5

8
"Negeri Para Preman 1 Oleh Dion DB Putra Kita hidup di negeri seribu kepala Juga di kampung para preman? “BETA makan lu.” Lado mengajak Mase berduel di luar gedung Dewan. Demikian sepenggal peristiwa yang terjadi di gedung DPRD Kabupaten Kupang, hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2009. Anggota Dewan yang terhormat hari itu membahas rancangan tatib yang dikerjakan panitia khusus (Pansus). Sidang orang-orang terhormat bukannya membahas agenda utama, tapi malah mempertontonkan premanisme. Ancam-mengancam, melontarkan kata-kata tak sedap bahkan nyaris adu jotos. Aktor yang terlibat pun bukan orang sembarangan. Johanes Mase adalah Ketua Fraksi PDIP dan Dominggus Lado menjabat Ketua Fraksi Gabungan Adu jotos bahkan hampir saja terjadi sebelum rapat itu dimulai yang melibatkan Yulius Ludji dari PDK dengan Kornelis Lodo dari Partai Pelopor. Ludji sempat berniat melayangkan pukulan ke tubuh Lodo 2 . Siapa tidak terganggu pikirannya melihat peristiwa semacam itu? Nalar dan rasa pastilah terusik ketika menghadapi kenyataan gedung Dewan seolah berubah menjadi ring tinju. Melalui warta media massa, Anda tentu telah mengetahui betapa kejadian serupa itu juga menyembul di tempat lain. Sebut misalnya DPRD Kota Kupang serta beberapa daerah lainnya di Propinsi NTT. 1 Sekadar pengantar diskusi dalam seminar Titik Balik Politik Lokal yang diselenggarakan LAP Timoris di Lewoleba, Lembata, NTT tanggal 29 Oktober 2009. 2 Pos Kupang, 26 Oktober 2009 hal 17. 1

description

5

Transcript of 5

Negeri Seribu "Kepala"

"Negeri Para Preman

Oleh Dion DB Putra

Kita hidup di negeri seribu kepala

Juga di kampung para preman?BETA makan lu. Lado mengajak Mase berduel di luar gedung Dewan. Demikian sepenggal peristiwa yang terjadi di gedung DPRD Kabupaten Kupang, hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2009.Anggota Dewan yang terhormat hari itu membahas rancangan tatib yang dikerjakan panitia khusus (Pansus). Sidang orang-orang terhormat bukannya membahas agenda utama, tapi malah mempertontonkan premanisme. Ancam-mengancam, melontarkan kata-kata tak sedap bahkan nyaris adu jotos.

Aktor yang terlibat pun bukan orang sembarangan. Johanes Mase adalah Ketua Fraksi PDIP dan Dominggus Lado menjabat Ketua Fraksi Gabungan Adu jotos bahkan hampir saja terjadi sebelum rapat itu dimulai yang melibatkan Yulius Ludji dari PDK dengan Kornelis Lodo dari Partai Pelopor. Ludji sempat berniat melayangkan pukulan ke tubuh Lodo.

Siapa tidak terganggu pikirannya melihat peristiwa semacam itu? Nalar dan rasa pastilah terusik ketika menghadapi kenyataan gedung Dewan seolah berubah menjadi ring tinju. Melalui warta media massa, Anda tentu telah mengetahui betapa kejadian serupa itu juga menyembul di tempat lain. Sebut misalnya DPRD Kota Kupang serta beberapa daerah lainnya di Propinsi NTT.Perkelahian ternyata bukan monopoli legislator. Eksekutif pun tidak mau kalah. Di beranda Flobamora sudah menjadi warta biasa selama era otonomi daerah (otda) tentang perseteruan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah atau antara bupati dan wakil bupati. Pertarungan mereka tak kalah seru, baik secara terang-terangan maupun diam-diam di belakang layar. Kejadian berulang dan nyaris sama di banyak tempat sehingga sebagian orang telah menganggapnya sebagai insiden biasa.

