusi total gejala.

    Dan yang terakhir prevensi tersier. Prevensi tersier bertujuan mencegah terjadinya

    serangan asma pada anak yang sudah menderita. Prevensi dapat berupa penghindaran

    terhadap pencetus maupun pemberian obat pengendali (IDAI, 2004).

    VI. ILUSTRASI KASUS6.1Kasus

    Seorang anak laki-laki, An. A, berusia 3 tahun dibawa orangtuanya ke klinik

    dokter umum dengan keluhan batuk berulang. Batuk sudah dirasakan sejak 5 hari

    yang lalu. Batuk tidak berdahak. Batuk dirasakan memberat saat malam hari dan

    membaik saat siang ataupun saat pasien beristirahat. Dan tadi malam batuk dirasakan

    semakin berat dan pasien terlihat susah untuk bernafas setelah pagi harinya bermain

    seharian. Demam (-), bunyi ngik-ngik saat bernafas (+), sesak nafas (+), masih bisa

    berbicara dengan lancar, pilek (-)., nafsu makan baik, tidak ada penurunan berat

    badan. Pasien sudah diberi obat oleh orangtuanya dengan obat batuk anak-anak yang

    ada di warung, tetapi belum sembuh juga.

    Pasien pernah didiagnosis asma oleh dokter. Pasien sudah sering mengalami batuk

    berulang, kira-kira 1x tiap bulannya, terutama setelah sering diajak ibunya berjualan

    makanan di pinggir jalan raya karena tidak ada yang menjaga di rumah. Biasanya

    batuk berlangsung selama 3-5 hari dan sembuh dengan sendirinya. Keluarga dan di

    lingkungan sekitar tidak ada yang mempunyai keluhan batuk lama atau menderita

    penyakit TBC. Ibu pasien sering gatal-gatal setelah mengkonsumsi makanan laut.

    Lingkungan rumah bersih, tidak mempunyai hewan peliharaan, tidak dekat dengan

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    29/33

    jalan raya, ventilasi baik. Ayah pasien merokok. Ayah pasien bekerja sebagai buruh

    bangunan.

    Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran baik, keadaan umum tampak sedikit

    sesak, berat badan pasien 15 kg. Pemeriksaan vital sign diperoleh tekanan darah

    120/80 mmHg, nadi 100 /menit, suhu badan 36,5 C, pernafasan 52x/ menit, Pada

    pmeriksaan ditemukan sianosis (-), retraksi interkostal dangkal (+), penggunaan otot

    bantu nafas (-), nafas cuping hidung (-), hiperinflasi dada (+), perkusi hipersonor di

    kedua paru, wheezing(+) di kedua paru pada akhir ekspirasi (+), pulsus paradoksus (-

    ). Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena baru berusia 3 tahun.

    6.2DiagnosisDari kasus di atas, dapat ditemukan:

    Anamnesis: batuk kronis (>3 minggu), batuk memberat pada malam hari, mengi,riwayat atopi pada keluarga yaitu ibu gatal-gatal setelah makan makanan laut dan

    pasien didiagnosis asma, adanya faktor pencetus yaitu setelah menghirup debu

    dan ayah merokok, riwayat gejala berulang

    Pemeriksaan fisik ditemukan hiperinflasi dada, wheezing, ekspirasi memanjang,hipersonor pada paru.

    Sehingga pasien dapat didiagnosis menderita serangan asma dengan riwayat asma.

    Untuk keperluan terapi, derajat serangan asma dan penyakit asma perlu dinilai:

    Nilai derajat asma sesuai tabel. Pada pasien ini didapatkan masih bisa bicaradengan lancar, kesadaran baik, sianosis (-), mengi pada akhir ekspirasi,

    penggunaan otot bantu nafas (-), retraksi dangkal (+), laju nafas meningkat, laju

    nadi normal, tanpa pulsus paradoksus. Dan sesuai tabel, pasien mendapat serangan

    ringan

    Evaluasi derajat penyakit asma. Pada pasien ini frekuensi serangan

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    30/33

    6.3 Rencana Tatalaksana

    a. Atasi serangan asma

    Beri nebulisasi 2-agonis 1-3 kali dengan selang 20 menit. Yang digunakanadalah salbutamol 2,5 mg/ kali nebulisasi. Kemudian lihat respon pasien. Jika baik

    tata laksana sebagai serangan ringan, jika respon parsial tata laksana sebagai

    serangan sedang, dan jika respon buruk tata laksana sebagai serangan berat (sesuai

    algoritma).

    Pada pasien ini terdapat serangan ringan sehingga observasi 1-2 jam, jika kondisistabil boleh pulang dengan dibekali obat 2- agonis. Sarankan kontrol kembali

    dalam 24-48 jam. Bila kondisi memburuk tata laksana sebagai serangan sedang.

    b. Tata laksana jangka panjang Terapi farmakologi

    P drugs untuk asma epidosik jarang: 2-agonis kerja cepat atau teofilin.Karena teofilin batas keamanannya sempit, kami memilih 2-agonis kerja

    cepat, yaitu salbutamol. Salbutamol dipilih karena harganya cukup

    terjangkau.

