46589360 Teori Wujud Mulla Shadra
-
Upload
aziz-damanhuri -
Category
Documents
-
view
49 -
download
6
description
Transcript of 46589360 Teori Wujud Mulla Shadra
Mirna Safitri
208000007
Falsafah dan Agama
Teori Wujud Mulla Shadra
Filsafat adalah ilmu yang membahas dasar dari segala sesuatu, terutama filsafat
Islam, yang mana dalam pembahasannya sangatlah lengkap dan pandangan beserta
argumen-argumen para filosofnya bersifat logis dan masuk akal, rasional.di sini yang
menjadi objek pembahasan di dalamnya adalah wujud. Karena wujud adalah pembahasan
utama yang sangat fundamental dalam filsafat Islam yang bertujuan untuk mengungkap
suatu realitas dan kebenaran keyakinan dalam Islam. Jika demikian, maka perlu kita
membedah terlebih dulu suatu hal yang amat mendasar, yaitu wujud itu sendiri.
Wujud dalam Filsafat Islam memiliki pengertian yang beragam dari para filosof
Muslim. Karena mayoritas dari beberapa filsuf banyak membicarakan masalah wujud.
Selain wujud menjadi pembahasan dasar dari segala sesuatu, wujud juga menjelaskan
berbagai realitas dan mencari suatu kebenaran melalui wujud serta wujud merupakan di
antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis. Sebab
hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan
sesuatu yang tak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu
"objek", kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Dalam
konteks wujud ini, kita akan memfokuskan kepada teori wujud yang dipaparkan oleh
Mulla Shadra. Di mana Mulla Shadra mengonsepnya dalam tiga tataran, yaitu Keutamaan
Wujud (Ashâlah Al-Wujûd), Wahdah Al-Wujûd, dan Tasykîk Al-Wujûd.
1
1. Keutamaan Wujud (Ashâlah Al-Wujûd)
Dalam pembahasan mengenai Ashâlah Al-Wujûd ini, Mulla Shadra
mengemukakan perbedaan antara wujud dan mahiyah, di mana Shadra mengunggulkan
wujud sebagai suatu yang riil dan utama. Menurutnya, wujud adalah satu-satunya realitas
yang menjadi suatu hal yang fundamental pada setiap yang ada, bersifat ada, jelas,
positif, dan tertentu. Sedangkan mahiyah adalah suatu hal yang bersifat samar, tidak jelas,
tidak tertentu, dan tidak riil. Mahiyah memiliki ketergantungan pada wujud, di mana
mahiyah ada karena wujud atau dengan kata lain apabila ada wujud berarti ada mahiyah
dan bila tidak ada wujud maka tidak ada mahiyah.
Mahiyah dapat dikatakan sebagai jawaban dari pertanyaan apa itu, karena
mahiyah merupakan esensi yang mana bersifat tidak riil dan berkat kebersamaannya
terhadap wujudlah ia dapat mempunyai suatu hal pada dirinya. Jika demikian, maka
mahiyah tidak dapat berdiri dengan sendirinya atau tidak ada pada dirinya sendiri.
Sedangkan wujud ada pada dirinya sendiri dan dapat lepas dari mahiyah. Namun, di sini
mahiyah terhadap wujud merupakan makna aksiden mahiyah atas wujud itu sendiri.