Miris! Para pemimpin daerah yang dipilih rakyat melalui pemilu justru bertindak seperti anak kecil rebutan permen. Tanpa beban mereka memperlihatkan tindakan tidak terpuji. Main ancam, suka adu fisik. Tanpa rasa malu menumbuhsuburkan kekerasan verbal dan fisik. Seperti itukah pemimpin yang kita harapkan? Apakah pemilu atau pilkada sesungguhnya pesta demokrasi rakyat memilih para preman? Memilih sekelompok kepala bukan pemimpin?Pelaksanaan otonomi daerah yang tahun ini genap sewindu usianya melenceng jauh dari harapan ideal. Contoh peristiwa yang diangkat pada awal tulisan ini memberi satu kesimpulan: Pemimpin (eksekutif dan legislatif) pro rakyat terpilih lewat pemilu merupakan harapan yang berlebihan untuk tidak melukiskannnya sebagai ilusi demokrasi.

Dua kali sudah terselenggara pemilu selama era otonomi daerah. Dan, semua kabupaten/kota di NTT telah memilih pemimpin lewat pilkada langsung. Apakah mereka yang terpilih sungguh pro rakyat? Saya belum menemukan alasan serta bukti konkret untuk percaya. Meski pemilu dipercaya umat manusia sebagai sarana demokrasi terbaik. Tetapi pemilu belum tentu menghasilkan pemimpin yang baik. Baik bagi rakyat yang memberi kepercayaan kepadanya.

Kegagalan Parpol

Langkanya pemimpin pro rakyat yang lahir lewat pemilu merupakan kegagalan partai politik (parpol) dalam proses rekruitmen calon pemimpin. Partai politik kita, baik yang telah mapan dan berusia tua maupun partai seumur jagung belum menempatkan seleksi calon pemimpin secara terukur. Partai asal comot. Asal-asalan saja menjadikan seseorang sebagai kader tanpa melalui proses kaderisasi yang benar. Sesungguhnya banyak calon pemimpin berkualitas di tengah masyarakat, tetapi mereka jauh dari jamahan partai politik. Mereka tidak tersentuh.

Era multi partai di Indonesia sungguh menghadirkan perilaku politik yang memilukan. Perilaku tidak mendidik. Perseteruan dalam tubuh partai telah menjadi pemandangan biasa. Hampir semua partai di Indonesia mengalami situasi seperti itu. Orang pun gampang sekali pindah dari satu partai ke partai yang lain. Mereka tidak malu disebut politisi kutu loncat. Di Nusa Tenggara Timur, seorang pimpinan Dewan dari Partai A yang sedang menjabat bahkan tidak malu mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Pemilu 2009 dari Partai B.

Situasi itu setali tiga uang dengan seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk maju dalam arena pilkada langsung. Partai memonopoli seluruh proses rekruitmen calon yang jauh dari semangat transparansi. Kualitas kepemimpinan calon bukan indikator utama yang digariskan partai. Pilihan pertama parpol adalah kadernya sendiri. Yang belum matang dan teruji kepemimpinannya pun dipaksakan untuk maju bertarung dengan dalih demi kehormatan partai.

Jika partai ketiadaan calon, mereka baru berpaling ke calon tertentu yang dianggap sehati dan sejalan dengan kepentingan elit partai. Cukup sering kepentingan partai sangat pragmatis. Meski pahit tetapi harus dikatakan bahwa partai politik belum bisa dipercaya seratus persen sebagai tempat penggodokan calon pemimpin yang merakyat. Praktik premanisme di lembaga Dewan serta dua hati yang terluka dan saling melukai dalam sejumlah kasus kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan bukti kegagalan tersebut. Memang ada jalur independen, tetapi jalur itu membutuhkan ongkos yang tidak kecil dan belum ada mekanisme seleksi yang teruji. Idealnya tetap partai politik sebagai kawah candradimuka yang menggembleng sekaligus menyeleksi para calon pemimpin.

Pemimpin GilaTema pemimpin dan kepemimpinan pro rakyat di era otonomi daerah bukan masalah baru. Sudah beribu kali dibahas dalam berbagai forum, entah seminar, workshop atau diskusi-diskusi terbatas. Pesannya satu dan sama, yakni tidak mungkin ada pembangunan yang berhasil, tanpa adanya kepemimpinan yang kredibel, cakap dan berintegritas serta bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Yaitu kepemimpinan yang mendedikasikan seluruh hati, jiwa, tenaga dan pikirannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Itulah kepemimpinan pro rakyat, yang tidak berjarak atau bahkan berkonflik dengan kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

Pemimpin pro rakyat adalah pemimpin yang mampu merajut kebersamaan serta sinergi positif di antara semua komponen bangsa. Penggalangan kekuatan bersama dari pemerintah, lembaga negara, dunia usaha, perguruan tinggi serta civil society adalah suatu keniscayaan bagi berhasilnya pembangunan.