    BSO: Obat dapat diberikan dalam bentuk inhaler. Tetapi pada pasien inisosial ekonominya kurang sehingga dipilih sedian oral. Sedian oral

    salbutamol tersedia dalam bentuk tablet. Karena masih anak-anak, kami

    membuatnya dalam bentuk puyer.

    Dosis salbutamol 0,1-0,15 mg/ kgBB/kali diberikan 4 kali sehari. Karenapada pasien ini berat badannya 15 kg, dosis salbutamolnya 1,5-2,25 mg/

    kali.

    Efek samping yang mungkin timbul adalah tremor halus, sakit kepala,berdebar-debar.

    Terapi non farmakologis Pada pasien ini adalah menghindari pencetus. Pencetus pada pasien ini

    terutama pasien sering di ajak ibunya berjualan di pinggir jalan raya

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    31/33

    sehingga kemungkinan terpapar debu semakin besar. Selain itu ayah

    pasien yang merokok karena asap rokok dapat emncetuskan asma.

    Sehingga sebaiknya kedua hal tersebut dihindari.

    Kontrol kembali 24-48 jam setelah ini untuk reevaluasi terapi. Kemudiankontrol teratur setiap 6 bulan.

    Olahraga yang meningkatkan kemampuan otot pernafasan sepertiberenang.

    6.2 Penulisan Resep

    dr. X

    SIP.Praktek : Rumah :Jl. Kaliurang Jl. Manokwari

    Yogyakarta Condong Catur ,SlemanTelp. Telp.

    Yogyakarta, April 2011

    R/ Salbutamol 2 mg

    Sacch. lact. q s

    m.f.l.a. pulv. dtd no. X

    S.p.r.n 4.d.d pulv I

    Pro : An. AUmur : 3 tahunAlamat : Condong catur, Sleman, Yogyakarta

  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    32/33

    DAFTAR PUSTAKA

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit

    Asma, Departemen Kesehatan, Jakarta.

    Ege, M.J., Mayer, M., Normand, A., Genuneit, J., Cookson, W., Braun-Fahrlnder,

    C., Deederik, D.,Piarroux, R., and Mutius, E., Exposure to Environmental

    Microorganisms and Childhood Asthma, New England Journal Medicine,

    2011;364:701-9.

    Hay, W. W., et al, 2010. Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics, 20th edition,

    McGraw Hill, New York.

    Guyton, A.C, Hall, A.E, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11, EGC,

    Jakarta.

    Lemanske, R. F., Mauger, D.T., Sorkness, C.A., Pharm.D., Jackson, D.J., Boehmer,

    S.J., Martinez,F.D., Strunk, R.C., Szefler, S.J., Zeiger, R.S., Bacharier, L.B.,

    Covar, R.A., Guilbert, T.W., Larsen, G., Morgan, W.J., Moss, M.H., Spahn,

    J.D., Taussig, L.M, Step-up Therapy for Children with Uncontrolled Asthma

    Receiving Inhaled Corticosteroids, New England Journal Medicine,

    2010;362:975-985.

    Leung D.Y.M., 2008. Allergy and the Immunologic Basis of Atopic Disease, Nelson

    Textbook of Pediatric, 18th edition, Elsevier, Philadelphia.

    Lui A. H., et al, 2008. Childhood Asthma,Nelson Textbook of Pediatric, 18th edition,

    Elsevier, Philadelphia.

    Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004. Asma: Pedoman Diagnosis dan

    Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FK UI, Jakarta.

    Pusponegoro, H. D., et al, 2004. Standar Pelayanan Kesehatan Anak, edisi 1, Balai

    Penerbit IDAI, Jakarta.

    Rudolph, M. A., et al, 2006. Rudolphs Pediatric, 20th edition, McGraw Hill, New

    York.

    Santoso, H., 2008. Asma Bronkial, Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, edisi 2, Balai

    Penerbit IDAI, Jakarta.

    Sharma G. D., 2010, Pediatric Asthma ,http://emedicine.medscape.com/

    Supriyatno, B., 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak,

    Majalah Kedokteran Indonesia, 55: 3, 237-243.

    Suyoko, E.D., 2008. Medikamentosa,Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, edisi 2, Balai

    Penerbit IDAI, Jakarta.

    http://emedicine.medscape.com/http://emedicine.medscape.com/http://emedicine.medscape.com/http://emedicine.medscape.com/
  • 7/29/2019 67022349-Refrat-asma

    33/33

    UKK Pulmonologi IDAI, 2000.Konsensus Nasional Asma Anak, Sari Pediatri, Juni,

    2:1, 50 - 66

    WHO, 2008.Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO Indonesia, Jakarta.