Sebagai contoh ialah, ketika kita melihat rumah yang merupakan mahiyah yang
berada dalam relasi yang setara antara wujud dan ‘adam. Sebelumnya, rumah adalah
bentukan yang dirancang oleh potensi dan potensi ini ada karena wujud. Kemudian
wujudnya wujud itu dengan wujudnya sendiri sehingga tidak menyebabkan regresi. Oleh
karenanya, Mulla Shadra mengatakan bahwa wujudlah yang riil dan utama sedangkan
mahiyah hanyalah kerelatifan saja
2. Kesatuan/Keesaan Wujud (Wahdah Al-Wujûd)
Dalam konsepnya mengenai Wahdah Al-Wujûd ini merupakan afirmasi dari
wujud itu sendiri. Di sini Mulla Shadra memaparkan bahwa Wahdah Al-Wujûd
penekanannya terhadap keesaan wujud dan keberagaman yang maujud. Dengan itu,
Shadra mengemukakan prinsip dari keesaan wujud dan keberagaman yang maujud ke
dalam tiga tingkatan wujud; pertama, Wujud Murni adalah wujud yang ada dan
2
tergantung pada dirinya sendiri. Wujud ini bersifat tidak terbatas, di mana keberadaan
wujud ini mendahului dari segala sesuatu yang lain. Wujud Murni ini adalah Tuhan yang
Esa, yang Absolut dan yang tersembunyi secara mutlak dan wujud ini pun disebut dengan
Wâjib Al-Wujûd yang sifat wujudnya adalah Necessary, ke maujud-maujud lain yang
bersifat contingent (mumkin al-wujud). Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Yang
mana matahari tentu berbeda dengan sinarnya.
Kedua, Wujud yang tergantung dengan wujud Murni atau wujud selain dirinya.
Di mana wujud ini bersifat terbatas dan ini termasuk dalam mumkin al-wujud. Seperti
manusia, hewan, tumbuhan-tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Ketiga, Wujud Absolut
yang berada dalam penyebarannya. Dalam hal ini wujud menjadi aktual dan konkret.
Wujud ini pun merupakan realitas yang menyebar pada sesuatu yang bersifat mungkin,
seperti yang sempurna dan yang kurang sempurna, yang abadi dan yang baru.
3. Ambiguitas/Gradasi Wujud (Tasykîk Al-Wujûd)
Dalam perspektif Hikmah Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas yang
tunggal di mana dalam kesatuan dan ketunggalannya memiliki banyak tingkatan dan
gradasi. Dengan itu, gradasi wujud di sini merupakan suatu gambaran atas wujud tunggal,
di mana wujud tunggal ini mempunyai perbedaan gradasi. Hal ini disebabkan karena
pengaruh tingkatan kualitas yang ada pada wujud tersebut.
Wujud tidak hanya satu, tetapi juga bersifat hierarkis. Wujud tersebut
membentang dan membentuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke tingkatan yang lebih
rendah. Mulla Shadra mengambil teori iluminisme tentang pembedaan gradasi. Teori ini
menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang juga
menyatukan mereka. Misalkan bahwa cahaya matahari dan cahaya lampu disatukan oleh
cahaya, tetapi satu sama lainnya juga dibedakan oleh intensitas yang ada dalam cahaya
masing-masing. Namun berbeda dengan iluminisme yang mengalami graditas dalam
esensi, Mulla Shadra menempatkan graditas tersebut pada eksistensi.
3
Sebagai contoh yang mudah adalah ketika cahaya terang yang terdapat dalam
sebuah lampu jika kita telaah memiliki tingkatan cahaya yang berbeda. Karena cahaya
yang terpancar pada lampu tersebut seperti menyebar keseluruh ruangan yang gelap, di
mana cahaya yang paling terang benderang terletak pada lampu tersebut sehingga ini
persis seperti letak wujud tunggal dan semakin berkurangnya keberadaan wujud maka
semakin rendah tingkat wujud tersebut atau menjadi wujud pluralis.
Selain itu, Fazlur Rahman dalam Filsafat Shadra menulis bahwa proposisi yang
menyatakan keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis tadi berarti:
”Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti eksistensi
Tuhan yang wajib dan makhluk yang mumkin adalah sama dari sisi predikat eksistensinya;
sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud, maka istilah
“wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi ambigu atau analog,
tetapi perbedaan yang mencolok.”
Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat
setiap maujud unik. Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam dan
dilamapui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra sendiri, basitul
haqiqah kullu syaiy (bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup
seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz
2003, Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan.
Miri, Seyyed Mohsen
2004, Sang Manusia Sempurna Antara Filsafat Islam dan Hindu. Jakarta:
Teraju.
Nur, Syaifan
2003, Seri Tokoh Filsafat Mulla Shadra. Jakarta: Teraju.
www.artikel4wisdom.com
4
5