Ada syarat lain yang mesti dipenuhi pemimpin pro rakyat. Mengapa? Tidak ada peluang yang bisa diraih bagi daerah yang pemimpinnya hanya bekerja apa adanya, tanpa semangat dan tekad untuk bekerja yang terbaik. Dalam spirit itu menarik pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan anggota DPD RI bulan Agustus 2009. Menurut presiden, tidaklah mungkin kesuksesan pembangunan dapat diraih jika hanya elemen pemerintah yang bekerja keras, tanpa dukungan positif dari dunia usaha maupun elemen masyarakat madani. Karenanya, pembangunan harus merupakan medan karya yang terbuka lebar bagi partisipasi seluruh anak bangsa, apapun posisi serta di manapun ia berada.

Pembangunan yang inklusif. Itulah poinnya. Dalam konteks Indonesia (baca: NTT) pembangunan inklusif hanya dapat dilakukan dengan menerapkan sejumlah strategi dasar, antara lain kesungguhan membangun ekonomi lokal dengan agenda aksi yang konkret di setiap daerah, keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan serta pembangunan menitikberatkan pada kemajuan kualitas manusia.

Semua itu dapat terwujud bila ada kepemimpinan yang efektif dan bertanggungjawab. Pemimpin yang tak kenal lelah memberi yang terbaik bagi rakyat. Ia selalu turun ke bawah, mau mendengarkan keluh kesah rakyat dan mengerti apa saja kebutuhan mereka. Rakyat tidak sekadar menjadi obyek mengumpulkan suara dukungan lewat janjijanji saat kampanye lima tahun sekali.

Di Nusa Tenggara Timur, amat sedikit jumlah pemimpin yang mengerti kebutuhan rakyat serta cakap dan mampu menggerakkan sumberdaya (terutama manusia) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir belum hadir pemimpin yang menonjol di daerah ini. Penampilan mereka biasa-biasa saja dalam menggerakkan roda pembangunan daerah. Posisi NTT yang masih berada di dasar klasemen indeks pembangunan manusia Indonesia merupakan salah satu indikatornya.

Otonomi daerah yang memberi ruang lebih luas kepada daerah mengurus rumah tangga sendiri belum dimanfaatkan secara optimal. Kita tidak menemukan pemimpin yang berani melawan arus umum dan siap untuk tidak populer. Jika keadaan seperti itu tidak segera diterobos, maka NTT masih butuh waktu lama untuk berkembang maju atau setidak-tidaknya bisa berdiri sejajar dengan daerah lain di Tanah Air.

NTT membutuhkan pemimpin gila. Demikian yang ingin dikatakan. Gila kerja demi rakyat. Cepat merespons kebutuhan rakyat melalui kebijakan pembangunan yang langsung menyentuh kebutuhan mereka. Gila dan berani meluncurkan kebijakan serta program pembangunan dengan dampak nyata bagi masyarakat luas. Bukan program biasa yang hasilnya pun tidak signifikan.

Menguji kepemimpinan pro rakyat itu tidak sulit. Sebagai misal, dalam hal kontroversi tambang di berbagai daerah di Flobamora, kita belum melihat pemimpin gila yang berani berkata tidak. Tidak asal menolak tambang tentunya. Tapi menolak dengan pertimbangan rasional atau pertimbangan yang mencerahkan bahwa hidup sejahtera itu tidak mesti dengan menambang isi perut bumi. Boleh juga menerima tambang, tetapi tambang yang bagaimana dan siapa sesungguhnya yang mendapat manfaat? Manfaat bagi rakyat mesti jelas dan terukur pencapaiannya. Tidak sekadar janji-janji seperti terjadi di banyak tempat di negeri ini.

Sekarang ini, misalnya, transportasi udara di NTT praktis lumpuh sejak pesawat yang dioperasikan manajemen TransNusa Air Services mengalami gangguan 22 Oktober 2009. Menguat usul saran agar Pemda NTT berani membeli pesawat sendiri seperti dilakukan dengan sukses oleh pemerintah daerah lain di Indonesia. Sayang nian, sejauh ini kita bahkan belum mendengar reaksi cepat dan konkret dari para pemimpin daerah. NTT adalah propinsi kepulauan. Moda transportasi laut dan udara dengan tarif terjangkau merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Tetapi kebutuhan itu terabaikan.

Di bidang ketenagakerjaan, mestinya Propinsi NTT mulai mengirim tenaga terdidik ke luar daerah, baik untuk memenuhi pasar kerja regional maupun internasional. Mestinya segera berakhir kemampuan kita sekadar mengirim TKI bermodal otot saja ke Malaysia, Hongkong atau Korea. Pasar kerja internasional terbuka lebar. Pemerintah Australia, misalnya, sejak tahun 2005 membutuhkan 500 orang tenaga perawat asal NTT setiap tahun untuk dipekerjakan pada rumah sakit-rumah sakit milik pemerintah dan swasta di negeri benua itu. Dari 500 tenaga yang dibutuhkan sejak tahun 2005 ternyata baru empat orang yang dikirim ke sana pada tahun 2006. Penyebab utama minimnya tenaga perawat NTT bisa dikirim ke Australia karena kalah dalam hal penguasaan bahasa Inggris. Betapa menyedihkan daya saing tenaga kerja NTT.

Kalau masalah kita adalah kecakapan berbahasa Inggris, maka fokus program harusnya tertuju ke sana. Taruhlah pemerintah propinsi dalam semangat kolektif-kolegial dengan seluruh pemerintah kabupaten/kota di NTT membuat program "1 Juta angkatan kerja NTT cakap berbahasa Inggris dalam lima tahun!"

Boleh jadi ada yang serta merta menganggap tawaran program ini bombastis, tetapi kalau ada komitmen serta kemauan untuk memulai, kiranya tidak ada yang tak mungkin. Semuanya hanya soal kemauan dan keberanian memulai. Untuk menciptakan 1 juta angkatan kerja NTT cakap berbahasa Inggris dalam lima tahun, misalnya dalam kurun waktu 2009-2014, hemat saya bukan pekerjaan berat jika semua kekuatan di daerah ini dikerahkan untuk menggolkan tujuan itu.

NTT tidak kekurangan tenaga profesional dalam bidang Bahasa Inggris. Ada puluhan orang doktor (S3) dan magister Bahasa Inggris di Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira), Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Universitas Muhammadyah, seminari tinggi di Kupang dan Ledalero-Maumere serta puluhan perguruan tinggi lainnya di daerah ini. Belum lagi lembaga- lembaga kursus Bahasa Inggris yang jumlahnya sangat banyak.

Aset berlimpah ruah itu belum dimanfaatkan optimal kecuali untuk kebutuhan intern lembaga masing-masing. Mereka perlu ditarik keluar dari sangkarnya masing-masing, disatukan kekuatannya, entah dalam bentuk lembaga kursus atau apapun namanya. Talenta mereka yang besar itu kita dayagunakan untuk mencapai tujuan menyiapkan tenaga kerja terdidik NTT yang cakap berbahasa Inggris sehingga bisa memenuhi kebutuhan pasar kerja luar negeri. Kita "mengekspor" skilled labor sebagaimana sukses dilakukan Filipina dan India satu dasawarsa terakhir.

Untuk merealisasikan angan-angan seperti itu, NTT hari ini membutuhkan pemimpin yang berani membuat terobosan besar. Bukan pemimpin yang ketika masuk dalam rimba raya birokrasi larut dan hanyut oleh rutinitas cara kerja SKPD yang terikat pada tupoksi. Terikat dan dikerangkeng oleh prosedur birokratis yang lamban.

Tentang cara kerja birokrasi di Indonesia, mantan Wapres RI, Jusuf Kalla punya kenangan unik. Menurut Jusuf Kalla, cara kerja birokrasi kita sangat mengutamakan prosedur bukan hasil akhir. Yang penting laporan di atas kertas tertata rapi, bukan hasil di lapangan. Yang utama tetap menghormati Bapak atau Ibu Kepala, meski isi otak Bapak dan atau Ibu Kepala biasa-biasa saja. Tanpa inovasi dan daya kreasi. **

Kupang, 27 Oktober 2009

Sekadar pengantar diskusi dalam seminar Titik Balik Politik Lokal yang diselenggarakan LAP Timoris di Lewoleba, Lembata, NTT tanggal 29 Oktober 2009.

Pos Kupang, 26 Oktober 2009 hal 17.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato tentang Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Daerah di depan Sidang Paripurna Khusus DPD, di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta Pusat, Rabu (19/8/2009) pagi.

PAGE 4